Anda di halaman 1dari 11

Tugas Kardiotorasik I

Nama : Andi Suci Kumala Sari


NIM : C135192003

1. Sebutkan bagian jalan nafas atau airway yang tidak terlibat dalam proses
respirasi ?
Bagian jalan nafas atau airway yang tidak terlibat dalam proses respirasi di sebut
zona konduksi. Zona konduksi berperan sebagai saluran tempat lewatnya udara
pernapasan, serta membersihkan, melembabkan dan menyamakan suhu udara
pernapasan dengan suhu tubuh. Disamping itu zona konduksi juga berperan pada
proses pembentukan suara. Zona konduksi terdiri dari hidung, faring, trakea,
bronkus, serta bronkioli terminalis.

2. Sebutkan Pembagian Volume atau Kapasitas Paru ?


Volume dan kapasitas seluruh paru tiap orang berbeda- beda, pada wanita
kira-kira 20 sampai 25 persen lebih kecil dibandingkan pria, dan lebih besar lagi
pada orang yang bertubuh atletis dan bertubuh besar dibandingkan orang yang
astenis dan bertubuh kecil.

a. Volume Paru

Terdapat empat volume paru yang didefinisikan dan bila keempatnya


dijumlahkan akan menghasilkan volume maksimal paru yang mengembang.
Secara umum, nilai-nilai volume untuk wanita sedikit lebih rendah
dibandingkan laki-laki. Volume paru yang dapat diukur adalah sebagai
berikut :

1. Volume tidal (tidal volume)


Adalah volume udara yang masuk atau keluar aru selama satu kali
bernapas normal, besarnya yaitu 6-7 ml/kgBB atau rerata sekitar 500 ml
pada orang dewasa.
2. Volume cadangan inspirasi (inspiratory reserve volume)
Adalah volume udara cadangan tambahan yang masih dapat secara
maksimal dihirup diatas volume tidal. IRV dicapai dengan inspirasi
paksa. Nilai IRV biasanya mencapai 3000 ml.
3. Volume cadangan ekspirasi (expiratory reserve volume)
Adalah volume udara cadangan tambahan yang secara aktif dapat
dihembuskan dengan mengkontraksikan otot-otot ekspirasi (ekspirasi
paksa) melebihi udara yang secara normal dihembuskan secara pasif.
Nilai ERV rerata adalah 1000 ml.
4. Volume residu atau volume sisa (residual volume)
Volume udara yang tetap tersisa dalam paru meskipun telah dilakukan
ekspirasi maksimal, 1200 ml pada laki-laki dan  1100 ml pada
perempuan.
Volume minimal adalah komponen dari volume residu yaitu
volume udara yang tetap tersisa di paru meskipun paru kolaps, jumlahnya 
30-120 ml. Volume minimal tidak dapat diperiksa pada orang sehat. Volume
minimal terjadi karena adanya surfaktan yang melapisi alveoli.
Volume respirasi semenit yaitu jumlah total udara baru yang masuk
ke dalam saluran napas tiap menit, disimbolkan dengan VE, didapat dengan
mengalikan frekuensi napas (f) dengan volume tidal (VT). Volume tidal
normal kira - kira 500 ml dan frekuensi napas normal kira - kira 12 kali
permenit. Oleh karena itu rata - rata volume respirasi semenit dalam keadaan
tenang yaitu sekitar 6 liter per menit.

b. Kapasitas Paru

1. Kapasitas Inspirasi (inspiratory capacity)


Volume maksimal udara yang dapat diinspirasi setelah selesainya suatu
siklus nafas tenang. Kapasitas inspirasi adalah jumlah dari volume tidal
dan volume cadangan inspirasi.
2. Kapasitas Sisa Fungsional (functional residual capacity)
Volume udara yang tersisa di paru pada akhir siklus nafas tenang,
merupakan jumlah dari volume cadangan ekspirasi dan volume residu.
3. Kapasitas Vital (vital capacity)
Volume udara yang dapat diinspirasi maksimal dan diekspirasi
maksimal pada satu siklus nafas, merupakan penjumlahan dari volume
cadangan ekspirasi, volume tidal, dan volume cadangan inspirasi.
volumenya  4500 ml pada laki- laki dan  3500 ml pada perempuan.
4. Kapasitas Paru Total (total lung capacity)
Volume paru total yang dihitung dari jumlah kapasitas vital dan volume
sisa. Kapasitas paru total pada laki-laki  6000 ml dan pada perempuan
 4500 ml.

3. Sebutkan alat-alat yang di gunakan untuk ventilasi satu paru ?


a. Double lumen tube (DLT)
DLT memiliki dua lumen dan dua cuff, yaitu satu pada trakea, dan
lainnya pada bronkus utama. DLT tersedia dalam dua bentuk, yaitu ke arah
kanan dan kiri berdasarkan arah lumen bronkialnya. DLT kiri lebih sering
dipakai karena sulit untuk memastikan DLT kanan tidak menyebabkan oklusi
bronkus lobus kanan atas sehingga dapat terjadi atelektasis. Terdapat beberapa
jenis DLT, antara lain Robertshaw, Carlens, Rusch, dan White. Ukuran DLT
yang tersedia adalah 41, 39, 37, 35 dan 29 F. Penggunaan DLT memberikan
kontrol yang besar dalam isolasi paru dan pergantian ventilasi dua paru ke satu
paru. DLT memungkinkan pengisapan sekret dan penggunssn continuous
positive airway (CPAP) atau Positive end expiratory pressure (PEEP). DLT
mungkin tidak cocok untuk pasien dengan sulit jalan napas atau pasien berisiko
aspirasi dan berat badan dibawah 35kg.

Gambar. Skema DLT


A= lumen bronkial, B= lumen trakeal, C= ballon pilot cuff bronkial, D= ballon pilot cuff
trakeal, E= cuff trakea, F= cuff bronkial.

DLT dapat diinsersi dengan menggunakan introducer dan laringoskopi


standar. Ketika ujung tip DLT telah melewati pita suara maka introducer dapat
dilepas. DLT dimasukkan ke lumen bronkus dengan lengkung menghadap ke
anterior, dan saat melewati laring dirotasikan 70-90 derajat ke arah bronkus
yang akan diintubasi. Posisi DLT yang benar sangat vital. Hingga 12% dari
semua DLT dapat berubah posisi selama operasi, sehingga direkomendasikan
untuk konfirmasi posisi DLT dengan menggunakan fiberoptic bronchoscope
(FOB) pascainsersi.
b. Endobronchial blocker
ETT dengan lumen tunggal dengan kateter dengan balon sebagai
bronchial blocker dapat digunakan untuk melakukan ventilasi satu paru.
Tersedia juga rongga intralumen suction atau pemberian oksigen pada paru
yang terisolasi.
c. Intubasi trakeal kombinasi dengan kateter bertip balon
Menggunakan ETT biasa kemudian bronkus utama diisolasi dengan
bronchial blocker khusus (Arndt endobronchial blocker), kateter embolektomi
Fogarty, atau penggunaan kateter Foley pada bronkus utama. Pada pasien
pediatri dapat digunakan kateter arteri pulmonalis (Swan Ganz). Posisi yang
tepat untuk penempatan balon mungkin sulit dan teknik ini tidak
memungkinkan tindakan suction ataupun ventilasi pada paru yang terisolir.
A.

A. Robertshaw kanan
B.

B. Rusch kiri

4. Sebutkan penilaian-penilaian preoperative yang di lakukan sebelum


pembedahan dengan ventilasi satu paru ?
Mayoritas kasus yang memerlukan ventilasi satu paru merupakan karsinoma
paru atau bronkus, massa mediastinum, dan penyakit pada esofagus. Pasien biasanya
berusia lanjut, memiliki riwayat merokok lama, dan disertai penyakit komorbid lain.
Fokus penilaian prabedah adalah menilai fungsi kardiorespirasi pasien. Jika ditemukan
infeksi aktif atau suara mengi harus segera diberikan terapi. Pada beberapa pasien
kondisi ini mungkin terkait dengan keganasan paru dan tidak diobati sebelum
pembedahan.Pemeriksaan yang disarankan:
1. Pemeriksaan darah rutin
Pada pemeriksaan darah lengkap dapat ditemukan polisitemia akibat kebiasaan
merokok atau leukositosis akibat infeksi aktif. Pada pemeriksaan foto toraks dapat
ditemukan area konsolidasi, kolaps, dan efusi pleura.
2. Spirometri dan analisis gas darah (AGD)
Spirometri harus dilakukan pada semua pasien yang akan menjalani reseksi paru.
Parameter berikut dikaitkan dengan peningkatan risiko komplikasi paru setelah
pneumonektomi:
a. Forced vital capacity (FVC) <50% terprediksi atau <1,75-2 L
b. Forced expiratory volume (FEV1) >2 L., mortalitas = 10%, < 2 L, mortalitas=
20-45%
c. Maximal Breathing Capacity (MBC) <50-60% terprediksi, mortalitas-5-32%
Respons terhadap bronkodilator harus dinilai pada pasien dengan
penyakit saluran napas obstruktif.
Pada pemeriksaan AGD didapatkan retensi CO₂ pada bronkitis
kronis. Nilai PaCO, >50 mmHg dan atau PaO, <60 mmHg sering dikaitkan
dengan peningkatan risiko komplikasi paru pasca bedah
3. Pemeriksaan fungsi split lung
Pasien yang tidak memenuhi kriteria untuk spirometri akan dilakukan
tes fungsi split lung. Jika FEVI pascabedah yang diperkirakan adalah >800
ml., pasien dapat dipertimbangkan untuk pneumonektomi. Jika FEV1
<800ml, pneumonektomi fungsional dapat dilakukan dengan menguji
respons pasien terhadap oklusi balon arteri pulmonal. Pasien tidak dilakukan
pneumonektomi jika tekanan arteri pulmonal melebihi 35 mmHg atau PaO2
<45 mmHg. Namun, teknik ini invasif, mahal, dan jarang digunakan.

Penjelasan kepada pasien perlu dilakukan, termasuk menfaat dan risiko


manajemen nyeri pascabedah bila menggunakan patient-controlled analgesia (PCA)
atau epidural torakal. Pemberian premedikasi prabedah sebaiknya ringan, terutama
pada pasien yang berisiko mengalami hipoksia karena depresi pernapasan. Persiapan
pernapasan pada prabedah yang harus dilakukan:
1. Penghentian merokok minimal 4 minggu sebelum pembedahan
2. Pengobatan yang tepat untuk bronkospasme dan infeksi saluran pernapasan
3. Edukasi fisioterapi mengenai Latihan pernapasan pascabedah
4. Pemeriksaan darah lengkap wajib bagi pasien yang sedang menjalani rekresi
paru
5. Jelaskan secara ringkas ?
- Myasthenia gravis
Pada pasien dengan myasthenia gravis, timektomi sering kali dilakukan untuk
mengurangi gejala myasthenia. pengangkatan tumor. Tata laksana suportif sindrom
vena kava superior meliputi optimalisasi preload, elevasi kepala untuk minimalisasi
kompresi jantung atau pembuluh darah besar, pemasangan akses intravena pada
ekstremitas bawah, dan ventilasi spontan untuk meningkatkan aliran balik vena.²
puluh lima persen pasien mengalami perbaikan kondisi setelah timektomi dan 35%
pasien mengalami remisi dan meningkatkan karan jangka panjang Penundaan operasi
timektomi dikaitkan dengan perburukan gejala myasthenia gravis. Beberapa terapi
pendukung, seperti terapi antikolinesterase, dapat meningkatkan fungsi otot. dapat
mengurangi konsentrasi antibody dan meningkatkan fungsi respirasi pascabedah.
Persiapan psikologis prabedah juga penting untuk dilakukan pada pasien dengan
myasthenia gravis karena stres psikis dapat mencetuskan krisis myasthenia dan
pendekatan bedah membutuhkanwaktu untuk memberikan hasil yang adekuat.

Penilaian prabedah pada pasien mistenia gravis harus meliputi fungsi


pernapasan dan pemeriksaan radiologis yang sesual. Pasien dengan keterlibatan
otot bulbar sering kali juga menderita gangguan refleks batuk sehingga
meningkatkan risiko infeksi paru. Penilaian juga meliputi fungsi tiroid karena 3-
8% pasien disertai dengan hipertiroidisme dan mengganggu fungsi otot.
Myasthenia gravis dapat disertai oleh gangguan miokard sehingga fungsi jantung
sebaiknya dinilai dengan saksama. Pemeriksaan ekokardiografi dapat dilakukan
jika ada tanda-tanda gangguan fungsi jantung.
Terapi yang didapatkan oleh pasien harus diketahui dengan lengkap,
Azatiofrin dapat menghambat kerja pelumpuh otot non-depolarisasi dan dapat
memperpanjang kerja suksametonium. Terapi antikolinesterase prabedah bersifat
kontroversial karena dapat meningkatkan kinerja otot, kenyamanan pasien dan
menurunkan stres respiratorik, namun terapi tersebut dapat menurunkan aktivitas
kolinesterase, meningkatkan respons vagal dan kebutuhan pelumpuh otot
nondepolarisasi. Terapi antikolinesterase juga dapat mengakibatkan pemanjangan
kerja obat anestetik lokal yang mengandung gugusan ester. Reversal pelumpuh
otot juga sulit untuk dicapai jika enzim asetilkolinesterase telah dihambat
sepenuhnya.
Pelumpuh otot bekerja dengan cara menghambat transmisi neuromuskular
pada reseptor asetilkolin di tautan neuromuskular. Pada pasien dengan myasthenia
gravis, sensitivitas terhadap pelumpuh otot nendepolarisasi meningkat dan durasi
kerja pelumpuh otot akan memanjang akibat menurunnya jumlah reseptor
asetilkolin fungsional. Maka dari itu, pelampuh otot dapat diberikan dalam dosis
rendah dengan pemantauan fungsi neuromuskular yang adekuat. Selain itu,
blokade neuromuskular tidak selalu menggambarkan tingkat blokade di grup otot
lainnya. Suksametonium sebaiknya dihindari karena sebagian besar pasien
myasthenia gravis resisten terhadap obat tersebut dan dapat meningkatkan durasi
blokade fase II.
Pada saat induksi, pemberian ventilasi tekanan positif dapat dilakukan
untuk membantu pernapasan walaupun pelumpuh otot belum diberikan.
Myasthenia gravis dapat meningkatkan efek relaksasi otot oleh gas anestesi
sehingga efek relaksasi otot yang timbul akibat gas anestesi sudah cukup adekuat.
Ventilasi mekanik pascabedah sering kali diperlukan pada pasien dengan
myasthenia gravis, terutama pada pasien dengan klasifikasi Osserman III dan IV,
kapasitas vital rendah (<15 ml./kg), insisi pada sternotomi, riwayat gagal napas
akibat myasthenia, dan terapi steroid pascabedah. Pemanjangan durasi ventilasi
mekanik pascabedah dapat terjadi akibat penggunaan pelumpuh otot dan
atelectasis intraoperative.
Tata laksana nyeri pascabedah dapat diberikan secara multimodal, dengan
kombinasi analgetik neuraksial dan intravena. Pemberian opioid pascabedah dapat
dipertimbangkan untuk mendapatkan efek analgetic yang adekuat. Efek samping
depresi pernapasan akibat pemberian opioid bukan merupakan kontraindikasi
untuk tata laksana nyeri pascabedah.

- Superior Cava Syndrome


Obstruksi vena kava superior disebabkan oleh penekanan tumor terhadap
dinding vena kava, yang sering kali disebabkan oleh keganasan. Kumpulan gejala
akibat kompresi dan obstruksi vena kava superior dikenal dengan sindrom vena kava
superior. Obstruksi vena kava superior menyebabkan kongesti vena jugularis dan
brakialis, disertai dengan edema wajah dan ekstremitas atas, menimbulkan gejala
batuk, sesak disfagia, pembekakan wajah, leher, dan ekstremitas atas, pembekakan
jalan napas, dan distensi vena dinding dada. Kompresi vena kaya superior juga dapat
meningkatkan tekanan intrakranial karena gangguan drainase vena intrakranial
sehingga menyebabkan mual, kejang dan penurunan kesadaran.
Anestesi pada pasien dengan sindrom vena kava superior harus diperhatikan
secara khusus karena risiko komplikasi yang mengancam jiwa seperti kolaps system
kardiovaskular dan obstruksi jalan napas total. Teknik intubasi yang sesuai untuk
pasien dengan sindrom vena kava superior adalah teknik awake intubation. Intubasi
sebaiknya dilakukan dengan fasilitasi bronkoskop fiberoptik karena risiko kompresi
lumen trakea selama induksi dan intubasi. Sedasi sebaiknya diberikan dengan hati-
hati karena dapat menyebabkan kolaps jalan napas. Pasien dengan sindrom vena kava
superior sebagian besar membutuhkan ventilasi mekanik pascabedah karena edema
jalan napas masih dapat ditemukan hingga beberapa hari setelah pembedahan.
Tata laksana sindrom vena kava superior dibagi menjadi dua, yaitu terapi
suportif dan definitif. Terapi definitif meliputi kemoterapi, radioterapi yang sesuai
dengan jenis tumor dan pembedahan untuk pengangkatan tumor. Tata laksana
suportif sindrom vena kava superior meliputi optimalisasi preload, elevasi kepala
untuk minimalisasi kompresi jantung atau pembuluh darah besar, pemasangan akses
intravena pada ekstremitas bawah, dan ventilasi spontan untukn meningkatkan aliran
balik vena.

Anda mungkin juga menyukai