Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH HUKUM BISNIS DAN ETIKA PROFESI

KEWAJIBAN KARYAWAN DAN PERUSAHAAN

Disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas kelompok mata mata kuliah Hukum
Bisnis dan Etika Profesi dengan dosen pengajar Ibu Dian Dwinita Kurniawati, M.Si

Disusun Oleh:

Kelompok 6

Tiara Intania (21118083)


Tasya Sita Mutia (21118090)
Oktifridayanti Salsabila (21118096)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

BANDUNG

2022
DAFTAR ISI

KEWAJIBAN KARYAWAN DAN PERUSAHAAN............................................1

1. Kewajiban Karyawan Terhadap Perusahaan..........................................1

1) Tiga Kewajiban Karyawan yang Penting..................................................1

2) Melaporkan Kesalahan Perusahaan...........................................................5

2. Kewajiban Perusahaan Terhadap Karyawan..........................................8

1) Perusahaan Tidak Boleh Mempraktekkan Diskriminasi...........................8

2) Perusahaan Harus Menjamin Kesehatan dan Keselematan Kerja...........11

ii
KEWAJIBAN KARYAWAN DAN PERUSAHAAN

Terdapat dua tipe permasalahan mengenai etika dalam perusahaan.


Pertama, konflik antara kewajiban-kewajiban moral atau dilema moral. Sering
kali harus menghadapi dua kewajiban dalam satu waktu. Ada alasan untuk
memenuhi kewajiban pertama dan ada pula alasan untuk yang kedua, tetapi tidak
mungkin memenuhi dua kewajiban tersebut dalam satu waktu atau sekaligus.
Kedua, masalah etika lain yang dinilai berbeda oleh berbagai pihak. Ada yang
berpendapat boleh dan tidak. Di tengah perbedaan tersebut menginjak grey area
dalam etika atau kawasan kelabu, dimana kualitas etis sebuah perbuatan tidak
jelas, tidak putih (halal) dan tidak pula hitam (haram), tetapi terletak di tengah.

1. Kewajiban Karyawan Terhadap Perusahaan

1) Tiga Kewajiban Karyawan yang Penting

a. Kewajiban Ketaatan

Karyawan harus taat kepada atasannya di perusahaan, karena ia


bekerja di tempat tersebut. Orang yang memiliki ikatan kerja dengan
perusahaan, salah satu implikasi dari statusnya sebagai karyawan
adalah memenuhi perintah atasannya. Namun, tidak berarti bahwa
karyawan harus menaati semua perintah atasan.
Pertama, karyawan tidak perlu dan tidak boleh mematuhi perintah
untuk melakukan sesuatu yang tidak bermoral seperti membunuh
musuhnya, melakukan penipuan. Namun tidak sedikit pula karyawan
yang melakukan penipuan karena terpaksa dan ada juga yang ikut serta
dengan segenap hati karena memperoleh keuntungan, dan dari segi
etika mereka melibatkan diri dalam kegiatan yang tidak boleh
dilakukan.
Kedua, karyawan tidak wajib mematuhi perintah atasannya yang
tidak wajar, walaupun dari segi etika tidak ada keberatan. Perintah
tidak wajar adalah perintah yang tidak diberikan demi kepentingan
1
perusahaan, seperti memerintahkan untuk memperbaiki mobil pribadi,
merenovasi rumah pribadi, dan lain-lain. Karyawan perusahaan bukan
untuk mengerjakan pekerjaan yang berkepentingan dengan pribadi
atasan, jika mendapat perintah tersebut karyawan lebih baik
menolaknya.
Ketiga, karyawan tidak perlu mematuhi perintah yang memang
demi kepentingan perusahaan, tetapi tidak sesuai dengan penugasan
yang disepakati ketika menjadi karyawan di perusahaan tersebut.
Contohnya wanita yang diterima dalam perusahaan untuk suatu fungsi
manajemen, lama-kelamaan diberikan tugas sekretaris, wanita tersebut
tidak perlu mematuhi perintah tersebut karena tidak kerja sebagai
sekretaris. Tetapi kasus ini dalam praktek lebih sulit daripada kasus
melayani kepentingan pribadi atas. Kerap kali perusahaan meminta
agar karyawan bersedia mengerjakan tugas yang melebihi pekerjaan
yang biasanya dilakukan atau lebih lama dari jam kerja biasa. Namun
ada beberapa yang dapat dimengerti seperti order ekspor yang harus
diselesaikan pada hari tertentu, dan order itu sangat penting bagi
perusahaan. Dalam hal tersebut beberapa karyawan diminta membantu
untuk menyelesaikan pekerjaan mendesak walaupun melampaui tugas
biasanya.

b. Kewajiban Konfidensialitas

Kewajiban konfidensialitas adalah kewajiban untuk menyimpan


informasi yang bersifat konfidensial, dan karena itu rahasia yang telah
diperoleh dengan menjalankan suatu profesi. Konfidensialitas berasal
dari kata Latin confidere, yang artinya “mempercayai”. Dalam konteks
perusahaan, konfidensialitas bisa memegang peranan penting. Ketika
seseorang bekerja pada suatu perusahaan, bisa saja ia mempunyai
akses informasi rahasia. Contohnya akuntan, akuntan mengetahui
bagaimana keadaan finansial perusahaan, tetapi informasi tersebut
tidak boleh disebarluaskan dan wajib menjaga kerahasiaan. Kewajiban

2
konfidensialitas juga tidak hanya berlaku selama karyawan bekerja di
perusahaan, tetapi sampai ia pindah kerja, terutama jika pindah kerja.
Sangat tidak etis jika seseorang pindah kerja sambil membuka rahasia
ke perusahaan lama untuk alasan tertentu, dan industrial espionage
juga dianggap tidak etis. Trade secret atau rahasia perusahaan seperti
teknik produksi dan formula sebuah produk.
Kewajiban konfidensialitas terbatas pada informasi perusahaan,
tidak dengan keterampilan. Seorang programmer pindah kerja, ia tidak
boleh membawa program yang dibuatnya ke perusahaan baru, namun
keterampilan yang diperoleh dari perusahaan lama boleh dibawa ke
perusahaan baru.
Alasan etika yang mendasari kewajiban konfidensialitas ini adalah
perusahaan menjadi pemilik informasi rahasia itu. Membuka informasi
rahasia sama dengan mencuri, juga termasuk ide, pikiran, dan temuan
seseorang. Dasar kewajiban konfidensialitas karyawan adalah
intellectual property rights dari perusahaan. Membuka rahasia
perusahaan juga bertentangan dengan etika pasar bebas. Kewajiban
konfidensialitas penting dalam sistem ekonomi pasar bebas, dimana
kompetisi merupakan unsur hakiki.

c. Kewajiban Loyalitas

Kewajiban loyalitas merupakan konsekuensi seseorang sebagai


karyawan perusahaan. Karyawan harus mendukung tujuan perusahaan
karena ia melibatkan diri untuk ikut merealisasikan tujuan tersebut.
Karyawan juga harus menghindari apa yang dapat merugikan
kepentingan perusaan, sehingga memenuhi kewajiban loyalitas. Faktor
utama yang dapat membahayakan terwujudnya loyalitas adalah konflik
kepentingan, yaitu konflik antara kepentingan pribadi karyawan
dengan kepentingan perusahaan.

3
Karyawan tidak boleh menjalankan kegiatan pribadi yang bersaing
dengan kepentingan perusahaan. Contohnya karyawan pabrik kecap
yang sore harinya membuat kecap di rumah dengan formula
perusahaan dan menjualnya dengan harga yang lebih murah. Secara
bebas dan sengaja memasuki suatu situasi konflik harus dianggap tidak
etis.

