Anda di halaman 1dari 50

EFEK GALAKTOGOGUE KOMBINASI

EKSTRAK DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DAN

EKSTRAK DAUN BELUNTAS (Pluchea indica (L.) Less)

TERHADAP EKSPRESI GEN GROWTH HORMONE DAN

PRODUKSI ASI PADA TIKUS MENYUSUI

Usulan Penelitian untuk Tesis S-2

Diajukan oleh

Aris Setiawan

21/486068/PKU/19427

Kepada

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK

MINAT UTAMA FARMAKOLOGI

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS KEDOKTERAN, KESEHATAN

MASYARAKAT, DAN KEPERAWATAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

Juni Agustus 2022


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
PENDAHULUAN.............................................................................................................4
1.1. Latar Belakang.................................................................................................4
1.2. Rumusan Masalah............................................................................................7
1.3. Tujuan Penelitian.............................................................................................7
1.3.1. Tujuan umum.............................................................................................7
1.3.2. Tujuan khusus :..........................................................................................7
1.4. Keaslian penelitian...........................................................................................9
1.5. Manfaat penelitian.........................................................................................10
BAB II.............................................................................................................................11
TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................11
2.1. Galactagogue..................................................................................................11
2.2. Growth hormone..............................................................................................11
2.3. ASI...................................................................................................................11
2.4. Anatomi Fisiologi Menyusui..........................................................................11
2.5. Katuk ((Sauropus androgynus (L.) Merr).....................................................14
2.6. Beluntas (Pluchea indica (L.) Less) Less)...................................................16
2.7. Kerangka Teori..............................................................................................21
2.8. Kerangka konsep............................................................................................22
2.9. Hipotesis Penelitian........................................................................................22
BAB III............................................................................................................................23
METODE PENELITIAN.................................................................................................23
3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian......................................................................23
3.2. Jenis Dan Rancangan Penelitian...................................................................23
3.3. Sampel Penelitian...........................................................................................23
3.3.1. Kriteria inklusi..........................................................................................24
3.3.2. Kriteria Eksklusi.......................................................................................24
3.3.3. Kriteria Drop Out.....................................................................................24
3.4. Cara sampling
3.5. Variablel penelitian........................................................................................25
3.6. Definisi operasional........................................................................................25
3.7. Bahan dan alat................................................................................................27
3.8. Cara Penelitian...............................................................................................28
3.8.1. Pembuatan ekstrak daun katuk dan ekstrak daun beluntas........................28
3.8.2. Pengelompokan........................................................................................29
3.8.3. Penentuan dosis........................................................................................29
3.8.4. Pemberian perlakuan................................................................................30
3.9. Langkah kerja penelitian...............................................................................31
3.10. Penghitungan produksi ASI..........................................................................31
3.11. Alur Penelitian................................................................................................36
3.12. Analisis Data...................................................................................................37
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemberian ASI merupakan hal yang sangat penting baik untuk bayi

maupun ibu. Asi merupakan makanan utama untuk bayi 0-6 bulan dimana

didalamnya terkandung berbagai nutrisi dan antibodi yang bermanfaat

dalam proses tumbuh kembang bayi. Pemberian ASI eksklusif selama 6

bulan pada periode usia 0-6 bulan setelah melahirkan juga memberikan

manfaaat bagi seorang ibu baik manfaat jangka pendek, menengah ataupun

jangka panjangpanjang, antara lain dapat membangun ikatan emosional

antara ibu dan bayi, kontrasepsi alami, menjaga kesehatan mental pasca

persalinan, mengurangi resiko kejadian kanker payudara dan lain-lain

(Antonio et al., 2018)

Berdasarkan rekomendasi WHO, pemberian ASI dapat diberikan

segera setelah bayi dilahirkan (inisiasi menyusui dini), usia 0 bulan sampai

usia 6 bulan tanpa makanan pendamping (ASI eksklusif) dan diteruskan

sampai 2 tahun atau lebih dengan tambahan makanan pendamping (Kwan,

2021). Di Indonesia, pemberian ASI secara eksklusif diatur dalam undang

undang no 36 tahun 2009 dan peraturan pemerintah Republik Indonesia

nomor 33 tahun 2012. Didalamnya disebutkan bahwa setiap ibu yang

melahirkan harus memberikan ASI eksklusif pada bayi yang

dilahirkannya, kecuali ada indikasi medis seperti bayi dengan


galaktosemia klasik, fenilketonuria, penyakit kemih beraroma sirup mapel

(maple syrup urine disease) dan ibu yang memiliki penyakit yang dapat

ditularkan melalui pemberian ASI seperti Human Immunodeficiency Virus

(HIV) (BPOM RI, 2012). Berdasarkan laporan rutin Direktorat Gizi

Masyarakat tahun 2021 per tanggal 4 Februari 2022, diketahui bahwa dari

1.845.367 bayi usia < 6 bulan terdapat 1.287.130 bayi usia < 6 bulan yang

mendapat ASI Eksklusif atau sekitar 69,7%. Angka ini sudah melampaui

target nasional tahun 2021, yaitu sebesar 45%. Berdasarkan data tersebut

terdapat 21 provinsi yang memiliki hasil dibawah angka capaian nasional

dan hanya 13 provinsi yang memiliki hasil diatas capaian nasional, bahkan

masih ada 3 provinsi yang masih dibawah dari target yaitu Papua (11,9%),

Papua Barat (21,4%), dan Sulawesi barat (27,8) (Kesehatan, 2021)indikasi

medis. Hal ini dapat di asumsikan bahwasannya target pemberian asi

eksklusif adalah 100% kecuali ada indikasi. medis. Produksi ASI yang

tidak mencukupi sering menjadi masalah utama yang memutuskan seorang

ibu menghentikan pemberian ASI kepada bayinya (Shawahna et al.,

2018).Tren kesehatan ibu saat ini, seperti tingginya usia saat melahirkan,

obesitas, dan tingginya angka seksio cesaria dikaitkan sebagai hal yang

dapat menyebabkan berkurangnya produksi ASI (Bazzano et al., 2016).

Upaya dalam pemberian ASI eksklusif didukung dengan beberapa

kebijakan pemerintah Indonesia baik tingkat nasional maupun daerah,

diantaranya PP No. 33 tahun 2012 tentang pemberian ASI ekslusif,

Permenkes RI No. 39 tahun 2013 tentang susu formula dan produk bayi
lainnya dan Permenkes RI No. 15 tahun 2013 tentang penyediaan fasilitas

khusus menyusui dan/atau memerah ASI agar mendukung para ibu yang

meninggalkan bayinya karena bekerja masih dapat memberikan ASI pada

bayinya. Pemberian pendampingan maupun penyuluhan tentang

pentingnya pemberian ASI eksklusif kepada seorang ibu merupakan salah

satu upaya yang saat ini banyak dilakukan (Safitri and Puspitasari, 2019).

Selain itu pemberian intervensi secara farmakologis seperti domperidone

dan metoklopromide sering diberikan sebagai pelancar ASI, meskipun

obat-obatan tersebut belum memiliki persetujuan dari otoritas kesehatan

untuk digunakan sebagai galaktogogue yang aman dan efektif (off label)

(Grzeskowiak, 2014). Olah karena itu galaktogogue herbal dapat dijadikan

sebagai alternatif pelancar ASI. Beberapa penelitian menunjukkan

bahwasannya penggunan galaktogogue herbal dapat meningkatkan

produksi ASI. Dalam studi yang dilakukan oleh Guo et al. pada 358

wanita menyusui yang mengalami hipogalaktia pasca melahirkan di Cina,

bahwasannya rebusan campuran herbal galactagogue secara signifikan

dapat meningkatkan produksi ASI dibandingkan dengan kelompok

kontrol. Hal ini juga didukung dengan sikap ibu yang lebih menerima

untuk mengkonsumsi produk herbal sebai pelancar ASI (Liu et al., 2015).

Di Indonesia, banyak jenis tanaman yang mempunyai manfaat

sebagai pelancar ASI, seperti daun katuk, daun kelor, daun turi dan bayam

(Handayani et al., 2021). Begitu juga disebutkan dalam penelitian

Mafudhoh (2011) bahwa daun beluntas (Pluchea indica (L.) Less)


merupakan salah satu tanaman herbal yang dikonsumsi oleh masyarakat di

kabupaten Bojonegoro sebagai pelancar ASI. Tanaman herbal memiliki

efek galactagogue diyakini karena adanya tanaman herbal tersebut

mengandung molekul fitoestrogenik, yang memiliki efek E2-like action,

sehingga mampu meningkatkan produksi ASI dan proliferasi sel epitel

kelenjar payudara (Tabares et al., 2014). Senyawa fitoestrogen utama yang

terkandung dalam Pluchea. indica (L.) Less adalah quercetin (Kemenkes

RI, 2017).

