Anda di halaman 1dari 92

STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

RSU GANESHA

KOMITE KEPERAWATAN

RUMAH SAKIT UMUM GANESHA


2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
rahmat-Nya Buku Pedoman Standar Asuhan Keperawatan Medikal Bedah yang
mengacu pada 10 Diagnosa terbanyak dapat diselesaikan
Pelayanan keperawatan sebagai ujung tombak pelayanan rumah sakit juga
senantiasa meningkatkan profesionalisme perawatnya. Salah satu upaya yang
ditempuh adalah dengan menerbitkan buku Standar Asuhan Keperawatan
(ASKEP) ini, yang diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dan panduan bagi
perawat praktisi dalam memberikan asuhan keperawatannya.
Kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang mendalam
kepada kelompok penyusun standar asuhan keperawatan ini yang dengan dedikasi
tinggi rela menyumbangkan waktu, tenaga, dan pemikiran demi tersusunnya
standar ini. Dengan penuh semangat untuk belajar dan berkembang, kelompok
berusaha menyusun standar ini dari berbagai referensi, mempresentasikan pada
rekan-rekan perawat dan menyusun ulang standar ini didasarkan pada diskusi soal
presentasi. Semoga usaha ini dapat menunjang bagi kemajuan dan peningkatan
mutu pelayanan keperawatan dari RSU Ganesha. Kami juga menyadari
penyusunan buku ini masih jauh dari sempurna sehingga kritik dan saran yang
membangun sangat diharapkan.

Gianyar, 24 Januari 2021


Tim Penyusun

Komite Keperawatan

ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL DEPAN.............................................................................i
KATA PENGANTAR...........................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

A. APPENDISITIS...............................................................................................3
1. Konsep Dasar Penyakit.................................................................................3
2. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan...........................................................12

B. CHOLELITHIASIS......................................................................................22
1. Konsep Dasar Penyakit...............................................................................22
2. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan...........................................................29

D. DHF (DENGUE HAEMORHAGIC FEVER)............................................37


1. Konsep Dasar Penyakit...............................................................................37
2. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan...........................................................45

D. GEA (GASTROENTERITIS AKUT).........................................................53


1. Konsep Dasar Penyakit...............................................................................53
2. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan...........................................................58

E. STROKE NON HEMORAGIK (SNH).......................................................64


1. Konsep Dasar Penyakit...............................................................................64
2. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan...........................................................69

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Keperawatan sebagai salah satu bentuk pelayanan professional merupakan bagian


integral yang tidak dapat dipisahkan dari upaya pelayanan kesehatan secara keseluruhan.
Selain itu pelayanan keperawatan merupakan salah satu faktor penentu baik buruknya
mutu dan citra rumah sakit, oleh karenanya kualitas pelayanan keperaatan perlu
dipertahankan dan ditingkatkan seoptimal mungkin.
Buku Standar Asuhan Keperawaan Medical Bedah dengan 10 diagnosa terbanyak
ini disusun sebagai panduan bagi tenaga keperawatan di lingkungan Rumah Sakit Umum
Ganesha dalam memberika asuhan keperawatan yang efektif, berkualitas dan professional.
Ketentuan yang telah dijadikan sebagai dasar acuan untuk bergeraknya system
asuhan keperawatan yang tertera dan terpandu. Buku Standar Asuhan Keperawatan ini
mencakup berbagai Asuhan Keperawatan Medical Bedah, buku ini terdiri dari bagian-
bagian :
A. Standar Asuhan Keperawatan dengan Apendisitis
B. Standar Asuhan Keperawatan dengan Cholelitiasis
C. Standar Asuhan Keperawatan dengan DHF (Dengue Hemoragik Fever)
D. Standar Asuhan Keperawatan dengan GEA (Gastroenteritis Akut)
E. Standar Asuhan Keperawatan dengan SNH (Stroke Non Hemoragik)
Keseluruhan dari Standar Asuhan Keperawatan tersebut masing-masing memiliki konsep
dasar yang baku karena dari tinjauan teoritis mengulas :
1. Definisi
2. Patofisiologi
3. Etiologi
4. Manifestasi klinis
5. Komplikasi
6. Pemeriksaan diagnostic
7. Penatalaksanaan medic
Setelah memahami ilmu tentang penyakit tersebut perawat dapat lebih memahami
dan melaksanakan asuhan keperawatan dengan lebih teliti. Sedangkan di dalam Standar
Asuhan Keperawatan medical bedah ini mencakup :
1. Pengkajian
2. Diagnosa keperawatan

1
3. Intervensi : tindakan yang kompeten utuk dilaksanakan kepada pasien
4. Evaluasi : hasil yang diharapkan.

2
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN APPENDISITIS

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Pengertian
Apendisitis adalah peradangan pada organ tambahan kecil yang
memiliki ujung seperti jari panjangnya kira-kira 10 cm (4 inci), melekat
pada sekum tepat di bawah katup ileoseikal.
Apendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing.
Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus
memerlukan laparatomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi.
Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh
peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur.
2. Klasifikasi
a. Apendisitis Akut Katarhalis
Bila terjadi obstruksi, sekresi mukosa menumpuk dalam lumen
apendiks, terjadi peninggian tekanan dalam lumen, tekanan ini
mengganggu aliran limfe, mukosa apendiks jadi menebal, oedem dan
kemerahan. Pada apendiks edema mukosa ini mulai terlihat dengan
adanya luka-luka kecil pada mukosa
b. Apedisitis Akut Purulenta
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah yang disertai edema,
menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan
menimbulkan thrombus. Hal ini akan memperberat iskemik dan edema
pada apendiks. Bakteri yang dalam normal terdapat di daerah ini
berinvasi ke dalam dinding, menimbulkan infeksi serosa, sehingga
serosa jadi suram, karena dilapisi eksudat dan fibrin. Karena infeksi
akan terbentuk nanah terjadi peritonitis lokal.
c. Apendisitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai
terganggu terutama bagian ante mesentrial yang peredarannya paling
minimal, hingga terjadi infrak dan ganggren.
d. Apendisitis Perforata
Bila apendiks yang sudah ganggren itu pecah, terjadilah perofasi

3
e. Apendisitis Infiltrat yang Fixed
Perforasi yang terjadi pada daerah ganggren sehingga nanah dan
produksi infeksi mengalir ke dalam rongga perut dan menyebabkan
peritonitis generalisata serta abses sekunder. Bila mekanisme pertahanan
tubuh cukup baik, tubuh berusaha melokalisir tempat infeksi tersebut
dengan cara membentuk “walling off” oleh omentum, usus halus,
sekum, kolon dan peritoneum, yaitu membentuk gumpalan masa
phlegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya. Dalam keadaan
ini tubuh berhasil melokalisir daerah infeksi secara sempurna.
f. Apendisitis Abses
Bila masa lokal yang terbentuk berisi nanah.
g. Apendsitis Kronis
Jika apendisitis infiltrat menyembuh dengan adanya gejala hilang
timbul.

3. Etiologi
Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses
radang bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya
Hiperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris
yang menyumbat. Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan
penyakit ini. Namun ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya
radang apendiks, diantaranya :
a. Faktor sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis
(90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh
hyperplasia jaringan lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4%
karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh
parasit dan cacing. Obsrtruksi yang disebabkan oleh fekalith dapat
ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut diantaranya ; fekalith
ditemukan 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus
apendisitis akut ganggrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus
apendisitis akut dengan rupture.

4
b. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada
apendisitis akut. Adanya fekolith dalam lumen apendiks yang telah
terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi
peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur
didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes
fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas,
Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi
adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob<10%.
c. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter dari
organ, apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan
letaknya yang mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan
dengan kebiasaan makanan dalam keluarga terutama dengan diet rendah
serat dapat memudahkan terjadinya fekolith dan mengakibatkan
obstruksi lumen.
d. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-
hari. Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat
mempunyai resiko lebih tinggi dari Negara yang pola makannya banyak
serat. Namun saat sekarang, kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih
telah merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru
Negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke
pola makan rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi.
e. Faktor infeksi saluran pernapasan
Setelah mendapat penyakit saluran pernapasan akut terutama epidemi
influenza dan pneumonitis, jumlah kasus apendisitis ini meningkat. Tapi
harus hati-hati karena penyakit infeksi saluran pernapasan dapat
menimbulkan seperti gejala permulaan apendisitis.

4. Tanda dan gejala


Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis
adalah nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar
umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa

5
mual, bahkan terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu makan menurun.
Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah,
ke titik Mc Burney (terletak ⅓ jarak tulang sias atau kanan pusar). Di titik
ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri
somatik setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah
epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa
memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa
mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang apendisitis juga disertai
dengan demam derajat rendah sekitar 37,5 -38,5 derajat celcius.
Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul
sebagai akibat dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak
apendiks ketika meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut :
a. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum
(terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu
jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah
perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti
berjalan, bernapas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena
adanya kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.
b. Bila apendiks terletak di rongga pelvis Bila apendiks terletak di dekat
atau menempel pada rektum, akan timbul gejala dan rangsangan
sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat, pengosongan
rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).
c. Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih,
dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya
dindingnya.
d. Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit
dilakukan diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat
pada waktunya, sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi
perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana gejala apendisitis tidak
jelas dan tidak khas.
1) Pada anak-anak
Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan.
Seringkali anak tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan
beberapa jam kemudian akan terjadi muntah- muntah dan anak

6
menjadi lemah dan letargik. Karena ketidakjelasan gejala ini,
sering apendisitis diketahui setelah perforasi. Begitupun pada
bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.
2) Pada orang tua berusia lanjut
Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih
dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi
perforasi.
3) Pada wanita
Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan
yang gejalanya serupa dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat
genital (proses ovulasi, menstruasi), radang panggul, atau
penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil dengan usia
kehamilan trimester, gejala apendisitis berupa nyeri perut, mual,
dan muntah, dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul
pada kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan lanjut,
sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral, sehingga
keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke
regio lumbal kanan.
e. Nyeri kuadran kanan bawah dan biasanya demam ringan
f. Mual, muntah
g. Anoreksia, malaisse
h. Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney
i. Spasme otot
j. Konstipasi, diare

5. Patofisiologi
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteri. Berbagai hal berperan
sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen Apendiks merupakan faktor
yang diajukan sebagai faktor pencetus. Disamping hiperplasia jaringan
limfe, fekalit (massa keras dari feses), tumor Apendiks maupun benda
asing dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain
yang yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa
Apendiks akibat parasit seperti E. histolytica. Patologi Apendisitis dapat
dimulai di mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding

7
Apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Upaya pertahanan tubuh
berusaha membatasi proses radang ini dengan menutup Apendiks dengan
omentum, usus halus atau adneksa sehingga terbentuk massa
periapendikular yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat Apendiks.
Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat
menimbulkan perforasi. Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas
yang didasari oleh terjadinya peradangan mendadak pada umbai cacing
yang memberikan tanda setempat, baik disertai maupun tidak disertai
dengan rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik Apendisitis adalah nyeri
samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah
epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan
kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam
nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc Burney. Di sini nyeri
dirasa lebih tajam dan lebih jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri
somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat
konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan
itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Bila
terdapat perangsangan peritonium, biasanya pasien mengeluh sakit perut
bila berjalan atau batuk. Apendiks yang meradang harus segera dilakukan
pembedahan agar infeksi tidak menyebar, karena apabila tidak segera
ditanggulangi dapat menyebabkan komplikasi yaitu antara lain terjadinya
perforasi Apendiks yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses.
Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala
mencakup demam dengan suhu 37,7ºC atau lebih tinggi, penampilan toksik,
dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu.

6. Pemeriksaan Diagnostik
Menegakkan diagnosa pada Apendisitis dilakukan beberapa pemeriksaan
penunjang antara lain :
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan Darah Lengkap
Menunjukkan peningkatan jumlah sel darah putih (leukositosis
ringan) 10.000 – 20.000/ml dengan peningkatan jumlah netrofil.

8
2) Pemeriksaan Urine Lengkap
Pemeriksaan ini dilakukan untuk membedakan dengan kelainan
pada ginjal dan saluran kemih. Pada Apendisitis biasanya ditemukan
sedimen normal atau terdapat leukosit dan eritrosit lebih dari
normal.
b. Pemeriksaan Radiologi
Pada pemeriksaan radiologi menunjukan adanya fekalit dan ileus
terlokalisir. Pemeriksaan USG dilakukan bila telah terjadi infiltrat
Appendikularis karena dapat meningkatkan akurasi diagnosis.
c. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat pula menegakkan diagnosa Apendisitis antara
lain :
1) Inspeksi, pada kejadian Apendisitis sering ditemukan distensi pada
penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan
bawah bisa dilihat pada massa atau abses periapendikular.
2) Palpasi, kecurigaan menderita Apendisitis akan timbul pada saat
dokter melakukan palpasi perut. Pada palpasi didapatkan nyeri yang
terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri lepas.
3) Colok dubur, pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila
daerah infeksi dapat dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada
Apendisitis pelvika.
4) Tanda Rovsing, dapat diketahui dengan mempalpasi kuadran kanan
bawah yang menyebabkan nyeri pada kuadran kiri bawah.
5) Tanda Blumberg, dapat diketahui dengan mempalpasi kuadran kiri
bawah dan akan terasa nyeri pada kuadran kanan bawah saat palpasi
dilepas.
d. Uji psoas
Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi
sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian
paha kanan ditahan. Bila Apendiks yang meradang menempel di otot
psoas mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.
e. Uji Obturator
Uji obturator digunakan untuk melihat bilamana Apendiks yang
meradang bersentuhan dengan otot obturator internus yang merupakan

9
dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul
pada posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada Apendisitis
pelvika.

7. Komplikasi
a. Komplikasi utama adalah perforasi appediks yang dapat berkembang
menjadi peritonitis atau abses apendiks
b. Tromboflebitis supuratif
c. Abses subfrenikus
d. Obstruksi intestinal

8. Penatalaksanaan Medis
Setelah ditegakkan diagnosa Apendisitis, maka indikasinya adalah
pembedahan/ Appendiktomi, meliputi :
a. Sebelum operasi
1) Observasi
(a) Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala
Apendisitis masih belum jelas dilakukan observasi ketat,
pasien dilakukan tirah baring dan dipuasakan.
(b) Dilakukan pemeriksaan abdomen, rektal, pemeriksaan darah
diulang secara periodik.
(c) Diagnosis ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan
bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.
2) Beri antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob dan
anaerob.
b. Operasi Appendiktomi
Pembedahan Appendiktomi untuk mengangkat Apendiks yang
dilakukan segera mungkin untuk menurunkan risiko perforasi. Apabila
sudah terjadi perforasi pada Apendiks sebelumnya pasien diberi
antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman sampai tidak terdapat
pus dan apabila keadaan umum pasien baik baru dapat dilakukan
Appendiktomi.

10
1) Indikasi
(a) Apendisitis akut
(b) Apendisitis supuratif akut
(c) Apendisitis ganggrenosa
(d) Apendisitis perforasi
2) Untuk mencapai Apendiks ada tiga cara yang secara teknik operatif
mempunyai keuntungan dan kerugian :
(a) Insisi menurut Mc Burney (Grid Incision/ Muscle Splitting
Incision)
Sayatan dilakukan pada garis yang tegak lurus pada garis yang
menghubungkan spina iliaka superior (SIAS) dengan
umbilikus pada batas sepertiga lateral (titik Mc Burney).
Teknik inilah yang paling sering dikerjakan karena
keuntungannya tidak terjadi benjolan, trauma operasi
minimum pada alat-alat tubuh dan penyembuhan lebih cepat.
Kerugiannya adalah lapangan operasi terbatas, sulit diperluas
dan waktu operasi lebih lama.
(b) Insisi menurut Roux (Muscle Cutting Incision)
Lokasi dan arah sayatan sama dengan Mc Burney, hanya
sayatannya langsung menembus otot dinding perut tanpa
memperdulikan arah serabut sampai tampak peritonium.
Keuntungannya lapangan operasi lebih luas, mudah diperluas,
sederhana dan mudah. Kerugiannya adalah lebih banyak
memotong saraf dan pembuluh darah sehingga perdarahan
lebih banyak, masa istirahat pasca bedah lebih lama karena
adanya benjolan, nyeri lebih sering terjadi dan penyembuhan
lebih lama.
(c) Insisi Pararektal
Dilakukan sayatan pada garis batas m. rektus abdominis
dekstra secara vertikal dari kranial ke kaudal sepanjang 10 cm.
Keuntungannya, teknik ini dapat dipakai pada kasus-kasus
Apendiks yang belum pasti dan sayatan mudah diperpanjang.
Sedangkan kerugiannya, sayatan ini langsung mengarah ke
Apendiks/ sekum, memotong saraf dan pembuluh darah lebih

11
banyak dan menutup luka operasi diperlukan jahitan
penunjang.
c. Post operasi
1) Observasi TTV untuk mengetahui terjadinya perdarahan di dalam,
syok, hipertermi, gangguan pernafasan.
2) Baringkan pasien dalam posisi semi fowler.
3) Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan
selama itu pasien dipuasakan.
4) Berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4-5 jam lalu naikkan
menjadi 30 ml/jam keesokan harinya diberikan makanan saring dan
hari berikutnya diberikan makanan lunak.
5) Satu hari post operasi dianjurkan miring kanan/kiri dan secara
bertahap duduk tegak di tempat tidur selama 2x30 menit.
6) Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar.
7) Pada hari ketiga rawat luka dan hari ketujuh jahitan dapat diangkat.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan. Pada tahap ini akan
dilaksanakan pengumpulan data, penganalisaan data, perumusan masalah dan
diagnosa keperawatan. Pada pasien dengan Apendisitis didapatkan data :
a. Pre operasi
Pengkajian pada pasien pre operasi didapatkan data:
1) Data subyektif
Pasien mengeluh nyeri pada perut kuadran kanan bawah, mengeluh
mual dan muntah, perasaan enek, nafsu makan menurun, demam dan
mengatakan cemas dengan keadaannya.
2) Data obyektif
Pasien tampak meringis, terdapat nyeri tekan atau nyeri lepas, demam,
muntah, anoreksia, takikardi, konstipasi dan pasien tampak cemas,
terdapat skibala pada perut kuadran kiri bawah, adanya penurunan
bising usus dan distensi abdomen.

12
b. Post Operasi
Pengkajian pada pasien post operasi didapatkan data :
1) Data subyektif
Pasien mengatakan nyeri pada area post operasi, mengatakan mual dan
muntah, mengatakan tidak tahu tentang cara perawatan post operasi.
2) Data obyektif
Pasien tampak meringis, muntah, nadi meningkat, terdapat luka post
operasi pada perut kuadran kanan bawah, luka masih basah, pasien
tampak memegangi lukanya, pasien tampak terbaring di tempat tidur,
pasien tampak lemas, turgor kulit kurang elastis, mukosa bibir kering,
dan pasien tampak lemah.
2. Diagnosa keperawatan
a. Pre operasi
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisiologis dibuktikan
dengan pasien mengeluh nyeri
2) Defisit nutrisi berhubungan dengan kurangnya asupan makanan
dibuktikan dengan penurunan minimal berat badan 10% di bawah
rentang normal.
3) Ansietas berhubungan dengan krisis situasional dibuktikan dengan klien
merasa khawatir dengan akibat dari kondisi yang dihadapi, tampak
tegang, gelisah dan sulit tidur.
b. Post operasi
1) Risiko infeksi dibuktikan dengan ketidakadekuatan pertahanan tubuh
primer (kerusakan integritas kulit)
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik dibuktikan dengan
pasien mengeluh nyeri
3) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan dibuktikan dengan
dyspnea saat / setelah aktivitas, merasa tidak nyaman setelah
beraktivitas.
4) Risiko hipovolemia dibuktikan dengan kehilangan cairan aktif.
5) Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi
dibuktikan dengan klien menanyakan masalah yang sedang dihadapi,
menunjukkan perilaku tidak sesuai anjuran.

13
3. Rencana Keperawatan pre op Appendiksitis
No Diagnosa Rencana Tindakan Paraf/Nama
Tujuan dan Kriteria Hasil Rasional
Keperawatan Keperawatan Terang
1 Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan intervensi 1. Identifikasi lokasi, 1. Untuk mengetahui tingkat nyeri
dengan agen cedera keperawatan selama … x 24 jam karakteristik, durasi, klien
biologis ditandai maka tingkat nyeri menurun, frekuensi, kualitas, 2. Untuk mengetahui tingkat
intensitas nyeri, dan skala ketidaknyamanan dirasakan oleh
dengan masker wajah dengan kriteria hasil :
nyeri klien
(meringis), sikap 2. Identifikasi respon nyeri 3. Untuk memilih metode untuk
melindungi area nyeri a. Kemampuan mengenali
non verbal mengatasi atau mengurangi
dan melaporkan nyerci onset nyeri meningkat
3. Identifikasi factor yang nyeri
secara verbal. b. Kemampuan mengenali memperberat dan 4. untuk mengetahui seberapa jauh
penyebab nyeri meningkat memperingan nyeri pengaruh nyeri terhadap kualitas
c. Kemampuan menggunakan 4. Identifikasi pengaruh hidup
tehnik non- farmakologis nyeri pada kualitas hidup 5. Untuk mengalihkan perhatian
meningkat 5. Berikan teknik pasien dari rasa nyeri dan untuk
nonfarmakologis untuk mengurangi tingkat nyeri yang
mengurangi rasa nyeri dirasakan klien.
(mis. TENS, hypnosis, 6. Lingkungan yang nyaman dapat
akupresur, terapi music, meringankan rasa nyeri
biofeedback, terapi pijat, 7. Untuk memilih metode untuk
aromaterapi, teknik mengatasi atau mengurangi
imajinasi terbimbing, nyeri
kompres hangat / dingin) 8. Untuk memberikan pencegahan
6. kontrol lingkungan yang secara dini agar rasa nyeri tidak
memperberat rasa nyeri meningkat
(mis. Suhu ruangan, 9. Pemberian analgetik yg tepat
pencahayaan, kebisingan) dapat mengurangi nyeri dengan
7. pertimbangkan jenis dan cepat
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi

14
meredakan nyeri
8. jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu nyeri
9. kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
Defisit nutrisi Setelah dilakukan intervensi 1. Identifikasi status nutrisi 1. Untuk mengetahui status nutrisi
2 berhubungan dengan keperawatan selama…..x24 jam 2. Monitor asupan makanan. pasien
maka tingkat porsi makanan 3. Monitor berat badan 2. Mengetahui jumlah kebutuhan
kurangnya asupan
yang dihabiskan meningkat 4. Berikan makanan tinggi yang telah masuk ke tubuh
makanan dibuktikan dengan kriteria hasil : kalori dan tinggi protein pasien.
dengan penurunan 5. Lakukan oral hygiene 3. Mengetahui terjadinya
a. Pemasukan nutrisi pasien sebelum makan, jika perlu peningkatan atau penurunan
minimal berat badan adekuat 6. Anjurkan makan pada berat badan
10% di bawah rentang b. Jumlah cairan dan makanan posisi duduk/ kepala 4. Untuk menjaga nutrisi tubuh.
yang diterima sesuai dengan ditinggikan. 5. Untuk meningkatkan nafsu
normal.
kebutuhan tubuh pasien 7. Kolaborasi dengan ahli makan
c. Tidak terjadi penurunan gizi untuk menentukan 6. Mencegah aspirasi dan
berat badan jumlah kalori dan jenis mengurangi rasa penuh pada
d. Berat badan dan IMT nutrient yang dibutuhkan. mulut.
meningkat 7. Mengatur pola diet sesuai
e. Frekuensi dan nafsu makan kebutuhan.
meningkat

Ansietas berhubungan Setelah dilakukan intervensi 1. Monitor tanda-tand 1. Untuk menentukan tingkat
3 dengan krisis keperawatan selama ….x 24 a ansietas ansietas klien
situasional dibuktikan jam, maka tingkat ansietas 2. Temani klien untuk 2. Kesepian da
dengan klien merasa menurun dengan kriteria hasil : mengurangi kecemasan pat menambah rasa cemas klien
khawatir dengan akibat a. Verbalisasi khawatir akibat 3. Pahami situasi yang 3. Hindari atau kurangi situasi
dari kondisi yang kondisi yang dihadapi membuat ansietas yang membuat klien cemas

15
dihadapi, tampak menurun 4. Gunakan pendekatan yang 4. Perasaan tenang akan tercipta
tegang, gelisah dan sulit b. Perilaku tegang menurun tenang dan meyakinkan saat klien merasa yakin dan
tidur. c. Perilaku gelisah menurun 5. Informasikan secara percaya terhadap
d. Pola tidur membaik faktual mengenai penjelasan/tindakan yang
diagnosis, pengobatan, dilakukan oleh perawat
dan prognosis 5. Meningkatkan peng
6. Anjurkan mengungkapkan etahuan klien tentang penyakitnya
perasaan dan persepsi 6. Menyatakan dengan jelas
7. Latih teknik relaksasi harapan terhadap prilaku pasien
8. Kolaborasi pemberian 7. Tekhnik relaksasi membantu
obat antiansietas mengurasi rasa cemas klien
8. Pemberian obat antiansietas
dapat diberikan untuk
mengurangi kecemasan klien
jika diperlukan

16
4. Rencana Keperawatan post op Appendiksitis
N Paraf/
Diagnosa
O Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Tindakan Keperawatan Rasional Nama
Keperawatan
Terang
1. Nyeri akut Setelah dilakukan intervensi 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, 1. Untuk mengetahui tingkat nyeri
berhubungan keperawatan selama … x 24 jam durasi, frekuensi, kualitas, klien
dengan agen cedera maka tingkat nyeri menurun, intensitas nyeri, dan skala nyeri 2. Untuk mengetahui tingkat
2. Identifikasi respon nyeri non ketidaknyamanan dirasakan oleh
fisik dibuktikan dengan kriteria hasil :
verbal klien
dengan pasien 3. Identifikasi factor yang 3. Untuk memilih metode untuk
mengeluh nyeri a. Melaporkan nyeri terkontrol
memperberat dan memperingan mengatasi atau mengurangi nyeri
meningkat
nyeri 4. untuk mengetahui seberapa jauh
b. Kemampuan mengenali 4. Identifikasi pengaruh nyeri pada pengaruh nyeri terhadap kualitas
onset nyeri meningkat kualitas hidup hidup
c. Kemampuan mengenali 5. Berikan teknik nonfarmakologis 5. Untuk mengalihkan perhatian
penyebab nyeri meningkat untuk mengurangi rasa nyeri pasien dari rasa nyeri dan untuk
d. Kemampuan menggunakan (mis. TENS, hypnosis, mengurangi tingkat nyeri yang
tehnik non- farmakologis akupresur, terapi music, dirasakan klien.
biofeedback, terapi pijat, 6. Lingkungan yang nyaman dapat
meningkat
aromaterapi, teknik imajinasi meringankan rasa nyeri
terbimbing, kompres hangat / 7. Untuk memilih metode untuk
dingin) mengatasi atau mengurangi nyeri
6. kontrol lingkungan yang 8. Untuk memberikan pencegahan
memperberat rasa nyeri (mis. secara dini agar rasa nyeri tidak
Suhu ruangan, pencahayaan, meningkat
kebisingan) 9. Pemberian analgetik yg tepat dapat
7. pertimbangkan jenis dan sumber mengurangi nyeri dengan cepat
nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri

17
8. jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
9. kolaborasi pemberian analgetik,
jika perlu
2. Risiko infeksi Setelah dilakukan intervensi 1. Monitor tanda dan gejala infeksi 1. Untuk menemukan secara dini
dibuktikan dengan keperawatan selama … x 24 jam lokal dan sistemik jika terjadi infeksi
maka tingkat integritas kulit dan 2. Batasi jumlah pengujung 2. Membatasi kontak pasien dengan
ketidakadekuatan
jaringan meningkat, dengan 3. Pertahankan teknik aseptik pada pengunjung
pertahanan tubuh kriteria hasil : pasien 3. Untuk mencegah terjadinya
primer (kerusakan a. Perdarahan menurun 4. Jelaskan tanda dan gejala infeksi infeksi pada klien
b. Perfusi jaringan meningkat 5. Ajarkan cara memeriksa kondisi 4. Meningkatkan pengetahuan klein
integritas kulit)
c. Kerusakan jaringan luka tentang infeksi
menurun 6. Anjurkan meningkatkan asupan 5. Agar klien bisa segera
cairan melaporkan jika kondisi luka
7. Kolaborasi dalam pemberian memburuk
antibiotik 6. Berguna mengganti cairan yang
hilang
7. Mencegah tumbulnya infeksi
dengan pemberian obat

3. Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan intervensi 1. Identifikasi gangguan fungsi 1. Agar mempermudah menemukan
berhubungan keperawatan selama …x 24 jam tubuh yang mengakibatkan penyebab kelelahan
maka tingkat intoleransi aktivitas kelelahan 2. Untuk memantau kelelahan fisik
dengan kelemahan
meningkat dengan kriteria hasil : 2. Monitor kelelahan fisik dan dan emosional
dibuktikan dengan emosional 3. Pola tidur baik dan cukup jam
a. frekuensi nadi meningkat 3. Monitor pola dan jam tidur dapat memberikan energy yang
dyspnea saat /
b. saturasi oksigen meningkat 4. Lakukan latihan rentang gerak cukup

18
setelah aktivitas, c. kemudahan dalam melakukan pasif dan atau aktif 4. Latihan gerak pasif atau aktif yang
merasa tidak aktivitas sehari-hari 5. Sediakan lingkungan nyaman teratur dapat memperlancarkan
meningkat dan rendah stimulus metabolism dan mencegah
nyaman setelah
d. keluhan lelah menurun 6. Anjurkan tirah baring kekakuan sendi
beraktivitas e. dyspnea saat / setelah 7. Anjurkan melakukan aktivitas 5. Lingkungan yang nyaman dapat
aktivitas menurun secara bertahap mengoptimalkan istirahat
f. aritmia saat / setelah aktivitas 8. Ajarkan strategi koping untuk 6. Untuk meringankan kerja jantung
menurun. mengurangi kelelahan 7. Aktivitas secara bertahap untuk
g. tekanan darah membaik 9. Kolaborasi dengan ahli gizi meringankan kerja jantung
tentang cara meningkatkan
8. Mekanisme koping yang baik
asupan makanan membantu untuk mengurangi
kelelahan
9. Asupan gizi yang baik untuk angka
kebutuhan energy setiap hari
4 Risiko hipovolemia Setelah diberikan intervensi 1. Monitor intake dan ouput 1. Mengetahui kecukupan intake
dibuktikan dengan keperawatan selama ….x. 24 jam cairan cairan pasien dan mengantisipasi
maka tingkat intake cairan 2. Hitung kebutuhan cairan dehidrasi.
kehilangan cairan
membaik dengan kriteria hasil : 3. Anjurkan memperbanyak 2. Mengetahui kebutuhan cairan
aktif. a. Turgor kulit elastis. asupan cairan oral. pasien.
b. Membran mukosa pasien 4. Kolaborasi pemberian cairan ib 3. Mencukupi intake cairan pasien
lembab. isotonis dan mengantisipasi dehidrasi..
c. Adanya keseimbangan 4. Membantu melengkapu
intake dan output cairan kebutuhan cairan pasien.
dalam 24 jam.

5 Defisit pengetahuan Setelah dilakukan intervensi 1. Indentifikasi kesiapan dan 1. Untuk mengetahui tingkat
berhubungan keperawatan selama… x 30 kemampuan menerima kemampuan pasien dalam
menit maka tingkat pengetahuan

19
dengan kurang klien meningkat dengan kriteria informasi menerima informasi.
terpapar informasi hasil: 2. Identifikasi faktor faktor yang 2. Untuk mengetahui factor
dapat meningkatkan dan penyebab perubahan prilaku hidup
dibuktikan dengan a. Kemampuan menjelaskan menurunkan motivasi prilaku bersih dan sehat.
klien menanyakan tentang masalah yang hidup bersih dan sehat. 3. Agar pasien mudah menerima
dihadapi meningkat 3. Sediakan materi dan media informasi yang diberikan
masalah yang
b. Pertanyaan tentang pendidikan kesehatan. 4. Agar pasien dapat menerima
sedang dihadapi, penyakit yang diderita 4. Jadwalkan pendidikan kesehatan informasi sesuai dengan
menunjukkan menurun. sesuai kesepakatan. kesepakatan sebelumnya
c. Prilaku sesuai dengan 5. Beri kesempatan klien untuk 5. Untuk mengevaluasi pengetahuan
perilaku tidak sesuai
pengetahuan meningkat bertanya. pasien.
anjuran.
6. Ajarkan perilaku hidup bersih 6. Agar pasien mampu memperbaiki
dan sehat (kebersihan kantong status kesehatannya dan dapat
kolostomi) mengurangi infeksi.

20
5. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan dilaksanakan sesuai dengan intervensi keperawatan
yang telah ditetapkan. Implementasi adalah pengolahan dan perwujudan dari
rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Jenis
tindakan pada implementasi ini terdiri dari tindakan mandiri, saling
ketergantungan/kolaborasi, dan rujukan/ketergantungan.

6. Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek atau hasil dari
tindakan keperawatan pada klien. Setelah melaksanakan tindakan keperawatan
maka hasil yang diharapkan adalah sesuai dengan rencana tujuan yaitu :
a. Pre operasi
1) Nutrisi terpenuhi sesuai dengan kebutuhan tubuh
2) Suhu tubuh dalam batas normal (36ºC-37ºC)
3) Konstipasi tidak terjadi
4) Nyeri terkontrol dan hilang
5) Ansietas teratasi
b. Post operasi
1) Kekurangan volume cairan tidak terjadi
2) Infeksi tidak terjadi
3) Rasa nyeri pasien berkurang
4) Pasien dapat beraktivitas secara bertahap
5) Pengetahuan pasien bertambah

21
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
CHOLELITHIASIS

A. KONSEP DASAR PENYAKIT

1. Definisi
Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam kandung
empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-duanya. Sebagian besar batu
empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu (Wibowo,
2010).
2. Klasifikasi
Adapun klasifikasi dari batu empedu adalah sebagai berikut:
a. Batu kolestrol
Biasanya berukuran beasar, soliter, berstruktur bulat atau oval, berwarna kuning
pucat dan seringkali mengandung kalsium dan pigmen. Kolesterol yang
merupakan unsur normal pembentuk empedu bersifat tidak larut dalam air.
Kelarutannya bergantung pada asam-asam empedu dan lesitin (fosofolipid) dalam
empedu. Pada klien yang cenderung menderita batu empedu akan terjadi
penurunan sintesis asam empedu dan peningkatan sintesis kolesterol dalam hati.
b. Batu pigmen
Terdiri atas garam kalsium dan salah satu dari anion (bilirubinat, karbonat, fosfat,
atau asam lemak rantai panjang). Batu-batu ini cenderung berukuran kecil,
multipel, dan berwarna hitam kecoklatan, batu pigmen berwarna coklat berkaitan
dengan infeksi empedu kronis (batu semacam inilebih jarang di jumpai). Batu
pigmen akan berbentuk bila pigmen tidak terkonjugasi dalam empedu dan terjadi
proses presipitasi (pengendapan) sehingga terjadi batu. Resiko terbentuknya batu
semacam ini semakin besar pada klien sirosis, hemolisis, dan infeksi percabangan
bilier.

3. Etiologi
Batu Empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang dibentuk
pada bagian saluran empedu lain. Etiologi batu empedu masih belum diketahui. Satu
teori menyatakan bahwa kolesterol dapat menyebabkan supersaturasi empedu di
kandung empedu. Setelah beberapa lama, empedu yang telah mengalami supersaturasi

22
menjadi mengkristal dan mulai membentuk batu. Akan tetapi, tampaknya faktor
predisposisi terpenting adalah gangguan metabolisme yang menyebabkan terjadinya
perubahan komposisi empedu, stasis empedu, dan infeksi kandung empedu.
Berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan batu empedu, diantaranya:
a. Eksresi garam empedu.
Setiap faktor yang menurunkan konsentrasi berbagai garam empedu atau
fosfolipid dalam empedu. Asam empedu dihidroksi atau dihydroxy bile acids
adalah kurang polar dari pada asam trihidroksi. Jadi dengan bertambahnya kadar
asam empedu dihidroksi mungkin menyebabkan terbentuknya batu empedu.
b. Kolesterol empedu
Apa bila binatanang percobaan di beri diet tinggi kolestrol, sehingga kadar
kolesrtol dalam vesika vellea sangat tinggi, dapatlah terjadi batu empedu kolestrol
yang ringan. Kenaikan kolestreol empedu dapat di jumpai pada orang gemuk, dan
diet kaya lemak.
c. Substansia mukus
Perubahan dalam banyaknya dan komposisi substansia mukus dalam empedu
mungkin penting dalam pembentukan batuempedu.
d. Pigmen empedu
Pada anak muda terjadinya batu empedu mungkin disebabkan karena bertambahya
pigmen empedu. Kenaikan pigmen empedu dapat terjadi karena hemolisis yang
kronis. Eksresi bilirubin adalah berupa larutan bilirubin glukorunid.
e. Infeksi
Adanya infeksi dapat menyebabkan krusakan dinding kandung empedu, sehingga
menyebabkan terjadinya stasis dan dengan demikian menaikan pembentukan batu.

4. Patofisiologi
Empedu adalah satu-satunya jalur yang signifikan untuk mengeluarkan kelebihan
kolesterol dari tubuh, baik sebagai kolesterol bebas maupun sebagai garam empedu.
Hati berperan sebagai metabolisme lemak. Kira-kira 80 persen kolesterol yang
disintesis dalam hati diubah menjadi garam empedu, yang sebaliknya kemudian
disekresikan kembali ke dalam empedu sisanya diangkut dalam lipoprotein, dibawa
oleh darah ke semua sel jaringan tubuh.

