Anda di halaman 1dari 25

GAMBARAN KLINIS, PENEGAKAN DIAGNOSIS DAN

TATALAKSANA ABSES LEHER DALAM DI RSUD


KARANGANYAR (LAPORAN KASUS)
Clinical Manifestation, Diagnostican Management Deep Neck Abscess in
RSUD Karanganyar (Case Report)

Zammira Mutia Zatadin, Riri Eltadeza, Yustika Qasthari Primayanti, Nindya Ayu
Pramesti, Mediana Nur Amalia
Program Pendidikan Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Muhammadiyah
Surakarta, Surakarta Indonesia.
Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan – Kelapa Leher, Fakultas Kedokteran,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta Indonesia Jl. A. Yani, Mendungan,
Pabelan, Kec. Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, JawaTengah; email:
Zammira.mutia@gmail.com

ABSTRAK
Latar Belakang: Abses leher dalam merupakan kumpulan nanah setempat
yang terbentuk dalam ruang potensial akibat kerusakan jaringan yang berasal
dari penjalaran infeksi gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah,
dan leher. Tanda dan gejala bahaya pada abses leher dalam perlu dilakukan
sejak awal untuk mengurangi komplikasi termasuk terjadinya obstruksi jalan
nafas dan kematian. Tujuan: Mengetahui tanda dan gejala bahaya leher abses
dalam, faktor risiko yang memperburuk serta gambaran penatalaksanaan abses
leher dalam di Departemen THT-KL RSUD Kabupaten Karanganyar. Penelitian
dilakukan berdasarkan laporan kasus pada penderita yang terdiagnosis abses
leher periode1 Desember-24 Desember 2019. Hasil: Didapatkan 8 pasien, laki–
laki (75%) dan perempuan (25%), kelompokusia 11-63tahun. Berdasarkan jenis
atau lokasi abses didapatkan terbanyak abses peritonsiller (62,5%), abses
submandibula (25%), Angina Ludwig's (12,5%) dengan sumber infeksi terbanyak
dari odontogenik (87,5%). Penatalaksanaan terbanyak, antibiotik kombinasi
(62,5%). Lama perawatan terbanyak <7 hari (62,5%) dengan kondisi saat pulang
membaik. Kesimpulan: Penatalaksanaan abses leher dalam di Departemen THT-
KLRSUD Kabupaten Karanganyar periode 1 Desember-24 Desember 2019
memperlihatkan kondisi pasien saat pulang dengan perbaikan. Penulis
membandingkan beberapa kasus abses leher dalam menurut gejala klinis dan
komplikasi yang mungkin terjadi, menganalisis dan mengoptimalkan tatalaksana
terapi yang tepat untuk setiap kasus abses leher dalam.
Kata Kunci : abses leher dalam, abses peritonsiler, abses submandibular, angina
Ludwig’s
ABSTRACT
Background: Deep neck infection (DNI) are a collection of local pus that
forms in a potential space due to tissue damage from the transmission of dental,
mouth, throat, paranasal sinuses, middle ear, and neck infections. Warning sign
of DNI need an early diagnostic to reduce complications including airway
obstruction and mortality.Objective: To know the warning sign of DNI,
worsening risk factors and management description of DNI in the Department of
ENT-HN Karanganyar District Hospital. The case reports in patients diagnosed

1445
with DNI from 1 December to 24 December 2019. Results: There were 8
patients, male (75%) and female (25%), age group 11-63 years. Based on the
type or location of abscesses, peritonsillary abscesses (62.5%), submandibular
abscesses (25%), Angina Ludwig's (12.5%) with the most sources of infection
were odontogenic (87.5%). Most management, combination antibiotics (62.5%).
The length of treatment was <7 days (62.5%) with the condition when returning
home improved. Conclusion: Management of DNI in the Department of ENT-HN
Karanganyar District Hospital period 1 December-24 December 2019 shows the
patient condition when returning home with improvement. The authors compared
several cases of DNI according to clinical symptoms and possible complications,
analyzing and optimizing the appropriate treatment management of DNI.
Keywords : deep neck infection, peritonsillary abscesses, submandibular
abscesses, Angina Ludwig's.

1446
PENDAHULUAN Sebelum era antibiotik, sebanyak 70%

Abses leher dalam adalah infeksi leher dalam berasal dari

terkumpulnya nanah (pus) di dalam penyebaran infeksi di faring serta tonsil

ruang potensial yang terletak di antara ke parafaring. Saat ini, infeksi leher

fasia leher dalam, sebagai akibat dalam lebih banyak berasal dari tonsil

penjalaran dari berbagai sumber infeksi, pada anak dan infeksi gigi pada orang

seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus dewasa. Yang et al. (2008), melaporkan

paranasal, telinga dan leher. Gejala dan dari 100 kasus abses leher dalam yang

tanda klinik dapat berupa nyeri serta diteliti mulai April 2001 hingga

pembengkakan di ruang leher dalam Oktober 2006 didapatkan perbandingan

yang terkena (Yellon, 2009). Infeksi antara laki-laki dan perempuan 3:2,

yang terjadi di dalam ruang potensial dengan lokasi abses lebih dari satu

leher ini dapat saling terkait antara ruang potensial sebanyak 29%, ruang

satu ruangan dengan lainnya, sehingga submandibula sebanyak 35%, ruang

berpotensi menimbulkan komplikasi, parafaring 20%, ruang mastikator 13%,

diantaranya: sumbatan jalan nafas, ruang peritonsil 9%, ruang sublingual

pneumonia, perikarditis, trombosis vena 7%, ruang parotis 3%, ruang infrahioid

jugularis, mediastinitis dan erosi 26%, ruang retrofaring 13% dan ruang

arteri karotis (Lee dan parotis 11%.

Kanagalingam,2011). Kuman penyebab abses leher

Angka kejadian abses leher dalam dalam biasanya terdiri dari campuran

mulai menurun secara bermakna sejak kuman aerob, anaerob maupun fakultatif

erapemakaian antibiotik. Selain itu, anaerob. Organisme aerob yang sering

kesehatanrongga mulut yang meningkat dijumpai antara lain: Streptococcus

juga turut berperan dalam hal tersebut. viridans, Streptococcus ß-haemoliticus,

1447
Staphylococcus, Klebsiella pneumoniae, dikaitkan dengan kebersihan mulut yang

sedangkan untuk bakteri anaerob adalah buruk, infeksi masih dapat menyebabkan

Bacteriodes dan Peptostreptococcus morbiditas dan mortalitas yang

(Huang et al., 2005). signifikan, meskipun pemberian

Pengetahuan anatomi fasia dan antibiotik saat ini dan perbaikan

ruang-ruang potensial leher, serta perawatan gigi modern.Infesi leher

penyebab abses leher dalam mutlak dalam berpotensi mengancam jiwa dan

diperlukan, selain itu pengetahuan membutuhkan intervensi bedah segera

mengenai kuman yang terlibat (Lee et al, 2007).

dalam infeksi leher dalam KARAKTERISTIK PASIEN

merupakan kunci dalam pemilihan Pada laporan kasus kami

rejimen antibiotik yang efektif (Villarin didapatkan laki-laki lebih sering terkena

et al., 2006). Selain drainase abses yang abses leher dalam dari pada perempuan

optimal, pemberian antibiotik diperlukan sebanyak 75%, usia pasien lebih

untuk terapi yang adekuat. Untuk banyak <50 tahun sebanyak 5 pasien

mendapatkan antibiotik yang efektif dengan rentan usia 11-63 tahun. faktor

terhadap pasien, diperlukan pemeriksaan risiko tersering adalah odontogenik

kultur kuman dan uji kepekaan (87,5%) dan satu pasien dengan

antibiotik terhadap kuman. Namun diabetes melitus. manifestasi klinis

pemeriksaan ini memerlukanwaktu yang yang paling sering terjadi pada pasien

cukup lama, sehingga diperlukan adalah odinofagia (100%) diikuti

pemberian antibiotik secara empiris dengan trismus (87,5%) serta

(Yang et al., 2008). manifestasi klinis lainnya berupa hot

Meskipun infeksi lebih sering potato’s voice(62,5%), sesak napas

dijumpai pada era pra-antibiotik dan (12,5%), dan gangguan telinga berupa

1448
tinnitus dan nyeri alih (25%), sebanyak 37,5%, untuk kelompok

hipersalivasi, peninggian dasar lidah terakhir dilakukan pemberian terapi

dannyeri saat menggerakkan leher antibiotik dan pembedahan sebanyak 2

masing-masing 12,5%. dari pemeriksaan pasien (25%). infeksi leher dalam yang

penunjang didapatkan leukositosis kami temukan pada pasien berupa abses

sebanyak 75% dan dilakukan peritonsil sebanyak 5 pasien (62,5%),

pemeriksaan CT scan pada 2 pasien abses submandibula 2 pasien (25%)

(25%). tatalaksana dibagi menjadi 3 dan angina ludwig’s 1 pasien (12,5%).

kelompok, yaitu pasien yang diberikan Lama perawatan pasien ≤7 hari

antibiotik kombinasi berupa ceftriaxone sebanyak 62,5 % dan > 7 hari sebanyak

dan metronidazol sebanyak 62,5%, 37,5% dengan rata-rata lama perawatan

kemudian kelompok kedua pemberian sebanyak 6 hari (Tabel 1).

antibiotik diganti dengan meropenem

Tabel 1.Karakteristik Pasien

Karakteristik pasien Jumlah Persentase


Jenis kelamin
Laki-laki 6 75%
Perempuan 2 25%
Usia
Rentang Usia 11-63 th
>50 th 3 37,5%
<50 th 5 62,5%
Faktor risiko
Odontogenik 7 87,5%
Diabetes melitus 1 12,5%
Infeksi Orofaring 1 12,5%
Manifestasi klinis
Trismus 7 87,5%
Odinofagia 8 100%
Nyeri saat menggerakkan leher 1 12,5%
Hipersalivasi 1 12,5%

1449
Peninggian dasar lidah 1 12,5%
Hot potato’s voice 5 62,5%
Sesak napas 1 12,5%
Gangguan telinga 2 25%
PemeriksaanPenunjang
AL>10.000103/Ul 6 75%
CT scan polos 2 25%
Tatalaksana
Kelompok1 (Ceftriaxon +Metronidazol) 5 62,5%
Kelompok2 (Meropenem) 3 37,5%
Kelompok3 (Antibiotik + Pembedahan) 2 25%
Diagnosis
Abses peritonsil 5 62,5%
Abses submandibula 2 25%
Angina ludwig’s 1 12,5%
LamaPerawatan
≤7 hari 5 62,5%
>7 hari 3 37,5%
Rata-rata 6 hari

1450
LAPORAN KASUS Pada pemeriksaan telinga, hidung

Penderita abses leher dalam dan tenggorokan tidak ditemukan

yang dirawat di Ruang Rawat Inap kelainan. Pada pemeriksaan fasial

Teratai, Cempaka, dan Wijayakusuma didapatkan edema regio submandibula

RSUD Karanganyar periode Desember sinistra minimal dengan tenderness dan

2019. Pasien yang dimasukkan dalam konsistensi kenyal padat. Pada

kategori kelompok 1 sebagai berikut: pemeriksaan mulut tidak tampak

Pasien atas nama Ny. N berusia 63 trismus, terdapat gigi berlubang pada

tahun datang ke IGD RSUD molar 1 atas dan bawah.

Karanganyar dengan keluhan nyeri Dari hasil pemeriksaan

telan sudah sejak 1 minggu yang lalu, laboratorium awal masuk pada tanggal

hilang-timbul dan semakin memberat. 29 November 2019 didapatkan

Nyeri memberat ketika pasien makan pemeriksaan GDS yang tinggi yaitu

dan berkurang ketika pasien sebesar sebesar 317 gr/dl dan jumlah

beristirahat, nyeri dirasakan seperti ada AL meningkat yaitu23,29.103/uL. Dan

yang mengganjal ditenggorokan ketika pada saat pasien dipulangkan hasil

pasien makan, dan nyeri tekan juga GDS sudah menurun menjadi 184 gr/dL.

padarahang bawah kanan. Namun pasien Pasien An. LN berusia 11 tahun,

mengakui tidak merasa kesulitan untuk datang ke poli THT-KL RSUD

membuka mulut.Saat berbicara suara Karanganyar tanggal 7 Desember 2019

pasien terdengar bergumam.Pasien pasien mengeluhkan nyeri tekan pada

mengakui memiliki riwayat sakit gigi leher sebelah kiri. 10 hari SMRS ibu

sebelumnya.Pasien memiliki riwayat pasien melihat leher pasien

penyakit DM. membesar pada bagian kiri, disertai

penurunan nafsu makan, nyeri

1451
tenggorokan, leher terasa sakit, pusing, ALyang normal yaitu sebesar

mudah lelah, sering mengantuk, lemas, 8,90.103/uL.

batuk dengan dahak berwarna putih Pasien Bp. S pria berusia 58

kental, pilek hilang timbul, terjadi tahun, datang ke IGD RSUD

perubahan suara pasien yaitu menjadi Karanganyar tanggal 7 Desember 2019

seperti bergumam. Pasien mengeluhkan Penderita saat itu mengeluhkan nyeri

sering batuk dan pilek. pada tenggorokan sejak yang lalu. Nyeri

Pada pemeriksaan telinga dan dirasakan pasien terus-menerus.Pasien

hidung tidak ditemukan kelainan.Pada juga mengeluhkan nyeri saat

pemeriksaan fasial didapatkan edema menelan.Sehingga nafsu makan pasien

regio submandibula sinistra dengan menjadi turun. Keluhan lain seperti

tenderness dan konsistensi kenyal pusing, demam, batuk, pilek diakui

padat.Pada pemeriksaan mulut tampak pasien.

trismus sebesar2 jari, namun tidak Pada pemeriksaan telinga dan

terdapat caries dentis.Pada pemeriksaan hidung tidak ditemukan kelainan. Pada

tenggorok ditemukan mukosa faring pemeriksaan fasial didapatkan edema

hiperemis, tonsil tampak T1/T3, regio submandibula dextra dengan

hiperemis, kripta sedikit melebar, tenderness dan konsistensi kenyal padat.

detritus tidak ada.Pada daerah peritonsil Pada pemeriksaan mulut tampak trismus

sinistra tampak edema, hiperemis sebesar2 jari dan terdapat caries dentis di

dan menonjol kedepan.Uvula tampak gigi molar 2 dan 3 bawah kanan. Pada

masih di tengah. pemeriksaan tenggorok ditemukan

Dari hasil pemeriksaan mukosa faring hiperemis, tonsil

laboratorium awal masuk pada tanggal tampak T3/T2,hiperemis, kripta tidak

7Desember 2019 didapatkan jumlah melebar, detritus tidak ada. Pada daerah

1452
peritonsil dextra tampak edema minimal,

hiperemis dan tidak tampak

menonjol.Uvula tampak masih di tengah.

Dari hasil pemeriksaan

laboratorium awal masuk pada tanggal

7Desember 2019 didapatkan jumlah


Gambar 1. Abses peritonsiler
ALyang normal yaitu sebesar 9,78.
Pada pemeriksaan telinga dan
3
10 /uL.
hidung tidak ditemukan kelainan.Pada
Pasien Bp. RA pria berusia 61
pemeriksaan fasial tidak didapatkan
tahun, datang ke IGD RSUD
edema maupun tenderness di regio
Karanganyar tanggal 16 Desember
mandibularis.Pada pemeriksaan mulut
2019.Penderita saat itu mengeluhkan
tampak trismus sebesar 2 jari, namun
nyeri pada rahang bawah kanan sejak 1
tidak terdapat caries dentis. Pada
minggu yang lalu.Nyeri dirasakan
pemeriksaan tenggorok ditemukan
pasien terus-menerus.Pasien juga
mukosa faring hiperemis, tonsil tampak
mengeluhkan nyeri saat
T3/T3, hiperemis, kripta melebar
menelan.Sehingga nafsu makan pasien
(Gambar 1), detritus tidak ada.
menjadi turun.Pasien juga mengeluhkan
Pada daerah peritonsil dextra tampak
kesulitan untuk membuka mulut.Telinga
edema, hiperemis dan sedikit menonjol
merasa berdenging sejak semalam.
kedepan.Uvula tampak masih di tengah.
Riwayat gigi berlubang pada geraham
Dari hasil pemeriksaan
bawah kanan sejak satu minggu yang
laboratorium awal masuk pada tanggal
lalu. Keluhan lain seperti pusing mual
16 Desember 2019 didapatkan jumlah
diakui pasien.
ALyang cukup tinggi yaitu sebesar

16,78.103/uL.

1453
Pasien yang dimasukkan dalam kategori dextra dengan tenderness dan

kelompok 2 sebagai berikut : konsistensi kenyal padat.Pada

Pasien atas nama Bp. R berusia pemeriksaan mulut tampak trismus

49th datang ke IGD RSUD Karanganyar sebesar1 jari (Gambar 2), terdapat caries

karena mengeluhkan nyeri pada rahang dentis pada molar 1 dan 2 bawah kanan.

bawah kanan sudah sejak 3 HSMRS, Dari hasil pemeriksaan

nyeri telan diakui, disertai sulit laboratorium awal masuk pada tanggal 4

membuka mulut dan napsu makan yang Desember 2019 didapatkan jumlah AL

menurun karena pasien kesulitan untuk tinggi yaitu 13,74.103/uL, kemudian

makan dan minum. Nyeri juga pada tanggal 8 Desember 2019

dirasakan ketika pasien berbicara dan didapatkan jumlah AL meninggi

menggerakkan leher. Saat berbicara yaitu sebesar14,34.103/uL. Kemudian

suara pasien terdengar bergumam. hasil lab padatanggal 10 Desember

Pasien juga mengeluhkan adanya telinga 2019 didapatkan jumlah AL yang

berdenging dan adanya nyeri menjalar meningkat yaitu sebesar16,03.103/uL

ke telinga. Pasien mengakui memiliki dan pada tanggal 14 Desember

riwayat sakit gigi. 2019 didapatkan jumlah AL yang

meningkat yaitu sebesar

17,53.103/uL.

Penderita HS pria berusia 26

tahun, datang ke IGD RSUD


Gambar 2. Abses Submandibula Karanganyar tanggal 10 Desember 2019.
Pada pemeriksaan telinga, Penderita saat itu mengeluhkan sulit
hidung dan tenggorokan tidak ditemukan makan sejak 2 hari yang lalu.Pasien juga
kelainan.Pada pemeriksaan fasial mengeluhkan nyeri saat menelan dimana
didapatkan edema regio mandibula

1454
pasien hanya bisa makan 2 sendok bubur ALyang tinggi yaitu sebesar

lembut dan pasien merasa ada yang 20,53.103/uL.

mengganjal.Pasien jugamengeluhkan Pada hasil CT scan mandibula

telinga berdenging dan nyeri menjalar (Gambar 3) didapatkan massa oval batas

dari rahang ke telinga. tegas pada regio mandibularis dextra

Pada pemeriksaan telinga dan yang tampak menempel pada

hidung tidak ditemukan kelainan. Pada glandula submandibularis dextra, curiga

pemeriksaan fasial didapatkan edema suatu abses mandibula dextra.

regio submandibula dextra dengan

tenderness dan konsistensi kenyal padat.

Pada pemeriksaan mulut tampak trismus

sebesar1 jari dan terdapat caries dentis di

gigi molar 3 bawah kanan.Pada

pemeriksaan tenggorok ditemukan

mukosa faring hiperemis, tonsil tampak


Gambar 3. CT Scan Pasien Abses
T3/T2, hiperemis, kripta tidak melebar,
Peritonsiler
detritus tidak ada.Pada daerah
Pasien yang dimasukkan dalam
peritonsil dextra tampak edema
kategori kelompok 3 sebagai berikut :
minimal, hiperemis dan tidak tampak
Pasien atas nama Bp. H
menonjol. Uvula tampak masih di
berusia36th datang dengan keluhan
tengah.
nyeri pada pipi sebelah kiri, dirasakan
Dari hasil pemeriksaan
nyeri telan, dan kesulitan dalam
laboratorium awal masuk pada tanggal
membuka mulut, sehingga makan dan
10 Desember 2019 didapatkan jumlah
minum pasien terganggu. Pasien

mengakui nyeri pada pipi kiri terkadang

1455
disertai nyeri kepala yang hilang timbul. Pasien Bp. H sempat mendapatkan

Saat berbicara suara pasien terdengar terapi kombinasi berupa Injeksi

bergumam. Pasien mengakui memiliki ceftriaxone dan metronidazol namun

riwayat sakit gigi sebelumnya. karena tidak didapatkan perbaikan

Pada pemeriksaan telinga, hidung kondisi maka dilakukan tindakan

dan tenggorokan tidak ditemukan pembedahan.

kelainan. Pada pemeriksaan fasial Bp. L, laki-laki 26 tahun, datang

didapatkan edema regio mandibula keIGD RSUD Karanganyar pada tanggal

sinistra dengan tenderness dan 20Desember 2019 dengan keluhan

konsistensi kenyal padat. Pada bengkak pada kedua rahang bawah

pemeriksaan mulut tampak trismus terutama sebelah kiri sejak 4 hari

sebesar1 jari, terdapat caries dentis pada sebelumnya. Keluhan disertai

molar 1 dan 2 atas, molar 1 dan 2 bawah, demam sejak 4 hari yang lalu. Pasien

gigi berlubang pada premolar 1 dan 2 kesulitan untuk membuka mulut dan

atas. bicara karena nyeri dan bengkak pada

Dari hasil pemeriksaan kedua leher.Pasien juga merasakan

laboratorium awal masuk pada tanggal bengkak pada dasar lidah.Pasien

28 November 2019 didapatkan jumlah mengeluhkan adanya perubahan suara

AL yang meninggi yaitu sebesar seperti bergumam (hot potato’s voice).

11,75.103/uL. Kemudian pada tanggal 3 Keluhan sesak diakui oleh pasien ketika

Desember 2019 didapatkan jumlah AL berbaring. Keluhan pilek dan nyeri

normal yaitu sebesar 11,32.103/uL. telinga disangkal oleh pasien.Keluhan

Pada tanggal 7 Desember 2019 nyeri pada pipi dan dahi disangkal oleh

didapatkan jumlah AL meninggi pasien.Pasien mengaku ada gigi

sebesar 13,10.103/uL. berlubang pada gigi bawah sebelah

1456
kiri.Riwayat trauma disangkal oleh Dari hasil pemeriksaan

pasien. laboratorium didapatkan jumlah

Dari hasil pemeriksaan fisik AL18,42.103/uL dan Neutrofil 80,1%.

didapatkan keadaan umum tampak sakit Darihasil pemeriksaan CT Scan (Gambar

sedang dengan nilai VAS 4, kesadaran 5) kepala polos didapatkan pembesaran

compos mentis, tekanan darah 130/80 glandula submandibularis sinistra

mmHg, nadi 108 x/menit, frekuensi dengan denditas kistik dan kalsifikasi

napas 20 x/menit, suhuh 37,8oC. Pada didalamnya yang tampak menempel di

mulut didapatkan caries dentis pada musculus hypoglossus sinistra. Pasien

molar 2 kiri rahang bawah. Dasar mulut telah mendapatkan terapi antibiotik

tampak menonjol di bawah lidah (edema meropenem namun karena didapatkan

sublingual) dengan lidah tampak sedikit alert sign berupa peninggian lidah,

elevasi.Tidak didapatkan gambaran trismus, perubahan suara, odinofagi,

absespada tonsil, faring tenang, namun dan selulitis submandibula dengan

didapatkan trismus sebesar 2 jari. klinis angina ludwig serta ukuran abses

Pada telinga, hidung dan yang > 3cm maka selanjutnya pasien

tenggorokan dalam batas normal. memerlukan tindakan pembedahan.

Pada leher tampak edema dan hiperemis

sepanjang submandibular bilateral

hingga ke leher depan setinggi kartilago

tiroid berukuran 10x5 cm (Gambar 4).

Pada palpasi teraba hangat, massa

dengan konsistensi keras padat,

terlokalisir, batas jelas, tidak fluktuatif

dan nyeri tekan.

1457
PEMBAHASAN

Pembentukan abses merupakan

hasil perkembangan dari flora

normal dalam tubuh. Flora normal dapat

tumbuh dan mencapai daerah steril dari

tubuh baik secara perluasan langsung,

maupun melalui laserasi atau perforasi.

Berdasarkan kekhasan flora normal

yang ada di bagian tubuh tertentu maka

kuman dari abses yang terbentuk dapat

diprediksi berdasarkan lokasinya.

Gambar 4.Pasien dengan Ludwig’s Sebagian besarabses leher dalam

Angina disebabkan oleh campuran berbagai

kuman, baik kuman aerob, anaerob,

maupun fakultatif anaerob (Pulungan,

2011).

Sumber infeksi paling sering pada

infeksi leher dalam berasal dari infeksi

tonsil dan gigi. Infeksi gigi dapat

mengenai pulpa dan periodontal.

Penyebaran infeksi dapat meluas melalui

foramen apikal gigi ke daerah


Gambar 5. CT Scan Pasien Ludwig’s
sekitarnya. Apek gigi molar I yang
Angina
berada di atas mylohyoid menyebabkan

penjalaran infeksi akan masuk terlebih

1458
dahulu ke daerah sublingual, sedangkan akan muncul bila infeksi meluas

molar II dan III apeknya berada di mengenai otot-otot pterigoid.

bawah mylohyoid sehingga infeksi Trismus dapat terjadi dan menunjukkan

akan lebih cepat ke daerah adanya iritasi pada m.masticator

submaksila (Pulungan, 2011). (Lemonick,2002).

Pengenalan tanda dan gejala Tanda ketiga berupa perubahan

bahaya pada infeksi leher dalam suara didapatkan pada kelima pasien.Ini

termasuk penting. Tanda dan gejala disebabkan karena penderita berusaha

bahaya meliputi: mengurangi rasa nyeri saat

 Nyeri ketika menoleh kepala membuka mulut.Seperti dikutip dari

 Trismus Finkelstein, Ferguson mendefinisikan

 Perubahan suara hot potato’s voice merupakan suatu

 Disartria penebalan pada suara (Novialdi &

 Disfonia dari kompresi nervus Prijadi, 2012).

vagus Tanda berikutnya berupa disartria

 Lidah yang bengkak dan dan disfonia tidak didapatkan pada

kedelapan pasien. Kemudian, untuk


 Peninggian dasar lidah
tanda temuan lidah yang bengkak tidak
 Disfagi/odinofagi
ditemukan pada kedelapan pasien.
 Keluar banyak air liur (Wates et al,
Namun untuk peninggian dasar lidah,
2018).
ditemukan pada pasien Bp. L dengan
Tanda pertama berupa nyeri ketika
diagnosis Angina Ludwig, dimana
menoleh kepala ditemukan pada
pasien merasakan bengkak pada dasar
satu pasien atas nama Bp. R. Tanda
lidah.Pada pemeriksaan fisik didapatkan
bahaya kedua berupa trismus
dasar mulut tampak menonjol di bawah
didapatkan pada ketujuh pasien. Trismus

1459
lidah (edema sublingual) dengan lidah mungkin mendapatkan kesulitan untuk

tampak elevasi disertai indurasi dari makan bahkan menelan ludah. Akibat

dasar mulut. Hal tersebut dikarenakan tidak dapat mengatasi sekresi ludah

adanya ruang potensial terjadinya sehingga terjadi hipersalivasi dan ludah

Angina Ludwig yaitu ruang suprahioid seringkali menetes keluar (Marbun,

yang berada antara otot-otot yang 2016).

melekatkan lidah pada tulang hioid dan Faktor risiko terjadinya

otot milohiodeus, dimana peradangan komplikasi seperti Descending

pada ruang ini menyebabkan kekerasan Necrotizing Mediastinitis (DNM)

yang berlebihan pada jaringan dasar (tersering), Fasciitis Necrotic Cervical,

mulut, ditandai pembengkakan seluruh pecahnya pembuluh darah, obstruksi

ruang submandibula dan mendorong jalan napas, syok septik, menyebabkan

lidah keatas dan belakang dan dengan kematian, dan infeksi sekunder dari

demikian dapat menyebabkan obstruksi odontogenik adalah salah satunya pasien

jalan napas secara potensial (Gadre, dengan komorbid Diabetes Mellitus

2001 & Paolo, 2006). (DM), yaitu pada pasien Ny. N dengan

Dari kedelapan pasien ditemukan abses peritonsil karena adanya virulensi

seluruh pasien mengalami odinofagia, bakteri Klebsiella yang ditentukan oleh

namun tidak ada yang mengalami fungsi makrofag inang danfungsi

disfagia.Untuk tanda lainnya seperti makrofag terganggu pada keadaan

produksi liur berlebihan (hipersalivasi) hiperglikemik. Suatu penelitian

ditemukan pada Bp. R dengan diagnosis mengungkapkan bahwa fungsi imun

Abses Submandibula. Nyeri tenggorok pejamu terganggu akibat dari

yang sangat (odinofagi) dapat hiperglikemi jangka pendek maupun

merupakan gejala menonjol, dan pasien jangka panjang, termasuk gangguan

1460
fungsi neutrofil, seperti: kemotaksis, dalam yang dilakukan oleh Bakir

fagositosis serta fungsi bakterisidal; (2010), kelompok usia pasien abses

gangguan imunitas seluler dan aktivitas leher dalam paling banyak adalah 30-

komplemen. Pelemahan sistem imun 39 tahun dengan persentase 20,9% (Lin

inilah yang diyakini menyebabkan et al, 2006).

infeksi menjadi piogenik atau Adapun menurut Boscolo-Rizzo

membentuk purulen dan berprogresi (2006), kelompok usia terbanyak

dengan cepat hingga terjadi abses yang ditemukan abses leher dalam adalah usia

luas dan dapat menjadikan waktu dewasa muda, dengan 80,9% kasus

penyembuhan lebih lama sehingga terjadi pada usia dibawah 40 tahun. Usia

mudah terjadi komplikasi (Joon-Kyoo dewasa muda dan pertengahan

Lee et al., 2007) . merupakan kelompok usia tebanyak

Penyakit imunodefisiensi lainnya ditemukan infeksi gigi dan tonsil dan

yang dapat meningkatkan risiko infeksi gigi yang menjadi penyebab

terjadinya komplikasi seperti infeksi terbanyak dari abses leher dalam (Bhutta

HIV, AIDS atau penyakit gagal ginjal, et al, 2006).

alkholisme tidak didapatkan pada Berdasarkan jenis kelamin,

kedelapan pasien (Wei et al, 2017 & didapatkan kasus abses leher dalam lebih

Prabhu, 2019). sering terjadi pada laki-laki daripada

Faktor risiko lainnya menurut perempuan dengan jumlah pasien laki-

Wei et al 2017 yaitu pria usia > 50 laki 17 kasus (65,4%) dan pasien

tahun. Pada kasus ini didapatkan dua perempuan 9 kasus (34,6%) sehingga

pasien yaitu atas nama Bp. S 58 tahun didapatkan rasio1,9:1 untuk pasien laki-

dan Bp. RA 61 tahun. Pada penelitian laki dibandingkan perempuan.

retrospektif mengenai abses leher

1461
Hal ini mirip dengan hasil ikat longgar yang biasanya disebabkan

penelitian oleh Gorjon, dkk (2011) dari infeksi odontogenik.

mengenai abses leher dalam selama Selulitis difus yang paling sering

periode 11 tahun (2000-2010) dengan dijumpai adalah Phlegmone / Angina

286 kasus yang menyatakan bahwa Ludwig’s. Angina Ludwig’s merupakan

pasien abses leher dalam lebih banyak suatu selulitis difus yang mengenai

pada laki-laki, dengan rasio pasien laki- spasia sublingual, submental dan

laki dibandingkan perempuan 1,2:1. Juga submandibular bilateral, kadang-kadang

pada peneitian yang dilakukan oleh sampai mengenai spasia pharingeal

Bakir (2012) mengenai abses leher (Berini, Bresco & Gray,1999 ; Topazian,

dalam selama periode 2003-2010 di 2002).

Dicle University Hospital dengan 174 Gejala klinis dari Phlegmon

kasus yaang di dalamnya dilaporkan (Pedlar, 2001), seperti oedema pada

jumlah pasien abses leher dalam berjenis kedua sisi dasar mulut, berjalan cepat

kelamin laki-laki lebih banyak menyebar ke leher hanya dalam

dibandingkan perempuan dengan rasio beberapa jam, lidah terangkat, trismus

1,2:1 (Bakir et al. 2012). progressif, konsistensi kenyal – kaku

Faktor risiko berikutnya yaitu seperti papan, pembengkakan warna

padapasien selulitis submandibula kemerahan, leher kehilangan anatomi

dengan klinis angina ludwig. Didapatkan normalnya, seringkali disertai

satu pasien dengan klinis angina ludwig demam/kenaikkan temperatur tubuh,

yaitu Bp. L. Penyebab utama selulitis sakit dan sulit menelan, kadang sampai

adalah proses penyebaran infeksi melalui sulit bicara dan bernafas serta stridor.

ruangan subkutaneus sellular / jaringan Adanya keterlibatan multiple

space pada abses leher dalam juga dapat

1462
meningkatkan risiko terjadinya untuk evaluasi infeksi leher dalam.

komplikasi (Paolo, 2006). Hal tersebut Pemeriksaan ini dapat menentukan

dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan lokasi dan perluasan abses, adanya

fisik dan penunjangyaitu CT Scan. Pada pelebaran mediastinum akibat

pemeriksaan fisik, didapatkan mediastinitis, adanya edema paru serta

keterlibatan multiple space hanya pada pneumomediastinum akibat komplikasi.

pasien Angina Ludwig, yaitu Bp. L, Pada CT scan dengan kontras akan

dimana tampak edema dan hiperemis terlihat abses berupa daerah hipodens

sepanjang regio submandibula hingga yang berkapsul, dapat disertai udara di

leher depan setinggi kartilago tiroid, dalamnya, dan edema jaringan

yang menandakan adanya keterlibatan sekitarnya. CT scan memiliki

dua ruang leher dalam yaitu sensitifitas90% dan spesifisitas 60%.

submandibula dan submentalis. Karena lebih cepat dan lebih murah

Pada pemeriksaan dengan CT CT scan lebih sering digunakan

Scan, hanya dua dari delapan pasien daripada MRI (Paolo, 2006).

yang dilakukan CT Scan, dikarenakan Dalam penelitian tersebut

adanya kecurigaan adanya keterlibatan jugamenjelaskan apabila ukuran abses

lebih dari dua ruang dan tidak adanya ≤3 cm maka observasi terlebih dahulu

perbaikan secara klinis. Namun dari selama 48 jam, bila dalam 48 jam tidak

hasil CT Scan kedua pasien tidak terdapat perbaikan pada bengkak, nyeri,

ditemukan adanya multiple space yang kaku leher, dysfagia, penurunan suhu

terlibat. Sebuah penelitian menyebutkan badan sampai normal perlu dilakukan

pada pemeriksaan Computed tindakan pembedahan. Jika pasien secara

Tomography Scan atau CT Scan klinis membaik, perlu dilakukan

dengan kontras yang merupakan standar pengulangan pencitraan dan apabila

1463
secara pencitraan belum ada perbaikan pada enam pasien.Leukositotis terjadi

maka pasien tersebut juga memerlukan karena keterlibatan sejumlah bakteri

tindakan pembedahan (Paolo, 2006). CT aerob dan anaerob yang berperan dalam

Scan dapat diulang dalam 48 jam untuk pembentukan abses. Pemeriksaan lekosit

menilai perkembangan abses dan secara serial merupakan cara yang baik

kebutuhan untuk manajemen bedah lebih untuk menilai respons terapi. Sejumlah

lanjut. Pencitraan CT Scan juga dapat jurnal juga menyebutkan keterkaitan

memperlihatkan perpanjangan infeksi dengan nilai protein C-reaktif yang

dengan pus yang turun ke mediastinum meningkat, namun pada kedelapan

sebagai tanda adanya komplikasi (Wei et pasien tidak dilakukan pemeriksaan nilai

al, 2017). protein C-reaktif (Wei et al, 2017).

Kemudian untuk faktor risiko Penatalaksanaan bisa diawali

lainnya seperti pasien trombosis vena dengan dosis antibiotik intravena.

juguler, septik embolisasi yang terdapat Biasanya infeksi dari kuman patogen

di paru, hepar, lien, sendi (Lemierre’s polimikrobial (gram positif, gram

syndrome), pasien dengan tanda-tanda negatif, aerobik, anaerobik dan kuman

kecurigaan DNM, seperti hiperpireksia, yang memproduksi β-laktamase).

nyeri dada progresif, distensi vena Secara ideal, pemilihan antibiotik

jugularis dan sesak nafas didapatkan berdasarkan hasil biakan kuman dan tes

pada satu pasien dengan Angina Ludwig kepekaan antibiotik terhadap kuman

(Weiet al, 2017 dan Paolo, 2006). penyebab infeksi. Hasil biakan kuman

Pada pemeriksaan penunjang dan tes kepekaan antibiotik

lainnya, yaitu pemeriksaan laboratorium membutuhkan waktu yang agak lama,

pada ke dilakukan tes darah rutin dan sedangkan antibiotik harus segera

didapatkan peningkatan sel darah putih diberikan.Oleh karena itu pemilihan

1464
antibiotik yang diberikan biasanya Antibiotik kemudian diubah berdasarkan

berdasarkan data empiris. hasil pemeriksaan mikrobiologis

Pada penelitian ini untuk (Weiet al.,2017). Metriondazol juga

tatalaksana dibagi dalam beberapa efektif sebagai amubisid. Cefalosporin

kelompok, yaitu di tatalaksana dengan generasi III mempunyai efektifitas yang

antibiotic kombinasi Ceftriaxone dan lebih baik terhadap gram negative

Metronidazol, antibiotik Meropenem, enteric dibandingkan dengan

dan dilakukan tindakan pembedahan sefalosporin generasi II.Ceftriaxone dan

berupa Insisi dan drainase. cefixime mempunyai efektivitas

Terdapat 5 kasus yang diberikan terhadap streptococcus. Ceftriaxone

terapi antibiotik kombinasi sangat efektif terhadap gram negative

berupaCeftriaxone dan metronidazol, dan Haemofillus sp.

namun pada kelompok ini didapatkan Dari 8 kasus, 3 diantaranya masuk

adanya satu kasus dengan alert sign dari dalam kategori kelompok dua karena

infeksi leher dalam maka pasien tersebut ditemukan adanya perburukan gejala

memerlukan tindakan insisi dan atau alert sign pada pasien sehingga

drainase, sedangkan satu kasus lainnya terapi antibiotik diganti dengan

mempunyai riwayat DM dengan gula Meropenem, dua kasus yang diberikan

darah terkontrol tidak dilakukan meropenem terdapat perbaikan gejala-

tindakan pembedahan karena tidak gejala dari pasien tanpa perlu dilakukan

terdapat gejala komplikasi dan membaik tindakan pembedahan. sedangkan satu

dengan terapi kombinasi. kasus lainnya dari kelompok dua

Terapi empiris biasanya dimulai memerlukan tindakan insisi dan

dengan Sefalosporin generasi ke-2 drainase abses. Meropenem sensitif

dikombinasikan dengan metronidazol. terhadap kuman Streptococcus aureus,

1465
Streptococcus pneumonia, Streptococcus Namun pada laporan kasus ini,

a hemolitikus, Klebsiellla sp, E. colli. tindakan drainase dilakukan secara

Pada penelitian ini, terdapat total 2 ekstraoral karena letak abses dinilai

kasus yang masuk pada kelompok tiga tidakberdekatan dengan vaskuler yang

yang dilakukan pemberian terapi besar dalam:

antibiotik dan tindakan insisi serta 1. Melibatkan > 2 ruang leher dalam

drainase dengan indikasi pembedahan, 2. Luas abses > 3 cm, bila ukuran ≤ 3cm

dengan demikian menghentikan observasi selama 48 jam dan apabila

ketegangan (dekompresi) yang terbentuk dalam 48 jam tidak terdapat

pada dasar mulut.Kasus yang dilakukan perbaikan pada bengkak, nyeri, kaku

tindakan pembedahan yaitu kasus leher, dysphagia, penurunan suhu

Angina Ludwig’s dan abses maka terapi pembedahan perlu

submandibular. dilakukan.

Indikasi pembedahan abses 3. Jika klinis membaik, perlu

leherlebih aman apabila dilakukan dilakukan pengulangan pencitraan

drainase dari intraoral. Penelitian lain ulang, bila secara pencitraan tidak

melaporkan bahwa abses lateral pharyng megalami perbaikan, maka perlu

juga dapat dilakukan drainase intraoral dilakukan pembedahan. (Paolo, R. B.,

bila pada CT scan menunjukkan abses 2006)

berada di medial pembuluh darah besar Pemilihan drainase ekstraoral

cervical.Kelebihan drainase intraoral maupun intraoral tergantung dari

1. Lebih agresif (tidak ada risiko lokasi dan letak vaskuler yang besar

keloid, dan tidak melukai saraf pada cervical. Namun untuk abses

marginal mandibular). retrofiring. Tiga kunci penting untuk

2. Waktu sembuh lebih cepat

1466
keberhasilan manajemen infeksi leher 3. Drainase bedah dengan kondisi: tahap

dalam adalah: selulitis berubah menjadi tahap abses,

1. Perlindungan dan kontrol jalan napas, gagal atau memburuk secara klinis

trakeostomi dilakukan pada pasien setelah diberikan antibiotik.

yang mengalami kesulitan jalan nafas (Prabhu, 2019; Wates, 2018).

(gold standar). Namun pada Preoperatif yang paling penting

trakeostomi memiliki kerugian untuk diperhatikan sebelum dilakukan

berpotensi menyebabkan penghubung pembedahan ialah keadaan umum

antara abses dan ruang jaringan yang pasien, tidak adanya sumbatan jalan

berdekatan termasuk perdarahan nafas, resusitasi cairan dan keadaan

(yang bisa berpotensi fatal), jaringan metabolik, pemberian antibiotik. Post

parut, pneumotoraks dan stenosis operasi yang perlu dimonitor adalah

trakea. Sehingga memerlukan tanda-tanda respon terhadap terapi,

pertimbangan yang akurat untuk kultur dan sensitifitas kuman terhadap

melakukan tindakan tersebut. Pada antibiotik, ada tidaknya tanda-tanda

pasien di laporan kasus ini tidak sumbatan jalan nafas, dan ada tidaknya

dilakukan tidakan Intubasi karena komplikasi dari abses.

dapat menyebabkan edema yang luas KESIMPULAN

pada laringofaring dan risiko Penderita abses leher dalam

pembukaan abses secara internal yang dirawat di Ruang Rawat Inap

yang mengarah ke aspirasi ketika Teratai,Cempaka, dan Wijayakusuma

intubasi. RSUD Karanganyar periode Desember

2. Terapi antibiotik, antibiotik diberikan 2019 dengan karakteristik jenis kelamin

secepatnya tanpa menunggu kultur terbanyak yaitu laki laki. Rentang

dan uji sensitifitas bakteri. usia yang didapatkan yaitu 11-63 tahun.

1467
Abses tersering di peritonsil disusul terapi medikamentosa dan semua pasien

submandibula dan angina ludwig. menunjukkan perbaikan.Tidak

Etiologi tersering yaitu infeksi gigi. ditemukan adanya komplikasi pada

Terdapat satu pasien dengan penyakit kedelapan pasien dalam penelitian ini.

penyerta yaitu DM. Adanya tanda Tatalaksana pada abses leher

bahaya ditemukan yaitu nyeri saat dalam bisa diberikan antibiotik

menoleh terdapat pada 1 pasien, trismus kombinasi ceftriaxone dan metroidazol

7 pasien, perubahan suara 5 pasien, atau Meropenem atau terapi antibiotik

peninggian dasar lidah 1 pasien, dan tindakan pembedahan berupa insisi

odinofagia 8 pasien dan hipersalivasi 1 dan drainase.Tatalaksana dapat dipilih

pasien. berdasarkan ada atau tidaknyaalert sign

Lama perawatan rerata 6 hari dan tanda komplikasi.

dengan 62,5% pasien dirawat selama ≤ 7 Berdasarkan penelitian ini

hari. Faktor risiko yang dapat disarankan kepada masyarakat untuk

meningkatkan terjadinya komplikasi menjaga kesehatan gigi dan mengatur

diantaranya DM terdapat pada 1 pola makan agar resiko menderita DM

pasien, pria berusia >50 tahun pada 3 menjadi berkurang dan faktor risiko

pasien, selulitis submandibula dengan terjadinya komplikasi dari abses leher

klinis angina ludwig 1 pasien dan dalam juga dapat ditekan.

multiple space yang terlibat pada 1 DAFTAR PUSTAKA

pasien yang diketahui dari pemeriksaan 1. Abshirini H, Alavi SM, Rekabi H and
Ghazipur A, 2010. Predisposing
fisik. Factors for The Complications of
Deep Neck Infection. The Iranian J of
Pasien pada kasus ini yang Otorhinolaryngol. 22(60):45-139.

dilakukan insisi drainase sebanyak dua 2. Al-Sabah B, Bin Salleen H, Hagr A,


Choi-Rosen J, Manoukian JJ, Tewfik
orang dan 6 orangnya mendapatkan TL, 2004. Retropharyngeal Abscess
in Children: 10-year study. J
Otolaryngol. 33(6):352-355.

1468
3. Andrina YMR. Abses retrofaring Philadelphia: Lippincott Williams &
[internet]. Medan: Fakultas Wilkins co; 2001: 665-82.
Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit
Telinga Hidung Tenggorokan 8. Marom T., dkk. Peritonsil abscess.
Universitas Sumatera Utara; 2003 American J of Otolaryngology-Head
[diakses tanggal 25 Februari 2013]. and Neck Medicine and Surgery31;
Tersedia dari: 2010. h. 162-7.
http://www.repository.usu.ac.id.2.
Huang SH, Yang SW, See LC, Lee
MH, Chen TM, Chen TA. Deep neck
abscess: an analysis of microbial
etiology and the effectiveness of
antibiotics, infection and drug
resistence [internet]. USA: Dove
Press; 2008 [diakses tanggal 24
Februari 2013]. Tersediadari
http://www.dovepress.com/deep-
neck-abscess-an-analysis-of-
microbial-etiology-and-the
effectiven.

4. Ballenger JJ. Leher, orofaring dan


nasofaring. Dalam: Ballenger JJ,
ed. Penyakit Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala dan Leher. Jilid
Edisi 13. Alih bahasa: Staf Ahli
Bag THT RSCM-FKUI. Jakarta:
Binarupa Aksara; 1994: 295-304.

5. Boyanova L, Kolarov R, Gergova G,


Deliverska E, Madjarov J, Marinov
M, Mitov I, 2006. Anaerobic
Bacteria in 118 Patient with Deep
Space Head and Neck Infections from
the University of Hospital of
Maxillofacial Surgery, Sofia,
Bulgaria. J Med Microbiol. 55(Pt
9):1285-1289.

6. Fachrudin D. Abses leher dalam.


Dalam: Soepardi EA, penyunting.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher.
Edisi ke-7. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI; 2012. h. 204-8.

7. Gadre AK, Gadre KC. Infections of


the deep spaces of the neck. In:
Bailey BJ ed. Head & Neck Surgery
Otolaryngology 3th ed. Vol 1.

1469

Anda mungkin juga menyukai