Produksi ASI sangat dipengaruhi oleh aktivitas dari beberapa

hormon seperti estrogen, prolaktin, oksitosin dan , growth hormone. dan

estrogen. Peningkatan estrogen berdampak pada ukuran dan aktivitas

kelenjar hipofisis anterior hingga 36%. Peningkatan ini sejalan dengan

meningkatnya jumlah sel laktotrof yang berdampak pada peningkatan

sekresi hormone prolaktin (Alex et al., 2020). Prolaktin dan GH berperan

dalam proses sintesis ASI, sedangkan oksitosin membantu pada proses

ejeksi ASI (Lawrence, 2022). Prolaktin dihasilkan oleh sel laktotrop

kelenjar hipofisis anterior. Sekresi prolaktin dipengaruhi oleh dopamin

yang bekerja pada D2 reseptor, dimana penghambatan pada reseptor

tersebut dapat meningkatkan sekresi prolaktin begitu juga sebaliknya.

Prolaktin merangsang pertumbuhan duktus kelenjar mammary,

meningkatkan proliferasi sel epitel dan menginduksi sintesis protein susu.

Konsentrasi prolaktin juga dipengaruhi oleh rangsang hisap pada puting

yang dapat memberikan sinyal ke kelenjar hipofisis anterior sebagai


umpan balik positif (Pillay, J., & Davis, 2022). . Peningkatan produksi

susu juga ditemukanterjadi pada tikus yang diberikan GH rekombinan. Hal

ini menunjukkan adanya peran dari GH dalam peningkatan dari produksi

susu (Hadsell et al., 2008). Penelitian sebelumnya mengenai efek

galactagoguemengenai pemberian ekstrak daun katuk (Sauropus

androgynus (L.) Merr.) pada mencit didapatkan peningkatan ekspresi

mRNA prolactin dan oksitosin (Soka et al., 2010), sedangkan penelitian

yang dilakukan oleh Syarif et al (2021) menunjukkan bahwa ekstrak daun

beluntas meningkatkan produksi ASI tikus disertai peningkatan kadar

serum growth hormone. Dalam penelitian ini, selain mencari pengaruh

pemberian kombinasi ekstrak Sauropus androgynus (L.) Merr. dan

Pluchea indica terhadap produksi ASI, tetapi juga mencari pengaruh

terhadap peningkatan mRna GH pada tikus menyusui.

Beberapa penelitian yang mengkombinasikan tanaman lactagogue

herbal mendapatkan hasil yangefek sinergis dan dapat menurunkan dosis

yang efisien, seperti pPenelitian yang dilakukan oleh Yuliani et al (2019)

dimana kombinasi daun katuk dengan ekstrak tanaman laktagogum

lainnya dapat menurunkan dosis ekstrak Sauropus androgynus (L.) Merr.

yaitudimana dosis nya lebih rendah dari 900mg/hari sebagai dosis tunggal

menjadi 300mg/hari ketika diberikan secara kombinasi.

Penelitian mengkombinasikan ekstrak daun beluntas (Pluchea

indica (L.) (L.) Less) dengan herbal lain sebagai galaktogogue belum

pernah dilakukan. Apakah pemberian kombinasi ekstrak daun beluntas


(Pluchea indica (L.) Less) dan ekstrak daun katuk Sauropus androgynus

(L.) Merr mempengaruhi produksi ASI dan ekspresi GH belum diketahui.

Oleh karena itu penelitian mengkaji efek kombinasi ekstrak daun beluntas

(Pluchea indica (L.) Less) dan ekstrak daun katuk Sauropus androgynus

(L.) Merr. sebagai peningkatterhadap produksi ASI dan ekspresi GH akan

dilakukan dalam penelitian ini. dengan harapanDiharapkan kombinasi

kedua ekstrak akan mendapatkan efek sinergis sehingga dapat memberi

efisiensi bahan baku dan berkontribusi dalam membantu pemerintah baik

nasional maupun daerah dalam mengembangkan potensi tanaman herbal di

Indonesia dan tentunya tercapainya target SDGs 2030.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1) Apakah pemberian kombinasi ekstrak daun beluntas (Pluchea indica (L.)

Less) dan ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.)

berpengaruh terhadap produksi ASI pada tikus menyusui?

2) Apakah pemberian kombinasi ekstrak daun beluntas (Pluchea indica (L.)

Less) dan ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) dapat

mempengaruhiberpengaruh terhadap ekspresi gen Growth Hormone pada

tikus menyusui?

3) Apakah pemberian kombinasi ekstrak daun beluntas (Pluchea indica (L.)

Less) dan ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.)


berpengaruh terhadap dapat mempengaruhi ekspresi gen reseptor Growth

Hormone pada tikus menyusui?

4) Apakah pemberian kombinasi ekstrak daun beluntas (Pluchea indica (L.)

Less) dan ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.)

berpengaruh terhadap gambaran histologi kelenjar mammary pada tikus

menyusui?

5) Apakah pemberian kombinasi ekstrak daun beluntas (Pluchea indica (L.)

Less) dan ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) dapat

mempengaruhi produksi ASI pada tikus menyusui?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Mengkaji efek kombinasi ekstrak (Pluchea indica (L.) Less) dan

(Sauropus androgynus (L.) Merr.) sebagai galaktogoue

1.3.2. Tujuan Khusus

1) Mengetahui efek kombinasi ekstrak (Pluchea indica (L.) Less dan

Sauropus androgynus (L.) Merr. terhadap produksi ASI pada tikus

menyusui

2) Mengetahui efek pemberian kombinasi ekstrak (Pluchea indica (L.) Less

dan Sauropus androgynus (L.) Merr. terhadap ekspresi gen Growth

Hormone pada tikus menyusui

3) Mengetahui efek pemberian kombinasi ekstrak (Pluchea indica (L.) Less

dan Sauropus androgynus (L.) Merr. terhadap ekspresi gen reseptor

Growth Hormone pada tikus menyusui


4) Mengetahui efek kombinasi ekstrak (Pluchea indica (L.) Less dan

Sauropus androgynus (L.) Merr. terhadap histologi kelenjar mammary

pada tikus menyusui.

5) Mengetahui efek pemberian kombinasi ekstrak (Pluchea indica (L.) Less

dan Sauropus androgynus (L.) Merr. terhadap produksi ASI tikus

menyusui
1.4. Keaslian Penelitian

No Judul Perbedaan

1 Ekstrak etanol daun (Pluchea  Menggunakan ekstrak P. indica


indica (L.) Less) meningkatkan (L) tunggal tanpa kombinasi
Serum Growth Hormone pada dengan S. androgynus (L)
tikus menyusui (Syarif et al.,  Meninjau kadar growth hormone
2021) dalam serum
2 Pengaruh ekstrak daun katuk 1. Menggunakan ekstrak S.
(Sauropus androgynus (L.) androgynus (L) tunggal tanpa ada
Merr.) terhadap ekspresi gen kombinasi denga P. indica (L)
prolaktin dan oksitosin pada 2. Meninjau ekspresi gen prolactin
mencit BALB/C menyusui dan oksitosin bukan eksprei gen
(Soka et al., 2010) GH
3 Formula polyherbal yang berisi 1.Menggunakan kombinasi
sauropus androgynus, trigonella sauropus androgynus, trigonella
foenum-graceum and moringa foenum-graceum dan moringa
oleifera meningkatkan ekspresi oleifera
mRNA α-actin pada otot polos 2.Meninjau ekspresi mRNA
(ACTA2) dan cytokeratin 14 ACTA2 dan CK14
(CK14) pada tikus menyusui

No Judul Perbedaan

1 Ethanolic Extract of (Pluchea  Menggunakan ekstrak P. indica

indica (L.) Less) leaf Increases tunggal tanpa kombinasi dengan

Serum Growth Hormone in S. androgynus

Lactating Rats (Syarif et al.,  Outcome yang ditinjau adalah

2021) kadar growth hormone dalam

serum
2 Effect of (Sauropus androgynus  Menggunakan ekstrak Sauropus

(L.) Merr.) Leaf Extracts on the androgynus (L.) Merr. tunggal

Expression of Prolactin and tanpa ada kombinasi dengan

Oxytocin Genes in Lactating Pluchea indica (L.) Less

BALB/C Mice (Soka et al., 2010)  Outcome yang ditinjau adalah

ekspresi gen prolactin dan

oksitosin bukan ekspresi gen GH

3 Polyherbal formulation  Menggunakan kombinasi

containing sauropus sauropus androgynus, trigonella

androgynus, trigonella foenum- foenum-graceum dan moringa

graceum and moringa oleifera oleifera

increased the expression of  Outcome yang ditinjau adalah

mRNA smooth muscle α-actin ekspresi mRNA ACTA2 dan

(ACTA2) and cytokeratin 14 CK14

(CK14) in actating rats

1.5. Manfaat penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk melihat pengaruh pemberian

ekstrak etanol Sauropus androgynus (L.) Merr. dan Pluchea Iindica (L.)

Less terhadap produksi ASI, dan ekpresi gen GH dan reseptornya serta

gambaran histologi kelenjar mammary untuk selanjutnya dapat


dimanfaatkan sebagai salah satu referensi dalam pengembangan potensi

tanaman herbal sebagai pelancar ASI.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Galactagogue

Galactagogues adalah bahan sintetis, makanan, atau herbal yang

dapat meningkatkan atau memproduksi ASI. Mekanisme farmakologi

sebagian besar melalui interaksi dengan reseptor dopamin, peningkatan

kadar prolaktin yang dapat meningkatkan produksi ASI. Namun

mekanisme terhadap oksitosin dan growth hormone juga mulai di pelajari

akhir-akhir ini. Obat yang mempunyai efek galaktogogue antara lain

metoclopramide, domperidone, sulpiride dan klorpromazin. Sedangkan

beberapa tanaman herbal juga diyakini memiliki efek galaktogogue antara

lain, fanugrek, daun katuk, daun teh (Gabay, 2002).

2.42. Anatomi glandula mammarydan Fisiologi Menyusui

Galandula mammary terletak pada anterior dinding toraks, antara

kartilago interkosta kedua dan keenam. Bagian terdalam payudara terletak

di atas fascia pectoralis dari otot pectoralis mayor, serratus anterior dan
otot obliq abdominus externus. Glandula mammary Sebagian besar

tersusun atas jaringan adiposa, parenkim fibroglandular dan jaringan ikat.

Parenkim glandula mammary terdapat lobus yang tersusun atas beberapa

unit lobulus. Didalam lobulus terdapat sel alveoli (sel kuboid) yang akan

mensintesis protein dan lipid susu. Hasil dari sintesis susu akan di salurkan

ke puting susu melalui duktus laktiferus (Alex et al., 2020).

Gambar . anatomi glandula mammary. A) Epitel glandula mammary


dalam lobus yang mengandung banyak lobulus dan terhubung ke saluran
laktiferus, yang mengalirkan susu ke arah puting susu. B) Lobulus yang
dibentuk oleh beberapa alveoli, yang merupakan unit penghasil susu. C)
Alveolus disusun oleh monolayer alveolar mammary epithelial cells
(MEC) membentuk lumen tempat susu disekresikan melalui duktus
laktiferus dikelilingi oleh myoepitel kontraktil (Truchet and Honvo-
Houéto, 2017)

Ada 3 tahap perkembangan glandula mammmae, yaitu tahap


embrionik, pubertas dan reproduksi. Dalam perkemangan glandula
mammary sangat dipengaruhioleh peran beberapa hormone seperti
estrogen, progesteron, GH, IGF-1 dan juga prolaktin (Macias and Hinck,
2012).
Gambar . perkembangan glandula mammary. Pada awal kelahiran masih
terdiri dari epitel yang sangat terbatas dan mulai berkembang
dipengaruhi oleh hormone reproduksi seperto estrogen, progesterone,
GH, dan prolaktin. Kelenjar mammary mengalami perkembangan
maksimal pada fase laktasi dimana sel alveoli mampu menghasilkan
susu dan setelah disapih sel alveoli mengalami penurunan produksi susu
dan epitel mammary kembali seperti kondidi sebelum hamil (Truchet
and Honvo-Houéto, 2017a)

Produksi dan sekresi ASI merupakan proses fisiologi yang kompleks, yang

dipengaruhi oleh perkembangan glandula mammae, sekresi berbaegai

hormon sistemik dan faktor lokal di jaringan. Ketiga hal tersebut saling

berkontribusi untuk menyiapkan ASI dengan komposisi yang memadai

dan jumlah yang cukup. Selama menyusui, epitel susu mencapai

perkembangan maksimal yang mengandung banyak alveolus untuk

menghasilkan susu dalam jumlah besar. Setelah disapih, produksi ASI

berhenti, alveolus mammae mengalami regresi (involusi) dan epitel susu

kembali ke keadaan seperti sebelum hamil (Truchet et al., 2017).

GH, Estrogen, Prolaktin, GH,


IGF-1 progesteron, IGF-1
Gambar 1. Kelenjar mammae (Truchet et al., 2017).

Ketika menyusui, ada empat proses yang bekerja. Pertama, proses

menghisap puting susu oleh bayi, merangsang saraf sensorik, yang dibawa

ke sumsum tulang belakang, di mana saraf ini bersinaps dengan neuron

yang membawa sinyal ke otak. Kedua, di nukleus arkuata hipotalamus,

input aferen dari puting susu menghambat neuron yang melepaskan

dopamine (DA). DA biasanya berjalan melalui sistem portal hipotalamus

ke hipofisis anterior, di mana ia menghambat pelepasan PRL dari sel

laktotrof. Dengan demikian, penghambatan pelepasan DA menyebabkan

peningkatan pelepasan PRL. Ketiga, di nukleus supraoptik dan

paraventrikular hipotalamus, input aferen dari puting susu memicu

produksi dan pelepasan OT di hipofisis posterior. Keempat, di area

preoptik dan nukleus arkuata, input aferen dari puting susu menghambat

pelepasan GnRH dan pelepasan FSH dan LH sehingga menghambat siklus

ovarium (Lawrence, 2022).


2.2. Growth Hormone

Growth hormon atau somatotropin di ekskresikan melalui hipofisis

anterior didalam sel somatotropik. Ekskresi GH dipengaruhi oleh GHRH

sebagai stimulator yang diproduksi hipotalamus, somatosatatin yang

memiliki efek inhibisi GHRH, dan ghrelin yang mampu berikatan dengan

reseptor sel somatotrop sehingga merangsang sekresi GH (Lu et al., 2019).

GH dalam menjalankan fungsinya memiliki 2 mekanisme, yaitu

mekanisme secara langsung dengan berikatan dengan GH reseptor pada

jaringan perifer dan jalur tidak langsung yaitu melalui aktivasi IGF-1 pada

sel hepar. Ketika GH berikatan dengan reseptornya, selanjutnya terjadi

aktivasi dari Janus Aktivating Tirosin Kinase (JAKs) 2 yang akan

berikatan dengan faktor transkripsi STAT1, STAT3, dan STAT5 di

sitoplasma, kemudian masuk ke dalam nukleus yang menginduksi

peningkatan transkripsi gen yang menghasilkan insulin-like growth factor-

1 untuk dilepaskan ke sirkulasi. IGF-1 dapat meningkatkan proliferasi sel

dan metabolisme pada jaringan perifer (Brinkman et al., 2021). Pada sel

mammary, GH dapat mengaktifkan IGF-1 di mammary, peningkatan aliran

darah, peningkatan proliferasi dan survival sel mammary serta peningkatan

sintesis air susu oleh MEC (Tabares et al., 2014).

Growth hormon atau somatotropin di ekskresikan melalui hipofisis

anterior di dalam sel somatotropik. Ekskresi GH dipengaruhi oleh GHRH

sebagai stimulator yang diproduksi hipotalamus, somatosatatin yang


memiliki efek inhibisi GHRH, dan ghrelin yang mampu berikatan dengan

reseptor sel somatotrop sehingga merangsang sekresi GH (Lu et al., 2019).