23
Kolesterol bersifat tidak larut air dan dibuat menjadi larut air melalui agregasi
garam empedu dan lesitin yang dikeluarkan bersama-sama ke dalam empedu. Jika
konsentrasi kolesterol melebihi kapasitas solubilisasi empedu (supersaturasi),
kolesterol tidak lagi mampu berada dalam keadaan terdispersi sehingga menggumpal
menjadi kristal-kristal kolesterol monohidrat yang padat.
Etiologi batu empedu masih belum diketahui sempurna. Sejumlah penyelidikan
menunjukkan bahwa hati penderita batu kolesterol mensekresi empedu yang sangat
jenuh dengan kolesterol. Batu empedu kolesterol dapat terjadi karena tingginya kalori
dan pemasukan lemak. Konsumsi lemak yang berlebihan akan menyebabkan
penumpukan di dalam tubuh sehingga sel-sel hati dipaksa bekerja keras untuk
menghasilkan cairan empedu. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam
kandung empedu dengan cara yang belum dimengerti sepenuhnya.
Patogenesis batu berpigmen didasarkan pada adanya bilirubin tak terkonjugasi di
saluran empedu (yang sukar larut dalam air), dan pengendapan garam bilirubin
kalsium. Bilirubin adalah suatu produk penguraian sel darah merah. Batu empedu
yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigmen dan batu campuran. Lebih dari
90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung >50% kolesterol) atau
batu campuran (batu yang mengandung 20-50% kolesterol). Angka 10% sisanya
adalah batu jenis pigmen, yang mana mengandung <20% kolesterol. Faktor yang
mempengaruhi pembentukan batu antara lain adalah keadaan statis kandung empedu,
pengosongan kandung empedu yang tidak sempurna dan konsentrasi kaslium dalam
kandung empedu.22
Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang terbentuk
di dalam kandung empedu. Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin dan fosfolipid
membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu menjadi bersaturasi tinggi
(supersaturated) oleh substansi berpengaruh (kolesterol, kalsium, bilirubin), akan
berkristalisasi dan membentuk nidus untuk pembentukan batu. Kristal yang terbentuk
dalam kandung empedu, kemudian lama-kelamaan kristal tersebut bertambah ukuran,
beragregasi, melebur dan membentuk batu.

24
5. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala kolelitiasis adalah :
a. Sebagian bersifat asimtomatik
b. Nyeri tekan kuadran kanan atas atau midepigastrik samar yang menjalar ke
punggung atau region bahu kanan
c. Sebagian klien rasa nyeri bukan bersifat kolik melainkan persisten
d. Mual dan muntah serta demam
e. Icterus obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan
menimbulkan gejala yang khas, yaitu: getah empedu yang tidak lagi dibawa ke
dalam duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat
kulit dan membrane mukosa berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan
gejala gatal-gatal pada kulit
f. Perubahan warna urine dan feses. Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan
membuat urine berwarna sangat gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen
empedu akan tampak kelabu, dan biasanya pekat yang disebut “clay colored”
g. Regurgitas gas: flatus dan sendawa
h. Defisiensi vitamin obstruksi aliran empedu juga akan membantu absorbsi vitamin
A, D, E, K yang larut lemak. Karena itu klien dapat memperlihatkan gejala
defisiensi vitamin-vitamin ini jika obstruksi atau sumbatan bilier berlangsumg
lama. Penurunan jumlah vitamin K dapat mengganggu pembekuan darah yang
normal.

6. Komplikasi
Adapun komplikasi dari cholelitiasis adalah :
a. Kolesistis
Kolesistitis adalah Peradangan kandung empedu, saluran kandung empedu
tersumbat oleh batu empedu, menyebabkan infeksi dan peradangan kandung
empedu.
b. Kolangitis
Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu, terjadi karena infeksi yang
menyebar melalui saluran-saluran dari usus kecil setelah saluran-saluran menjadi
terhalang oleh sebuah batu empedu.

25
c. Hidrops
Obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan hidrops kandung
empedu. Dalam keadaan ini, tidak ada peradangan akut dan sindrom yang
berkaitan dengannya. Hidrops biasanya disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus
sehingga tidak dapat diisi lagi empedu pada kandung empedu yang normal.
Kolesistektomi bersifat kuratif.
d. Empiema
Pada empiema, kandung empedu berisi nanah. Komplikasi ini dapat
membahayakan jiwa dan membutuhkan kolesistektomi darurat segera.

7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada klien kolelitiasis adalah:
a. Pemeriksan sinar-X abdomen, dapat dilakukan jika terdapat kecurigaan akan
penyakit kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang lain.
Namun, hanya 15-20% batu empedu yang mengalami cukup klasifikasi untuk
dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-X.
b. Ultrasinografi, pemeriksaan USG telah menggantikan pemeriksaan kolesistografi
oral karena dapat dilakukan secara cepat dan akurat, dan dapat dilakukam pada
penderita disfungsi hati dan ikterus. Pemeriksaan USG dapat mendeteksi kalkuli
dalam kandung empedu atau duktus koledokus yang mengalami dilatasi.
c. Pemeriksaan pencitraan radionuklida atau koleskintografi. Koleskintografi
menggunakan preparat radioaktif yang disuntikkan secara intravena. Preparat ini
kemudian diambil oleh hepatosit dan dengan cepat diekskresikan ke dalam sistem
bilier. Selanjutnya dilakukan pemindaian saluran empedu untuk mendapatkan
gambar kandung empedu dan percabangan bilier.
d. ERCP (Endoscopic Retrograde CholangioPancreatography), pemeriksaan ini
meliputi insersi endoskop serat-optim yang fleksibel ke dalam eksofagus hingga
mencapai duodenum pars desendens. Sebuah kanul dimasukkan ke dalam duktus
koledokus serta duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke
dalam duktus tersebut untuk memingkinkan visualisasi langsung struktur bilier
dan memudahkan akses ke dalam duktus koledokus bagian distal untuk
mengambil empedu.
e. Kolangiografi Transhepatik Perkutan, pemeriksaan dengan cara menyuntikkan
bahan kontras langsung ke dalam percabangan bilier. Karena konsentrasi bahan
26
kontras yang disuntikkan itu relatif besar, maka semua komponen pada sistem
bilier (duktus hepatikus, duktus koledokus, duktus sistikus dan kandung empedu)
dapat dilihat garis bentuknya dengan jelas.
f. MRCP (Magnetic Resonance Cholangiopancreatography), merupakan teknik
pencitraan dengan gema magnet tanpa menggunakan zat kontras, instrumen, dan
radiasi ion. Pada MRCP saluran empedu akan terlihat sebagai struktur yang terang
karena mempunyai intensitassinyal tinggi, sedangkan batu saluran empedu akan
terlihat sebagai intensitas sinyal rendah yang dikelilingi empedu dengan intensitas
sinyal tinggi, sehingga metode ini cocok untuk mendiagnosis batu saluran
empedu.

8. Penatalaksanaan
a. Non Bedah, yaitu:
1) Pendukung diit : Cairan rendah lemak
2) Cairan Infus : menjaga kestabilan asupan cairan
3) Analgetik : meringankan rasa nyeri yang timbul akibat gejala penyakit
4) Antibiotik : mencegah adanya infeksi pada saluran kemih
5) Istirahat
b. Farmoterapi
Pemberian asam ursodeoksikolat dan kenodioksikolat digunakan untuk
melarutkan batu empedu terutama berukuran kecil dan tersusun dari kolesterol.
Zat pelarut batu empedu hanya digunakan untuk batu kolesterol pada pasien
yang karena sesuatu hal sebab tak bisa dibedah. Batu-batu ini terbentuk karena
terdapat kelebihan kolesterol yang tak dapat dilarutkan lagi oleh garam-garam
empedu dan lesitin. Untuk melarutkan batu empedu tersedia Kenodeoksikolat dan
ursodeoksikolat. Mekanisme kerjanya berdasarkan penghambatan sekresi
kolesterol, sehigga kejenuhannya dalam empedu berkurang dan batu dapat melarut
lagi. Therapi perlu dijalankan lama, yaitu : 3 bulan sampai 2 tahun dan baru
dihentikan minimal 3 bulan setelah batu-batu larut. Recidif dapat terjadi pada 30%
dari pasien dalam waktu 1 tahun , dalam hal ini pengobatan perlu dilanjutkan.

c. Pada pasien yang sudah didiagnosa mengalami Cholelithiasis dapat dilakukan


tindakan dengan cara bedah maupun non-bedah. Penanganan secara bedah adalah
dengan cara kolesistektomi. Sedangkan penanganan secara non-bedah adalah
27
dengan cara melarutkan batu empedu menggunakan MTBE, ERCP, dan ESWL
(Bruno, 2019).
1) Kolesistektomi merupakan prosedur pembedahan yang dilakukan pada
sebagian besar kasus cholelithiasis. Jenis kolesistektomi laparoskopik adalah
teknik pembedahan invasif minimal didalam rongga abdomen dengan
menggunakan pneumoperitoneum sistim endokamera dan instrumen khusus
melalui layar monitor tanpa melihat dan menyentuh langsung kandung
empedunya. Keuntungan dari kolesistektomi laparoskopik adalah
meminimalkan rasa nyeri, mempercepat proses pemulihan, masa rawat yang
pendek dan meminimalkan luka parut (Paasch, Salak, Mairinger, & Theissig,
2020).
2) Penanganan Cholelithiasis non-bedah dengan cara melarutkan batu empedu
yaitu suatu metode melarutkan batu empedu dengan menginfuskan suatu
bahan pelarut (monooktanion atau metil tertier butil eter) ke dalam kandung
empedu. Pelarut tersebut dapat diinfuskan melalui jalur berikut ini: melalui
selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung ke dalam kandung
empedu; melalui selang atau drain yang dimasukkan melalui saluran T-Tube
untuk melarutkan batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan;
melalui endoskop ERCP atau kateter bilier transnasal. Pengangkatan non-
bedah digunakan untuk mengeluarkan batu yang belum terangkat pada saat
kolesistektomi atau yang terjepit dalam duktus koledokus.
3) Endoscopi Retrograde Cholangi Pancreatography (ERCP) terapeutik dengan
melakukan sfingterektomi endoskopik untuk mengeluarkan batu saluran
empedu tanpa operasi, pertama kali dilakukan tahun 1974. Batu di dalam
saluran empedu dikeluarkan dengan basket kawat atau balon-ekstraksi melalui
muara yang sudah besar tersebut menuju lumen duodenum sehingga batu
dapat keluar bersama tinja atau dikeluarkan melalui mulut bersama skopnya.
Extracorporeal Shock-Wave Lithoripsy (ESWL) merupakan prosedur non-
invasif yang menggunakan gelombang kejut berulang (repeated shock waves)
yang diarahkan kepada batu empedu di dalam kandung empedu atau duktus
koledokus dengan maksud untuk memecah batu tersebut menjadi sebuah
fragmen. Gelombang kejut dihasilkan dalam media cairan oleh percikan
listrik, yaitu piezoelektrik, atau oleh muatan elektromagnetik.

28
Setelah penanganan bedah maupun non-bedah dilakukan, maka selanjutnya
dilakukan perawatan paliatif yang fungsinya untuk mencegah komplikasi
penyakit yang lain, mencegah atau mengurangi rasa nyeri dan keluhan lain, serta
meningkatkan kualitas hidup pasien. Perawatan tersebuit bisa dilakukan dengan
salah satu cara yaitu memerhatikan asupan makanan dengan intake rendah lemak
dan kolesterol.

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, alamat, tempat tinggal, tempat tanggal lahir,
pekerjaan dan pendidikan. Kolelitiasis biasanya ditemukan pada 20 -50 tahun dan
lebih sering terjadi anak perempuan pada dibanding anak laki – laki.
b. Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat pengkajian.
Biasanya keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri abdomen pada kuadran
kanan atas, dan mual muntah.
c. Riwayat kesehatan
1) Riwayat penyakit sekarang
Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui metode PQRST,
paliatif atau provokatif (P) yaitu focus utama keluhan klien, quality atau
kualitas (Q) yaitu bagaimana nyeri dirasakan oleh klien, regional (R) yaitu
nyeri menjalar kemana, Safety (S) yaitu posisi yang bagaimana yang dapat
mengurangi nyeri atau klien merasa nyaman dan Time (T) yaitu sejak kapan
klien merasakan nyeri tersebut.
2) Riwayat penyakit dahulu
Kaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau pernah memiliki
riwayat penyakit sebelumnya.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita penyakit
kolelitiasis. Penyakit kolelitiasis tidak menurun, karena penyakit ini
menyerang sekelompok manusia yang memiliki pola makan dan gaya hidup

29
yang tidak sehat. Tapi orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai
resiko lebih besar dibanding dengan tanpa riwayat keluarga.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum:
a) Penampilan Umum : mengkaji tentang berat badan dan tinggi badan klien.
b) Kesadaran : kesadaran mencakup tentang kualitas dan kuantitas keadaan
klien.
c) Tanda-tanda Vital : mengkaji mengenai tekanan darah, suhu, nadi dan
respirasi.
2) Sistem endokrin
Mengkaji tentang keadaan abdomen dan kantung empedu. Biasanya Pada
penyakit ini kantung empedu dapat terlihat dan teraba oleh tangan karena
terjadi pembengkakan pada kandung empedu.
e. Pola aktivitas
1) Nutrisi : dikaji tentang porsi makan, nafsu makan
2) Aktivitas : dikaji tentang aktivitas sehari-hari, kesulitan melakukan aktivitas
dan anjuran bedrest
3) Aspek psikologis : kaji tentang emosi, pengetahuan terhadap penyakit, dan
suasana hati.
4) Aspek penunjang
a) Hasil pemeriksaan Laboratorium (bilirubin, amylase serum meningkat).
b) Obat-obatan satu terapi sesuai dengan anjuran dokter.
f. Pemeriksaan pola
1) Aktivitas/istirahat
Gejala : kelemahan
Tanda : gelisah
2) Sirkulasi : Tanda : takikardi, berkeringat
3) Eliminasi
Gejala : perubahan warna urine dan feses
Tanda : distensi abdomen, teraba massa pada kuadran atas, urine pekat, gelap,
feses warna tanah liat, steatorea

30
4) Makanan/cairan
Gejala : anereksia, mual/muntah, tidak toleran terhadap lemak dan makanan
pembentuk lemak. Regurgitas berulang, nyeri epigastrium, tidak dapt makan,
flatus dyspepsia. tanda : kegemukan, adanya penurunan berat badan
5) Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri berat atas abdomen, dapat menyebar ke punggung atau bahu
kanan. Kolik epigastrium tengah sehubungan dengan makan. Nyeri mulai tiba-
tiba dan biasanya memuncak dalam 30 menit. Tanda : nyeri lepas, otot tegang
atau kaku bila kuadran kanan atas ditekan; tanda Murphy positif.
6) Pernafasan :
Tanda : peningkatan prekuensi pernapasan.
Pernapasan tertekan ditandai oleh napas pendek, dangkal.
7) Keamanan : demam, menggigil
Ikterik, dengan kulit berkeringat dan gatal (pruritus)
Kecendrungan perdarahan (kekurangn vitamin K)

2. Diagnosa Keperawatan
a. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan laju metabolism dibuktikan
dengan dibuktikan dengan suhu tubuh klien diatas nilai normal, kulit terasa
hangat, takirkardi.
b. Defisit nutrisi berhubungan dengan kurangnya asupan makanan dibuktikan
dengan penurunan minimal berat badan 10% di bawah rentang normal.
c. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencidera fisiologis dibuktikan pasien
mengeluh nyeri.
d. Risiko hipovolemia dibuktikan dengan kehilangan cairan aktif.
e. Risiko infeksi dibuktikan dengan kerusakan integritas kulit, penyakit kronis

31
3. Intervensi Keperawatan

N Diagnosa Paraf/Nama
Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Tindakan Keperawatan Rasional
O Keperawatan Terang
Hipertermia Setelah dilakukan intervensi 1. Identifikasi penyebab 1. Menentukan intervensi atau
1. berhubungan dengan keperawatan selama ... x 24 hipertermia langkah yang akan diambil untuk
peningkatan laju Jam maka tingkat 2. Monitor suhu tubuh mengatasi hipertermia
metabolism dibuktikan termoregulasi membaik, 3. Berikan cairan oral 2. Mengetahui penurunan atau
dengan suhu tubuh dengan kriteria hasil : 4. Berikan oksigen (bila perlu) meningkatnya suhu tubuh klien
klien diatas nilai a. Suhu tubuh membaik 5. Sediakan lingkungan yang 3. Mengganti cairan yang hilang
normal, kulit terasa b. Suhu kulit membaik sejuk akibat evaporasi
hangat, takirkardi c. Takikardi menurun 6. Longgarkan atau lepaskan 4. Memenuhi kebutuhan oksigen
pakaian karena metabolisme meningkat
7. Anjurkan menggunakan 5. Lingkungan yang sejuk membuat
pakaian yang tipis dan suhu tubuh menyesuaikan dengan
menyerap keringat lingkungan
8. Anjurkan tirah baring 6. Pakaian yang ketat memperburuk
9. Kolaborasi dalam pemberian kondisi hipertermia
cairan intravena 7. Pakaian yang tepat untuk
lingkungan yang tepat agar
menghindari panas
8. Meminimalisir aktivitas menjaga

32
kestabilan suhu tubuh
9. Pemberian cairan diperlukan untuk
menghindari terjadinya dehidrasi.
Defisit nutrisi Setelah dilakukan intervensi 1. Identifikasi status nutrisi 1. Untuk mengetahui status nutrisi
2. berhubungan dengan keperawatan selama…..x24 2. Monitor asupan makanan. pasien
kurangnya asupan jam maka tingkat porsi 3. Monitor berat badan 2. Mengetahui jumlah kebutuhan yang
makanan dibuktikan makanan yang dihabiskan 4. Berikan makanan tinggi kalori telah masuk ke tubuh pasien.
dengan penurunan meningkat dengan kriteria dan tinggi protein. 3. Mengetahui terjadinya peningkatan
minimal berat badan hasil : 5. Lakukan oral hygiene sebelum atau penurunan berat badan
10% di bawah rentang makan, jika perlu 4. Untuk menjaga nutrisi tubuh.
a. Pemasukan nutrisi pasien
normal. 6. Anjurkan makan pada posisi 5. Untuk meningkatkan nafsu makan
adekuat
duduk/ kepala ditinggikan. 6. Mencegah aspirasi dan mengurangi
b. Jumlah cairan dan
7. Kolaborasi dengan ahli gizi rasa penuh pada mulut.
makanan yang diterima
untuk menentukan jumlah kalori 7. Mengatur pola diet sesuai
sesuai dengan kebutuhan
dan jenis nutrient yang kebutuhan.
tubuh pasien
dibutuhkan.
c. Tidak terjadi penurunan
berat badan
d. Berat badan dan IMT
meningkat
e. Frekuensi dan nafsu
makan meningkat.

33
3 Nyeri akut Setelah dilakukan intervensi 1. Identifikasi lokasi, 1. Untuk mengetahui tingkat nyeri
berhubungan dengan keperawatan selama…x 24 karakteristik, yang dirasakan
agen pencidera jam maka tingkat nyeri durasi,frekuensi,kualitas, 2. Mengetahui rentang skala nyeri
fisiologis menurun dengan kriteria intesitas nyeri. 3. Untuk mengalihkan perhatian
hasil: pasien dari rasa nyeri dan
2. Kaji skala nyeri
mengurangi rasa nyeri
a. Klien tidak melaporkan
3. Berikan teknik 4. Meningkatkan pemahaman dalam
adanya nyeri.
nonfarmakologi untuk memanajemen nyeri
b. Klien tidak merintih dan
mengurangi rasa nyeri 5. Untuk mengurangi nyeri yang
menangis akibat nyeri
(kompres hangat/dingin dan berat.
yang dirasakan
terapi relaxasi).
c. Klien tidak
mengekpresikan nyeri. 4. Jelaskan strategi meredakan
nyeri.

5. Kolaborasi pemberianan
analgetik.
4 Risiko hipovolemia Setelah diberikan intervensi 1. Monitor intake dan ouput 1. Mengetahui kecukupan intake
dibuktikan dengan keperawatan selama ….x. 24 cairan cairan pasien dan mengantisipasi
kehilangan cairan aktif. jam maka tingkat intake 2. Hitung kebutuhan cairan dehidrasi.
cairan membaik dengan 3. Anjurkan memperbanyak 2. Mengetahui kebutuhan cairan
kriteria hasil : asupan cairan oral. pasien.

34
a. Turgor kulit elastis. 4. Kolaborasi pemberian cairan ib 3. Mencukupi intake cairan pasien
b. Membran mukosa isotonis dan mengantisipasi dehidrasi..
pasien lembab. 4. Membantu melengkapu
c. Adanya keseimbangan kebutuhan cairan pasien.
intake dan output cairan
dalam 24 jam.

5 Risiko infeksi Setelah diberikan intervensi 1. Monitor tanda dan gejala infeksi 1. Mengetahui penyebab infeksi
dibuktikan dengan keperawatan selama…x 24 lokal dan sistemik 2. Mencegah terjadinya penyebaran
kerusakan integritas jam diharapkan tingkat 2. Batasi jumlah pengunjung infeksi nosokomial
kulit, penyakit kronis infeksi menurun dengan 3. Cuci tangan sebelum dan 3. Menjaga kebersihan dan
kriteria hasil : sesudah kontak dengan pasien mengurangi terjadinya infeksi
a. Kemerahan menurun dan lingkungan pasien 4. Mencegah terjadinya infeksi
b. Deman menurun 4. Pertahankan tehnik aseptic pada 5. Mencegah terjadinya infeksi
c. tingkat nyeri menurun pasien beresiko tinggi nosokomial yang dapat
d. Pembengkakan menurun 5. Ajarkan cara mencuci tangan memperburuk kondisi pasien
e. Kadar sel darah putih yang benar 6. Meningkatkan sistem imun tubuh
membaik 6. Anjurkan meningkatkan asupan 7. Meningkatkan daya tahan tubuh
nutrisi
7. Kolaborasi dalam pemberian
imunisasi, jika perlu

35
36
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan dilaksanakan sesuai dengan intervensi keperawatan yang
telah ditetapkan. Menurut effendy, implementasi adalah pengolahan dan perwujudan
dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Jenis tindakan
pada implementasi ini terdiri dari tindakan mandiri, saling ketergantungan/kolaborasi,
dan rujukan/ketergantungan.

5. Evaluasi Keperawatan
Menurut Alfaro-LeFevre, evaluasi mengacu kepada penilaian, tahapan, dan perbaikan.
Pada tahap ini perawat menemukan penyebab mengapa suatu proses keperawatan
dapat berhasil atau gagal. Evaluasi dibagi menjadi dua jenis yaitu:
a. Evaluasi Formatif : Hasil observasi dan analisa perawat terhadap respon segera
pada saat dan setelah dilakukan tindakan keperawatan.
b. Evaluasi Sumatif : Rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan analisa status
kesehatan sesuai waktu pada tujuan ditulis pada catatan perkembangan.
Setelah melaksanakan tindakan keperawatan maka hasil yang diharapkan
adalah sesuai dengan rencana tujuan yaitu :
1) Suhu tubuh dalam batas normal (36ºC-37ºC)
2) Nutrisi terpenuhi sesuai kebutuhan.
3) Nyeri terkontrol dan hilang
4) Kebutuhan cairan terpenuhi.
5) Infeksi pada pasien tidak terjadi

37
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
DHF (DENGUE HAEMORHAGIC FEVER)

A. KONSEP DASAR PENYAKIT

1. Definisi
Dengue Haemoragic Fever (DHF) atau lebih sering dikenal sebagai Demam
Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit demam akut dengan ciri-ciri demam,
manifestasi perdarahan, dan bertendensi mngakibatkan renjatan (syok)yang dapat
menyebabkan kematian. DHF (Dengue Haemoragic Fever) adalah penyakit yang
disebabkan oleh karena virus dengue yang termasuk golongan abrovirus melalui
gigitan nyamuk Aedes Aegygti betina. Penyakit ini terdapat pada anak dan dewasa
dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi yang disertai leukopenia, dengan
atau tanpa ruam (rash) dan limfadenopati, serta Trombocytopenia ringan dan bintik-
bintik perdarahan. Jadi demam berdarah dengue adalah suatu penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue dengan menifestasi klinis demam disertai gejala
perdarahan dan bila timbul renjatan dapat menyebabkan kematian.

2. Etiologi
Penyebab penyakit Dengue Hemorragic Fever (DHF) atau demam berdarah
adalah Virus Dengue, di indonesia virus tersebut sampai saat ini telah di isolasi
menjadi 4 serotipe virus Dengue yang termasuk dalam grup B dalam Arthropedi bone
viruses (arbu viruses), yaitu DEN-1,DEN -2,DEN-3, dan DEN-4.Ternyata DEN-2 dan
DEN-3 merupakan serotipe yang menjadi penyebab terbanyak di Thailand, di
laporkan bahwa serotipe DEN-2 adalah dominan.sementara di Indonesia, yang
terutama domian adalah DEN-3, tetapi akhhir-akhir ini ada kecenderungan doinansi
DEN-2.
Infeksi oleh salah satu serotipe meninbulkan anti bodi seumur hidup terhadap
serotipe bersangkutan, tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe lain.Virus
dengue terutama ditularkan melalui vektor nyamuk aedes aegypti, nyamuk aedes
albopictus, aedes poly nesiensis, dan beberapa spesies lain kurang berperan. Jenis
nyamuk ini terdapat hampir di seluruh Indonesia kecuali di ketinggian lebih dari 1000
m di atas permukaan laut.

38
DHF diklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya penyakit, secara klinis dibagi
menjadi :

a. Derajat I
Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan, uji tourniquet ( + ) ,
trombositopenia dan hemokonsentrasi. Uji tourniquet dinyatakan positif bila pada
7,84 cm2didapat lebih 20 bintik-bintik.

Gambaran hasil uji touniquetnpositif dengan skala 1+ sampai 4+ :


1+ 2+ 3+ 4+

Sedikit bintik- Banyak bintik- Banyak Penuh dengan


bintik merah pada bintik pada bintik-bintik bintik-bintik
daerah lengan daerah lengan pada lengan pada seluruh
anterior anterior dan tangan lengan dan
tangan

b. Derajat II
Derajat I dan disertai perdarahan spontan pada kulit atau ditempat lain.
c. Derajat III
Ditemukan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat, dan lemah, tekanan darah rendah
( hipotensi ), gelisah, sianosis sekitar mulut, hidung dan ujung jari ( tanda-tanda
dini renjatan ).
d. Derajat IV
Renjatan berat ( DSS ) dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.

3. Patofisiologi
39
Virus akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypty dan
kemudian akan bereaksi dengan antibody dan terbentuklah kompleks virus-
antibody.Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh, pasien akan mengalami
keluhan dan gejala karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot,
pegal seluruh badan, hiperemi ditenggorokan, timbulnya ruam dan kelainan yang
mungkin muncul pada system retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjar-kelenjar
getah bening, hati dan limpa. Ruam pada DHF disebabkan karena kongesti pembuluh
darah dibawah kulit. Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit
yang membedakan DHF ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler karena
pelepasan zat anafilaktosin, histamin dan serotonin serta aktivasi system kalikreain
yang berakibat ekstravasasi cairan intravaskuler. Hal ini berakibat berkurangnya
volume plama, terjadinya hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan
renjatan. Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstravaskuler dibuktikan dengan
ditemukannya cairan dalam rongga serosa, yaitu dalam rongga peritoneum, pleura dan
perikard.
Terjadinya trombositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya
faktor koagulasi (protombin dan fibrinogen) merupakan factor penyebab terjadinya
perdarahan hebat , terutama perdarahan saluran gastrointestinal pada DHF. Yang
menentukan beratnya penyakit adalah meningginya permeabilitas dinding pembuluh
darah, menurunnya volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia dan
diathesis hemorrhagic, renjatan terjadi secara akut. Nilai hematokrit meningkat
bersamaan dengan hilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Dan
dengan hilangnya plasma klien mengalami hipovolemik. Apabila tidak diatasi bisa
terjadi anoxia jaringan, acidosis metabolic dan kematian. Renjatan hipovolemik yang
terjadi sebagai akibat kehilangan plasma, bila tidak segera teratasi akan terjadi anoxia
jaringan, asidosis metabolic dan kematian. Sebab lain kematian pada DHF adalah
perdarahan hebat. Perdarahan umumnya dihubungkan dengan trombositopenia,
gangguan fungsi trombosit dan kelainan fungsi trombosit. Fungsi agregasi trombosit
menurun mungkin disebabkan proses imunologis terbukti dengan terdapatnya
kompleks imun dalam peredaran darah. Kelainan system koagulasi disebabkan
diantaranya oleh kerusakan hati yang fungsinya memang tebukti terganggu oleh
aktifasi system koagulasi. Masalah terjadi atau tidaknya DIC pada DHF/ DSS,
terutama pada pasien dengan perdarahan hebat.
4. Manifestasi Klinis
40
Manifestasi klinis infeksi dengue amat bervariasi dari yang amat ringan,
demam tanpa sebab yang jelas, hingga yang sedang seperti DF sampai ke DHF
dengan manifestasi demam akut, pendarahan serta kecenderungan terjadi renjatan
yang dapat berakibat fatal. Masa inkubasi dengue antara 3- 15 hari, rata-rata 5- 8 hari
(Hendrawanto, dkk, 2013).
Gejala klinis DHF diawali dengan demam mendadak, disertai dengan muka
kemerahan, dan gejala klinis tidak khas yang menyerupai gejala DHF, seperti
anoreksia, muntah, sakit kepala, dan nyeri pada otot dan sendi. Gejala lain yaitu
perasaan tidak enak di daerah epigastrium, nyeri di bawah lengkung iga kanan,
kadang-kadang nyeri perut dapat dirasakan di seluruh perut. Terdapat 4 gejala utama
DHF yaitu demam tinggi, fenomena pendarahan, hepatomegali, dan kegagalan
sirkulasi (Hendrawanto, dkk, 2013).
Penyakit ini didahului demam tinggi yang mendadak, berlangsung terus
menerus 2-7 hari, kemudian turun secara cepat. Jenis pendarahan terbanyak adalah
pendarahan kulit. Selain gejala–gejala tersebut diatas dapat pula ditemukan
manifestasi klinis yang tak lazim pada berbagai organ tubuh, antara lain : sakit kepala,
kejang demam, encepalopati dengue, edema paru, gagal ginjal akut dan gejala
gastroenteritis akut.

5. Komplikasi
Adapun komplikasi dari DHF adalah :
a. Perdarahan
Disebabkan oleh perubahan vaskuler, penurunan jumlah trombosit dan
koagulopati, dan trombositopeni dihubungkan meningkatnya megakoriosit muda
dalam sel-sel tulang dan pendeknya masa hidup trombosit. Tendensi perdarahan
dapat dilihat pada uji torniquet positif, ptekie, ekimosis, dan perdarahan saluran
cerna, hematemesis, dan melena.
b. Kegagalan sirkulasi
DSS (Dengue Syock Syndrom) terjadi pada hari ke 2-7 yang disebabkan oleh
peningkatan permeabilitas vaskuler sehingga terjadi kebocoran plasma, efusi
cairan serosa ke ronnga pleura dan peritoneum, hiponatremia, hemokonsentrasi,
dan hipovolemi yang mngekaibatkan berkurangnya aliran balik vena, penurunan
volume sekuncup dan curah jantung sehingga terjadi disfungsi atau penurunan
perfusi organ. DSS juga disertai kegagalan hemeostasis yang mengakibatkan
41
aktivitas dan integritas sistem kardiovaskular, perfusi miokard dan curah jantung
menurun, sirkulasi darah terganggu dan terjadi iskemi jaringan dan kerusakan
fungsi sel secara progresif dan irreversible, terjadi kerusakan sel dan organ
sehingga pasien akan meninggal dalam wakti 12-24 jam.
c. Hepatomegali
Hati umumnya membesar dengan perlemakan yang dihubungkan dengan nekrosis
karena perdarahan yang terjadi pada lobulus hati dan sel-sel kapiler. Terkadang
tampak sel metrofil dan limphosit yang lebih besar dan lebih banyak dikarenakan
adanya reaksi atau komplek virus antibody.
d. Efusi Pleura
Terjadi karena kebocoran plasma yang mngekibatkan ekstrasi cairan intravaskuler
sel, hal tersebut dibuktikan dengan adanya cairan dalam rongga pleura dan adanya
dipsnea.

6. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Hendarwanto (2015) pemeriksaan penunjang untuk penyakit DHF yaitu:
a. Pemeriksaan laboratorium
1) Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien
tersangka demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin,
hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya
limfositosis relatif.
Uji tourniquet ditujukan untuk menilai ada tidaknya gangguan
vaskular. Uji ini juga dapat memberikan hasil positif pada infeksi virus selain
virus dengue. Hasil dikatakan positif jika terdapat 10-20 atau lebih petekie
dalam diameter 2,8 cm di lengan bawah bagian depan dan pada lipat siku.
Peningkatan nilai hematokrit yang selalu dijumpai pada DHF merupakan
indikator terjadinya perembesan plasma, selain hemokonsentrasi juga
didapatkan trombositopenia, dan leukopenia.
Berikut ini parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain:
a) Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui
limfositosis relatif (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit
plasma biru (LPB) >15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok
akan meningkat.
42
b) Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8 .
c) Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya
peningkatan hematokrit > 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai
pada hari ke-3 demam.
d) Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, fibrinogen, D-Dimer, atau
FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan
pembekuan darah.
e) Protein/albumin: dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma
f) SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat.
g) Ureum, kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.
h) Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
i) Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi): bila akan diberikan
transfusi darah atau komponen darah.
j) IgM Elisa (Mac Elisa, IgM captured ELISA)
Banyak sekali dipakai, uji ini dilakukan pada hari ke 4-5 infeksi virus
dengue karena IgM sudah timbul kemudian akan diikuti IgG. Bila IgM
negatif maka uji harus diulang. Apabila sakit ke-6 IgM masih negatif
maka dilaporkan sebagai negatif. IgM dapat bertahan dalam darah sampai
2-3 bulan setelah adanya infeksi.
b. Pemeriksaan Serologi
Uji serologi dengan mendeteksi kenaikan antibodi jauh lebih sederhana dan
lebih cepat, tetapi kros reaksi antibodi antara virus dengue dan virus dari
kelompok flavirus dapat memberikan hasil positif palsu.
Ditemukannya anti bodi IgG ataupun AgM yang meningkatkan tinggi
titernya mencapai empat kali lipat terhadap satu atau lebih antigen dengue dalam
spesimen serta berpandangan. Dibuktikan adanya virus dengue dari jaringan
otopsi dengan cara immunokimiawi atau dengan cara immuno-flouresens, ataupun
di dalam spesimen serum dengan uji ELISA.

Tabel 1. Interpretasi IgG-IgM pada DHF

43
Hasil Interpretasi

Ig G IgM

+ + Dengue Sekunder

- + Dengue Primer

+ - Dengue Sekunder

- - Non Dengue/Primer awal


Retest 4-7 hr

Selain itu juga bisa dengan rasio IgM/IgG. Rasio > 1,8 lebih mendukung
infeksi dengue primer. Sedangkan < 1,8 lebih mengarah ke dengue sekunder .

c. Pemeriksaan Radiologi
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi
apabila terjadi pemrembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada
kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral
dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi
pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.

7. Penatalaksanaan
Pada dasarnya DBD atau DHF bersifat simtomatis dan suportif. Pengobatan terhadap
virus ini sampai sekarang bersifat menunjang agar pasien dapat bertahan hidup.
Pasien yang diduga kuat mengalami DBD harus dirawat di rumah sakit karena
memerlukan pengawasan terhadap kemungkinan terjadinya syok atau perdarahan
yang dapat mengancam keselamatan pasien.
a. DBD Tanpa Renjatan (Syok)
Demam tinggi, anoreksia dan sering muntah menyebabkan klien dehidrasi
dan haus. Pada pasien ini harus diberi banyak minum, yaitu 1 ½ sampai 2 liter
dalam waktu 24 jam. Dapat juga diberikan teh manis, susu, sirup, ataupun oralit.
Keadaan hiperpireksia adapat diatasi dengan kolaborasi pemberian antipiretik dan
kompres hangat. Jika terjadi kejang harus luminal atau pemberian anti konvulsan

44
lainnya. . Luminal diberikan dengan dosis : anak umur < 12 bulan 50 mg IM, anak
umur > 1 tahun 75 mg. Jika kejang lebih dari 15 menit belum berhenti luminal
diberikan lagi dengan dosis 3 mg/kgBB. Infus diberikan pada klien DBD tanpa
renjatan bila pasien terus menerus muntah dan tidak dapat diberi minum sehingga
terjadi resiko tinggi dehidrasi dan peningkatan hematokrit.
Jika hematokrit cenderung meningkat berarti menunjukkan derajat adanya
kebocoran plasma dan biasanya mendahului munculnya perubahan tanda-tanda
vital secara klinis (hipotensi dan penurunan nadi). Sedangkan turunnya nilai
trombosit biasanya mendahului naiknya hematokrit. Oleh karena itu, pada pasien
DBD harus diperiksakan Hb, Ht, dan trombosit setiap hari untuk menentukkan
apakah klien perlu dipasang infus atau tidak.
b. DBD Disertai Renjatan (DSS)
Pasien yang mengalami renjatan atau syok harus segera dipasang infus
karena sebagai pengganti cairan akibat kebocoran plasma. Cairan yang harus
diberikan adalah Ringer laktat, namun jika pemberian cairan tidak dapat
mengatasi syok maka harus diberikan plasma sebanyak 20-30 ml/kg berat badan.
Sedangkan untuk klien yang mengalami renjatan berat harus diberikan cairan
dengan cara diguyur. Apabila syok telah teratasi, nadi sudah jelas teraba,
amplitude nadi sudah cukup besar, maka tetesan infus dikurangi menjadi 10
mL/kg BB/jam.
Pada pasien yang mengalami renjatan berkali-kali harus dipasang CVP
(Central Venous Pressure) yang berfungsi sebagai pengaturan vena sentral untuk
mengukur tekanan vena sentral melalui vena jugularis. Biasanya pemasangan alat
ini dilakukan pada klien yang dirawat di ICU. Transfusi darah dapat diberikan
pada klien dengan perdarahan gastrointestinal yang hebat. Kadang-kadang
perdarahan gastrointestinal dapat digunakan sebagai indikasi jika klien terjadi
penurunan HB dan Ht sedangkan tidak terlihat tanda perdarahan di kulit.

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

45
1. Pengkajian
a. Data subjektif adalah data yang dikumpulkan berdasarkan keluhan yang
dinyatakan oleh pasien : lemah, panas atau demam, sakit kepala, anoreksia ( tidak
nafsu makan), mual, haus, sakit saat menelan, nyeri ulu hati, nyeri pada otot dan
sendi, pegal-pegal pada seluruh tubuh, konstipasi ( sembelit ).
b. Data objektif adalah data yang diperoleh berdasarkan pengamatan perawat atau
kondisi pasien
1) Suhu tubuh tinggi : menggigil, wajah tampak kemerahan ( flusing )
2) Mukosa mulut kering : perdarahan gusi, lidah kotor ( kadang-kadang )
3) Tampak bintik merah pada kulit ( ptichie ), uji tourniqut positif, epistaksis
( perdarahan hidung ), ekimosis, hematoma, hematemesisi, melena
4) Hiperemia pada tenggorokan
5) Nyeri tekan pada epigastrik
6) Pada palpasi teraba adanya pembesaran limpe dan hati
7) Pada renjatan ( derajat IV ): nadi cepat dan lemah, nafas dangkal, sianosis
perifer, ekstremitas dingin, dan hipotensi,
c. Keluhan utama
Alasan atau keluhan yang menonjol pada pasien DHF untuk datang kerumah sakit
adalah panas tinggi dan lemah.
d. Riwayat penyakit sekarang
Didapatkan adanya keluhan panas mendadak yang disertai menggigil dan saat
demam kesadaran composmetis.Turunnya panas terjadi antara hari ke-3 dan ke-7
dan pendeerita semakin lemah. Kadang-kadang disertai keluhan batuk pilek, nyeri
telan, mual, muntah, anoreksia, diare atau konstipasi, sakit kepala, nyeri otot, dan
persendian, nyeri ulu hati, dan pergerakan bola mata terasa pegal, serta adanya
manifestasi perdarahan pada kult , gusi (grade III. IV), melena atau hematemesis.
e. Riwayat penyakit dahulu
Penyakit apa saja yang pernah diderita. Pada DHF biasanya mengalami serangan
ulangan DHF dengan tipe virus lain.

f. Riwayat kesehatan keluarga

46
Riwayat adanya penyakit DHF pada anggota keluarga yang lain sangat
menentukan, karena penyakit DHF adalah penyakit yang bisa ditularkan melalui
gigitan nyamuk aides aigepty.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan laju metabolism dibuktikan
dengan dibuktikan dengan suhu tubuh klien diatas nilai normal, kulit terasa
hangat, takirkardi.
b. Defisit nutrisi berhubungan dengan kurangnya asupan makanan dibuktikan
dengan penurunan minimal berat badan 10% di bawah rentang normal.
c. Nausea berhubungan dengan iritasi lambung dibuktikan dengan, mengeluh mual,
merasa ingin muntah.
d. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencidera fisiologis dibuktikan pasien
mengeluh nyeri.
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan dibuktikan dengan dyspnea
saat / setelah aktivitas, merasa tidak nyaman setelah beraktivitas.
f. Risiko perdarahan dibuktikan dengan gangguan koagulasi (trombosipenia).
g. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi dibuktikan
dengan klien menanyakan masalah yang sedang dihadapi, menunjukkan perilaku
tidak sesuai anjuran.

47
3. Intervensi Keperawatan

N Diagnosa Paraf/Nama
Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Tindakan Keperawatan Rasional
O Keperawatan Terang
Hipertermia Setelah dilakukan intervensi 1. Identifikasi penyebab 1. Menentukan intervensi atau
1. berhubungan dengan keperawatan selama ... x 24 hipertermia langkah yang akan diambil untuk
peningkatan laju Jam maka tingkat 2. Monitor suhu tubuh mengatasi hipertermia
metabolism dibuktikan termoregulasi membaik, 3. Berikan cairan oral 2. Mengetahui penurunan atau
dengan suhu tubuh dengan kriteria hasil : 4. Berikan oksigen (bila perlu) meningkatnya suhu tubuh klien
klien diatas nilai a. Suhu tubuh membaik 5. Sediakan lingkungan yang 3. Mengganti cairan yang hilang
normal, kulit terasa b. Suhu kulit membaik sejuk akibat evaporasi
hangat, takirkardi c. Takikardi menurun 6. Longgarkan atau lepaskan 4. Memenuhi kebutuhan oksigen
pakaian karena metabolisme meningkat
7. Anjurkan menggunakan 5. Lingkungan yang sejuk membuat
pakaian yang tipis dan suhu tubuh menyesuaikan dengan
menyerap keringat lingkungan
8. Anjurkan tirah baring 6. Pakaian yang ketat memperburuk
9. Kolaborasi dalam pemberian kondisi hipertermia
cairan intravena 7. Pakaian yang tepat untuk
lingkungan yang tepat agar
menghindari panas
8. Meminimalisir aktivitas menjaga
kestabilan suhu tubuh
9. Pemberian cairan diperlukan
untuk menghindari terjadinya
dehidrasi

48
Defisit nutrisi Setelah dilakukan intervensi 1. Identifikasi status nutrisi. 1. Untuk mengetahui status nutrisi
2. berhubungan dengan keperawatan selama…..x24 2. Monitor asupan makanan. pasien
kurangnya asupan jam maka tingkat porsi 3. Monitor berat badan 2. Mengetahui jumlah kebutuhan
makanan dibuktikan makanan yang dihabiskan 4. Berikan makanan tinggi kalori yang telah masuk ke tubuh pasien.
dengan penurunan meningkat dengan kriteria dan tinggi protein. 3. Mengetahui terjadinya
minimal berat badan hasil : 5. Lakukan oral hygiene sebelum peningkatan atau penurunan berat
10% di bawah rentang makan, jika perlu badan
normal. a. Pemasukan nutrisi pasien 6. Anjurkan makan pada posisi 4. Untuk menjaga nutrisi tubuh.
adekuat duduk/ kepala ditinggikan. 5. Untuk meningkatkan nafsu makan
b. Jumlah cairan dan 7. Kolaborasi dengan ahli gizi 6. Mencegah aspirasi dan
makanan yang diterima untuk menentukan jumlah mengurangi rasa penuh pada
sesuai dengan kebutuhan kalori dan jenis nutrient yang mulut.
tubuh pasien dibutuhkan. 7. Mengatur pola diet sesuai
c. Tidak terjadi penurunan kebutuhan.
berat badan
d. Berat badan dan IMT
meningkat
e. Frekuensi dan nafsu
makan meningkat
Nausea berhubungan Setelah dilakukan intervensi 1. Monitor mual (frekuensi, durasi, 1. Mengetahui jumlah, dan keparahan
3. dengan iritasi lambung keperawatan selama ….x 24 dan tingkat keparahan) mual yang dirasakan pasien.
dibuktikan dengan, jam maka tingkat nausea 2. Memantau apakah terjadi kurang
mengeluh mual, meraa menurun dengan kriteria hasil 2. Monitor asupan nutrisi dan asupan nutrisi pada pasien.
ingin muntah, : kalori 3. Memberikan nutrisi yang cukup.
3. Berikan makanan dalam jumlah
a. Nafsu makan meningkat kecil dan menarik.
b. Keluhan mual menurun 4. Anjurkan sering membersihkan 4. Menjaga kebersihan mulut agar
c. Perasaan ingin muntah mulut, kecuali jika merangsang dapat meningkatkan nafsu makan.
menurun

49
d. Perasaan asam di mulut mual.
menurun 5. Anjurkan istirahat dan tidur 5. Membantu mengurangi rasa mual.
yang cukup. 6. Mengurangi rasa mual dengan
6. Kolaborasi pemberian pemberian antiemetic.
antiemetik

4 Nyeri akut Setelah dilakukan intervensi 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, 1. Untuk mengetahui tingkat nyeri
berhubungan dengan keperawatan selama…x 24 durasi,frekuensi,kualitas, yang dirasakan
agen pencidera jam maka tingkat nyeri intesitas nyeri. 2. Mengetahui rentang skala nyeri
fisiologis menurun dengan kriteria 3. Untuk mengalihkan perhatian
hasil: 2. Kaji skala nyeri pasien dari rasa nyeri dan
mengurangi rasa nyeri
a. Klien tidak melaporkan 3. Berikan teknik nonfarmakologi 4. Meningkatkan pemahaman dalam
adanya nyeri. untuk mengurangi rasa nyeri
(kompres hangat/dingin dan memanajemen nyeri
b. Klien tidak merintih dan 5. Untuk mengurangi nyeri yang
menangis akibat nyeri terapi relaxasi).
berat.
yang dirasakan 4. Jelaskan strategi meredakan
c. Klien tidak nyeri.
mengekpresikan nyeri.
5. Kolaborasi pemberianan
analgetik.
5 Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan intervensi 1. Identifikasi gangguan fungsi 1. Agar mempermudah menemukan
berhubungan dengan keperawatan selama …x 24 tubuh yang mengakibatkan penyebab kelelahan
kelemahan dibuktikan jam maka tingkat toleransi kelelahan 2. Untuk memantau kelelahan fisik
dengan dyspnea saat / aktivitas meningkat dengan 2. Monitor kelelahan fisik dan dan emosional
setelah aktivitas, kriteria hasil : emosional 3. Pola tidur baik dan cukup jam
merasa tidak nyaman 3. Monitor pola dan jam tidur dapat memberikan energy yang
setelah beraktivitas. a. frekuensi nadi meningkat 4. Lakukan latihan rentang gerak cukup
b. saturasi oksigen
50
meningkat pasif dan atau aktif 4. Latihan gerak pasif atau aktif yang
c. kemudahan dalam 5. Sediakan lingkungan nyaman teratur dapat memperlancarkan
melakukan aktivitas dan rendah stimulus metabolism dan mencegah
sehari-hari meningkat 6. Anjurkan tirah baring kekakuan sendi
d. keluhan lelah menurun 7. Anjurkan melakukan aktivitas 5. Lingkungan yang nyaman dapat
e. dyspnea saat / setelah secara bertahap mengoptimalkan istirahat
aktivitas menurun 8. Ajarkan strategi koping untuk 6. Untuk meringankan kerja jantung
f. aritmia saat / setelah mengurangi kelelahan 7. Aktivitas secara bertahap untuk
aktivitas menurun. 9. Kolaborasi dengan ahli gizi meringankan kerja jantung
g. tekanan darah membaik tentang cara meningkatkan 8. Mekanisme koping yang baik
asupan makanan membantu untuk mengurangi
kelelahan
9. Asupan gizi yang baik untuk angka
kebutuhan energy setiap hari
6 Defisit pengetahuan Setelah dilakukan intervensi 1. Indentifikasi kesiapan dan 1. Untuk mengetahui tingkat
berhubungan dengan keperawatan selama… x 30 kemampuan menerima informasi kemampuan pasien dalam
kurang terpapar menit maka tingkat 2. Identifikasi faktor faktor yang menerima informasi.
informasi. pengetahuan klien dapat meningkatkan dan 2. Untuk mengetahui factor penyebab
meningkat dengan kriteria menurunkan motivasi prilaku perubahan prilaku hidup bersih dan
hasil: hidup bersih dan sehat. sehat.
3. Sediakan materi dan media 3. Agar pasien mudah menerima
a. Kemampuan pendidikan kesehatan. informasi yang diberikan
menjelaskan tentang 4. Jadwalkan pendidikan kesehatan 4. Agar pasien dapat menerima
masalah yang dihadapi sesuai kesepakatan. informasi sesuai dengan
meningkat 5. Beri kesempatan klien untuk kesepakatan sebelumnya
b. Pertanyaan tentang bertanya. 5. Untuk mengevaluasi pengetahuan
penyakit yang diderita 6. Ajarkan perilaku hidup bersih pasien.
menurun. dan sehat (kebersihan kantong 6. Agar pasien mampu memperbaiki

51
c. Prilaku sesuai dengan kolostomi) status kesehatannya dan dapat
pengetahuan meningkat mengurangi infeksi.
7. Risiko perdarahan Setelah dilakukan intervensi 1. Monitor tanda dan gejala 1. Mengetahui timbulnya
dibuktikan dengan keperawatan selama… 24 perdarahan. perdarahan.
gangguan koagulasi jam maka tingkat perdarahan 2. Monitor nilai 2. Memantau kemungkinan
(trombositopenia). pasien menurun dengan hematocrit/hemoglobin sebelum terjadinya perdarahan.
kriteria hasil: dan sesudah kehilangan darah. 3. Mengurangi timbulnya
3. Pertahankan bedrest selama perdarahan.
a. Kelembaban membrane perdarahan. 4. Mencegah timbulnya perdarahan
mukosa meningkat. 4. Batasi tindakan invasive, jika lagi.
b. Hematokrit membaik. perlu. 5. Mencegah luka agar tidak
c. Tekanan darah membaik. 5. Anjurkan menggunakan kaus menambah perdarahan.
d. Denyut nadi membaik. kaki saat ambulasi. 6. Mengetahui onset perdarahan.
6. Anjurkan segera lapor jika ada 7. Membantu mengurangi
perdarahan. perdarahan.
7. Kolaborasi pemberian obat
pengontrol pendarahan.

52
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan dilaksanakan sesuai dengan intervensi keperawatan yang
telah ditetapkan. Implementasi adalah pengolahan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Jenis tindakan pada
implementasi ini terdiri dari tindakan mandiri, saling ketergantungan/kolaborasi, dan
rujukan/ketergantungan.

5. Evaluasi Keperawatan
Menurut Alfaro-LeFevre, evaluasi mengacu kepada penilaian, tahapan, dan perbaikan.
Pada tahap ini perawat menemukan penyebab mengapa suatu proses keperawatan
dapat berhasil atau gagal. Evaluasi dibagi menjadi dua jenis yaitu:
a. Evaluasi Formatif : Hasil observasi dan analisa perawat terhadap respon segera
pada saat dan setelah dilakukan tindakan keperawatan.
b. Evaluasi Sumatif : Rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan analisa status
kesehatan sesuai waktu pada tujuan ditulis pada catatan perkembangan.
Setelah melaksanakan tindakan keperawatan maka hasil yang diharapkan
adalah sesuai dengan rencana tujuan yaitu :
1) Suhu tubuh dalam batas normal (36ºC-37ºC)
2) Nutrisi terpenuhi sesuai dengan kebutuhan tubuh
3) Mual pasien berkurang.
4) Nyeri terkontrol dan hilang
5) Pasien dapat beraktivitas bertahap.
6) Perdarahan tidak terjadi.
7) Pengetahyan pasien bertambah.

53
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
GEA (GASTROENTERITIS AKUT)

A. KONSEP DASAR PENYAKIT

1. Definisi
Gastroenteritis adalah keadaan dimana frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali pada
bayi dan lebih 3 kali pada anak dengan konsistensi feses encer, dapat berwarna hijau
atau dapat pula bercampur lendir dan darah/lendir saja.
Gastroenteritis atau diare merupakan suatu keadaan pengeluaran tinja yang tidak
normal atau tidak seperti biasanya, dimulai dengan peningkatan volume, keenceran
serta frekuensi lebih dari 3 kali sehari dan pada neonatus lebih dari 4 kali sehari
dengan atau tanpa lendir dan darah.

2. Klasifikasi GEA
a. Diare akut: yaitu diare yang berlangsung kurang dari empat belas hari (umumnya
kurang dari tujuh hari)
b. Disentri: yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya,
c. Diare persisten; yaitu diare yang berlangsung lebih dari empat belas hari secara
terus - menerus,
d. Diare dengan masalah lain; anak yang menderita diare (diare akut dan persisten)
mungkin juga disertai penyakit lain seperti demam, gangguan gizi atau penyakit
lainnya

3. Etiologi GEA
a. Faktor Infeksi
1) Infeksi enteral : infeksi saluran pencernaan makanan yang meriupakan
penyebab utama diare pada anak. Meliputi infeksi enteral sebagai berikut:
a) Infeksi virus: enterovirus (virus ECHO, coxsaxide, poliomyelitis), adeno-
virus, rotavirus, astrovirus.
b) Infeksi parasit: cacing (ascaris, trichuris, oxyuris, strongyloides); protozoa
(entamoeba histolytica, giardia lamblia, tri chomonas nominis); jamur
(candida albicans).

54
b. Faktor Malabsorbsi
1) Malabsorbsi karbohidrat:
a) Disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa)
b) Monosakarida (intoleransi glukosa, fraktosa, galaktosa).Pada bayi dan
anak yang terpenting dan tersering (intoleransi laktosa).
2) Malabsorbsi lemak
3) Malabsorbsi protein
4) Faktor makanan (makanan basi, beracun, alergi, terhadap makanan)
5) Faktor psikologis (rasa takut dan cemas), jarang tapi dapat terjadi pada anak
yang lebih besar.
6) Faktor imunodefisiensi
7) Faktor obat-obatan, antibiotic
8) Faktor penyakit usus, colitis ulcerative, croho disease, enterocilitis.

4. Patofisiologi
Penyebab gastroenteritis akut adalah masuknya virus ( Rotravirus, Adenovirus
enteris, Virus Norwalk ), Bakteri atau toksin ( Compylobacter, Salmonella, Escherihia
Coli, Yersinia, dan lainnya ), parasit ( Biardia Lambia, Cryptosporidium ).
Beberapa mikroorganisme patogen ini menyebabkan infeksi pada sel-sel,
memproduksi enterotoksin atau Cytotoksin dimana merusak sel-sel, atau melekat pada
dinding usus pada Gastroenteritis akut.
Penularan Gastroenteritis biasa melalui fekal - oral dari satu penderita ke yang
lainnya. Beberapa kasus ditemui penyebaran patogen dikarenakan makanan dan
minuman yang terkontaminasi. Mekanisme dasar penyebab timbulnya diare adalah
gangguan osmotic (makanan yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan
osmotic dalam rongga usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit
kedalam rongga usus, isi rongga usus berlebihan sehingga timbul diare ). Selain itu
menimbulkan gangguan sekresi akibat toksin di dinding usus, sehingga sekresi air dan
elektrolit meningkat kemudian terjadi diare. Gangguan multilitas usus yang
mengakibatkan hiperperistaltik dan hipoperistaltik. Akibat dari diare itu sendiri adalah
kehilangan air dan elektrolit ( Dehidrasi ) yang mengakibatkan gangguan asam basa
(Asidosis Metabolik dan HipokalemiaN ), gangguan gizi ( intake kurang, output
berlebih), hipoglikemia, dan gangguan sirkulasi darah.

55
Normalnya makanan atau feses bergerak sepanjang usus karena gerakan-gerakan
peristaltik dan segmentasi usus. Namun akibat terjadi infeksi oleh bakteri, maka pada
saluran pencernaan akan timbul mur-mur usus yang berlebihan dan kadang
menimbulkan rasa penuh pada perut sehingga penderita selalu ingin BAB dan berak
penderita encer.
Dehidrasi merupakan komplikasi yang sering terjadi jika cairan yang dikeluarkan
oleh tubuh melebihi cairan yang masuk, cairan yang keluar disertai elektrolit. Mula-
mula mikroorganisme Salmonella, Escherichia Coli, Vibrio Disentri dan Entero Virus
masuk ke dalam usus, disana berkembang biak toxin, kemudian terjadi peningkatan
peristaltik usus, usus kehilangan cairan dan elektrolit kemudian terjadi dehidrasi.

5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari gatroenteritis yaitu:
a. Ketidaknyamanan di abdomen (berkisar dari kram sampai nyeri)
b. Diare
c. Mual dan muntah
d. Hipermotilitas usus
e. Borborigmus
f. Demam
g. Tidak enak badan
h. Turgor kulit menurun
i. Nadi meningkat
j. Keringat dingin
k. Muka pucat

6. Komplikasi
Akibat diare, kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak dapat terjadi berbagai
komplikasi sebagai berikut :
a. Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonik atau hipertonik)
b. Rinjatan hipovolemik
c. Hipokalemia (dengan gejala miteorismus, hipotoni otot, lemak, bradikardia,
perubahan elektrokardiagram).
d. Hipoglikemia

56
e. Intoleransi sekunder akibat kerusakan vili mukosa usus dan defisiensi enzim
laktasi.
f. Kejang-kejang pada dehidrasi hipertonik
g. Malnutrisi energi protein (akibat muntah dan diare, jika lama atau kronik).

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Tinja
1) Makroskopis dan mikroskopis.
2) pH dan kadar gula dalam tinja dengan kertas lakmus dan tablet dinistest, bila
diduga terdapat intoleransi gula.
3) Bila diperlukan, lakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi.
b. Pemeriksaan Darah
1) pH darah dan cadangan dikali dan elektrolit ( Natrium, Kalium, Kalsium, dan
Fosfor ) dalam serum untuk menentukan keseimbangan asama basa.
2) Kadar ureum dan kreatmin untuk mengetahui faal ginjal.
c. Intubasi Duodenum ( Doudenal Intubation )
Untuk mengatahui jasad renik atau parasit secara kualitatif dan kuantitatif,
terutama dilakukan pada penderita diare kronik
8. Penatalaksanaan
a. Pemberian cairan
Pemberian cairan pada pasien diare dan memperhatiakn derajat dehidrasinya dan
keadaan umum.
1) Pemberian cairan
Pasien dengan dehidrasi rignan dan sedang cairan diberikan per oral berupa
cairan yang berisikan NaCl dan Na HCO3, KCl dan glukosa untuk diare akut
dan karena pada anak di atas umur 6 bulan kadar natrium 90 ml g/L. pada anak
dibawah 6 bulan dehidrasi ringan / sedang kadar natrium 50-60 mfa/L,
formula lengkap sering disebut : oralit.
2) Cairan parenteral
Sebenarnya ada beberapa jenis cairan yang diperlukan sesuai engan kebutuhan
pasien, tetapi kesemuanya itu tergantugn tersedianya cairan stempat. Pada
umumnya cairan Ringer laktat (RL) diberikan tergantung berat / rignan

57
dehidrasi, yang diperhitugnkan dengan kehilangan cairan sesuai dengan umur
dan BB-nya.
a) Belum ada dehidrasi : Per oral sebanyak anak mau minum / 1 gelas tiap
defekasi.
b) Dehidrasi ringan : 1 jam pertama : 25 – 50 ml / kg BB per oral, selanjutnya
: 125 ml / kg BB / hari
c) Dehidrasi sedang : 1 jam pertama : 50 – 100 ml / kg BB per oral (sonde),
selanjutnya 125 ml / kg BB / hari
d) Dehidrasi berat
Tergantung pada umur dan BB pasien.
b. Pengobatan Dietetik
Untuk anak di bawah 1 tahun dan anak di atas 1 tahun dengan BB kurang dari 7
kg jenis makanan :
1) Susu (ASI adalah susu laktosa yang mengandung laktosa rendah dan asam
lemak tidak jenuh, misalnya LLM, al miron).
2) Makanan setengah padar (bubur) atau makanan padat (nasitim), bila anak
tidak mau minum susu karena di rumah tidak biasa.
3) Susu khusus yang disesuaikan dengan kelainan yang ditemukan susu dengan
tidak mengandung laktosa / asam lemak yang berantai sedang / tidak sejuh.
c. Obat-obatan
Prinsip pengobatan diare adalah mengganti cairan yang hilang melalui tinja
dengan / tanpa muntah dengan cairan yang mengandung elektrolit dan glukosa /
karbohidrat lain (gula, air tajin, tepung beras sbb).
1) Obat anti sekresi
a) Asetosal, dosis 25 mg/ch dengan dosis minimum 30 mg.
b) Klorrpomozin, dosis 0,5 – 1 mg / kg BB / hari
2) Obat spasmolitik, dll umumnya obat spasmolitik seperti papaverin, ekstrak
beladora, opium loperamia tidak digunakan untuk mengatasi diare akut lagi,
obat pengeras tinja seperti kaolin, pektin, charcoal, tabonal, tidak ada
manfaatnya untuk mengatasi diare sehingg tidak diberikan lagi.
3) Antibiotik
Umumnya antibiotik tidak diberikan bila tidak ada penyebab yang jelas bila
penyebabnya kolera, diberiakn tetrasiklin 25-50 mg / kg BB / hari. Antibiotik

58
juga diberikan bile terdapat penyakit seperti : OMA, faringitis, bronkitis /
bronkopneumonia.

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, alamat, tempat tinggal, tempat tanggal lahir,
pekerjaan dan pendidikan.
b. Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat pengkajian.
Biasanya keluhan utama yang klien rasakan adalah bab cair lebih dari 3 kali,
mual, muntah, lemas maupun panas..
c. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat gastroenteritis, glardiasis, penyakit seliakus, sindrom iritabilitas kolon,
otitis media akut, tondilitas, ensefalitis dan lainnya.
d. Riwayat penyakit dahulu
Pernah mengalami diare, pernah menderita penyakit pencernaan.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Pernah menderita penyakit saluran pencernaan.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan laju metabolism dibuktikan
dengan dibuktikan dengan suhu tubuh klien diatas nilai normal, kulit terasa
hangat, takirkardi.
b. Defisit nutrisi berhubungan dengan kurangnya asupan makanan dibuktikan
dengan penurunan minimal berat badan 10% di bawah rentang normal.
c. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencidera fisiologis dibuktikan pasien
mengeluh nyeri.
d. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi dibuktikan
dengan klien menanyakan masalah yang sedang dihadapi, menunjukkan perilaku
tidak sesuai anjuran.
e. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan kelembapan dibuktikan
dengan kerusakan jaringan atau lapisan kulit, kemerahan.
f. Risiko hypovolemia dibuktikan dengan kehilangan cairan secara aktif.
59
3. Intervensi Keperawatan

N Diagnosa Paraf/Nama
Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Tindakan Keperawatan Rasional
O Keperawatan Terang
Hipertermia Setelah dilakukan intervensi 1. Identifikasi penyebab 1. Menentukan intervensi atau
1. berhubungan dengan keperawatan selama ... x 24 hipertermia langkah yang akan diambil untuk
peningkatan laju Jam maka termoregulasi 2. Monitor suhu tubuh mengatasi hipertermia
metabolism dibuktikan membaik, dengan kriteria 3. Berikan cairan oral 2. Mengetahui penurunan atau
dengan suhu tubuh hasil : 4. Berikan oksigen (bila perlu) meningkatnya suhu tubuh klien
klien diatas nilai a. Suhu tubuh membaik 5. Sediakan lingkungan yang sejuk 3. Mengganti cairan yang hilang
normal, kulit terasa b. Suhu kulit membaik 6. Longgarkan atau lepaskan akibat evaporasi
hangat, takirkardi c. Takikardi menurun pakaian 4. Memenuhi kebutuhan oksigen
7. Anjurkan menggunakan pakaian karena metabolisme meningkat
yang tipis dan menyerap 5. Lingkungan yang sejuk membuat
keringat suhu tubuh menyesuaikan dengan
8. Anjurkan tirah baring lingkungan
9. Kolaborasi dalam pemberian 6. Pakaian yang ketat memperburuk
cairan intravena kondisi hipertermia
7. Pakaian yang tepat untuk
lingkungan yang tepat agar
menghindari panas
8. Meminimalisir aktivitas menjaga
kestabilan suhu tubuh
9. Pemberian cairan diperlukan untuk
menghindari terjadinya dehidrasi

60
Defisit nutrisi Setelah dilakukan intervensi 1.
Identifikasi status nutrisi 1. Untuk mengetahui status nutrisi
2. berhubungan dengan keperawatan selama…..x24 2.
Monitor asupan makanan. pasien
kurangnya asupan jam maka tingkat porsi 3.
Monitor berat badan 2. Mengetahui jumlah kebutuhan yang
makanan dibuktikan makanan yang dihabiskan 4.
Berikan makanan tinggi kalori telah masuk ke tubuh pasien.
dengan penurunan meningkat dengan kriteria dan tinggi protein. 3. Mengetahui terjadinya peningkatan
minimal berat badan hasil : 5. Lakukan oral hygiene sebelum atau penurunan berat badan
10% di bawah rentang makan, jika perlu 4. Untuk menjaga nutrisi tubuh.
normal. a. Pemasukan nutrisi pasien 6. Anjurkan makan pada posisi 5. Untuk meningkatkan nafsu makan.
adekuat duduk/ kepala ditinggikan. 6. Mencegah aspirasi dan mengurangi
b. Jumlah cairan dan 7. Kolaborasi dengan ahli gizi rasa penuh pada mulut.
makanan yang diterima untuk menentukan jumlah kalori 7. Mengatur pola diet sesuai
sesuai dengan kebutuhan dan jenis nutrient yang kebutuhan.
tubuh pasien dibutuhkan.
c. Tidak terjadi penurunan
berat badan
d. Berat badan dan IMT
meningkat
e. Frekuensi dan nafsu
makan meningkat

3 Nyeri akut Setelah dilakukan intervensi 1. Identifikasi lokasi, 1. Untuk mengetahui tingkat nyeri
berhubungan dengan keperawatan selama…x 24 karakteristik, yang dirasakan
agen pencidera jam maka tingkat nyeri durasi,frekuensi,kualitas, 2. Mengetahui rentang skala nyeri
fisiologis menurun dengan kriteria intesitas nyeri. 3. Untuk mengalihkan perhatian
hasil: pasien dari rasa nyeri dan
2. Kaji skala nyeri mengurangi rasa nyeri
a. Klien tidak melaporkan
adanya nyeri. 3. Berikan teknik nonfarmakologi 4. Meningkatkan pemahaman dalam
b. Klien tidak merintih dan untuk mengurangi rasa nyeri

61
menangis akibat nyeri (kompres hangat/dingin dan memanajemen nyeri
yang dirasakan terapi relaxasi). 5. Untuk mengurangi nyeri yang
c. Klien tidak berat.
mengekpresikan nyeri 4. Jelaskan strategi meredakan
nyeri.

5. Kolaborasi pemberianan
analgetik.
4 Defisit pengetahuan Setelah dilakukan intervensi 1. Indentifikasi kesiapan dan 1. Untuk mengetahui tingkat
berhubungan dengan keperawatan selama… x 30 kemampuan menerima informasi kemampuan pasien dalam
kurang terpapar menit maka tingkat 2. Identifikasi faktor faktor yang menerima informasi.
informasi. pengetahuan klien dapat meningkatkan dan 2. Untuk mengetahui factor
meningkat dengan kriteria menurunkan motivasi prilaku penyebab perubahan prilaku
hasil: hidup bersih dan sehat. hidup bersih dan sehat.
3. Sediakan materi dan media 3. Agar pasien mudah menerima
a. Kemampuan pendidikan kesehatan. informasi yang diberikan
menjelaskan tentang 4. Jadwalkan pendidikan kesehatan 4. Agar pasien dapat menerima
masalah yang dihadapi sesuai kesepakatan. informasi sesuai dengan
meningkat. 5. Beri kesempatan klien untuk kesepakatan sebelumnya
b. Pertanyaan tentang bertanya. 5. Untuk mengevaluasi pengetahuan
penyakit yang diderita 6. Ajarkan perilaku hidup bersih pasien.
menurun. dan sehat (kebersihan kantong 6. Agar pasien mampu memperbaiki
c. Prilaku sesuai dengan kolostomi) status kesehatannya dan dapat
pengetahuan meningkat mengurangi infeksi.
5 Gangguan integritas Setelah diberikan intervensi 1. Identifikasi kesiapan dan 1. Agar klien dapat menerima
kulit/jaringan keperawatan selama ……x 24 kemampuan menerima keadaannya dan Memonitor
berhubungan dengan jam, diharapkan integritas informasi aktifitas dan kegiatan klien yang
kelembapan dibuktikan kulit klien meningkat dengan 2. Jaga kebersihan kulit agar tetap meningkatkan risiko terjadinya

62
dengan kerusakan kriteria hasil : bersih dan kering cidera atau luka pada kulit
jaringan atau lapisan 3. Oleskan lotion atau 2. Mencegah terjadinya luka dan
kulit, kemerahan 1. Elastisitas meningkat minyak/baby oil pada daerah infeksi pada kulit
2. Kerusakan jaringan yang tertekan 3. Menjaga kelembapan kulit
menurun 4. Monitor status nutrisi klien 4. Mencukupi nutrisi klien untuk
3. Kerusakan lapisan kulit 5. Mandikan klien dengan sabun proses penyembuhan luka
menurun dan air hangat 5. Menjaga kebersihan kulit dan
4. Suhu kulit membaik 6. Anjurkan menghindari terpapar merelaksasikan
suhu ekstrim 6. Menguragi rasa gatal yang
7. Kolaborasi pemberian dirasakan
antibiotik, jika perlu 7. Untuk mengatasi terjadinya infeksi
pada kulit / jaringan pada pasien
jika terjadi infeksi
6 Risiko hypovolemia Setelah diberikan intervensi 1. Monitor intake dan ouput cairan 1. Mengetahui kecukupan intake
dibuktikan dengan keperawatan selama ….x. 24 2. Hitung kebutuhan cairan cairan pasien dan mengantisipasi
kehilangan cairan jam maka tingkat intake 3. Anjurkan memperbanyak asupan dehidrasi.
secara aktif. cairan membaik dengan cairan oral. 2. Mengetahui kebutuhan cairan
kriteria hasil : 4. Kolaborasi pemberian cairan ib pasien.
a. Turgor kulit elastis. isotonis 3. Mencukupi intake cairan pasien
b. Membran mukosa dan mengantisipasi dehidrasi..
pasien lembab. 4. Membantu melengkapu kebutuhan
c. Adanya keseimbangan cairan pasien.
intake dan output cairan
dalam 24 jam.

63
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan dilaksanakan sesuai dengan intervensi keperawatan yang
telah ditetapkan. Implementasi adalah pengolahan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Jenis tindakan pada
implementasi ini terdiri dari tindakan mandiri, saling ketergantungan/kolaborasi, dan
rujukan/ketergantungan.

5. Evaluasi Keperawatan
Menurut Alfaro-LeFevre, evaluasi mengacu kepada penilaian, tahapan, dan perbaikan.
Pada tahap ini perawat menemukan penyebab mengapa suatu proses keperawatan
dapat berhasil atau gagal. Evaluasi dibagi menjadi dua jenis yaitu:
a. Evaluasi Formatif : Hasil observasi dan analisa perawat terhadap respon segera
pada saat dan setelah dilakukan tindakan keperawatan.
b. Evaluasi Sumatif : Rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan analisa status
kesehatan sesuai waktu pada tujuan ditulis pada catatan perkembangan.
Setelah melaksanakan tindakan keperawatan maka hasil yang diharapkan adalah
sesuai dengan rencana tujuan yaitu :
1) Suhu tubuh dalam batas normal (36ºC-37ºC)
2) Nutrisi terpenuhi sesuai dengan kebutuhan tubuh
3) Nyeri terkontrol dan hilang.
4) Pengetahuan pasien bertambah.
5) Kondisi kulit membaik.
6) Cairan tubuh pasien tercukupi.

64
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
STROKE NON HEMORAGIK (SNH)

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Definisi SNH
Stroke merupakan penyakit neurologis yang sering dijumpai dan harus ditangani
secara cepat dan tepat. Stroke merupakan kelainan fungsi otak yang timbul mendadak
yang disebabkan karena terjadinya gangguan peredaran darah otak dan bisa terjadi
pada siapa saja dan kapan saja (Muttaqin, 2012).
Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang cepat
akibat gangguan fungsi otak fokal atau global dengan gejala-gejala yang berlangsung
selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain
yang jelas selain vaskuler (WHO, 2010).
Stroke adalah divisit neurologi yang terjadi akibat terhentinya suplai darah ke otak
yang dapat berakibat kerusakan dan kematian sel-sel otak yang menibulkan gejala
klinis antara lain kelumpuhan wajah atau anggota badan yang lain, gangguan
sensibilitas perubahan mendadak setatus mental, gangguan penglihatan dan gangguan
wicara. (Bararah & Jauhar, 2013).

2. Klasifikasi SNH
Klasifikasi Stroke menurut Muttaqin tahun 2008, dapat diklasifikasikan menurut
patologi dan gejala kliniknya, yaitu.
a. Stroke Hemoragik
Merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan subarachnoid.
Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada daerah otak tertentu.
Biasanya kejadiannya saat melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga
terjadi saat istirahat (pendarahan intraserebral, pecahnya aneunisme dan tumor
otak yang mengalami pendarahan).
b. Stroke Non Hemoragik
Dapat berupa iskemia atau emboli dan thrombosis serebral, biasanya terjadi saat
setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi hari. Tidak terjadi
perdarahan namun terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya
dapat timbul edema sekunder. Kesadaran umumnya baik.
65
3. Patofisiologi
a. Etiologi
Penyebab SNH menurut Muttqin (2012) & Black (2014) sebagai berikut:
1) Thrombosis cerebral
Thrombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi
sehingga menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapat menimbulkan edema
dan kongesti di sekitarnya. Thrombosis biasanya terjadi pada orang tua yang
sedang tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan
aktivitas simpatis dan penurunan tekanan darah yang biasa menyebabkan
iskemik serebral.
2) Embolisme
Sumbatan pada emboli serebral yang disebabkan oleh embolus
menyebabkan stroke embolik. Embolus terbentuk di bagian luar otak,
kemudian terlepas dan mengalir melaluai sirkulasi serebral sampai embolus
tersebut melekat pada pembuluh darah dan menyumbat arteri.
b. Proses terjadinya
Trombosis (penyakit trombo–oklusif) merupakan penyebab stroke yang paling
sering. Arteriosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah
penyebab utama trombosis selebral. Penggumpalan (trombus) mulai terjadi dari
adanya kerusakan pada bagian garis endotelial dari pembuluh darah.
Arteriosklerosis menyebabkan zat lemak tertumpuk dan membentuk plak pada
dinding pembuluh darah. Plak ini terus membesar dan menyebabkan penyempitan
(stenosis) pada arteri. Stenosis menghambat aliran darah yang biasanya lancar
pada arteri. Darah akan berputar-putar di bagian permukaan yang terdapat plak,
menyebabkan penggumpalan yang akan melekat pada plak tersebut. Akhirnya
rongga pembuluh darah menjadi tersumbat. Selain itu, penyumbatan dapat terjadi
karena inflamasi pada arteri atau disebut arteritis atau vaskulitis tetapi hal ini
jarang terjadi. Trombus bisa terjadi di semua bagian sepanjang arteri karotid atau
pada cabang-cabangnya. Bagian yang biasa terjadi penyumbatan adalah pada
bagian yang mengarah pada percabangan dari karotid utama ke bagian dalam dan
luar dari arteri karotid. Stroke karena trombosis adalah tipe yang paling sering
terjadi pada orang yang diabetes.
Proses aterosklerosis ditandai oleh plak berlemak pada lapisan intima arteria
besar. Bagian intima arteria sereberi menjadi tipis dan berserabut, sedangkan sel–
66
sel ototnya menghilang. Lamina elastika interna robek dan berjumbai, sehingga
lumen pembuluh sebagian terisi oleh materi sklerotik tersebut. Plak cenderung
terbentuk pada percabangan atau tempat–tempat yang melengkung. Trombi juga
dikaitkan dengan tempat–tempat khusus tersebut. Pembuluh–pembuluh darah
yang mempunyai resiko dalam urutan yang makin jarang adalah arteria karotis
interna, vertebralis bagian atas dan basilaris bawah. Hilangnya intima akan
membuat jaringan ikat terpapar. Trombosit menempel pada permukaan yang
terbuka sehingga permukaan dinding pembuluh darah menjadi kasar. Trombosit
akan melepasakan enzim, adenosin difosfat yang mengawali mekanisme
koagulasi. Sumbat fibrinotrombosit dapat terlepas dan membentuk emboli, atau
dapat tetap tinggal di tempat dan akhirnya seluruh arteria itu akan tersumbat
dengan sempurna.
Embolisme merupakan sumbatan pada arteri serebral yang disebabkan oleh
embolus dan menyebabkan stroke embolik. Embolus terbentuk di bagian luar
otak, kemudian terlepas dan mengalir melalui sirkulasi serebral sampai embolus
tersebut melekat pada pembuluh darah dan menyumbat arteri. Embolus yang
paling sering terjadi adalah plak. Trombus dapat terlepas dari arteri karotis bagian
dalam pada bagian luka plak dan bergerak ke dalam sirkulasi serebral. Kejadian
fibrilasi atrial kronik dapat berhubungan dengan tigginya kejadian stroke embolik,
yaitu darah terkumpul di dalam atrium yang kosong. Gumpalan darah yang sangat
kecil terbentuk ke dalam atrium kiri dan bergerak menuju jantung dan masuk ke
dalam sirkulasi serebral. Pompa mekanik jantung buatan memiliki permukaan
yang lebih kasar dibandingkan otot jantung yang normal dan dapat juga
menyebabkan peningkatan resiko terjadinya penggumpalan. Endokarditis yang
disebabkan oleh bakteri maupun yang nonbakteri dapat menjadi sumber terjadinya
emboli. Sumber-sumber penyebab emboli lainnya adalah tumor, lemak, bakteri,
atau udara (Black & Hawks, 2014)
c. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis menurut (NIC-NOC, jilid 3, 2015)
1) Mengalami kelemahan atau kelumpuhan separoh badan
2) Tiba –tiba hilang rasa peka
3) Bicara cadel atau pelo
4) Gangguan bicara dan bahasa
5) Gangguan penglihatan
67
6) Mulut mencong atau tidak simetris ketika menyeringai
7) Gangguan daya ingat
8) Nyeri kepala hebat
9) Vertigo
10) Kesadaran menurun
11) Proses kencing terjadi
12) Gangguan pungsi otak
Manifestasi klinis menurut (Black & Hawks, 2014)
Beberapa jenis stroke mempunyai tanda–tanda peringatan dini yang dikenal
dengan sebutan serangan iskemik jangka pendek. Manifestasi dari iskemik stroke
yang akan terjadi termasuk hemiparesis transien (tidak permanen), kehilangan
kemampuan berbicara, dan kehilangan sensori setengah/ hemisensori.
Manifestasi–manifestasi dari stroke karena trombosis berkembang dalam hitungan
menit ke hitungan jam sampai hari. Serangan yang lambat terjadi karena ukuran
trombus terus meningkat. Pertama–tama terjadi sumbatan sebagian di pembuluh
darah yang terkena kemudian menjadi total. Kebalikan dari stroke trombotik, yaitu
manifestasi dari stroke embolik terjadi tiba–tiba dan tanpa peringatan awal. Stroke
hemoragik juga terjadi sangat cepat, dengan manifestasi berkembang hanya dalam
beberapa menit sampai beberapa jam. Manifestasi yang paling sering terjadi
termasuk sakit kepala yang berasal dari bagian belakang leher, vertigo atau
kehilangan kesadaran karena hipotensi, parastesia, paralisis sementara, epistaksis,
dan perdarahan pada retina.

4. Komplikasi
Berdasarkan sumber dari buku ilmu bedah saraf Satyanegara hal 257 yang di kutip
dari buku NANDA NIC-NOC 2015.
a. Dini (0-48 jam pertama)
Edema serebri, defici neurologis cendrung memberat, dapat mengakibatkan TIK,
herniasi, dan akhirnya menimbulkan kematian.
b. Jangka pendek (1-14 hari)
Pneumonia akibat immobilisasi lama, infark miokard, emboli paru cendrung terjadi
7-14 hari pascastroke, sering kali terjadi pada penderita mulai mobilisasi.
c. Jangka panjang (>14 hari )
Stroke rekuren, infark miokard.
68
5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Jenis Pemeriksaan Diagnostic ( Muttaqin, 2008).
1) Angiografi serebral
Menentukan penyebab stroke scr spesifik seperti perdarahan atau obstruksi
arteri.
2) Lumbal fungsi
Tekanan yang meningkat dan di sertai bercak darah pada cairan lumbal
menunjukan adanya hemoragik pada subaraknoid atau pendarahan pada
intrakarnial.
3) CT scan
Pemeriksaan ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi
hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia dan posisi secara
pasti.
4) Magnetic Imaging Resonance (MRI)
Menggunakan gelombang megnetik untuk menentukan posisi dan bsar
terjadinya perdarahan otak. Hasil yang didapatkan area yang mengalami lesi
dan infark akibat dari hemoragik.
5) USG Doppler
Untuk mengidentipikasi adanya penyakit arteriova (masalah system karotis )
6) Electroencephalogram (EEG)
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan dampak
dari jaringan yang infark sehingga menurunya impuls listrik dalam jaringan
otak.
7) Pemeriksaan Laboratorium
a) Lumbang fungsi: pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai pada
perdarahan yang masif, sedangkan pendarahan yang kecil biasanya warna
likuor masih normal (xantokhrom) sewaktu hari-hari pertama.
b) Pemeriksaan darah rutin (glukosa, elektrolit, ureum, kreatinin)
c) Pemeriksaan kimia darah: pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia.
d) Gula darah dapat mencapai 250 mg di dalam serum dan kemudian
berangsur-rangsur turun kembali.
e) Pemeriksaan darah lengkap: untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri.

69
6. Penatalaksanaan Medis
Tujuan intervensi adalah berusaha menstabilkan tanda-tanda vital dengan
melakukan tindakan sebagai berikut menurut ( Muttaqin 2008, hal 141-142)
a. Mempertahankan saluran nafas yang paten yaitu lakukan pengisapan lendir yang
sering, oksigenasi, kalau perlu lakukan trakeostomi, membantu pernafasan.
b. Mengendalikan tekanan darah berdasarkan kondisi pasien, termasuk untuk usaha
memperbaiki hipotensi dan hipertensi.
c. Berusaha menentukan dan memperbaiki aritmia jantung.
d. Menempatkan pasien dalam posisi yang tepat, harus dilakukan secepat mungkin
pasien harus dirubah posisi tiap 2 jam dan dilakukan latihan-latihan gerak pasif.

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
Pengkajian merupakan dasar utama atau langkah awal dari proses keperawatan
secara keseluruhan. Tujuan dari pengkajian adalah mengumpulkan data sehingga
muncul diagnosa keperawatan.
a. Identitas
Biasanya di alami oleh usia tua, namun tidak menutup kemungkinan juga
dapat dia alami oleh usia muda, jenis kelamin, dan juga ras juga dapat
mempengaruhi.
1) Keluhan Utama
Kelemahan anggota sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi,
dan penurunan kesadaran pasien.
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Stroke infark mendadak saat istirahat atau bangun pagi
3) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes
militus, pengunaan alcohol atau penyalah gunaan obat-obatan.
4) Riwayat penyakit keluarga
Ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes mellitus, atau
adanya riwayat stroke pada generasi terdahulu.
5) Pengumpulan data Gordon
1) Pemeliharaan dan persepsi terhadap kesehatan
a) Tingkat pengetahuan kesehatan/penyakit
70
b) Perilaku untuk mengatasi masalah kesehatan
c) Faktor – faktor resiko sehubungan dengan kesehatan
2) Pola Nutrisi/metabolic
a) Berapa kali makan sehari
b) Makanan kesukaan
c) Berat badan sebelum dan sesudah sakit
d) Frekuensi dan kuantitas minum sehari
3) Pola eliminasi
a) Frekuensi dan kuantitas BAK dan BAB sehari.
b) Nyeri
c) Kuantitas
4) Pola aktivitas dan latihan
Kemampuan perawatan diri 0 1 2 3 4

Makan/minum

Mandi

Toileting

Berpakaian

Mobilisasi di tempat tidur

Berpindah

Ambulasi ROM

0: mandiri, 1: alat bantu, 2: dibantu orang lain, 3: dibantu orang lain dan
alat, 4: tergantung total.
5) Pola tidur dan istirahat
a) Jam berapa biasa mulai tidur dan bangun tidur
6) Pola kognitif-perseptual
a) Adakah gangguan penglihatan, pendengaran (panca indra)
7) Pola persepsi diri/konsep diri
a) Gambaran diri

71
b) Identitas diri
c) Peran diri
d) Ideal diri
e) Harga diri
8) Pola seksual dan reproduksi
a) Adakah gangguan pada alat kelamin
9) Pola peran-hubungan
a) Hubungan dengan anggota keluarga
b) Dukungan keluarga
c) Hubungan dengan tetangga dan masyarakat
10) Pola manajemen koping stress
a) Cara pemecahan dan penyelesaian masalah
11) Pola keyakinan-nilai
a) Persepsi keyakinan
b) Tindakan berdasarkan keyakinan
6) Pemeriksaan fisik
1) Kesadaran : umumnya mengelami penurunan kesadaran
2) Suara bicara : kadang mengalami gangguan yaitu sukar dimengerti, kadang
tidak bisa bicara
3) Tanda-tanda vital : tekanan darah meningkat, denyut nadi bervariasi
4) Pemeriksaan integument
a) Kulit
Jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika kekurangan
cairan maka turgor kulit akan jelek. Di samping itu perlu juga dikaji
tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena
klien CVA Bleeding harus bed rest 2-3 minggu
b) Kuku
Perlu dilihat adanya clubbing finger, cyanosis
c) Rambut
Umumnya tidak ada kelainan
5) Kepala
Umumnya terdapat nyeri tekan
6) Muka
Umumnya tidak simetris yaitu mencong ke salah satu sisi
72
7) Leher
Kaku kuduk jarang terjadi
8) Pemeriksaan dada
Pada pernafasan kadang didapatkan suara nafas terdengar ronchi,
wheezing ataupun suara nafas tambahan, pernafasan tidak teratur akibat
penurunan refleks batuk dan menelan.
9) Pemeriksaan Abdomen
Didapatkan penurunan peristaltik usus akibat bed rest yang lama, dan
kadang terdapat kembung
10) Pemeriksaan Inguinal, Genetelia, Anus
Kadang terdapat incontinensia atau retensio urine
11) Pemeriksaan Ekstermitas
Sering di dapatkan keluhan kelemahan di salah satu sisi tubuh
12) Pemeriksaan refleks
Pada fase akut fisiologi sisi yang lumpuh akan menghilang setelah
beberapa hari. Pada saat dilakukan pukulan dan goresan pada sisi tubuh
yang lemah biasanya reflek yang timbul akan menurun atau menghilang
13) Kekuatan otot
Kekuatan otot pasien terganggu atau lemas. Lemasnya kekuatan otot pada
pasien berpariasi tergantung dari beratnya kerusakan pada otak yang di
alaminya.
7) Pemeriksaan Neurologi ( Muttaqin, 2012)
1) Kepela dan leher
Bentuk, simetris
2) Rangsangan meningeal
a) Kaku kuduk    : Untuk memeriksa kaku kuduk dapat dilakukan sebagai
berikut Tangan pemeriksa ditempatkan dibawah kepala pasien yang
sedang berbaring, kemudian kepala ditekukan (fleksi) dan diusahakan
agar dagu mencapai dada. Selama penekukan diperhatikan adanya
tahanan. Bila terdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu
tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau
berat.
b) Kernig sign     : Pada pemeriksaan ini , pasien yang sedang berbaring
difleksikan pahanya pada persendian panggul sampai membuat sudut
73
90°. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut
sampai membentuk sudut lebih dari 135° terhadap paha. Bila teradapat
tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut 135°, maka
dikatakan Kernig sign positif.
c) Brudzinski I (Brudzinski’s neck sign)
Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang
ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring , tangan
pemeriksa yang satu lagi sebaiknya ditempatkan didada pasien untuk
mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan
sehingga dagu menyentuh dada. Test ini adalah positif bila gerakan
fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di sendi lutut dan panggul
kedua tungkai secara reflektorik.
d) Brudzinski II (Brudzinski’s contralateral leg sign)
Pasien berbaring terlentang. Tungkai yang akan dirangsang difleksikan
pada sendi lutut, kemudian tungkai atas diekstensikan pada sendi
panggul. Bila timbul gerakan secara reflektorik berupa fleksi tungkai
kontralateral pada sendi lutut dan panggul ini menandakan test ini
postif.
e) Lasegue sign : Untuk pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang
berbaring lalu kedua tungkai diluruskan (diekstensikan), kemudian satu
tungkai diangkat lurus, dibengkokkan (fleksi) persendian panggulnya.
Tungkai yang satu lagi harus selalu berada dalam keadaan ekstensi
(lurus). Pada keadaan normal dapat dicapai sudut 70° sebelum timbul
rasa sakit dan tahanan. Bila sudah timbul rasa sakit dan tahanan
sebelum mencapai 70° maka disebut tanda Lasegue positif. Namun
pada pasien yang sudah lanjut usianya diambil patokan 60°.
3) Pemeriksaan sitem persarafan ( Muttaqin 2012)
a) Nervus I (olfaktorius)
 Anosmia adalah hilangnya daya penciuman.
 Hiposmia adalah bila daya ini kurang tajam.
 Hiperosmia adalah daya penciuman yang terlalu peka.

74
 Parosmia adalah gangguan penghiduan bilamana tercium bau yang
tidak sesuai misalnya minyak kayu putih tercium sebagai bau
bawang goreng.
 Kakosmia adalah mempersepsi adanya bau busuk, padahal tidak
ada.
 Halusinasi penciuman adalah bila tercium suatu modalitas olfaktorik
tanpa adanya perangsangan maka kesadaran akan suatu jenis bau ini
b) Nervus II (optikus)
 Tajam penglihatan : membandingkan ketajaman penglihatan
pemeriksa dengan jalan pasien disuruh melihat benda yang letaknya
jauh misal jam didinding, membaca huruf di buku atau koran.
 Lapangan pandang  Yang paling mudah adalah dengan
munggunakan metode Konfrontasi dari Donder. Dalam hal ini
pasien duduk atau berdiri kurang lebih jarak 1 meter dengan
pemeriksa, Jika kita hendak memeriksa mata kanan maka mata kiri
pasien harus ditutup, misalnya dengan tangannya pemeriksa harus
menutup mata kanannya. Kemudian pasien disuruh melihat terus
pada mata kiri pemeriksa dan pemeriksa harus selalu melihat ke
mata kanan pasien.
 Melihat warna
 Refleks ancaman
 Refleks pupil
c) Nervus III (okulomotorius)
 Pergerakan bola mata ke arah : atas, atas dalam, atas luar, medial,
bawah, bawah luar
 Strabismus (juling)
 Refleks pupil (refleks cahaya)
d) Nervus IV (trochlearis)
Pergerakan bola mata ke bawah
e) Nervus V (trigeminus)
Pemeriksaan motoric membuka dan menutup mulut; palpasi otot
maseter dan temporalis kekuatan gigitan.

75
f) Nervus VI (abdusens)
Pergerakan bola mata ke lateral
g) Nervus VII (fasialis)
Pemeriksaan fungsi motorik : mengerutkan dahi (dibagian yang lumpuh
lipatannya tidak dalam)
Pemeriksaan fungsi sensorik 2/3 bagian depan lidah : Pasien disuruh
untuk menjulurkan lidah
h) Nervus VIII (vestibulo-koklearis)
 Pemeriksaan Weber : Maksudnya membandingkan transportasi
melalui tulang ditelinga kanan dan kiri pasien. Garputala
ditempatkan didahi pasien, pada keadaan normal kiri dan kanan
sama keras (pasien tidak dapat menentukan dimana yang lebih
keras). Pendengaran tulang mengeras bila pendengaran udara
terganggu, misal: otitis media kiri, pada test Weber terdengar kiri
lebih keras. Bila terdapat “nerve deafness” disebelah kiri, pada test
Weber dikanan terdengar lebih keras.
 Pemeriksaan Rinne : Maksudnya membandingkan pendengaran
melalui tulang dan udara dari pasien. Pada telinga yang sehat,
pendengaran melalui udara didengar lebih lama daripada melalui
tulang. Garputala ditempatkan pada planum mastoid sampai pasien
tidak dapat mendengarnya lagi. Kemudian garpu tala dipindahkan
kedepan meatus eksternus. Jika pada posisi yang kedua ini masih
terdengar dikatakan test positip. Pada orang normal test Rinne ini
positif. Pada “conduction deafness” test Rinne negatif.
 Pemeriksaan Schwabah : Pada test ini pendengaran pasien
dibandingkan dengan pendengaran pemeriksa yang dianggap
normal. Garpu tala dibunyikan dan kemudian ditempatkan didekat
telinga pasien. Setelah pasien tidak mendengarkan bunyi lagi, garpu
tala ditempatkan didekat telinga pemeriksa. Bila masih terdengar
bunyi oleh pemeriksa, maka dikatakan bahwa Schwabach lebih
pendek (untuk konduksi udara). Kemudian garpu tala dibunyikan
lagi dan pangkalnya ditekankan pada tulang mastoid pasien. Dirusuh
ia mendengarkan bunyinya. Bila sudah tidak mendengar lagi maka

76
garpu tala diletakkan di tulang mastoid pemeriksa. Bila pemeriksa
masih mendengar bunyinya maka dikatakan Schwabach (untuk
konduksi tulang) lebih pendek.
i) Nervus IX
Pemeriksaan motorik : disfagia, palatum molle, uvula, disfonia, refleks
muntah. Pemeriksaan sensorik : pengecapan 1/3 belakang lidah
j) Nervus X
Pemeriksaan sama dengan nervus IX
k) Nervus XI
Memeriksa tonus m. sternocleidomastoideus : Dengan menekan
pundak pasien dan pasien diminta untuk mengangkat pundaknya.
l) Nervus 12
Pemeriksaan reflek menelan
4) Pemeriksaan motorik pasien (Mutaqin 2012)
Pengamatan Gaya berjalan dan tingkah laku. Simetri tubuh dan
ektremitas. Kelumpuhan badan dan anggota gerak,
a) Gerakan volunteer
Yang diperiksa adalah gerakan pasien atas permintaan pemeriksa,
misalnya mengakat tangan, kaki, fleksi extensi,
b) Palpasi otot
 Pengukuran besar otot.
 Nyeri tekan.
 Kontraktur.
 Konsistensi (kekenyalan) Konsistensi otot yang meningkat
c) Tonus otot
Pasien diminta melemaskan ekstremitas yang hendak diperiksa
kemudian ekstremitas tersebut kita gerak-gerakkan fleksi dan ekstensi
pada sendi siku dan lutut. Pada orang normal terdapat tahanan yang
wajar
 Flaccid : tidak ada tahanan sama sekali (dijumpai pada kelumpuhan
LMN)
 Hipotoni : tahanan berkurang.

77
 Spastik : tahanan meningkat dan terdapat pada awal gerakan, ini
dijumpai pada kelumpuhan UMN
 Rigid : tahanan kuat terus menerus selama gerakan misalnya pada
Parkinson
d) Kekuatan otot
 Pasien disuruh menggerakkan bagian ekstremitas atau badannya
dan pemeriksa menahan gerakan ini
 Pemeriksa menggerakkan bagian ekstremitas atau badan pasien dan
ia disuruh menahan
Nilai- nilai kekutan otot pasien
0 : Tidak didapatkan sedikitpun kontraksi otot, lumpuh total.
1 : Terdapat sedikit kontraksi otot, namun tidak didapatkan gerakan
pada persendiaan yang harus digerakkan oleh otot tersebut
2 : Didapatkan gerakan,tetapi gerakan ini tidak mampu melawan
gaya berat (gravitasi)
3 : Dapat mengadakan gerakan melawan gaya berat.
4 : Disamping dapat melawan gaya berat ia dapat pula mengatasi
sedikit tahanan yang diberikan
5 : Tidak ada kelumpuhan (normal)
e) Pemeriksaan Reflek ottot pasien
(Muttaqin 2012)
Reflek fisiologi
 Biseps
ketokan pada jari pemeriksa yang ditempatkan pada tendon biseps
brachii, posisi lengan setengah ditekuk pada sendi siku.
 Triseps
ketukan pada tendon otot triseps brachii, posisi lengan fleksi pada
sendi siku dan sedikit pronasi
 Reflek patella
ketukan pada tendon patell
 Reflek achilles
ketukan pada tendon achilles

78
2. Diagnosa Keperawatan
Berikut adalah diagnosa keperawatan yang bisa ditegakkan pada pasien Stroke
Non Hemoragik
a. Resiko perfusi serebral tidak efektif di buktikan dengan embolisme
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (iskemik) dibuktikan
dengan mengeluh nyeri.
c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuscular
dibuktikan dengan kekuatan otot menurun, rentang gerak (ROM) menurun, fisik
pasien lemah.
d. Gangguan menelan berhubungan dengan gangguan saraf kranial dibuktikan dengan
pasien mengeluh sulit menelan, sulit mengunyah makanan yang diberikan, batuk
setelah makan atau minu.
e. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan neuromuskuler
dibuktikan pasien tidak mampu berbicara atau mendengar, afasia, sulit
menggunakan ekspresi wajah atau tubuh.
f. Risiko gangguan integritas kulit dibuktikan dengan penurunan mobilitas.
g. Deficit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan dalam menelan dibuktikan
dengan penurunan minimal berat badan 10% di bawah rentang normal.
h. Ansietas berhubungan dengan perubahan dalam status peran, ancaman pada status
kesehatan, konsep diri (kurangnya informasi pada penyakit)
i. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan kesalahan hipoksia serebral
dibuktikan dengan merasakan sesuatu melalui indra peraba, penciuman dan
pengecapan
j. Resiko jatuh dibuktikan dengan penurunan daya penglihatan

79
C. Perencanaan Paraf/Nama
Diagnosa Tujuan dan Kriteria
N Rencana Tindakan Keperawatan Rasional Terang
Keperawatan Hasil
O
1 Resiko perfusi Setelah diberikan 1. Monitor tanda dan gejala penigkatan 1. Mengetahui perubahan kondisi klien.
serebral tidak intervensi keperawatan TIK ( seperti tekanan darah 2. Mengetahui vital sign
efektif di buktikan selama…..x 24 jam, maka meningkat, bradikardia, kesadaran 3. Memberikan rasa nyaman agar
dengan embolisme tingkat reflek saraf menurun). mencegah terhadinya peningkatan
membaik dengan kriteria 2. Monitor vital sign TIK.
hasil : 3. Minimalkan stimulus dengan
1. Tekanan sistolik menyediakan lingkungan yang tenang.
berkisar 100-120
mmHg.
2. Tekanan diastolic
berkisar 60-80.
3. Pusing yang dirasakan
berkurang.
4. Tidak terjadi
peningkatan tekanan
intra karanial.
2 Nyeri akut Setelah dilakukan 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, 1. Untuk mengetahui tingkat nyeri
berhubungan intervensi keperawatan durasi,frekuensi,kualitas, intesitas yang dirasakan
dengan agen selama…x 24 jam maka nyeri. 2. Mengetahui rentang skala nyeri
pencedera fisiologis tingkat nyeri menurun 3. Untuk mengalihkan perhatian
2. Kaji skala nyeri
(iskemik) dengan kriteria hasil: pasien dari rasa nyeri dan
dibuktikan dengan 3. Berikan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri
a. Klien tidak melaporkan
mengeluh nyeri. mengurangi rasa nyeri (kompres 4. Meningkatkan pemahaman dalam
adanya nyeri
hangat/dingin dan terapi relaxasi). memanajemen nyeri
b. Klien tidak merintih
5. Untuk mengurangi nyeri yang
dan menangis akibat 4. Jelaskan strategi meredakan nyeri.
berat.
nyeri yang dirasakan
5. Kolaborasi pemberianan analgetik.
c. Klien tidak
mengekpresikan nyeri
3 Gangguan mobilitas Setelah diberikan 1. Identifikasi toleransi fisik melakukan 1. Untuk mengetahui sejauh mana 7.
fisik berhubungan intervensi keperawatan pergerakan . keterbatasan gerak.
dengan gangguan selama …..x 24 jam maka 2. Monitor kondisi umum selama 2. Untuk mengetahui perubahan
neuromuscular tingkat kekuatan otot mobilisasi. kondisi ketika pasien melakukan
dibuktikan dengan meningkat dengan kriteria 3. Fasilitasi klien melakukan pergerakan. mobilisasi.
kekuatan otot hasil: 4. Libatkan keluarga untuk membantu 3. Membantu klien melakukan
menurun, rentang 1. Klien mampu pasien dalam meningkatkan ambulasi. pergerakan.
gerak (ROM) menggerakan 5. Ajarkan mobilisasi sederhana yang 4. Untuk mempersiapkan perawatan
menurun, fisik ekstermitas yang lemas harus dilakukan (latihan ROM aktif di rumah.

27
pasien lemah. 2. Kekuatan otot klien dan ROM pasif). 5. Peningkatan aktivitas bertahap
meningkat dari 2 6. Kolaborasi dengan Ahli Fisioterapi. dapat menurunkan keletihan.
menjadi 4. 1. 6. Untuk menentukan ROM yang
tepat ke pasien.
4 Gangguan menelan Setelah diberikan 1. Identifikasi diet yang dianjurkan. 1. Untuk mengetahui kebutuhan diet
berhubungan intervensi keperawatan 2. Monitor kemampuan menelan. pasien.
dengan gangguan selama ……x 24 jam maka 3. Lakukan oral hygiene sebelum 2. Untuk mengetahui kemampuan
saraf kranial tingkat reflek menelan makan. menelan klien.
dibuktikan dengan meningkat dengan kriteria 4. Atur posisi yang nyaman untuk 3. Menjaga kebersihan mulut klien.
pasien mengeluh hasi makan/minum. 4. Cara pemberian makanan yang
sulit menelan, sulit 1. Dapat mempertahankan 5. Berikan bantuan saat makan/minum tepat dapat menghindari aspirasi.
mengunyah makanan dalam mulut sesuai tingkat kemandirian. 5. Membantu memberikan asupan
makanan yang 2. Kemampuan menelan 6. Jelaskan posisi makanan pada pasien diet makanan.
diberikan, batuk adekuat. yang mengalami gangguan 6. Menyiapkan pasien
setelah makan atau penglihatan dengan menggunakan 7. Untuk membantu mengurangi rasa
minum. jarum jam. mual
7. Kolaborasi dalam pemberian
antiemetic, jika perlu.

5 Gangguan Setelah dilakukan 1. Monitor kecepatan dan diksi bicara. 1. Menentukan daerah derajat
komunikasi verbal intervensi keperawatan 2. Sesuaikan gaya komunikasi dengan

28
berhubungan selama …..x 24 jam maka kebutuhan (misal berdiri di depan kerusakan serebral yang terjadi
dengan gangguan tingkat kemampuan bicara pasien, bicara dengan perlahan sambil 2. Memudahkan klien memahami apa
neuromuskuler meningkat dengan kriteria menghindari teriakan). yang dibicarakan
dibuktikan pasien hasil: 3. Anjurkan berbicara perlahan. 3. Untuk lebih memahami apa yang
tidak mampu 4. Rujuk ahli patologi bicara atau dikatakan klien.
1. Klien mampu
berbicara atau terapis. 4. Untuk menentukan terapi yang
menggunakan bahasa
mendengar, afasia, sesuai.
lisan.
sulit menggunakan
2. Klien mampu
ekspresi wajah atau
mengetahui pesan
tubuh.
yang diterima.
.
3. Klien mampu
menginterpretasikan
pesan yang diterima
dengan akurat.
4. Suara pelo berkurang.
5. Kaku pada lidah
berkurang.
6 Risiko gangguan Setelah diberikan 1. Identifikasi penyebab gangguan 1. Untuk mengetahui penyebab yang
integritas kulit intervensi keperawatan integritas kulit (penurunan mengakibatkan memburuknya
dibuktikan dengan selama ...x24 jam maka kelembaban, perubahan status nutrisi). keadaan kulit klien
penurunan tingkat elastisitas kulit 2. Ubah posisi setiap 2 jam jika tirah 2. Memperkecil kemungkinan untuk

29
mobilitas meningkat dan tidak terjadi baring terjadinya tupang tindih pada
masalah dengan kriteria bagian kulit yang di bawah dan
hasil: mampu memberikan sirkulasi ke
1. Mampu bergerak dari 3. Anjurkan menggunakan pelembab bagian kulit yang lemas
sisi ke sisi sambil (missal lotion, serum). 3. Menjaga kelembaban pada bagian
berbaring. 4. Anjurkan mandi dan menggunakan kulit yang tertekan.
2. Tidak adanya tekanan. sabun secukupnya. 4. Menjaga kebersihan kulit
3. Tidak adanya
kontraktur sendi
7 Deficit nutrisi Setelah dilakukan 1. Monitor asupan makanan. 1. Mengetahui jumlah kebutuhan
berhubungan intervensi keperawatan 2. Berikan makanan tinggi kalori dan yang telah masuk ke tubuh pasien.
dengan selama…..x24 jam maka tinggi protein 2. Untuk menjaga nutrisi tubuh.
ketidakmampuan tingkat kekuatan otot 3. Anjurkan makan pada posisi duduk/
dalam menelan menelan meningkat dengan kepala ditinggikan. 3. Mencegah aspirasi dan mengurangi
dibuktikan dengan kriteria hasil : 4. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk rasa penuh pada mulut.
penurunan minimal menentukan jumlah kalori dan jenis 4. Mengatur pola diet sesuai
a. Pemasukan nutrisi
berat badan 10% di nutrient yang dibutuhkan. kebutuhan.
pasien adekuat
bawah rentang
b. Jumlah cairan dan
normal.
makanan yang diterima
sesuai dengan
kebutuhan tubuh pasien

30
c. Tidak terjadi
penurunan berat badan
8 Ansietas Setelah diberikan 1. Monitor tanda-tanda ansietas 1. Mengetahui tanda-tanda ansietas 6.
berhubungan intervensi keperawatan 2. Dengarkan dengan penuh perhatian. pasien.
dengan krisis selama….x 30 menit, maka 3. Anjurkan pasien untuk 2. Mengetahui apa yang menjadi
situasional tingkat verbalisasi mengungkapkan perasaan kecemasan klien.
dibuktikan dengan kebingungan menurun 4. Latih teknik relaksasi. 3. Mendorong klien untuk
pasien merasa dengan kriteria hasil : 5. Dorong keluarga untuk menemani mengungkapkan perasaan
bingung, tampak 1. Memiliki informasi klien. 4. Mengurangi rasa cemas pasien.
gelisah. untuk mengurangi takut 5. Meningkatkan rasa nyaman klien.
2. Pasien mampu
memahami kondisi dan
penyakit yang dialami
oleh pasien
3. Mengontrol respon
takut
9 Gangguan persepsi Setelah diberikan 1. Periksa status mental dan tingkat 1. Mengetahui status mental pasien.
sensori intervensi keperawatan kenyamanan (misal nyeri, kelelahan). 2. Untuk mengurangi stimulus dari
berhubungan selama …..x 24 jam maka 2. Batasi stimulus lingkungan. luar.
dengan gangguan tingkat respon sesuai 3. Ajarkan cara meminimalkan stimulus. 3. Mampu meminimalkan stimulus.
pendengaran stimulus membaik dengan 4. Kolaborasi pemberian obat yang 4. Mengurangi efek stimulus dari
dibuktikan dengan

31
merasakan sesuatu kriteria hasil: mempengaruhi persepsi stimulus. dalam.
melalui indra 1. Ketajaman pusat
peraba, penciuman sensori klien normal
dan pengecapan 2. Tidak ada tanda- tanda
kelainan dalam sistem
sensori klien
10 Resiko jatuh Setelah diberikan 1. Identifikasi factor risiko jatuh 1. Untuk mengetahui yang
dibuktikan dengan intervensi keperawatan 2. Pastikan roda tempat tidur dan kursi menyebabkan jatuh sehingga dapat
kekuatan otot selama ……x 24 jam roda selalu dalam kondisi terkunci. memperkecil resiko jatuh
menurun. maka tingkat jatih di 3. Anjurkan menggunakan alas kaki 2. Untuk mencegah terjadinya kejadian
tempat tidur menurun yang tidak licin. jatuh.
dengan kriteria hasil 3. Untuk mencegah kaki terselip yang
1. Adanya penggunaan dapat mengakibatkan pasien terjatuh.
alat penglihatan secara
tepat.
2. Tersedianya
pencahayaan yang
adakuat

32
4. Implementasi Keperawawatan

Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk mencapai tujuan


yang sepesifik. Tahap implementasi dimuai setelah rencana intervensi disusun dan
ditunjukan pada (nursing orders) untuk menbatu klien mencapai tujuan yang di harapkan.
Oleh karena itu rencana yang sepesifik dilaksanakan untuk memodifikasi factor-factor
yang mempengaruhi masalah kesehatan klien (Nursalam, 2011).

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan keberasilan dari diagnosa keperawatan, rencana
intervensi, dan implementasi. Tahap evaluasi memungkinkan perawat untuk memonitor
“keadaan” yang terjadi selama tahap pengkajian, analisis, perencanaan, dan inplementasi,
intervensi. (Nursalam, 2011).
Setelah melaksanakan tindakan keperawatan maka hasil yang diharapkan adalah
sesuai dengan rencana tujuan yaitu :
1) Masalah perfusi serebral membaik.
2) Nyeri terkontrol dan hilang.
3) Pasien dapat mobilisasi bertahap.
4) Pasien dapat mengunyah makanan dan menelan makanan.
5) Pasien dapat bicara secara bertahap mulai berbentuk kata hingga berbentuk
kalimat.
6) Kondisi kulit membaik
7) Nutrisi terpenuhi sesuai dengan kebutuhan tubuh
8) Cemas berkurang
9) Pengetahuan pasien bertambah.
10) Kejadian jatuh

33
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA,
NIC-NOC. Jogjakarta: Mediaction
Black, J. M, & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan medikal bedah edisi 8. Singapore: Elsevier
Bulecheckk, G.M., Butcer, H.K. Dochterman, J.McC., Wagner, C.M. (2013). Nursing
Interventions Classification (6th Ed.). Missouri: Elsevier Mosby
Doenges E, Marilynn, dkk. (2010). Rencana asuhan keperawatan: Pedoman untuk
perancanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Edisi 8. Jakarta : EGC
Elizabeth, J, Corwin. (2009). Biku saku Fatofisiologi, EGC, Jakarta.
Evelyn C.Pearce.2013. Anatomi Fisiologi Untuk Para Medis. Jakarta: PT. Gramedia
Harahap.(2016). Hubungan Gaya Hidup Dengan Kejadian Penyakit Cholelitiasis Di Ruang
Rawat Inap Rsi Surakarta. Naskah Publikasi, 1-18
Haryono,2012. (2013). Karakteristik Pasien Koleliatis Di Rsup Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar
Hendrawanto. 2010. Buku Ajaran Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta:Selemba Medika
Hendrawanto. 2015. Buku Ajaran Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:Selemba Medika
Herdman, T.H., Kamitsuru, S. (2014). NANDA international nursing diagnoses: definitions &
classification 2015–2017(10th Ed.). Oxford: Wiley Blackwell
Ignatavicius, D. D., & Workman, M. L. (2006). Medical surgical nursing: Critical thinking
for collaborative care. (5th Ed). St. Louis: Elseveir Saunders.
Johnson, M.,et all, 2002, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition, IOWA
Intervention Project, Mosby.
Kemenkes RI. 2012. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2012. Jakarta.
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi IV. Jakarta : EGC
Mansjoer, A.  (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI
Mc Closkey, C.J., Iet all, 2002, Nursing Interventions Classification (NIC) second Edition,
IOWA Intervention Project, Mosby.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M.L., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC): Measurement of health outcomes (5th Ed.). Missouri: Elsevier
Mosby
NANDA, 2012, Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi.

34
Nurarif. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnose Medis Dan NANDA NIC
NOC. Mediaction: Yogyakarta
Nurarif. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnose Medis Dan NANDA NIC
NOC. Mediaction: Yogyakarta
Pratamawati. 2012. Peran Juru Pantau Jentik dalam Sistem Kewaspadaan Dini Demam
Berdarah Dengue di Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 6, No. 6,
Juni 2012.
Price & Wilson. (2012). Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit volume 1. Edisi
6. Jakarta: EGC
Sloane, E. (2004). Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Bare (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner & Suddart. Edisi 8.
Volume 2. Jakarta, EGC
Smeltzer,S.C., Burke,B.G., Hinkle,J.L & Cheever,K.H. (2010). Brunner & Suddarth’s
textbook of medical surgical nursing. (12th Ed). Philadelphia: Lippincott William &
Wilkins.
Sucipto. 2011. Vektor Penyakit Tropis. Yogyakarta
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Indikator Diagnostik (Edisi 1). Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Tindakan Keperawatan (Edisi 1). Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan (Edisi 1). Jakarta: DPP PPNI. Evelyn C.Pearce.2013.
Anatomi Fisiologi Untuk Para Medis. Jakarta: PT. Gramedia
Tjokropawiro. (2015). Analisis Praktik. Juliana Br Sembiring: FIK UI.
Zulkoni. (2010). Parasitologi. Yogyakarta: Nuda Medika

35

Anda mungkin juga menyukai