Anda di halaman 1dari 2

Pada masa pandemi covid 19 ini, aspek kebersihan dan kesehatan merupakan aspek terpenting

untuk mencegah penularannya. Salah satu kebersihan yang harus dijaga adalah kebersihan alat
dapur dan alat makan. Bakteri yang menempel pada piring dan gelas yang digunakan makan dan
minum menjadi salah satu jalan masuknya bakteri itu ke dalam tubuh manusia.
Berdasarkan penelitian Sinaga (2013) jumlah koloni pada piring penjual gado-gado di Solor Kota
Kupang sebanyak 29714 koloni/cm2. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lado, R.Y.(2020)
bahwa keberadaan bakteri Escherichia coli pada peralatan makan di warung makan wilayah
Babarsar sebesar 4,3x104 CFU/cm2 yang artinya tidak memenuhi syarat dikarenakan melebihi
standar baku mutu sesuai peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1096/Menkes/Per/VI/2011 yaitu 0 (nol) atau <1x101 CFU/cm2. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia tersebut mengatur tentang persyaratan pengolah makanan yang dapat
berpotensi membawa kuman atau bakteri yang menempel pada tangan dan dapat juga menempel
pada peralatan makan ketika orang tersebut mneyentuhnya.
Bakteri yang ada di tangan biasanya berupa bakteri Staphylococcus aureus, Staphylococcus
epidermis, Basillus cereus, dan Escherichia coli (Khaerunnisa, R.R., dkk, 2015). Kulit manusia
tidak bisa terhindar dari bakteri, walaupun sudah dibersihkan masih tetap ada bakteri walaupun
sedikit, namun jika tidak dibersihkan otomatis bakteri di kulit akan semakin banyak khususnya
kulit daerah tangan. Data WHO menunjukkan, tangan mengandung bakteri yang jumlahnya
39.000—460.000 CFU/cm2 dan dapat berpindah tempat ketika tangan menyentuh barang-barang
lainnya (Walidah, I., dkk. 2014). Bakteri Staphylococcus aureus, dan Staphylococcus epidermis
dapat berkembang biak di makanan dan dapat menimbulkan toksin sehingga mengakibatkan
orang yang memakan makanan tersebut mengalami keracunan (Grifith, 2003).
Bakteri yang ada di piring ataupun gelas dapat dibunuh dengan mencuci terlebih dahulu dengan
sabun cuci piring sebelum digunakan. Produk sabun cuci piring saat ini sudah banyak beredar
dipasaran dengan berbagai merk. Namun pengembangan sabun cuci piring saat ini masih
menggunakan bahan kimia aditif berupa triklosan sebagai zat antibakterinya. Penggunaan sabun
cuci piring yang mengandung triklosan dapat mengakibatkan iritasi kulit dan gangguan endokrin.
Melihat adanya kelemahan tersebut, dibutuhkan formulasi sabun cuci piring dengan penambahan
zat antibakteri alami yang lebih aman pada kulit manusia untuk menggantikan sabun cuci piring
berbahan triklosan. Zat antibakteri alami ini bisa didapat dari berbagai bagian tanaman yang ada
di Indonesia.
Tanaman nanas madu biasanya dimanfaatkan sebagai olahan makanan. Olahan buah nanas madu
ini akan mengakibatkan semakin banyaknya limbah kulit nanas madu, sehingga dibutuhkan
terobosan baru dalam mengolah limbah kulit nanas madu yang dihasilkan. Indonesia memiliki
beragam tanaman yang mempunyai kandungan zat antibakteri salah satunya tanaman nanas
madu.
Kulit nanas madu mengandung senyawa flavonoid, tanin, dan saponin (Yeragamreddy et al,
2013). Selain itu juga penelitian oleh Husniah, I. dan Gunata, A.F. (2020) menunjukkan hasil
bahwa kulit nanas madu mengandung senyawa flavonoid, bromelin, tanin, oxalat, dan pitat.
Flavonoid dapat menyebabkan penghambatan terhadap sintesis asam nukleat. Selain itu
flavonoid juga menghambat metabolisme energi dari bakteri. Flavonoid merupakan senyawa
metabolit sekunder sebagai komponen antibakteri yang potensial. Selain itu, Bromelin
merupakan enzim proteolitik yang dapat memecah molekul protein. Bromelin dapat memutus
ikatan protein pada bakteri sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Aktivitas,
spesifisitas dan produksi dari enzim bromelin lebih banyak pada bagian kulit nanas madu
dibandingkan dengan buah dan batang. Sehingga daya hambat bakteri pada kulit nanas madu
lebih besar daripada bagian lain dari buah nanas madu. (Mohapatra et al, 2013).
Kulit nanas madu memiliki daya hambat bakteri yang lebih besar dibanding dengan buah nanas
madu. Ekstrak etanol kulit nanas madu menunjukkan adanya aktivitas antibakteri terhadap
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Oleh karena itu, ekstrak kulit nanas dipilih sebagai
zat aditif dalam formulasi sabun cuci piring.
Penelitian yang dilakukan oleh Hanimah (2020) telah melakukan pengembangan formulasi sabun
cuci piring menggunakan ekstrak kulit nanas madu untuk menambah daya efektifitas antibakteri
pada sabun cuci piring. Produk sabun cuci piring dengan penambahan zat aditif ekstrak kulit
nanas madu memiliki beberapa kelebihan. Zat antibakteri yang digunakan berupa zat antibakteri
alami yang terkandung dalam kulit nanas madu. Sehingga dapat menghindari adanya iritasi kulit
yang disebabkan oleh zat antibakteri berupa triklosan. Produksi sabun cuci piring ini juga dapat
mengurangi limbah kulit nanas madu di Indonesia. Selain itu, alat dan bahan yang digunakan
dalam produksi sabun cuci piring ini juga sederhana, sehingga dapat dilakukan dalam industri
rumah tangga.
Pada penelitian tersebut juga telah dilakukan uji aktivitas antibakteri terhadap bakteri E.coli dan
Staphylococcus aureus. Dari penelitian tersebut diperoleh formulasi terbaik pada penambahan
20% ekstrak kulit nanas madu dengan daya aktivitas antibakteri sabun cuci piring terhadap
bakteri Staphylococcus aureus memiliki daya hambat rerata sebesar 16,47mm yang masuk pada
kategori kuat sebagai antibakteri. Sedangkan aktivitas antibakteri sabun cuci piring terhadap
bakteri Escherichia coli memiliki daya hambat rerata sebesar 8,91mm masuk pada kategori
sedang sebagai antibakteri.
Tetapi produk sabun cuci piring ekstrak kulit nanas madu tersebut belum dilakukan uji standar
mutu dan uji organoleptik. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengujian untuk mengetahui
apakah formulasi sabun cuci piring yang dikembangkan telah memenuhi standar nasional
Indonesia (SNI) 4075-2: 2017 dan uji organoleptik untuk mengetahui tingkat kesukaan
konsumen.

Anda mungkin juga menyukai