Anda di halaman 1dari 55

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEBIDANAN TERHADAP NY.N INPARTU KALA I


FASE LATEN LETAK LINTANG DAN KPD DENGAN
TINDAKAN PEMASANGAN INFUS
DI PMB LIA MARIA, S.ST BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2022

Disusun Oleh

NOVA YUSENTA
NPM. 220108101

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI BIDAN


FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS AISYAH PRINGSEWU
TAHUN 2022

i
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEBIDANAN TERHADAP NY.N INPARTU KALA I FASE
LATEN LETAK LINTANG DAN KPD DENGAN TINDAKAN
PEMASANGAN INFUS
DI PMB LIA MARIA, S.ST BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2022

Laporan Pendahulian Stase KDPK


Telah Memenuhi Persyaratan dan Disetujui Tanggal ………

Pembimbing Praktik Pembimbing Akademik

Lia Maria, S.ST Septika Yani Veronica, S.ST., M.Tr.Keb


NIP. 19790130 200212 2 001 NIDN. 0214098902

Menyetujui dan Mengesahkan


Kaprodi

Yuni Sulistiawati, S.ST., M.Tr., Keb.


NIDN. 0219068701

ii
iii
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta usaha yang sungguh-sungguh

akhirnya penulis dapat menyelesaikan Tugas Laporan Pendahuluan Asuhan

Kebidanan Terhadap Ny. N Inpartu Kala I Fase Laten Letak Lintang dan KPD

dengan Tindakan Pemasangan Infus di PMB Lia Maria, S.ST Bandar Lampung

Tahun 2022

Penyusunan Laporan ini dimaksudkan untuk memenuhi Tugas Mata kuliah

Stase Keterampilan Dasar Klinik Kebidanan Program Studi Kebidanan Program

Profesi Kebidanan Universitas Aisyah Pringsewu. Dalam penyusunan Laporan ini

banyak pihak yang telah membantu penulis sehingga makalah ini dapat

terselesaikan.

Penulis menyadari dalam penyusunan laporan ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang

bersifat membangun. Penulis berharap semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat

bagi penulis pada khususnya dan pembaca.

Bandar Lampung, September 2022

Penyusun,

Nova Yusenta

iv
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................ 1
B. Tujuan Penelitian .....................................................................
C. Waktu dan Tempat ..................................................................
BAB II TINJAUAN LITERATUR
A. Pemasangan Infus
B. Dasar-Dasar Terapi Cairan Dan Elektrolit
BAB III TINJAUAN KASUS
A. Data Subjektif ..........................................................................
B. Data Objektif............................................................................
C. Analisis Data.............................................................................
D. Penatalaksaan ...........................................................................
BAB IV PEMBAHASAN
A. Pengkajian ................................................................................
B. Diagnosa ..................................................................................
C. Intervensi .................................................................................
D. Implementasi ............................................................................
E. Evaluasi ....................................................................................
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan .................................................................................
B. Saran ........................................................................................
DAFTAR PUSATAKA
LAMPIRAN

v
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Stase Keterampilan Dasar Praktik Kebidanan (KDPK) adalah bagian

dari rangkaian proses program pendidikan profesi kebidanan yang wajib

diikuti oleh seluruh mahasiswa program profesi di Pendidikan Tinggi

Kebidanan. Keterampilan dasar praktik kebidanan difokuskan untuk

mengasah kemampuan mahasiswa agar mampu bersikap dan bertindak

sebagai bidan profesional. Kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan

melakukan analisis gangguan kebutuhan dasar klien dan keluarga, bersikap

caring disetiap kesempatan melakukan asuhan kebidanan, membina

hubungan interpersonal kepada klien dan keluarganya, memberikan asuhan

saat klien dan keluarga mengalami gangguan fisik dan emosional.

Melakukan pemasangan infus dengan baik dan benar adalah salah satu

target pencapaian kompetensi pada stase ini minimal 4 kali.

B. TUJUAN

Tujuan Umum

Mahasiswa diharapkan mampu memahami konsep pelaksanaan Stase

Keterampilan Dasar Klinik (KDPK).

6
Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pengertian pemasangan infus

2. Untuk mengetahui tujuan pemasangan infus

3. Untuk mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemasangan infus

4. Untuk mengetahui prosedur pemasangan infus

5. Mahasiswa mampu melakukan pemasangan infus dengan baik dan benar

C. WAKTU DAN TEMPAT

Asuhan ini diberikan pada tanggal 14 September 2022 , di PMB Lia

Maria, S.ST. Bandar Lampung.

7
BAB II

TINJAUAN LITERATUR

A. PEMASANGAN INFUS

a. Definisi Pemasangan Infus

Pemasangan infus adalah suatu prosedur pemberian cairan, elektrolit

ataupun obat secara langsung kedalam pembuluh darah vena yang banyak

dalam waktu yang lama dengan cara menggunakan infus set untuk tujuan

tertentu (Agus, 2013).

Pemasangan infus termasuk kedalam tindakan invasif atau tindakan

yang dapat langsung mempengaruhi keutuhan jaringan. Manfaat dari

terapi infus dapat sebagai jalur pemberian obat, pemberian cairan,

pemberian produk darah atau sampling darah (Alexander et.al, 2010).

b. Tujuan Pemasangan Infus

1. Mempertahankan atau mengganti cairan tubuh yang mengandung air,

elektrolit, vitamin, protein, lemak, dan kalori yang tidak dapat

dipertahankan secara adekuat melalui oral

2. Memperbaiki keseimbangan asam basa

3. Memperbaiki volume komponen-komponen darah

4. Memberikan jalan masuk untuk pemberian obat-obatan ke dalam tubuh

5. Memonitor tekan vena central (CVP)

6. Memberikan nutrisi pada system pencernaan diistirahatkan

8
c. Indikasi dan Kontraindikasi pemasangan infus

1. Indikasi

Keadaan-keadaan yang memerlukan pemberian cairan infus adalah

 Perdarahan dalam jumlah banyak (kehilangan cairan tubuh dan

komponen darah)

 Trauma abdomen berat

 Fraktur tulang, khususnya di panggul

 Kehilangan cairan tubuh pada dehidrasi

 Diare dan demam

 Luka bakar luas

 Semua trauma kepala, dada dan tulang punggung

2. Kontraindikasi

Pada pemasangan infus melaui jalur pembuluh vena

 Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi dilokasi pemasangan

infus

 Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini

akan digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena pada tindakan

hemodialisis

 Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil

yang aliran darahnya lambat.

d. Vena untuk Pemasangan Infus

Pemberian cairan melalui infus dengan memasukkan ke dalam vena

(pembuluh darah pasien) diantaranya :

9
1. Vena lengan (vena safalika basilica dan vena medianan cubiti)

2. Vena pada tungkai (vena saena)

3. Vena pada kepala , seperti vena temporalis frontalis (khusus untuk

anak-anak).

Pemasangan infus tidak dianjurkan pada daerah yang mengalami luka

bakar, lengan pada sisi yang mengalami mastektomi (aliran balik vena

terganggu), lengan yang mengalami edema, infeksi, bekuan, atau

kerusakan kulit.

e. Ukuran Jarum Infus

Gambar 2.1 Ukuran Jarum Infus

1. Ukuran 14

Penggunaan : Untuk transfusi darah darurat.

2. Ukuran 16

Penggunaan : dewasa, bedah mayor, trauma, apabila sejumlah besar

10
cairan perlu diinfuskan Pertimbangan perawat : sakit saat insersi, butuh

vena besar.

3. Ukuran 18

Penggunaan : anak dan dewasa, untuk darah, komponen darah dan infus

kental lainnya Pertimbangan perawat : sakit saat insersi butuh vena

besar.

4. Ukuran 20

Penggunaan : anak dan dewasa, sesuai untuk kebanyakan cairan infus,

darah, komponen darah dan infus kental lainnya.

5. Ukuran 22

Penggunaan : bayi, anak dan dewasa (terutama usia lanjut), cocok untuk

sebagian besar cairan infus. Pertimbangan perawat : lebih mudah

menginsersi ke vena yang kecil, tipis dan rapuh, sulit insersi melalui

kulit yang keras.

6. Ukuran 24, 26

Penggunaan : neonates, bayi, ank, dewasa (terutama usia lanjut), sesuai

untuk sebagian cairan infus tetapi kecepatan tetesannya lebih lambat.

Pertimbangan perawat : untuk vena yang sangat kecil, sulit insersi

melalui kulit keras.

f. Prosedur Pemasangan Infus

1. Alat dan Bahan :

 Standar infus

11
 Set infus

 Cairan sesuai program medic

 Jarum infus untuk ukuran yang sesuai

 Pengalas

 Tornikuet

 Kapas alcohol

 Plester

 Gunting

 Kasa steril

 Betadin

 Sarung tangan

2. Prosedur :

 Menjelaskan prosedur yang akan dilakukan.

 Cuci tangan

 Hubungkan cairan dan infus set dengan memasukkan ke bagian karet

atau akses selang ke botol infus.

 Isi cairan ke dalam set infus dengan menekan ruang tetesan hingga

terisi sebagian dan buka klem selang sehingga cairan memenuhi

selang dan udara keluar.

 Letakkan pengalas di bawah tempat (vena) yang akan dilakukan

penginfusan.

12
 Lakukan pembendungan dengan tornikuet 10-12 cm diatas tempat

penusukkan dan anjurkan pasien untuk menggenggam dengna

gerakan sirkular.

 Gunakan sarung tangan steril.

 Desinfeksi daerah yang akan ditusuk dengan kapas alcohol.

 Lakukan penusukkan pada vena dengan meletakkan ibu jari di

bagian bawah vena dengan posisi jarum mengarah keatas.

 Perhatikan keluarnya darah melalui jarum maka tarik keluar bagian

dalam sambil meneruskan tusukkan ke dalam vena.

 Setelah jarum infus bagian dalam dilepas atau dikeluarkan, tahan

bagian atas vena dengan menekan menggunakan jari tangan agar

darah tidak keluar. Kemudian bagian infus dihubungkan /

disambungkan dengan selang infuse.

 Buka pengatur tetesan dan atur kecepatan sesuai dengan dosis yang

diberikan.

 Lakukan fiksasi dengan kasa steril

 Tuliskan tanggal dan waktu pemasangan infus serta catat ukuran

jarum

 Lepaskan sarung tangan dan cuci tangan.

g. Prinsip Pemasangan Infus

1. Pada anak/paediatrik

13
 Karena vena klien sangat rapuh hindari tempat-tempat yang mudah

digerakkan/digeser dan gunakan alt pelindung sesuai kebutuhan.

2. Pada lansia

 Pada lansia sedapat mengkin gunakan kateter/jarum dengan ukuran

paling kecil (24- 26). Ukuran kecil mengurangi trauma pada vena

dan memungkinkan aliran kecil mengurangi trauma pada vena dan

memungkinnkan aliran darah lebih lancer.

 Kestabilan vena menjadi hilang dan vena akan bergeser dari jarum.

 Penggunaan sudut 5-15o saat memasukkan jarum.

h. Beberapa Komplikasi yang dapat terjadi pada Pemasangan Infus

1. Hematoma : darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat pecahnya

pembuluh darah arteri vena atau kapiler terjadi akibat penekanan yang

kurang tepat saat memasukkan jarum

2. Infiltrasi : masuknya cairan infus kedala jaringan sekitar akibat ujung

jarum infus melewati pembuluh darah.

3. Tromboflebitis : bengkak pada pembuluh darah vena, terjadi akibat

infus yang dipasang tidak dipantau secara ketet dan benar.

4. Emboli udara : masuknya udara kedalam sirkulasi darah terjadi akibat

masuknya udara yang ada dalam cairan infus ke dalam pembuluh darah.

14
Gambar 2.2 Lokasi pemasangan jarum infus
 Rumus menghitung tetesan infus untuk infus set makro:

jumlah kebutuhan cairan x faktor tetes makro


Jumlahtetesab per menit ( gtt )=
waktu dalam menit

Faktor tetes makro = 20


Jumlah kebutuhan cairan = dalam satuan mililiter (ml)

B. DASAR-DASAR TERAPI CAIRAN DAN ELEKTROLIT

Menjaga agar volume cairan tubuh tetap relatif konstan dan

komposisi elektrolit di dalamnya tetap stabil adalah penting bagi

homeostatis. Beberapa masalah klinis timbul akibat adanya abnormalitas

dalam hal tersebut. Untuk bertahan, kita harus menjaga volume dan

komposisi cairan tubuh, baik ekstraseluler (CES) maupun cairan intraseluler

(CIS) dalam batas normal. Gangguan cairan dan elektrolit dapat membawa

penderita dalam kegawatan yang kalau tidak dikelolam secara cepat dan tepat

dapat menimbulkan kematian. Hal tersebut terlihat misalnya pada diare,

15
peritonitis, ileus obstruktif, terbakar, atau pada pendarahan yang banyak.

Elektrolit merupakan molekul terionisasi yang terdapat di dalam

darah, jaringan, dan sel tubuh. Molekul tersebut, baik yang positif (kation)

maupun yang negatif (anion) menghantarkan arus listrik dan membantu

mempertahankan pH dan level asam basa dalam tubuh. Elektrolit juga

memfasilitasi pergerakan cairan antar dan dalam sel melalui suatu proses

yang dikenal sebagai osmosis dan memegang peraran dalam pengaturan

fungsi neuromuskular, endokrin, dan sistem ekskresi.

Jumlah asupan air dan elektrolit melalui makan dan minum akan

dikeluarkan dalam jumlah relatif sama. Ketika terjadi gangguan homeostasis

dimana jumlah yang masuk dan keluar tidak seimbang, harus segera

diberikan terapi untuk mengembalikan keseimbangan tersebut.

a. Anatomi Cairan Tubuh

Total Body Water ( TBW )

Air merupakan komponen utama dalam tubuh yakni sekitar 60%

dari berat badan pada laki-laki dewasa. Persentase tersebut bervariasi

bergantung beberapa faktor diantaranya :

 TBW pada orang dewasa berkisar antara 45-75% dari berat badan.

Kisaran ini tergantung pada tiap individu yang memiliki jumlah

jaringan adipose yang berbeda, yang mana jaringan ini hanya

mengandung sedikit air.

 TBW pada wanita lebih kecil dibanding dengan laki-laki dewasa pada

umur yang sama, karena struktur tubuh wanita dewasa yang umumnya

16
lebih banyak mengandung jaringan lemak.

 TBW pada neonatus lebih tinggi yaitu sekitar 70-80% berat badan

 Untuk beberapa alasan, obesitas serta peningkatan usia akan

menurunjkan jumlah kandungan total air tubuh.

TBW dibagi dalam 2 komponen utama yaitu cairan intraseluler

(CIS) dan cairan ekstra seluler (CES) seperti terlihat pada gambar

Body 100%

Water 60 % (100) Tissue 40 %

Intracellular Extracellular
space 40 % (60) space 20 % (40)

Interstitial space Intravascular


15 % (30) space
5 % (10)

Gambar 2.3 Total Body Water (TBW)

Cairan intra seluler merupakan 40% dari TBW. Pada seorang laki-

laki dewasa dengan berat 70 kg berjumlah sekitar 27 liter. Sekitar 2 liter

berada dalam sel darah merah yang berada di dalam intravaskuler.

Komposisi CIS dan kandungan airnya bervariasi menurut fungsi jaringan

yang ada. Misalnya, jaringan lemak memiliki jumlah air yang lebih sedikit

dibanding jaringan tubuh lainnya.

17
Komposisi dari CIS bervariasi menurut fungsi suatu sel. Namun

terdapat perbedaan umum antara CIS dan cairan interstitial. CIS

mempunyai kadar Na+, Cl- dan HCO3- yang lebih rendah dibanding CES

dan mengandung lebih banyak ion K+ dan fosfat serta protein yang

merupakan komponen utama intra seluler.

Komposisi CIS ini dipertahankan oleh membran plasma sel dalam

keadaan stabil namun tetap ada pertukaran. Transpor membran terjadi

melalui mekanisme pasif seperti osmosis dan difusi, yang mana tidak

membutuhkan energi sebagaimana transport aktif.

Sekitar sepertiga dari TBW merupakan cairan ekstraseluler (CES),

yaitu seluruh cairan di luar sel. Dua kompartemen terbesar dari mairan

ekstrasluler adalah cairan interstisiel, yang merupakan tiga perempat

cairan ekstraseluler, dan plasma, yaitu seperempat cairan ekstraseluler.

Plasma adalah bagian darah nonselular dan terus menerus berhubungan

dengan cairan interstisiel melalui celah-celah membran kapiler. Celah ini

bersifat sangat permeabel terhadap hampir semua zat terlarut dalam cairan

ekstraseluler, kecuali protein. Karenanya, cairan ekstraseluler terus

bercampur, sehingga plasma dan interstisiel mempunyai komposisi yang

sama kecuali untuk protein, yang konsentrasinya lebih tinggi pada plasma.

Cairan transeluler merupakan cairan yang disekresikan dalam

tubuh terpisah dari plasma oleh lapisan epithelial serta peranannya tidak

terlalu berarti dalam keseimbangan cairan tubuh, akan tetapi pada

18
beberapa keadaan dimana terjadi pengeluaran jumlah cairan transeluler

secara berlebihan maka akan tetap mempengaruhi keseimbangan cairan

dan elektrolit tubuh. Cairan yang termasuk cairan transseluler yaitu :

Cairan serebrospinal, cairan dalam kelenjar limfe, cairan intra okular,

cairan gastrointestinal dan empedu, cairan pleura, peritoneal, dan

perikardial.

Komponen cairan ekstraseluler terbagi menjadi seperti pada tabel berikut:

Tabel 2.1 Komponen CES pada laki-laki dewasa

Komponen CES pada seorang laki-laki dewasa ( BB 70 Kg)

Cairan Berat Badan (%) Volume (%)

Cairan interstitial 15 10,5

Plasma 5 3,5

Cairan transeluler 1 0,7

Total CES 21 14,7

19
b. Komposisi Cairan Tubuh

Secara garis besar, komposisi cairan tubuh yang utama dalam

plasma, interstitial dan intraseluler ditunjukkan pada tabel berikut :

Tabel 2.2 Komposisi plasma, interstitial, dan intraselular

Komposisi Plasma, interstitial, dan Intraselular ( mmol/L)

Substansia Plasma Cairan interstitial Cairan intraseluler

Kation :

Na+ 153 145 10

K+ 4,3 4,1 159

2,7 2,4 <1


Ca2+
1,1 1 40
Mg2+
161,1 152,5 209
Total

Anion : 112 117 3


Cl-
25,8 27,1 7
HCO 3 -

15,1 <0,1 45
Protein
8,2 8,4 154
Lainnya
161,1 152,5 209
Total

20
c. Kebutuhan Air dan Elektrolit

1. Bayi dan anak.

Pada bayi dan anak sesuai dengan perhitungan di bawah ini :

 Kebutuhan Cairan :

Berat badan Kebutuhan air perhari

Sampai 10 kg 100 ml/kgBB

11-20 kg 1000 ml + 50 ml/kgBB

>20 kg 1500 ml + 20 ml/kgBB

 Kebutuhan kalium : 2,5 mEq/kgBB/hari

 Kebutuhan natrium : 2-4 mEq/kgBB/hari

2. Orang dewasa.

Pada orang dewasa kebutuhannya yaitu :

 Kebutuhan air sebanyak 30 -50 ml/kgBB/hari

 Kebutuhan kalium : 1-2 mEq/kgBB/hari

 Kebutuhan natrium : 2-3 mEq/kgBB/hari

d. Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Cairan

Yang menyebabkan adanya suatu peningkatan terhadap kebutuhan

cairan harian diantaranya :

 Demam ( kebutuhan meningkat 12% setiap 10 C, jika suhu > 370 C )

 Hiperventilasi

 Suhu lingkungan yang tinggi

 Aktivitas yang ekstrim / berlebihan

 Setiap kehilangan yang abnormal seperti diare atau poliuria

21
Yang menyebabkan adanya penurunan terhadap kebutuhan cairan

harian diantaranya yaitu :

 Hipotermi ( kebutuhannya menurun 12% setiap 10 C, jika suhu <370 C )

 Kelembaban lingkungan yang sangat tinggi

 Oliguria atau anuria

 Hampir tidak ada aktivitas

 Retensi cairan misal gagal jantung

e. Proses Pergerakan Cairan Tubuh

Perpindahan air dan zat terlarut di antara bagian-bagian tubuh

melibatkan mekanisme transport pasif dan aktif. Mekanisme transport

pasif tidak membutuhkan energi sedangkan mekanisme transport aktif

membutuhkan energi. Difusi dan osmosis adalah mekanisme transport

pasif. Sedangkan mekanisme transport aktif berhubungan dengan pompa

Na-K yang memerlukan ATP.

Proses pergerakan cairan tubuh antar kompartemen dapat berlangsung

secara :

a. Osmosis

Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui

membran semipermeabel (permeabel selektif dari larutan berkadar

lebih rendah menuju larutan berkadar lebih tinggi hingga kadarnya

sama. Membran semipermeabel ialah membran yang dapat dilalui air

(pelarut), namun tidak dapat dilalui zat terlarut misalnya protein.

Tekanan osmotik plasma darah ialah 285 ± 5 mOsm/L. Larutan dengan

22
tekanan osmotik kira-kira sama disebut isotonik (NaCl 0,96%,

Dekstrosa 5%, Ringer-laktat), lebih rendah disebut hipotonik (akuades)

dan lebih tinggi disebut hipertonik.

b. Difusi

Difusi ialah proses bergeraknya molekul lewat pori-pori. Larutan

akan bergerak dari konsentrasi tinggi ke arah larutan berkonsentrasi

rendah. Tekanan hidrostatik pembuluh darah juga mendorong air

masuk berdifusi melewati pori-pori tersebut. Jadi difusi tergantung

kepada perbedaan konsentrasi dan tekanan hidrostatik.

c. Pompa Natrium Kalium

Pompa natrium kalium merupakan suatu proses transport yang

memompa ion natrium keluar melalui membran sel dan pada saat

bersamaan memompa ion kalium dari luar ke dalam. Tujuan dari

pompa natrium kalium adalah untuk mencegah keadaan hiperosmolar

di dalam sel.

Air melintasi membran sel dengan mudah, tetapi zat-zat lain sulit

atau diperlukan proses khusus supaya dapat melintasinya, karena itu

komposisi elektrolit di dalam dan di luar sel berbeda. Cairan

intraselular banyak mengandung ion K, ion Mg dan ion fosfat,

sedangkan ekstraselular banyak mengandung ion Na dan ion Cl.

