Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan proses kerusakan ginjal
selama rentang waktu lebih dari tiga bulan. Pada kasus tersebut, ginjal
kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan volume dan komposisi
cairan tubuh dalam keadaan asupan makanan normal (Muhammad, 2012).
Pada derajat awal penyakit CKD belum menimbulkan gelaja dan tanda,
bahkan hingga laju filtrasi glomerulus sebesar 60% pasien masih
asimtomatik tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin
serum. Keluhan yang timbul pada fase ini biasanya berasal dari penyakit
yang mendasari kerusakan ginjal, seperti edema pada pasien dengan
sindroma nefrotik atau hipertensi sekunder pada pasien dengan penyakit
ginjal polikistik. Kelainan secara klinis dan laboratorium baru terlihat
dengan jelas pada derajat 3 dan 4. Saat laju filtrasi glomerulus sebesar
30%, keluhan seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan berkurang
dan penurunan berat badan mulai dirasakan pasien.
Pasien mulai merasakan gejala dan tanda uremia yang nyata saat laju
filtrasi glomelurus kurang dari 30% (Suryadi, 2012). Penderita penyakit
CKD akan mengalami berbagai dampak fisik dan dampak psikologis yang
akan mempengaruhi aktivitasnya sehari-hari (Kelly, 2006). Dampak fisik
yang bisa terjadi berupa rasa haus berlebihan, tenggorokan kering, tidak
selera makan, gastritis, konstipasi, gangguan tidur, kesulitan bernafas dan
kelemahan, selain dampak fisik individu juga akan mengalami dampak
psikologis berupa kecemasan. Penyakit CKD telah menjadi persoalan
kesehatan serius masyarakat di dunia.
Menurut WHO (2012) penyakit ginjal dan saluran kemih telah
menyebabkan kematian sekitar 850.000 orang setiap tahunnya. Hal ini
menunjukkan bahwa penyakit ini meduduki peringkat ke -12 tertinggi

6
angka kematian atau peringkat tertinggi ke-17 angka kecacatan.
Berdasarkan estimasi World Health Organization (WHO), secara global
lebih dari 500 juta orang mengalami penyakit CKD. Sekitar 1,5 juta orang
harus menjalani hidup bergantung pada cuci darah. Sementara itu, di
Indonesia saat ini terdapat sekitar 70.000 penderita CKD yang
memerlukan cuci darah (Siswono, 2008). Prevalensi penyakit CKD di
Australia, Jepang, dan Eropa adalah 6-11%, terjadi peningkatan 5-8%
setiap tahunnya. Sekitar 1,5% dari pasien penyakit CKD derajat 3 dan 4
akan berlanjut menjadi derajat 5 atau penyakit CKD tahap akhir per
tahunnya.
Di Indonesia belum ada data yang lengkap mengenai penyakit CKD.
Diperkirakan insiden penyakit CKD tahap akhir di Indonesia adalah
sekitar 30,7 per juta populasi dan prevalensi sekitar 23,4 per juta populasi.
Pada tahun 2006 terdapat sekitar 10.000 orang yang menjalani terapi
hemodialisa (Suryadi, 2012). Menurut United States Renal Data System
(USRDS, 2014) prevalensi CKD meningkat dengan bertambahnya usia.
Prevalensi pada usia 65-74 tahun adalah 7,2% dan pada usia lebih dari 85
tahun adalah 17%. Prevalensi gagal ginjal kronik pada kulit hitam (15%)
adalah 50% lebih tinggi dari orang kulit putih atau ras lainnya (10%).
Prevalensi pada orang Asia adalah 11%. Prevalensi gagal ginjal kronik
yang disertai dengan diabetes mellitus adalah 20,5%, hipertensi adalah
15,7%, dan penyakit jantung adalah 18,4%.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan peneliti maka
rumusan masalah yang di dapatkan dari peneliti ini adalah “Bagaimana
Asuhan Keperawatan pada Pasien Chronic Kidney Disease (CKD) di
IRNA Non-Bedah Penyakit Dalam (Wanita) RSUP Dr. M. Djamil
Padang tahun 2017.
C. Tujuan Penelitian

7
1. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian adalah mendeskripsikan
asuhan keperawatan pada pasien dengan Chronic Kidney Disease.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan hasil pengkajian pada pasien dengan kasus CKD
b. Mendeskripsikan rumusan diagnose keperawatan pada pasien
dengan kasus CKD.
c. Mendeskripsikan rencana asuhan keperawatan pada pasien dengan
kasus CKD

