Anda di halaman 1dari 8

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Primary Health Care Disaster Plan


Primary Health Care ( PHC) adalah pelayanan kesehatan pokok yang
berdasarkan kepada metode dan teknologi praktis, ilmiah dan sosial yang dapat
diterima secara umum baik oleh individu maupun keluarga dalam masyarakat
melalui partisipasi mereka sepenuhnya, serta dengan biaya yang dapat terjangkau
oleh masyarakat dan negara untuk memelihara setiap tingkat perkembangan
mereka dalam semangat untuk hidup mandiri (self reliance) dan menentukan nasib
sendiri (self determination). Primary Health Care (PHC) diperkenalkan oleh
World Health Organization (WHO) sekitar tahun 70-an, dengan tujuan untuk
meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang
berkualitas. Di Indonesia, PHC memiliki 3 (tiga) strategi utama, yaitu:
1. Kerjasama multisektoral.
2. Partisipasi masyarakat.
3. Penerapan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan dengan
pelaksanaan di masyarakat.
Menurut Deklarasi Alma Ata (1978) PHC adalah kontak pertama
individu, keluarga, atau masyarakat dengan sistem pelayanan. Pengertian ini sesuai
dengan definisi Sistem Kesehatan Nasional (SKN) tahun 2009, yang menyatakan
bahwa Upaya Kesehatan Primer adalah upaya kesehatan dasar dimana terjadi
kontak pertama perorangan atau masyarakat dengan pelayanan kesehatan. Dalam
mendukung strategi PHC yang pertama, Kementerian Kesehatan RI mengadopsi
nilai inklusif, yang merupakan salah satu dari 5 nilai yang harus diterapkan
dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan, yaitu pro-rakyat, inklusif, responsif,
efektif, dan bersih. Di Indonesia, pelaksanaan Primary Health Care secara umum
dilaksanakan melaui pusat kesehatan dan di bawahnya (termasuk sub-pusat
kesehatan, pusat kesehatan berjalan) dan banyak kegiatan berbasis kesehatan
masyarakat seperti Rumah Bersalin Desa dan Pelayanan Kesehatan Desa seperti
Layanan Pos Terpadu (ISP atau Posyandu). Secara administratif, Indonesia
terdiri dari 33 provinsi, 349 Kabupaten dan 91 Kotamadya, 5.263 Kecamatan
dan 62.806 desa.
Perencanaan Penanggulangan Bencana Rumah Sakit (Hospital Disaster Plan)
adalah kegiatan perencanaan dari Rumah Sakit untuk menghadapi kejadian bencana,
baik perencanaan untuk bencana yang terjadi di dalam Rumah Sakit (Internal Hospital
Disaster Plan) Bencana terjadi diluar Rumah Sakit misalkan ap akah RS akan
mengirim tim kelapangan? apakah RS tiba-tiba harus menerima korban masal?
Sedangkan perencanaan Rumah Sakit dalam menghadapi bencana yang terjadi di luar
Rumah Sakit (External Hospital Disaster Plan) misalnya bencana terjadi di Rumah
Sakit (RS collaps). Adapun langkah-langkah menyusun Hospital Disaster Plan adalah
adanya kebijakan, membentuk komite gawat darurat bencana, membuat struktur
organisasi komite gawat darurat bencana, membuat protap, form dan fasilitas-fasilitas,
mensosialisasikan program tersebut, melakukan pelatihan dan simulasi.

2.2. Tujuan Primary Health Care Disaster Plan


Dalam kegiatan ini puskesmas sebagai pemegang peranan utama terdepan untuk
kesiapan bencana dan penanganan korban jika terjadi bencana diharapkan dapat
menangani korban dalam jumlah yang banyak jika terjadi bencana, bahkan dapat
mengidentifikasi potensial terjadinya bencana di lingkungan puskesmas. Kemudian
Tujuan Dissaster Plan Hospital adalah:
1. Menentukan jenis, kemungkinan terjadi dan konsekuensi bahaya dan kejadian
2. Menentukan integritas struktural di lingkungan pelayanan
3. Menentukan peran RS dalam Kejadian bencana
4. Menentukan strategi komunikasi
5. Mengelola sumber daya selama kejadian

2.3. Bahaya potensial Primary Health Care Disaster Plan


Bahaya potensial merupakan  suatu hal yang mengenai pekerja secara terus menerus
dalam pelaksanaan pekerjaannya tersebut. Bahaya potensial ini memiliki efek yang
dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Pada tempat pelayanan kesehatan, baik
rumah sakit maupun puskesmas terdapat beberapa klasifikasi mengenai bahaya
potensial. Berikut klasifikasi dari bahaya potensial, yakni :
a) Bahaya Fisik
Bahaya fisik merupakan bahaya sepertiruangan yang terlalu panas, terlalu
dingin, bising, kurang penerangan, getaran yang berlebihan, radiasi dan lain
sebagainya (Sucipto, 2014). Sedangkan menurut Ramli (2010), bahaya fisik
adalah bahaya yang berasal dari faktor-faktor fisik. Contoh bahaya potensial
fisik yakni suhu, vibrasi, radiasi, tekanan, pencahayaan, dan bising.
b) Bahaya Kimia
Bahaya kimia adalah jenis bahaya pekerjaan yang disebabkan oleh
paparan bahan kimia di tempat kerja. Paparan bahan kimia di tempat kerja
dapat menyebabkan efek kesehatan yang merugikan baik akut maupun jangka
panjang. Contoh bahaya potensial kimia yakni pelarut organic, methanol,
benzene, karbon tetrakhlorida, karbon disulfide, dan toluenta.
c) Bahaya Biologi
Bahaya biologi merupakan potensi bahaya yang berasal dari makhluk hidup
(mikroorganisme) di lingkungan kerja yang dapat menimbulkan gangguan
kesehatan. Contoh bahaya potensial biologi yakni virus, bakteri, jamur,
plasmodium, dan cacing.
d) Bahaya dari Faktor Ergonomi
Bahaya Ergonomi adalah hal-hal yang berkaitan dengan disain yang buruk
pada sistem kerja. Bahaya ergonomi akan menimbulkan beberapa penyebab
antara pada pekerja, yang berakhir pada kecelakaan kerja dan gangguan
kesehatan. Contoh dari bahaya faktor ergonomi ialah teknologi, penyerasian
alat, keterbatasan manusia.
e) Bahaya dari Faktor Psikososial
Psychological Hazard (Bahaya Psikologis) merupakan potensi bahaya yang
berkaitan dengan aspek sosial psikologi maupun organisasi di lingkungan
kerja yang dapat memberikan dampak terhadap fisik dan mental pekerja.
Contoh bahaya dari faktor psikososial adalah stress, pola kerja yang tidak
teratur, waktu kerja yang diluar waktu normal, beban kerja yang melebihi
kapasitas mental, tugas yang tidak bervariasi, suasana lingkungan kerja yang
terpisah atau terlalu ramai.

2.4. Rencana Primary Health Care Risk Management


Penanggulangan bencana yang efektif dimulai dari mengenali risiko bencana
yang ada melalui kajian Risiko Bencana (KRB). Ketika hasil KRB telah tersedia dan
berhasil mengidentifikasi ancaman bencana di suatu wilayah, salah satu bentuk tindak
lanjut oleh pemerintah, khususnya pemerintah daerah, adalah menyusun dokumen
RPKB. RPKB disusun untuk kesiapsiagaan untuk mengantisipasi jika bencana benar-
benar terjadi, sesuai lingkup wilayah pemerintahan masing-masing. RPKB adalah
rencana yang lebih menitikberatkan pada suatu kerangka kerja bagaimana pemerintah
menanggapi darurat bencana secara taktis, baik di tingkat nasional, provinsi maupun
kabupaten/kota. Muatan RPKB adalah garis besar metode dan pelaksanaan
penyelenggaraan bersama operasi kedaruratan multi ancaman bencana yang secara
normatif menjabarkan doktrin, prinsip, kebijakan, strategi, asumsi, pembagian peran
dan tanggung jawab, garis koordinasi dan komando, mekanisme kerja dan prioritas
operasional yang akan diterapkan untuk memandu dan mendukung penanggulangan
kedaruratan yang diakibatkan bencana. RPKB menggambarkan konsep operasi
kedaruratan yang akan dilaksanakan secara menyeluruh oleh lembaga-lembaga
pemerintah dan para stakeholder utama yang terlibat, beserta penggerakan sumber
daya terkait secara terintegrasi dalam satu komando. Agar hal tersebut
memungkinkan, RPKB juga mensinergikan peraturan perundangan terkait untuk
mendukung kebijakan penanganan darurat bencana, termasuk mengintegrasikan isu-
isu kunci.
Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2008, perencanaan
penanggulangan bencana disusun berdasarkan hasil analisis resiko bencana dan upaya
penanggulangannya yang dijabarkan dalam program kegiatan penanggulangan
bencana beserta rincian anggarannya. Penyusunan rencana penanggulangan bencana
dirumuskan untuk jangka waktu lima tahun dan ditinjau kembali setiap dua tahun atau
sewaktu-waktu apabila terjadi bencana. Rencana penanggulangan bencana
dikoordinasikan oleh BNPB dan BPBD, berisi tentang pengenalan dan pengkajian
ancaman bencana, pemahaman tentang kerentanan masyarakat, analisis kemungkinan
dampak bencana, pilihan tindakan pengurangan risiko bencana, penentuan mekanisme
kesiapan dan penanggulangan dampak bencana, serta alokasi tugas, kewenangan dan
sumberdaya yang tersedia.
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 menyebutkan bahwa penyelenggaraan
penanggulangan bencana di tingkat pusat ditangani oleh Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) dan di tingkat daerah oleh Badan Penaggulangan
Bencana Daerah (BPBD). Berikut akan diuraikan pengorganisasian penanggulangan
bencana di tingkat pusat dan daerah.
a. Tingkat pusat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merupakan
lembaga pemerintah non departemen setingkat menteri yang memiliki fungsi
merumuskan dan menetapkan kebijakan penanggulangan dan penanganan pegugsi
secara cepat, tepat, efektif dan efisien serta mengkoordinasikan pelaksanaan
kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu dan menyeluruh.
Tugas BNPB adalah membantu Presiden R.I dalam mengkoordinasikan
perencanaan dan pelaksanaan kegiatan penanganan bencana dan kedaruratan
secara terpadu, serta melaksanakan penanganan bencana da kedaruratan mulai dari
sebelum, pada saat dan setelah terjadi bencanayang meliputi pencegahan,
kesiapsiagaan, penanganan darurat dan pemulihan.
b. Tingkat daerah Penanggulangan bencana di daerah ditangani oleh Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Pada tingkat propinsi, BPBD dipimpin
oleh seorang pejabat setingkat di bawah gubernur atau setingkat eselon Ib dan
pada tingkat kabupaten/kota dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah
bupati/walikota atau setingkat eselon IIa. Pada saat keadaan darurat bencana,
Kepala BNPB dan Kepala BPBD berwenang mengerahkan sumberdaya manusia,
peralatan dan logistik dari instansi/lembaga dan masyarakat untuk melakukan
tanggap darurat yang meliputi permintaan, penerimaan dan penggunaan
sumberdaya manusia, peralatan dan logistik.

2.5. Struktur Organisasi Primary Health Care Disaster Plan

2.6. Prosedur Penanganan Primary Health Care Disaster Plan


1. Pengaktifan Tim Bencana
a. Merespon Informasi dari Dinas Kesehatan terkait status bencana dan
menyiapkan penanganan bencana.
b. Komandan berkoordinasi dengan kepala bidang operasional untuk
melakukan pelayanan di masing masing sub klaster, pustu dan poskesdes
c. Komandan mengaktifkan Tim Bencana.
d. Tim bencana melakukan tupoksi masing masing selama masa tanggap
darurat.
2. Manajemen Relawan Kesehatan
a. Relawan Melapor kedatangan ke Puskesmas pada bagian sekretariat.
b. Relawan yang sudah registrasi di Dinas Kesehatan menunjukkan id
card dan bukti penempatan dari Dinas Kesehatan ke Puskesmas.
c. Jika relawan belum registrasi di Dinas Kesehatan maka relawan
menunjukkan surat tugas, kartu tanda pengenal, STR, SIK dan syarat
lainnya. Kemudian puskesmas mendaftarkan relawan tersebut ke dinas
kesehatan.
d. Sekretaris menerima relawan dan berkoordinasi dengan tim
perencanaan mengenai kebutuhan tenaga pada sub klaster.
e. Tim Perencanaan merespon dan menempatkan relawan sesuai dengan
kebutuhan di sub klaster kesehatan dan lokasi pengungsian.
f. Tim Perencanaan berkoordinasi dengan tim logistik untuk
menunjukkan lokasi penempatan relawan.
g. Relawan bertugas sesuai dengan kebutuhan sub klaster.
h. Relawan melaporkan pelayanan setiap harinya pada Pj. Sub Klaster
terkait.
i. Relawan yang sudah selesai bertugas melaporkan kepulangan ke
sekretariat Tim Bencana Puskesmas.
j. Sekretaris melepaskan tim relawan kembali ke Dinas Kesehatan.
3. Penerimaan Logistik Kesehatan
a. Relawan yang datang membawa bantuan logistic kesehatan melapor ke
PJ gudang logistic.
b. PJ gudang logistic memeriksa kualitas dan kelayakan logistic sesuai
dengan standar penggunaan (expired, kerusakan, bahasa, packing dan
sebagainya).
c. PJ gudang logistic berhak menolak bantuan logistic yang dinyatakan
tidak sesuai dengan standar penggunaan.
d. Jika logistic kesehatan mendekati kadaluarsa 3-6 bulan bisa diterima
dengan catatan harus dibutuhkan puskesmas dan akan digunakan
segera sebelum melewati masa kadaluarsa.
e. PJ gudang logistic melakukan pencatatan bantuan logistic yang sudah
memenuhi standar.
f. PJ gudang logistic menyimpan obat ke gudang obat.
g. Mendistribussikan obat sesuai dengan kebutuhan pos kesehatan.
4. Pencatatan dan Pelaporan Pelayanan Kesehatan
a. Pos kesehatan mencatat semua kegiatan pelayanan yang dilakukan
setiap hari pada formulir yang disediakan puskesmas.
b. Pos kesehatan melaporkan hasil kegiatan pelayanan kesehatan kepada
Puskesmas bidang perencanaan (surveilans) paling lama pukul 12.00
WIB setiap hari.
c. Jika pos kesehatan jauh dari jangkauan puskesmas, maka pelaporan
dapat dilakukan melalui aplikasi whatsapp sesuai format laporan yang
disediakan puskesmas.
d. PJ Surveilans mengumpulkan laporan dan melakukan perekapan
laporan setiap hari.
e. Hasil rekapan laporan dilaporkan ke dinas kesehatan pada rapat harian
di dinas kesehatan pukul 16.00 WIB setiap hari.
5. Rujukan Korban Bencana
a. Relawan atau petugas kesehatan yang menemukan korban di lapangan
langsung melakukan pemeriksaan.
b. Melakukan pertologan pertama jika memungkinkan.
c. Jika korban membutuhkan perawatan lanjutan maka relawan/petugas
kesehatan membawa korban ke pos kesehatan terdekat.
d. Jika korban tidak tertangani di pos kesehatan makan korban dirujuk ke
puskesmas.
e. Puskesmas melakukan pemeriksaan dan tindakan pada korban, jika
sumber daya dan peralatan tidak memadai maka korban dirujuk ke
Rumah Sakit.
6. Permintaan Penambahan Tenaga Kesehatan
a. Sekretaris melakukan analisis kebutuhan tenaga kesehatan saat
bencana di puskesmas dan pos kesehatan lainnya.
b. Jika puskesmas kekurangan tenaga pada saat bencana, kepala
puskesmas mengajukan permintaan tenaga kesehatan ke Dinas
Kesehatan.
c. Bidang perencanaan mengatur penempatan tenaga kesehatan sesuai
bidang dan kebutuhan.
d. Tenaga kesehatan yang dikirim dinas kesehatan bekerja selama masa
tanggap darurat bencana.
e. Segala kebutuhan tenaga kesehatan yang dikirim ditanggung oleh
puskesmas yang menugaskan setelah berkoordinasi dengan dinas
kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai