Anda di halaman 1dari 6

Ironi Daerah Kepulauan

Kehendak besar untuk maju dan ekonomi tumbuh berkelanjutan sukar diraih tanpa

menjadikan laut dan daerah kepulauan motor pembangkit kegiatan perekonomian.

OlehSUWIDI TONO
2 Maret 2020·6 menit baca
TEKS
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO 

Penandatangan Kesepakatan Bersama 13 Institusi dalam Pengawasan, Pengamanan,


dan Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Laut Natuna Utara di Kantor Bakamla
Jakarta, Jumat (21/2/2020).

Sejak Deklarasi Djuanda 1957, Indonesia telah meneguhkan dan dapat pengakuan

internasional sebagai archipelago state (negara kepulauan) dari United Nations

Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Verifikasi United Nations

Conferences on the Standardization of Geographical Names di New York, 2017,

menetapkan Indonesia resmi memiliki 16.056 pulau. Garis pantai RI sepanjang

99.093 kilometer persegi, luas daratan 2,012 juta kilometer persegi, luas lautan 5,80

juta kilometer persegi di mana 2,7 juta kilometer persegi di antaranya termasuk

dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE).

Perjuangan panjang para pendahulu dalam menegaskan konsepsi negara kepulauan

ironisnya belum mengejawantah dalam tata kelola internal di daerah-daerah

kepulauan dengan karakteristik wilayah lautan lebih luas daripada daratan dan di

dalamnya terdapat pulau-pulau yang membentuk gugusan pulau sehingga menjadi

kesatuan geografis dan sosial budaya. Bahkan tak ada satu pun UU atau peraturan

yang mengatur dan mendefinisikan kekhususan daerah kepulauan.

Pembangunan bias daratan hendak dikoreksi lewat kebijakan poros maritim, tol laut,

dan membangun dari pinggiran. Pendekatan ini tak cukup berdaya guna tanpa

perubahan esensial dalam mengenali kebutuhan dan keragaman, potensi sekaligus


keunikan sosial-ekonomi-budaya daerah kepulauan. Ketertinggalan akibat

keterbatasan sarana-prasarana dan pelayanan dasar itu menyebabkan distorsi

pembangunan sebagaimana tecermin dari rendahnya angka Indeks Pembangunan

Manusia dan capaian indikator pembangunan lainnya.

Banyak provinsi memiliki ratusan bahkan ribuan pulau, meniscayakan strategi

pembangunan dan kebijakan tertentu untuk mendorong kemajuan dan keadilan

distribusi sumber daya. RUU Daerah Kepulauan yang disusun atas inisiatif DPD

tahun 2017 dan kini jadi prioritas Prolegnas 2020, memasukkan 8 provinsi dan 85

kabupaten/kota untuk diusulkan sebagai daerah kepulauan.

Data Kemendagri menyebutkan kondisi geografis 8 provinsi itu: Bangka Belitung

memiliki 950 pulau dan 166 desa tepi laut, Kepulauan Riau 2.408 pulau dan 361

desa tepi laut, NTB 864 pulau dan 301 desa tepi laut, NTT 1.192 pulau dan 1.011 desa

tepi laut, Sulawesi Utara 668 pulau dan 778 desa tepi laut, Sulawesi Tenggara 651

pulau dan 947 desa tepi laut, Maluku 1.422 pulau dan 914 desa tepi laut, Maluku

Utara 1.474 pulau dan 941 desa tepi laut.

Banyak provinsi memiliki ratusan bahkan ribuan pulau, meniscayakan strategi


pembangunan dan kebijakan tertentu untuk mendorong kemajuan dan keadilan
distribusi sumber daya.

Rakyat daerah kepulauan belum sejahtera karena ketakmampuan memanfaatkan

SDA. Jarak pulau-pulau relatif jauh dari pusat ekonomi dan keterbatasan fasilitas

untuk pengembangan potensi lokal. Jika kebijakan dan penganggaran masih

menggunakan pendekatan seperti sekarang, ketimpangan dan ketertinggalan akan

kian parah.
Kapasitas fiskal daerah itu rata-rata rendah, ditunjukkan oleh kemampuan

menghimpun pendanaan sendiri lewat pendapatan asli daerah (PAD) yang jauh di

bawah daerah bukan kepulauan. Rata-rata PAD daerah kepulauan 2018 hanya 12,3

persen dari total APBD, dan daerah bukan kepulauan dua kali lipatnya, 24,3 persen.

Keterbatasan fiskal ini kian timpang dan tak adil karena kucuran dana perimbangan

berupa dana alokasi umum (DAU), dana bagi hasil (DBH), dana alokasi khusus

(DAK) sampai 2017 memberikan bobot tinggi untuk variabel jumlah penduduk dan

luas wilayah daratan. Kendati mulai 2018 luas wilayah lautan diberi bobot 100

persen dalam formula DAU, ketimpangan celah fiskal terlalu lebar untuk diatasi

dengan pola pendanaan konvensional yang berlaku dan jadi konsensus selama ini.

Apalagi DAK afirmasi untuk daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan relatif

kecil dibandingkan DAK reguler dan penugasan untuk daerah bukan kepulauan.

Alokasi DBH berdasarkan prinsip by origin (daerah penghasil) jelas tak tepat jadi

instrumen meningkatkan APBD daerah kepulauan karena keragaman dan

keterbatasannya.

KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN

Proses penebaran 3.000 benih ikan kakap putih oleh Balai Perikanan Budidaya Laut
Ambon di keramba jaring apung milik warga di pesisir Kelurahan Wainitu, Kota
Ambon, Maluku pada Sabtu (8/2/2020).

Rekognisi dan afirmasi

Urgensi UU Daerah Kepulauan sesungguhnya berpangkal dari fakta empiris negara

sejak lama tak hadir dalam penguatan tata kelola di wilayah kepulauan. Ada

kekosongan hukum untuk pengelolaan terutama aspek penyelenggaraan


pemerintahan berbasis pulau, kewenangan tambahan atas urusan khusus, dan

dukungan fiskal.

Eksistensi kekhususan dan keragaman itu butuh pengakuan dan perlakuan khusus

dalam tiga unsur utama: pengaturan ruang (wilayah pengelolaan dan rentang

kendali pemerintahan), urusan (tambahan kewenangan atas irisan urusan tertentu)

dan uang (pendanaan khusus). Secara substansial, perlakuan khusus itu bersifat

afirmatif (desentralisasi asimetris berbasis karakter geografis) dan rekognitif

(pengakuan dan penghormatan atas keragaman dan kekhususan realitas sosial dan

geografis).

Perubahan itu tak perlu mengubah rezim pemerintahan jadi bersifat khusus atau

istimewa, apalagi harus mengamendemen UU No 23/2014 tentang Pemda, tapi

dapat diakomodasi lewat pembentukan landasan hukum untuk memperkuat

pengaturan atas tiga komponen utama: ruang, wewenang, dan pendanaan.

Pembuatan landasan hukum baru yang tak menyimpang dari prinsip otonomi dan

pengaturan tersendiri sebagai wujud pluralisme hukum cukup mewadahi makna

desentralisasi asimetris. Apalagi kini disadari, otsus tak menjamin perbaikan

kesejahteraan rakyat dan kemajuan daerah.

Papua dan Aceh bukti nyata kucuran dana belasan triliun rupiah setiap tahun

melalui dana otsus lamban mengikis kemiskinan karena program dan alokasi dana

kurang tepat sasaran serta lemah asistensi dan pendampingan. Fenomena korupsi

termasuk dalam kelemahan ini.

Apalagi kini disadari, otsus tak menjamin perbaikan kesejahteraan rakyat dan
kemajuan daerah.
Pengakuan atas ruang, pelimpahan sebagian urusan (wewenang tambahan) dan

pendanaan khusus untuk daerah kepulauan merupakan moderasi ”jalan tengah”

dengan mempertimbangkan sistem hukum dan kapasitas fiskal pemerintah di satu

sisi, dan aspirasi daerah kepulauan yang terus mengemuka sejak Deklarasi Ambon 11

Agustus 2005.

Agar pengaturan hukum atas daerah kepulauan kelak berdampak signifikan

mengurangi ketertinggalan dan kemiskinan, perlu ”pagar pembatas” antara lain

alokasi secara tepat dana khusus kepulauan (DKK) di sektor prioritas terutama SDM

lokal, kelembagaan, sektor ekonomi kelautan. Inventarisasi sektor ekonomi yang

perlu dapat perhatian dan penekanan mencakup: perikanan tangkap dan budidaya,

industri pengolahan hasil laut dan bioteknologi, pertambangan energi dan sumber

daya mineral, pariwisata bahari, jasa kelautan.

Instrumen DKK harus dipastikan optimal untuk mendorong produksi dan nilai

tambah di sektor hulu kelautan, selanjutnya memiliki keterkaitan tinggi dengan

sektor hilir (industri pengolahan dan ekspor). Akselerasi pembangunan nasional

lewat pemanfaatan potensi daerah kepulauan dapat jadi titik tolak integrasi

kebijakan kebudayaan kelautan, tata kelola kelautan, keamanan maritim, ekonomi

kelautan, dan kebijakan lingkungan kelautan.

KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA

Warga desa Fahiluka Kabupaten Malaka, NTT (07/01/2020). Lahan pertanian di


desa ini cukup luas tetapi petani mengerjakan secara tradisional sehingga hanya
mampu mengolah 500 – 2.000 m2, sekedar menanam jenis tanaman hortikultura.

Hasil riset banyak lembaga menunjukkan, sumbangan kelautan kurang dari 20

persen PDB dan penyerapan tenaga kerja di bawah 10 persen. Anomali di negara

berkarakteristik geografis dua pertiga wilayah berupa lautan, potensi lestari


perikanan tangkap minimal 12,5 juta ton/tahun, budidaya perikanan laut 12 juta

hektar, dan sumber daya hasil laut non- ikan begitu berlimpah, butuh determinasi

kebijakan dan tata kelola yang kompatibel dengan kebutuhan.

Kehendak besar untuk maju dan ekonomi tumbuh berkelanjutan sukar diraih tanpa

menjadikan laut dan daerah kepulauan motor pembangkit kegiatan perekonomian.

(Suwidi Tono Koordinator Forum ”Menjadi Indonesia”, Pemimpin Redaksi Majalah

Media Otonomi 2004-2010)

Anda mungkin juga menyukai