8
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. ANATOMI
1. Fungsi Utama Ginjal
a. Pengeluaran zat sisa organik
Ginjal mengekskresikan urea, asam urat, kreatinin dan produk
penguraian hemoglobin dan hormone.
b. Pengaturan Keseimbangan Asam Basa Tubuh
Ginjal berperan penting dalam mempertahankan keseimbangan asam
basa. Sebagian besar proses metabolisme tubuh menghasilkan asam
seperti CO2 yang mudah menguap dan metabolisme protein
menghasilkan asam yang tidak menguap seperti asam sulfat dengan
asam fosfat. Secara normal paru-paru mengekskresikan CO2
sedangkan zat yang tidak mudah menguap diekskresikan oleh ginjal.
Selain itu ginjal juga mereabsorbsi bikarbonat basa yang difiltrasi
secara bebas oleh glomerulus. Ginjal membantu mengeleminasi C02
pada pasien penyakit paru dengan meningkatkan sekresi dan ekskresi
asam dan reabsorbsi basa.
c. Pengaturan Ekskresi Elektrolit
Jumlah elektrolit dan air yang harus diekskresikan lewat ginjal
bervariasi dalam jumlahnya tergantung pada jumlah asupan, air,
natrium, klorida, elektrolit lain dan produk limbah diekskresikan
sebagai urin. Pengaturan jumlah natrium yang diekskresikan
tergantung pada aldosteron yang dihasilkan dan disintesa korteks
adrenal. Peningkatan kadar aldosteron dalam darah, menyebabkan
sekresi natrium berkurang karena aldosteron meningkatkan reabsorbsi
natrium dalam ginjal. Jika natrium diekskresikan dalam jumlah yang
melebihi jumlah natrium yang dikonsumsi, maka pasien akan
mengalami dehidrasi. Ekskresi kalium oleh ginjal akan meningkat
seiring dengan meningkatnya kadar aldosteron. Jika kalium

9
diekskresikan dalam jumlah yang kurang dari jumlah konsumsi pasien
akan menahan cairan. Retensi kalium merupakan akibat yang paling
buruk dari gagal ginjal.
d. Pengaturan Produksi Sel Darah Merah
Sebagai salah satu organ endokrin, ginjal membentuk dan melepaskan
eritropoitin. Eritropoitin adalah salah suatu hormon yang merangsang
sumsum tulang agar meningkatkan pembentukan eritrosit. Sel-sel
diginjal yang membentuk dan melepaskan eritropoitin berespons
terhadap hipoksia ginjal. Orang yang menderita penyakit ginjal sering
memperlihatkan anemia kronik
e. Regulasi Tekanan Darah
Hormon renin yang disekresikan oleh sel-sel jungstaglomerullar saat
terjadi penurunan tekanan darah. Renin akan mempengaruhi pelepasan
angiotensin yang dihasilkan di hati dan diaktifkan dalam paru.
Angiotensin I kemudian diubah menjadi Angiotensin II yaitu senyawa
vasokontriktor kuat. Vasokontriksi menyebabkan peningkatan tekanan
darah. Aldosteron disekresikan oleh korteks adrenal sebagai reaksi
terhadap stimulasi kelenjar hipofisis dan pelepasan ACTH sebagai
reaksi terhadap perfusi yang buruk atau peningkatan osmolaritas
serum.
Bagan 2.1
Mekanisme pengaturan tekanan darah oleh ginjal

Tekanan darah menurun

Ginjal Renin

Hati Angiotensin I

Kelenjar hipofisis Angiotensin II (vasokonstriktor kuat)

10
ACTH Aldosteron (dilepas oleh kelenjar adrenal)
Meningkatkan
tekanan darah
Kelenjar adrenal Retensi air dan natrium

Volume cairan ekstrasel meningkat

Sumber: Brunner &Suddarth

f. Pengaturan Ekskresi Air


Akibat asupan air atau cairan yang banyak, urin yang encer harus
diekskresikan dalam jumlah besar, sedangkan jika asupan cairan
sedikit urin yang diekskresikan lebih pekat. Pengaturan ekskresi air
dan pemekatan urine dilakukan didalam tubulus dengan reabsorbsi
elektrolit. Jumlah air yang reabsorbsi dikendalikan oleh hormon anti
deuritik (CADH atau Vasopresin). Dengan asupan air yang berlebihan,
sekresi ADH oleh kelenjar hipofisis akan ditekan sehingga sedikit air
yang direabsorbsi oleh tubulus. Keadaan ini menyebabkan volume urin
meningkat ( Diuresis ).
g. Dihidroksi vitamin D
Sebagai organ endokrin ginjal mengeluarkan hormon penting untuk
menetralisasi tulang. Ginjal bekerja sama dengan hati menghasilkan
bentuk aktif vitamin D. Vitamin D penting untuk pemeliharaan kadar
kalsium plasma yang diperlukan untuk membentuk tulang. Bentuk
aktif vitamin D ini bekerja sebagai hormon beredar dalam darah dan
merangsang penyerapan kalsium, fosfat di usus halus dan tubulus
ginjal. Vitamin D juga merangsang resorbsi tulang. Resorbsi tulang
menyebabkan pelepasan kalsium sehingga kalsium plasma meningkat.

11
2. Suplai Darah Ginjal

Gambar 2.3
Suplai darah ginjal

Sumber: www.google.com

a. Arteri renalis adalah cabang orta abdominalis yang mensuplai masing-


masing ginjal dan masuk ke hillus melalui percabangan anterior dan
posterior.
b. Arteri-arteri interlobaris merupakan cabang anterior dan posterior
arteri renalis yang mengalir diantara piramida-piramida ginjal.
c. Arteri Arkuata berasal dari arteri interlobaris pada area pertemuan
korteks dan medulla.
d. Arteri interlobaris merupakan percabangan arteri arkuata di sudut
kanan dan melewati korteks.
e. Arteriol aferen berasal dari arteri interlobularis. Satu arteriol aferen
membentuk sekitar 50 kapilar yang membentuk glomerulus.
f. Arteriol eferen meninggalkan setiap glomerulus dan membentuk
jaringan kapilar lain. Kapilar peritubular mengelilingi tubulus
proksimal dan distal untuk memberi nutrisi pada tubulus.

12
g. Kapilar peritubular mengalir ke dalam vena korteks yang kemudian
menyatu dan membentuk vena interlobularis.
h. Vena arkuata menerima darah dari vena interlobularis. Vena akuarta
bermuara ke dalam vena interlobularis yang bergabung untuk
bermuara ke dalam vena renalis. Vena ini meninggalkan ginjal untuk
bersatu dengan vena kava inferior

3. Struktur Nefron

Gambar 2.4
Gambar sebuah nefron yang memperlihatkan struktur glomerulus dan
tubulus

Sumber: www.wikipedia.com
Satu ginjal mengandung 1 sampai 4 juta nefron yang merupakan unit
pembentuk urine. Setiap nefron memiliki satu komponen vascular
(kapilar) dan satu komponen tubular.

13
a. Glomerulus adalah gulungan kapiler yang dikelilingi kapsul epitel
berdinding ganda disebut kapsul bowman. Glomerulus dan kapsul
bowman bersama-sama membentuk sebuah korpuskel ginjal.
b. Tubulus kontortus proksimal, panjangnya mencapai 15 mm dan sangat
berliku. Pada permukaan yang menghadap lumen tubulus ini terdapat
sel-sel epitelia kuboid yang kaya akan mikrovilus (brus border) dan
memperluas area permukaan lumen.
c. Ansa henle. Tubulus kontortus proksimal mengarah ke tungkai
descenden ansa henle yang masuk ke dalam medulla membentuk
lengkungan jepit yang tajam (lekukan), dan membalik keatas
membentuk tungkai ascenden ansa henle.
d. Tubulus kontortus distal juga sangat berliku, panjangnya 5 mm dan
membentuk segmen terakhir nefron.
1) Di sepanjang jalurnya, tubulus ini bersentuhan dengan dinding
ateriol aferen. Bagian tubulus yang bersentuhan dengan arteriol
mengandung sel-sel termodifikasi yang disebut macula densa.
Maccula densa berfungsi sebagai suatu kemoreseptor dan
distimulasi oleh penurunan ion natrium.
2) Dinding arteriol aferen yang bersebelahan dengan macula densa
mengandung sel-sel otot polos termodifiksi yang disebut sel
jukstaglomerular. Sel ini distimulasi melalui penurunan tekanan
darah untuk memproduksi rennin.
3) Maccula densa sel jupstaglomerular, dan sel mesangium saling
bekerja sama untuk membentuk apparatus jukstaglomerular yang
penting dalam pengaturan tekanan darah.
e. Tubulus dan duktus mengumpul. Karena setiap tubulus pengumpul
berdesenden di korteks, maka tubulus tersebut akan mengalir ke
sejumlah tubulus kontortus distal. Tubulus pengumpul membentuk
duktus pengumpul yang besar. Duktus pengumpul membentuk tuba
yang lebih besar yang mengalirkan urine ke dalam kaliks minor. Dari

14
pelvis ginjal, urine dialirkan ke ureter yang mengarah ke kandung
kemih.

A. Konsep Dasar Chronic Kidney Diseases


1. Definisi
Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan
dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain
dalam darah) (Brunner & Suddart, 2002).
Gagal Ginjal Kronik (GGK, penyakit ginjal tahap akhir) adalah
kerusakan fungsi ginjal yang progresif, yang berakhir fatal pada uremia
(kelebihan urea dan sampah nitrogen lain di dalam darah) dan
komplikasinya kecuali jika dilakukan dialysis dan transplantasi ginjal
(Netina, Sandra. M, 2002).
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangaan gagal ginjal yang
progresip dan lambat, biasanya berlangsung berapa tahun. Ginjal
kehilangan kemampuan asupan diet normal. Gagal ginjal kronik terjadi
setelah berbagai macam penyakit masuk nefron ginjal (Price,Sylvia
Anderson,2004).

2. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik


a. Stadium 1
Kerusakan ginjal dengan GFR normal (90 atau lebih). Kerusakan pada
ginjal dapat dideteksi sebelum GFR mulai menurun. Pada stadium
pertama penyakit ginjal ini, tujuan pengobatan adalah untuk
memperlambat perkembangan CKD dan mengurangi resiko penyakit
jantung dan pembuluh darah.
b. Stadium 2
Kerusakan ginjal dengan penurunan ringan pada GFR (60-89). Saat
fungsi ginjal kita mulai menurun, dokter akan memperkirakan

15
perkembangan CKD kita dan meneruskan pengobatan untuk
mengurangi resiko masalah kesehatan lain.
c. Stadium 3
Penurunan lanjut pada GFR (30-59). Saat CKD sudah berlanjut pada
stadium ini, anemia dan masalah tulang menjadi semakin umum. Kita
sebaiknya bekerja dengan dokter untuk mencegah atau mengobati
masalah ini.
d. Stadium 4
Penurunan berat pada GFR (15-29). Teruskan pengobatan untuk
komplikasi CKD dan belajar semaksimal mungkin mengenai
pengobatan untuk kegagalan ginjal. Masing-masing pengobatan
membutuhkan persiapan.
e. Stadium 5
Kegagalan ginjal (GFR di bawah 15). Saat ginjal kita tidak bekerja
cukup untuk menahan kehidupan kita, kita akan membutuhkan dialisis
atau pencangkokan ginjal.

