Primary Health Care ( PHC) adalah pelayanan kesehatan pokok yang berdasarkan kepada metode dan teknologi praktis, ilmiah dan sosial yang dapat diterima secara umum baik oleh individu maupun keluarga dalam masyarakat melalui partisipasi mereka sepenuhnya, serta dengan biaya yang dapat terjangkau oleh masyarakat dan negara untuk memelihara setiap tingkat perkembangan mereka dalam semangat untuk hidup mandiri (self reliance) dan menentukan nasib sendiri (self determination). Primary Health Care (PHC) diperkenalkan oleh World Health Organization (WHO) sekitar tahun 70-an, dengan tujuan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas. Di Indonesia, PHC memiliki 3 (tiga) strategi utama, yaitu: 1. Kerjasama multisektoral. 2. Partisipasi masyarakat. 3. Penerapan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan dengan pelaksanaan di masyarakat. Menurut Deklarasi Alma Ata (1978) PHC adalah kontak pertama individu, keluarga, atau masyarakat dengan sistem pelayanan. Pengertian ini sesuai dengan definisi Sistem Kesehatan Nasional (SKN) tahun 2009, yang menyatakan bahwa Upaya Kesehatan Primer adalah upaya kesehatan dasar dimana terjadi kontak pertama perorangan atau masyarakat dengan pelayanan kesehatan. Dalam mendukung strategi PHC yang pertama, Kementerian Kesehatan RI mengadopsi nilai inklusif, yang merupakan salah satu dari 5 nilai yang harus diterapkan dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan, yaitu pro-rakyat, inklusif, responsif, efektif, dan bersih. Di Indonesia, pelaksanaan Primary Health Care secara umum dilaksanakan melaui pusat kesehatan dan di bawahnya (termasuk sub-pusat kesehatan, pusat kesehatan berjalan) dan banyak kegiatan berbasis kesehatan masyarakat seperti Rumah Bersalin Desa dan Pelayanan Kesehatan Desa seperti Layanan Pos Terpadu (ISP atau Posyandu). Secara administratif, Indonesia terdiri dari 33 provinsi, 349 Kabupaten dan 91 Kotamadya, 5.263 Kecamatan dan 62.806 desa. Perencanaan Penanggulangan Bencana Rumah Sakit (Hospital Disaster Plan) adalah kegiatan perencanaan dari Rumah Sakit untuk menghadapi kejadian bencana, baik perencanaan untuk bencana yang terjadi di dalam Rumah Sakit (Internal Hospital Disaster Plan) Bencana terjadi diluar Rumah Sakit misalkan ap akah RS akan mengirim tim kelapangan? apakah RS tiba-tiba harus menerima korban masal? Sedangkan perencanaan Rumah Sakit dalam menghadapi bencana yang terjadi di luar Rumah Sakit (External Hospital Disaster Plan) misalnya bencana terjadi di Rumah Sakit (RS collaps). Adapun langkah-langkah menyusun Hospital Disaster Plan adalah adanya kebijakan, membentuk komite gawat darurat bencana, membuat struktur organisasi komite gawat darurat bencana, membuat protap, form dan fasilitas-fasilitas, mensosialisasikan program tersebut, melakukan pelatihan dan simulasi.
2.2. Tujuan Primary Health Care Disaster Plan
Dalam kegiatan ini puskesmas sebagai pemegang peranan utama terdepan untuk kesiapan bencana dan penanganan korban jika terjadi bencana diharapkan dapat menangani korban dalam jumlah yang banyak jika terjadi bencana, bahkan dapat mengidentifikasi potensial terjadinya bencana di lingkungan puskesmas. Kemudian Tujuan Dissaster Plan Hospital adalah: 1. Menentukan jenis, kemungkinan terjadi dan konsekuensi bahaya dan kejadian 2. Menentukan integritas struktural di lingkungan pelayanan 3. Menentukan peran RS dalam Kejadian bencana 4. Menentukan strategi komunikasi 5. Mengelola sumber daya selama kejadian
2.3. Bahaya potensial Primary Health Care Disaster Plan
Bahaya potensial merupakan suatu hal yang mengenai pekerja secara terus menerus dalam pelaksanaan pekerjaannya tersebut. Bahaya potensial ini memiliki efek yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Pada tempat pelayanan kesehatan, baik rumah sakit maupun puskesmas terdapat beberapa klasifikasi mengenai bahaya potensial. Berikut klasifikasi dari bahaya potensial, yakni : a) Bahaya Fisik Bahaya fisik merupakan bahaya sepertiruangan yang terlalu panas, terlalu dingin, bising, kurang penerangan, getaran yang berlebihan, radiasi dan lain sebagainya (Sucipto, 2014). Sedangkan menurut Ramli (2010), bahaya fisik adalah bahaya yang berasal dari faktor-faktor fisik. Contoh bahaya potensial fisik yakni suhu, vibrasi, radiasi, tekanan, pencahayaan, dan bising. b) Bahaya Kimia Bahaya kimia adalah jenis bahaya pekerjaan yang disebabkan oleh paparan bahan kimia di tempat kerja. Paparan bahan kimia di tempat kerja dapat menyebabkan efek kesehatan yang merugikan baik akut maupun jangka panjang. Contoh bahaya potensial kimia yakni pelarut organic, methanol, benzene, karbon tetrakhlorida, karbon disulfide, dan toluenta. c) Bahaya Biologi Bahaya biologi merupakan potensi bahaya yang berasal dari makhluk hidup (mikroorganisme) di lingkungan kerja yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Contoh bahaya potensial biologi yakni virus, bakteri, jamur, plasmodium, dan cacing. d) Bahaya dari Faktor Ergonomi Bahaya Ergonomi adalah hal-hal yang berkaitan dengan disain yang buruk pada sistem kerja. Bahaya ergonomi akan menimbulkan beberapa penyebab antara pada pekerja, yang berakhir pada kecelakaan kerja dan gangguan kesehatan. Contoh dari bahaya faktor ergonomi ialah teknologi, penyerasian alat, keterbatasan manusia. e) Bahaya dari Faktor Psikososial Psychological Hazard (Bahaya Psikologis) merupakan potensi bahaya yang berkaitan dengan aspek sosial psikologi maupun organisasi di lingkungan kerja yang dapat memberikan dampak terhadap fisik dan mental pekerja. Contoh bahaya dari faktor psikososial adalah stress, pola kerja yang tidak teratur, waktu kerja yang diluar waktu normal, beban kerja yang melebihi kapasitas mental, tugas yang tidak bervariasi, suasana lingkungan kerja yang terpisah atau terlalu ramai.
2.4. Rencana Primary Health Care Risk Management
Penanggulangan bencana yang efektif dimulai dari mengenali risiko bencana yang ada melalui kajian Risiko Bencana (KRB). Ketika hasil KRB telah tersedia dan berhasil mengidentifikasi ancaman bencana di suatu wilayah, salah satu bentuk tindak lanjut oleh pemerintah, khususnya pemerintah daerah, adalah menyusun dokumen RPKB. RPKB disusun untuk kesiapsiagaan untuk mengantisipasi jika bencana benar- benar terjadi, sesuai lingkup wilayah pemerintahan masing-masing. RPKB adalah rencana yang lebih menitikberatkan pada suatu kerangka kerja bagaimana pemerintah menanggapi darurat bencana secara taktis, baik di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota. Muatan RPKB adalah garis besar metode dan pelaksanaan penyelenggaraan bersama operasi kedaruratan multi ancaman bencana yang secara normatif menjabarkan doktrin, prinsip, kebijakan, strategi, asumsi, pembagian peran dan tanggung jawab, garis koordinasi dan komando, mekanisme kerja dan prioritas operasional yang akan diterapkan untuk memandu dan mendukung penanggulangan kedaruratan yang diakibatkan bencana. RPKB menggambarkan konsep operasi kedaruratan yang akan dilaksanakan secara menyeluruh oleh lembaga-lembaga pemerintah dan para stakeholder utama yang terlibat, beserta penggerakan sumber daya terkait secara terintegrasi dalam satu komando. Agar hal tersebut memungkinkan, RPKB juga mensinergikan peraturan perundangan terkait untuk mendukung kebijakan penanganan darurat bencana, termasuk mengintegrasikan isu- isu kunci. Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2008, perencanaan penanggulangan bencana disusun berdasarkan hasil analisis resiko bencana dan upaya penanggulangannya yang dijabarkan dalam program kegiatan penanggulangan bencana beserta rincian anggarannya. Penyusunan rencana penanggulangan bencana dirumuskan untuk jangka waktu lima tahun dan ditinjau kembali setiap dua tahun atau sewaktu-waktu apabila terjadi bencana. Rencana penanggulangan bencana dikoordinasikan oleh BNPB dan BPBD, berisi tentang pengenalan dan pengkajian ancaman bencana, pemahaman tentang kerentanan masyarakat, analisis kemungkinan dampak bencana, pilihan tindakan pengurangan risiko bencana, penentuan mekanisme kesiapan dan penanggulangan dampak bencana, serta alokasi tugas, kewenangan dan sumberdaya yang tersedia. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 menyebutkan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana di tingkat pusat ditangani oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan di tingkat daerah oleh Badan Penaggulangan Bencana Daerah (BPBD). Berikut akan diuraikan pengorganisasian penanggulangan bencana di tingkat pusat dan daerah. a. Tingkat pusat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merupakan lembaga pemerintah non departemen setingkat menteri yang memiliki fungsi merumuskan dan menetapkan kebijakan penanggulangan dan penanganan pegugsi secara cepat, tepat, efektif dan efisien serta mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu dan menyeluruh. Tugas BNPB adalah membantu Presiden R.I dalam mengkoordinasikan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan penanganan bencana dan kedaruratan secara terpadu, serta melaksanakan penanganan bencana da kedaruratan mulai dari sebelum, pada saat dan setelah terjadi bencanayang meliputi pencegahan, kesiapsiagaan, penanganan darurat dan pemulihan. b. Tingkat daerah Penanggulangan bencana di daerah ditangani oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Pada tingkat propinsi, BPBD dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah gubernur atau setingkat eselon Ib dan pada tingkat kabupaten/kota dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah bupati/walikota atau setingkat eselon IIa. Pada saat keadaan darurat bencana, Kepala BNPB dan Kepala BPBD berwenang mengerahkan sumberdaya manusia, peralatan dan logistik dari instansi/lembaga dan masyarakat untuk melakukan tanggap darurat yang meliputi permintaan, penerimaan dan penggunaan sumberdaya manusia, peralatan dan logistik.
2.5. Struktur Organisasi Primary Health Care Disaster Plan
2.6. Prosedur Penanganan Primary Health Care Disaster Plan
1. Pengaktifan Tim Bencana a. Merespon Informasi dari Dinas Kesehatan terkait status bencana dan menyiapkan penanganan bencana. b. Komandan berkoordinasi dengan kepala bidang operasional untuk melakukan pelayanan di masing masing sub klaster, pustu dan poskesdes c. Komandan mengaktifkan Tim Bencana. d. Tim bencana melakukan tupoksi masing masing selama masa tanggap darurat. 2. Manajemen Relawan Kesehatan a. Relawan Melapor kedatangan ke Puskesmas pada bagian sekretariat. b. Relawan yang sudah registrasi di Dinas Kesehatan menunjukkan id card dan bukti penempatan dari Dinas Kesehatan ke Puskesmas. c. Jika relawan belum registrasi di Dinas Kesehatan maka relawan menunjukkan surat tugas, kartu tanda pengenal, STR, SIK dan syarat lainnya. Kemudian puskesmas mendaftarkan relawan tersebut ke dinas kesehatan. d. Sekretaris menerima relawan dan berkoordinasi dengan tim perencanaan mengenai kebutuhan tenaga pada sub klaster. e. Tim Perencanaan merespon dan menempatkan relawan sesuai dengan kebutuhan di sub klaster kesehatan dan lokasi pengungsian. f. Tim Perencanaan berkoordinasi dengan tim logistik untuk menunjukkan lokasi penempatan relawan. g. Relawan bertugas sesuai dengan kebutuhan sub klaster. h. Relawan melaporkan pelayanan setiap harinya pada Pj. Sub Klaster terkait. i. Relawan yang sudah selesai bertugas melaporkan kepulangan ke sekretariat Tim Bencana Puskesmas. j. Sekretaris melepaskan tim relawan kembali ke Dinas Kesehatan. 3. Penerimaan Logistik Kesehatan a. Relawan yang datang membawa bantuan logistic kesehatan melapor ke PJ gudang logistic. b. PJ gudang logistic memeriksa kualitas dan kelayakan logistic sesuai dengan standar penggunaan (expired, kerusakan, bahasa, packing dan sebagainya). c. PJ gudang logistic berhak menolak bantuan logistic yang dinyatakan tidak sesuai dengan standar penggunaan. d. Jika logistic kesehatan mendekati kadaluarsa 3-6 bulan bisa diterima dengan catatan harus dibutuhkan puskesmas dan akan digunakan segera sebelum melewati masa kadaluarsa. e. PJ gudang logistic melakukan pencatatan bantuan logistic yang sudah memenuhi standar. f. PJ gudang logistic menyimpan obat ke gudang obat. g. Mendistribussikan obat sesuai dengan kebutuhan pos kesehatan. 4. Pencatatan dan Pelaporan Pelayanan Kesehatan a. Pos kesehatan mencatat semua kegiatan pelayanan yang dilakukan setiap hari pada formulir yang disediakan puskesmas. b. Pos kesehatan melaporkan hasil kegiatan pelayanan kesehatan kepada Puskesmas bidang perencanaan (surveilans) paling lama pukul 12.00 WIB setiap hari. c. Jika pos kesehatan jauh dari jangkauan puskesmas, maka pelaporan dapat dilakukan melalui aplikasi whatsapp sesuai format laporan yang disediakan puskesmas. d. PJ Surveilans mengumpulkan laporan dan melakukan perekapan laporan setiap hari. e. Hasil rekapan laporan dilaporkan ke dinas kesehatan pada rapat harian di dinas kesehatan pukul 16.00 WIB setiap hari. 5. Rujukan Korban Bencana a. Relawan atau petugas kesehatan yang menemukan korban di lapangan langsung melakukan pemeriksaan. b. Melakukan pertologan pertama jika memungkinkan. c. Jika korban membutuhkan perawatan lanjutan maka relawan/petugas kesehatan membawa korban ke pos kesehatan terdekat. d. Jika korban tidak tertangani di pos kesehatan makan korban dirujuk ke puskesmas. e. Puskesmas melakukan pemeriksaan dan tindakan pada korban, jika sumber daya dan peralatan tidak memadai maka korban dirujuk ke Rumah Sakit. 6. Permintaan Penambahan Tenaga Kesehatan a. Sekretaris melakukan analisis kebutuhan tenaga kesehatan saat bencana di puskesmas dan pos kesehatan lainnya. b. Jika puskesmas kekurangan tenaga pada saat bencana, kepala puskesmas mengajukan permintaan tenaga kesehatan ke Dinas Kesehatan. c. Bidang perencanaan mengatur penempatan tenaga kesehatan sesuai bidang dan kebutuhan. d. Tenaga kesehatan yang dikirim dinas kesehatan bekerja selama masa tanggap darurat bencana. e. Segala kebutuhan tenaga kesehatan yang dikirim ditanggung oleh puskesmas yang menugaskan setelah berkoordinasi dengan dinas kesehatan.