GH dalam menjalankan fungsinya memiliki 2 mekanisme, yaitu

mekanisme secara langsung dengan berikatan dengan GH reseptor pada

jaringan perifer dan jalur tidak langsung yaitu melaluiui aktivasi IGF-1

pada sel hepar. Ketika GH berikatan dengan reseptornya, selanjutnya

terjadi aktivasi dari janus aktivating tirosin kinase (JAKs) 2 yang akan

berikatan dengan faktor transkripsi STAT1, STAT3, dan STAT5 di

sitoplasma, kemudian masuk ke dalam nukleus yang menginduksi

peningkatan transkripsi gen yang menghasilkan insulin-like growth factor-

1 untuk dilepaskan ke sirkulasi. IGF-1 dapat meningkatkan proliferasi sel

dan metabolisme pada jaringan perifer (Brinkman et al., 2021). Pada sel

payudara, GH dapat mengakibatkan pengaktifan IGF-1 di payudara,

peningkatan aliran darah , peningkatan proliferasi dan survival sel

payudara serta peningkatan sintesis air susu oleh MEC (Tabares et al.,

2014).

Peran growth hormone dalam laktasi berperan dalam proliferasi

dan mempertahankan sel epitel mammae. Efek langsung Ketika GH

berikatan dengan GH reseptor pada sel mammae yang akan mengaktifkan

jak 2- stat 5 pathway, sedangkan efek tidak langsung GH melalui efek

IGF1 yang beriktan dengan IGFR yang akan mengaktifkan

serine/threonine kinase, MAPK3/1 (ERK1/2) and AKT yang akan

mempengaruhi promosi laktasi (Lawrence, 2022).


2.5. Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr)

Ga mb Kingdom : Plantae
ar 2. Subkingdom : Tracheobionta
Super divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Rosidae
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Sauropus
Spesies : Sauropus androgynus (L.) Merr.

Daun katuk

Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Rosidae
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Sauropus
Ggambar 2. Daun katuk
Spesies : Sauropus androgynus (L.) Merr.

Daun katuk ()S.auropus androgynus (L.) Merr.) merupakan

tanaman yang sudah sejak lama digunakan sebagai tanaman herbal yang

memiliki manfaat klinis. Hasil uji toksisitas akut dari Sauropus androgynus

(L.) Merr menunjukan bahwa LD50 oral lebih besar dari 21,5 g/kgbb selama

14 hari. Toksisitas dari Sauropus androgynus (L.) Merr. dipengaruhi oleh


waktu pemberian yang lama. Daun katuk memiliki efek samping, sembelit,

susah tidur, ganngguan pernafasan (Bronkiolitis obliterans).

Dalam sebuah penelitian pada tikus BALB/C menyusui, pemberian

Suplementasi ekstrak daun Sauropus androgynus (L.) Merr. dengan dosis

173,6 mg/kg mampu meningkatkan ekspresi gen prolaktin dan oksitosin

pada tikus menyusui masing-masing 15,75- dan 25,77 kali lipat,

dibandingkan dengan kelompok kontrol (Soka et al., 2010). Hasil

penelitian yang dilakukan oleh saSa’roni et al bahwa pemberian ekstrak

daun Sauropus androgynus (L.) Merr. (6 mg/kg) meningkatkan produksi

ASI ibu hingga 50,7% dibandingkan dengan plasebo pada subjek wanita

menyusui (Sa'roni et al., 2012). Di dalam Farmakope Herbal Indonesia,

kaempferol merupakan marker dari daun katuk (Sauropus androgynus (L.)

Merr.). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Zhang, B.D (2020)

dari 142,64mg flavonoid total, terdapat kaempferol 138,14mg

sebagaimana terlampir pada gambar (6).

Constituent part Nilai (mg/100g daun segar)


Indonesia india
Quercetin 4.50 -
Kaempferol 138.14 -
Sum of flavonoid 142.64 -
Phenolic acids 5.12 -
Total phenol 138.01 1150
Total anthocyanin 1.53 82.94
Total carotenoids 5.15 19.40
Beta carotene 1.63 -
Chlorophyll - 45.60
Table 1 . phytochemical compounds in Sauropus androgynus (L.) Merr. of
Indonesia and India (Zhang et al., 2020)

Kaempferol merupakan salah satu senyawa fitoestrogen yang

mampu mempengaruhi sekresi prolaktin dan proliferasi epitel payudara.

Fitoestrogen tersebut mampu menghambat jalur yang diaktivasi oleh

dopamine 2 reseptor (D2R) dengan cara menginaktivkan subunit G𝛼i, hal

ini menginduksi aktivitas adenilsiklase (AC), dan meningkatkan

konsentrasi adeninmonofosfat (cAMP), sehingga meningkatkan protein

kinase yang bergantung pada cAMP(PKA). Hal ini akan meningkatkan

ekspresi gen PRL. Peningkatan prolaktin akan meningkatkan proliferasi

dan produksi air susu (Tabares et al., 2014).

2.6. Beluntas (Pluchea indica (L.) Less.)

Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Asteridae
Ordo : Asterales
Famili : Asteraceae
Genus : Pluchea
Gambar 3. Pluchea indica (L.) Less
Spesies : Pluchea indica (L.) Less
Di Indonesia (Pluchea indica (L.) Less. memiliki nama daerah

berabagai macam yaitu Beluntas (Sumatra), Beluntas (Sunda), Luntas (Jawa

Tengah), Baluntas (Madura), Lamutasa (Makasar), dan Lenabou (Timor).

Daun beluntas selama ini dimanfaat kan untuk pengobatan herbal antara lain

anti diabetes, dan pelancar ASI (Ibrahim et al., 2022). Beberapa efek

farmakologi Pluchea indica (L.) Less antara lain tertera pada berikut:

Nama Penggunaan herbal Referensi


tanaman medicine
(Pluchea menginduksi apoptosis sel Kao et al., 2015
indica (L.) kanker nasopharinx
Less)
(beluntas ) antiinflamasi Buapool et al., 2013
Anti bakteri Pargaputri et al., 2016
antidiabetes Widyawati et al., 2015
Galactagogue syariaif et al., 2021
Table 2. Penelitian Pluchea indica (L.) Less

Berdasarkan Farmakope Herbal yang diterbitkan kemenkes RI (…),

quercetin merupakan flavonoid yang digunakan sebagai penanda bagi daun

beluntas (Pluchea indica (L.) Less) (kemenkes, 2017). Quercetin merupakan

flavonoid tertinggi yang terkandung di dalam daun beluntas (Pluchea indica

(L.) Less) yakni 5,21mg dalam 100 g daun segar sebagaimana tertera dalam

gambar. 9 (Andarwulan et al., 2012)

Vegetable Flavonoids (mg/100 g fw)

(Pluchea Myricetin Luteolin Quercetin Apigenin Kaempferol Total


indica (L.)
0.90 ± 0.03 nd 5.21 ± 0.26 nd 0.28 ± 0.02 6.39
Less) . L

Table 3. Komposisi flavonoid Pluchea indica (L.) Less.

Dalam penelitian efek anti inflamasi terhadap ekstrak Pluchea

indica (L.) Less. , quercetin juga menunjukkan afinitas yang tinggi

melaui uji HPLC (Buapool et al., 2013). Pemberian ekstrak daun

beluntas (Pluchea indica (L.) Less.) dengan dosis 750mg/kgbb terhadap

tikus menyusui terjadi peningkatan produksi dan penambahan berat

badan anak tius dibandingkan dengan kelompok domperidone dan

kontrol dengan nilai P <0,05 (Syarif et al., 2021). Penelitian mengenai

quercetin yang terkandung dalam daun mulberry (morus alba)

memiliki efek seperti ghrelin, dimana ia mampu berikatan dengan

reseptor ghrelin yang selanjutnya mampu meningkatkan dari growth

hormone (Lin et al., 2020). Hal serupa juga didapatkan pada teaghrelin-

like compounds pada olong tea (Hsieh et al., 2015). Quercetin mampu

berikatan dengan ghrelin reseptor dikarenakan memiliki struktur

kimia yang mirip dengan teaghrelin dan emoghrelin yang merupakan

senyawa nonpeptida yang secara fungsional diidentifikasi sebagai

ghrelin. Dalam uji molecular docking antara quercetin dan GHSR

menunjukkan interaksi satu sama lain melalui ikatan ion H (Lin et al.,

2020).
Quercetin

Gambar 4. Struktur quercetin, teaghrelin dan emoghrelin

2.7. Landasan Teori

Berdasarkan tinjauan pustaka diatas, proses laktasi dipengaruhi

oleh beberapa hormone diantaranya prolaktin, oksitosin, dan juga

growth hormone. Ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.)

yang memiliki senyawa fitoestrogen kaempferol dimana kaempferol

dapat mempengaruhi kadar prolaktin melalui 2 mekanisme yaitu yang

pertama ketika fitoestrogen berikatan dengan reseptor estradiol (E2R)

pada sel laktotrop hipofisis akan merangsang ekspresi gen prolaktin,

yang di perantarai jalur mE2R (Membrane associated estrogen

receptor). Mekanisme yang kedua adalah ikatan fitoestrogen dan E2R

mampu meningkatkan cAMP dan diakhiri dari fosforilasi daroi PKA

yang akan memicu dari ekspresi gen prolaktin. Fitoestrogen juga

memiliki mekanisme kerja seperti estradiol (E2) dimana dia mampu

menginduksi dari ekspresi gen PRLR dan EGFR yang akan

meningkatkan dari produksi kasein dan produksi susu.