3. Etiologi
a. Infeksi saluran kemih (ISK)
ISK bagi dalam dua subkatagori yaitu ISK bagian bawah
(pielonefritis akut). Pielonefritis kronik adalah cedera ginjal yang
progresip berupa kelainan ginjal disebabkan, oleh infeksi yang
berulang dan menetap pada ginjal, yang menyebabkan kelainan
anatomi pada ginjal dan saluran kemih seperti refluks vesiko, ureter,
obstruksi, kalkuli atau kandung kemih neurogonik. Kerusakan ginjal
pada pielonefritis akut/kronik atau disebut juga nefropati refluks
diakibatkan refluks urin yang terinfeksi ke uretra dan masuk kedalam
parenkim ginjal (refluks internal). Piolonefritis kronik yang disertai
refluks vesikoureter merupakan penyebab utama gagal ginjal pada
anak-anak.
b. Nefrosklerosis Hipertensif

16
Hipertensi dan gagal ginjal kronik memiliki kaitan yang erat.
Hipertensi mungkin merupakan penyakit primer atau penyakit ginjal
kronik merupakan pemicu hipertensi melalui mekanisme retensi Na
dan air, pengaruh vasopresor dari sistem renin-angiotensin mungkin
juga melalui defisiensi prostaglandin. Nefrosklerosis (pasang ginjal)
menunjukan adanya perubahan patologis pada pembuluh darah ginjal
sebagai akibat hipertensi. Keadaan ini merupakan salah satu penyebab
utama gagal ginjal kronik, terutama pada populasi yang bukan orang
kulit putih.
c. Glomerulonefritis
Glomerulonepritis merupakan penyakit peradangan ginjal
bilateral. Peradangan dimulai balam glomerulus dan bermanifestasi
sebagai proteinuria dan hematuria. Meski lesi terutama pada
glomerulus, tetapi seluruh nefron pada akhirnya akan mengalami
kerusakan, mengakibatkan gagal ginjal kronik.
d. Penyakit ginjal kronik
Penyakit ginjal polikistik ditandai dengan kista-kista multiple
bilateral yang mengadakan ekspansi dan lambat laun mengganggu dan
menghancurkan parenkim ginjal normal akibat penekanan. Ginjal
dapat membesar dan terisi oleh klompok-klompok kista yang
menyarupai anggur. Perjalanan penyakit progresip cepat dan
mengakibatkan kematian sebelum mencapai usia 2 tahun. Tanda dan
gejala yang sering tampak adalah rasa sakit didaerah pinggang,
hematutia, poliuria, proteinuria dan ginjal membesar teraba dari luar.
Komplikasi yang sering terjadi adalah hipertensi dan infeksi saluran
kemih. Penyakit ginjal polikistik merupakan penyebab ketiga tersering
gagal ginjal stadium akhir.
e. Gout
Gout merupakan suatu penyakit metabolic yang ditandai oleh
hiperurisemia (peningkatan kadar asam urat plasma). Lesi utama pada
gout terutama berupa endapan dan kristalisasi urat dan dalam cairan

17
tubuh. Pada gout kronik endapan kristal urat dalam interstisium ginjal
dapat menyebabkan nefritis interstisial, nefrosklerosis dan ginjal yang
berjalan progresip lambat.
f. Diabetes mellitus
Nefropati diabetika merupakan penyebab kematian dan
kecacatan yang umum pada penderita diabetes militus. Lesi ginjal yang
sering dijumpai adalah nefrosklerosis akibat lesi pada arteriola,
pielonefritis dan nekrosis papila ginjal dan glomerulus sklerosis. Lesi
tersebut disebabkan oleh peningkatan endapan matriks mesingeal.
Membrane basalis perifer juga lebih menebal. Mula-mula lumen
kapilet masih utuh tapi lambat laun mengalami obliterasi bersamaan
dengan berlanjutnya penyakit.
g. Hiperparatirodisme
Hiperparatiroidisme primer akibat hipersekresi hormone
paratiroid merupakan penyakit yang dapat menyebabkan
nefrokalasinosis dan selanjutnya dapat menyebutkan gagal ginjal.
Penyebab yang paling sering adalah adenoma kelenjar paratiroid.
h. Nefropati toksik
Ginjal rentan terhadap efek toksik, karena ginjal menerima 25
aliran darah dari curah jantung dan ginjal merupakan jalur ekskresi
obligatorik untuk kebanyakan obat. Sehingga insufiensi ginjal
mengakibatkan penimbunan obat dan meningkatkan konsentrasi dalam
cairan tubulus.

4. Manifestasi Klinis
a. Sistem Gastrointestinal
1) Anoreksia, nausea dan muntah karena gangguan metabolisme
protein dalam usus, terbentuknya zat – zat toksik dari metabolisme
bakteri usus seperti (amonia metil guanidin) serta sembabnya
mukosa usus.

18
2) Uremik yaitu ureum yang berlebihan pada air liur diubah oleh
bakteri dimulut menjadi amonia. Sehingga nafas berbau amonia.
Akibat lain timbul stomatitis dan parotitis.
3) Gastritis erosif seperti ulkus peptikum dan klitis uremik.
b. Sistem Integumen
1) Kulit berwarna pucat akibat anemia
2) Gatal – gatal karena toksin uremik dan pengendapan kalsium di
pori – pori.
3) Ekimosis akibat gangguan hematologis.
4) Bekas garukan karena gatal.
c. Sistem Hematologi
1) Anemia
Penyebabnya yaitu berkurangnya produksi eritropoetin sehingga
terjadi pengurangan eritropoesis pada sumsum tulang belakang,
hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana
uremik, defesiensi asam folat akibat nafsu makan yang berkurang,
perdarahan pada saluran cerna dan fibrosis pada sumsum tulang
akibat hipertiroid sekunder.
2) Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia
Mengakibatkan perdarahan akibat agregasi dan adhesi trombosit
yang berkurang.
3) Gangguan fungsi leukosit
Hiperpigmentasi leukosit, pagositosis dan kemotaksis berkurang,
fungsi limfosit menurun sehingga imunitas juga menurun.
d. Sistem Syaraf dan otot
1) Pegal pada tungkai bawah dan selalu menggerak – gerakkan
kakinya (Restless leg syndrome).
2) Rasa kesemutan dan sepserti terbakar terutama pada telapak kaki
(Burning feet syndrome).
3) Encefalopati metabolic seperti lemah, tidak bisa tidur, gangguan
konsentrasi, tremor dan kejang – kejang.

19
e. Sistem Kardiovaskuler
1) Hipertensi, akibat penimbunan cairan dari garam atau peningkatan
aktivitas sistem renin – angiotensin – aldosteron.
2) Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis, gagal jantung akibat
penimbunan cairan dan hipertensi.
3) Gangguan irama jantung, gangguan elektrolit.
4) Edema akibat penimbunan cairan
f. Sistem Endokrin
1) Gangguan seksual yaitu pada laki – laki libido menurun dan pada
wanita gangguan menstruasi (amenore).
2) Gangguan toleransi glukosa.
3) Gangguan metabolisme lemak
4) Gangguan metabolisme Vitamin D.
g. Gangguan sistem lain
1) Tulang : osteodistrofi renal, osteomalasia, klasifikasi metastatik.
2) Asam basa : asidosis metabolic akibat penimbunan asam organik.
3) Elektrolit : hiperkalemia, hipokalsemia, hiperfosfatemia.

5. Komplikasi
a. Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi , asidosis metabolic,
katabolisme, masukan diet berlebih
b. Perikarditis, efusi pericardial, temponade jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem
rennin-angiotensin-aldosteron
d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel
darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan
kehilangan darah selama hemodialisa
e. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal.

20
21
6. Patoflow

27
7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Urine
1) Volume: biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam (oliguria) atau urine tidak ada
(anuria)
2) Warna: secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus, bakteri,
lemak, partikel koloid, fosfat atau urat, sedimen kotor, kecoklatan menunjukkan
adanya darah, hb, mioglobin porfirin.
3) Berat jenis: kurang dari 1,015 (menetap pada 1.010 menunjukan kerusakan ginjal
berat.
4) Osmolaritas: kurang dari 300 mosm/kg menunjukan kerusakan tubular dan rasio
urin = Serum sering 1:1
5) Klirens kreatinin: mungkin agak menurun
6) Natrium : lebih besar dari 40 meq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorpsi
natrium
7) Protein : derajat tinggi proteinuria (3-4) secara kuat menunjukan kerusakan
glomerulus bila sel darah merah dan fragmen juga ada
b. Darah
1) BUN atau Creatinin: biasanya meningkat dalam proporsi kadar kreatinin 10 mg/dl
diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5)
2) Hitung darah lengkap: Ht menurun pada adanya anemia, Hb biasanya kurang dari
7-8 g/dl
3) Sel darah merah : waktu hidup menurun pada defisiensi eritropoetin seperti pada
azotemia
4) Analisa gas darah : Ph: penurunan Ph kurang dari 7,2 terjadi karena kehilangan
kemampuan ginjal untuk mengekskresikan hydrogen dan amonia atau hasil akhir
katabolisme protein. Bicarbonate menurun, PCO2 menurun
5) Natrium serum : mungkin rendah bila ginjal kehabisan natrium atau normal
(menunjukan status defusi hipernatremia)
6) Kalium: peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan
(asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis SDM). Pada tahap akhir
perubahan EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 mEq atau lebih besar.
7) Magnesium/fosfat : meningkat
8) Kalium menurun
9) Protein khususnya (albumin) : kadar serum menurun dapat menunjukan
kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, atau
penurunan sintesis karena kurang asam amino esensial
c. Osmolaritas serum : lebih besar dari 285 mosm/kg sering sama dengan urin
d. KUB foto : menunjukan ukuran ginjal / ureter/ kandung kemih dan adanya obstruksi
(batu)
e. Pielogram retrograd : menunjukan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
f. Artenogram ginjal : mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskuler
g. Sistouretrogram berkemih : menunjukan ukuran kandung kemih reflek kedalam
ureter, retensi
h. Ultrasona ginjal : mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel
jaringan untuk diagnostik histologis
i. Endoskopi ginjal, nefroskopi : dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal : keluar
batu, hematuria, dan pengangkatan tumor selektif
j. EKG : mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan, elektrolit dan asam/basa
k. Foto kaki, tengkorak, kolumna spinal dan tangan dapat menunjukan deminralisasi,
klasifikasi

