Anda di halaman 1dari 159

FORMULASI DAN EVALUASI SEDIAAN NANOEMULGEL

EKSTRAK ETANOL DAUN KERSEN


(Muntingia calabura L.)

SKRIPSI

HALAMAN JUDUL

OLEH:
CINDI DIA ANNISA
NIM 171501033

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
FORMULASI DAN EVALUASI SEDIAAN NANOEMULGEL
EKSTRAK ETANOL DAUN KERSEN
(Muntingia calabura L.)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana


Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

HALAMAN J

OLEH:
CINDI DIA ANNISA
NIM 171501033

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021

ii
PENGESAHAN SKRIPSI

FORMULASI DAN EVALUASI SEDIAAN NANOEMULGEL


EKSTRAK ETANOL DAUN KERSEN
(Muntingia calabura L.)

OLEH:
CINDI DIA ANNISA
NIM 171501033

Dipertahankan di Hadapan Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas


Sumatera Utara pada Tanggal: 17 Nopember 2021

Disetujui oleh: Panitia Penguji:


Pembimbing,

T. Ismanelly Hanum, S.Si., M.Si., Apt. Dr. Sumaiyah, S.Si., M.Si., Apt.
NIP 197512082009122002 NIP 197712262008122002

Ketua Program Studi Sarjana Farmasi, T. Ismanelly Hanum, S.Si., M.Si., Apt.
NIP 197512082009122002

Dr. Sumaiyah, S.Si., M.Si., Apt. Dewi Pertiwi, S.Farm., M.Si., Apt.
NIP 197712262008122002 NIP 199010072018052001

Medan, 17 November 2021

Disahkan oleh:
Dekan,

Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt.


NIP 197802152008122001

iii
KATA PENGANTAR

Segala Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT. Dan

juga berkat rahmat dan karunia-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan

penelitian dan penyusunan skripsi ini yang berjudul “Formulasi dan Evaluasi

Sediaan Nanoemulgel Ekstrak Etanol Daun Kersen (Muntingia calabura L..)”.

penyusunan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi syarat – syarat untuk bisa

mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera

Utara.

Kersen (Muntingia calabura L.) adalah salah satu tumbuhan yang

berpotensi sebagai antioksidan. Ekstrak etanol daun kersen juga diketahui

mengandung alkaloid, steroids, flavonoids, fenolik, kuinon, saponin dan

triterpenoid. Ekstrak hasil isolasi daun kersen adalah flavonoid auron, flavonol

dan flavon yang memiliki daya hambat terhadap beberapa jenis bakteri. Ekstrak

daun kersen berpotensi sebagai antioksidan dan antihiperglikemia, aktivitas

antibakteri terhadap beberapa jenis bakteri. Sehingga memiliki potensi untuk

dikembangkan menjadi sediaan obat modern, salah satu sediaan obat modern

yang dapat diformulasikan menggunakan ekstrak daun kersen adalah sediaan

nanoemulgel. Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan ekstrak etanol

daun kersen dalam sediaan nanoemulgel dan mengevaluasi stabilitas fisik sediaan

nanoemulgel dengan sediaan emulgel serta mengetahui pengaruh variasi

konsentrasi surfaktan- kosurfaktan terhadap sifat fisik sediaan. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun kersen dapat diformulasi menjadi

sediaan nanoemulgel dan memenuhi persyaratan sebagai sediaan nanoemulgel

yang baik.

iv
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

Ibu T. Ismanelly Hanum, S.Si., M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing yang selalu

membimbing dengan penuh kesabaran, tulus dan ikhlas selama penelitian dan

penulisan skripsi ini berlangsung. Penulis juga mengucapkan terima kasih

kepada Ibu Dr. Sumaiyah, S.Si., M.Si., Apt. dan Ibu Dewi Pertiwi, S.Farm.,

M.Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran kepada

penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini, serta kepada Dekan Fakultas

Farmasi Universitas Sumatera Utara, Khairunnisa S.Si., M.Pharm., Ph.D, Apt.

yang telah memberikan bantuan dan fasilitas selama masa pendidikan, dan Bapak

dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah

mendidik selama perkuliahan.

Penulis juga mengucapkan rasa terimakasih dan penghargaan yang tulus

kepada kedua orangtua, Ayah Hendri Saputra, Ibu Nasib Eli Susanti S. Pd., Adik

saya Abi Dhiyaa Maulana, dan Adik saya Amanda Dhiyaa serta seluruh keluarga

dan teman-teman yang telah memberikan cinta dan kasih sayang, doa, semangat,

dan dukungan baik moril maupun materil kepada penulis selama ini. Terimakasih

kepada Mhd Yogi Munthe yang telah membantu dan selalu memberikan

dukungan selama penelitian ini berlangsung. Akhir kata, penulis berharap semoga

skripsi ini bermanfaat bagi banyak orang dan menjadi pengetahuan yang berarti

khususnya di bidang Farmasi.

Medan, 15 Oktober 2021


Penulis

Cindi Dia Annisa


NIM 171501033

v
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS

vi
FORMULASI DAN EVALUASI SEDIAAN NANOEMULGEL EKSTRAK
ETANOL DAUN KERSEN (Muntingia calabura L.)

ABSTRAK

Latar Belakang: Ekstrak etanol daun kersen (Muntingia calabura L..) terbukti
mengandung senyawa flavonoid, tanin, triterpenoid dan saponin yang bermanfaat
sebagai antioksidan, antimikroba dan antiinflamasi. Penelitian sebelumnya
menyebutkan bahwa ekstrak etanol daun kersen dapat diformulasi menjadi
sediaan emulgel. Namun, sediaan emulgel ukuran globul yang relative besar,
sehingga dibuat menjadi sediaan nanoemulgel. Nanoemulgel mempunyai
keuntungan yaitu ukuran globul lebih kecil yang dapat meningkatakan stabilitas
dan penetrasi ke dalam kulit sehingga meningkatkan absorpsi dan efektivitas
pengobatan.
Tujuan: Untuk memformulasikan ekstrak etanol daun kersen dalam sediaan
nanoemulgel, mengevaluasi stabilitas fisik sediaan nanoemulgel dengan sediaan
emulgel serta mengetahui pengaruh variasi konsentrasi surfaktan-kosurfaktan
terhadap stabilitas fisik sediaan.
Metode: Pembuatan sediaan diawali dengan identifikasi tumbuhan, pemeriksaan
karakteristik simplisia, standarisasi mutu ekstrak, pembuatan ekstrak etanol daun
kersen dan formulasi sediaan nanoemulgel dengan metode emulsifikasi spontan.
Nanoemulgel dibuat 3 formula menggunakan variasi perbandingan Tween 80 dan
PEG 400 yaitu F1(34:26), F2(36:24), F3(38:22) dan ekstrak etanol daun kersen
6%. Pengujian sediaan nanoemulgel meliputi karakteristik seperti tipe emulsi,
daya sebar, homogenitas, bobot jenis, uji transmittan, tegangan antarmuka;
stabilitas fisik seperti pemisahan fase selama penyimpanan dengan variasi suhu,
sentrifugasi dan cycling test, ukuran globul, pH dan viskositas selama
penyimpanan pada suhu kamar.
Hasil: Sediaan nanoemulgel ekstrak etanol daun kersen memiliki rata-rata ukuran
globul sebesar 200,84 nm (F1), 196,12 nm (F2) dan 193,84 nm (F3) yang
menunjukkan titik optimal surfaktan-kosurfaktan yaitu pada formulasi ke tiga
dengan perbandingan Tween 80 : PEG 400 (38:22). Hasil penentuan ukuran
partikel selama penyimpanan menunjukkan peningkatan ukuran globul
berbanding lurus dengan lama penyimpanan. Nanoemulgel ekstrak etanol daun
kersen berwarna hijau kehitaman, transparan, berbau khas, homogen, memiliki
tipe minyak dalam air, daya sebar 4,4 - 6,9 cm, bobot jenis 1,059 - 1,091 g/mL,
tegangan permukaan 35,1–36,9 dyne/cm, tidak mengalami pemisahan pada uji
sentrifugasi, stabil pada penyimpanan 12 minggu pada suhu kamar (28±2°C),
suhu rendah (4±2°C), dan suhu tinggi (40±2°C). Sediaan emulgel ekstrak etanol
daun kersen memiliki ukuran globul 1577,34 nm dan tidak stabil setelah
penyimpanan 6 minggu.
Kesimpulan: Ekstrak etanol daun kersen (Muntingia calabura L..) dapat
diformulasikan sebagai sediaan nanoemulgel dan memenuhi persyaratan evaluasi
sebagai sediaan nanoemulgel serta stabil pada penyimpanan 12 minggu pada suhu
kamar, suhu tinggi dan suhu rendah, sedangkan emulgel tidak stabil selama
penyimpanan 12 minggu karena terjadi perubahan warna pada minggu ke 6 dan
perubahan bau pada minggu ke 8. Nanoemulgel F3 dinyatakan sebagai formula
yang paling baik karena memiliki rata-rata ukuran globul yang paling kecil.

Kata kunci: Muntingia calabura L.., nanoemulgel, penghantaran obat topikal

vii
FORMULATION AND EVALUATION OF NANOEMULGEL
PREPARATION WITH KERSEN (Muntingia calabura L.) LEAVES
ETHANOL EXTRACT

ABSTRACT

Background: Ethanol extract of Kersen Leaf (Muntingia calabura L..) is proven


to contain flavonoid compounds, tannins, triterpenoids and saponins which are
useful as antioxidants, antimicrobials and anti-inflammatory. Previous research
stated that ethanol extract of Kersen leaves can be formulated into emulgel
preparations. However, the emulgel preparations have relatively large globule
sizes, so they are made into nanoemulgel preparations. Nanoemulgel has the
advantage of smaller globule size which can increase stability and penetration into
the skin thereby increasing absorption and effectiveness of treatment.Objective:
To formulate the ethanol extract of Kersen leaves into nanoemulgel preparations,
evaluate physical stability of the preparations compared to emulgel preparations
and determine the effect of various surfactant-cosurfactant concentration on
physical stability.
Method: The research included preparations started by plant identification,
identification of each simplicia characterization extract quality standard, preparation
of ethanol extract of Kersen leaves them followed by formulations of nanoemulgel
preparations according to the spontaneous emulsification method. Preparation of each
nanoemulgel was made in three various ratio of Tween 80 and Span 20 as follows F1
(34:26), F2 (36:24) and F3 (38:22) within 6% of Kersen leaves ethanol extract .
Evaluations was carried out by characteristics evaluation such as emulsion type
testing’s, densisity, spreadibility, transmittance test, interfacial tension. Physical
stability test includes various tempratrue stabilization test, centrifugation, and globule
size, pH, and viscosity stability in room temprature.
Results: The nanoemulgel preparations of Kersen leaves ethanol extract had
average globule size of 200,84 nm (F1), 196,12 nm (F2), and 193,84 nm (F3)
which the optimal surfactant-cosurfactant point is in the third formulation with a
ratio of Tween 80 : PEG 400 (38:22). The results of determining globule size
during storage showed an increase in globule size that was directly proportional to
the length of storage time. Nanoemulgel ethanol extract of Kersen leaves is
blackish green, transparent, has a distinctive smell, homogeneous, has an oil-in-
water type, spreadability were 4.4 – 6.9 cm, specific gravity were 1,059 – 1,091
g/mL. surface tension were 35,1 – 36,9 dynes/cm, no separation occurred in the
centrifugation test, stable in storage for 12 weeks at room temperature (28±2°C),
low temperature (4±2°C), and high temperature (40±2°C). emulgel preparation of
Kersen leaves ethanol extract has a globule size of 1577,34 nm, and is unstable
after 6 weeks ofstorage.
Conclusion: The ethanol extract of Kersen leaf (Muntingia calabura L.) can be
formulated as a nanoemulgel preparation and meets the evaluation requirements
as a nanoemulgel preparation and is stable at 12 weeks storage at room
temperature, high temperature and low temperature, while emulgel is unstable
during 12 weeks storage due to changes in color at week 6 and change in odor at
week 8. Nanoemulgel F3 was declared the best formula because it had the
smallest average globule size.

Keywords: Muntingia calabura L.., nanoemulgel, topical drug delivery

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i


SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................................ vi
ABSTRAK ........................................................................................................ vii
ABSTRACT ....................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiiiiii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 5
1.3 Hipotesis Penelitian ....................................................................................... 6
1.4 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 6
1.5 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 7
1.6 Kerangka Pikir Penelitian ............................................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 8
2.1 Uraian Tumbuhan .......................................................................................... 8
2.1.1 Sistematika tumbuhan ................................................................................. 8
2.1.2 Nama asing ................................................................................................. 8
2.1.3 Habitat tumbuhan ........................................................................................ 8
2.1.4 Morfologi tumbuhan ................................................................................... 9
2.1.5 Kandungan kimia daun kersen..................................................................... 9
2.1.6 Aktivitas farmakologi tumbuhan sebagai sediaan topikal........................... 11
2.2 Simplisia ...................................................................................................... 13
2.3 Ekstrak dan Metode Ekstraksi ...................................................................... 13
2.4 Kulit ........................................................................................................ 16
2.4.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit ...................................................................... 17
2.4.1.1 Lapisan epidermis/kutikula..................................................................... 17
2.4.1.2 Lapisan dermis ....................................................................................... 18
2.4.1.3 Subkutis atau hypodermis ....................................................................... 19
2.5 Sistem Penghantaran Obat Topikal ............................................................... 19
2.6 Keuntungan sistem penghantaran obat topikal .............................................. 20
2.7 Kerugian sistem penghantaran obat topikal .................................................. 20
2.8 Penetrasi obat melalui kulit .......................................................................... 20
2.8.1 Jalur trans epidermal ................................................................................. 21
2.8.2 Jalur trans appendageal ............................................................................. 21
2.9 Nanoemulsi .................................................................................................. 22
2.9.1 Komponen nanoemulsi.............................................................................. 23
2.9.2 Metode formulasi nanoemulsi ................................................................... 24
2.10 Nanoemulgel ............................................................................................. 25
2.10.1 Komponen nanoemulgel ......................................................................... 26
2.12 Komponen Formulasi Nanoemulsi dan Nanoemulgel pada Penelitian ....... 28
2.12.1 Akuades ................................................................................................. 28
2.12.2 Tween 80 ............................................................................................... 29
2.12.3 Metil paraben ......................................................................................... 30
2.12.5 PEG 400................................................................................................. 31

ix
2.12.6 Virgin coconut oil (VCO) ....................................................................... 32
2.12.7 Karbopol 940 ......................................................................................... 32
2.12.8 Trietanolamin (TEA) .............................................................................. 33
BAB III METODE PENELITIAN ..................................................................... 34
3.1 Jenis Penelitian ............................................................................................ 34
3.2 Lokasi Penelitian.......................................................................................... 34
3.3 Alat ........................................................................................................ 34
3.4 Bahan ........................................................................................................ 35
3.5 Penyiapan Sampel Penelitian ....................................................................... 35
3.5.1 Pengambilan sampel ................................................................................. 35
3.5.2 Identifikasi tumbuhan................................................................................ 36
3.6 Pengolahan Sampel menjadi Simplisia ......................................................... 36
3.7 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia ............................................................ 36
3.7.1 Pemeriksaan makroskopik ......................................................................... 37
3.7.2 Pemeriksaan mikroskopik ......................................................................... 37
3.7.3 Penetapan kadar air ................................................................................... 37
3.7.4 Penetapan kadar sari larut dalam air .......................................................... 38
3.7.5 Penetapan kadar sari larut dalam etanol ..................................................... 38
3.7.6 Penetapan kadar abu total .......................................................................... 39
3.7.7 Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam ..................................... 39
3.8 Skrining Fitokimia ....................................................................................... 39
3.8.1 Pemeriksaan alkaloid ................................................................................ 39
3.8.2 Pemeriksaan saponin ................................................................................. 40
3.8.3 Pemeriksaan flavonoid .............................................................................. 40
3.8.4 Pemeriksaan tanin ..................................................................................... 40
3.8.5 Pemeriksaan triterpenoid / steroid ............................................................. 41
3.9 Pembuatan Ekstrak....................................................................................... 41
3.10 Standarisasi Mutu Ekstrak ......................................................................... 42
3.10.1 Penetapan kadar air ekstrak ...................................................................... 42
3.10.2 Penetapan kadar abu total ekstrak ............................................................ 42
3.10.3 Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam .................................... 43
3.11 Formulasi Sediaan ...................................................................................... 43
3.11.1 Formulasi Sediaan Nanoemulgel .............................................................. 43
3.11.1.1 Pembuatan sediaan nanoemulsi ............................................................. 44
3.11.1.2 Pembuatan basis gel .............................................................................. 45
3.11.1.3 Pembuatan sediaan nanoemulgel ekstrak etanol daun kersen ................. 45
3.11.2 Formulasi sediaan emulgel ekstrak etanol daun kersen ............................. 46
3.12 Evaluasi Sediaan Nanoemulgel ................................................................... 49
3.12.1 Penentuan ukuran globul nanoemulgel ..................................................... 49
3.12.2 Organoleptik ............................................................................................ 49
3.12.3 Penentuan pH sediaan .............................................................................. 49
3.12.4 Penentuan viskositas sediaan ................................................................... 50
3.12.5 Penentuan bobot jenis .............................................................................. 50
3.12.6 Pengukuran teganganpermukaan .............................................................. 50
3.12.7 Penentuan tipe emulsi .............................................................................. 51
3.12.8 Penentuan uji homogenitas ...................................................................... 51
3.12.9 Pengujian diameter daya sebar sediaan .................................................... 51
3.12.10 Uji Transmitan ....................................................................................... 52

x
3.12.11 Penentuan uji stabilitasfisik .................................................................... 52
3.12.11.1 Stabilitas selama penyimpanan pada suhu rendah ................................ 52
3.12.11.2 Stabilitas selama penyimpanan pada suhu kamar ................................. 52
3.12.11.3 Stabilitas selama penyimpanan pada suhu tinggi .................................. 52
3.12.11.4 Cycling test ......................................................................................... 53
3.12.11.5 Uji sentrifugasi .................................................................................... 53
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 54
4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan ........................................................................ 54
4.2 Hasil Karakterisasi Simplisia Daun Kersen .................................................. 54
4.3 Hasil Skrining Fitokimia .............................................................................. 56
4.4 Hasil Ekstraksi Daun Kersen ........................................................................ 57
4.5 Hasil Pemeriksaan Karakterisasi Ekstrak Etanol Daun Kersen...................... 58
4.6 Hasil Formulasi Sediaan.............................................................................. 59
4.6.1 Formulasi nanoemulgel ............................................................................. 59
4.6.2 Formulasi emulgel .................................................................................... 61
4.7 Hasil Evaluasi Sediaan ................................................................................ 62
4.7.2 Hasil pengamatan ukuran globul ............................................................... 62
4.7.2 Hasil pengamatan stabilitas sediaan ........................................................... 64
4.7.3 Uji sentrifugasi.......................................................................................... 66
4.7.4 Hasil pemeriksaan homogenitas ................................................................ 69
4.7.5 Hasil penentuan tipe emulsi sediaan .......................................................... 69
4.7.6 Hasil pengukuran pH sediaan .................................................................... 70
4.7.7 Hasil penentuan bobot jenis....................................................................... 72
4.7.8 Hasil penentuan viskositas ........................................................................ 73
4.7.9 Hasil pengukuran tegangan permukaan ..................................................... 75
4.7.10 Pengujian daya sebar sediaan ................................................................. 76
4.7.11 Hasil Uji Transmitan .............................................................................. 77
4.7.12 Penentuan uji stabilitas fisik ................................................................... 78
4.7.12.1 Penyimpanan pada suhu rendah ........................................................... 78
4.7.12.2 Penyimpanan pada suhu tinggi ............................................................ 80
4.7.13 Hasil uji cycling test ................................................................................ 81
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................. 83
5.1 Kesimpulan ............................................................................................... 83
5.2 Saran ........................................................................................................ 83
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 84

xi
DAFTAR TABEL

3.1 Persentase komposisi bahan dalam sediaan nanoemulgel pada penelitian


Farida (2018) .............................................................................................. 43
3.2 Persentase komposisi bahan dalam nanoemulsi ekstrak etanol daun kersen
dengan variasi konsentrasi Tween 80 dan PEG 400 .................................... 44
3.3 Persentase komposisi bahan dalam basis gel............. ................................... 45
3.4 Persentase komposisi bahan dalam nanoemulgel ekstrak etanol daun kersen ...
................................................................................................................... 46
3.5 Formulasi emulgel oleh Hakim, 2017. ...................................................... ...46
3.6 Formulasi emulgel hasil modifikasi dari Hakim, 2017............ .................. ..47
4.1 Hasil pemeriksaan karakterisasi serbuk simplisia daun kersen..... ............. ...55
4.2 Hasil skrining fitokimia simplisia dan ekstrak daun kersen........... ............ ...56
4.3 Hasil pemeriksaan karakterisasi ekstrak etanol daun kersen.......... ........... ....58
4.4 Rata-rata ukuran globul nanoemulgel dan emulgel ekstrak etanol daun kersen
0, 6, dan 12 minggu penyimpanan suhu kamar................ ....................... .....62
4.5 Data pengamatan stabilitas nanoemulgel pada penyimpanan 12 minggu ...... 65
4.6 Data pengamatan stabilitas emulgel pada penyimpanan 12 minggu. ........... .66
4.7 Data uji sentrifugasi nanoemulgel dan emulgel ekstrak etanol daun kersen
(Muntingia calabura L..) ............................................................................ 67
4.8 Data pengukuran pH nanoemulgel dan emulgel pada penyimpanan selama 12
minggu pada suhu kamar................................................ ............................ . 71
4.9 Data penentuan bobot jenis sediaan nanoemulgel dan emulgel. ........... ........72
4.10 Data uji viskositas sediaan nanoemulgel ekstrak etanol daun kersen selama
12 minggu.......................................................................... ....................... ...73
4.11 Data pengukuran tegangan permukaan nanoemulgel dan emulgel ekstrak
etanol daun kersen............................................................ ........................ ...75
4.12 Hasil evaluasi daya sebar sediaan nanoemulgel dan emulgel ekstrak etanol
daun kersen dengan penambahan beban........................... ....................... ...76
4.13 Hasil uji transmitan sediaan nanoemulgel ekstrak etanol daun kersen
(Muntingia calabura L.)............................................................... .......... .....77
4.13 Data pengamatan stabilitas nanoemulgel pada penyimpanan 12 minggu
pada suhu rendah............................................................ ...................... .....79
4.14 Data pengamatan stabilitas nanoemulgel pada penyimpanan 12 minggu
pada suhu tinggi.......................................................................... .......... ......80
4.15 Hasil pengujian cycling test sediaan nanoemulgel... ..................... ...............71

xii
DAFTAR GAMBAR

1.1 Kerangka piker penelitian.................................................... ............................7


2.1 Struktur Kulit (Shai, dkk., 2009) .................................................................. 17
2.2 Jalur penetrasi obat melalui kulit: (a) Jalur Transappendageal, (b) Rute
Transeluler, (c) Rute Ekstraselluler (b dan c merupakan Jalur
Transepidermal).............................................. .................... ..........................21
2.3 Sketsa pembuatan sediaan nanoemulgel ............ ............... ........................... 26
4.1 Sediaan nanoemulgel ekstrak etanol daun kersen (Muntingia calabura L..)
awal pembuatan................................................................. ...........................60
4.2 Sediaan nanoemulgel ekstrak etanol daun kersen (Muntingia calabura L..)
tampak dari atas................... ............................................. ...........................60
4.3 Sediaan emulgel ekstrak etanol daun kersen (Muntingia calabura L..) awal
pembuatan................................... ...................................... ...........................61
4.4 Grafik lama penyimpanan nanoemulgel ekstrak etanol daun kersen (Muntingia
calabura L..) terhadap ukuran globul.... ...................................... .................63
4.5 Sediaan nanoemulgel dan emulgel ekstrak etanol daun kersen (Muntingia
calabura L..) sebelum penyimpanan 12 minggu...................................... ....65
4.6 Sediaan nanoemulgel dan emulgel ekstrak etanol daun keren (Muntingia
calabura L..) sesudah penyimpanan 12 minggu ..................................... .....65
4.7 Sediaan nanoemulgel dan emulgel ekstrak etanol daun kersen (Muntingia
calabura L..) sebelum uji sentrifugasi.............. ..................................... ......67
4.8 Sediaan nanoemulgel dan emulgel ekstrak etanol daun kersen (Muntingia
calabura.) setelah uji sentrifugasi...................... ................................... .......67
4.9 Hasil uji homogenitas sediaan nanoemulgel dan emulgel ekstrak etanol daun
kersen (Muntingia calabura L..) ..................................... .............................69
4.10 Hasil penentuan tipe emulsi sediaan nanoemulgel dan emulgel ekstrak etanol
daun kersen (Muntingia calabura L..) ..................................................... 70
4.11 Grafik pengaruh waktu penyimpanan terhadap pH nanoemulgel dan emulgel
ekstrak etanol daun kersen.............................. .................................... .........72
4.12 Grafik pengaruh waktu penyimpanan terhadap viskositas nanoemulgel
ekstrak etanol daun kersen (Muntingia calabura L..)........................ .. .........74
4.13 Grafik pengaruh waktu penyimpanan terhadap viskositas emulgel ekstrak
etanol daun kersen (Muntingia calabura L..)..................................... ..........74
4.14 Grafik diameter daya sebar nanoemulgel dan emulgel ekstrak etanol kersen
(Muntingia calabura L..)........................ ......................................................77
4.15 Hasil pengamatan terhadap stabilitas nanoemulgel ekstrak etanol Daun
kersen (Muntingia calabura L..) pada suhu rendah. ............................. .......79
4.16 Hasil pengamatan terhadap stabilitas nanoemulgel ekstrak etanol daun kersen
(Muntingia calabura L..) pada suhu tinggi... ........................................ .......80
4.17 Hasil pengujian cycling test sediaan nanoemulgel ekstrak etanol Daun kersen
(Muntingia calabura L..)............................ ................................................... .........82

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil identifikasi identifikassi..........................................................................93


2. Bagan alir penelitian..................................................................................94
3. Gambar Tumbuhan dan Bagian Daun dari Kersen (Muntingia calabura
L..)................................................................................ .................................. 97
4. Hasil Pemeriksaan Makroskopik Simplisia dan Serbuk Daun Kersen
(Muntingia calabura L..)........................................................... ..................... 98
5. Hasil Pemeriksaan Mikroskopik Serbuk Simplisia Daun Kersen (Muntingia
calabura L..).......................................................... ........................................ 99
6. Perhitungan Hasil Pemeriksaan Karakterisasi Serbuk Simplisia Daun Kersen
(Muntingia calabura L..).................................... ........................................ .100
7. Perhitungan % Rendemen Ekstrak Etanol Daun kersen (Muntingia calabra
L..).............................................................................. .................................. 105
8. Perhitungan Hasil Standarisasi Ekstrak Etanol Daun Kersen (Muntingia
calabura L..)......................................................... ....................................... 106
9. Hasil pengukuran pH sediaan selama penyimpanan pada suhu kamar selama 12
minggu.................................................. .............................................. ........109
10.Perhitungan Bobot Jenis Sediaan Nanoemulgel Ekstrak Etanol Daun
Kersen...................................................................... ............................ ........110
11. Hasil pengukuran viskositas sediaan pada suhu kamar selama penyimpanan 12
minggu................................................................................................... ......111
12. Perhitungan Tegangan Permukaan Sediaan Nanoemulgel Ekstrak Etanol Daun
Kersen................................................................. ........................................ .112
13. Hasil Rata-Rata dan Distribusi Ukuran Globul Sediaan Nanoemulsi Ekstrak
Etanol Daun Kersen.............. ................................................................. .....113
14. Hasil Rata-Rata dan Distribusi Ukuran Globul Sediaan Nanoemulgel Ekstrak
Etanol Daun Kersen Minggu Ke-0 ............................................................. 119
15. Hasil Rata-Rata dan Distribusi Ukuran Globul Sediaan Nanoemulgel Ekstrak
Etanol Daun Kersen Minggu Ke-6.............................................................. 125
16. Hasil Rata-Rata dan Distribusi UkuranGlobul Sediaan Nanoemulgel Ekstrak
Etanol Daun Kersen Minggu Ke-12............................................................ 131
17.Hasil Rata-Rata dan Distribusi Ukuran Globul Sediaan Emulgel Ekstrak Etanol
Daun Kersen..................................................... ........................................... 137
18. Gambar Alat yang Digunakan......................................... ................... ...........139
19. Gambar Karakterisasi Simplisia........................................ ...........................142
20. Gambar Skrining Fitokimia............................................... ...........................143
21. Gambar Bahan yang Digunakan......................................... ................. ........144

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang terkenal dengan

keanekaragaman tanamannya yang dapat digunakan sebagai obat. Bagian

tanaman yang dapat digunakan sebagai obat berupa daun, batang, buah, bunga

dan akar (Arum dkk, 2012). Salah satu tanaman yang dapat digunakan sebagai

obat adalah kersen. Kersen (Muntingia calabura L.) adalah tanaman tahunan

yang dapat mencapai ketinggian 12 meter. Batang tanaman berkayu, tegak bulat

dengan percabangan simpodial. Kersen memiliki beberapa bagian seperti daun,

batang, bunga dan buah. (Prasetyo dan Sasongko, 2014).

Bagian tanaman yang dapat digunakan sebagai obat antara lain daun dan

buah. Buah kersen selain dapat digunakan untuk bahan baku olahan makanan,

dapat juga digunakan sebagai bahan baku obat karena memiliki karakteristik

sebagai antioksidan (Preethy et al., 2010).

Berdasarkan analisis fitokimia, ekstrak buah Kersen disebutkan

mengandung senyawa saponin, fenol, steroid/triterpenoid, dan flavonoid

(Yunahara, 2009). Selain itu buah kersen juga memiliki kandungan senyawa lain

yaitu squalene, trigliserida, campuran antara asam linoleate, asam palmitat, dan

asam α linoleat dan campuran β sitosterol dan stigmasterol (Ragasa et al., 2015).

Menurut cerita rakyat Peru, daun kersen dapat direbus atau direndam

dalam air untuk mengurangi pembengkakan kelenjar prostat, sebagai obat untuk

menurunkan panas, menghilangkan sakit kepala, flu dan mengobati penyakit asam

urat, selain itu juga dapat dimanfaatkan sebagai antiseptik, antioksidan,

1
antimikroba, antiinflamasi (mengurangi radang), antidiabetes, dan antitumor

(Siddiqua et al. 2010).

Hasil uji fitokimia terhadap ekstrak etanol daun kersen diketahui

mengandung senyawa metabolit sekunder golongan flavonoid, triterpenoid, tanin,

dan saponin (Amiruddin 2007). Kandungan tersebut yang membuat daun kersen

(Muntingia calabura L.) memiliki potensi antioksidan dan aktivitas antibakteri

yang dapat dikaitkan dengan tingginya kandungan senyawa fenolik (Linder,

2006).

Berdasarkan penetapan kadar fenol dan flavonoid daun kersen memiiki

kandungan fenol dan flavonoid yang lebih tinggi. Kandungan total fenol dan

flavonoid yang terdapat pada buah kersen hanya 0,24% dan 0,13% (Senet, dkk.,

2017). Sedangkan pada daun kersen kandungan total fenol dan flavonoid yang

diperoleh sebesar 31,1% dan 3,96% (Puspitasari dan Wuandari, 2017). Secara

ilmiah, beberapa jenis flavonoid dan flavon telah diisolasi dan diidentifikasi dari

Muntingia calabura L. seperti flavon, flavanon, dan flavan (Zakaria, dkk., 2006).

Flavonoid yang terkandung didalam daun kersen kersen banyak mendapat

perhatian karena kelompok senyawa ini memiliki aktivitas seperti antibakteri,

antiinflamasi dan antioksidan (Lung, 2014). Sehingga potensial pemanfaatan

ekstrak daun kersen lebih tinggi dibandingkan ekstrak buah kersen.

Tanaman obat herbal seperti daun kersen biasanya dibuat ekstrak atau

fraksi. Pembuatan ekstrak dapat dilakukan menggunakan metode maserasi.

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut

dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan

2
(kamar) (Depkes RI., 2000). Kelebihan maserasi adalah prosesnya sederhana dan

senyawa-senyawa yang termolabil tidak rusak (Sutrisna, 2016).

Ekstrak yang dihasilkan dapat diformulasi menjadi sediaan topikaluntuk

meningkatkan efektivitas penggunaannya. Bentuk sediaan topikal yang dapat

dibuat adalah salep, krim, atau gel, namun ketiga bentuk sediaan ini memiliki

banyak kekurangan. Bentuk sediaan topikal salep dan krim biasanya memiliki

sifat yang lengket dan memiliki koefisien penyebaran yang lebih rendah sehingga

pasien lebih sulit mengaplikasikannya pada kulit. Preferensi penggunaan gel lebih

tinggi karena gel lebih mudah diaplikasikan, bersifat emollient, dan tidak lengket

sehingga memberikan kenyamanan yang lebih pada kulit pasien. Namun, gel

memiliki keterbatasan dalam penghantaran obat kedalam kulit yang memiliki sifat

hidrofobik. Keterbatasan tersebut diatasi oleh bentuk sediaan topikal baru yaitu

emulgel (Yadav dkk., 2016).

Emulgel adalah emulsi, baik itu tipe minyak dalam air (M/A) maupun air

dalam minyak (A/M) yang dibuat menjadi sediaan gel dengan mencampurkan

bahan pembentuk gel (Mohamed, 2004). Kelebihan emulgel yaitu dapat

membawa obat yang bersifat hidrofobik dan tidak larut air dan memiliki stabilitas

yang lebih baik (Panwar dkk., 2011). Hanifa, dkk (2019) menyatakan bahwa

sediaan emulgel ekstrak etanol daun kersen dengan variasi konsentrasi 3; 4,5; 6%

dapat menghambat pertumbuhan bakteri Propionibacterium acne dengan diameter

zona hambat berturut-turut 16,12; 18,20; dan 19,45 mm.

Penerapan teknologi nano semakin banyak digunakan dalam berbagai

bidang dikarenakan sifatnya yang khas yaitu memiliki ukuran partikel yang kecil,

3
bidang antarmuka yang tinggi dan penampilan yang transparan atau tembus

cahaya (Basera, et al., 2015).

Salah satu penerapan teknologi nano adalah pembuatan sediaan

nanoemulgel. Nanoemulgel diformulasi dari nanoemulsi yang diinkorporasi

kedalam basis gel. Dengan adanya agen pengental maka dapat meningkatkan

stabilitas nanoemulsi yang lebih baik dengan mengurangi tegangan permukaan

dan tegangan antarmuka dan juga meningkatkan sifat melekat pada pemberian

obat secara topikal (Basera, et al., 2015).

Nanoemulsi merupakan sistem penghantaran nano yang berupa dispersi

halus minyak dalam air atau air dalam minyak yang memiliki kisaran ukuran

partikel antara 50-1000 nm. Fase air, fase minyak, surfaktan dan kosurfaktan

menunjukkan komponen utama dari nanoemulsi (Drais, 2016). Nanoemulsi

memiliki banyak hambatan dalam menghantarkan obat secara efektif ke dalam

kulit, dikarenakan rendahnya viskositas dan daya sebar sehingga tidak nyaman

untuk digunakan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka dilakukan

pendekatan dengan menggabungkan nanoemulsi dengan basis gel (Chellapa, et

al., 2015).

Penghantaran obat melalui sediaan nanoemulgel memiliki daya adhesi

yang lebih baik pada permukaan kulit dan memiliki kapasitas kelarutan yang

tinggi sehingga dapat meningkatkan penetrasi ke dalam kulit, dan dengan adanya

basis gel dalam formulasi sediaan nanoemulgel, menunjukkan keuntungan berupa

adanya sifat lanjutan dari thixotropic, tidak berminyak, mudah menyebar, mudah

dibersihkan dan memiliki waktu kontak yang lebih lama saat digunakan (Basera,

et al., 2015).

4
Surfaktan digunakan untuk menurunkan tegangan permukaan dan

kosurfaktan digunakan untuk membantu surfaktan dalam menurunkan tegangan

permukaan. Banyak peneliti yang menggunakan kombinasi Tween 80 sebagai

surfaktandan PEG 400 sebagai ko-surfaktan dan menghasilkan nanoemulsi yang

sangat transparan. Surfaktan non-ionik seperti Tween 80 dan PEG 400 akan

menghasilkan potensial zeta yang kecil pada permukaan sehingga ukuran partikel

nanoemulsi menurun dan meningkatkan penetrasi melalui penurunan tegangan

antarmuka sehingga meningkatkan difusi obat melalui kulit dan kedua bahan

tersebut tidak menimbulkan iritasi (McClements dan Xiao, 2012; Ayuningtias

dkk., 2017). Farida (2018) pada penelitiannya tentang formulasi dan evaluasi

sediaan nanoemulgel piroksikam menggunakan variasi surfaktan Tween 80 daan

kosurfaktan PEG 400. Sanaji dkk (2019) juga melakukan penelitian pengaruh

konsentrasi Tween 80 dan PEG 400 terhadap karakteristik fisik sediaan

nanoemulgel ibuprofen.

Berdasarkan hal diatas peneliti tertarik untuk melakukan formulasi

nanoemulgel menggunakan ekstrak etanol daun kersen dengan variasi konsentrasi

Tween 80 sebagai surfaktan dan PEG 400 sebagai kosurfaktan. Selanjutnya

dilakukan evaluasi sifat fisik dan stabilitas terhadap sediaan nanoemulgel ekstrak

etanol daun kersen.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah:

5
1. Apakah ekstrak etanol daun kersen (Muntingia calabura L..) dapat

diformulasikan dalam sediaan nanoemulgel dan lebih stabil secara fisik

dibandingkan sediaan emulgel?

2. Apakah terdapat pengaruh variasi Tween 80 sebagai surfaktan dan PEG

400 sebagai kosurfaktan pada sediaan nanoemulgel ekstrak etanol daun

kersen (muntingia calabura L..) terhadap evaluasi sifat fisik sediaan?

1.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka hipotesis penelitian ini adalah:

1. Ekstrak etanol daun kersen (Muntingia calabura L..) dapat diformulasikan

dalam sediaan nanoemulgel dan lebih stabil secara fisik dibandingkan

sediaan emulgel.

2. Variasi Tween 80 sebagai surfaktan dan PEG 400 sebagai kosurfaktan

pada sediaan nanoemulgel ekstrak etanol daun kersen (Muntingia

calabura L..) mempengaruhi sifat fisik sediaan.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bahwa ekstrak etanol daun kersen (Muntingia calabura

L..) dapat diformulasi dalam sediaan nanoemulgel dan lebih stabil secara

fisik dibandingkan sediaan emulgel.

2. Untuk mengetahui pengaruh variasi Tween 80 sebagai surfaktan dan PEG

400 sebagai kosurfaktan pada sediaan nanoemulgel ekstrak etanol daun

kersen (Muntingia calabura L..) terhadap evaluasi sifat fisik sediaan.

6
1.5 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah

dan manfaat dalam pengembangan formulasi berbasis teknologi nanomedisin

berupa nanoemulgel untuk sistem penghantaran rute topikal dari obat herbal

ekstrak etanol daun kersen (Muntingia calabura L..).

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Secara skematis, kerangka pikir penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.1.

Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas yaitu konsentrasi

surfaktan dan kosurfaktan serta emulgel sebagai pembanding terhadap variabel

terikat yaitu ukuran partikel sediaan, sifat fisik sediaan, dan stabilitas sediaan

selama 6 minggu.

Variabel bebas Variabel terikat Parameter

 Ukuran globul
Sediaan  Stabilitas selama
Nanoemulgel penyimpanan 12
Ekstrak Etanol minggu pada suhu
daun Kersen 28±2°C, 4±2°C dan
dengan variasi Sifat fisik 40±2°C
Konsentrasi sediaan (Organoleptis
Tween 80 dan pH,
PEG 400 viskositas)
( 34 ; 26); - Homogenitas
( 36 ; 24); - Tipe emulsi
Dan (38 ; 22)  Tegangan
permukaan
 Sentrifugasi
 Cycling test
 Bobot jenis
 Daya sebar
 Persen transmitan

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

2.1.1 Sistematika tumbuhan

Tumbuhan kersen (Muntingia calabura L..) memiliki sistematika yang

diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Elaeocarpaceae

Famili : Malvales/Columniferae

Genus : Muntingia

Spesies : Muntingia calabura L.. (Sari,2012).

2.1.2 Nama asing

Tumbuhan Muntingia calabura L.. di Indonesia memiliki nama kersen atau

seri. Nama lainnya di beberapa negara, yaitu datiles, aratiles, manzanitas

(Filipina), khoom somz, takhob (laos), krakhop barang (Kamboja), kerup siam

(Malaysia), capulin blanco, cacaniqua, niqua, iguito (Spanyol), jamaican Kersen,

panama berry, singapore Kersen (Inggris) dan japanese kers (Belanda) (Kosasih

dkk, 2013).

2.1.3 Habitat tumbuhan

Tanaman kersen ini berasal dari Amerika tropis (Meksiko selatan, Karibia

sampai Peru dan Bolivia). Kersen dibawa masuk ke Filipina akhir abad 19, hingga

tersebar seluruh kawasan tropika Asia. Jenis ini terdapat disebagian barat

8
Semenanjung Malaysia, Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Kersen tumbuh liar

ditempat terbuka dan perbukitan, ditepi-tepi jalan, tepi-tepi sungai, juga dataran

rendah yang drainasenya baik, dan pada tanah liat berpasir. Kersen tumbuh

mengelompok dan tersebar. Kersen banyak ditanam sebagai pohon buah dan

pelindung (Kosasih dkk, 2013).

2.1.4 Morfologi tumbuhan

Kersen adalah tanaman tahunan yang dapat mencapai ketinggian 12 meter.

Kersen memiliki beberapa bagian seperti daun, batang, bunga, dan buah. Batang

tumbuhan kersen berkayu, tegak, bulat, dan memiliki percabangan simpodial.

Warna daun hijau muda dengan bulu rapat pada bagian bawah daun. Batang : bisa

tumbuh hingga setinggi 12 meter, walau rata-rata hanya 1- 4 meter. Cabang pohon

mendatar dan membentuk naungan rindang. Bunga : berwarna putih terletak di

ketiak sebelah atas daun, bertangkai panjang, mahkota bertepi rata, bundar telur,

benang sari berjumlah banyak bisa 10 sampai 100 belai. Buah : bentuk bulat, jika

masak buah berwarna merah, sedangkan saat masih muda berwarna hijau.

Rasanya manis dan memiliki banyak biji kecil seperti pasir. Biji : Didalam buah

terdapat biji kecil berukuran 0,5 mm berwarna kuning (Kosasih dkk., 2013).

Gambar tumbuhan kersen dan daun dari kersen dapat dilihat pada Lampiran 3.

2.1.5 Kandungan kimia daun kersen

Daun kersen memiliki kandungan senyawa flavonoid, tanin, triterpenoid,

saponin, dan polifenol yang menunjukkan aktivitas antioksidatif dan antimikrobia

(Haki, 2009). Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula

sebagai glikon dan aglikon. Flavonoid dapat berfungsi sebagai antimikrobia,

9
antivirus, antioksidan, antihipertensi, merangsang pembentukan estrogen, dan

mengobati gangguan fungsi hati (Binawati dan Amilah, 2013).

Golongan flavonoid mempunyai ciri adanya cincin piran yang

menghubungkan rantai tiga karbon dengan salah satu dari cincin benzene

(Robinson, 1995). Flavonoid merupakan senyawa fenol yang dapat berubah bila

ditambahkan senyawa yang bersifat basa atau amonia. Flavonoid di alam

merupakan senyawa yang larut dalam air. Ikatan flavonoid dengan gula

menyebabkan banyaknya bentuk kombinasi yang dapat terjadi di dalam

tumbuhan, sehingga flavonoid pada tumbuhan jarang ditemukan dalam keadaan

tunggal (Harbone, 1987).

Flavonoid mempunyai aktivitas antibakteri karena flavonoid mempunyai

kemampuan berinteraksi dengan DNA bakteri dan menghambat fungsi membran

sitoplasma bakteri dengan mengurangi fluiditas dari membran dalam dan

membran luar sel bakteri. Akhirnya terjadi kerusakan permeabilitas dinding sel

bakteri dan membran sel tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya, termasuk

untuk melakukan perlekatan dengan substrat. Hasil interaksi tersebut

menyebabkan terjadinya kerusakan permeabilitas dinding sel bakteri, mikrosom

dan lisosom. Ion hidroksil secara kimia menyebabkan perubahan komponen

organik dan transport nutrisi, sehingga menimbulkan efek toksis terhadap sel

bakteri (Sudirman, 2014).

Tanin merupakan senyawa metabolit sekunder yang dapat dijumpai pada

tanaman tingkat tinggi yang tidak mengandung gugus nitrogen dan merupakan

senyawa organik kompleks (Atal dan Kapur, 1982). Tanin merupakan senyawa

fenol yang memiliki berat molekul besar yang terdiri dari gugus hidroksil dan

10
beberapa gugus yang bersangkutan seperti karboksil untuk membentuk kompleks

kuat yang efektif dengan protein dan beberapa makromolekul (Hayati dkk., 2010).

Bale-Smith dan Swain yang dikutip Haslam (1989) menjelaskan tanin sebagai

senyawa fenolik larut air dengan massa molar sekitar 300-3000, menunjukkan

reaksi alami fenol, mempresipitasi alkaloid, gelatin, dan protein lain.

Triterpenoid tersusun dari rantai panjang hidrokarbon C30 yang

menyebabkan sifatnya non-polar, sehingga mudah terekstrak dalam pelarut yang

bersifat non-polar. Ada beberapa senyawa triterpenoid yang memiliki struktur

siklik berupa alkohol. Senyawa triterpenoid juga dapat terikat dengan gugus gula,

sehingga akan dapat tertarik oleh pelarut yang bersifat semi polar bahkan pelarut

polar (Kristanti dkk., 2008).

Saponin merupakan glikosida alami yang terikat dengan steroid alkaloid

atau triterpena. Saponin mempunyai aktivitas farmakologi yang cukup luas seperti

imunomodulator, antitumor, antiinflamsi, antivirus, antijamur, efek hipoglikemik,

dan efek hipokolesterol. Saponin juga mempunyai sifat yang beragam seperti

terasa manis, pahit, dapat berbentuk buih, dapat menstabilkan emulsi, dan dapat

menyebabkan hemolisis (Robinson, 1995).

2.1.6 Aktivitas farmakologi tumbuhan sebagai sediaan topikal

Kandungan senyawa aktif tanaman kersen adalah ester, alkohol, flavonoid,

sesquiterpenoid dan derivat furan. Manfaat tanaman kersen adalah sebagai obat

batuk, obat sakit kepala, antiinflamasi, antioksidan, antikanker, antinosiseptik,

antibakteri dan kardioprotektif (Lim, 2012). Secara kualitatif diketahui bahwa

senyawa yang dominan dalam daun kersen adalah flavonoid yang menunjukkan

aktivitas antioksidan (Zakaria et al, 2007).

11
Daun kersen (Muntingia calabura L.) ternyata dapat berkhasiat sebagai

tabir surya alami. Senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam daun

kersen dapat berfungsi sebagai antioksidan sekaligus tabir surya, diantaranya

flavonoid, saponin, polifenol, dan tannin (Mintawati dkk, 2013). Puspitasari dkk

(2018) menyatakan bahwa krim tabir surya ekatrak etanol daun kersen dengan

nilai SPF formula 2 sebesar 7,65 (termasuk proteksi ekstra), formula 3 sebesar

13,78 (termasuk proteksi maksimal), dan formula 4 sebesar 19,08 (termasuk

proteksi ultra). Peningkatan konsentrasi ekstrak etanol daun kersen dalam krim

tabir surya semakin meningkatkan nilai SPF.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Arum dan Sudarmin (2012)

menyimpulkan bahwa Senyawa flavoniod yang diperoleh dari hasil isolasi daun

kersen menggunakan ekstrak etanol dan metanol adalah jenis senyawa auron,

flavonol, dan flavon yang memiliki daya antimikroba terhadap bakteri E. coli, P.

aeruginosa, S. aureus dan B. subtilis dengan konsentrasi yang lebih tinggi

memiliki daya hambat yang lebih besar. Alvianti dan Fitri (2018) pada penelitian

yang dilakukan juga menyimpulkan bahwa ekstrak etanol daun kersen (Muntingia

calabura L.) dapat diformulasikan kedalam bentuk sediaan krim untuk

penggunaan topikal sebagai anti jerawat. Bentuk sediaan krim untuk penggunaan

topical yang dihasilkan tidak menimbulkan iritasi terhadap kulit.

Salep ekstrak daun kersen memiliki pengaruh yang sangat nyata terhadap

tingkat kesembuhan luka insisi pada kulit mencit yang mengalami hiperglikemia.

Proses terjadinya kesembuhan luka diamati secara histopatologi dengan parameter

kepadatan kolagen. Sediaan salep dengan konsentrasi ekstrak 50% merupakan

formulasi terbaik dalam penyembuhan luka insisi pada kulit mencit yang

12
mengalami hiperglikemia dengan kepadatan kolagen sebesar 2,2 (Sembiring dkk,

2021).

2.2 Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat yang belum

mengalami pengolahan apapun juga kecuali dikatakan lain, berupa bahan yang

telah dikeringkan. Simplisia dibedakan menjadi simplisia nabati dan simplisia

hewani (Depkes RI, 2000).

Penyiapan simplisia dilakukan dari penyiapan simplisia segar dengan

tahapan: sortasi basah, pencucian, penirisan, perajangan, dan penyiapan simplisia

kering dengan tahapan: proses pengeringan dari simplisia segar, sortasi kering,

pencucian simplisia kering, dan penyerbukan (BPOM RI, 2012).

2.3 Ekstrak dan Metode Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari

simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya

matahari langsung kemudian dipekatkan untuk menghilangkan sisa pelarut (Ditjen

POM, 2008).

Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan

menggunakan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi dihentikan ketika tercapai

kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi

senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi dalam sel tanaman (Mukhriani, 2014).

Teknik ekstraksi yang ideal adalah teknik ekstraksi yang mampu

mengekstraksi bahan aktif yang diinginkan sebanyak mungkin, cepat, mudah

dilakukan, murah, ramah lingkungan dan hasil yang diperoleh selalu konsisten

jika dilakukan berulang-ulang (Endarini,2016).

13
Etanol merupakan pelarut semi polar dan pelarut yang baik untuk

ekstraksi karena dapat mengekstrak senyawa yang polar dan senyawa yang non-

polar. Pelarut etanol 96% relatif kurang toksik dibandingkan metanol, murah,

mudah didapat dan ekstrak yang diperoleh tidak mudah ditumbuhi jamur dan

bakteri serta umum digunakan dalam pembuatan ekstrak. Selain itu, etanol

merupakan pelarut yang tidak karsinogen, dan mudah menguap dengan titik didih

78°C sehingga tidak meninggalkan residu yang tinggi. Pelarut etanol juga

merupakan pelarut dengan daya ekstraksi terbesar untuk semua bahan alam

berbobot molekul rendah seperti alkaloid, saponin dan flavonoid (Djamal, 2012).

Jenis pelarut lain seperti metanol, heksana, toluen, kloroform, aseton, dan

segolongannya umumnya dihindari dan hanya digunakan sebagai pelarut untuk

tahap separasi dan pemurnian (fraksinasi) karena sifatnya yang toksik. Teknik

ekstraksi dibagi menjadi:

1. Teknik ekstraksi cara dingin

a) Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan

pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur

ruangan (kamar). Maserasi secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip

metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Remaserasi merupakan suatu

proses pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat

pertama, dan sebagainya (Depkes RI., 2000).

Kelebihan maserasi adalah prosesnya sederhana dan senyawa-senyawa

yang termolabil tidak rusak. Sedang kerugiannya adalah memerlukan banyak

pelarut dan lama (Sutrisna, 2016).

14
Cairan penyari akan menembus dinding sel masuk ke sitoplasma dimana

terdapat zat aktif. Karena adanya perbedaan konsentrasi maka zat aktif akan

keluar dari sel terlarut dalam cairan penyari. Proses maserasi selesai saat terjadi

keseimbangan antara bagian dalam sel dari bahan yang diekstraksi dengan cairan

penyari sehingga proses difusi segera berakhir (Sutrisna, 2016; Voight,1994).

b) Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru (Exhaustiva

extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Prinsip perkolasi

adalah dengan menempatkan serbuk simplisia pada suatu bejana silinder, yang

bagian bawahnya diberi sekat berpori. Proses terdiri dari tahap pengembangan

bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/

penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang

jumlahnya 1-5 kali bahan. Kelebihan dari perkolasi adalah simplisia selalu dialiri

pelarut baru. Sedang kelemahannya adalah diperlukan banyak pelarut, waktunya

lama dan pelarut akan kesulitan menjangkau semua area jika simplisia tidak

homogen (Depkes RI, 2000; Sutrisna, 2016).

2. Teknik ekstraksi cara panas

a) Refluks

Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut pada suhu didihnya selama

waktu tertentu. Teknik ini merupakan penyarian berkesinambungan. Simplisia

direndam dalam cairan penyari dalam labu alas bulat yang dilengkapi dengan alat

pendingin yang tegak. Dan dipanaskan sampai mendidih. Cairan penyari yang

menguap akan diembunkan dengan pendingin tegak sehingga dapat menyari

simplisia lagi (Sutrisna, 2016).

15
b) Sokletasi

Sokletasi merupakan metode penyarian berkesinambungan dengan alat

soklet. Serbuk sampel dimasukkan dalam sarung selulosa dalam klonsong yang

ditempatkan di atas labu dan di bawah kondensor. Cairan penyari dipanaskan

sampai mendidih. Cairan penyari akan menguap yang akan naik melalui pipa

samping. Uap akan diembunkan lagi. Cairan penyari akan turun untuk menyari

simplisia. Jika cairan penyari mencapai sifon, maka cairan dapat turun ke bagian

labu alas bulat sehingga terjadi proses sirkulasi. Proses ini akan berlangsung terus

- menerus sampai zat aktif dalam simplisia tersari seluruhnya yang ditandai

dengan larutan sudah menjadi jernih (Sutrisna, 2016).

c) Digesti

Digesti merupakan modifikasi maserasi yaitu maserasi dengan

pengadukan kontinyu dan dilakukan pada suhu yang lebih panas biasanya suhu

40-50ºC (Sutrisna,2016).

d) Infudasi

Ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 96-98°C selama waktu

tertentu (15-20 menit) atau dapat dilakukan dengan mencelupkan bejana infus di

dalam penangas air mendidih (Depkes R.I., 2000).

e) Dekoktasi

Dekoktasi adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai

titik didih air (Depkes R.I., 2000).

2.4 Kulit

Kulit merupakan “selimut” yang menutupi permukaan tubuh dan memiliki

fungsi utama sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan

16
luar (Tranggono dan Latifah, 2007). Turunan dan organ-organ tambahannya

membentuk sistem integumen. Pada manusia, turunan kulit mencakup kuku,

rambut, dan beberapa jenis kelenjar keringat dan sebasea (Eroschenko, 2016).

2.4.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit

Secara histopatologis, kulit tersusun atas 3 lapisan utama yaitu: lapis

epidermis atau kutikel; lapis dermis (korium, kutis vera, true skin); dan lapis

subkutis (hipodermis).

Gambar 2.1 Struktur Kulit (Shai, dkk., 2009)

2.4.1.1 Lapisan epidermis/kutikula

Lapisan epidermis merupakan lapisan terluar, sebagian besar terdiri dari

epitel skuamosa yang bertingkat yang mengalami keratinisasi yang tidak memiliki

pembuluh darah (Setiadi, 2007). Ketebalan epidermis berbeda-beda pada berbagai

bagian tubuh, yang paling tebal berukuran 1 milimeter, misalnya pada telapak

kaki dan telapak tangan, dan lapisan yang tipis berukuran 0,1 milimeter terdapat

pada kelopak mata, pipi, dahi, dan perut (Tranggono dan Latifah, 2007).

Lapisan epidermis terdiri dari (Setiadi, 2007) :

a. Stratum Korneum (lapisan tanduk), yang terdiri dari sel gepeng yang mati tidak

berinti, mengandung keratin (sel tanduk).

17
b. Stratum Lusidum, merupakan sel gepeng tanpa inti, yang jelas terlihat pada

telapak kaki dan tangan dengan ketebalan empat sampai tujuh lapisan sel.

c. Stratum Granulosum, yang merupakan sel gepeng berkulit kasar dan berinti,

sel-sel tersebut terdapat hanya 2-3 lapisan yang sejajar dengan permukaan.

d. Stratum Spinosum (stratum akantosum), yaitu lapisan yang paling tebal dan

terdiri dari banyak glikogen. Sel-selnya disebut spinosum karena sel-selnya

terdiri dari sel yang bentuknya poligonal atau banyak sudut dan mempunyai

banyak tanduk (spina) dan disebut akantosum sebab sel-selnya berduri.

e. Stratum Basale (germinatifum), bentuknya silindris dengan inti yang lonjong,

didalamnya terdapat butir-butir yang halus disebut butir melanin warna. Disini

terjadi pembelahan yang cepat dan sel baru didorong masuk kelapisan

berikutnya.

2.4.1.2 Lapisan dermis

Dermis merupakan lapisan kedua dari kulit. Di dalam lapisan ini

mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf dan juga elastik,

fibrosanya padat dan terdapat folikel rambut (Setiadi, 2007). Dermis memiliki

ketebalan 0,1-0,5 cm dan mempengaruhi elastisitas kulit (Walters, 2007).

Dermis terdiri dari 2 lapisan (Setiadi, 2007) :

a. Bagian atas, pars papilare (stratum papilar)

Menonjol ke epidermis, terdiri dari serabut saraf, dan pembuluh darah

yang memberi nutrisi pada epidermis yang di atasnya.

b. Bagian bawah, pars retikulare (stratum retikularis)

Menonjol kearah sub kutan, serabut penunjang yaitu serabut kolagen,

elastis, dan serabut retikulus. Serabut kolagen tugasnya memberikan kekuatan

18
kepada kulit, dan serabut elastis tugasnya memberikan kelenturan pada kulit dan

memberi kekuatan pada alat disekitar kelenjar dan folikel rambut. Sejalan dengan

penambahan usia, deteriosasi normal pada simpul kolagen dan serat elastik

mengakibatkan pengeriputan kulit.

2.4.1.3 Subkutis atau hypodermis

Lapisan terdalam kulit adalah jaringan subkutan atau sering juga disebut

jaringan hipodermis. Lapisan ini merupakan jaringan sel-sel lemak yang terhubung

dengan dermis melalui serat kolagen dan elastin (Walters, 2007). Fungsi jaringan

subkutan adalah sebagai lapisan pelindung organ vital dari trauma dan pelindung dari

suhu dingin. Selain itu, lemak juga berfungsi sebagai cadangan energi dan

membentuk struktur tubuh (Baki dan Alexander, 2015).

2.5 Sistem Penghantaran Obat Topikal

Sistem penghantaran obat topikal didefinisikan sebagai aplikasi sejumlah

dosis dari sediaan farmasetik ke kulit sebagai pengobatan langsung terhadap

penyakit kulit sehingga menghasilkan efek lokal yang diinginkan dengan adanya

penetrasi obat melalui lapisan-lapisan kulit atau membran mukosa (Verma dkk.,

2013).

Permeasi zat aktif dari sediaan topikal melalui beberapa tahap, yaitu

penetrasi obat melalui epidermis, absorpsi oleh stratum korneum, pengangkutan

zat aktif oleh pembuluh kapiler yang berada dalam dermis (Verma dkk., 2013).

Penyampaian obat melalui kulit menjadi alternatif yang lebih diinginkan

daripada penyampaian obat secara oral. Pasien sering lupa meminum obat atau

menjadi bosan harus mengkonsumsi beberapa jenis obat dengan frekuensi yang

beberapa kali sehari. Selain itu, penyampaian obat oral sering menyebabkan

gangguan lambung dan inaktivasi sebagian obat karena first pass metabolism di

19
hati. Selain itu, absorpsi keadaan tunak suatu obat (steady absorption) melalui

kulit selama beberapa jam ataupun hari menghasilkan level dalam darah yang

lebih baik daripada yang dihasilkan dari obat oral (Kumar dkk.,2010).

2.6 Keuntungan sistem penghantaran obat topikal

Sistem penyampaian obat melalui kulit memiliki beberapa keuntungan,

antara lain:

a. Durasi kerja yang panjang sehingga frekuensi pemberian obatberkurang

b. Kenyamanan pemberianobat

c. Menghindari terjadinya gangguan absorpsi obat karena adanya perubahan pH

gastrointestinal, aktivitas enzimatik, dan interaksiobat

d. Menghasilkan level plasma yang lebihseragam

e. Menghindari efek lintas pertama oleh hati (first pass metabolism)

f. Kemudahan penghentian pemakaianobat

g. Meningkatkan kepatuhan pasien (Kumar dkk., 2010; Verma dkk.,2013).

2.7 Kerugian sistem penghantaran obat topikal

Menurut Bhowmik dkk. (2010), sistem penyampaian obat melalui kulit

memiliki beberapa kerugian, antara lain:

a. Kemungkinan terjadinya iritasi lokal

b. Kemungkinan terjadinya eritema, gatal, dan edema lokal yang disebabkan obat

ataupun bahan tambahan dalam formulasi sediaan.

2.8 Penetrasi obat melalui kulit

Penetrasi obat melalui kulit memiki jalur khusus. Ada dua jalur utama obat

berpenetrasi menembus stratum korneum, yaitu: jalur transepidermal dan jalur

transappendageal (jalur pori) (Trommer dan Neubert, 2006).

20
2.8.1 Jalur trans epidermal

Jalur absorpsi transepidermal merupakan jalur difusi melalui stratum

korneum yang terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur transselular dan jalur

interselular. Pada jalur transselular, obat melewati kulit dengan cara menembus

langsung ke lapisan lipid stratum korneum dan sitoplasma dari keratinosit yang

mati. Jalur yang lebih umum bagi obat untuk berpermeasi melalui kulit adalah

jalur interselular. Pada jalur ini, obat berpenetrasi melalui ruang antar korneosit

(Trommer dan Neubert, 2006).

2.8.2 Jalur trans appendageal

Jalur absorpsi transappendageal merupakan jalur masuknya obat melalui

folikel rambut (transfollicular) dan kelenjar keringat (transglandular) yang

disebabkan karena adanya pori-pori di antaranya, sehingga memungkinkan obat

berpenetrasi. Obat yang sangat hidrofilik, elektrolit, dan bermolekul besar dengan

difusi rendah biasanya berpenetrasi melalui jalur ini. Penetrasi obat melalui jalur

transepidermal lebih baik daripada jalur transappendageal dikarenakan luas

permukaan pada jalur transappendageal lebih sedikit (kurang dari 0,1% dari total

permukaan kulit) (Walters, 2007; Wooi dan Lau, 2015).

Appandageal
(folikel rambut, Sediaan obat Komedo
saluran keringat) (berbentuk bata)

Stratum
korneum

Matriks ekstraselululer

Gambar 2.2 Jalur penetrasi obat melalui kulit: (a) Jalur Transappendageal, (b)
Rute Transeluler, (c) Rute Ekstraselluler (b dan c merupakan Jalur
Transepidermal) (Dragicevic dan Maibach, 2015).

21
Rute transappendageal dapat menghasilkan difusi yang cepat dan segera

setelah penggunaan obat karena dapat menghilangkan waktu yang diperlukan oleh

obat untuk melintasi stratum korneum. Difusi melalui transappendageal ini dapat

terjadi dalam 5 menit dari pemakaian obat (Swarbrick dan Boylan, 1995).

2.9 Nanoemulsi

Nanoemulsi adalah sistem penyampaian obat baru yang mencakup ukuran

tetesan rata-rata mulai dari 50 sampai 1000 nm, namun biasanya rata-rata ukuran

tetesan antara 100 dan 500 nm. Istilah nanoemulsi dikatakan sebagai larutan

bening yang stabil secara termodinamika dari dua cairan yang tidak larut, seperti

minyak dan air, distabilkan oleh film antarmuka molekul surfaktan (Suyal dan

Bhatt, 2017).

Ukuran globul nanoemulsi yang sangat kecil menyebabkan sediaan terlihat

transparan. Biasanya nanoemulsi encer, sedikit tanda ketidakstabilan dapat

dengan mudah terlihat. Ukuran globul yang sangat kecil menyebabkan penurunan

gaya gravitasi yang besar dan gerak Brown yang dapat mencegah terjadinya

sedimentasi atau creaming sehingga dapat meningkatkan stabilitas fisik. Ukuran

globul yang kecil pun dapat mencegah flokulasi. Nanoemulsi dapat menghasilkan

tegangan permukaan yang sangat rendah dan luas permukaan yang besar antara

fase minyak dan air (Fanun, 2010).

Nanoemulsi memiliki beberapa keuntungan diantaranya ialah memiliki

luas permukaan yang lebih besar jika dibandingkan dengan makroemulsi sehingga

lebih efektif sebagai sistem pembawa. Selain itu, nanoemulsi juga tidak toksik

dan tidak mengiritasi sehingga dapat diaplikasikan dengan mudah melalui kulit

maupun membran mukosa (Shah dkk., 2010).

22
Nanoemulsi juga dapat meningkatkan bioavailabilitas obat, meningkatkan

absorbsi, membantu mensolubilisasi zat aktif yang bersifat hidrofob, serta

memiliki efisiensi dan penetrasi yang cepat pada sebagian obat (Devarajan dan

Ravichandran, 2011).

2.9.1 Komponen nanoemulsi

Komponen dalam nanoemulsi terdiri dari fase air, fase minyak, surfaktan,

dan kosurfaktan. Pemilihan eksipien dalam nanoemulsi tidak boleh mengiritasi

dan sensitif terhadap kulit (Drais,2016).

Fase minyak yang digunakan akan mempengaruhi ukuran droplet dan

stabilitas nanoemulsi yang terbentuk (Davidov-Pardo and McClements, 2015).

Fase minyak dalam nanoemulsi berperan sebagai pembawa yang dapat

melarutkan zat aktif yang bersifat lipofilik. Fase minyak membentuk droplet

dalam medium dispers dengan adanya bantuan surfaktan (Chen dkk., 2011).

Menurut Rhee dkk. (2001), salah satu komponen penting pada nanoemulsi

adalah surfaktan. Surfaktan merupakan komponen yang berfungsi menurunkan

tegangan muka antara fase air dan fase minyak sehingga akan terbentuk tetesan

kecil yang stabil. Adanya komponen lipofilik pada surfaktan juga akan

mempengaruhi fungsi barier kulit sehingga akan meningkatkan penetrasi obat

(Kale dan Allen, 1989).

Penggunan surfaktan saja tidak cukup untuk menurunkan tegangan

antarmuka secara optimum. Oleh karena itu, dibutuhkan kosurfaktan untuk

menurunkan tegangan antarmuka minyak-air. Penambahan kosurfaktan juga dapat

meningkatkan fluiditas pada antarmuka sehingga dapat meningkatkan entropi

sistem. Kosurfaktan juga dapat meningkatkan mobilitas ekor hidrokarbon

23
sehingga penetrasi minyak pada bagian ekor menjadi lebih besar (Gupta dkk.,

2010).

2.9.2 Metode formulasi nanoemulsi

Berdasarkan penggunaan energi pembuatan, nanoemulsi dapat diformulasi

menggunakan metode energi tinggi dan energi rendah. Metode energi tinggi

menggunakan alat dengan energi kinetik yang besar untuk memecah fase-fase

makroskopik dan membentuk nanoemulsi. Metode energi tinggi lebih efektif

dalam menghasilkan ukuran nano tetapi mungkin tidak akan cocok untuk

beberapa molekul yang tidak stabil (Saputra, 2020).

Proses pembuatan nanoemulsi energi rendah dengan metode pembalikan

fase (Phase Inversion Composition/PIC), temperatur pembalikan fase (Phase

Inversion Temperature/PIT) dan emulsifikasi spontan. Metode pembentukan

nanoemulsi energi rendah mengandalkan pembentukan emulsi secara spontan

dalam sistem dua fase karena adanya perubahan sifat interfasial. Metode ini

sangat bergantung pada kondisi lingkungan misalnya komposisi, temperatur dan

pengadukan yang dapat membentuk sediaan yang stabil (Saputra,2020).

Metode dengan energi tinggi berupa mikrofluidisasi, emulsifikasi

membran, homogenisasi tekanan tinggi, pengadukan energi tinggi dan

emulsifikasi ultrasonik (Chime dkk., 2014). Peralatan mekanik tersebut

memberikan gaya yang besar untuk menghancurkan molekul air dan minyak dan

menggabungkannya menjadi droplet nanoemulsi (Cinar,2017). Metode

Emulsifikasi spontan secara praktis diimplementasikan menjadi 3 langkah:

1. Pencampran fase organik (minyak + surfaktan)

2. Titrasifase organik ke fase berair

24
3. Pencampurn tambahan (Chime dkk.,2014).

Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil formulasi sediaan nano dengan

metode emulsifikasi spontan yaitu kecepatan pengadukan, laju penambahan fase

minyak ke dalam fase air, sifat fisikokimia, konsentrasi fase minyak, surfaktan,

kosurfaktan, rasio komponen sediaan, suhu dan pH saat proses emulsifikasi, sifat

fisikokimia zat aktif seperti hidrofilisitas/ lipofilisitas, pKa dan polaritas

(Komaiko dan McClements,2016).

2.10 Nanoemulgel

Nanoemulgel merupakan nanoemulsi, dapat berupa tipe minyak dalam air

(m/a) ataupun air dalam minyak (a/m) yang selanjutnya diubah menjadi

nanoemulgel dengan menggunakan gelling agent. Nanoemulgel memiliki

karakteristik gel dengan sifat nanoemulsi yang ditingkatkan untuk aplikasi

transdermal untuk memberikan efek lokal pada kulit dan efek dermal (Pund dkk.,

2015).

Keuntungan dari nanoemulgel yaitu rendahnya iritasi pada kulit,

meningkatkan permeabilitas, dan kapasitas muatan obat tinggi untuk

penyampaian topikal ketika dibandingkan dengan pembawa lain seperti

mikroemulsi, liposom atau nanopartikel solid-lipid. Keuntungan lainnya yaitu

nanoemulgel memiliki sifat yang tidak berminyak, mudah menyebar, tidak

meninggalkan bekas, larut dalam air, umur simpan lebih lama, penampilan

transparan dan menarik. Gelling agent yang ada dalam nanoemulgel mampu

membantu menurunkan tegangan antar muka sediaan sehingga meningkatkan

stabilitas dari nanoemulsi, dan meningkatkan sifat tiksotropik untuk aplikasi ke

kulit yang lebih nyaman (Choudhury dkk., 2017; Eid dkk.,2014). Nanocarrier

25
seperti nanoemulgel yang memiliki ukuran partikel atau droplet <500 nm

diaplikasikan pada permukaan kulit untuk memberikan efek lokal pada kulit,

dermal ataupun transdermal (Montenegro, 2014).

Gambar 2.3 Sketsa pembuatan sediaan nanoemulgel (Choudhury dkk., 2017).

2.10.1 Komponen nanoemulgel

Komponen utama pada nanoemulgel yaitu:

1. Minyak

Salah satu komponen terpenting pada nanoemulgel yaitu komponen lipid

seperti minyak. Ada beberapa syarat dari peneliti untuk memilih fase minyak

yang sesuai berdasarkan viskositas, permeabilitas, dan stabilitas yang

diformulasikan. Terkadang pemilihan fase minyak tergantung pada pemanfaatan

sifat pengobatan dari beberapa minyak alami. Berdasarkan sumber minyak, telah

diamati bahwa minyak sayur (asam lemak rantai panjang) memiliki sifat

emulsifikasi yang buruk, oleh karena itu menghasilkan sediaan yang tidak stabil.

Di sisi lain, sifat emulsifikasi dengan minyak yang kurang bersifat hidrofobik

ternyata lebih baik (Choudhury dkk., 2017).

2 Surfaktan

Surfaktan adalah bahan yang digunakan untuk menstabilkan campuran

yang tidak stabil secara termodinamika dari dua cairan yang tidak bercampur

26
dengan mengurangi tegangan antarmuka. Keamanan, stabilitas dan kapasitas muat

obat yang tinggi bersama dengan sifat emulsifikasi yang baik adalah persyaratan

dasar untuk surfaktan dalam mengembangkan sediaan. Surfaktan yang cocok

digunakan dalam formulasi harus teradsorpsi dengan cepat ke antarmuka dari dua

fase yang tidak dapat dipisahkan dengan menurunkan tegangan antarmuka dan

mencegah penggabungan tetesan nano (Silva dkk., 2015).

Berdasarkan sifat ionik, sistem stabilisasi diklasifikasikan ke dalam

kategori berikut: surfaktan kationik (amina dan senyawa amonium kuartener, setil

trimetil amonium bromid, dll.), surfaktan anionik (kelompok karboksilat, sodium

dodesil sulfat, dll.), surfaktan zwitterion (fosfolipid), dan surfaktan non-ionik

(Poloxamer 124 dan 188, Tween 20, 60 dan 80, Capryol 90). Mekanisme kerja

surfaktan didasarkan oleh adanya gaya tolak-menolak antara tetesan nano karena

adanya muatan ionik yang serupa di bagian kepala molekul surfaktan pada

antarmuka fase terdispersi dan kontinu mencegah agregasi tetesan sehingga

nanoemulsi stabil secara termodinamika (Mason dkk.,2006).

Efisiensi emulsifikasi berhubungan denagan nilai keseimbangan

hidrofilik- lipofilik (HLB) dari surfaktan. Umumnya, surfaktan dengan HLB 12-

15 dianggap paling efisien sebagai emulsifier (Zhang dkk., 2015).

3. Kosurfaktan

Kosurfaktan membantu surfaktan dalam sistem nanoemulsi untuk

mengemulsi minyak dalam air. Dalam sistem itu kosurfaktan dikombinasi dengan

surfaktan dan berpenetrasi ke lapisan surfakan, sehingga mempengaruhi lapisan

antarmuka, dan memberikan fluiditas yang diinginkan, menurunkan tegangan

antarmuka dan membantu proses emulsifikasi. Pemilihan kosurfaktan sangat

27
penting karena untuk melepaskan zat terapeutik atau obat lipofilik dipengaruhi

oleh interaksi antara surfaktan dan kosurfaktan. Transcutol HP, PEG-400, 1,2-

propilen glikol merupakan kosurfaktan yang sering digunakan dalam sistem

nanoemulgel dan nanoemulsi (Choudhury dkk.,2017).

2.11 Emulgel

Emulgel merupakan emulsi, bisa dalam tipe air dalam minyak atau minyak

dalam air, yang dibentuk menjadi gel dengan mencampurkan dengan zat

pembentuk gel. Emulsi juga berperan dalam penyampaian obat pelepasan

terkontrol dengan cara partikel obat terperangkap di fase internal melewati fase

eksternal ke kulit dan perlahan-lahan diserap (Kumar dkk., 2016).

Gel merupakan sistem semipadat yang mempunyai kekakuan yang

disebabkan oleh jaringan yang saling menganyam dari fase terdispersi. Perubahan

dalam temperatur dapat menyebabkan gel tertentu mendapatkan kembali ke

bentuk sol atau bentuk cairnya. Pengocokan juga dapat menyebabkan beberapa

gel menjadi encer, namun dapat kembali padat setelah dibiarkan beberapa saat

(tiksotropi). Gelling agent sistem emulsi memungkinkan formulasi menjadi stabil

dengan menurunkan tegangan permukaannya (Jones, 2008; Ansel, 2005).

2.12 Komponen Formulasi Nanoemulsi dan Nanoemulgel pada Penelitian

2.12.1 Akuades

Akuades atau air suling dibuat dengan menyuling air yang dapat diminum.

Akuades merupakan cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak mempunyai

rasa, dengan rumus kimia H2O dan bobot molekul 18,02 (Ditjen POM, 1979).

Akuades merupakan pelarut yang jauh lebih baik dibandingkan hampir

semua cairan yang umum dijumpai. Senyawa yang segera melarut di dalam

28
akuades mencakup berbagai senyawa organik netral yang mempunyai gugus

fungsional polar seperti gula, alkohol, aldehida, dan keton. Kelarutannya

disebabkan oleh kecenderungan molekul akuades untuk membentuk ikatan

hidrogen dengan gugus hidroksil gula dan alkohol (Lehninger, 1982).

2.12.2 Tween 80

Tween 80 atau Polisorbat-80 adalah hasil kondensasi oleat dari sorbitol

dan anhidratnya dengan etilenoksida. Tween 80 merupakan cairan kental seperti

minyak, jernih, kuning, bau asam lemak dan khas. Tween 80 mudah larut dalam

air, dalam etanol (95%) P, dalam etil asetat P dan dalam metanol P; sukar larut

dalam paraffin cair P dan dalam minyak biji kapas P (Ditjen POM,1979).

Tween 80 memiliki bobot jenis 1,08g/cm3, nilai HLB 15 dan pH 6,0-8,0

dalam 5% (b/v) zat larutan berair. Tween 80 berfungsi sebagai emulsifying agent

pada tipe emulsi m/a., surfaktan nonionik, bahan penstabil, bahan pensuspensi,

dan bahan pembasa. Surfaktan non ionik seperti Tween 80 memiliki toksisitas

yang lebih rendah dibandingkan surfaktan ionik. Biasanya konsentrasi surfaktan

sebesar 30% sampai 60% b/b (Rowe dkk., 2009; Bagadi,2015).

Struktur Tween 80 sangat berpengaruh terhadap peningkatan penetrasi

sediaan. Tween 80 termasuk ke dalam golongan surfaktan nonionik. Surfaktan

nonionik meningkatkan absropsi dengan menginduksi fluidisasi lipid pada stratum

korneum. Terdapat dua mekanisme yang menentukan laju penetrasi obat

menggunakan surfaktan nonionik. Mula-mula surfaktan berpenetrasi ke dalam

area intrasel stratum korneum, meningkatkan fluiditasnya, kemudian melarutkan

komponen lipid. Selanjutnya, penetrasi surfaktan pada matriks interseluler diikuti

29
dengan interaksi dan ikatan pada filamen keratin sehingga menghasilkan

gangguan pada korneosit (Suksaeree dkk., 2014).

2.12.3 Metil paraben

Metil paraben dengan nama lain nipagin memiliki rumus kimia yaitu

C8H8O3 dengan berat molekul 152,15. Metil paraben berbentuk serbuk hablur

halus, putih, hampir tidak berbau, tidak mempunyai rasa, kemudian agak

membakar yang diikuti rasa tebal. Larut dalam 500 bagian air, dalam 20 bagian

air mendidih, dalam 3,5 bagian etanol (95%) P dan dalam 3 bagian aseton P,

mudah larut dalam eter P dan dalam larutan alkali hidroksida, larut dalam 60

bagian gliserol P panas dan dalam 40 bagian minyak lemak nabati panas, jika

didinginkan larutan tetap jernih (Rowe dkk., 2006 dan Ditjen POM,1979).

Metil paraben luas digunakan sebagai bahan pengawet untuk antimikroba

pada sediaan kosmetik, makanan, dan formulasi farmasetik. Dapat digunakan

secara tunggal ataupun kombinasi dengan jenis paraben lainnya atau bahan

antimikroba lain. Paraben efektif dalam jangkauan pH yang sangat luas dan

memiliki spektrum luas sebagai antimikroba, walaupun paraben paling efektif

terhadap ragi dan jamur. Aktivitas antimikroba meningkat seiring panjangnya

rantai bagian alkil, namun kelarutan dalam cairan encer menurun, oleh karena itu

penggunaan campuran paraben sering digunakan untuk menghasilkan sifat

pengawet yang efektif (Rowe dkk., 2006).

Metil paraben yang digunakan dalam sediaan topikal efektif pada

konsentrasi 0,02 – 0,3 %. Paraben juga lebih aktif terhadap bakteri gram positif

dibandingkan bakteri gram negatif. Senyawa paraben merupakan senyawa fenolik

dengan mekanisme kerja senyawa fenolik adalah dengan menghilangkan

30
permebilitas membran sehingga isi sitoplasma keluar dan menghambat sistem

transport elekrolit (Kabara, 1984; Rowe dkk., 2006).

2.12.4 Propil paraben

Propil paraben luas digunakan sebagai bahan pengawet untuk antijamur

pada sediaan kosmetik, makanan, dan formulasi farmasetik. Propil paraben

dengan nama lain nipasol memiliki rumus kimia C10H12O3 dan berat molekul

180,20. Propil paraben berwarna putih, hablur, tidak berbau dan tidak memiliki

rasa. Propil paraben sangat sukar larut dalam air, larut dalam 3,5 bagian etanol

(95%) P, dalam 3 bagian aseton P, dalam 140 bagian gliserol P dan dalam 40

bagian minyak lemak, mudah larut dalam larutan alkali hidroksida (Rowe dkk.,

2006 dan Ditjen POM,1979).

Konsentrasi propil paraben yang digunakan dalam sediaan farmasetika

secara topikal yaitu sebesar 0,01 – 0,6 % (Rowe dkk., 2006).

2.12.5 PEG 400

PEG 400 atau Polietilen glikol dengan nama lain karbowax memiliki

rumus kimia HOCH2(CH2OCH2)8,7CH2OH dan memiliki bobot molekul sekitar

380-420, memiliki pH 4,0-7,0. PEG 400 merupakan cairan kental jernih, tidak

berwarna atau praktis tidak berwarna, bau khas lemah, agak higroskopik dengan

bobot jenis 1,110 sampai 1,140. Kelarutan PEG 400 yaitu larut dalam air, dalam

etanol (95%)P, dalam aseton P, dalam glikol lain dan dalam hidrokarbon

aromatik, praktis tidak larut dalam eter P dan dalam hidrokarbon alifatik (Rowe

dkk., 2006; Ditjen POM,1979).

Polietilen glikol secara luas digunakan dalam berbagai macam formulasi

farmasetik termasuk sediaan parenteral, topikal, optalmik, oral dan rektal.

31
Polietilen glikol stabil, tidak iritasi pada kulit, hidrofilik. Polietilen glikol dapat

digunakan sebagai kosurfaktan dan pelarut untuk meningkatkan kelarutan pada

cairan atau karkteritik disolusi pada senyawa yang kurang larut (Rowe dkk.,

2006).

2.12.6 Virgin coconut oil (VCO)

Virgin coconut oil tidak berwarna, berbentuk kristal seperti jarum, sedikit

berbau asam ditambah bau karamel. Virgin coconut oil tidak larut dalam air, tetapi

larut dalam alkohol (1:1). pH virgin coconut oil tidak terukur karena tidak larut

dalam air. Namun karena termasuk dalam senyawa asam maka dipastikan

memiliki pH di bawah 7, berat jenis 0,883 pada suhu 20°C (Darmoyuwono,

2006).

Virgin coconut oil diproses dengan penambahan enzim dan sentrifugasi.

Virgin coconut oil dari proses tersebut banyak mengandung asam lemak jenuh

rantai sedang, diantaranya : asam laurat, asam kaprilat, asam miristrat, asam

palmirat, asam kaprat dan asam kaproat (Susilowati, 2009; Dewi dan

Aryadi,2010).

2.12.7 Karbopol 940

Karbomer biasanya digunakan pada formulasi farmasetik dalam bentuk

cairan atau semisolid sebagai bahan pesuspensi atau bahan peningkat viskositas.

Formulasi termasuk krim, gel dan salep yang digunakan untuk sediaan

optalmik,rektal dan topikal. Konsentrasi karbomer yang digunakan sebagai bahan

pembuat gel yaitu sebesar 0,5 – 2,0 % (Rowe dkk., 2006).

Karbomer larut dengan air dan dan setelah dinetralisasi, dapat larut dalam

etanol (95%) dan gliserin. Walaupun digambarkan sebagai larut, karbomer tidak

32
larut tetapi hanya mengembang sampai batas tertentu, karena karbomer adalah

mikrogel ikatan silang tiga dimensi. Karbomer memiliki pH 2,5-3,0 dalam 1%

(b/v) dispersi cairan encer sehingga dapat dinetralkan dengan penambahan basa

seperti NaOH, KOH atau amin organik (Rowe dkk., 2006; Rowe dkk., 2009).

Karbomer bersifat stabil, higroskopik, dan penambahan temperatur

berlebih dapat mengakibatkan kekentalan menurun sehingga mengurangi

stabilitas. dikarenakan sifat karbomer yang higroskopis maka serbuk karbomer

disimpan pada wadah yang kedap udara, tahan korosi dan terlindungi dari

kelembaban. Penggunaan wadah kaca atau plastik direkomendasikan untuk

penyimpanan formulasi yang mengandung karbomer. Karbomer umumnya

digunakan dalam sediaan topikal, baik cairan dan semisolid karena tidak

mengiritasi dan tidak toksik (Rowe, et al., 2009).

2.12.8 Trietanolamin (TEA)

TEA atau trietanolamin memiliki rumus kimia C 6H15NO3, berat molekul

yaitu 149,19 dan pH 10,5 dalam larutan 0,1 N yang berfungsi sebagai agen

pengalkalis atau juga bahan pengemulsi. Trietanolamin merupakan cairan kental

jernih, tidak berwarna hingga berwarna kuning pucat dengan sedikit bau amoniak.

Trietanolamin mudah larut dalam air dan dalam etanol (95%) P, larut dalam

kloroform P (Rowe dkk., 2006; Ditjen POM, 1979).

TEA digunakan secara luas dalam formulasi bidang farmasi, terutama

dalam pembentukan emulsi. TEA jika dicampur dengan asam lemak seperti asam

stearat atau asam oleat akan membentuk sabun anionik yang dapat berfungsi

sebagai pengemulsi untuk menghasilkan emulsi minyak dalam air yang stabil

(Rowe, et al., 2009).

33
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Metode penelitian ini dilakukan secara eksperimental pada laboratorium

yang meliputi penyiapan alat, identifikasi tumbuhan, pembuatan simplisia,

skrining simplisia, skrining ekstrak, karakterisasi simplisia, karakterisasi ekstrak,

pembuatan ekstrak etanol daun kersen, formulasi sediaan nanoemulgel,

nanoemulsi dan emulgel. Evaluasi sediaan meliputi pengamatan stabilitas dengan

metode cycling test, pemeriksaan organoleptik, uji homogenitas, penentuan pH

sediaan, penentuan viskositas, penentuan bobot jenis, pengukuran tegangan antar

muka, penentuan tipe emulsi, uji daya sebar, uji sentrifugasi, penentuan ukuran

partikel dan uji transmitan.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fitokimia Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara, Laboratorium Teknologi Pembuatan Sediaan Obat

Alam Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Laboratorium Farmasi Fisik

Farmasi Universitas Sumatera Utara, Laboratorium Farmasetika Dasar Fakultas

Farmasi Universitas Sumatera Utara, Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi

Sumatera Utara, dan PUI Nanomedisin Universitas Sumatera Utara.

3.3 Alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah Aluminium foil

(Klinpak), Alat-alat gelas laboratorium, Alat Sentrifugasi (Hitachi CF 16 R X II),

Alu, Ayakan mesh 60, Blender (Miyako), Botol Ekstrak, Cawan penguap,

Climatic chamber (Memmert), Corong, Corong Pisah,Deck glass, Gelas ukur

34
(OBEROI), Homogenizer (IKA RW 20 Digital), Hotplate (Fisons), Krus

Porselen, Lemari pendingin, Lumpang, Mikroskop (Zeiss), Neraca analitik

(Dickson), Object glass, Oven (Memmert), Particle Size Analyzer (Fritsch

Analysette 22 NanoTec), pH meter (Hanna Instrument), Piknometer (Pyrex),

Kertas Perkamen, Rotary evaporator (Stuart), Sonikator (Branson), Tabung

sentrifugasi (Iwaki), Tanur (Gallenkomp), Tensiometer Du Nouy (A Kruss

Hamburg),Timbangan Digital (Dickson), Vial, dan Viskometer NDJ-8S spindel 2

dan 3.

3.4 Bahan

Bahan yang digunakan adalah akuades (Merck), asam asetat anhidrida

(Merck), Asam Sulfat p (Merck), Besi klorida 10 % (Merck), CMC Na (Merck),

dapar pH asam 4,01 (Hanna Instrument), dapar pH netral 7,01 (Hanna

Instrument), ekstrak etanol daun kersen, etanol 96% (Merck), etanol 96%

(Merck), gliserin (Merck), HCl encer 2N, karbopol 940 (Lubrizol), kloralhidrat,

kloroform (EMSURE), larutan pereaksi meyer (Merck), larutan pereaksi

bouchardat (Merck), larutan pereaksi dragendorf (Merck), methanol (Merck),

metil paraben (Merck), metilen biru, minyak kelapa murni (Java Virgin Coconut

Oil), Natrium sulfat anhidrat (Merck), PEG 400 (Merck), propil paraben

(Merck), span 80, TEA (Merck), Tween 80 (Merck), Toluena (Merck).

3.5 Penyiapan Sampel Penelitian

Penyiapan sampel yang dilakukan meliputi pengambian sampel,

identifikasi taksonomi tumbuhan, karakterisasi simplisia, skrining fitokimia

simplisia, dan pembuatan Ekstrak Etanol Daun Kersen ( Muntingia calabura L..).

3.5.1 Pengambilan sampel

35
Metode pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling.

Pengambilan dilakukan di Huta 1 Kampung 3, Kecamatan Pematang Bandar,

Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara pada bulan Februari 2021, pada

pagi hari. Dengan cara memilih dan mengambil daun kersen segar berwarna hijau

tua, tidak kecoklatan, tidak kekuningan dengan ukuran yang bervariasi, utuh dan

tidak berjamur.

3.5.2 Identifikasi tumbuhan

Identifikasi tumbuhan dilakukan oleh Herbarium Medanense (MEDA)

Fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam (MIPA) Universitas Sumatera

Utara.

3.6 Pengolahan Sampel menjadi Simplisia

Daun Kersen sebanyak 5 kg yang telah dikumpulkan, disortasi terlebih

dahulu untuk memisahkan kotoran dan bahan asing lainnya seperti tanah, ranting

dan daun yang rusak serta kotoran yang lainnya. Kemudian daun dicuci dengan

air bersih mengalir, dilakukan penirisan, kemudian diangin – anginkan sampai

kering. Lalu dimasukkan ke dalam lemari pengering dengan suhu 400C-500C

selama sekitar 7 hari untuk menurunkan kadar air dan kelembapannya. Simplisia

yang sudah kering akan mengerut, berwarna hijau gelap, dan jika simplisia

diremas maka simplisia akan hancur. Sampel yang sudah kering lalu dihaluskan

dengan blender hingga menjadi serbuk simplisia kemudian diayak dengan ayakan

untuk memperoleh serbuk simplisia yang halus sehingga memudahkan proses

ekstraksi. Serbuk halus hasil blender tersebut dikumpulkan dan ditimbang sebagai

berat kering (Depkes RI., 1995).

3.7 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia

36
Pemeriksaan karakteristik simplisia seperti penetapan kadar air,

pemeriksaan makroskopik, mikroskopik, penetapan kadar sari larut air, penetapan

kadar sari larut etanol, penetapan kadar abu total dan penetapan kadar abu tidak

larut asam dilakukan menurut prosedur Ditjen POM R.I. (1979).

3.7.1 Pemeriksaan makroskopik

Pemeriksaan makroskopik simplisia dilakukan dengan mengamati bentuk,

ukuran, bau, warna, karakterisasi permukaan dan tekstur dari simplisia (Depkes

R.I., 1995).

3.7.2 Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan pada serbuk simplisia daun kersen.

Caranya: Serbuk simplisia diletakkan pada gelas objek yang ditetesi larutan

Kloralhidrat, ditutup dengan kaca penutup, kemudian diamati di bawah

mikroskop untuk melihat hasil gambar mikroskpik serbuk simplisia daun kersen

(Maghfira, 2018).

3.7.3 Penetapan kadar air

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode destilasi (Azeotropi) yang

meliputi penjenuhan toluen dan penetapan kadar air serbuk simplisia.

2.12.8.1 Penjenuhan toluen

Toluen sebanyak 200 mL dimasukkan ke dalam labu alas bulat, lalu

ditambahkan 2 mL air suling, kemudian alat dipasang dan dilakukan destilasi

selama 2 jam. Destilasi dihentikan dan dibiarkan dingin selama ± 30 menit,

kemudian volume air dalam tabung penerima dibaca dengan ketelitian 0,05 mL.

2.12.8.2 Penetapan kadar air serbuk simplisia

37
Labu berisi toluen tersebut dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah

ditimbang seksama, dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluen

mendidih, kecepatan toluen diatur 2 tetes per detik sampai sebagian besar air

terdestilasi, kemudian kecepatan destilasi dinaikkan sampai 4 tetes per detik.

Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen.

Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, tabung penerima dibiarkan mendingin pada

suhu kamar. Setelah air dan toluen memisah sempurna, volume air dibaca dengan

ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kadar air

yang terdapat dalam bahan yang diperiksa (WHO, 1992).

3.7.4 Penetapan kadar sari larut dalam air

Sebanyak 5 gram serbuk simplisia dimasukkan dalam labu bersumbat,

dimaserasi dengan 100 mlL air kloroform P (2,5 mL kloroform dalam 1000 mL

akuades) selama 24 jam, sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama dan

kemudian dibiarkan selama 18 jam. Disaring, sejumlah 20 mL filtrat diuapkan

sampai kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara, sisanya

dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Dihitung kadar dalam persen

sari yang larut dalam air (Ditjen POM R.I, 1979).

3.7.5 Penetapan kadar sari larut dalam etanol

Sebanyak 5 gram serbuk simplisia dimasukkan dalam labu bersumbat,

dimaserasi dengan 100 ml etanol selama 24 jam, sambil sesekali dikocok

selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Disaring,

sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan dangkal berdasar

rata yang telah ditara, sisanya dipanaskan pada suhu 105 oC sampai bobot tetap.

Dihitung kadar dalam persen sari yang larut dalam air (Ditjen POM R.I, 1979).

38
3.7.6 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 gram serbuk yang telah ditimbang seksama dimasukkan

dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus

dipijar sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang

telah dikeringkan di udara setelah terebntuk abu yang sempurna (Ditjen POM

R.I, 1979).

3.7.7 Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam

Abu yang telah diperoleh dalam penetapan kadar abu total dididihkan

dalam 25 mL asam klorida 2 N selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam

asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu dan dicuci dengan air

panas. Residu dan kertas saring dipijar sampai bobot tetap, kemudian didinginkan

dan ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam (Ditjen POM R.I, 1979).

3.8 Skrining Fitokimia

Skirning fitokimia serbuk simplisia meliputi pemeriksaan senyawa

alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, dan triterpenoid/steroid.

3.8.1 Pemeriksaan alkaloid

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia ditimbang, ditambahkan 1 mL asam

klorida 2 N dan 9 mL air suling, dipanaskan selama 2 menit, didinginkan dan

disaring, filtrat dipakai untuk uji alkaloid. Diambil 3 tabung reaksi, lalu kedalam

masing-masing tabung reaksi dimasukkan 0,5 mL filtrat.

a. Pada tabung I, ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer, akan terbentuk

endapan menggumpal berwarna putih atau kuning.

b. Pada tabung II, ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff, akan terbentuk

endapan berwarna coklat atau jingga kecoklatan.

39
c. Pada tabung III, ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat, akan terbentuk

endapan berwarna coklat sampai kehitaman.

Alkaloid positif jika terjadi endapan atau kekeruhan paling sedikit dua dari

tiga percobaan di atas (Depkes RI, 1995).

3.8.2 Pemeriksaan saponin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia ditimbang, dimasukkan kedalam tabung

reaksi, ditambahkan 10 mL air suling panas, didinginkan, kemudian dikocok kuat-

kuat selama 10 detik. Saponin positif jika terbentuk busa yang stabil tidak kurang

dari 10 menit setinggi 1 sampai 10 cm dan dengan penambahan 1 tetes asam

klorida 2 N buih tidak hilang (Ditjen POM, 1995).

3.8.3 Pemeriksaan flavonoid

Sebanyak 10 gram serbuk simplisia kemudian ditambahkan 100 mL

akuades, dididihkan selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas. Filtrat

yang diperoleh kemudian diambil 5 ml lalu ditambahkan 0,1 g serbuk Mg dan 1

mL HCl pekat dan 2 mL amil alkohol, dikocok, dan dibiarkan memisah.

Flavonoida positif jika terjadi warna merah, kuning, jingga pada lapisan amil

alkohol (Marjoni, 2016).

3.8.4 Pemeriksaan tanin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia ditimbang, disari dengan 10 mL air suling

lalu disaring, filtratnya diencerkan dengan air sampai tidak berwarna. Larutan

diambil sebanyak 2 mL dan ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%.

Jika terjadi warna biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Ditjen

POM, 1995).

40
3.8.5 Pemeriksaan triterpenoid / steroid

Sebanyak 1 g serbuk simplisia ditimbang, dimaserasi dengan 20 mL n-

heksan selama 2 jam, disaring lalu filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Pada

sisa ditambahkan 20 tetes asam asetat anhidrida dan 1 tetes asam sulfat pekat

(pereaksi Lieberman-Burchard), timbulnya warna biru atau biru hijau

menunjukkan adanya steroid, sedangkan warna merah, merah muda atau ungu

menunjukkan adanya triterpenoid (Harborne, 1987).

3.9 Pembuatan Ekstrak

Pembuatan ekstrak dari serbuk kering simplisia dilakukan dengan cara

maserasi menggunakan pelarut yang sesuai. Gunakan pelarut yang dapat menyari

sebagian besar metabolit sekunder yang terkandung dalam serbuk simplisia.

Kecuali dinyatakan lain dalam monografi, gunakan etanol 96%. Masukkan satu

bagian serbuk kering simplisia kedalam maserator, ditambahkan 10 bagian

pelarut. Maserasi serbuk simplisia selama 6 jam pertama sambil sesekali diaduk,

kemudian diamkan selama 18 jam. Pisahkan maserat dengan cara sentrifugasi,

dekantasi atau filtrasi. Ulangi proses penyarian sekurang – kurangnya satu kali

dengan jenis pelarut yang sama dan jumlah volume pelarut sebanyak setengah

kali jumlah volume pelarut pda penyarian pertama. Kumpulkan semua maserat

prtama dan kedua, Kemudian maserat uapkan dengan penguap vakum atau

penguap tekanan rendah dapat juga menggunakan (rotavapor) hingga diperoleh

ekstrak yang kental. Hitung rendemen yang diperoleh yaitu persentase bobot (b/b)

antara rendemen dengan bobot serbuk simplisia yang digunakan dengan

penimbangan. Rendemen harus mencapai angka sekurang – kurangnya

41
sebagaimana ditetapkan pada masing – masing monografi ekstrak (Kemenkes

R.I., 2017).

3.10 Standarisasi Mutu Ekstrak

3.10.1 Penetapan kadar air ekstrak

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode destilasi (Azeotropi) yang

meliputi penjenuhan toluen dan penetapan kadar air ekstrak.

1. Penjenuhan toluen

Toluen sebanyak 200 mL dimasukkan ke dalam labu alas bulat, lalu

ditambahkan 2 mL air suling, kemudian alat dipasang dan dilakukan destilasi

selama 2 jam. Destilasi dihentikan dan dibiarkan dingin selama ± 30 menit,

kemudian volume air dalam tabung penerima dibaca dengan ketelitian 0,05 mL.

2. Penetapan kadar air ekstrak

Labu berisi toluen tersebut dimasukkan 5 g ekstrak kental yang telah

ditimbang seksama, dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluen

mendidih, kecepatan toluen diatur 2 tetes per detik sampai sebagian besar air

terdestilasi, kemudian kecepatan destilasi dinaikkan sampai 4 tetes per detik.

Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen.

Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, tabung penerima dibiarkan mendingin pada

suhu kamar. Setelah air dan toluen memisah sempurna, volume air dibaca dengan

ketelitian 0,05 mL. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kadar air

yang terdapat dalam bahan yang diperiksa (WHO, 1992).

3.10.2 Penetapan kadar abu total ekstrak

Sebanyak 2 g ekstrak kental ditimbang seksama dimasukkan ke dalam

krus porselen yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus porselen

42
dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pemijaran dilakukan pada suhu 500ºC -

600ºC selama 3 jam kemudian didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot

tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (WHO, 1992).

3.10.3 Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam

Abu yang telah diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25

mL asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut asam

dikumpulkan, disaring melalui kertas saring dan dipijar sampai bobot tetap,

kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam

dihitung terhadap bahan yang dikeringkan (WHO, 1992).

3.11 Formulasi Sediaan

3.11.1 Formulasi Sediaan Nanoemulgel

Formulasi sediaan nanoemulgel ekstrak etanol daun kersen diawali dengan

pembuatan nanoemulsi dan basis gel secara terpisah kemudian ditambahkan basis

gel ke dalam nanoemulsi untuk menambah kekentalan. Pada formulasi sediaan

nanoemulgel ekstrak etanol daun kersen persentase komposisi bahan dalam

sediaan dimodifikasi dari formula nanoemulgel yang telah dilakukan pada

penelitian sebelumnya. Pada penelitian sebelumnya Purba (2019) melakukan

penelitian tentang formulasi dan Uji Aktivitas Tabir Surya dari Nanoemulgel yang

mengandung Kombinasi Anisotriazine dan VCO ( Minyak Kelapa Murni). Bahan

yang digunakan dalam penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Persentase komposisi bahan dalam sediaan nanoemulgel pada


penelitian Purba (2019).
Formula Nanoemulgel Jumlah Bahan
(%b/b)
VCO 5
Anisotriazine 2
Tween 80 26
Nanoemulsi Sorbitol 34

43
Formula Nanoemulgel Jumlah Bahan
(%b/b)
Metil paraben 0,1
Propil paraben 0,02
Akuades ad 100
Karbopol 940 2
Gel TEA 1
Akuades ad 100

3.11.1.1 Pembuatan sediaan nanoemulsi

Pada penelitian ini dilakukan modifikasi formula dari penelitian Purba

(2019) dengan melakukan orientasi. Orientasi yang dilakukan untuk mengetahui

kondisi, jenis, komposisi, dan konsentrasi bahan yang terbaik untuk menghasilkan

sediaan nanoemulsi ekstrak etanol daun kersen yang jernih dan stabil. Hasil

orientasi formula nanoemulsi ekstrak etanol daun kersen dengan variasi

konsentrasi surfaktan dan kosurfaktan dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Persentase komposisi bahan dalam nanoemulsi ekstrak etanol daun
kersen dengan variasi konsentrasi Tween 80 dan PEG 400.
Bahan Persentase bahan (%b/b)
F1 F2 F3
Ekstrak Etanol Daun
6 6 6
Kersen
VCO 5 5 5
Tween 80 34 36 38
PEG 400 26 24 22
Metil paraben 0,1 0,1 0,1
Propil paraben 0,02 0,02 0,02
Akuades ad 100 100 100

Formulasi Nanoemulsi Ekstrak Etanol Daun kersen dibuat dengan metode

emulsifikasi spontan dengan tahapan sebagai berikut :

1. Disiapkan fase minyak, yaitu ekstrak etanol daun kersen (Muntingia calabura

L..) dicampur dengan setengah dari jumlah PEG 400 kemudian ditambahkan

VCO dan dihomogenkan lalu ditambahkan sisa PEG 400 sedikit demi sedikit

sambil dihomogenkan menggunakan homogenizer.

44
2. Disiapkan fase air dengan melarutkan metil paraben dan propil paraben dalam

akuades panas di atas hotplate hingga larut sempurna, setelah itu larutan

dibiarkan agar suhunya kembali menjadi suhu kamar. Ditambahkan Tween

80 ke dalam fase air sambil diaduk menggunakan homogenizer pada

kecepatan lambat sebesar 300 rpm agar tidak berbusa.

3. Fase minyak diteteskan secara perlahan ke dalam fase air sambil

dihomogenkan dengan homogenizer pada kecepatan 300 rpm selama 2 jam

pada suhu kamar hingga homogen dan terbentuk nanoemulsi yang jernih.

3.11.1.2 Pembuatan basis gel

Ditimbang masing-masing bahan terlebih dahulu. Dilarutkan akuades

panas. Karbopol 940 ditaburkan di atas akuades panas yang berada di dalam

lumpang panas, ditutup dan dibiarkan hingga terdispersi seluruhnya, selanjutnya

dihomogenkan di dalam lumpang sambil ditetesi sedikit demi sedikit TEA hingga

terbentuk basis gel yang transparan dan homogen. Persentase komposisi bahan

untuk pembuatan basis gel dapat dilihat pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3 Persentase komposisi bahan dalam basis gel


Bahan Basis Gel Persentase (%b/b)
Karbopol 940 1
TEA q.s
Akuades ad 100

3.11.1.3 Pembuatan sediaan nanoemulgel ekstrak etanol daun kersen

Pembuatan nanoemulgel dibuat dengan mencampurkan sediaan

nanoemulsi dan basis gel dengan perbandingan tertentu kemudian disonikasi

selama 30 menit. Pada orientasi formula nanoemulgel telah dilakukan percobaan

pembuatan sediaan dengan perbandingan basis gel dan nanoemulsi 1:4 didapatkan

hasil dengan tampilan fisik yaitu coklat kehitaman dan ukuran globul sebesar

45
200,84 nm – 193,84 nm. Jumlah komposisi bahan dalam nanoemulgel ekstrak

etanol daun kersen (Muntingia calabura L..) dengan variasi konsentrasi ekstrak

dapat dilihat pada Tabel 3.4

Tabel 3.4 Persentase komposisi bahan dalam nanoemulgel ekstrak etanol daun
kersen
Persentase bahan (%b/b)
Bahan Nanoemulgel
F1 F2 F3
Ekstrak Etanol Daun
6 6 6
kersen
Tween 80 34 36 38
PEG 400 26 24 22
VCO 5 5 5
Metil paraben 0,1 0,1 0,1
Propil paraben 0,02 0,02 0,02
Basis gel 20 20 20
Akuades ad 100 100 100

3.11.2 Formulasi sediaan emulgel ekstrak etanol daun kersen

Sediaan emulgel dibuat untuk membandingkan stabilitas terhadap sediaan

nanoemulgel. Dalam pembuatan emulgel, emulsi dan basis gel dibuat terpisah

terlebih dahulu kemudian dicampurkan dan dihomogenkan di dalam

lumpang.Pembuatan emulsi menggunakan pemanasan hingga kedua fase yaitu

fase minyak dan fase air memiliki suhu yang cukup tinggi yaitu 60°C. Pada

formulasi sediaan emulsi, persentase komposisi bahan dalam emulsi dimodifikasi

dari formula emulsi yang telah dilakukan pada penelitian sebelumnya. Pada

penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Hakim (2017) komposisi bahan

yang digunakan dalam penelitian tersebut tertera pada Tabel 3.5

Tabel 3.5 Formulasi emulgel oleh Hakim, 2017


Bahan Komposisi %b/b
Minyak zaitun ekstrak murni 5
Tween 80 1,25
Span 80 3,73
Metil paraben 0,1
Propil paraben 0,02

46
Propilen glikol 10
Gliserin 13
CMC Na 1
Akuades ad 100

Tabel 3.6 Formulasi emulgel hasil modifikasi dari Hakim, 2017.


Perbandingan
Bahan Emulgel Persentase (%b/b) Emulsi dengan
Gel
Bahan Emulsi
Ekstrak Etanol Daun Kersen 6,25
Virgin Coconut Oil 5
CMC Na 1
Tween 80 1,25
Span 80 3,73 80 g
Metil paraben 0,1
Propil paraben 0,02
Gliserin 13
PEG 400 10
Akuades ad 100
Basis Gel
Karbopol 940 1,5
20 g
TEA q.s
Akuades ad 100
Emulgel 100 g

Pada penelitian ini, Sediaan emulgel dibuat dengan perbandingan antara

emulsi dan basis gel 4: 1 seperti yang tertera pada Tabel 3.6 yaitu 80 gram emulsi

ditambahkan dengan basis gel 20 gram sehingga diperoleh 100 gram emulgel

dengan konsentrasi ekstrak etanol daun kersen 6,25% dan emugel yang diperoleh

berwarna hijau kecoklatan.

Pada proses pembuatan emulgel, dibuat terlebih dahulu masing-masing

komponen gel dan emulsi, selanjutnya kedua komponen tersebut dicampurkan

(Preeti dan Gnanaranjan, 2013).

1. Karbopol 940 sebanyak 1,5 gram ditambahkan dengan akuades hangat hingga

terdispersi seluruhnya dan dihomogenkan di dalam lumpang panas hingga

membentuk basis gel yang bening. Kemudian ditetesi TEA untuk menetralkan

47
basis gel. Kemudian campuran ini dihomogenkan kembali di dalam lumpang

dalam suhu ruang dan terbentuk masssa gel (massa1).

2. Fase minyak : dicampurkan virgin coconut oil 5% dan 3,73 g span 80 yang

telah ditimbang ke dalam gelas beaker dan diaduk homogen, selanjutnya

dipanaskan fase minyak pada suhu 60°C.

3. Fase air : dicampurkan akuades, 0,1 g metil paraben, 0,02 g propil paraben, 10

g PEG 400, yang telah ditimbang ke dalam gelas beaker dan diaduk homogen.

Selanjutnya dimasukkan 1,25 g Tween 80 yang telah ditimbang ke dalam fase

air dan diaduk homogen, dimasukkan 13 g gliserin yang telah ditimbang ke

dalam fase air. Selanjutnya fase air dipanaskan pada suhu 60°C hingga larut.

4. Dikembangkan massa CMC Na di dalam lumpang panas dengan aquadest

yang telah dipanaskan sebanyak 20 kali massa CMC Na hingga terbentuk

massa larutan yang kental dan transparan.

5. Ditambahkan fase minyak yang telah dipanaskan ke dalam lumpang yang

berisi larutan CMC Na kemudian dihomogenkan.

6. Ditambahkan fase air yang telah dipanaskan sedikit demi sedikit ke dalam

lumpang sambil digerus cepat hingga terbentuk massa emulsi (massa 2).

7. Ditambahkan Ekstrak Etanol Daun Kersen sebanyak 6,25 g kedalam massa 2

sedikit demi sedikit sambil digerus.

8. Kemudian dimasukkan ke dalam massa 1 (basis gel) dengan perbandingan 4:1

yaitu emulsi 80 gram dan basis gel 20 gram lalu digerus homogen hingga

membentuk emulgel.

48
3.12 Evaluasi Sediaan Nanoemulgel

3.12.1 Penentuan ukuran globul nanoemulgel

Penentuan ukuran globul di Laboratorium Pusat Unggulan Inovasi

Nanomedicine USU Medan menggunakan alat Particle Size Analyzer Fritsch

Analysette 22 NanoTec pada suhu kamar. Prinsip Kerja PSA yaitu ketika cahaya

(laser) dihamburkan oleh kumpulan partikel. Sudut cahaya hamburan berbanding

terbalik dengan ukuran partikel. Semakin besar sudut hamburan maka, semakin

kecil ukuran partikel (Lusi, 2011).

3.12.2 Organoleptik

Formula dilakukan pengamatan secara visual terhadap bau, warna, bentuk

atau konsistensi yang diamati secara visual (Depkes R.I., 1995). Uji organoleptik

dilakukan pada setiap formula yang disimpan selama 6 minggu pada suhu kamar

dan pengamatan dilakukan setiap minggu, bagian yang diamati berupa perubahan

warna, bau, bentuk dan pemisahan fase (Syahfitri dkk., 2020).

3.12.3 Penentuan pH sediaan

Penentuan pH sediaan dilakukan dengan menggunakan pH meter Hanna

Instrument dengan cara yaitu alat terlebih dahulu dikalibrasi dengan

menggunakan larutan dapar standar pH netral (pH 7,01) dan larutan dapar pH

asam (pH 4,01) hingga alat menunjukkan harga pH tersebut. Kemudian elektroda

dicuci dengan air suling lalu dikeringkan dengan kertas tisu. Kemudian elektroda

dicelupkan dalam sampel, yang telah dibuat sampai alat menunjukkan harga pH

yang konstan. Angka yang ditunjukkan pH meter merupakan harga pH sediaan

(Rawlins,2002).

49
3.12.4 Penentuan viskositas sediaan

Pengukuran viskositas sediaan dilakukan dengan cara sediaan dimasukkan

ke dalam beaker glass 100 mL dan dipilih nomor spindel yang sesuai. Pada

penelitian kali ini digunakan spindle nomor 2 dengan kecepatan 60 rpm.

Pengukuran ini dilakukan dengan tiga kali pengulangan di viskometer NDJ-8S.

3.12.5 Penentuan bobot jenis

Penentuan bobot jenis sediaan dilakukan pada awal setelah sediaan dibuat

dengan pengukuran sebanyak 3 kali. Bobot jenis diukur dengan menggunakan

Piknometer pada suhu kamar. Piknometer yang bersih dan kering ditimbang

(A g). Kemudian diisi dengan air sampai penuh dan ditimbang (A1g).

Airdikeluarkan dari piknometer dan piknometer dibersihkan. Sediaan diisikan

dalam piknometer sampai penuh dan ditimbang (A2 g). Bobot jenis diukur
A2-A
denganperhitungan sebagai berikut: A1-A

3.12.6 Pengukuran tegangan permukaan

Pengukuran tegangan permukaan sediaan dilakukan pada awal setelah

sediaan dibuat dengan pengukuran sebanyak 3 kali. Tegangan permukaan diukur

dengan menggunakan Tensiometer Du Nouy pada suhu kamar. Prinsip alat ini

adalah gaya yang diperlukan untuk melepaskan suatu cincin platina iridium yang

dicelupkan pada permukaan sebanding dengan tegangan permukaan dari cairan

tersebut (Voight, 1994). Tensiometer terlebih dahulu dikalibrasi dengan

menggunakan akuades (Tegangan permukaan teoritis= 72,75 dyne/cm).

Teoritis
Faktor koreksi = praktek

Faktor koreksi merupakan hasil bagi teoritis dibagi hasil yang diperoleh.

Petunjuk harus digeser terlebih dahulu ke posisi 0 untuk melakukan pengukuran.

50
Lalu sediaan dimasukkan ke dalam gelas kaca yang diletakkan di meja

pengukuran. Meja pengukuran dinaikkan dengan hati-hati sampai cincin platina-

iridium terletak di tengah-tengah sediaan lalu meja pengukuran dikunci dan knop

diputar sampai cincin platina-iridium terlepas dari permukaan sediaan (Fisher,

2008)

3.12.7 Penentuan tipe emulsi

Penentuan tipe emulsi dilakukan dengan cara sejumlah tertentu diletakkan

di kaca objek, ditambahkan satu tetes metilen biru, diaduk dengan batang

pengaduk, bila metilen biru tersebar merata berarti sediaan tipe minyak

dalamair,tetapi jika warna hanya berupa bintik-bintik biru, berarti sediaan tipe air

dalam minyak (Depkes RI, 1985).

3.12.8 Penentuan uji homogenitas

Pengujian ini dilakukan menggunakan 2 kaca objek. Sejumlah tertentu

sediaan dioleskan pada sekeping kaca objek dan kemudian kaca objek yang

lainnya ditempelkan pada kaca objek yang sudah diolesi sediaan. Suatu sediaan

harus menunjukkan susunan yang homogen dan tidak terlihat adanya butiran

kasar (Ditjen POM, 1979).

3.12.9 Pengujian diameter daya sebar sediaan

Uji diameter daya sebar sediaan dilakukan yaitu menimbang sediaan

sebanyak 1 gram dan kemudian diletakkan di tengah kaca plat horizontal (20 cm x

20 cm). Di atas sediaan diletakkan kaca lain dan didiamkan selama 1 menit.

Bobot standar yang diaplikasikan pada plat kaca adalah 125 gram (Dixit dkk.,

2013).

51
3.12.10 Uji Transmitan

Pengujian persen transmitan dilakukan dengan cara sebanyak 0,1 mL

sediaan nanoemulgel ekstrak etanol daun kersen diencerkan hingga 100 mL

menggunakan akuades. Pengukuran persen transmitan dilakukan pada panjang

gelombang 650 nm menggunakan air suling sebagai blanko. Pengukuran

dilakukan menggunakan spektrofotometer UV-Vis (Priani dkk, 2020)

3.12.11 Penentuan uji stabilitas fisik

3.12.11.1 Stabilitas selama penyimpanan pada suhu rendah

Sampel nanoemulgel disimpan pada suhu rendah (4±2°C) selama 12

minggu kemudian dilakukan pengamatan selama 12 minggu lalu dilakukan

pengamatan organoleptis (perubahan warna, bau, pemisahan fase, kejernihan) dan

pengukuran pH, dengan pengamatan setiap 2 minggu sekali (Wihelmina, 2011).

3.12.11.2 Stabilitas selama penyimpanan pada suhu kamar

Sampel nanoemulgel disimpan pada suhu kamar (28±2°C) selama 12

minggu kemudian dilakukan pengamatan selama 12 minggu lalu dilakukan

pengamatan organoleptis (perubahan warna, bau, pemisahan fase, kejernihan) dan

pengukuran pH, dengan pengamatan setiap 2 minggu sekali (Wihelmina, 2011).

3.12.11.3 Stabilitas selama penyimpanan pada suhu tinggi

Sampel nanoemulgel disimpan pada suhu tinggi (40±2°C) selama 12

minggu kemudian dilakukan pengamatan selama 12 minggu lalu dilakukan

pengamatan organoleptis (perubahan warna, bau, pemisahan fase, kejernihan) dan

pengukuran pH, dengan pengamatan setiap 2 minggu sekali (Wihelmina, 2011).

52
3.12.11.4 Cycling test

Sampel nanoemulgel disimpan pada suhu 4±2°C selama 24 jam, lalu

dipindahkan ke dalam oven yang bersuhu 40±2°C selama 24 jam. Perlakuan ini

adalah satu siklus. Percobaan diulang sebanyak 6 siklus dan diamati adanya

pemisahan fase. Kondisi fisik nanoemulgel dibandingkan setelah percobaan

dengan kondisi fisik nanoemulgel sebelumnya (Wihelmina, 2011).

3.12.11.5 Uji sentrifugasi

Uji sentrifugasi dilakukan pada awal setelah sediaan dibuat dengan

pengukuran sebanyak 1 kali. Sediaan nanoemulgel dimasukkan ke dalam tabung

sentrifugasi kemudian dilakukan sentrifugasi pada kecepatan 3750 rpm selama 5

jam (Lachman dkk., 1994).

53
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan

Identifikasi tumbuhan yang dilakukan di Herbarium Medanense,

Universitas Sumatera Utara, Medan, menyatakan bahwa tumbuhan yang

digunakan adalah Daun Kersen (Muntingia calabura L..). Hasil identifikasi

tumbuhan dapat dilihat pada Lampiran 1.

4.2 Hasil Karakterisasi Simplisia Daun Kersen

Hasil pemeriksaan makroskopik menunjukkan simplisia daun kersen

berwarna hijau tua, memiliki permukaan daun yang kesat, bagian bawah daun

sedikit berbulu, sisi daun satu dengan yang lainnya tidak simetris (sisi helai daun

lebih panjang dari sisi yang lainnya), berbau khas, helaian daun berbentuk keriput,

ujung daun runcing, dengan tulang daun menyirip, dan panjang rata-rata simplisia

daun sebesar 5,4-10,2 cm dan lebar 1,6- 4,1 cm.

Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia daun kersen

menunjukkan adanya rambut penutup, rambut glandular, berkas pembuluh, resin,

trakea, jaringan tiang dan stomata. Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia dan

mikroskopik serbuk simplisia dari daun kersen dapat dilihat masing- masing pada

Lampiran 4 dan Lampiran 5. Hasil pemeriksaan karakterisasi serbuk simplisia

daun kersen dapat dilihat sebagai berikut pada Tabel 4.1. Hasil perhitungan

pemeriksaan karakterisasi serbuk simplisia daun kersen dapat dilihat pada

Lampiran 6 dan gambar hasil karakterisasi serbuk simplisia dapat dilihat pada

Lampiran 19.

54
Tabel 4.1 Hasil pemeriksaan karakterisasi serbuk simplisia daun kersen
No. Pemeriksaan Hasil
1. Kadar Air 2,6%
2. Kadar Sari Larut Etanol 21,1%
3. Kadar Sari Larut Air 10,84 %
4. Kadar Abu Total 13,46 %
5. Kadar Abu Tak Larut Asam 6,38 %

Hasil penetapan kadar air simplisia daun kersen diperoleh sebesar 2,6%.

Hal ini sesuai dengan standarisasi kadar air simplisia secara umum dengan syarat

tidak lebih dari 10% (Depkes R.I., 1995). Penetapan kadar air dilakukan untuk

menetapkan kadar residu air dan memberikan batasan minimal tentang besarnya

kandungan air dalam simplisia setelah melewati proses pengeringan hingga

konstan. Menurut Lestari dkk. (2018), kadar air yang terlalu tinggi lebih dari 10 %

merupakan indikator bahwa simplisia dapat ditumbuhi jamur sehingga bahan aktif

yang terkandung di dalam simplisia lebih mudah terurai.

Penetapan kadar sari larut air dan etanol dilakukan dengan metode

gravimetri. Penetapan kadar ini dilakukan untuk memberikan gambaran awal

jumlah senyawa yang dapat tersari dengan pelarut air dan etanol dari suatu

simplisa. Penetapan kadar sari larut dalam air dilakukan untuk melarutkan

senyawa kimia yang bersifat polar dan kadar sari larut dalam etanol adalah untuk

melarutkan senyawa kimia yang bersifat non polar maupun polar yang terdapat di

dalam simplisia. Dari hasil pengujian karakterisasi simplisia daun kersen kadar

sari larut air yaitu 10,84% dan kadar sari larut etanol sebesar 21,1%. Penetapan

kadar sari yang terlarut dalam air lebih kecil dibandingkan dengan kadar sari yang

terlarut dalam etanol. Nurhasanah (2012) pada penelitianya menyebutkan bahwa

kadar sari larut etanol lebih besar daripada kadar sari arut air dengan persentase

masing masing 15,17% dan 5,335%. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah senyawa

55
kimia dari serbuk simplisia daun kersen lebih banyak tersari dalam etanol

dibandingkan dengan jumlah senyawa kimia yang tersari di dalam air.

Berdasarkan kepolaran dan kelarutan, senyawa yang bersifat polar akan mudah

larut dalam pelarut polar,sedangkan senyawa non polar akan mudah larut dalam

non polar (Depkes RI, 2000).

Penetapan kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam dilakukan untuk

menentukan baik tidaknya pengolahan suatu simplisia serta memberikan

gambaran kandungan mineral yang terdapat pada simplisia baik kandungan

internal maupun eksternal (Depkes RI, 2000). Data hasil pengujian menunjukkan

kadar abu total pada daun kersen sebesar 13,46% dan kadar abu tidak larut asam

pada daun kersen sebesar 6,38%, Besarnya kadar abu dan kadar abu tidak larut

asam yang diperoleh menandakan adanya pengotor yang terdapat pada simplisia

yang berasal dari tanah silikat simplisia, debu dan pasir (Handayani, dkk., 2017).

4.3 Hasil Skrining Fitokimia

Hasil skrining fitokimia terhadap simplisia & ekstrak daun kersen dapat

dilihat pada Tabel 4.2. Gambar hasil skrining fitokimia dapat dilihat pada

Lampiran 20.

Tabel 4.2 Hasil skrining fitokimia simplisia dan ekstrak daun kersen.
Senyawa metabolit Hasil
sekunder Simplisia Ekstrak
Alkaloid - -
Flavonoid + +
Tanin + +
Steroid/triterpenoid + +
Saponin + +
Keterangan:
+ : mengandung golongan senyawa metabolit sekunder
- : tidak mengandung golongan senyawa metabolit sekunder

56
Daun kersen memiliki kandungan fitokimia yang merupakan sumber

biofarmaka potensial untuk dikembangkan sebagai tanaman obat modern dalam

kehidupan manusia karena memiliki potensi sebagai antioksidan. Telah diakui

bahwa flavonoid menunjukkan aktivitas antioksidan dan efeknya sangat besar

terhadap bidang kesehatan. Flavonoid mampu mengkompleks dengan ion logam,

bekerja sebagai antioksidan dan berkaitan dengan protein seperti enzim dan

protein struktural. Sifat antioksidan dari flavonoid dapat juga menunjang efek

antiinflamasi dan antiplatelet. Seperti kebanyakan antioksidan lainnya, flavonoid

juga dapat bekerja seperti prooksidan pada keadaan tertentu (Bone dan Mills,

2000).

Tanin adalah salah satu senyawa aktif metabolit sekunder yang

mempunyai beberapa khasiat seperti sebagai astringen, anti diare, antibakteri dan

antioksidan. (Rijai, 2016; Fathurrahman dan Musfirah,2018).

4.4 Hasil Ekstraksi Daun Kersen

Proses ekstraksi daun kersen (Muntingia calabura L..) dilakukan

menggunakan metode maserasi dengan pelarut etanol 96% sebanyak 10 L,

kemudian dikurangi pelarut etanol dari ekstrak dengan rotary evaporator pada

suhu 50°C, lalu ekstrak cair yang diperoleh dipekatkan dengan oven suhu 45-

50°C hingga terbentuk ekstrakkental.

Hasil organoleptis dari ekstrak etanol daun kersen berupa cairan kental

berwarna hijau kehitaman dengan bau khas daun kersen. Berdasarkan hasil

ekstraksi, dari 1000 gram serbuk simplisia daun kesen diperoleh ekstrak kental

sebanyak 395,72 gram, sehingga didapat hasil rendemen ekstrak sebesar 39,57%.

Rendemen ekstrak yaitu perbandingan berat ekstrak yang diperoleh setelah

57
pemekatan dengan berat simplisia awal. Penetapan rendemen bertujuan untuk

mengetahui jumlah kira-kira simplisia yang dibutuhkan untuk pembuatan

sejumlah ekstrak kental. Hasil rendemen yang tinggi menunjukkan keefektifan

proses ekstraksi. Hasil perhitungan rendemen dapat dilihat pada Lampiran7.

Pelarut etanol digunakan dalam penelitian ini dikarenakan sifatnya yang

semi polar dan baik untuk ekstraksi karena dapat mengekstrak senyawa yang

polar dan senyawa yang non-polar serta relatif kurang toksik dibandingkan

metanol. Pelarut etanol juga merupakan pelarut dengan daya ekstraksi terbesar

untuk semua bahan alam (Djamal, 2012).

4.5 Hasil Pemeriksaan Karakterisasi Ekstrak Etanol Daun Kersen

Dalam rangka memperoleh ekstrak yang diinginkan sebagai produk

farmasi, maka ekstrak harus memenuhi persyaratan mutu ekstrak berdasarkan

parameter pengujian yang sesuai dalam Materia Medika Indonesia V (1989).

Hasil pemeriksaan karakterisasi ekstrak etanol daun kersen (Muntingia

calabura L..) dapat dilihat pada Tabel 4.3 dan perhitungan karakterisasi ekstrak

etanol daun kersen dapat dilihat pada Lampiran 8

Tabel 4.3 Hasil pemeriksaan karakterisasi ekstrak etanol daun kersen


No. Pemeriksaan Hasil
1. Kadar Air 2,22 %
2. Kadar Abu Total 1,77%
3. Kadar Abu Tak Larut Asam 0,26%

Berdasarkan hasil pemeriksaan karakterisasi penetapan kadar air dari

ekstrak etanol daun kersen (Muntingia caabura L..) diperoleh sebesar 2,22%

menunjukkan bahwa hasil tersebut memenuhi persyaratan penetapan kadar air.

Menurut literatur kadar air dalam ekstrak tidak boleh melebihi 10%. Hal ini untuk

menghindari cepatnya pertumbuhan jamur dalam ekstrak. Ekstrak kental yang

58
mengandung air dalam jumlah yang tinggi merupakan media tempat pertumbuhan

mikroorganisme sehingga dapat mempengaruhi dalam stabilitas (Sari, 2010).

Penetapan kadar abu total dan kadar abu tak larut asam ekstrak etanol daun

kersen diperoleh hasil kadar abu total 1,77% dan kadar abu tak larut asam 0,26%.

Syahara dan Siregar (2019) menyebutkan ekstrak etanol daun kersen (Muntingia

calabura L.) memiliki karakteristik kadar air 16,68%, kadar abu total 1,5%,

dan kadar abu tak larut asam 1,14%.

Penetapan kadar abu total digunakan sebagai indikator kualitas ekstrak.

Tingkat kadar abu total yang tinggi menunjukkan cemaran bahan anorganik

berupa logam maupun non logam yang tinggi, sehingga ekstrak yang digunakan

sebagai bahan baku produk farmasi dapat membahayakan bagi tubuh (Sari, 2010).

Hasil pemeriksaan karakterisasi penetapan kadar abu tidak larut asam

ekstrak etanol daun kersen (Muntingia calabura L..) sebesar 0,26% menunjukkan

adanya pasir atau pengotor lain dalam kadar rendah. Tujuan penetapan kadar abu

tidak larut asam untuk mengetahui seberapa banyak bahan non logam berupa

silikat atau pasir yang berasal dari luar ekstrak yang kemungkinan mencemari

ekstrak. Kadar Abu tidak larut asam yang tinggi menggambarkan adanya cemaran

selama proses ekstraksi (Sari, 2010).

4.6 Hasil Formulasi Sediaan

4.6.1 Formulasi nanoemulgel

Pada penelitian ini dilakukan formulasi sediaan nanoemulsi menggunakan

variasi konsentrasi Tween 80 sebagai surfaktan dan PEG 400 sebagai kosurfaktan

dengan perbandingan 34:26; 36:24; 38:22 dan diperoleh sediaan nanoemulsi yang

stabil, berwarna coklat kehitaman, transparan dan berbau khas. Pada formulasi

59
nanoemulgel digunakan basis gel karbomer 940 dengan konsentrasi 1% yang

diperoleh setelah melakukan orientasi dengan konsentrasi 1% dan 1,5% dengan

perbandingan nanoemulsi dan basis gel 4:1. Semua sediaan nanoemulgel ekstrak

etanol daun kersen (Muntingia calabura L..) yang dihasilkan berwarna coklat

kehitaman dan beraroma khas. Formulasi sediaan nanoemulgel ini terdiri dari ekstrak

etanol daun kersen, minyak kelapa murni (VCO), Tween 80, PEG 400, metil paraben,

propil paraben, karbomer 940, TEA, dan akuades. Ekstrak etanol daun kersen pada

formulasi ini digunakan sebagai bahan aktif, minyak kelapa murni sebagai fase minyak,

Tween 80 sebagai surfaktan, PEG 400 berfungsi sebagai kosurfaktan dan basis gel yang

dipakai yaitu karbomer 940. Hasil formulasi nanoemulgel dapat dlihat pada Gambar 4.1

dan Gambar4.2.

Gambar 4.1 Sediaan nanoemulgel ekstrak etanol daun kersen (Muntingia


calabura L..) awal pembuatan.

Gambar 4.2 Sediaan nanoemulgel ekstrak etanol daun kersen (Muntingia


calabura L..) tampak dari atas

Keterangan:
F1 : NEEDK 6% (Tween 80 (34%): PEG 400(26%))
F2 : NEEDK 6% (Tween 80 (36%): PEG 400(24%))
F3 : NEEDK 6% (Tween 80 (38%): PEG 400(22%))

Hasil formulasi nanoemulgel dalam penelitian menunjukkan hasil yang

transparan dan jernih. Semakin jernih atau semakin besar nilai transmitan maka

60
dapat diperkirakan tetesan sediaan telah mencapai ukuran nanometer. Ukuran fase

terdispersi sangat mempengaruhi penampakan sediaan. Bila sistem sediaan

memiliki ukuran globul sangat kecil dilewati cahaya, maka berkas cahaya akan

diteruskan sehingga warna larutan terlihat transparan dan transmitan yang

dihasilkan semakin besar (Wahyuningsih dan Putranti, 2015).

4.6.2 Formulasi emulgel

Konsentrasi surfaktan dan kosurfaktan yang dibutuhkan pada sediaan

emulgel lebih kecil dibandingkan konsentrasi surfaktan dan kosurfaktan yang

dibutuhkan pada sediaan nanoemulgel. Pada penelitian ini sediaan emulgel yang

dihasilkan berwarna hijau keruh kecoklatan dan berbau khas yang dapat dilihat

pada Gambar 4.3. Pada formulasi ini bahan aktif yang digunakan ialah ekstrak

etanol daun kersen (Muntingia calabura L..), sedangkan fase minyak terdiri dari

virgin coconut oil dan Span 80; fase air terdiri dari metil paraben, propil paraben,

PEG 400, Tween 80, dan gliserin; dan fase gel terdiri dari karbomer 940, TEA

dan akuades. Virgin coconut oil dalam formulasi ini berfungsi sebagai

faseminyak, karbomer 940 sebagai basis gel, CMC Na sebagai bahan pengental,

Span 80 dan Tween 80 sebagai surfaktan serta PEG 400 dan gliserin berfungsi

sebagai kosurfaktan.

Gambar 4.3 Sediaan emulgel ekstral etanol daun kersen (Muntingia calabura L..)
awal pembuatan.

61
4.7 Hasil Evaluasi Sediaan

4.7.2 Hasil pengamatan ukuran globul

Pengamatan ukuran globul dilakukan di Laboratorium Nanomedicine

Fakultas Farmasi USU dengan menggunakan alat FRITSCH Analysette 22

NanoTec Particle Size Analyzer pada suhu kamar. Diperoleh hasil rata-rata

pengukuran ukuran globul dan grafik perubahan ukuran globul nanoemulgel 0, 6,

dan 12 minggu penyimpanan pada suhu kamar. Hasil pengukuran dapat dilihat

pada Tabel 4.4 dan Gambar 4.4. Data hasil pengukuran dan distribusi ukuran

globul dapat dilihat pada Lampiran 13, Lampiran 14, Lampiran 15, Lampiran

16dan Lampiran 17

Tabel 4.4 Rata-rata ukuran globul nanoemulgel dan emulgel ekstrak etanol daun
kersen 0, 6, dan 12 minggu penyimpanan suhu kamar.
Formula Rata-rata ukuran globul (nm)
Minggu 0 Minggu 6 Minggu 12
F1 200,84 209,56 223,74
F2 196,12 205,76 215,22
F3 193,84 196,21 208,19
Emulgel 1577,34 - -
Keterangan:
F1 : NEEDK 6% (Tween 80 (34%): PEG 400(26%)).
F2 : NEEDK 6% (Tween 80 (36%): PEG 400(24%)).
F3 : NEEDK 6% (Tween 80 (38%): PEG 400(22%)).

62
Pengaruh lama penyimpanan terhadap ukuran globul
nanoemulgel
Rata - rata ukuran globul (nm) 225.00
220.00
215.00
210.00
F1
205.00
F2
200.00
F3
195.00
190.00
0 6 12
Waktu (minggu)

Gambar 4.4 Grafik lama penyimpanan nanoemulgel ekstrak etanol daun kersen
(Muntingia calabura L..) terhadap ukuran globul.

Berdasarkan hasil dari tabel dan grafik diatas menunjukkan bahwa sediaan

nanoemulgel F3 (193,84 nm) memiliki ukuran globul lebih kecil jika

dibandingkan dengan nanoemulgel F1 (200,84 nm) dan F2 (196,12 nm),

sedangkan ukuran globul emulgel yaitu sebesar 1577,34 nm. Ukuran partikel

selama penyimpanan 12 minggu meningkat seiring dengan waktu lama

penyimpanan. Sediaan nanoemulgel memiliki nilai rata-rata yang berbeda tetapi

masih berada diantara jangkauan yang diterima dalam untuk ukuran nanoemulgel

yaitu ˂500 nm (Montenegro, 2014). Penggunaan konsentrasi surfaktan dan

kosurfaktan dapat menurunkan tegangan antar muka karena adanya peningkatan

absorpsi surfaktan di antara minyak-air sehingga memperkecil ukuran globul dari

sediaan nanoemulsi (Salim dkk.,2011).

Prinsip alat yang digunakan yaitu karena adanya hamburan cahaya yang

terjadi akibat penembakan sinar laser mengenai partikel dalam sampel, cahaya

yang dihamburkan mengenai partikel nanoemulsi sehingga sampel akan bereaksi

63
menghasilkan gerak Brown, gerak acak tersebut akan dibaca oleh detektor

fotonpada sudut tertentu secara cepat sehingga dapat menentukan ukuran partikel,

semakin kecil ukuran partikel maka akan semakin cepat gerakannya (Ristian,

2013; Stephanie, 2015).

Pada penelitian ini formula 3 dinyatakan sebagai formula terbaik karena

memiliki ukuran globul paling kecil selama penyimpanan 12 minggu. Hal ini

dapat diakibatkan karena telah tercapainya konsentrasi setimbang antara surfaktan

dan kosurfaktan dengan perbandingan Tween 80 : PEG 400 (38%:22%).

Konsentrasi setimbang di mana monomer surfaktan membentuk misel disebut

konsentrasi miselisasi kritis (Critical Micellization Concentration) atau CMC

adalah suatu parameter standar dalam karakterisasi larutan surfaktan, karena

umumnya ia memperlihatkan konsentrasi minimum tercapainya struktur asosiasi

surfaktan (Wang dan Lui,2003).

Semakin kecil suatu ukuran partikel akan meningkatkan luas permukaan

kontak, semakin tinggi luas permukaan kontak maka semakin cepat bahan obat

masuk dan terabsorpsi ke dalam kulit sehingga dapat menghasilkan efek yang

diinginkan dengan optimal (Furi dan Coniwanti, 2012; Ulaen dkk., 2013).

4.7.2 Hasil pengamatan stabilitas sediaan

Sediaan nanoemulgel dan emulgel disimpan pada suhu kamar selama 12

minggu dengan pengamatan organoleptis setiap 2 minggu, diamati

perubahanwarna, bau, bentuk dan pemisahan fase pada sediaan. Hasil evaluasi

stabilitas sediaan nanoemulgel dapat dilihat pada Tabel 4.5, sediaan emulgel dapat

dilihat pada Tabel 4.6. Hasil sediaan nanoemulgel dan emulgel sebelum dan

sesudah penyimpanan 12 minggu dapat dilihat pada Gambar 4.5 dan Gambar 4.6.

64
Tabel 4.5 Data pengamatan stabilitas nanoemulgel pada penyimpanan 12
minggu
Lama Organoleptis
penyimpanan Warna Bau Bentuk Pemisahan
(minggu) Fase
F1 F2 F3 F1 F2 F3 F1 F2 F3 F1 F2 F3
0 HK HK HK Kh Kh Kh J J J - - -
2 HK HK HK Kh Kh Kh J J J - - -
4 HK HK HK Kh Kh Kh J J J - - -
6 HK HK HK Kh Kh Kh J J J - - -
8 HK HK HK Kh Kh Kh J J J - - -
10 HK HK HK Kh Kh Kh J J J - - -
12 HK HK HK Kh Kh Kh J J J - - -
Keterangan:
F1 : NEEDK 6% (Tween 80 (34%): PEG 400(26%))
F2 : NEEDK 6% (Tween 80 (36%): PEG 400(24%))
F3 : NEEDK 6% (Tween 80 (38%): PEG 400(22%))
J : Jernih; Kr : Keruh; HK : Hijau kehitaman
- : Tidak terdapat; + : Terdapat; Kh : Khas

Gambar 4.5 Sediaan nanoemulgel dan emulgel ekstrak etanol daun kersen
(Muntingia calabura L..) setelah selesai pembuatan

Gambar 4.6 Sediaan nanoemulgel dan emulgel ekstrak etanol daun kersen
(Muntingia calabura L..) sesudah penyimpanan 12 minggu.

65
Berdasarkan Tabel 4.5 dapat disimpulkan bahwa nanoemulgel F1, F2, dan

F3 stabil secara fisik. Hal ini dikarenakan bentuk, warna dan baunya tidak

berubah selama 12 minggu penyimpanan pada suhu kamar.

Tabel 4.6 Data pengamatan stabilitas emulgel pada penyimpanan 12 minggu


Lama Organoleptis
penyimpanan Warna Bau Bentuk Pemisahan
(minggu) Fase
0 HKK Kh Kental -
2 HKK Kh Kental -
4 HKK Kh Kental -
6 KK Kh Kental -
8 KK Te Kental -
10 KK Te Kental -
12 KK Te kental -
Keterangan :
- : Tidak terdapat
+ :Terdapat
Kh :Khas
Te :Tengik
HKK : Hijau keruh kecoklatan
KK : Keruh kecoklatan

Berdasarkan Tabel 4.6 menunjukkan bahwa emulgel yang disimpan pada

suhu kamar berwarna hijau keruh kecoklatan. Terdapat perubahan bau menjadi

tengik pada minggu ke- 8 dan perubahan warna pada minggu ke-6. Hal ini

menunjukkan bahwa sediaan emulgel relatif kurang stabil dibandingkan dengan

sediaan nanoemulgel. Sediaan dapat menjadi tidak stabil dikarenakan adanya

globul-globul yang bersatu dari fase terdispersi.. Kadar asam lemak bebas yang

terlalu tinggi dapat mempercepat pertumbuhan mikroorganisme yang akan

merusak komponen lemak sehingga menimbulkan bau tengik dan menyebabkan

sediaan menjadi tidak stabil (Muawanah dkk., 2014).

4.7.3 Uji sentrifugasi

Kestabilan nanoemulgel dan emulgel dapat diketahui dengan melakukan

uji sentrifugasi yang dilakukan pada awal setelah pembuatan dengan

66
pengukuransentrifugasi kemudian dilakukan sentrifugasi pada kecepatan 3750

rpm selama 5 jam (Lachman dkk., 1994). Data hasil uji sentrifugasi sediaan

nanoemulgel dan emulgel dapat dilihat pada Tabel 4.7, dan Gambar 4.7.

Tabel 4.7 Data uji sentrifugasi nanoemulgel dan emulgel ekstrak etanol daun
kersen (Muntingia calabura L..)
Formula Pemisahan fase
F1 -
F2 -
F3 -
Emulgel +
Keterangan:
F1 : NEEDK 6% (Tween 80 (34%): PEG 400(26%))
F2 : NEEDK 6% (Tween 80 (36%): PEG 400(24%))
F3 : NEEDK 6% (Tween 80 (38%): PEG 400(22%))
- : Tidak terjadi pemisahan fase
+ : Terjadi pemisahan fase

Emulgel F1 F2 F3
Gambar 4.7 Sediaan nanoemulgel dan emulgel ekstrak etanol daun kersen
(Muntingia calabura L..) sebelum uji sentrifugasi.

Emulgel F1 F2 F3
Gambar 4.8 Sediaan nanoemulgel dan emulgel ekstrak etanol daun kersen
(Muntingia calabura.) setelah uji sentrifugasi.

67
Menurut Stephanie (2015), uji sentrifugasi dilakukan untuk mengetahui

ada tidaknya pemisahan fase yang terjadi akibat adanya gaya gravitasi. Menurut

Lachman dkk., (1994) uji sentrifugasi menggambarkan kestabilan sediaan karena

pengaruh gravitasi bumi setara dengan satu tahun. Berdasarkan hasil pengujian,

sediaan nanoemulgel F1, F2, dan F3 dinyatakan memiliki kestabilan selama 1

tahun dikarenakan tidak mengalami pemisahan fase setelah disentrifugasi dengan

kecepatan 3750 rpm selama 5jam.

Prinsip kerja sentrifugasi adalah memisahkan partikel berdasarkan berat

jenis molekulnya, dengan gaya sentrifugal yang diberikan maka partikel dengan

berat jenis lebih besar akan berada dibawah dan yang memiliki berat jenis lebih

kecil akan naik ke atas. Pengujian ini bertujuan untuk menilai dan memprediksi

masa simpan sediaan (Gopala, 2016).

Pada Gambar 4.8 menunjukkan bahwa sediaan emulgel mengalami

pemisahan setelah dilakukan uji sentrifugasi dengan kecepatan 3750 rpm selama 5

jam. Hal ini dapat disimpulkan bahwa sediaan emulgel kurang stabil selama satu

tahun dibandingkan sediaan nanoemulgel dikarenakan adanya pengaruh

gayagravitasi. Emulsi yang stabil harus menunjukkan tidak adanya pemisahan

fase dengan sentrifugasi pada 2000-3000 rpm selama 5 jam (Lachman dkk.,

1994).

Menurut Boylan dan Swarbrick (2002), semakin kecil ukuran droplet fase

terdispersi maka konfigurasi droplet fase terdispersi dalam medium pendispersi

akan semakin teratur. Sesuai hukum Stokes, droplet dengan diameter yang kecil

seperti nanoemulgel mempunyai kecenderungan untuk memisah lebih lambat

dibandingkan dengan droplet yang berdiameter besar seperti emulgel.

68
4.7.4 Hasil pemeriksaan homogenitas

Pemeriksaan homogenitas dilakukan dengan mengoleskan sediaan pada

sekeping kaca atau bahan transparan lain, lalu diratakan, sediaan dikatakan

homogen jika tidak ada butiran-butiran (Ditjen POM, 1979).

Data hasil uji homogenitas nanoemulgel dan emulgel dapat dilihat pada

Gambar 4.9.

Gambar 4.9 Hasil uji homogenitas sediaan nanoemulgel dan emulgel ekstrak
etanol daun kersen (Muntingia calabura L..)
Hasil dari pemeriksaan homogenitas nanoemulgel dan emulgel tidak

ditemukan adanya butiran-butiran kasar sehingga dapat disimpulkan bahwa

sediaan nanoemulgel dan emulgel ekstrak etanol daun kersen homogen.

4.7.5 Hasil penentuan tipe emulsi sediaan

Penentuan tipe emulsi sediaan dilakukan dengan penambahan sedikit demi

sedikit biru metilen ke dalam sediaan, jika larut sewaktu diaduk, maka emulsi

tersebut adalah tipe minyak dalam air (Depkes RI, 1985). Hasil penentuan tipe

emulsi sediaan nanoemulgel dan emulgel dapat dilihat pada Gambar 4.9.

69
Gambar 4.10 Hasil penentuan tipe emulsi sediaan nanoemulgel dan emulgel
ekstrak etanol daun kersen (Muntingia calabura L..)

Berdasarkan Gambar 4.10 dapat dilihat bahwa biru metilen yang

ditambahkan ke dalam sediaan terdispersi merata sehingga dapat disimpulkan

bahwa tipe sediaan nanoemulgel dan emulgel yaitu minyak dalam air (m/a). Hal

ini dikarenakan banyaknya jumlah bahan pada formula yang bersifat hidrofilik

dibanding jumlah bahan yang bersifat hidrofobik. Hal ini dikarenakan volume

fase minyak yang digunakan dalam emulgel lebih sedikit dari fase air sehingga

fase minyak akan terdispersi ke dalam fase fase air dan membentuk emulsi tipe

m/a.

Uji tipe emulsi menggunakan dispersi zat warna yaitu metilen biru.

Metilen biru merupakan zat warna yang larut dalam air sehingga sediaan dengan

tipeminyakdalamairakanlarutdalammetilenbiru,sedangkansediaandengantipe air

dalam minyak akan menampilkan butiran butiran biru yang tidak larut dalam

senyawa polar (Mita, 2015).

4.7.6 Hasil pengukuran pH sediaan

Pengukuran pH sediaan nanoemulgel dan emulgel dilakukan dengan

menggunakan pH meter digital. Penentuan pH dilakukan setiap 2 minggu selama

penyimpanan 12 minggu pada suhu kamar. Data hasil penentuan pH dan grafik

pengaruh lama penyimpanan terhadap pH nanoemulgel dan emulgel dapat dilihat

70
pada Tabel 4.8 dan Gambar 4.11. Perhitungan pH rata-rata dapat dilihat pada

Lampiran 9.

Tabel 4.8 Data pengukuran pH nanoemulgel dan emulgel pada penyimpanan


selama 12 minggu pada suhu kamar.
Penyimpanan pH rata-rata
(minggu) F1 F2 F3 Emulgel
0 5,80 ± 0,000 5,73 ± 0,060 5,70 ± 0,000 5,77 ± 0,060
2 5,70 ± 0,000 5,67 ± 0,060 5,60 ± 0,000 5,70 ± 0,000
4 5,60 ± 0,000 5,50 ± 0,000 5,50 ± 0,000 5,57 ± 0,060
6 5,50 ± 0,000 5,40 ± 0,000 5,40 ± 0,000 5,50 ± 0,100
8 5,37 ± 0,060 5,30 ± 0,000 5,30 ± 0,000 5,27 ± 0,060
10 5,27 ± 0,058 5,20 ± 0,000 5,13 ± 0,058 5,00 ± 0,100
12 4,97 ± 0,060 4,83 ± 0,060 4,80 ± 0,000 4,90 ± 0,000
Keterangan:
F1 : NEEDK 6% (Tween 80 (34%): PEG 400(26%))
F2 : NEEDK 6% (Tween 80 (36%): PEG 400(24%))
F3 : NEEDK 6% (Tween 80 (38%): PEG 400(22%))

Berdasarkan hasil pada Tabel 4.8 dan Gambar 4.11 dapat dilihat bahwa

pH sediaan dari formula nanoemulgel dan emulgel mengalami sedikit penurunan

selama 12 minggu pada suhu kamar. Hal ini diakibatkan oleh penguraian lemak

akibat hidrolisis, adanya oksidasi, pengaruh cahaya selama penyimpanan namun

pH sediaan masih sesuai dengan pH kulit yaitu antara 4,5 – 7,0 sehingga aman

untuk digunakan dan tidak menyebabkan iritasi pada kulit (Wasitaatmadja, 1997).

Menurut Rowe, Sheskey, dan Quin (2009), penurunan pH pada sediaan

nanoemulgel dan emulgel selama 12 minggu pada suhu kamar dikarenakanadanya

kandungan ester oleat pada Tween 80 yang sensitif terhadap oksidasi sehingga

terjadilah reaksi oksidasi dan menurunkan pH sediaan.

71
Pengaruh waktu penyimpanan terhadap pH nanoemulgel
dan emulgel
pH rata - rata 6.00

5.50
F1

5.00 F2
F3
4.50 Emulgel
0 2 4 6 8 10 12
Waktu (minggu)

Gambar 4.11 Grafik pengaruh waktu penyimpanan terhadap pH nanoemulgel


dan emulgel ekstrak etanol daun kersen.

4.7.7 Hasil penentuan bobot jenis

Bobot jenis merupakan perbandingan relatif antara massa jenis suatu zat

dengan massa jenis air murni pada volume dan suhu yang sama. Penentuan bobot

jenis dilakukan sebanyak satu kali di awal setelah pembuatan sediaan dengan

pengulangan sebanyak tiga kali menggunakan alat Piknometer pada suhu kamar.

Hasil penentuan bobot jenis sediaan nanoemulsi dan emulsi tidak terlalu besar

sehingga sediaan dapat mengalir dengan baik dan mudah dituang. Data hasil

penentuan bobot jenis sediaan nanoemulgel dan emulgel tertera pada Tabel 4.9

dan perhitungan pada Lampiran10.

Tabel 4.9 Data penentuan bobot jenis sediaan nanoemulgel dan emulgel.

Formula Bobot jenis (g/mL)


F1 1,060 ± 0,0004
F2 1,091 ± 0,0002
F3 1,087 ± 0,0004
Emulgel 1,053 ± 0,0002
Keterangan:
F1 : NEEDK 6% (Tween 80 (34%): PEG 400(26%))
F2 : NEEDK 6% (Tween 80 (36%): PEG 400(24%))
F3 : NEEDK 6% (Tween 80 (38%): PEG 400(22%))

72
4.7.8 Hasil penentuan viskositas

Pengukuran stabilitas sediaan selama penyimpanan juga dapat diketahui

dari perubahan viskositas selama 12 minggu. Penentuan viskositas dilakukan

menggunakan alat Viskometer Brookfield NDJ-8S menggunakan spindel nomor 2

dengan kecepatan 60 rpm untuk nanoemulgel dan spindel nomor 3 dengan

kecepatan 60 rpm untuk emulgel pada minggu 0, 6, 12 setelah pembuatan.

Menurut Sihombing dkk. (2018), nilai respon pergeseran viskositas yang

terlalu besar selama penyimpanan menandakan adanya ketidakstabilan sediaan.

Sediaan dikatakan stabil jika pergeseran viskositas awal saat pembuatan dan

setelah penyimpanan tidak signifikan. Data hasil uji viskositas dan grafik

perubahan viskositas sediaan nanoemulgel dan emulgel ekstrak etanol daun

kersen dapat dilihat pada Tabel 4.10, Gambar 4.12 dan Gambar4.13.

Tabel 4.10 Data uji viskositas sediaan nanoemulgel ekstrak etanol daun kersen
selama 12 minggu.
Penyimpanan Viskositas (mPa.s)
(minggu) F1 F2 F3 Emulgel
0 472.17±0,29 485.17±0,29 499.17±0,00 1998,00 ± 0,00
6 438.33±0,29 463.33±0,29 467.00±0,29 1802.33 ± 0,29
12 412.50±0,00 435.50±0,00 442.17±0,29 1690.33 ± 0,29
Keterangan:
F1 : NEEDK 6% (Tween 80 (34%): PEG 400(26%))
F2 : NEEDK 6% (Tween 80 (36%): PEG 400(24%))
F3 : NEEDK 6% (Tween 80 (38%): PEG 400(22%))

73
Pengaruh lama penyimpanan terhadap viskositas
nanoemulgel
500
490
480
470
460
mPa.s

450 F1
440 F2
430
F3
420
410
400
0 6 12
Waktu (minggu)

Gambar 4.12 Grafik pengaruh waktu penyimpanan terhadap viskositas


nanoemulgel ekstrak etanol daun kersen (Muntingia calabura
L..).

Pengaruh lama penyimpanan terhadap viskositas emulgel


2000

1950

1900

1850
mPa.s

1800
Emulgel
1750

1700

1650
0 6 12
Waktu (minggu)

Gambar 4.13 Grafik pengaruh waktu penyimpanan terhadap viskositas emulgel


ekstrak etanol daun kersen (Muntingia calabura L..).

Menurut Rowe dkk. (2009), karbopol 940 diketahui mampu membentuk

struktur matriks gel yang sempurna pada pH 7,7 sehingga penurunan pH sediaan

74
dapat menyebabkan penurunan viskositas sediaan dikarenakan adanya perubahan

struktur matriks gel, keadaan ini disebut sebagai sineresis yaitu molekul air

yangterjebak dalam matriks gel keluar dari matriks dan mengakibatkan

menurunnya nilai viskositas selama penyimpanan.

Berdasarkan hasil yang diperoleh, peningkatan viskositas tiap sediaan

mengalami penurunan. Hal ini berbanding terbalik dengan penelitian yang

dilakukan Farida (2018) yang menyatakan viskositas meningkat setiap minggu

selama penyimpanan. Sedangkan menurut Harimurti dan Hidayaturahmah (2016)

waktu penyimpanan yang semakin lama dapat menurunkan viskositas.

4.7.9 Hasil pengukuran tegangan permukaan

Pengukuran tegangan permukaan dilakukan sebanyak 3 kali pada masing-

masing sediaan pada awal setelah pembuatan. Alat yang digunakan yaitu

Tensiometer Du Nouy pada suhu kamar. Data hasil pengukuran tegangan

permukaan nanoemulgel dan emulgel ekstrak etanol daun kersen dapat dilihat

pada Tabel 4.11 dan perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 12.

Tabel 4.11 Data pengukuran tegangan permukaan nanoemulgel dan emulgel


ekstrak etanol daun kersen
Formula Tegangan permukaan
(dyne/cm)
F1 37,07 ± 0,94
F2 37,31 ± 0,52
F3 36,87 ± 0,62
Emulgel 57,41 ± 0,31
Keterangan:
F1 : NEEDK 6% (Tween 80 (34%): PEG 400(26%))
F2 : NEEDK 6% (Tween 80 (36%): PEG 400(24%))
F3 : NEEDK 6% (Tween 80 (38%): PEG 400(22%))

Tegangan permukaan adalah gaya per satuan panjang pada antar muka dua

fase cair yang tidak bercampur. Pengukuran tegangan permukaan dengan

tensiometer Du Nouy dilakukan berdasarkan gaya yang diperlukan untuk

75
melepaskan suatu cincin platina-iridium yang dicelupkan pada permukaan.

Tegangan permukaan nanoemulgel yang rendah dihasilkan karena

adanyasurfaktan dan kosurfaktan yang dapat menurunkan tegangan antarmuka

minyak dan air. Kestabilan sediaan nanoemulgel semakin baik bila nanoemulgel

memiliki tegangan permukaan yang lebih kecil dari air yaitu 72,75 dyne/cm

(Martin, 1993).

4.7.10 Pengujian daya sebar sediaan

Daya sebar merupakan karakteristik yang penting dalam formulasi yang

menjamin kemudahan saat sediaan diaplikasikan ke kulit yang memengaruhi

penerimaan konsumen. Daya sebar sediaan semisolid dipisahkan menjadi semistiff

(sediaan semisolid dengan viskositas tinggi) jika diameter penyebaran 3-5 cm dan

semifluid (sediaan semisolid dengan viskositas rendah) jika diameter penyebaran

5-7 cm. Hal ini disebabkan karena daya sebar dipengaruhi oleh viskositas, dimana

semakin tinggi viskositas maka semakin kecil daya sebar (Laverius, 2011).

Berdasarkan pengujian daya sebar dapat disimpulkan bahwa sediaan

nanoemulgel dan emulgel ekstrak etanol daun kersen tergolong ke dalam jenis

sediaan semifluid. Hasil evaluasi daya sebar sediaan dapat dilihat pada Tabel 4.12

dan Gambar 4.14.

Tabel 4.12 Hasil evaluasi daya sebar sediaan nanoemulgel dan emulgel ekstrak
etanol daun kersen dengan penambahan beban.
Diameter daya sebar
No. Formula Dengan penambahan beban
0g 25 g 50 g 75 g 100 g 125 g
1. F1 4,9 cm 5,1 cm 5,7 cm 6,3 cm 6,7 cm 6,9 cm
2. F2 4,8 cm 5,1 cm 5,7 cm 6,2 cm 6,7 cm 6,8 cm
3. F3 4,4 cm 4,9 cm 5,2 cm 5,6 cm 6,1 cm 6,4 cm
4. Emulgel 3,4 cm 3,8 cm 4,3 cm 4,5 cm 4,8 cm 5,2 cm

76
Keterangan:
F1 : NEEDK 6% (Tween 80 (34%): PEG 400(26%))
F2 : NEEDK 6% (Tween 80 (36%): PEG 400(24%))
F3 : NEEDK 6% (Tween 80 (38%): PEG 400(22%))

Pengukuran Daya sebar sediaan Nanoemulgel dan Emulgel


7
6.5
6
Diameter (cm)

5.5
F1
5
F2
4.5
F3
4
Emulgel
3.5
3
0 25 50 75 100 125
Beban (gram)

Gambar 4.14 Grafik diameter daya sebar nanoemulgel dan emulgel ekstrak
etanol daun kersen (Muntingia calabura L..).

4.7.11 Hasil Uji Transmitan

Pengujian persen transmitan dilakukan dengan mengencerkan 0,1 mL

sediaan sampai 100 ml menggunakan akuades. pengukurn dilakukan pada panjang

gelombang 650 nm menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan akuades

sebagai blanko. Pengjian transmitan dilakukan untuk mengetahui formula yang

memiliki tingkat kejernihan yang paling baik. Sediaan nanoemulgel yang baik

adalah sediaan yang memiliki persen transmitan lebih dari 95%(Priani dkk, 2020).

Hasil pengujian transmitan dapat dilihat pada tabel 4.13.

Tabel 4.13 Hasil uji transmitan sediaan nanoemulgel ekstrak etanol daun kersen
(Muntingia calabura L.).
Formula Transmitan (%)
F1 92,53±0.04
F2 95,25±0.00
F3 95,53±0,04

77
Keterangan:
F1 : NEEDK 6% (Tween 80 (34%): PEG 400(26%))
F2 : NEEDK 6% (Tween 80 (36%): PEG 400(24%))
F3 : NEEDK 6% (Tween 80 (38%): PEG 400(22%))

Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa sediaan yang memiliki

persen transmitan yang memenuhi persyaratan adalah F2 (95,25±0.00) dan F3

(95,53±0,04). Sedangkan sediaan F1 (92,53±0.04) tidak memenuhi persyaratan

persen transmitan. Komposisi Tween 80 yang lebih besar pada sediaan dapat

mempengaruhi ukuran tetesan emulsi sehingga semakin kecil ukuran yang

dihasilkan semakin jernih sediaan yang diperoleh, maka persen transmitan yang

dihasilkan semakin besar (Huda dan Wahyuningsih, 2016).

4.7.12 Penentuan uji stabilitas fisik

4.7.12.1 Penyimpanan pada suhu rendah

Evaluasi data pengamatan organoleptis sediaan dilakukan selama

penyimpanan 12 minggu dengan pengamatan setiap 2 minggu, sediaan

nanoemulgel disimpan pada suhu 4±2 C dan diamati perubahan warna, bau,

bentuk, dan pemisahaan fase. Hasil evaluasi stabilitas sediaan nanoemulgel dapat

dilihat pada Tabel 4.13 dan Gambar 4.14.

78
Tabel 4.13 Data pengamatan stabilitas nanoemulgel pada penyimpanan 12
minggu pada suhu rendah

Lama Organoleptis
penyimpanan Warna Bau Bentuk Pemisahan
(minggu) fase
F1 F2 F3 F1 F2 F3 F F2 F3 F1 F2 F3
1
0 HK HK HK Kh Kh Kh J J J - - -
2 HK HK HK Kh Kh Kh J J J - - -
4 HK HK HK Kh Kh Kh J J J - - -
6 HK HK HK Kh Kh Kh J J J - - -
8 HK HK HK Kh Kh Kh J J J - - -
10 HK HK HK Kh Kh Kh J J J - - -
12 HK HK HK Kh Kh Kh J J J - - -
Keterangan:
F1 : NEEDK 6% (Tween 80 (34%): PEG 400(26%))
F2 : NEEDK 6% (Tween 80 (36%): PEG 400(24%))
F3 : NEEDK 6% (Tween 80 (38%): PEG 400(22%))
J : Jernih
Kr :Keruh
HK : Hijaukehitaman
- : Tidakterdapat
+ :Terdapat
Kh :Khas

Gambar 4.15 Hasil pengamatan terhadap stabilitas nanoemulgel ekstrak etanol


daun kersen (Muntingia calabura L..) pada suhu rendah.

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan dapat dilihat bahwa sediaan

nanoemulgel stabil secara organoleptis selama penyimpanan pada suhu rendah.

Warna, bau dan bentuk tidak berubah selama 12 minggu penyimpanan.

Nanoemulgel F1, F2, dan F3 tidak mengalami pemisahan fase selama 12 minggu

pada suhu rendah sehingga dinyatakan stabil secara fisik.

79
4.7.12.2 Penyimpanan pada suhu tinggi

Evaluasi data pengamatan organoleptis sediaan dilakukan selama

penyimpanan 12 minggu dengan pengamatan setiap 2 minggu, sediaan

nanoemulgel disimpan pada suhu 40±2oC dan diamati perubahan warna, bau,

bentuk, dan pemisahaan fase. Hasil evaluasi stabilitas sediaan nanoemulgel dapat

dilihat pada Tabel 4.14 dan Gambar 4.16.

Tabel 4.14 Data pengamatan stabilitas nanoemulgel pada penyimpanan 12


minggu pada suhu tinggi
Lama Organoleptis
penyimpanan Warna Bau Bentuk Pemisahan
(minggu) fase
F1 F2 F3 F1 F2 F3 F1 F2 F3 F1 F2 F3
0 HK HK HK Kh Kh Kh J J J - - -
2 HK HK HK Kh Kh Kh J J J - - -
4 HK HK HK Kh Kh Kh J J J - - -
6 HK HK HK Kh Kh Kh J J J - - -
8 HK HK HK Kh Kh Kh J J J - - -
10 HK HK HK Kh Kh Kh J J J - - -
12 HK HK HK Kh Kh Kh J J J - - -
Keterangan:
F1 : NEEDK6% (Tween 80 (34%): PEG 400(26%))
F2 : NEEDK6% (Tween 80 (36%): PEG 400(24%))
F3 : NEEDK6% (Tween 80 (38%): PEG 400(22%))
J : Jernih
Kr : Keruh
HK : Hijaukehitaman
- : Tidakterdapat
+ :Terdapat
Kh : Khas

Gambar 4.16 Hasil pengamatan terhadap stabilitas nanoemulgel ekstrak etanol


daun kersen (Muntingia calabura L..) pada suhu tinggi.

80
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan dapat dilihat bahwa sediaan

nanoemulgel stabil secara organoleptis selama penyimpanan pada suhu

tinggi.Warna, bau dan bentuk tidak berubah selama 12 minggu penyimpanan.

Nanoemulgel F1, F2, dan F3 tidak mengalami pemisahan fase selama 12 minggu

pada suhu tinggi sehingga dinyatakan stabil secara fisik.

4.7.13 Hasil uji cycling test

Pengujian dengan metode cycling test dilakukan dilakukan pada suhu yang

berbeda dengan rentang waktu tertentu sehingga sediaan akan mengalami stres

bervariasi. Uji ini dilakukan dengan menyimpan masing-masing formula

nanoemulgel pada suhu 4°C selama 24 jam lalu dipindahkan pada suhu 40°C

selama 24 jam. Perlakuan tersebut merupakan 1 siklus dan untuk memperjelas

perubahan yang terjadi dilakukan sebanyak 6 siklus atau 12 hari (Wihelmina,

2011).

Tabel 4.15 Hasil pengujian cycling test sediaan nanoemulgel.


Organoleptis
Formula Warna Bau Bentuk Pemisahan
fase
F1 HK Kh J -
F2 HK Kh J -
F3 HK Kh J -
Keterangan:
F1 : NEEDK6% (Tween 80 (34%): PEG 400(26%))
F2 : NEEDK6% (Tween 80 (36%): PEG 400(24%))
F3 : NEEDK6% (Tween 80 (38%): PEG 400(22%))
J : Jernih
Kr :Keruh
HK : Hijau kehitaman
- : Tidak terdapat
+ :Terdapat
Kh : Khas

81
Gambar 4.17 Hasil pengujian cycling test sediaan nanoemulgel ekstrak etanol
daun kersen (Muntingia calabura L..).

Berdasarkan hasil pengujian cycling test yang tertera pada Tabel 4.15 dan

Gambar 4.17 menunjukkan tidak adanya perubahan fisik pada sediaan setelah

dilakukan pengujian. Hal ini menunjukkan bahwa sediaan nanoemulgel ekstrak

etanol daun kersen tahan terhadap perubahan stress bervariasi yaitu perubahan

suhu yaitu suhu tinggi dan suhu rendah.

82
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan

bahwa:

1. Ekstrak etanol daun kersen (Muntingia calabura L..) dapat diformulasikan

sebagai sediaan nanoemulgel ekstrak etanol daun kersen (Muntingia

calabura L..) stabil pada 12 minggu penyimpanan, sedangkan sediaan

emulgel tidak stabil setelah 6 minggu penyimpanan.

2. Sifat fisik sediaan nanoemulgel ekstrak etanol daun kersen (Muntingia

calabura L..) dipengaruhi oleh variasi Tween 80 sebagai surfaktan dan PEG

400 sebagai kosurfaktan. Formula 3 dinyatakan sebagai formula paling baik

karena memiliki rata-rata ukuran globul yang paling kecil selama

penyimpanan yaitu sebesar 193,84 nm – 208,19nm.

5.2 Saran

Pada penelitian selanjutnya disarankan melakukan uji aktivitas antibakteri

terhadap Propionibacterium acnes dan Staphylococcus epidermidis sediaan

nanoemulgel ekstrak etanol daun kersen (Muntingia calabura L..).

83
DAFTAR PUSTAKA

Adelina, N. 2004. Aquilaria malaccensis Lam. Seed Leaflet. Forest & Landscape
Denmark and Indonesian Seed Project. 103:1.
Alvianti, N., Fitri, K. 2012. Formulasi Sediaan Krim Anti Jerawat Ekstra Etanol
DaunKersen (Muntingia calabura L.). Jurnal Dunia Farmasi. 3(1):30.
Amiruddin ZZ. 2007. Free radical scavenging activity of some plant available in
Malaysia. Iran J Pharm Therap. 6(1):87-91.
Ansel, H. C. 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi Keempat. Jakarta:
Penerbit UI Press. Halaman 158, 387-389.
Arum. Y.P., Supartono, Sudarmin, 2012. Isolasi dan Uji Daya Antimikroba
Ekstrak Daun Kersen (Muntingiacalabura), Jurnal MIPA, 35 (2):165-174.
Arum, Y.P., Supartono, Sudarmin. 2012. Isolasi Dan Uji Daya Antimikroba
Ekstrak Daun Kersen. Jurnal MIPA. 35(2):167.
Atal, C. K., dan Kapur, B. M. 1982. Cultivation and Utilization of Medicinal
Plants. Regional Research Laboratory, Jammu Tawi.
Ayuningtias, D. D. R., Nurahmanto, D., dan Rosyidi, V. A. 2017. Optimasi
Komposisi Polietilen Glikol dan Lesitin sebagai Kombinasi Surfaktan pada
Sediaan Nanoemulsi Kafein. e-Jurnal Pustaka Kesehatan. 5(1):158.
Bagadi, S. 2015. Excipients Used in Self Nanoemulsifying Drug Delivery
Systems. World Journal od Pharmaceutical Research. 4(7):1346.
Baki, G., dan Alexander, K.S. (2015). Introduction To Cosmetic Formulation And
Technology. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Halaman 235-237.
Basera, K., Bhatt, G., Kothiyal, P., dan Gupta, P. (2015). Nanoemulgel: A Novel
Formulation Approach for Topical Delivery of Hydrophobic Drugs. World
Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. 4(10):1872.
Batubara, R., Surjanto, Hanum, T. I., Handika, A., dan Affandi., I. 2020. The
Screening of Phytochemical and Antioxidant Activity of Agarwood
Leaves (Aquilaria malaccensis) from Two Sites in North Sumatra,
Indonesia. Biodiversitas. 21(4):1592.
Bhowmik, D., Chiranjib, Chandira, M., Jayakar, B., dan Sampath, K. P. 2010.
Recent Advances in Transdermal Drug Delivery System. International
Journal of PharmTech Research. 2(1):68-77.
Binawati, D. K. & Amilah, S. (2013). Effect of Muntinga calabura bioinsecticides
extract towards mortality of worm soil (Agrotis ipsilon) and armyworm
(Spodoptera exiqua) on plant leek (Allium fistolum). Wahana, 61(2):51-
57.
Bone, K. dan Mills, J. 2000. Principles and Practice of Phytoterapy. London:
Churchhill Livingstone. Halaman 34.
Boylan, J. C. dan Swarbrick, J. 2002. Encyclopedia of Pharmaceutical
Technology. Edisi 2. New York: Marcel Dekker, Inc. Halaman 1739.
BPOM RI. 2013. Peraturan Kepala Badan POM RI No. 36 Tahun 2013 Tentang
Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pengawet.
Jakarta: Badan POMRI.
Centre for Agriculture and Biosciences International. 2019. Aquilaria malaccensis
(agarwood). [online]. https://www.cabi.org/isc/datasheet/6650. [diakses:
25 Mei 2021].

84
Chellapa, P., Mohamed, A. F., Keleb, E. I., Elmahgoubi, A., Eid, A. M., Issa, Y.
S., dan Elmarzugi, N. A. 2015. Nanoemulsion and Nanoemulgel as a
Topical Formulation. IOSR Journal of Pharmacy. 5(10):43-45.
Chen, H., Khemtong, C., Yang, X., Chang, X., dan Gao, J. 2011. Nanonization
Strategies for Poorly Water-Soluble Drugs. Drug Discovery Today. 16:
354–360.
Chime, S. A., Kenechukwu, F. C., dan Attama, A. A. 2014. Nanoemulsions –
Advances in Formulation, Characterization and Applications in Drug
Delivery. Application of Nanotechnology in Drug Delivery: 81-84.
Choudhury, H., Gorain, B., Pandey, M., Chatterjee, L. A., Sengupta, P., Das, A.,
dkk. 2017. Recent Update on Nanoemulgel as Topical Drug Delivery
System. Journal of Pharmaceutical Sciences. 106(7):1739.
Cihar, K. 2017. A Review on Nanoemulsions: Preparation Methods and
Stability.Trakya University Journal of Engineering Sciences. 18(1):77.
Damayanti, H., Wikarsa, S., dan Jafar G. 2019. Formulasi Nanoemulgel Ekstrak
Kulit Manggis (Garcinia Mangostana L.). Jurnal Riset Kefarmasian
Indonesia. 1(3):1.
Darmoyuwono, W. 2006. Gaya Hidup Sehat Dengan Virgin Coconut Oil.Salatiga:
Indeks Kelompok Gramedia. Halaman 67.
Davidov-Pardo, G., dan McClements, D.J., 2015. Nutraceutical Delivery Systems:
Resveratrol Encapsulation in Grape Seed Oil Nanoemulsions Formed by
Spontaneous Emulsification. Food Chemistry. 167:205–212.
Depkes RI. 1985. Formularium Kosmetika Indonesia. Jakarta: Penerbit
Departemen Kesehatan RI. Halaman 22, 23, 84, 86, 256.
Depkes RI. 1995. Materia Medika Indonesia. Jilid IV. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta. Indonesia.
Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Halaman 5, 10-11
Devarajan, V. dan Ravichandran, V. 2011. Nanoemulsion: As Modified Drug
Delivery Tool. International Journal of Comprehensive Pharmacy. 4(1):
4- 5.
Dewi, S. S. dan Aryadi, T. 2010. Efektivitas Virgin Coconut Oil (VCO) terhadap
Kandidiasis secara InVitro. Prosiding. Seminar Nasional UNIMUS.
Semarang: Universitas Mihammadiyah Semarang. Halaman 39.
Diba, R. F., Yasni, S., dan Yuliani, S. 2014. Nanoemulsifikasi Spontan Ekstrak
Jintan Hitam dan Karateristik Produk Enkapsulasinya. Jurnal Teknologi
dan Industri Pangan. 25(2):134-138.
Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 39.
Ditjen POM. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 33.
Ditjen POM. 2008. Farmakope Herbal Indonesia. Edisi I. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 26.
Dixit, G., Ganesh, M., Vijay, G, dan Kanchan U. 2013. Formulation and
Evaluation of Polyherbal Gel for Anti-Inflammatory Activity.
International Journal of Pharmaceutical Sciences and Research. 4(3):
1187.

85
Djamal, R. 2012. Kimia Bahan Alam: Prinsip-Prinsip Dasar Isolasi dan
Identifikasi. Cetakan III. Padang: Universitas Baiturrahmah. Halaman 145.
Dragicevic, N., Maibach, H.I. 2015. Percutanaeous Penetration Enhancers
Chemical Methods in Penetration Enhancement. Berlin: Springer Berlin
Heidelberg. Halaman 11.
Drais, H.K. 2016. Development, Characterization and Evaluation of The
Piroxicam Nanoemulsion Gel as Topical Dosage Form. World Journal of
Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. 5(6):308-309.
Eid, A. M., El-Enshasy, H. A., Aziz, R., dan Elmarzugi, N. A. 2014. Preparation,
Characterization, and Anti-Inflammatory Activity of Swietenia
macrophylla Nanoemulgel. Journal of Nanomedicine and
Nanotechnology. 5(2):1-2, 5.
Endarini, L.H. 2016. Buku Ajar: Farmakognisi dan Fitokimia. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 145.
Eroschenko, V.P. (2016). Atlas Histologi. Edisi Ke Dua Belas. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Halaman 262-264.
Fanun, M. 2010. Colloids in Drug Delivery. Florida: CRC Press. Halaman 221.
Farida, E. 2018. Formulasi dan Evaluasi Sediaan Nanoemulgel
PiroksikamMenggunakan Variasi Konsentrasi Surfaktan Tween 80 dan
Kosurfaktan PEG 400. Skripsi. Fakultas Farmasi. Universitas Sumatera
Utara. Medan.
Farnsworth, N.R. 1996. Biological and Phytochemical Screening ofPlants.Journal
of Pharmaceutical Sciences. 55(3):263.
Fathurrahman, N. R. dan Musfiroh, I. 2018. Review: Teknis Analisis
Instrumentasi Senyawa Tanin. Farmaka. 16(2):450.
Febriani, D., Mulyanti, D., dan Rismawati, E., (2015). Karakterisasi Simplisia dan
Ekstrak Etanol Daun Sirsak (Annona muricata L.). Prosiding Penelitian
SPeSIA Unisba. Halaman 477.
Fernandes, A., Maharani, R., Sunarta, S., dan Rayan. 2018. Karakteristik Kimia
dan Potensi Daun Tanaman Akar Bulou (Mikania micrantha Kunth)
sebagai Obat Luka Tradisional. Jurnal Penelitian Ekosistem
Dipterokarpa. 4(2):113.
Fisher. 2008. Fisher Surface Tensional Model 21. IOWA: Fisher
Scientific.Halaman 8-10.
Furi, T. A. dan Coniwanti, P. 2012. Pengaruh Perbedaan Ukuran Partikel dari
Ampas Tebu dan Konsentrasi Natrium Bisulfit (NaHSO3) pada Proses
Pembuatan Surfaktan. Jurnal Teknik Kimia. 4(18):55.
Gopala, J. 2016. Pengaruh Kecepatan Sentrifugasi terhadap Hasil Pemeriksaan
Sedimen Urin Pagi Metode Konvensional. Skripsi. Fakultas Ilmu
Keperawatan dan Kesehatan. Universitas Muhammadiyah. Semarang.
Gupta, P. K., Pandit, J. K., Kumar, A., Swaroop, P., dan Gupta, S. 2010.
Pharmaceutical Nanotechnology Novel Nanoemulsion-High Energy
Emulsification Preparation, Evaluation, and Application. The Pharma
Research. 3:117-138.
Haki M., 2009. Efek Ekstrak Daun Talok (Muntingia Calabura L.) terhadap
Aktivitas Enzim SGPT pada Mencit yang diinduksi Karbon Tetraklorida.
Skripsi . Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Surakarta

86
Hakim, N. A. 2017. Formulasi dan Evaluasi Nanoemulsi dari Extra Virgin Olive
Oil (Minyak Zaitun Ekstra Murni) Sebagai Anti-Aging. Skripsi. Fakultas
Farmasi. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Handayani, S., Wirasutisna, K.R., dan Insanu, M. (2017). Penapisan Fitokimia dan
Karakterisasi Simplisia Daun Jambu Mawar (Syzygium Jambos Alston).
JF FIK UINAM, Volume 5 (3):179-180.
Hanifa, H.L., Diaz, E., Handayani, R. 2019. Formulation Of Kerson Leaves
(Muntingia calabura L..)Ethanol Extract And Evaluation Of Its Activity
AsAntiacne Against Propionibacterium acnes. Jurnal Ilmiah Farmako
Bahari. 10(2).:158.
Harborne, J.B. 1987. Phytochemical Methods. Bandung: Penerbit ITB. Halaman
174.
Harbone, JB, 1987. Metode fitokimia : Penuntun cara modern menganalisis
tumbuhan. Terbitan kedua . Penerbit ITB Bandung.
Harimurti, S. dan Hidayaturahmah, R. 2016. Pengaruh Variasi Konsentrasi
Karbomer Sebagai Gelling Agent Terhadap Viskositas dan pH Sediaan
Gel Antiseptik Ekstrak Etanolik Daun Sirih Merah. FKIK. 1(5):1-8.
Hayati, E. K., Ghanaim, F. A., dan Lailis, S. 2010. Fraksinasi dan Identifikasi
Senyawa Tanin pada Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L. ).
Jurnal Kimia, 4(2):193-200.
Hendra, H., Moeijopawiro, S., dan Nuringtyas, T. R. 2016. Antioxidant and
Antibacterial Activities Of Agarwood (Aquilaria malaccencis Lamk)
Leaves. AIP Conference Proceedings. 1755 (1):3.
Huda, N., dam Wahyuningsih, I. 2016. Karakterisasi Self-Nanoemulsifying Drug
Delivery System (SNEDDS) Minyak Buah Merah (Pandanus conoideus
Lam.). Jurnal Farmasi Dan Ilmu Kefarmasian Indonesia. 3(2):53.
Jivani, M. N., Patel, C. P., dan Prajapati, B. G. 2018. Nanoemulgel Innovative
Approach for Topical Gel Based Formulations. Research and Reviews
on Healthcare. 1(2):18-21.
Jones, D. 2008. FASTTrack: Pharmaceutics – Dosage Form and Design. London:
Pharmaceutical Press. Halaman 128.
Kabara, J. J. 1984. Cosmetic and Drug Preservation. New York: Marcel Dekker
Inc. Halaman 678.
Kale, N.J., Loyd, V., dan Allen, J.R. 1989. Studies on Microemulsion Using Brij
96 as Surfactant and Glycerin, Ethylene Glycol and Propylene Glycol as
Cosurfactants. International Journal Pharmacy. 57(2): 87-93.
Kosasih, E., Supriatna, N., Ana, E. 2013. Informasi singkat benih kersen/talok
(Muntingia calabura L.). Balai pembenihan Tanaman Hutan Jawa dan
Madura.
Kristanti, A.N., Aminah, N.S., Tanjung, M., dan Kurniadi, B., 2008. Buku ajar
fitokimia. Surabaya : Airlangga University Press
Kumar, D., Singh, J., Antil, M., dan Kumar., V. 2016. Emulgel-Novel Topical
Drug Delivery System- A Comprehensive Review. International Journal
of Pharmaceutical Sciences and Research. 7(12): 4734
L, Lusi. 2011. Cara Mengetahui Ukuran suatu Partikel. Banten: Nanotech
Indonesia. Halaman 14.

87
Lachman, L., Lieberman, Herbert, A., Kanig, dan Joseph, L. 1994. Teori dan
Praktek Industri Farmasi I. Edisi Ketiga. Terjemahan dari The Theory
and Practise of Industrial Pharmacy, oleh Suyatmi, S. Jakarta: UI Press.
Halaman1081-1083.
Laswati, D. T., Sundari, N. R. I., dan Anggraini, O. 2017. Pemanfaatan kersen
(Muntingia calabura, L.) sebagai alternatif produk olahan pangan: sifat
kimia dan sensoris. Jurnal JITIPARI, Vol. 4: 127-134
Laverius, M. F. 2011. Optimasi Tween 80 dan Span 80 sebagai Emulsifying
Agent serta Carbopol sebagai Gelling Agent dalam sediaan Emulgel
Photoprotector Ekstrak Teh Hijau (Camellia sinensis L.): Aplikasi
Desain Faktorial. Skripsi. Fakultas Farmasi. Universitas Sanata
Dharma.Depok.
Lehninger. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Halaman 9.
Lestari, R. F., Suhaimi, S., Wildaniah, W. 2018. Penetapan Parameter
StandarSimplisia dan Ekstrak Etanol Daun Kratom (Mitragyna speciosa
Korth) yang Tumbuh di Kabupaten Kapuas Hulu dan Kabupaten
Melawi. Akademi Farmasi Yarsi Pontianak. Pontianak. Jurnal Insan
Farmasi Indonesia, 1(1):72-84.
Lindman,B.danStilbs,P.1984.SurfactansinSolution.Volume3.NewYork:Plenum
Press. Halaman 1651.
Linder, Maria C. 2006. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Lung, K.W., Ruei, L.H., Jung, C.J. 2014. Biflavans, Flavonoids and ADihydrochalcone
from the Stem Wood of Muntingia calabura and TheirInhibitory Activities on
Neutrophil Pro-Inflammatory Responses. Molecules.Halaman 20529 – 20533
Maghfira, D. L. 2018. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Dan Fraksi Daun Okra
(Abelmoschus esculentus moench) Terhadap Escherichia coli Dan Salmonella
typhi). Skripsi. Fakultas Farmasi. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Mahardika, Sarwiyono, Surjowardojo. 2013. Ekstrak Metanol Daun Kersen
(Muntingia calabura L) Sebagai Antimikroba Alami Terhadap Bakteri
Staphylococcus Aureus Penyebab Mastisis Subklinis Pada Sapi Perah.
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang.
Marjoni, M. R. 2016. Dasar-dasar Fitokimia untuk Diploma III Farmasi. Jakarta:
Trans Info Media Press. Hal.6,7, 15, 21.
Martin, A. J., Swarbrick, dan Cammarata, A. 1993. Farmasi Fisik. Ahli bahasa
Yoshita idan Iis Aisyah. Edisi Ketiga. Jakarta: Unversitas Indonesia
Press. Halaman 940-1010.
Mason, T. G., Wilking, J. N., Meleson, K., Chang, C. B., dan Graves, S. M.
2006. Nanoemulsions: Formation, Structure, and Physical Properties.
Journal of Physics: Condensed Matter. 18(41):636.
McClements, D. J. dan Xiao, H. 2012. Potential Biological Fate of Ingested
Nanoemulsions: Influence of Particle Characteristics. Food Funct. 3(3):
202-220.
Mintowati E, Kuntorini, Setya, Maria. 2013.Struktur anatomi dan uji aktivitas
antioksidan ekstrak metanol daun kersen (Muntingia calabura).
Lampung: Program Studi Biologi FMIPA. Universitas Lambung
Mangkurat.
Mita, N. 2015. Formulasi Krim Dari Kulit Buah Kakao (Theobroma cacao L.)
Berkhasiat Antioksidan. Journal Trop. Pharmacy Chemistry. 3(1): 18.

88
Mohammed, M. 2004. Optimation of Chlorphenesin Emulgel Formulation. The
AAPS Journal. 6(3):1-7.
Montenegro, L. 2014. Nanocarriers for Skin Delivery of Cosmetic
Antioxidants. Journal of Pharmacy & Pharmacognosy Research. 2(4):
73- 92.
Muawanah, I. A. U., Setiaji, B., dan Syoufian, A. 2014. Pengaruh Konsentrasi
Virgin Coconut Oil (VCO) Terhadap Stabilitas Emulsi Kosmetik dan
Nilai Sun Protection Factor (SPF). Berkala MIPA. 24(1): 5.
Mukhriani. 2014. Ekstraksi, Pemisahan Senyawa, dan Identifikasi Senyawa
Aktif.Jurnal Kesehatan. 7(2): 361.
Nurhasanah, Nenden. 2012. Isolasi Senyawa Antioksidan Ekstrak Etanol Daun
Kersen (Muntingia calabura L..) Skripsi. Halaman 38.
Panwar, A.S., Upadhyay, N., Bairagi, M., Gujar, S., Darwhekar, G.N., dan Jain,
D.K. 2011. Emulgel : A Review. Asian Journal of Pharmacy and Life
Science. 3: 333-343.
Patel, J., Patel, A., Raval, M., dan Sheth, N., 2011. Formulation and Development
of a Self-Nanoemulsifying Drug Delivery System of Irbesartan. Journal
of Advanced Pharmaceutical Technology & Research. 2: 9–16.
Paton. 2003. Uji Daya Hambat Sari Daun Kersen (Muntingia Calabura) Pada
Pertumbuhan Salmonella Thypi. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia Politeknik Kesehatan Kendari.
Prasetyo, A.D., Sasongko, H. 2014. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol 70%
Daun Kersen (Muntingia Calabura L.) Terhadap Bakteri Bacillus subtilis
dan Shigella dysenteriae Sebagai Materi Pembelajaran Biologi SMA
Kelas X untuk Mencapai Kd 3.4 pada Kurikulum 2013. JUPEMASI-
PBIO. 1(1) : 98.
Preeti, B., dan Gnanaranjan, G. 2013. Emulgels: A Novel Formulation Approach
For Topical Delivery of Hydrophobic Drug. International Research
Journal of Pharmacy. 4(2): 12-16.
Priani, S.E., Somantri, S.Y., Aryani R. 2020. Formulasi dan Karakterisasi
SNEDDS (Self Nanoemulsifying Drug Delivery System) Mengandung
Minyak Jintan HitaM dan Minyak Zaitun. Jurnal Sains Farmasi &
Klinis. 7(1) :33 & 35.
Pund, S., Pawar, S., Gangurde, S., dan Divate, D. 2015. Transcutaneous Delivery
of Leflunomide Nanoemulgel: Mechanistic Investigation into
Physicomechanical Characteristics, In Vitro Anti-Psoriatic and Anti-
Melanoma Activity. International Journal of Pharmaceutics. 487(1-2):
148–156.
Purba, S.U. 2019. Formulasi dan Uji Aktivitas Tabir Surya dari Nanoemulgel
yang mengandung Kombinasi Anisotriazine dan Minyak Kelapa Murni.
Skripsi. Fakultas Farmasi. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Puspitasari, A.D., Mulangsri, D.A.K., Herlina. 2018. Formulasi Krim Tabir Surya
Ekstrak Etanol Daun Kersen(Muntingia calabura L.) untuk Kesehatan
Kulit. Media Litbangkes. 28(4): 268
Puspitasari,A.D., Wulandari, R.L. 2017. Aktivitas antioksidan, penetapan kadar
fenolik total dan flavonoid total ekstrak daun kersen (Muntingia
calabura L.). Pharmaciana. 7(2) : 155, 156.

89
Rawlins, E. A. 2003. Bentley’s Textbook of Pharmaceutical. Edisi 18. London:
Bailierre Tindall. Halaman 22, 355.
Rhee, Y.S., Choi, J.S., Park, E.S., dan Chi, S.C. 2001. Transdermal Delivery of
Kafein using Microemulsions. International Journal Pharmacy. 288(1-
2): 161–170.
Rijai, L. (2016). Senyawa Glikosida sebagai Bahan Farmasi Potensial secara
Kinetik. Journal of Tropical Pharmacy and Chemistry. 3(3): 216.
Ristian, I. 2013. Kajian Pengaruh Konsentrasi Perak Nitrat (AgNO3) terhadap
Ukuran Nanopartikel Perak. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Semarang. Semarang.
Robinson, T. 1995. Kandungan organik tumbuhan tinggi. Terjemahan Prof. Dr.
Kosasih Padmawinata., ITB Bandung.
Rowe, R. C., Sheskey, P. J., dan Owen, S. C. 2006 Handbook of Pharmaceutical
Excipients. Edisi kelima. Washington D.C.: Pharmaceutical Press and
American Pharmacists Association. Halaman 466, 545, 629, 794.
Rowe, R. C., Sheskey, P. J., dan Quinn, M. E. 2009. Handbook of Pharmaceutical
Excipients. Edisi keenam. Washington D.C.: Pharmaceutical Press and
American Pharmacists Association. Halaman 693-697.
Salim, N., Basri, M., Rahman, M B. A., Abdullah, D. K., Basri, H., dan Salleh
A.B. 2011. Phase Behavior, Formation and Characterization of Palm
Based Esters Nanoemulsion Formulation Containing Ibuprofen. Journal
Nanomedicine Nanotechnology. 2(4): 113-117.
Sanaji, J.B., Krismala, M.S., Liananda, F.R. 2019. Pengaruh Konsentrasi Tween
80 sebagai Surfaktan terhadap Karakteristik Fisik Sediaan Nanoemulgel
Ibuprofen. Indonesian Journal on Medical Science. 6(2):88-91.
Sari, C. I. P. 2012. Kualitas minuman serbuk Kersen (Muntingia calabura L.)
dengan variasikonsentrasi maltodekstrin dan ekstrak kayu secang
(Caesalpinia sappan L.). Skripsi. Fakultas Teknobiologi, Universitas
Atma Jaya, Yogyakarta.
Saputra, S. H. 2020. Mikroemulsi Ekstrak Bawang Tiwai Sebagai Pembawa Zat
Warna, Antioksidan dan Antimikroba Pangan. Yogyakarta: Penerbit
Deepublish. Halaman 24.
Sari, A. W. 2010. Karakterisasi Ekstrak Etanolik Daun Teh Hijau (Camellia
sinensis L.). Skripsi. Fakultas Farmasi. Universitas Sanata Dharma.
Yogyakarta.
Sembiring, I.C.B., Jayawardhita, A.A.G., Adi, A.A.A.M. 2012. Salep Ekstrak
Daun Kersen MeningkatkanKepadatan Kolagen dan Mempercepat
PenyembuhanLuka Sayat pada Kulit Mencit Hiperglikemia. Indonesia
Medicus Veterinus. 10(2) :197.
Senet, M.R.M., Parwata, I.M.O., Sudiarta, I.W. 2017. Kandungan Total Fenol Dan
Flavonoid Dari Buah Kersen (Muntingia calabura) Serta Aktivitas
Antioksidannya. JURNAL KIMIA 11 (2) : 190-191.
Setiadi. (2007). Anatomi dan Fisiologi Manusia. Edisi Pertama. Yogyakarta: Graha
Ilmu. Halaman 24-30.
Shah, P., Bhalodia, D., dan Shelat, P. 2010. Nanoemulsions: A Pharmaceutical
aReview. Systematic Reviews in Pharmacy. 1(1): 26-30.
Siddiqua A, Premakuri KB, Roukiya S, Vithya & Savitha. 2010. Antioxidant
activity and estimation of total phenolic content of Muntingia calabura by
colorimetry. Int J Chem Tech Res. 2(1).: 205-208.

90
Sihombing, C. N., Wathoni, N., dan Rusdiana, T. 2018. Formulasi Gel
Antioksidan Ekstrak Buah Buncis (Phaseolus vulgaris L.)
denganmenggunakan Basis Aqupec 505 HV. Skripsi. Fakultas Farmasi.
Universitas Padjadjaran. Yogyakarta.
Silva, H. D., Cerqueira, M. A., dan Vicente, A. A. 2015. Influence of Surfactant
and Processing Conditions in the Stability of Oil-in-Water Nanoemulsions.
Journal of Food Engineering. 167: 90.
Sindhe M, A Yadav D.Bodke, dan Chandrashekar A, 2013. Antioxidant and in
vivo antihyperglycemic acitvity ofMuntingia calabura leaves
extracts.Scholars Research Library, DerPharmacia Lettre, 5 (3):427–435.
Sudirman, T. A. 2014. Uji Efektivitas Ekstrak Daun Salam (Eugenia polyantha)
terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus Secara In Vitro.Skripsi S1,
Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Hasanuddin, Makasar.
Surjowardojo. P, Sarwiyono, Thohari. I, Ridhowi. A, 2014. Quantitative and
Qualitative Phytochemical Analysis of Muntingia calabura. Journal of
Biology, Agriculture andHealtcare. 4 (16).
Stephanie. 2015. Pengaruh Variasi Fase Minyak Virgin Coconut Oil dan Medium-
Chain Triglycerides Oil terhadap Stabilitas Fisik Nanoemulsi Minyak Biji
Delima dengan Kombinasi Surfaktan Tween 80 dan Kosurfaktan PEG 400.
Skripsi. Fakultas Farmasi. Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.
Suhardiman, A. dan Juanda, D. 2019. Pengembangan Obat Herbal Fraksi Daun
Gaharu (Aquilaria malaccensis Lam) dalam bentuk Gel untuk
Penyembuhan Luka Bakar. Jurnal Sauns dan Teknologi Farmasi
Indonesia. 8(1):24.
Suhardiman, A., Hikmiah, dan Budiana, W. 2019. Aktivitas Fraksi Daun Gaharu
(Aquilaria malaccensis Lam) sebagai Antijerawat dan Uji Bioautografi.
Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi Indonesia. 9(1): 15.
Sumayyah, S. dan Salsabila, N. 2017. Obat Tradisional : Antara Khasiat dan Efek
Sampingnya. Majalah Farmasetika. 2(5): 2.
Susilowati. 2009. Pembuatan Virgin Coconut Oil dengan
MetodePenggaraman.Jurnal Teknik Kimia. 3(2): 247.
Sutrisna, E.M. 2016. Herbal Medicine: Suatu Tinjauan Farmakologis. Surakarta:
Muhammadiyah University Press. Halaman 16, 17.
Suyal, J. dan Bhatt, G. 2017. An Introductory Review Article on Nanoemulsion.
International Journal of Research in Pharmacy and Pharmaceutical
Sciences. 2(4): 35.
Swarbrick, J. 2007. Encyclopedia of Pharmaceutical Technology. Edisi III.
Volume 1. New York: Informa Healthcare USA, Inc. Halaman 20.
Syahfitri, E. L., Reveny, J., dan Nainggolan, M. 2020. Formulation and
Antibacterial Activity Tests of Nanoemulsion Gel Black Cumin (Nigella
Sativa L.) Ethanol Extract. Asian Journal of Pharmaceutical Research
and Development. 8(4): 8.
Syahara, S., Siregar, Y.F. 2019. Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Daun Kersen
(Muntingia Calabura). Jurnal Kesehatan Ilmiah Indonesia. 2(4):125
Tranggono, R.I., dan Latifah, F. (2007). Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum. Halaman 11-13.

91
Trommer, H., dan Neubert, R. H. H. 2006. Overcoming the Stratum Corneum:
The Modulation of Skin Penetration. Skin Pharmacology and
Physiology. 19: 107.
Ulaen, S. P. J., Banne, Y., dan Suatan, R. A. 2013. Pembuatan Salep Anti Jerawat
dari Ekstrak Rimpang Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza Roxb.).
Jurnal Ilmiah Farmasi: 48.
Verma, A., Singh, S., Kaur, R., dan Jain, U. K. 2013. Topical Gels as Drug
Delivery Systems: A Review. International Journal of Pharmaceutical
Sciences Review and Research. 23(2): 374-375.
Voight, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Edisi Kelima. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press. Halaman 65, 74.
Wahyuningsih, I., dan Putranti. 2015. Optimasi Perbandingan Tween 80 dan
Polietilenglikol 400 Pada Formula Self Nanoemulsifying Drug Delivery
System (SNEDDS) Minyak Biji Jinten Hitam. Pharmacy. 12(02): 223-
241.
Walters, K.A. 2007. Dermatological and Transdermal Formulations. New York:
Informa Healthcare. Halaman 5-15.
Wang, H. B. dan Liu, D. S. 2003. CMC0 of Nonyphenol Polyoxyehylene Ethers in
Oil Phases and Problems Concerned. Chemical Journal of Chinese
Universities. 6(24): 1127.
Wasitaatmadja, S.M. 1997. Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Jakarta: Penerbit UI
Press. Halaman 112-117.
WHO. 1992. Quality Control Methods for Medicinal Plant Materials. Inggris:
World Health Organization Geneva. Halaman 28-31.
Wihelmina, C. E. 2011. Pembuatan dan Penentuan Nilai SPF Nanoemulsi Tabir
Surya Menggunakan Minyak Kencur (Kaempferia galanga L.) sebagai
Fase Minyak. Skripsi. Fakultas Farmasi. Universitas Indonesia. Jakarta.
Wijayakusuma. 2005. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC. Jakarta.
Wooi, K., dan Lau, W. M. 2015. Skin Deep: The Basics of Human Skin Structure
andDrug Penetration. Australia: University of Newcastle Inc. Halaman 7,
9, 10.
Yadav SK, Mishra MK, Tiwari A, Shukla A.2016. Emulgel: A New Approach
for Enhanced Topical Drug Delivery. Int J Curr Pharm Res. 9(1): 15-
19.
Zakaria Z.A., Fatimah C.A., Mat A.M., Zaiton H., Henie E.F.P., Sulaiman
M.R., Somchit M.N., Thenamutha M., Kasthuri D., 2006. The in vitro
Antibacterial Activity of Muntingiacalabura L. Extracts. International
Journal of Pharmacology. 2 (4). : 439-442.
Zakaria Z. A., Mustapha S., Sulaiman M. R., Jais A. M. M., Somchit M. N.,
Abdullah F. C. The antinociceptive action of aqueous extract from
muntingia calabura leaves journal: the role of opioid receptors. Med
Princ Pracyt. 2007. halaman.130-136.
Zhang, L., Zhang, I., Zhang, M., Pang, Y., Li, Z., Zhao, A., dan Feng, J. 2015.
Self-Emulsifying Drug Delivery System and the Applications in Herbal
Drugs. Drug Delivery. 22(4): 475-477.

92
Lampiran 1. Hasil Identifikasi Tumbuhan

93
Lampiran 2. Bagan Alir Penelitian

a. Pembuatan Ekstrak Etanol Daun kersen

Serbuk simplisia
daun kersen (1000 gram)
Dimasukkan ke wadah maserasi
Dimasukkan etanol 96% dengan perbandingan 1: 10,
sebanyak 5 L
Diaduk selama 6 jam, lalu dibiarkan selama 18 jam
Disaring

Ampas Maserat I
Dicuci dengan etanol 96% sebanyak 2,5 L
Diaduk selama 6 jam, didiamkan selama 18 jam
Disaring

Ampas Maserat
Dicuci dengan etanol 96% sebanyak 2,5 L II
Diaduk selama 6 jam, didiamkan selama 18 jam
Disaring

Maserat III
Digabung maserat 1, 2, 3.
Dibiarkan 24 jam ditempat terlindung dari cahaya.
Dienaptuangkan
Maserat
Dipekatkan dengan rotary evaporatory pada suhu 500C
Dipekatkan ekstrak dengan oven pada suhu 400C

Ekstrak kental daun kersen


(Berat = 395, 718 gram dan
rendemen = 39, 5718%).

94
b. Bagan Alir Pembuatan Nanoemulsi Ekstrak Etanol DaunKersen

Ekstrak etanol Aquadest


daun kersen

ditimbang Di Didihkan di hotplate


ditambahkan ½ dari Dikalibrasi sesuai volume
jumlah PEG 400 sedikit Dilarutkan metil paraben
demi sedikit sambil dan propil paraben dalam
dihomogenisasi dengan akuades hingga larut
homogenizer. Di aduk campuran
Ditambahkan VCO dan dengan homogenizer
diaduk Di tambahkan tween 80
Ditambahkan sisa PEG sedikit demi sedikit
400 kedalam campuran kedalam larutan saat
dandiaduk hingga kondisi hangat
homogen. Di aduk campuran
dengan homogenize
rdengan kecepatan 500
rpm

Fase minyak Fase air

Di tambahkan fase minyak setetes


demi setetes ke dalam fase air
sambil diaduk dengan kecepatan
500 rpm selama 2 jam pada suhu
kamar hingga terbentuk nanoemulsi
yang homogen dan jernih

Nanoemulsi ekstrak etanol


daun kersen (Berwarna hijau
kehitaman dan berbau khas)

95
c. Bagan Alir Pembuatan Sediaan Nanoemulgel Ekstrak Etanol
Daunkersen

Karbopol 940 Nanoemulsi


ekstrak etanol daun kersen

Di timbang
Di taburkan diatas akuades panas yang
berisi metil paraben dan propil
paraben yang telah larut sempurna
Didiamkan selama 24 jam
Di gerus sambil ditetesi TEA sedikit
demi sedikit hingga terbentuk massa
yang homogen dan transparan.

Basis gel

Di timbang nanoemulsi dan


basis gel dengan perbandingan
4 :1
Di masukkan basis gel
kedalam beaker glass
Di teteskan secara perlahan
nanoemulsi kedalam beaker
glass sambil diaduk dengan
homogenizer
Di aduk dengan kecepatan 500
rpm selama 6 jam hingga
homogen
Di sonikasi selama 1 jam.

Nanoemulgel ekstrak etanol


daun kersen (Berwarna hijau
kehitaman dan berbau khas)

96
Lampiran 3. Gambar Tumbuhan dan Bagian Daun dari Kersen (Muntingia
calabura L..)

Gambar 1. Tanaman kersen

Gambar 2. Daun kersen Segar

97
Lampiran 4. Hasil Pemeriksaan Makroskopik Simplisia dan Serbuk Daun Kersen
(Muntingia calabura L..).

Gambar 3. Pemeriksaan makroskopik simplisia daun kersen

Gambar 4. Serbuk simplisia daun kersen

98
Lampiran 5. Hasil Pemeriksaan Mikroskopik Serbuk Simplisia Daun Kersen
(Muntingia calabura L..)

Gambar 5. Hasil Pemeriksaan Mikroskopik Serbuk Simplisia Daun Kersen


Lampiran 5. (lanjutan)

Keterangan:
1 = Rambut penutup
2= Rambut Glandular
3= Berkas pembuluh
4= Resin (yang warna coklat)
5= Trakea (Lubang – lubang)
6= Jaringan tiang
7=Stomata

99
Lampiran 6. Perhitungan Hasil Pemeriksaan Karakterisasi Serbuk Simplisia
Daun Kersen (Muntingia calabura L..)

1. Perhitungan penetapan kadarair

(𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟−𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑎𝑤𝑎𝑙)


%Kadar air = x 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

No. Berat sampel Volume awal Volume akhir


(g) (mL) (mL)
1. 15 0,40 0,60
2. 15 0,40 0,50
3. 15 0,40 0,50

V2−V1 0,60 ml −0.40 ml


% 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 1 = Berat Sampel x 100%= x 100%
15 g

0,20 ml
= x 100% = = 4%
5g

V2−V1 0,50 ml −0.40 ml


% 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 2 = Berat Sampel x 100%= x 100%
15 g

0,10 ml
= x 100% = = 2%
5g

V2−V1 0,50 ml −0.40 ml


% 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 3 = Berat Sampel x 100% = x 100%
15 g

0,10 ml
= x 100% = 2%
5g

(4,00%+2,00+2,00%
%Kadar air rata – rata sampel = = 2,66%
3

100
Lampiran 6. (lanjutan)

2. Perhitungan penetapan kadar sari larut air


𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑟𝑖 (𝑔𝑟𝑎𝑚) 100
%Kadar sari larut air = x x 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔𝑟𝑎𝑚) 20

No. Berat sampel Berat cawan kosong Berat sari (g)


(g) (g)
1. 5 58,8349 0,1404
2. 5 56,3839 0,0975
3. 5 56,3945 0,0874
Berat sari larut air 100 ml 0,1404 g 100 ml
% kadar 1 = x 20 ml x100% = x x 100%
Berat bahan awal 5g 20 ml

= 14,04%

Berat sari larut air 100 ml 0,0975 g 100 ml


% kadar 2 = x 20 ml x100% = x x 100%
Berat bahan awal 5g 20 ml

= 9,75%

Berat sari larut air 100 ml 0,0874 g 100 ml


% kadar 3 = x 20 ml x100% = x x 100%
Berat bahan awal 5g 20 ml

= 8,74%

14,04%+9,75%+8,74%
%Kadar sari larut air rata – rata = = 10,84%
3

101
Lampiran 6. (lanjutan)

3. Perhitungan penetapan kadar sari larut dalam etanol


𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑟𝑖 (𝑔𝑟𝑎𝑚) 100
% Kadar sari larut etanol = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔𝑟𝑎𝑚) x x 100%
20

No. Berat sampel (g) Berat cawan kosong (g) Berat sari (g)
1. 5,0030 61,3948 0,1516
2. 5,0070 58,3001 0,2592
3. 5,0069 56,8477 0,2219

Berat sari larut air 100 ml 0,1516 g 100 ml


% kadar 1 = x 20 ml x100% = x x 100%
Berat bahan awal 5g 20 ml

= 15,16%

Berat sari larut air 100 ml 0,2595g 100 ml


% kadar 2 = x 20 ml x100% = x x 100%
Berat bahan awal 5g 20 ml

= 25,95%

Berat sari larut air 100 ml 0,2219 g 100 ml


% kadar 3 = x 20 ml x100% = x x 100%
Berat bahan awal 5g 20 ml

= 22,19%

15,16%+25,95%+22,19%
%Kadar sari larut etanol rata – rata = = 21,1%
3

102
Lampiran 6. (lanjutan)
4. Perhitungan penetapan kadar abu total
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢 (𝑔𝑟𝑎𝑚)
% Kadar abu = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔𝑟𝑎𝑚) x 100%

No. Berat sampel (g) Berat abu (g)


1. 2,0015 0,2596
2. 2,0013 0,2845
3. 2,0014 0,2638

W1−W2 53,6999−53,4403 0,2596


% Kadar 1 = x 100% = x 100% = 2.0015 x 100%
W 2,0015

= 12,9702%

W1−W2 60,6191−60,3346 0,2845


% Kadar 2 = x 100%= x 100% = 2.0013 x 100%
W 2,0013

= 14,2157%

W1−W2 58,7084−58,4446 0,2638


% Kadar 3 = x 100%= x 100% = 2.0014 x 100%
W 2,0014

= 13,1807%
12,9702+14,2157+13,1807
%Kadar abu total rata – rata = = 13,4555%.
3

103
Lampiran 6. (lanjutan)

5. Perhitungan penetapan kadar abu tidak larut asam

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢 (𝑔𝑟𝑎𝑚)


% Kadar abu tidak larut asam = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔𝑟𝑎𝑚) x 100%

No. Berat sampel (g) Berat abu (g)


1. 2,0015 0,1266
2. 2,0013 0,1248

W1−W2 53,5669−53,4403 0,1266


% Kadar 1 = x 100% = x 100% = 2.0015 x 100%
W 2,0015

= 6,3252%

W1−W2 60,4594−60,3346 0,1248


% Kadar 2 = x 100% = x 100% = 2.0013 x 100%
W 2,0013

= 6,2359%

W1−W2 58,5735−58,4446 0,1289


% Kadar 3 = x 100% = x 100% = 2.0014 x 100%
W 2,0014

= 6,4404%

6,352%+6,2359%+6,4404%
%Kadar abu tidak larut asam rata – rata = = 6,3338%.
3

104
Lampiran 7. Perhitungan % Rendemen Ekstrak Etanol Daun kersen (Muntingia
calabra L..)

𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘
Perhitungan % rendemen ekstrak = x 100%
𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎

395,718 𝑔𝑟𝑎𝑚
= x 100% = 39,5718%
1000 𝑔𝑟𝑎𝑚

105
Lampiran 8. Perhitungan Hasil Standarisasi Ekstrak Etanol Daun Kersen
(Muntingia calabura L..)

1. Perhitungan penetapan kadar air

(𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟−𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑎𝑤𝑎𝑙)


%Kadar air = x 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

No. Berat sampel (g) Volume awal (mL) Volume akhir (mL)
1. 15 0,80 1,2
2. 15 1,2 1,5
3. 15 1,5 1,8

V2-V1 1,2 ml -0,8 ml


% Kadar 1 = x 100% = x 100%
Berat Sampel 15 g

0,4 mL
= 15 g
x 100% = 2,67%

V2−V1 1,5ml −1,2 ml


% Kadar 2 = Berat Sampel x 100% = x 100%
15 g

0,3 mLl
= x 100%= 2%
15 g

V2-V1 1,8 𝑚𝑙 −1,5 𝑚𝑙


% Kadar 3 = Berat Sampel x 100% = x 100%
15 𝑔

0,3 mL
= x 100% = 2%
15 g

(2,67%+2,00+2,00%
%Kadar air rata – rata sampel = = 2,22%
3

106
2. Perhitungan penetapan kadar abu
Berat abu (gram)
Kadar abu total = Berat sampel (gram) x 100%

No. Berat sampel (g) Berat abu (g)


1. 2,0491 0,0487
2. 2,0398 0,0387
3. 2,0356 0,0209

W1−W2 55,6069−55,5582 0,0487


% Kadar 1 = W x 100% = x 100% = 2.0491 x 100%
2,0491
= 2,38%

W1-W2 58,9550−58,9163 0,0387


% Kadar 2 = x 100%= x 100% = 2,0398 x 100%
W 2,0356
= 1,90%

W1−W2 59,2005−59,1796 0,0209


% Kadar 3 = x 100%= x 100% = 2.0356 x 100%
W 2,0398
= 1,03%

2,385%+1,90%+1,03%
% Kadar abu total rata – rata = = 1,77%.
3

107
Lampiran 8. (lanjutan)
3. Perhitungan kadar abu tidak larut asam
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢 (𝑔𝑟𝑎𝑚)
%Kadar abu tidak larut asam = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔𝑟𝑎𝑚) x 100%

No. Berat sampel (g) Berat abu (g)


1. 2,0033 0,0108
2. 2,0047 0,0132
3. 2,0046 0,0124

W1−W2 55,5684−55,5582 0,0102


% Kadar 1 = x 100% = x 100% = 2.0491 x 100%
W 2,0491

= 0,497%

W1−W2 58,9191−58,9163 0,0028


% Kadar 2 = x 100% = x 100% = 2.0356 x 100%
W 2,0356

= 0,137%

W1−W2 59,1828−59,1796 0,0032


% Kadar 3 = x 100% = x 100% = 2.0398 x 100%
W 2,0398

= 0,157%

0,497%+0,137%+0,157%
% Kadar abu tak larut asam rata – rata = = 0,264%.
3

108
Lampiran 9. Hasil pengukuran pH sediaan selama penyimpanan pada suhu
kamar selama 12 minggu.

pH
Penyimpanan
(minggu) Rata- Rata-
F1 F2
rata±SD rata±SD
0 5,8 5,8 5,8 5,80 ± 0,000 5,8 5,7 5,7 5,73 ± 0,060
2 5,7 5,7 5,7 5,70 ± 0,000 5,7 5,7 5,6 5,67 ± 0,060
4 5,6 5,6 5,6 5,60 ± 0,000 5,5 5,5 5,5 5,50 ± 0,000
6 5,5 5,6 5,5 5,50 ± 0,000 5,4 5,4 5,4 5,40 ± 0,000
8 5,4 5,4 5,4 5,37 ± 0,060 5,3 5,3 5,3 5,30 ± 0,000
10 5,3 5,3 5,2 5,27 ± 0,058 5,2 5,2 5,2 5,20 ± 0,000
12 5,0 5,0 4,9 4,97 ± 0,060 4,9 4,8 4,8 4,83 ± 0,060

pH
Penyimpanan
(minggu) Rata- Rata-
F3 Emulgel
rata±SD rata±SD
0 5,7 5,7 5,7 5,70 ± 0,000 5,8 5,8 5,7 5,77 ± 0,060
2 5,6 5,6 5,6 5,60 ± 0,000 5,7 5,7 5,7 5,70 ± 0,000
4 5,5 5,5 5,5 5,50 ± 0,000 5,6 5,5 5,5 5,57 ± 0,060
6 5,4 5,4 5,4 5,40 ± 0,000 5,5 5,5 5,4 5,50 ± 0,100
8 5,3 5,3 5,3 5,30 ± 0,000 5,3 5,3 5,2 5,27 ± 0,060
10 5,2 5,1 5,1 5,13 ± 0,058 5,1 5,0 4,9 5,00 ± 0,100
12 4,8 4,8 4,8 4,80 ± 0,000 4,9 4,9 4,9 4,90± 0,000

109
Lampiran 10. Perhitungan Bobot Jenis Sediaan Nanoemulgel Ekstrak Etanol
Daun Kersen
𝐴2−𝐴
Perhitungan bobot jenis = 𝐴1−𝐴 x 1 g/mL

Keterangan: A : Bobot piknometerkosong


A1 : Bobot piknometer berisi air
A2 : Bobot piknometer berisi sediaan
11,690 𝑔+11,691 𝑔+11,694 𝑔
a. Bobot piknometer kosong (A) = = 11,6916 gram
3
16,890 𝑔+16,893 𝑔+16,911 𝑔
b. Bobot piknometer bersisi air (A1) = = 16, 898 gram
3
c. Bobot piknometer berisi sediaan (A2)

Bobot piknometer sediaan (A2)


Formula
1 2 3
F1 17,210 17,211 17,214
F2 17,371 17,370 17,372
F3 17,349 17,351 17,353
Emulgel 17,173 17,174 17,175

d. Perhitungan bobot jenis

Hasil perhitungan bobot jenis


Formula Rata-rata STD
1 2 3
F1 1,059 1,060 1,060 1,060 0,0004
F2 1,090 1,090 1,091 1,090 0,0002
F3 1,086 1,087 1,087 1,087 0,0004
Emulgel 1,052 1,053 1,053 1,053 0,0002

110
Lampiran 11. Hasil pengukuran viskositas sediaan pada suhu kamar selama
penyimpanan 12 minggu

Minggu ke- Viskositas sediaan F1 Rata-rata F1 STD


0 472,5 472,0 472,0 472,17 0,29
6 438,0 438,5 438,5 438,33 0,29
12 412,5 412,5 412,5 412,50 0,00

Minggu ke- Viskositas sediaan F2 Rata-rata F2 STD


0 485,0 485,5 485,0 485,17 0,29
6 463,5 463,0 463,5 463,33 0,29
12 435,5 435,5 435,5 435,50 0,00

Minggu ke- Viskositas sediaan F3 Rata-rata F3 STD


0 499,5 499,5 499,5 499,50 0,29
6 447,5 447,0 447,5 442,00 0,00
12 442,5 442,0 442,0 432,17 0,29

Minggu ke- Viskositas sediaan Emulgel Rata-rata emulgel STD


0 1998,0 1998,0 1998,0 1998,00 0,00
6 1802,5 1802,0 1802,5 1802,33 0,29
12 1690,0 1690,5 1690,5 1690,33 0,29

111
Lampiran 12. Perhitungan Tegangan Permukaan Sediaan Nanoemulgel Ekstrak
Etanol Daun Kersen

71,2+70,9+70,2
Tegangan permukaan akuades = = 70,76 dyne/cm
3

𝑇𝑒𝑔𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑢𝑘𝑎𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑜𝑟𝑖𝑡𝑖𝑠 72,75 𝑑𝑦𝑛𝑒/𝑐𝑚


Faktor Koreksi = = 70,76 𝑑𝑦𝑛𝑒/𝑐𝑚 = 1,027 dyne/cm
𝑇𝑒𝑔𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑢𝑘𝑎𝑎𝑛 𝑝𝑟𝑎𝑘𝑡𝑖𝑘

Hasil pengukuran tegangan permukaan (dyne/cm)


Formula
1 2 3
F1 36,9 36,3 35,1
F2 36,9 36,0 35,9
F3 36,3 36,2 35,2
Emulgel 56,2 55,9 55,6

Hasil Pengukuran x Faktor Koreksi


Formula Rata-rata STD
1 2 3
F1 37,89 37,28 36,05 37,07 0,21
F2 37,89 37,17 36,87 37,31 0,52
F3 37,28 37,17 36,15 36,87 0,62
Emulgel 57,72 57,41 57,10 57,41 0,31

112
Lampiran 13. Hasil Rata-Rata dan Distribusi Ukuran Globul Sediaan
Nanoemulsi Ekstrak Etanol Daun Kersen
a. Hasil rata-rata dan distribusi ukuran globul sediaan nanoemulsi ekstrak
etanol daun Kersen F1

113
Lampiran 13. (lanjutan)

114
a. Hasil rata-rata dan distribusi ukuran globul sediaan nanoemulsi
ekstrak etanol daun kersen F2

115
116
b. Hasil rata-rata dan distribusi ukuran globul sediaan nanoemulsi
ekstrak etanol daun kersen F3

117
118
Lampiran 14. Hasil Rata-Rata dan Distribusi Ukuran Globul Sediaan
Nanoemulgel Ekstrak Etanol Daun Kersen Minggu Ke-0

a. Hasil rata-rata dan distribusi ukuran globul sediaan nanoemulgel


ekstrak etanol daun kersen F1 minggu ke0

119
Lampiran 14. (lanjutan)

120
b. Hasil rata-rata dan distribusi ukuran globul sediaan nanoemulgel
ekstrak etanol daun kersen F2 minggu ke0

121
122
c. Hasil rata-rata dan distribusi ukuran globul sediaan nanoemulgel
ekstrak etanol daun kersen F3 minggu ke0

123
124
Lampiran 15. Hasil Rata-Rata dan Distribusi Ukuran Globul Sediaan
Nanoemulgel Ekstrak Etanol Daun Kersen Minggu Ke-6

a. Hasil rata-rata dan distribusi ukuran globul sediaan nanoemulgel


ekstrak etanol daun kersen F1 minggu ke6

125
Lampiran 15. (lanjutan)

126
b. Hasil rata-rata dan distribusi ukuran globul sediaan nanoemulgel
ekstrak etanol daun kersen F2 minggu ke 6

127
128
c. Hasil rata-rata dan distribusi ukuran globul sediaan nanoemulgel
ekstrak etanol daun kersen F3 minggu ke6.

129
130
Lampiran 16. Hasil Rata-Rata dan Distribusi Ukuran Globul Sediaan
Nanoemulgel Ekstrak Etanol Daun Kersen Minggu Ke-12

a. Hasil rata-rata dan distribusi ukuran globul sediaan nanoemulgel


ekstrak etanol daun kersen F1 minggu ke12

131
Lampiran 16. (lanjutan)

132
b. Hasil rata-rata dan distribusi ukuran globul sediaan nanoemulgel
ekstrak etanol daun kersen F2 minggu ke12

133
134
c. Hasil rata-rata dan distribusi ukuran globul sediaan nanoemulgel
ekstrak etanol daun kersen F3 minggu ke12

135
136
Lampiran 17. Hasil Rata-Rata dan Distribusi Ukuran Globul Sediaan Emulgel
Ekstrak Etanol Daun Kersen.

137
Lampiran 17. (lanjutan)

138
Lampiran 18. Gambar Alat yang Digunakan

Alat-alat gelas Lumpang danAlu

Oven Rotaryevaporator

Alat pengujian kada rair Tensiometer Du Nouy

139
Lampiran 18. (lanjutan)

Homogenizer IKA RW 20 Digital Tanur

Piknometer Sentrifuss

Viskometer NDJ8S Spindelviskometer

140
pH meter Sonikator

Particle Size Analyzer Beban pengujian daya sebar

Neraca Analitik Hotplate

141
Lampiran 19. Gambar KarakterisasiSimplisia

Kadar Sari Larutdalam Air dan Kadar Sari Larut dalam Etanol

Kadar Abu Tidak Larut Asam Kadar Abu Total

142
Lampiran 20. Gambar Skrining Fitokimia

Uji alkaloid
lanjutan

Hasil pengujian alkaloid  Meyer = putih


 Filtrat + Pereaksi Mayer = Putih  Bouchardat = coklat
 Filtrat + Pereaksi Boucardat = coklat  Dragendorf = Jingga
 Filtrat + Pereaksi dragendorf = jingga

Hasil pengujian golongan senyawa Hasil pengujian flavonoida


steroid/ triterpenoida. Warna Hijau Warna Jingga pada lapisan
Biru menunjukkan adanya senyawa amil alcohol (positif).
triterpenoida

Hasil pengujian tanin Hasil pengujian saponin


Warna biru (Positif) (positif)

143
Lampiran 21. Gambar Bahan yang Digunakan

Ekstrak Etanol Daun Kersen Tween 80

PEG 400 Virgin Coconut Oil

Akuades Nipasol

144
Lampiran 21. (lanjutan)

Nipagin CMC Na

Karbopol 940 Span 80

Gliserol Etanol 96%

145

Anda mungkin juga menyukai