Sintesi Growth hormone dalam sisntesisnya di pengaruhi oleh


rangsangan dari GHRH, ghrelin dan efek penghambatan yang di

pengaruhi oleh somatostatin. Berdasarkan farmakope Herbal

Indonesia, quercetin merupakan senyawa aktif yang terdapat pada

daun beluntas (Pluchea indica (L.) Less.). Quercetin memiliki struktur

kimia yang mirip dengan teaghrelin dan emoghrelin (senyawa non

peptida yang memiliki fungsi seperti ghrelin). Ghrelin berperan dalam

sintesis GH melalui 2 cara, yaitu dengan berikatan langsung pada

reseptor ghrelin pada hipofisis atau berikatan dengan reseptor GHRH

yang akhirnya akan meningkatkan ekspresi gen GH. Peran growth

hormone dalam laktasi berperan dalam proliferasi dan

mempertahankan sel epitel mammaemammary. Efek langsung Ketika

GH berikatan dengan GH reseptor pada sel mammaemammary yang

akan mengaktifkan jak 2- stat 5 pathway, sedangkan efek tidak

langsung GH melalui efek IGF1 yang beriktan dengan IGFR yang akan

mengaktifkan serine/threonine kinase, MAPK3/1 (ERK1/2) and AKT

yang akan mempengaruhi promosi laktasi dengan IGFR yang akan

mengaktifkan serine/threonine kinase, MAPK3/1 (ERK1/2) and AKT

yang akan meningkatkan sistesis susu.


2.8. Kerangka Teori

Senyawa penanda
Senyawa penanda ekstrak daun
ekstrak daun katuk: beluntas:

kaempferol quercetin

Hipofisis anterior

E2 Like action GHRH Receptor Ghrelin


E2R bind bind Receptor bind

↑ ekspresi gen
↑cAMP PRLR dan EGFR
↑ GH

Block D2R
bind
Gh receptor Gh receptor
MammaeMa HEPAR
↑ekpresi gen PRL mmary

Jak-stat pathway IGF-1 + IGF-1R

Faktor bayi : IMD,


frekuensi
menghisap,
kekuatan Faktor ibu : usia
menghisap ↑Prolferasi MEC dan ↑sintesis psikis, bmi,
susu
penyakit hormone

Hipofisis
Oksitosin Ejeksi susu
posterior

Bagan 1. Kerangka teori

2.1. Kerangka Konsep

 Produksi ASI yang


Kombinasi ekstrak dihitung dari penambahan
daun katuk dan berat badan bayi
ekstrak daun beluntas  Ekspresi gen GH dan GHr
yang diberikan pada
 Gambaran histologi sel
tikus menyusui
alveolar mammary

Perbedaan ratio
dosis

Bagan 2. Kerangka konsep


2.2. Hipotesis Penelitian

Hipotesis : Pemberian kombinasi ekstrak daun beluntas (Pluchea indica

(L.) Less.) dan ekstrak daun katuk Sauropus androgynus (L.)

Merr. dapat mempengaruhi meningkatkan ekspresi gen GH

dan, produksi ASI pada tikus menyusui. dan gambaran

histologi kelanjar mammaemammary pada tikus menyusui

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kandang hewan coba Departemen

Farmakologi dan Terapi FK-KMK Universitas Gadjah Mada untuk

pengandangan, pemberian pakan dan perlakuan hewan coba pada tahun

2022. Pemeriksaan ekspresi gen dilakukan di Laboratorium terpadu FK-

KMK Universitas Gadjah Mada, sedangkan pemeriksaan histologi

dilakukan di Laboratorium Departemen Histologi FK-KMK

Universitas Gadjah Mada


3.2. Jenis Dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah quasi

experimental dengan rancangan penelitian parallel group posttest only

design.

3.3. Sampel Penelitian

Subyek penelitian ini adalah tTikus Wistar bunting yang

didapatkan dari laboratorium penelitian dan pengujian terpadu (LPPT)

Universitas Gadjah Mada, dengan berat 200-250 gram dan berumur 6-8

minggu (Sahoo et al., 2016). Hal ini dikarenakan usia maturitas seksual

tikus betina mulai terjadi pada usia 32-34 hari (4-5 minggu) dan berat

badannya 180-225 g (Sengupta, 2013). Setelah tikus melahirkan dan

menyusui anaknya di hari ke-2 sealah melahirkan dijadikan sebagi subyek

penelitian. Jumlah sampel ditentukan dengan rumus Federer (t-1) (n-1)

>15

 t = jumlah kelompok

 n = jumlah sampel dalam kelompok

(t-1) (n-1) >15

(7-1)(n-1) >15

6n-6 >15

6n >21

N >3,5
berdasarkan rumus diatas maka di dapatkan total sampel yang

dibutuhkan adalah 28 ekor tikus, dengan masing-masing kelompok

berjumlah 4 ekor.

3.3.1. Kriteria inklusi

1) Tikus wistar betina yang sedang buntingmenyusui

2) Berat 200 sd 250gram

3) Melahirkan anak minimal 6

3.3.2. Kriteria Eksklusi

1) Sakit, yang diekspresikan dengan tikus tidak bergerak, bulu tampak kotor,

atau anus tampak kotor karena diare

2) Memiliki cacat pada puting yang tampak dengan pemeriksaan makroskopik

3.3.3. Kriteria Drop Out

1) Induk atau anak tikus yang mati sebelum masa observasi 16 hari.

3.4. Variable penelitian

1. Variable bebas :

Kombinasi ekstrak daun Sauropus androgynus (L.) Merr. dan ekstrak daun

Pluchea indica (L.) Less dengan pada beberapa variasi tingkat dosis

dengan rasio dosis tetap

2. Variable terikat :

Produksi ASI, ekspresi gen growth hormone dan ekspreosi gen reseptor
growth hormone

3.5. Definisi operasional

No Variabel Definisi operasional Skala

1 ekstrak daun Ekstrak kental daun katuk yang dibuat Ratio


katuk (Sauropus dengan metode maserasi, diencerkan dengan
androgynus (L.) aquades dan diberi suspensator CMC 0,5%
Merr.)

2 Ekstrak daun Ekstrak kental daun beluntas yang dibuat Ratio


beluntas dengan metode maserasi, diencerkan dengan
(Pluchea indica aquades dan diberi suspensator CMC 0,5%
(L.) Less)

3 kombinasi Kombinasi ekstrak kental Sauropus Ratio


ekstrak daun androgynus (L.) Merr. dan(Pluchea indica
katuk dan (L.) Less dengan konsentrasi yang telah
ekstrak daun ditentukan, ditambahkan suspensator CMC
beluntas 0,5%

A. 4 Produksi ASI Produksi ASI di ukur berdasarkan Ratio


penambahan berat badan bayi tikus dengan
menggunakan rumus (w3-w2) + (w2-w1)/4)
dikalikan lama waktu menyusui dalam jam)

W1 adalah waktu penimbangan bayi tikus


pada pukul 07.00wib

W2 adalah waktu penimbangan pada pukul


11.00wib setelah di pisahkan dengan
induknya selama 4jam

W3 adalah waktu penimbangan anak tikus


pada pukul 13.00wib setelah menyusui
selama 1 jam

B. 5 Ekspresi gen ekspresi mRNA GH dari hipofisis induk


GH tikus yang ditetapkan dengan qRT-PCR.
Tingkat ekspresi gen dihitung berdasarkan ct
value dengan menggunakan rumus:

Fold change = 2(-ΔΔCT)

ΔCT treatment = (CT treatment - CT β-


actin)

ΔCT control = (CT control – CT β-actin)

ΔΔCT = (ΔCT treatment − ΔCT control)

C. Ekspresi gen ekspresi mRNA GHr dari kelenjar


reseptor growth mammaemammary induk tikus yang
hormone (GHr) ditetapkan dengan qRT-PCR. Tingkat
ekspresi gen dihitung berdasarkan ct value
dengan menggunakan rumus:

Fold change = 2(-ΔΔCT)

ΔCT treatment = (CT treatment - CT β-


actin)

ΔCT control = (CT control – CT β-actin)

ΔΔCT = (ΔCT treatment − ΔCT control)

3.6. Bahan Dan Alat Penelitian

3.6.1 Bahan Penelitian

1) Hewan coba menggunakan tikus Wistar bunting, 200-250 g berumur 6-8


minggu

2) Simplisia kering daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) 1kg yang

sudah dilakukan uji determinasi

3) Simplisia kering daun beluntas (Pluchea indica (L.) Less.) 1kg yang sudah

dilakukan uji determinasi

4) Larutan cmc 0,5% sebagai suspensator

5) Etanol 70% digunakan untuk maserasi dalam pembuatan ekstrak

6) Agen anastesi (2,5 ml Ketamin 100 mg/mL; 2,5 ml Xylazine 20 mg/mL;

2,5 ml Acepromazine 10 mg/; dan Air steril 4 mL)

7) NBF 10% untuk fiksasi organ atau jaringan

8) Aquades

9) Handscoon dan penutup kepala sekali pakai

10) Botol spesimen sampel

11) Master mix sybr

12) Tip blue dan tip yellow

13) Mikro pipet

14) Tabung PCR

15) Primer PCR


a. Gen GH

b. Gen GHR

3.6.2 Alatur Penelitian

1) Kandang hewan

2) Penggiling mekanik digunakan untuk membuat serbuk simplisia kering

3) Saringan mesh digunakan saat menyaring hasil maserasi

4) Alat pengering “Freeze dryer” digunakan untuk mengeringkan hasil filtrasi

ekstrak

5) 2 Timbangan digital dengan tingkat ketelitian 0,01 gram digunakan untuk

penimbangan anak tikus dan penimbangan ekstrak dalam pembuatan

konsentrasi larutan

6) Sonde lambung dan syringe dipakai untuk memasukkan larutan ekstrak

kepada induk tikus

7) Minor set digunakan saat pengorbanan induk tikus

3.6.3 Cara Penelitian

1) Pembuatan ekstrak daun katuk dan ekstrak daun beluntas

Daun simplisia kering (Sauropus androgynus (L.) Merr. yang sudah

dilakukan determinasi didapatkan dari Tawangmangu, Jawa Tengah.

Sedangkan P. Indica Less didapatkan dari daerah Yogyakarta pada Maret

2020 dan diidentifikasi di laboratorium Biologi Farmasi, Fakultas Farmasi

Universitas Gadjah Mada (No 12.18.08/UN1/FFA/BF/PT/2020). Simplisia


kering sebanyak 1 kg kemudian di blender dan didapatkan dalam bentuk

serbuk kering. Serbuk kering dilakukan maserasi dengan melakukan

perendaman menggunakan etanol 70% kurang lebih sebanyak 3 liter

selama 24 jam selanjutnya di lakukan filtrasi. Perlakuan tersebut diulang

sampai tiga kali selanjutnya filtrat di keringkan dengan cara diangin-

anginkan. Hasil ekstrak kental (Sauropus androgynus (L.) Merr.

didapatkan hasil rendeman 25,77% dan ekstrak kental P, Indica dengan

hasil rendemen 20%. Filtrat kering kemudian dibuat suspens dengan

dilarutkan di dalam larutan Carboxy Methyl Cellulose (CMC) 0,5%.

2) Pengelompokan hewan coba

Setiap tikus bunting yang melahirkanmenyusui akan di alokasikan

kedalam kelompok secara random dalam 7 kelompok, sehingga masing

masing kelompok terdiri dari 4 induk tikus dengan 6 anak.

3) Penentuan dosis intervensi

Dalam penelitian ini penentuan dosis berdasarkan penelitian

sebelumnya, yaitu ekstrak daun katuk dengan dosis 125 mg/kgbb/hari

sedangkan ekstrak daun beluntas dengan menggunakan dosis

500mg/kgbb/hari (Syarif et al,2021).

Konsentrasi larutan ekstrak kombinasi dalam setiap mililiter

mengandung 12,5mg ekstrak daun katuk dan 50mg ekstrak daun beluntas.

4) Pemberian perlakuan

Selain diberikan perlakuan berdasarkan kelompoknya, tikus


diberikan pakan pellet AD2, 2 kali sehari pagi dan sore sebanyak 10

g/100gBB/hari dan minum ad libitum. Induk tikus dibagi menjadi 7

kelompok sebagai berikut:

a. Kelompok K (control) larutan cmc 0,5% 1ml/100gbb

b. Kelompok P1 (perlakuan 1) diberikan larutan ekstrak daun katuk dengan

dosis 125mg/KgBB/hari

c. Kelompok P2 (perlakuan 2) diberikan larutan ekstrak daun beluntas

dengan dosis 500mg/KgBB/hari

d. Kelompok P3 (perlakuan 3) diberikan larutan kombinasi ekstrak daun

katuk dan daun beluntas dengan ratio dosis ¼:¼ dari dosis efektif referensi

atau 31,25mg/kgBB/hari: 125mg/KgBB/hari

e. Kelompok P4 (perlakuan 4) diberikan larutan kombinasi ekstrak daun

katuk dan daun beluntas dengan ratio dosis ½:½ dari dosis efektif referensi

atau 62,5mg/kgBB/hari: 250mg/KgBB/hari

f. Kelompok P4 (perlakuan 4) diberikan larutan kombinasi ekstrak daun

katuk dan daun beluntas dengan ratio dosis 1:1 dari dosis efektif referensi

atau 125mg/kgBB/hari: 500mg/KgBB/hari

g. Kelompok P4 (perlakuan 4) diberikan larutan kombinasi ekstrak daun

katuk dan daun beluntas dengan ratio dosis 1½:1½ dari dosis efektif

referensi atau 187,5mg/kgBB/hari: 750mg/KgBB/hari

3.7 Langkah Kerja Penelitian

1) Pada langkah awal penelitian ini adalah dilakukan aklamatisasi terhadap

tikus yang akan dijadikan sampel. Ruangan diatur bersuhu sekitar 25-
26C, kelembaban 69-70%, dan pengaturan cahaya 12 jam terang 12 jam

gelap. Tikus dan anaknya dipelihara di kandang berukuran luas 187 cm2

dan tinggi 18 cm tiap kandang hanya berisi 1 ekor induk dan 6 anaknya.

2) Induk tikus yang melahirkan akan di atempatkan pada salah satu 7

kelompok perlakuan (K, P1, P2, P3, P4, P5, P6).

3) Tikus diberi perlakuan secara rutin pada pukul 13.00 WIB sesuai dengan

kelompoknya dimulai pada hari ke 2 pasca melahirkan. Hal ini dilakukan

secara rutin setiap hari hingga hari ke 15 pasca melahirkan.

4) Pada hari ke 3 pasca lahir sampai dengan hari ke 16, anak tikus di timbang

secara rutin pada pukul 07.00 WIB (W1), kemudian anak tikus dipisahkan

dari induknya selama 4 jam. Pada pukul 11.00 WIB anak tikus dilakukan

penimbangan kedua (W2) dan anak tikus dikembalikan ke induknya dan di

biarkan menyusu selama 1 jam sampai pukul 12.00 WIB, dan dilakukan

penimbangan anak tikus ketiga pada jam tersebut (W3).

3.8 Penghitungan Produksi ASI

Pengukuran produksi ASI pada tikus dapat dilakukan dengan cara

menginsisi pada bagian kelenjar payudara induk tikus yang menyusui atau

juga dengan metode radiotracer. Kedua cara tersebut terlalu sulit untuk

dilakukan dan beresiko untuk terjadi kesalahan yang sistematis. Sampson

et al mengembangkan metode sederhana untuk mengetahui estimasi

produksi harian induk tikus berdasarkan penambahan berat badan anak

tikus (Sampson and Jansen, 1984). Produksi ASI setelah 18 jam perlakuan

diperkirakan sebagai W3-W2. Produksi ASI rutin terkurangi oleh


berkurangnya berat badan anak tikus karena proses metabolismenya ketika

periode menyusui. Proses metabolisme ini diperkirakan sebagai (W2-

W1)/4 per jam. Selanjutnya, hasil ini dikalikan dengan lama anakan-

anakan tersebut menyusu (dalam satuan jam). Setiap hari, pertambahan

berat badan anakan diukur dari W2 (Mustofa et al., 2020).

3.9 Pengorbanan Induk Tikus Pada Hari Ke 16 Pasca Melahirkan

Pada hari ke-16, semua induk tikus (28 ekor) dikorbankan.

Sebelumnya tikus di lakukan anestesi dengan agen anestesi (2,5 ml

Ketamin 100 mg/ml; 2,5 ml Xylazine 20 mg/ml; 2,5ml Acepromazine 10

mg/ml; dan Air steril 4 ml) diinjeksikan secara intraperitoneal

menggunakan dosis ganda (0,150 ml/100 gbb. Bagian kelenjar

mammaemammary yang akan di ambil dilakukan pencukuran. Selanjutnya

dilakukan pengambilan jaringan hipofisis dan kelenjar mammaemammary

dan disimpan didalam ependrof yang diberi larutan Rna later (pemeriksaan

ekspresi gen). Sedangkan bagian lain dari kelenjar mammaemammary di

ambil beserta jaringan kulit dan di simpan dalam tube yang berisi NBF

10% sebagai fiksasi, yang selanjutnya akan digunakan untuk pemeriksaan

histologi.
3.10 Pengamatan Ekspresi Mrna Growth Hormone Pada Kelenjar Hipofisis

Dan Ekspresi Mrna Reseptor Growth Hormone Pada Kelenjar

MammaeMammary.

Pemeriksaan ekspresi gen dengan menggunakan qRT-PCR yang

dilakukan di Laboratorium Research Terpadu Departemen FK-KMK

UGM. Pada penelitian ini akan digunakan sampel jaringan hipofisis induk

tikus untuk melihat ekpresi gen GH, sedangkan kelenjar

mammaemammary digunakan untuk melihat ekpresi mRna reseptor GH

pada kelenjar mammaemammary.

1) Ekstraksi RNA

Ekstraksi RNA menggunakan RNA Easy Mini Kit (QIAGEN).

Sampel pertama-tama dilisiskan dan kemudian dihomogenkan. Sampel

yang digunakan tidak boleh melebihi 30 mg. Seluruh prosedur mengikuti

petunjuk yang tercantum dalam kit. Hasil ekstraksi selanjutnya dilakukan

pemeriksaan nanodrop untuk menentukan kualitas dan kuantitas

berdasarkan nilai A260/230 dan A260/280.

2) Sistesis cDNA

Sintesis cDNA dilakukan dengan menggunakan Excel RTTM

Reverse Transcription Kit II (Smobio) seperti langkah berikut:

a) Denature (campuran A):


 Total RNA : X μl (1 ng~2 µg)

 Oligo (dT)/Random Primer Mix :1 μl

 Tambahkan DEPC - Treated H2O sampai volume total 10 µl

 Sentrifuge dan inkubasi pada suhu 70°C/5 menit. Selanjutnya

letakkan pada es 1-2 menit

b) First strand cDNA buffer (Mixture B) per reaction:

 5X RT Buffer (DTT/dNTPs) : 4 μl

 DEPC-Treated H2O : 5 μl

 RTase/RI Enzyme Mix : 1 µl

c) First strand cDNA synthesis:

campuran A (RNA + Primers) 10 μl ditambahkan campuran B

(First strand cDNA buffer) 10 µl dan didapatkan total volume 20 µl

selanjutnya di inkubasi dengan suhu 25°C/10menit 37~50°C/50 menit

d) Terminasi : 85°C/5 memit

Hasil cDNA selanjutnya disimpan dengan suhu -20 derajat celcius

3) qRT-PCR

pemeriksaan qRT-PCR menggunakan mesin RT-PCR ABI 7500

dengan menggunakan ExcelTaqTM 2X Fast Q-PCR Master Mix (SYBR,


No ROX) (Smobio). Sekuense primer yang digunakan berdasarkan tabel

berikut:

Primer Sequence

GHR forward 5′-AAAACGATGAGCCCGATATG-3′

GHR reverse 5′-TTTTCGAAGCTCCGTTGTCT-3′

GH forward 5′-GAGTTCGAGCGTGCCTACATTC-3′

GH reverse 5′-GCAGGAGAGCAGCCCATAGTTT-3′

Table 4. Primer yang dihunakan qRT-PCR (Westwood et al., 2010;

de Castro Barbosa et al., 2018)

Tingkat ekspresi gen dihitung berdasarkan ct value dengan

menggunakan rumus:

Fold change = 2(-ΔΔCT)

ΔCT treatment = (CT treatment - CT β-actin)

ΔCT control = (CT control - CT β-actin)

ΔΔCT = (ΔCT treatment - ΔCT control)

3.11 Pengamatan Histologi Kelenjar MammaeMammary

Dalam pemeriksaan histologi melewati beberapa langkah berikut

1) Fiksasi dengan menggunakan NBF 10%


2) Dehidarasi bertingkat dengan etanol 70%,80%,90%, dan 100%

3) Pembersihan dari xylene

4) Parafinisasi agar memudahkan pada saat pemotongan jaringan

5) Embedding yaitu proses di mana jaringan atau spesimen diapit dalam

massa media embedding menggunakan cetakan. Parafin adalah media

yang paling umum digunakan untuk ini.

6) Pemotongan jaringan

7) Staining/pewarnaan dengan menggunakan hemetoxylin dan eosin (HE)

8) Pengamatan dengan mikroskop

3.12 Alur Penelitian

28 ekor tikus galur wistar Pengukuran berat badan


menyusuibunting K (CMC 0,5%)
anakan tikus dari hari ke
3 sampai hari ke 16
P1(EDK) pasca lahir
Aklamatisasi 1
minggu P2 (EDB)

P3(EDC ¼ : ¼)

Alokasi sampel P4(EDC ½ : ½)


Analisis data dan
penyusunan laporan
P5(EDC 1 : 1) penelitian

Keterangan : P6(EDC 1½ : 1½)


K : kontrol
P : perlakuan
EDK :ekstrak daun
katuk
EDB :ekstrak daun
beluntas
EDC :ekstrak kombinasi
daun katuk dan
Ekstraksi rna hipofisis
Sacrifice induk tikus dan dilanjutkan dengan RT-
pengambilan organ PCR dan pewarnaan HE
hipofisis dan glandula glandula
mammaemammary mammaemammary

Bagan 3. Alur penelitian

3.13 Analisis Data

Analisis data meliputi analisis deskriptif dan uji hipotesis. Pada

analisis deskriptif, data pertambahan produksi susu dan ekspresi gen akan

ditampilkan sebagai rerata dan simpang baku apabila berdistribusi normal

atau dengan rentang minimal maksimal apabila data berdistribusi tidak

normal. Uji normalitas distribusi akan menggunakan uji Saphiro Wilk oleh

karena besar sampel kurang dari 50. Uji hipotesis akan menggunakan uji one

way ANOVA karena terdapat lebih dari 2 kelompok variable bebas. Uji

ANOVA akan dilanjutkan dengan uji post hoc Bonferroni untuk mencari

perbedaan antar kelompok penelitian. Apabila data berdistribusi tidak

normal maka akan menggunakan uji Kruskal Wallis dan dilanjutkan dengan

uji Mann-Whitney. Nilai p dikatakan bermakna apabila p <0,05.


Daftar Pustaka

Alex, A., Bhandary, E., McGuire, K.P., 2020. Anatomy and physiology of the
breast during pregnancy and lactation. Adv. Exp. Med. Biol. 1252, 3–7.
https://doi.org/10.1007/978-3-030-41596-9_1
Andarwulan, N., Kurniasih, D., Apriady, R.A., Rahmat, H., Roto, A. V., Bolling,
B.W., 2012. Polyphenols, carotenoids, and ascorbic acid in underutilized
medicinal vegetables. J. Funct. Foods 4, 339–347.
https://doi.org/10.1016/j.jff.2012.01.003
Antonio, L., Ciampo, D., Lopes, I.R., 2018. Breastfeeding and the Benefits of
Lactation for Women’s Health Aleitamento materno e seus benefícios para a
saúde da mulher. Rev Bras Ginecol Obs. 40, 354–359.
https://doi.org/10.1055/s-0038-1657766
Bazzano, A.N., Hofer, R., Thibeau, S., Gillispie, V., Jacobs, M., Theall, K.P.,
2016. A Review of Herbal and Pharmaceutical Galactagogues for Breast-
Feeding. Ochsner J. 16, 511–524.
BPOM RI, 2012. No 主観的健康感を中心とした在宅高齢者における 健康関
連指標に関する共分散構造分析 Title 1–94.
Brinkman, J.E., Tariq, M.A., Leavitt, L., Sharma, S., 2021. Physiology, Growth
Hormone. StatPearls Publishing, Treasure Island (FL).
Buapool, D., Mongkol, N., Chantimal, J., Roytrakul, S., Srisook, E., Srisook, K.,
2013. Molecular mechanism of anti-inflammatory activity of Pluchea indica
leaves in macrophages RAW 264.7 and its action in animal models
ofinflammation. J. Ethnopharmacol. 146, 495–504.
https://doi.org/10.1016/J.JEP.2013.01.014
de Castro Barbosa, T., Salgueiro, R.B., Serrano-Nascimento, C., Amaral, F.G.,
Cipolla-Neto, J., Nunes, M.T., 2018. Molecular basis of growth hormone
daily mRNA and protein synthesis in rats. Life Sci. 207, 36–41.
https://doi.org/10.1016/j.lfs.2018.05.043
Gabay, M.P., 2002. Galactopharmacopedia Galactogogues: Medications That
Induce Lactation, GabayJ Hum Lact.
Grzeskowiak, L., 2014. Use of Domperidone to Increase Breast Milk Supply. J.
Hum. Lact. 30, 498–499. https://doi.org/10.1177/0890334414552525
Hadsell, D.L., Parlow, A.F., Torres, D., George, J., Olea, W., 2008. Enhancement
of maternal lactation performance during prolonged lactation in the mouse by
mouse GH and long-R3-IGF-I is linked to changes in mammary signaling
and gene expression. J. Endocrinol. 198, 61–70. https://doi.org/10.1677/JOE-
07-0556
Hsieh, S.K., Lo, Y.H., Wu, C.C., Chung, T.Y., Tzen, J.T.C., 2015. Identification
of biosynthetic intermediates of teaghrelins and teaghrelin-like compounds in
oolong teas, and their molecular docking to the ghrelin receptor. J. Food
Drug Anal. 23, 660–670. https://doi.org/10.1016/j.jfda.2015.04.005
Ibrahim, S.R.M., Bagalagel, A.A., Diri, R.M., Noor, A.O., Bakhsh, H.T.,
Mohamed, G.A., 2022. Phytoconstituents and Pharmacological Activities of
Indian Camphorweed (Pluchea indica): A Multi-Potential Medicinal Plant of
Nutritional and Ethnomedicinal Importance. Molecules.
https://doi.org/10.3390/molecules27082383
Kesehatan, K., 2021. Kementerian kesehatan.
Lawrence, R.A., 2022. Physiology of Lactation, in: Breastfeeding. Elsevier, pp.
58–92. https://doi.org/10.1016/B978-0-323-68013-4.00003-1
Lin, Y.-C., Wu, C.-J., Kuo, P.-C., Chen, W.-Y., Tzen, J.T.C., 2020. Quercetin 3-
O-malonylglucoside in the leaves of mulberry (Morus alba) is a functional
analog of ghrelin. J. Food Biochem. 44, e13379.
https://doi.org/https://doi.org/10.1111/jfbc.13379
Liu, H., Hua, Y., Luo, H., Shen, Z., Tao, X., Zhu, X., 2015. An Herbal
Galactagogue Mixture Increases Milk Production and Aquaporin Protein
Expression in the Mammary Glands of Lactating Rats. Evidence-Based
Complement. Altern. Med. 2015, 1–6. https://doi.org/10.1155/2015/760585
Lu, M., Flanagan, J.U., Langley, R.J., Hay, M.P., Perry, J.K., 2019. Targeting
growth hormone function: strategies and therapeutic applications. Signal
Transduct. Target. Ther. 4, 1–11. https://doi.org/10.1038/s41392-019-0036-y
Macias, H., Hinck, L., 2012. Mammary gland development. Wiley Interdiscip.
Rev. Dev. Biol. 1, 533–557. https://doi.org/10.1002/wdev.35
Mustofa, Yuliani, F.S., Purwono, S., Sadewa, A.H., Damayanti, E., Heriyanto,
D.S., 2020. Polyherbal formula (ASILACT®) induces Milk production in
lactating rats through Upregulation of α-Lactalbumin and aquaporin
expression. BMC Complement. Med. Ther. 20.
https://doi.org/10.1186/s12906-020-03152-7
Penagos Tabares, F., Bedoya Jaramillo, J. V., Ruiz-Cortés, Z.T., 2014.
Pharmacological Overview of Galactogogues. Vet. Med. Int. 2014, 1–20.
https://doi.org/10.1155/2014/602894
Pillay, J., & Davis, T.J., 2022. Physiology, Lactation. In StatPearls. StatPearls
Publishing, in: Pillay, J., & Davis, T. J. (2022). Physiology, Lactation. In
StatPearls. StatPearls Publishing. pp. 1–11.
Safitri, A., Puspitasari, D.A., 2019. Upaya Peningkatan Pemberian Asi Eksklusif
Dan Kebijakannya Di Indonesia. Penelit. Gizi dan Makanan (The J. Nutr.
Food Res. 41, 13–20. https://doi.org/10.22435/pgm.v41i1.1856
Sahoo, H., Bhaiji, A., Santani, D., 2016. Lactogenic activity of Teramnus labialis
(Linn.) fruit with special reference to the estimation of serum prolactin and
cortisol level in nursing rats. Indian J. Pharmacol. 48, 715.
https://doi.org/10.4103/0253-7613.194856
Sampson, D.A., Jansen, G.R., 1984. Measurement of Milk Yield in the Lactating
Rat from Pup Weight and Weight Gain. J. Pediatr. Gastroenterol. Nutr. 3,
613–617. https://doi.org/10.1097/00005176-198409000-00023
Shawahna, R., Qiblawi, S., Ghanayem, H., 2018. Which Benefits and Harms of
Using Fenugreek as a Galactogogue Need to Be Discussed during Clinical
Consultations? A Delphi Study among Breastfeeding Women,
Gynecologists, Pediatricians, Family Physicians, Lactation Consultants, and
Pharmacists. Evidence-Based Complement. Altern. Med. 2018, 1–13.
https://doi.org/10.1155/2018/2418673
Soka, S., Alam, H., Boenjamin, N., Agustina, T.W., Suhartono, M.T., 2010.
Effect of Sauropus androgynus leaf extracts on the expression of prolactin
and oxytocin genes in lactating BALB/C Mice. J. Nutrigenet. Nutrigenomics
3, 31–36. https://doi.org/10.1159/000319710
Syarif, R.A., Anggorowati, N., Munawaroh, M., Wahyuningsih, M.S.H., 2021.
Ethanolic Extract of Pluchea indica Less leaf Increases Serum Growth
Hormone in Lactating Rats. Maj. Obat Tradis. 26, 111.
https://doi.org/10.22146/mot.62060
Truchet, S., Honvo-Houéto, E., 2017. Physiology of milk secretion. Best Pract.
Res. Clin. Endocrinol. Metab. 31, 367–384.
https://doi.org/10.1016/j.beem.2017.10.008
Westwood, M., Maqsood, A.R., Solomon, M., Whatmore, A.J., Davis, J.R.E.,
Baxter, R.C., Gevers, E.F., Robinson, I.C.A.F., Clayton, P.E., 2010. The
effect of different patterns of growth hormone administration on the IGF axis
and somatic and skeletal growth of the dwarf rat. Am J Physiol Endocrinol
Metab 298, 467–476. https://doi.org/10.1152/ajpendo.00234.2009.-Normal
Yuliani, F.S., Purwono, S., Sadewa, A.H., Heriyanto, D.S., Mara Sabirin, R.,
Mustofa, ., 2019. Polyherbal formulation containing Saoropus androgynous,
Trigonella foenum-graceum, and Moringa oleifera increased the expression
of mRNA smooth muscle α-actin (ACTA2) and cytokeratin 14 (CK14) in
lactating rats. J. thee Med. Sci. (Berkala Ilmu Kedokteran).
https://doi.org/10.19106/JMedSci005102201902
Zhang, B., Cheng, J., Zhang, C., Bai, Y., Liu, W., Li, W., Koike, K., Akihisa, T.,
Feng, F., Zhang, J., 2020. Sauropus androgynus L. Merr.-A phytochemical,
pharmacological and toxicological review. J. Ethnopharmacol. 257, 112778.
https://doi.org/10.1016/j.jep.2020.112778

Anda mungkin juga menyukai