8. Penatalaksanaan Konservatif Gagal Ginjal Kronik.


a. Memperlambat Progresi Gagal Ginjal.
1) Pengobatan hipertensi target penurunan tekanan darah yang dianjurkan lebih dari
140/90 mmHg.
2) Pembatasan asupan protein bertujuan untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus.
3) Restriksi fosfor untuk mencegah hiperparatiroidisme sekunder.
4) Mengurangi proteinurea.
5) Mengendalikan hiperlipidemia.
b. Mencegah Kerusakan Ginjal Lebih Lanjut.
1) Pencegahan kekurangan cairan, dehidrasi dan kehilangan elektrolit dapat
menyebabkan gagal ginjal. Kelainan yang dapat ditemukan adalah penurunan
tugor kulit, kulit dan mukosa kering, gangguan sirkulasi ortostatik, penurunan
vena jugularis dan penurunan tekanan vena sentral merupakan tanda-tanda yang
membantu menegakkan diagnosis.
2) Sepsis dan ISK akan memperburuk faal ginjal.
3) Hipertensi yang tidak terkendali. Kenaikan tekanan yang lanjut akan
memperburuk fungsi ginjal. Tetapi penurunan tekanan darah yang berlebihan juga
akan memperburuk fungsi ginjal. Obat-obatan yang dapat diberikan adalah
furosemial, obat penyekat beta, vasodilator, antagonis kalsium dan penghambat
alfa. Dosis obat disesuaikan dengan GFR karena kemungkinan adanya akumulasi
obat.
4) Obat-obat nefrotoksik seperti amino-glikosid, OAINS (obat anti inflamasi
nonsteroid), kontras radiology harus dihindari.
5) Kehamilan dapat memperburuk fungsi ginjal, memperburuk hipertensi dan
meningkatkan kemungkinan terjadinya eklamsia. Resiko kehamilan meningkat
apaabila kreatinin serum > 1.5 mg/dl dan apaabila kadar kreatinin serum > 3
mg/dl dianjurkan tidak hamil.
c. Pengelolaan Uremia dan Komplikasinya.
1) Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pasien dengan gagal ginjal lanjut
mengalami peningkatan jumlah cairan ekstraseluler karena retensi cairan dan
natrium. Peningkatan cairan intravaskuler menyebabkan hipertensi, sementara
ekspansi cairan ke ruang interstisial menyebabkan edema. Hiponatremi sering
juga ditemukan pada kasus GGK lanjut akibat ekskresi air yang menurun oleh
ginjal. Penatalaksanaan meliputi retraksi asupan cairan dan natrium serta
pemberian terapi diuretic. Jenis diuretic yang menjadi pilihan adlah furosemid
karena efek furosemid tergantung pada sekresi aktif ditubulus proksimal. Asupan
cairan dibatasi < 1000ml/hari pada keadaan berat < 500 ml/hari. Natrium
diberikan < 2-4 gram/hari.
2) Asidosis metabolic. Manifestasi timbul apabila GFR < 25 ml/menit. Diet rendah
protein 0,6 gram/hari membantu mengurangi kejadian asidosis. Bila bikarbonat
serum turun sampai < 15-17 mEq/L harus diberikan substitusi alkali (tablet
natrium bikarbonat).
3) Hiperkalemia terjadi akibat ekskresi kalium melalui urin berkurang, keadaan
metabolic, makanan (pisang) dapat meningkatkan kadar kalium. Hiperkalemia
dapat menimbulkan kegawatan jantung dan kematian mendadak akibat aritmia
kordis yang fatal. Untuk mengatasi kegawatan akibat hiperkalemi dapat diberikan
obat-obat berikut:
a) Kalsium glukosa 10%, 10 ml darah waktu 10 menit IV.
b) Bikarbonas natrikus 50-150 mEq IV dalam waktu 15-30 menit.
c) Insulin dan glukosa 6 U insulin dan glukosa 50 g dalam waktu 1 jam.
d) Kayexalate (resin pengikat kalsium) 25-50 gram oral atau rectal.
4) Diet rendah protein. Diet rendah protein akan mengurangi akumulasi hasil akhir
metabolisme protein yaitu ureum dan toksik uremik. Selain itu diet tinggi protein
akan mempercepat timbulnya glomerulosklerosis akibat meningkatnya beban
kerja glomerulus (hiperfiltrasi glomerulus) dan fibrosis interstisial. Kalori
diberikan 35 kal/kg BB, protein 0,6 gram/kg BB/hari.
5) Anemia, penyebab utama anemia pada GGK adalah defisiensi eritropoetin.
Penyebab lainnya adalah perdarahan gastrointestinal, umur eritrosit yang pendek
dan adanya hambatan eritropoiesis, malnutrisi dan defisiensi besi. Tranfusi darah
yang baik apabila hemoglobin kurang dari 8gram% dengan pemberian
eritropoetin.
d. Kalsium dan Fosfor.
Untuk mencegah terjadinya hiperparatiroidisme sekunder, kadar fosfor serum
harus dikendalikan dengan diet rendah fosfor (daging dan susu). Apabila GFR < 30
ml/menit,diperlukan pemberian pengikat fosfor seperti kalsium karbonat atau kalsium
asetat serta pemberian vitamin D yang bekerja meningkatkan absorbsi kalsium di
usus. Vitamin D juga mensupresi sekresi hormone paratiroid.
e. Hiperuresemia. Alopurinol sebaiknya diberikan 100-300 mg apabila kadar asam urat
>10mg/dl atau apabila adaa riwayat penyakit gout.
Penatalaksanaan konservatif dihentikan apabila pasien sudah memerlukan dialysis tetap
atau transplantasi. Pada tahap ini biasanya GFR sekitar 5-10 mL/ menit dan ditemukan
keadaan berikut :
a. Asidosis metabolic yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
b. Hiperkalemia yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
c. Overload cairan (edema paru)
d. Ensefalopati uremik, penurunan kesadaran
e. Efusi pericardial
f. Sindrom uremia: mual, muntah, anoreksia dan neuropati yang memburuk

2. ANALISA DATA KEPERAWATAN

Data Masalah Penyebab

DS: Ketidakefektifan penurunan suplai O2


1. Pasien mengatakan badan perfusi jaringan dan nutrisi
terasa lemah. Renal kejaringan sekunder
2. pasien mengatakan nyeri
terhadap penurunan
pada pinggang. Nyeri
COP
hilang
timbul, skala nyeri
nyeri
seperti seperti ditusuk
dan
ada rasa kram pada
sendi-
sendi kaki,

DO :
1. Pasien tampak lemah.
2. Pasien tampak gelisah
3. Mukosa mulut kering.
4. Terpasang IUFD Nacl 0,9 %
12jm/kolf.
Kr : 10,0 mg/dl
Ur: 97 mg/dl
5. TD: 140/100 mmHg
HR: 100x/i
RR: 20x/i
Suhu: 36,70c
DS : Ketidakseimbangan Nausea, vomitus,
1. Pasien mengatakan nafsu nutrisi kurang dari mual dan muntah,
makan berkurang kebutuhan tubuh gangguan
2. Pasien mengatakan
metabolism protein
tenggorokan terasa kering
3. Pasien mengatakan
mengalami penurunan
berat
habis ¼ porsi
3. Konjungtiva anemis, mukosa
kering
4. BB sehat : 75 Kg
BB sakit : 69 Kg
5. Kr : 10,0 mg/dl
Ur: 97 mg/dl
6. TD: 140/100 mmHg
HR: 100x/i
RR: 20x/i
Suhu: 36,70c
DS : Intoleransi aktivitas badan keletihan,

1. Pasien mengatakan badanya anemia, retensi

terasa lesu dan lemas produk sampah,


2. Pasien mengatakan kepala
prosedur dialisis

terasa pusing
DO:
1. Pasien tampak lesu dan

Lemas
2. Pasien tampak berbaring di

tempat tidur
3. Hb: 11,6 g/dl
7. Kr : 10,0 mg/dl
Ur: 97 mg/dl
8. TD: 140/100 mmHg
HR: 100x/i
RR: 20x/i
Suhu: 36,70c

I. RENCANA KEPERAWATAN
N Diagnos Intervensi
a
Keperawa NO NIC
O tan C

Ketidakefektifan ortostatik, dan


perfusi jaringan renal Kriteria Hasil:
keadekuatan
berhubungan dengan 1. Tekanan systole dan
penurunan suplai O2 dinding nadi)
diastole dalam batas
dan nutrisi kejaringan
1. Monitor HMT,
sekunder terhadap normal
penurunan COP. Ureum, albumin,
2. Tidak ada gangguan
total protein,
mental, orientasi
serum osmolalitas
kognitif dan kekuatan
dan urin
otot
2. Observasi tanda-
3. Na, K, Cl, Ca, Mg,
BUN, Creat dan
Biknat dalam batas
normal
4. Tidak ada distensi
vena leher
Ketidakseimbangan Tujuan dan Kriteria Hasil Energy
nutrisi kurang dari Tujuan dan Kriteria Hasil Management
kebutuhan tubuh 1) Monitor respon
1. Nutritional status:
berhubugan dengan
dengan nausea, kardiorespiras i
Adequacy of
vomitus, mual dan terhadap
muntah, gangguan nutrient
metabolism protein aktivitas
2. Nutritional Status :
(takikardi,
food and Fluid
disritmia, dispneu,
Intake
diaphoresis, pucat,
Weight Control
tekanan
hemodinamik dan
jumlah
respirasi)
Intoleransi aktivitas 1. Monitor dan catat
1. Mempertahankan
badan keletihan, pola dan jumlah
anemia, retensi interaksi sosial
produk sampah, tidur pasien
2. Mengidentifikasi
prosedur dialisis. 3. Monitor lokasi
faktor- faktor fisik dan
ketidaknyama
psikologis yang
nan atau
menyebabkan kelelahan
nyeri selama
3. Mempertahankan
kemampuan untuk bergerak dan
konsentrasi aktivitas
4. Monitor intake
nutrisi
. Jelaskan pada pasien
hubungan kelelahan
dengan proses penyakit
Diagnosa Tindakan
Keperawatan Keperawatan