Tidak hanya konflik aktual, tapi juga konflik potensial. Contohnya


akuntan yang memberi advice di bidang penjualan saham. Dengan
merangkap dua pekerjaan ini, suatu hari dapat timbul konflik
kepentingan. Ia dan kantornya mengaudit beberapa perusahaan dan
karena itu tahu persis keadaan finansialnya, sehingga ia dapat
memasuki situasi di mana secara potensial dapat timbul konflik
kepentingan, karena suatu saat ia harus memberi advice tentang saham
dari perusahaan yang ia tahun keadaan finansialnya.

Dalam konteks loyalitas ini termasuk juga masalah etis seperti


menerima komisi atau hadiah selaku karyawan perusahaan. Masalah
ini sering termasuk grey area atau kawasan kelabu, karena penilaian
moralnya sering berbeda. Komisi sebagai imbalan sah terdapat di
beberapa jenis pekerjaan seperti salesman, agen asuransi (broker), serta
biro perjalanan. Namun komisi yang dianggap tidak etis adalah yang
diberikan kepada karyawan secara pribadi dalam menjalankan tugas
atas nama perusahaannya dengan perusahaan lain. Misalnya, manajer
perkantoran harus membeli mebel untuk mengisi gedung baru dan ia
menghubungi perusahaan mebel dan mulai berunding mengenai jenis,
waktu penyelesaian, harga, dan lain-lain. Akhirnya disepakati di harga
400 juta rupiah dan sebagai komisi ditawarkan 10 persen, untuk
mengikat si karyawan agar lain kali kembali ke tempat yang sama. Di
Amerika komisi seperti ini disebut kickback.

4
Dalam kasus tersebut, terdapat tiga kemungkinan, (1) Manajer
mendapat diskon khusus, (2) Diskon yang diberi kepada setiap orang
yang membeli dalam kuantitas yang besar, dikantongi oleh manajer,
namun perusahaan membayar dengan harga resmi, (3) Manajer
mendapat komisi dengan menaikkan harga mebel yang dibeli, dengan
menulis sendiri harga pada kuitansinya. Cara pertama perusahaan tidak
dirugikan sama sekali, cara kedua perusahaan dirugikan secara tidak
langsung, dan cara ketifa tentu kemungkinan yang paling jelek.

Tingkat jeleknya komisi dipengaruhi oleh besar kecilnya, karena


faktor itulah yang menentukan kerugian bagi perusahaan. Masalah
komisi berkaitan erat dengan yang dikenal sebagai triade “korupsi,
kolusi, nepotisme” (KKN). Jalan keluarnya sebagian besar tergantung
dari sikap yang diambil perusahaan. Jika peraturannya tegas dan jelas,
kasus seperti ini tidak terjadi. Peraturan tersebut dapat dicantumkan
dalam kode etik perusahaan. Hal yang sama juga tentang hadiah yang
diberikan oleh perusahaan kepada karyawan saat menjalankan
tugasnya. Hadiah disini maksudnya untuk mempengaruhi karyawan
tersebut. Banyak perusahaan luar negeri yang memuat ketentuan
larangan menerima hadiah berharga di atas jumlah uang tertentu pada
kode etiknya, yang dapat membuat kawasan kelabu hilang. Hadiah
kecil tetap diperbolehkan, sedangkan hadiah besar dilarang.

Konteks kewajiban loyalitas sering dihubungkan dengan kesetiaan.


Dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris kata “loyal” selalu
dikaitkan dengan “setia”.

2) Melaporkan Kesalahan Perusahaan


Dalam literatur etika bisnis berbahasa Inggris masalah ini dikenal
dengan whistle blowing (meniup peluit), memiliki arti kiasan membuat
keributan untuk menarik perhatiaan orang banyak. Dalam etika, whistle
blowing memiliki arti khusus menarik perhatian dunia luar dengan

5
melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh sebuah organisasi. Dalam
konteks pemerintahan, misalnya seorang pegawai negeri memberitahukan
kepada pers tentang praktek korupsi atasannya. Whistle blowing dibatasi
dalam rangka bisnis, dan hanya jika dilakukan oleh karyawan tentang
perusahaan di mana ia bekerja. Karena seorang karyawan bisa mengetahui
banyak hal yang tidak diketahui oleh orang lain, bukan hanya hal yang
bersifat rahasia, tetapi juga praktek yang tidak etis. Etika disini adalah
ketika seorang karyawan membawa pengetahuan yang tidak etis di
perusahaannya keluar.

Whistle blowing internal adalah pelaporan kesalahan di dalam


perusahaan sendiri dengan melewati atasan langsung. Misalnya seorang
bawahan melaporkann kesalahan langsung kepada direksi, sambil
melewati kepala bagian dan manajer umum. Dan whistle blowing eksternal
adalah pelaporan kesalahan perusahaan kepada instansi di luar perusahaan.
Misalnya karyawan melaporkan jika perusahaannya tidak memenuhi
kontribusinya kepada Jamsostek atau tidak membayar pajak. Dan whistle
blowing eksternal inilah yang menimbulkan banyak masalah etika. Whistle
blowing ini juga hanya sebatas jika kesalahannya melebihi tahap pribadi
dan melibatkan perusahaan.

Pelaporan bisa dibenarkan secara moral jika memenuhi lima syarat


berikut ini:

a. Kesalahan perusahaan harus besar

Jika kesalahan perusahaan kecil, misalnya membayar pajak


sedikit kurang dari kewajibannya, hal itu tidak pantas dilaporkan.
Dalam kekaisaran Roma dikenal pepatah De minimis non curat
praetor, “Hakim tidak memperhatikan hal yang remeh”. Perkara
kecil tidak membenarkan untuk “membuat keributan”. Selama
kesalahan kecil, loyalitas terhadap perusahaan harus diutamakan.
Kesalahan yang dianggap besar ada tiga kemungkinan, (1)

6
Kesalahan perusahaan adalah besar, jika menyebabkan kerugian
yang tidak perlu untuk pihak ketiga (selain perusahaan dan si
pelapor), (2) Kesalahan dianggap besar jika terjadi pelanggaran
hak asasi manusia, (3) Kesalahan dianggap besar jika dilakukan
kegiatan yang bertentangan dengan tujuan perusahaan.

b. Pelaporan harus didukung oleh fakta yang jelas dan benar

Semua fakta tentang kesalahan harus jelas dan dimengerti dengan


betul oleh si pelapor. Tidak boleh terjadi, orang melaporkan sesuatu
secara faktual kurang jelas atau tidak dikuasai betul oleh si pelapor.
Laporan berupa “saya punya kesan..” “kalau tidak salah…” tidak dapat
diterima. Dalam konteks industri modern dengan teknologi tinggi,
syarat kedua ini sering sulit dipenuhi, karena hanya sedikit orang
betul-betul menguasai masalahnya. Dalam kasus kita, syarat kedua
pasti dipenuhi dengan baik. Ir. A dan Ir. B orang yang paling mengerti
masalah ini, karena ditugaskan memantau aspek keamanan dari proyek
ini. Tidak ada orang yang tahu lebih baik daripada mereka itu.

c. Pelaporan harus dilakukan semata-mata untuk mencegah


terjadinya kerugian bagi pihak ketiga, bukan karena motif lain

Kerugian besar kepada pihak ketiga bukan saja harus menjadi


kenyataan (syarat pertama), melainkan motif untuk melaporkan
kesalahan. Tidak etis jika melapor karena motif yang tidak murni,
walaupun kesalahannya memang besar. Whistle blowing karena motif
kurang murni sering terjadi. Misalnya karyawan yang sudah memutus
kontrak kerja dengan perusahaan karena kecewa, saat pergi ia balas
dendam, membuka praktek kurang etis dari perusahaan, seperti tidak
bayar pajak. Motifnya jelas kurang baik, mendiskreditkan perusahaan.
Motif lainnya mencari muka pada pemerintah, yang jelas bertolak
belakang dengan loyalitas terhadap perusahaan.

7
d. Penyelesaian masalah secara internal harus dilakukan dulu,
sebelum kesalahan perusahaan dibawa keluar

Jika karyawan bertanggung jawab, ia harus berusaha untuk


menyelesaikan masalah di dalam perusahaan sendiri melalui jalur yang
tepat. Hal itu juga sesuai dengan kewajiban loyalitasnya. Baru setelah
upaya penyelesaian secara internal gagal, boleh whistle blowing atau
berbicara kepada pers maupun media.

e. Harus ada kemungkinan real bahwa pelaporan kesalahan


akan mencatat sukses

Jika sebelumnya orang tahu bahwa pelaporan kesalahan tidak akan


menghasilkan apaapa, lebih baik tidak melapor. Tentu saja, sebelum
berlangsung, tidak pernah ada kepastian bahwa pelaporan akan
mencapai sasarannya, yaitu mencegah terjadinya kerugian untuk pihak
ketiga. Tetapi kita bisa berusaha untuk “membaca” situasi.

2. Kewajiban Perusahaan Terhadap Karyawan

1) Perusahaan Tidak Boleh Mempraktekkan Diskriminasi


Sekitar tahun 1950-an masih banyak diskriminasi dipraktekkan,
khususnya terhadap minoritas kulit hitam, keturunan dari budak - budak
yang dulu didatangkan dari Afrika untuk bekerja di perkebunan. Pada
waktu itu masih dinilai biasa saja, apabila sekolah atau perusahaan secara
prinsipil menolak menerima orang kulit hitam, Dan dalam banyak hal lain
kelompok hitam merasa dirinya diperlakukan kurang adil, dibandingkan
dengan warga negara lain. Kesadaran akan keadaan yang tidak beres ini
menimbulkan the civil rights movement, gerakan kaum kulit hitam untuk
memperoleh hak hak yang sama seperti warga negara Amerika lainnya.
Dengan kata lain, mereka menentang diskriminasi karena warna kulit.

Sejak tahun 1960-an, masalahnya lebih terfokuskan pada diskriminasi


terhadap wanita. Dan dalam bentuk itu masalah diskriminasi tentu tidak

8
terbatas pada Amerika Serikat saja, terapi menjadi masala untuk scluruh
dunia. Kemudian dipersoalkan lagi diskriminasi karena orientasi seksual
(homoseks), diskriminasi karena cacar badan, dan lain-lain.

a. Diskriminasi Dalam Konteks Perusahaan

Diskriminasi bisa berlangsung dalam semua sektor masyarakat,


termasuk dunia bisnis. Karena itu diskriminasi menjadi juga suatu
topik bagi etika bisnis. Diskriminasi berasal dari suatu kata Latin
(discernere) yang berarti: membedakan, memisahkan, memilah. Dalam
konteks perusahaan, dengan dikriminasi dimaksudkan: membedakan
antara berbagai karyawan berdasarkan alasan yang tidak relevan.
Biasanya alasan itu berakar dalam suatu pandangan stereotip terhadap
ras, agama, atau jenis kelamin. Misalkan suatu perusahaan amerika
tidak menerima karyawan berkulit hitam, karena berpendapat bahwa
orang kulit hitam malas bekerja. Lalu ada perusahaan menolak
menerima wanita sebagai manager, karena menilai bahwa wanita lebih
baik mengurus rumah tangga, dan posisi manager tidak cocok untuk
mereka. Dengan demikian, dikriminasi biasanya disertai prasangka.
Dengan kata lain, latar belakang bagi terjadinya diskriminasi adalah
pandangan rasisme, sektarianisme atau seksisme.

b. Argumen Etika Melawan Diskriminasi

Perusahaan tidak boleh mendiskriminasi, karena terdapat dasar


etika untuk menolak diskriminasi yaitu berdasarkan argumen –
argumen dibawah ini:

1. Dari Pihak Utilitarianisme : Diskriminasi merugikan


perusahaan itu sendiri dan juga masyarakat. Jika perusahaan
memperhatikan faktor – faktor lain selain kualitas karyawan,
maka perusahaan tersebut akan tertinggal kompetensi dengan
perusahaan lain, karena itu perusahaan harus menghindari

9
diskriminasi demi kepentingannya sendiri. Selain itu, jika
diskriminasi dilakukan, akan tercipta suatu suasana yang tidak
sehat dalam masyarakat. Suasana seperti itu tidak kondusif
untuk kegiatan sosial apa pun, termasuk juga bisnis. Karena itu
diskriminasi selalu harus dianggap tidak etis.

2. Deontologi menyediakan argumentasi lain. Mereka


menggarisbawahi bahwa diskriminasi melecehkan martabat
dari orang yang didiskriminasi. Mendiskriminasi seorang
karyawan karena warna kulit atau jenis kelamin berarti
menyamakan dia dengan satu ciri saja dan ciri itu justru tidak
relevan dalam hubungan dengan pekerjaan.

3. Alasan lain lagi berasal dari teori keadilan. Praktek


diskriminasi bertentangan dengan keadilan, khususnya keadilan
distributif atau keadilan membagi. Keadilan distributif
menuntut bahwa kita memperlakukan semua orang dengan cara
yang sama, selama tidak ada alasan khusus untuk
memperlakukan mereka dengan cara berbeda.

c. Beberapa Masalah Terkait

Penilaian terhadap diskriminasi bisa berubah karena kondisi


historis, sosial atau budaya dalam masyarakat. Masalah yang berkaitan
dengan diskriminasi tapi harus dibedakan dengannya adalah
favoritisme. Dalam konteks perusahaan, dengan favoritisme
dimaksudkan kecenderungan untuk mengistimewakan orang tertentu
(biasanya sanak saudara), dalam menyeleksi karyawan, menyediakan
promosi, bonus, fasilitas khusus, dan sebagainya. Seperti diskriminasi,
favoritisme pun merupakan bentuk memperlakulan orang dengan cara
tidak sama; tapi berbeda dengan diskriminasi, favoritisme tidak terjadi
karena prasangka buruk, melainkan justru preferensi. Kalau
diskriminasi bersifat negatif (menolak orang-orang tertentu),

10
favoritisme bersifat positif (mengutamakan orang-orang tertentu).
Favoritisme terjadi, bila perusahaan mengutamakan karyawan yang
berhubungan famili, berasal dari daerah yang sama, memeluk agama
yang sama, dan seterusnya.

2) Perusahaan Harus Menjamin Kesehatan dan Keselematan Kerja.


a. Beberapa Aspek Keselamatan Kerja

Keselamatan kerja bisa terwujud bilamana tempat kerja itu aman.


Dan tempat kerja adalah aman, apabila bebas dari risiko terjadinya
kccelakaan yang mengakibatkan si pekerja cedera atau bahkan mati.
Kesehatan kerja dapat direalisasikan karena tempat kerja dalam
kondisi schat. Tempat kerja bisa dianggap sehat, apabila bebas dari
risiko terjadinya gangguan kesehatan atau penyakit (occupational
diseases) sebagai akibat kondisi kurang baik di tempat kerja

b. Pertimbangan Etika

Hampir semua negara modern mempunyai peraturan hukum guna


melindungi keselamatan dan kesehatan kaum pekerja. Tetapi terlepas
dari adanya peraturan hukum, atasan di sini juga mempunyai
kewajiban moral. Peraturan hukum yang ada dilatarbelakangi alasan-
alasan etika dan kalau dalam suatu situasi tertentu peraturan hukum
belum cukup melindungi para pekerja, para atasan tidak bebas dari
kewajiban tetapi terikat dengan alasan-alasan etika. Adapun dasar etika
bagi kewajiban perusahaan untuk melindungi keselamatan dan
kesehatan para pekerja diantaranya:

1. Ada yang mencari dasar itu dalam hak si pekerja. Setiap


pekerja berhak atas kondisi kerja yang aman dan sehat. Kondisi
kerja yang berbahaya bisa mengancam jiwa para pekerja.
Mereka berhak bahwa hal itu tidak sampai terjadi.

11
2. Ada pengarang lain yang menemukan dasar itu dalam
deontologi Kant, khususnya dalam pikirannya bahwa manusia
selalu harus diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya dan tidak
pernah sebagai sarana belaka. Jika keselamatan dan kesehatan
kerja dibahayakan, maka itu berarti bahwa perusahaan
memperbudak para pekerja.
3. Kemungkinan lain lagi adalah menunjukkan dasar itu dengan
suatu argumentasi utilitarian. Bisa diperlihatkan bahwa tempat
kerja yang aman dan sehat paling menguntungkan bagi
masyarakat sendiri, khususnya bagi ekonomi negara. Dengan
kata lain, kewajiban etis ini sejalan dengan cost-benefit
analysis, Masyarakat sendiri- dan terutama ekonomi negara-
akan mengalami kerugian besar, jika proses produksi tidak
berlangsung dalam kondisi aman dan sehat

Tetapi jika si pekerja sungguh-sungguh bebas dalam hal ini,


beberapa syarat perlu dipenuhi dulu, diantaranya:

1. Harus tersedia pekerjaan alternatif, supaya si pekerja dapat


memilih pekerjaan lain tanpa risiko khusus, walaupun
barangkali dengan pembayaran lebih rendah.
2. Supaya pekerja dapat mengambil keputusan bebas, ia harus
diberi informasi tentang risiko yang berkaitan dengan
pekerjaannya. Itu berarti, atasan wajib menginformasikan
pekerja. Dalam hal ini perlu dicatat lagi bahwa informasi itu
harus diberikan sebelum si pekerja mulai bekerja.
3. Perusahaan selalu wajib berupaya, agar risiko bagi pekerja
seminimal mungkin. Dalam hal in perusahaan harus
melaksanakan semua peraturan keamanan yang ditetapkan oleh
pemerintah atau instansi berwenang lainnya.

12
3) Kewajiban Memberi Gaji Yang Adil
a. Menurut Keadilan Distributif

Gaji atau upah merupakan kasus jelas yang menurut


pelaksanaan keadilan, khususnya keadilan distributif. Sebagaimana
tentang perananan dan kedudukan kaum pekerja pada umumnya, ada
dua pandangan yang sangat berbeda, yaitu liberalisme dan sosialisme.
Pandangan yang dilatarbelakangi konsepsi liberalitis berpendapat
bahwa upah atau gaji dapat dianggap adil, bila merupakan imbalan
untuk prestasi. Pandangan ini melihat masalahnya terutama daris sudut
pandang perusahaan.Pandangan sosialistis dikemukakan dari sudut
pandang pekerja. Mereka menekankan bahwa gaji baru adil. Bisa saja
prestasi dua pekerja sama, tapi yang satu kebutuhan lebih banyak
karena sudah berkeluarga sedangkan yang lain belum.

Adil tidaknya gaji menjadi lebih komplelks lagi, jika kita akui
bahwa imbalan kerja lebih luas dari pada take-home pay saja. Fasilitas
khusus seperti rumah, kendaraan bantuan beras dan lain-lain harus
dipandang juga sebagai sebagian dari imbalan kerja.

b. Menurut Enam Faktor Khusus

Menurut Thomas Garrett dan Richard Klonoski, ada enam


kriteria supaya gaji itu adil atau fair, yaitu :

1. Peraturan hukum

Salah satu pertimbangan pertama untuk menentukan gaji/upah


yang adil adalah kesesuaiannya dengan hukum yang berlaku.
Disini yang terpenting adalah ketentuan hukum tentang upah
minimum.

2. Upah yang lazim dalam sektor industry tertentu atau daerah


tertentu.

13
Dalam semua sektor industry, gaji atau upah tidak sama. Karena itu
rupanya suatu kriteria yang baik adalah: gaji atau upah bisa dinilai
adil, jika rata-rata diberikan dalam sektor industry bersangkutan.

3. Kemampuan perusahaan

Perusahaan kuat yang menghasilkan laba besar, harus memberi gaji


lebih besar pula daripada perusahaan yang mempunyai marjin laba
yang kecil saja. Pemberian bonus ekstra juga pada akhir tahun
sesuai dengan besarnya laba, merupakan kebijakan yang sangat
baik.

4. Sifat khusus pekerjaan tertentu

Beberapa tugas dalam perusahaan hanya bisa dilakukan oleh orang


yang mendapat pendidikan atau pelatihan khusus, kadang-kadang
bahkan pendidikan sangat terspesialisasi.

5. Perbandingan dengan upah/gaji lain dalam perusahaan

Perusahaan yang memiliki sistem penggajian yang fair, akan


membayar gaji atau upah yang kira-kira sama dengan pekerjaan
yang sejenis.

6. Perundingan gaji/upah yang fair

Cara ini memberi jaminan lbih besar untuk mewujudkan keadilan


dari pada gaji atau upah yang ditentukan sepihak. Melalui
perundingan, sekaligus dapat diatur hal-hal yang penting juga
untuk kaum pekerja, seperti jaminan kesehatan, jumlah jam kerja,
dan lain-lain.

7. Senioritas dan imbalan rahasia

Kebiasaan ini menyimpang dari prinsip “pembayaran gaji yang


sama untuk pekerjaan yang sama”. Sebab, dalam hal ini dua orang

14
yang melakukan pekerjaan yang samatapi mempunyai senioritas
berbeda, justru tidak digaji dengan cara yang sama.

4) Perusahaan Tidak Boleh Memberhentikan Karyawan Dengan


Semena-mena
Dalam lingkungan perusahaan, pemberhentian karyawan sering tidak
bisa dihindarkan. Jika kita terjun dalam sistem bisnis modern, mau tidak mau
hal seperti ini kadang harus terjadi. Ada tiga alasan mengapa perusahaan akan
memberhentikan karyawan yaitu alasan internal perusahaan (restruktuasi,
otomatisasi, merger dengan perusahaan lain), alasan eksternal (konyungtur,
resesi ekonomi), dan kesalahan karyawan).

Menurut Garrett dan Klonoski, dengan lebih konkret kewajiban


majikan dalam mmberhentikan karyawan dapat dijalankan ke dalam tiga butir
berikut ini :

1. Majikan hanya boleh memberhentikan karena alasan yang


tepat.

Kalau karyawan diberhentikan karena alasan ekonomis, seperti


mendesaknya pelangsingan untuk memperbaiki kinerja perusahaan,
pimpinan harus sungguh-sungguh yakin akan perlunya tindakan
itu. Jika para pengambil keputusan ragu-ragu, mereka harus
menunda dulu keputusan itu demi mempertahankan kesempatan
kerja.

2. Majikan harus berpegang pada prosedur yang semestinya

Dalam hal ini, peraturan hukum harus dipegang dengan seksama.


Disamping itu perusahaan besarsebaiknya mempunyai aturan-
aturan internal yang menjamin prosedur pemberhentian yang jelas
dan terbuka.hal itu terutama mendesak, bila karyawan dipecat
dengan kesalahannya.

15
3. Majikan harus membatasi akibat negative bagi karyawan
sampai seminimal mungkin

Dibanyak negara, karyawan yang diberhentikan karena


kesalahannya pun, menurut peraturan hukum harus diberikan
pesangon. Hal itu tidak enak dilakukan majikan, tetapi tidak dapat
dinilai kurang adil, karena karyawan yang bersalah pun tidak boleh
terlantar. Satu cara yang banyak membantu untuk meringankan
efek-efek buruk dari PHK adalah memberitahukan prospek itu
kepada karyawan sebelumnya.

16

Anda mungkin juga menyukai