Tekanan osmotik suatu larutan dinyatakan dengan osmol atau

miliosmol/liter. Tekanan osmotik suatu larutan ditentukan oleh

banyaknya partikel yang larut dam suatu larutan. Dengan kata lain,

23
makin banyak partikel yang larut maka makin tinggi tekanan osmotik

yang ditimbulkannya. Jadi, tekanan osmotik ditentukan oleh banyaknya

pertikel yang larut bukan tergantung pada besar molekul yang terlarut.

Perbedaan komposisi ion antara cairan intraseluler dan ekstraseluler

dipertahankan oleh dinding yang bersifat semipermeabel.

Kandungan air dalam tiap organ tidak seragam seperti terlihat pada

tabel :

Tabel 2.3 Kandungan air dalam tiap organ

Jaringan Presentasi Air

Otak 84

Ginjal 83

Otot Lurik 76

Kulit 72

Hati 68

Tulang 22

Lemak 10

f. Perubahan Cairan Tubuh

Gangguan cairan tubuh dapat dibagi dalam tiga bentuk yakni perubahan :

1. Volume,

2. Konsentrasi,

3. Komposisi.

Ketiga macam gangguan tersebut mempunyai hubungan yang erat

24
satu dengan yang lainnya sehingga dapat terjadi bersamaan. Namun

demikian, dapat juga terjadi secara terpisah atau sendiri yang dapat

member gejala-gejala tersendiri pula. Yang paling sering dijumpai dalam

klinik adalah gangguan volume :

1. Perubahan Volume

 Defisit Volume ( Dehidrasi

Pada keadaan akut, kehilangan cairan yang cepat akan

menimbulkan tanda gangguan pada susunan saraf pusat dan

jantung. Pada kehilangan cairan yang lambat, lebih dapat

ditoleransi sampai defisit volume cairan ekstraseluler yang berat.

Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar

konsentrasi serum dari natrium menjadi isonatremik (130-150

mEq/L), hiponatremik (<139 mEq/L) atau hipernatremik (.150

mEq/L). Dehidrasi isonatremik merupakan yang paling sering

terjadi (80%), sedangkan dehidrasi hipernatremik atau hiponatremik

sekitar 5-10% dari kasus.

Dehidrasi isotonis (isonatremik) terjadi ketika kehilangan

cairan hampir sama dengan konsentrasi natrium terhadap darah.

Kehilangan cairan dan natrium besarnya relatif sama dalam

kompartemen intravascular maupun kompartemen ekstravaskular.

Dehidrasi hipotonis (hiponatremik) terjadi ketika kehilangan cairan

dengan kandungan natrium lebih banyak dari darah (kehilangan

cairan hipertonis). Sedangkan dehidrasi hipertonis (hipernatremik)

25
terjadi ketika kehilangan cairan dengan kandungan natrium lebih

sedikit dari darah.

Ditinjau dari segi banyaknya defisit cairan dan elektrolit

yang hilang, maka dehidrasi dapat dibagi atas :

1. Dehidrasi ringan (defisit 4%BB)

2. Dehidrasi sedang (defisit 8%BB)

3. Dehidrasi berat (defisit 12%BB)

Kebutuhan Cairan menurut rumus Hollyday-Segar

Tabel 2.4 Kebutuhan cairan menurut rumus Hollyday-Segar

Berat Badan Jumlah Kebutuhan Cairan

< 10 kg 100 ml/kg/hari

11 – 20 kg 1000 ml + 50 ml/kg/hari

> 20 kg 1500 ml + 20 ml/kg/hari

Cara rehidrasi yaitu hitung cairan dan elektrolit total (rumatan +

penggantian defisit) untuk 24 jam pertama. Berikan separuhnya

dalam 8 jam pertama dan selebihnya dalam 16 jam berikutnya.

 Kelebihan Volume

Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu

kondisi akibat iatrogenic (pemberian cairan intravena seperti NaCl

yang menyebabkan kelebihan air dan NaCl ataupun pemberian

cairan intravena glukosa yang menyebabkan kelebihan air) ataupun

dapat sekunder akibat insufisiensi renal (gangguan GFR), sirosis,

26
ataupun gagal jantung kongestif.

2. Perubahan Konsentrasi

Perubahan konsentrasi cairan tubuh dapat berupa hipernatremia

atau hiponatremia maupun hiperkalemia atau hipokalemia.

Rumus untuk menghitung defisit elektrolit

o Defisit natrium (mEq total) = (Na serum yang diinginkan – Na

serum sekarang) x 0,6 x BB (kg)

o Defisit Kalium (mEq total) = (K serum yang diinginkan [mEq/liter]

– K serum yang diukur) x 0,25 x BB (kg)

o Defisit Klorida (mEq total) = (Cl serum yang diinginkan

[mEq/liter] – Cl serum yang diukur) x 0,45 x BB (kg)

3. Perubahan komposisi

Perubahan komposisi itu dapat terjadi tersendiri tanpa

mempengaruhi osmolaritas cairan ekstraseluler. Sebagai contoh

misalnya kenaikan konsentrasi K dalam darah dari 4 mEq menjadi 8

mEq, tidak akan mempengaruhi osmolaritas cairan ekstraseluler tetapi

sudah cukup mengganggu otot jantung. Demikian pula halnya dengan

gangguan ion kalsium, dimana pada keadaan hipokalsemia kadar Ca

kurang dari 8 mEq, sudah akan timbul kelainan klinik tetapi belum

banyak menimbulkan perubahan osmolaritas.

g. Gangguan Keseimbangan Air dan Elektrolit

Gangguan keseimbangan air dan elektrolit dapat terjadi karena :

 Gastroenteritis, demam tinggi ( DHF, difteri, tifoid )

27
 Kasus pembedahan ( appendektomi, splenektomi, section cesarea,

histerektomi )

 Penyakit lain yang menyebabkan pemasukan dan pengeluaran tidak

seimbang ( kehilangan cairan melalui muntah )

1. Dehidrasi

Dehidrasi merupakan keadaan dimana kurangnya terjadi

kekurangan jumlah cairan tubuh dari jumlah normal akibat kehilangan,

aasupan yang tidak memadai atau kombinasi keduanya. Menurut

jenisnya dehidrasi dibagi atas ;

 Dehidrasi hipotonik

 Dehidrasi hipertonik

 Dehidrasi isotonik

Sedangkan menurut derajat beratnya dehidrasi yang didasarkan

pada tanda interstitial dan tanda intravaskuler yaitu ;

 Dehidrasi ringan ( defisit 4% dari BB)

 Dehidrasi sedang ( defisit Dehidrasi berat ( defisit 12% dari BB)

 Syok ( defisit dari 12% dari BB)

Defisit cairan interstitial dengan gejala sebagai berikut :

 Turgor kulit yang jelek

 Mata cekung

 Ubun-ubun cekung

 Mukosa bibir dan kornea kering

Defisist cairan intravaskuler dengan gejala sebagai berikut :

28
 Hipotensi, takikardi

 Vena-vena kolaps

 Capillary refill time memanjang

 Oliguri

 Syok ( renjatan)

 Dehidrasi hipotonik ( hiponatremik )

 Pada anak yang diare yang banyak minum air atau cairan

hipotonik atau diberi infus glukosa 5%

 Kadar natrium rendah ( <130 mEq/L)

 Osmolaritas serum < 275 mOsm/L

 Letargi, kadang- kadang kejang

29
 Dehidrasi hipertonik

 Biasa terjadi setelah intake cairan hipertonik ( natrium, laktosa )

selama diare

 Kehilangan air >> kehilangan natrium

 Konsentrasi natrium > 150 mmol/ L

 Osmolaritas serum meningkat > 295 mOsm/L

 Haus, irritable

 Bila natrium serum mencapai 165 mmol/L dapat terjadi kejang

Berikut tabel yang menggambarkan tentang beberapa gangguan

elektrolit.

Tabel 2.5 Gangguan elektrolit dan gejalanya

Ion dan Terganggu Gejala- gejala Penyebab


batas CES ( mEq/L)
normal
( mEq/L)
Natrium ( Hipernatremia Haus, kulit kering dan Dehidrasi,
136- 142) ( >150)
mengkerut, penurunan kehilangan
tekanan dan volume cairan
darah, bahkan kolaps hipotonik
Sirkulasi
Hiponatremia Gangguan fungsi SSP Infuse atau
(<130)
(intoksikasi air konfusi, ingesti solusi
halusinasi, kejang, koma, hipotonik dalam
kematian pada jumlah besar
beberapa kasus
Kalium ( Hiperkalemia Aritmia jantung Gagal ginjal,
3,8-5,0) ( >8)
Berat penggunaaan
diuretic, asidosis

30
kronik
Hipokalemia Kelemahan dan Diit rendah
( <2) kalium.
paralysis otot
Diuretik dan
hipersekresi
aldosteron
Kalsium Hiperkalsemia Konfusi, nyeri otot, Hiperparatiroid,
( 4,5-5,3) ( >11)
aritmia jantung, batu kanker, toksisitas
ginjal, kalsifikasi vit. D. suplemen
pada jaringan lunak kalsium
dengan dosis
yang sangat
berlebihan
Hipokalsemia Spasme otot, kejang, Diit yang jelek,
(<4)
kram usus, denyut kurang vitamin
jantung yang lemah, D, gagal ginjal,
aritmia jantung, hipoparatiroid,
osteoporosis hipomagnesemia

Terapi Cairan

Penatalaksanaan terapi cairan meliputi dua bagian dasar yaitu ;


 Resusitasi cairan
Ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh,
sehingga seringkali dapat menyebabkan syok. Terapi ini
ditujukan pula untuk ekspansicepat dari cairan intravaskuler
dan memperbaiki perfusi jaringan.
 Terapi rumatan
Bertujuan untuk memelihara keseimbangan cairan tub uh dan
nutrisi yang diperlukan oleh tubuh
Hal ini digambarkan dalam diagram berikut :

31
Terapi cairan

Resusita Rumatan
s n

Kristaloid Koloid Elektroli Nutris


t i
Diagram 2.1 Terapi pemberian cairan

Prinsip pemilihan cairan dimaksudkan untuk :

 Mengganti kehilangan air dan elektrolit yang normal melaui urine,

IWL, dan feses

 Membuat agar hemodinamik agar tetap dalam keadaan stabil

Pada penggantian cairan, maka jenis cairan yang digunakan didasarkan

pada :

 Cairan pemeliharaan (jumlah cairan yang dibutuhkan selama 24 jam)

 Cairan defisit ( jumlah kekurangan cairan yang terjadi )

 Caitran pengganti ( replacement )

o Sekuestrasi ( cairan third space )

o Pengganti darah yang hilang

o Pengganti cairan yang hilang melalui fistel, maag slang dan

drainase Untuk mengganti cairan tubuh yang hilang dapat

dilakukan penghitungan untuk menghitung berapa besarnya

cairan yang hilang tersebut :

 Refraktometer

Defisit cairan : BD plasma 1,025 x BB x 4 ml Ket. BD plasma =

32
0,001

 Dari serum Na+

Air yang hilang : 0,6 Berat Badan x BB (Plasma Natrium – 1 ) Ket.

Plasma Na = 140

 Dari Hct

Defisit plasma (ml) = vol.darah normal – (vol.darah normal x nilai

Hct awal )

Hct terukur sementara kehilangan darah dapat diperkirakan

besarnya melalui beberapa kriteria klinis seperti pada tabel di bawah

ini ;

Tabel 2.6 Klasifikasi derajat kehilangan darah

Klas I Klas II Klas III Klas IV

Kehilangan Sampai 750 750-1500 1500- >2000

darah ( ml) 2000

Kehilangan darah Samp 15-30% 30-40% >40%

( %EBV) ai

15%

Denyut nadi <100 >100 >120 >140

Tek. Darah Normal Normal Menurun Menurun

(mmHg)

Tek. Nadi Normal atau Menurun Menurun Menurun

(mmHg) meningkat

Frek. Napas 14-20 20-30 30-35 >35

33
Produksi urin >30 20-30 5-15 Tidak

(ml/jam) ada

SSP / status Gelis Gelisah Gelisah Bingung

Mental ah sedang dan dan

ringa bingung letargi

Cairan pengganti Krist Kristaloid Kristaloi Kristaloi


( rumus 3 :1) d dan d dan
aloid darah darah

Pemilihan Cairan

Cairan intravena diklasifikasikan menjadi kristaloid dan koloid.

Kristaloid merupakan larutan dimana molekul organik kecil dan

inorganik dilarutkan dalam air. Larutan ini ada yang bersifat isotonik,

hipotonik, maupun hipertonik. Cairan kristaloid memiliki keuntungan

antara lain : aman, nontoksik, bebas reaksi, dan murah. Adapun kerugian

dari cairan kristaloid yang hipotonik dan isotonik adalah kemampuannya

terbatas untuk tetap berada dalam ruang intravaskular.

Kristaloid

Cairan kristaloid yang paling banyak digunakan adalah normal

saline dan ringer laktat. Cairan kristaloid memiliki komposisi yang mirip

34
cairan ekstraselular. Karena perbedaan sifat antara kristaloid dan koloid,

dimana kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitial

dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk

resusitasi defisit cairan di ruang intersisial.

Penggunaan cairan normal salin dalam jumlah yang besar dapat

menyebabkan timbulnya asidosis hiperkloremik, sedangkan penggunaan

cairan ringer laktat dengan jumlah besar dapat menyebabkan alkalosis

metabolik yang disebabkan adanya peningkatan produksi bikarbonat

akibat metabolisme laktat.

Larutan dekstrose 5% sering digunakan jika pasien memiliki gula

darah yang rendah atau memiliki kadar natrium yang tinggi. Namun

penggunaannya untuk resusitasi dihindarkan karena komplikasi yang

diakibatkan antara lain hiperomolalitas- hiperglikemik, diuresis osmotik,

dan asidosis serebral.

Tabel 2.7. Komposisi Cairan Kristaloid

Solution Glucose Sodium Chlorid Potassium Kalsium Lactate (mOsmol

(mg/dL) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) /L)

5% 5000 253
Dextrose in

water

D5 ½ NS 5000 77 77 406

D5 NS 5000 154 154 561

35
0,9% NaCl 154 154 308

Ringer 130 109 4.0 3.0 28 273


Laktat
D5 RL 5000 130 109 4.0 3.0 28 525

5% NaCl 855 855 1171

36
Koloid

Cairan koloid disebut juga sebagai cairan pengganti plasma

atau biasa disebut “plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat

zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas

osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama

dalam ruang intravaskuler.

Koloid dapat mengembalikan volume plasma secara lebih efektif

dan efisien daripada kristaloid, karena larutan koloid mengekspansikan

volume vaskuler dengan lebih sedikit cairan dari pada larutan kristaloid.

Sedangkan larutan kristaloid akan keluar dari pembuluh darah dan hanya

1/4 bagian tetap tinggal dalam plasma pada akhir infus. Koloid adalah

cairan yang mengandung partikel onkotik dan karenanya menghasilkan

tekanan onkotik. Bila diberikan intravena, sebagian besar akan menetap

dalam ruang intravaskular.

Meskipun semua larutan koloid akan mengekspansikan ruang

intravaskular, namun koloid yang mempunyai tekanan onkotik lebih

besar daripada plasma akan menarik pula cairan ke dalam ruang

intravaskular. Ini dikenal sebagai ekspander plasma, sebab

mengekspansikan volume plasma lebih dari pada volume yang diberikan.

Albumin

Albumin merupakan larutan koloid murni yang berasal dari

plasma manusia. Albumin dibuat dengan pasteurisasi pada suhu 600C

37
dalam 10 jam untuk meminimalisir resiko transmisi virus hepatitis B atau

C atau pun virus imunodefisiensi. Waktu paruh albumin dalam plasma

adalah sekitar 16 jam, dengan sekitar 90% tetap bertahan dalam

intravascular 2 jam setelah pemberian.

Dekstran

Dekstran merupakan semisintetik koloid yang secara komersial

dibuat dari sukrose oleh mesenteroides leukonostok strain B 512 dengan

menggunakan enzim dekstran sukrose. Ini menghasilkan dekstran BM

tinggi yang kemudian dilengketkan oleh hidrolisis asam dan dipisahkan

dengan fraksionasi etanol berulang untuk menghasilkan produk akhir

dengan kisaran BM yang relatif sempit. Dekstran untuk pemakaian klinis

tersedia dalam dekstran 70 (BM 70.000) dan dekstran 40 (BM 40.000)

dicampur dengan garam faal, dekstrosa atau Ringer laktat.

Dekstran 70 6 % digunakan pada syok hipovolemik dan untuk

profilaksis tromboembolisme dan mempunyai waktu paruh intravaskular

sekitar 6 jam. Pemakaian dekstran untuk mengganti volume darah atau

plasma hendaknya dibatasi sampai 1 liter (1,5 gr/kgBB) karena risiko

terjadi perdarahan abnormal. Batas dosis dekstran yaitu 20 ml/kgBB/hari.

Sekitar 70% dosis dekstran 40 yang diberikan akan dieksresikan

ke dalam urine dalam 24 jam. Molekul- molekul yang lebih besar

dieksresikan lewat usus atau dimakan oleh sel-sel sistem

retikoloendotelial. Volume dekstran melebihi 1 L dapat mengganggu

38
hemostasis. Disfungsi trombosit dan penurunan fibrinogen dan faktor

VIII merupakan alasan timbulnya perdarahan yang meningkat. Reaksi

alergi terhadap dekstran telah dilaporkan, tetapi kekerapan reaksi

anafilaktoid mungkin kurang dari 0,02 %. Dekstran 40 hendaknya

jangan dipakai pada syok hipovolemik karena dapat menyumbat tubulus

ginjal dan mengakibatkan gagal ginjal akut.

Gelatin

Gelatin dibuat dengan jalan hidrolisis kolagen sapi. Preparat yang

umum dipasaran adalah gelatin yang mengalami suksinasi seperti

Gelofusin dengan pelarut NaCL isotonik. Gelatin dengan ikatan urea-

poligelin ( Haemaccel ) dengan pelarut NaCL isotonik dengan Kalium

5,1 mmol/l dan Ca 6,25 mmol/ L.

Pemberian gelatin agaknya lebih sering menimbulkan reaksi

alergik daripada koloid yang lain. Berkisar dari kemerahan kulit dan

pireksia sampai anafilaksis yang mengancam nyawa. Reaksi-reaksi

tersebut berkaitan dengan pelepasan histamine yang mungkin sebagai

akibat efek langsung gelatin pada sel mast.

Gelatin tidak menarik air dari ruang ekstravaskular sehingga

bukan termasuk ekspander plasma seperti dekstran. Larutan gelatin

terutama diekskresikan lewat ginjal dalam urin, sementara itu gelatin

dapat menghasilkan diuresis yang bagus. Sebagian kecil dieliminasikan

lewat usus. Karena gelatin tidak berpengaruh pada sistem koagulasi,

39
maka tidak ada pembatasan dosis. Namun, bila terlalu banyak infus,

pertimbangkan adanya efek dilusi. Gelatin dapat diberikan pada pasien

dengan gangguan fungsi ginjal bahkan pada pasien yang menjalani

hemodialisis. Indikasi gelatin : Penggantian volume primer pada

hipovolemia, stabilisasi sirkulasi perioperatif. Sedangkan kontraindikasi

adalah infark miokard yang masih baru terjadi, gagal jantung kongestif

dan syok normovolemik.

Hydroxylethyl Starch (HES)

Senyawa kanji hidroksietil ( HES ) merupakan suatu kelompok

koloid sintetik polidisperse yang mempunyai glikogen secara struktural.

Kurang dapat diterima kanji hidroksi (HES ) untuk pengantian volume

paling mungkin akibat laporan-laporan adanya koagulasi abnormal yang

menyertai subtitusi plasma ini. Laporan laporan tentang HES yang

memperlihatkan koagulasi darah yang terganggu dan kecenderungan

perdarahan yang meningkat sebagian besar berdasarkan pemakaian

preparat HES berat molekul tinggi ( HMW-HES ). Waktu paruh dari

90% partikel HES adalah 17 hari.

Seperti semua koloid lainnya, kanji hidroksietil juga berkaitan

dengan reaksi anafilaktoid yang ringan dengan kekerapan kira-kira 0,006

%. Indikasi pemberian HES adalah :Terapi dan profilaksis defisiensi

volume (hipovolemia) dan syok (terapi penggantian volume) berkaitan

dengan pembedahan (syok hemoragik), cedera (syok traumatik), infeksi

(syok septik), kombustio (syok kombustio). Sedangkan kontra indikasi

40
adalah : Gagal jantung kongestif berat, Gagal ginjal (kreatinin serum >2

mg/dL dan >177 mikromol/L).Gangguan koagulasi berat (kecuali

kedaruratan yang mengancam nyawa). Dosis penggunaan HES adalah 20

ml/kgBB/hari.

Kontroversi kristaloid versus koloid

Pertanyaan apakah kristaloid atau koloid yang terbaik untuk

resusitasi terus merupakan bahan diskusi dan penelitian. Banyak cairan

telah dikaji unruk resusitasi, antara lain: NaCl 0,9%, Larutan Ringer

laktat, NaCl hipertonik, albumin, fraksi protein murni, plasma beku

segar, hetastarch, pentastarch, dan dekstran 70.3,5

Bila problema sirkulasi utama pada syok adalah hipovolemia,

maka terapi hendaknya ditujukan untuk restorasi volume darah dengan

cairan resusitasi ideal. Cairan ideal adalah yang dapat membawa O2.

Larutan koloid yang ada terbatas karena ketidak mampuan membawa

O2. Darah lengkap marupakan ekspander volume fisiologis dan komplit,

namun terbatas masa simpan yang tidak lama, fluktuasi dalam

penyimpanannya, risiko kontaminasi viral, reaksi alergi dan mahal.

Biarpun larutan koloid tidak dapat membawa O2, namun sangat

bermanfaat karena mudah tersedia dan risiko infeksi relatif rendah.

resusitasi hemodinamik lebih cepat dilaksanakan dengan koloid karena

larutan koloid mengekspansikan volume vaskular dengan lebih sedikit

cairan dari pada larutan kristaloid. Sedangkan larutan kristaloid akan

keluar dari pembuluh darah dan hanya ¼ bagian tetap tinggal dalam

41
plasma pada akhir infus. Larutan kristaloid juga mengencerkan protein

plasma sehingga TOK menurun, yang memungkinkan filtrasi cairan ke

interstisiel. Resusitasi cairan kristaloid dapat pula berakibat pemberian

garam dan air yang berlebihan dengan konsekuensi edema interstitial.

Pada kasus perdarahan yang cukup banyak, tetapi yang tidak

memerlukan transfusi, dapat dipakai koloid dengan waktu paruh yang

lama misalnya : Haes steril 6 %.

Bila pasien memerlukan transfusi, selama menunggu darah, kita

dapat memberi koloid dengan BM sekitar 40.000 misalnya : Expafusin,

Plasmafusin, Haemaccel, Gelafundin atau Dextran L. Dengan begitu,

manakala darah siap untuk ditransfusikan sekitar 2 -3 jam kemudian, kita

dapat melakukannya langsung, tanpa khawatir terjadi kelebihan cairan

dalam ruang intravaskular.

Tabel 2.8. Perbandingan Kristaloid dan Koloid


Kristaloid Koloid

Keunggulan 1. Lebih mudah tersedia 1. Ekspansi volume

dan murah plasma tanpa ekspansi

interstitial

2. Komposisi serupa dengan 2. Ekspansi volume lebih

plasma (Ringer besar

asetat/ringer laktat)

3. Bisa disimpan di suhu 3. Durasi lebih lama

kamar
4. Oksigenasi jaringan
4. Bebas dari reaksi

42
anafilaktik lebih baik

5. Komplikasi minimal 5. Insiden edema paru

dan/atau edema sistemik

lebih rendah

Kekurangan 1. Edema bisa mengurangi 1. Anafilaksis

ekspansibilitas dinding

dada

2. Oksigenasi jaringan 2. Koagulopati

terganggu karena

bertambahnya jarak

kapiler dan sel

3. Memerlukan volume 4 3. Albumin bisa memperberat

kali lebih banyak depresi miokard pada

pasien syok

Berikut ini tabel beberapa jenis cairan kristaloid dan kandungan masing-

masing :

Tabel 2.9 Jenis cairan kristaloid dan kandungannya

Nama Na+ Mg+ Cl- Laktat Dekstrose Kalori


K+
produk (gr/L) (Kcal/L)

Ringer laktat 130 4 - 109 28 - -

NaCl 0,9% 154 - - 154 - - -

Dextrose 5% - - - - - 27 108

43
Berikut ini tabel yang menunjukkan pilihan cairan pengganti untuk

suatu kehilangan cairan yaitu ;

Tabel 2.10 Pilihan pengganti cairan

Kandungan rata-

Kehilangan rata (mmol/ L) Cairan pengganti yang sesuai

Na+ K+

Darah 140 4 Ringer asetat / RL / NaCl 0,9% /

koloid / produk darah

Plasma 140 4 Ringer asetat / RL / NaCl 0,9% /

koloid

Rongga ketiga 140 4 Ringer asetat / RL / NaCl 0,9%

Nasogastrik 60 10 NaCl 0,45% + KCl 20 mEq/L

Sal. Cerna atas 110 5-10 NaCl 0,9% ( periksa K+ dengan

teratur )

Diare 120 25 NaCl 0,9% + KCl 20 mEq/L

44
BAB III

TINJAUAN KASUS

A. DATA SUBJEKTIF

1. Identitas Pasien

Nama Istri : Ny. N Nama Suami : Tn. S

Umur : 42 th : 40 th

Pendidikan : SMA : SMA

Pekerjaan : IRT : Petani

Suku Bangsa : Lampung/Indonesia : Lampung/Indonesia

Agama : Islam : Islam

Alamat : Sukarame :

Bandar Lampung

No. telp :- :-

2. Keluhan utama

Ibu mengatakan sedang hamil anak ke 4 dengan usia kehamilan 39

minggu, perut terasa mules-mules, keluar lendir bercampur darah dari

jalan lahir dan sudah keluar air-air sejak pagi hari.

3. Riwayat Perkawinan

Ibu menikah 1 kali. Usia pernikahan sudah 16 th

4. Riwayat Obstetri

45
Tabel 3.1 Riwayat obstetri

No Tahun Kehamilan Persalinan Bayi Keadaan

UK Penyulit Cara Tempat BB PB JK

1 2006 38 - Normal PMB 300 49 P Sehat

2 2008 39 - Normal PMB 320 50 P Sehat

3 2016 39 - Normal PMB 320 49 P Sehat

5. Riwayat KB

Ibu hanya menggunakan alat kontrasepsi suntik 3 bulan sejak kelahiran

anak pertama.

6. Riwayat Kesehatan

Ibu mengatakan ia tidak pernah menderita penyakit seperti hipertensi,

Diabetes Mellitus, penyakit sistemik, penyakit ginkelogi, penyakit

jantung.

7. Riwayat Kesehatan Keluarga

Ibu mengatakan di keluarga tidaka ada yang menderita penyakit

degenerative seperti: Diabetes Militus, Penyakit jantung coroner,

Hipertensi. Juga tidak ada yang menderita penyakit menular seperti

Tuberculosis dan Hepatitis.

8. Perilaku Kesehatan

46
Ibu mengatakan tidak pernah merokok dan mengkonsumsi alcohol.

B. DATA OBJEKTIF

1. Keadaan Umum dan Tanda-Tanda Vital

‐ Keadaan umum : Baik

‐ Kesadaran : Composmentis

‐ Tinggi badan : 150 cm

‐ Berat badan : 65 kg

‐ Tekanan darah : 140/90 mmHg

‐ Suhu tubuh : 36,2 oC

‐ Nadi : 82 x/m

‐ Pernapasan : 20 x/m

‐ TFU : 33 cm

‐ Djj : 146 x/m

‐ Pembukaan : 3 cm

‐ His : 1x10 detik dalam 10 menit

‐ Ketuban : Negatif

2. Pemeriksaan Fisik

a. Kepala

‐ Mata : sklera putih, konjungtiva ananemis

‐ Hidung : tidak ada pernapasan cuping hidung

‐ Gigi dan mulut : Bibir terlihat lembab/tidak kering, gigi

bersih

47
b. Leher

‐ Tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembengkakan vena jugularis,

tidak ada pembengkakan tyroid

c. Dada

‐ Payudara normal, tidak ada pengeluaran

d. Abdomen

‐ Tidak ada luka bekas operasi

‐ Pemeriksaan Leopold 1

 Tinggi Fundus Uteri 33 cm, pada Fundus teraba bagian

bagian kecil janin ( Ekstermita)

‐ Pemeriksaan Leopold II

Pada perut sebelah kiri terada bulat lunak (Bokong) dan perut

sebelah kanan ibu teraba bulat keras dan melenting ( Kepala)

‐ Pemeriksaan Leopold III

Pada bagian bawah ibu teraba keras, memanjang, dan ada

tekanan ( punggung)

‐ Pemeriksaan Leopold IV

Kedua jari tangan pemeriksa (Bidan) dapat bertemu

( konvergen)

e. Ektremitas

‐ Tidak ada oedema, tidak ada varises

48
f. Anogenital

‐ Tidak dilakukan pemeriksaan anogenital

3. Pemeriksaan Penunjang

Adapun hasil pemeriksaan laboratorium adalah :

‐ GDS : 100 mg/dl

‐ HB : 10,6 gr/dl

‐ Protein urine : Negatif

C. ANALISIS DATA

Diagnosa : Ibu G4P3A0 inpartu kala I fase laten letak Lintang dan

KPD

Masalah : Prosedural rujukan disertai dengan pemasangan infus

Kebutuhan : Pemasangan Infus

D. PENATALAKSANAAN

1. Memberitahu ibu hasil pemeriksaan tanda-tanda vital yang telah

dilakukan, yaitu TD : 140 mmHg, Suhu : 36,2oC, Nadi : 82 kali/menit,

pernafasan 20x/menit,, TFU: 33 cm, Djj : 146 x/m, Pembukaan : 3 cm,

Ketuban : Negatif, GDS : 100 mg/dl, HB : 10,6 gr/dl, Protein urine :

Negatif (Ibu sudah mengetahui hasil pemeriksaan)

2. Melakukan informed choice dan informed consent bahwa Tindakan

pertama yang akan dilakukan adalah pemasangan infus kepada ibu

49
sebelum ibu di rujuk ke RS (Ibu dan Suami setuju untuk dilakukan

Tindakan pemasangan infus).

3. Melakukan pemasangan infus di tangan sebelah kanan ibu (Infus sudah

terpasang di tangan ibu ).

4. Memberitahukan kepada ibu bahwa ibu akan di rujuk ke RS.

BAB IV

PEMBAHASAN

A. PENGKAJIAN

Pada langkah ini peneliti melakukan pengkajian untuk mendapatkan

data objektif dan data subjektif dengan cara mewawancara pasian. Data

subjektif yang didapatkan dari kasus ini yaitu identitas pasien yang Bernama

Ny. N usia 42 tahun, pasien mengatakan ingin melahirkan perut teras mulas-

mulas dan sudah keluar lendir dan air air dari jalan lahir. Pasien hamil anak

ke-4 dengan usia kehamilan 39 minggu dan sudah menikah selama 16 tahun,

dan sudah memiliki 3 orang anak, Pasien tidak ada riwayat menderita

penyakit degeneratif maupun penyakit menular, dan tidak pernah

mengkonsumsi rokok maupun alkohol.

Data objektif didapatkan dengan cara memeriksa pasien secara

langsung. Dari hasil pemeriksaan didapatkan data keadaan umum ibu baik,

kesadaran composmetis, tinggi badan pasien 150 cm berat badan 65 kg.

Tanda-tanda vital ibu meliputi tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 82 x/m,

suhu 36,2 oC, respirasi 20 x/menit. Tinggi fundus uteri ibu 33 cm, Djj bayi:

50
146 x/m, ibu sudah ada pembukaan servik 3 cm, cairan ketuban sudah pecah,

lamanya kontraksi 1 kali durasi 10 detik dalam waktu 10 menit.

B. DIAGNOSA

Dari hasil pengkajian data subjektif dan data objektif dapat ditegakkan

diagnose Ny. N G4P3A0 hamil 39 minggu inpartu kala I fase laten dengan

letak lintang dan KPD.

C. INTERVENSI

Berdasarkan kebutuhan pasien yaitu dilakukan tindakan pemasangan

infus sebelum pasien di rujuk ke RS

D. IMPLEMENTASI

Pada kasus ini, Ny. N 42 tahun dengan diagnosa G4P3A0 hamil 39

minggu inpartu kala I fase laten dengan letak sungsang dan KPD. Diagnosis

ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Penatalaksanaan

asuhan pada Ny. N dengan kebutuhan pemasangan infus, semua tindakan

yang telah direncanakan dapat dilaksanakan seluruhnya dengan baik dan tidak

menemukan hambatan yang berarti karna adanya kerja sama dan penerimaan

yang baik dari klien yang kooperatif serta sarana dan fasilitas yang

mendukung dalam pelaksanaan tindakan.

51
Dalam pelaksanaan tindakan asuhan kebidanan penulis tidak

menemukan hambatan yang berarti karena seluruh tindakan yang dilakukan

sudah berorientasi pada kebutuhan klien.

E. EVALUASI

Pada kasus ini pasien memang membutuhkan prosedur pemasangan

infus sebelum di rujuk ke RS untuk tindakan lanjut yang dibutuhkan. Pasien

juga harus diberikan edukasi apabila pasien merasa bengkak yang berlebih

pada tempat penusukan infus pada saat di perjalanan menuju RS untuk segera

memberitahu petugas.

52
BAB V

PENUTUP

A. SIMPULAN

1. Telah dilakukan penatalaksanaan tindakan pemasangan infus pada ibu

yang dalam kasus ini pasien akan melahirkan

2. Pasien tetap diberikan edukasi mengenai efek dari pemasangan infus yang

akan terasa nyeri dan dapat juga menimbulakn bengkak yang berlebih.

B. SARAN

1. Diharapkan bagi bidan dapat meningkatkan mutu pelayanan kebidanan dan

melakukan tindakan sesuai SOP

2. Diharapkan pasien dan keluarga kooperatif terhadap tindakan yang

dilakukan.

53
DAFTAR PUSTAKA

Agus,D.M. (2013). Keperawatan Anak : Penuntun Praktik. EGC : Jakarta

Aitkenhead, Alan R, et al. (2007). Textbook of Anaethesia. Fifth Edition. United


Kingdom : Churchill Livingstone. 2007.

Alexander, M.(2010). Infusion Nursing : An Evidance based Approach. Saunders


Elsevier Inc. Diakses tanggal 14 September 2022 dari
http://books.google.co.id/books?
id=GjY2NKEYhC8C&pg=PA474&dq=phlebitis

Anonim. Resusitasi Cairan dan Elektrolit. Dalam Buku Pegangan Pelatihan


Bantuan hidup Dasar dan Bantuan Hidup Lanjut bagi Dokter Umum se-
Propinsi Sulawesi Selatan. Makassar: Ikatan Dokter Spesialis Anestesiologi
Indonesia Cabang Sulawesi Selatan; 2000. hal 62-72.

Anonym. Electrolyte Disorders. Available from: URL:


http://www.nejm.article.php. Accessed Desember 14, 2005.

Anonym. Fluid and Electrolyte Therapy in Children. Available from: URL:


http://www.bmj.com/merckcourse.htm. Accessed Desember 14, 2005.

Anonym. Fluid and Electrolyte Therapy. Available from: URL:


http://www.cvm.okstate.edu/courses.vmed5412. Accessed Desember 14,
2005.

Anonim. (2003). Kebutuhan Harian Air dan Elektrolit, gangguan Keseimbangan


Air dan Elektrolit, dan Terapi Cairan. Dalam: Pedoman Cairan Infus edisi
revisi VIII. Jakarta: PT. Otsuka Indonesia; 2003. hal. 16-33.

54
Evers, AS, and Mervyn Maze (2004). Anesthetic Pharmacology: Physiologic
Principles and Clinical Practice. United Kingdom : Churchill
Livingstone. 2004.

Gita.P.(2019). Laporan Pemasangan Infus. Karya Tulis Ilmiah. Diakses pada


tanggal 14 September 2022 dari
http://www.scribd.com/document/433646176/LAPORAN-pemasangan-
infus

Guyton, A. (1997). Kompartemen Cairan Tubuh: Cairan Ekstraseluler dan


Intraseluler. dalam: Buku ajar Fisiologi Kedokteran edisi 9. Jakarta: EGC;
1997. hal 375-7.

Graber, MA.(2003). Terapi Cairan, Elektrolit, dan Metabolik. Edisi 2. Jakarta:


Farmedia.

Latief, AS, dkk. (2002). Petunjuk Praktis Anestesiologi : Terapi Cairan Pada
Pembedahan. Edisi Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif,
FKUI.

Lyon Lee. (2006). Resuscitation Fluids, Disorder of Fluid and Electrolyte


Balance. Oklahoma State University – Center for Veterinary Health. 2006.
Tersedia dari ; http://member.tripod.com/-lyser/ivfs.htm

Morgan, GE, et al. (2002). Clinical Aneshesiology : Fluid Management and


Transfusion. Third Edition. New York : Lange Medical Books/McGraw-
Hill.

Pinnock, Colin, et al. (1999). Fundamentals of Anaaesthesia. GMM.

Risky.Z.(2021). Laporan Analisa Tindakan Pemasangan Infus . Karya Tulis


Ilmiah. Diakses pada tanggal 14 September 2022 dari
http://www.academia.edu/45425566/LAPORAN_ANALISA_TINDAKAN
_PEMASANGAN_INFUS

Stoelting, Robert K, and Ronald D. miller.(2007). Basics of Anesthesia. Fifth


edition. California : Churchill Livingstone.

55

Anda mungkin juga menyukai