sekunder terhadap albumin, total protein, serum


penurunan COP. osmolalitas dan urin
3. Mengobservasi tanda-tanda cairan
berlebih/ retensi (CVP menigkat, oedem,
distensi vena leher dan asites)
4. Mempertahankan intake dan output
secara akurat
5. Memonitor TTV
Ketidakseimbangan 1. mengkaji adanya alergi makanan
nutrisi kurang dari 2. Berkolaborasi dengan ahli gizi untuk
kebutuhan tubuh menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang
berhubugan dengan dibutuhkan pasien
dengan nausea, vomitus, 3. Mengajarkan pasien bagaimana membuat
mual dan muntah, catatan makanan harian.
gangguan metabolism 4. Memonitor adanya penurunan BB dan gula
protein. darah
5. Memonitor turgor kulit
6. Memonitor kekeringan, rambut kusam, total
protein, Hb dan kadar Ht
7. Memonitor mual dan muntah
8. Memonitor pucat, kemerahan, dan
kekeringan jaringan konjungtiva
9. Memonitor intake nuntrisi
Intoleransi aktivitas 1. Memonitor respon kardiorespirasi
badan keletihan, anemia, terhadap aktivitas (takikardi, disritmia,
retensi produk sampah, dispneu, diaphoresis,
BAB V
KESMPULAN DAN SARAN

A. KESMPULAN
Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan proses kerusakan ginjal
selama rentang waktu lebih dari tiga bulan. Pada kasus tersebut, ginjal
kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan volume dan komposisi
cairan tubuh dalam keadaan asupan makanan normal (Muhammad, 2012). Pada
derajat awal penyakit CKD belum menimbulkan gelaja dan tanda, bahkan
hingga laju filtrasi glomerulus sebesar 60% pasien masih asimtomatik tapi
sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Keluhan yang timbul
pada fase ini biasanya berasal dari penyakit yang mendasari kerusakan ginjal,
seperti edema pada pasien dengan sindroma nefrotik atau hipertensi sekunder
pada pasien dengan penyakit ginjal polikistik. Kelainan secara klinis dan
laboratorium baru terlihat dengan jelas pada derajat 3 dan 4. Saat laju filtrasi
glomerulus sebesar 30%, keluhan seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu
makan berkurang dan penurunan berat badan mulai dirasakan pasien.

B. SARAN

1. Bagi rumah sakit


Sebagai suatu tempat pelayanan kesehatan diharapkan mampu
mempertahankan dan meningkatkan kualitas mutu pelayanan
kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup sehat
masyarakat.
2. Bagi perawat
Bagi perawat diharapkan dapat mempertahankan asuhan
keperawatan yang telah sesuai dengan standar prosedur yang
ada.
Mempertahankan pendokumentasian asuhan keperawatan dengan
baik dan mengikuti ilmu keperawatan yang terbaru.
3. Bagi institusi pendidikan
Institusi pendidikan hendaknya bisa memperbanyak kerjasama
dengan rumah sakit lain guna meningkatkan proses pembelajaran
DAFTAR PUSTAKA

Barbara, CL., 1996, Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan proses keperawatan),


Bandung.

Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa: Waluyo
Agung., Yasmin Asih., Juli, Kuncara., I.made karyasa, EGC, Jakarta.

Carpenito, L.J., 2000, Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis, alih bahasa: Tim
PSIK UNPAD Edisi-6, EGC, Jakarta

Carpenito, Lynda Juall. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC

Corwin, Elizabeth J, 2004. Buku Saku Patofisiologi, Jakarta : EGC.

Doenges, Marilynn. E. 1999, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan &
Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi : 3, Jakarta : EGC.

Doenges,M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C., 1993, Rencana Asuhan Keperawatan untuk


perencanaan dan pendukomentasian  perawatan Pasien, Edisi-3, Alih bahasa;
Kariasa,I.M., Sumarwati,N.M., EGC, Jakarta

Guyton, Arthur C, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi, 9. Jakarta : EGC

Mansjoer, Arief. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3.Jilid 2. Jakarta : Mediaesculapius

McCloskey&Bulechek, 1996, Nursing Interventions Classifications, Second edisi, By Mosby-


Year book.Inc,Newyork

NANDA, 2001-2002, Nursing Diagnosis: Definitions and classification,Philadelphia, USA

Price, Sylvia A. 2004. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai