Anda di halaman 1dari 17

BAB 1.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam kekayaan alam. Salah satu bukti kekayaan
alam yang dimiliki Indonesia yaitu mampu menjadi negara produsen kakao ke-3 terbesar di dunia setelah
Pantai Gading dan Ghana, dengan produksi sebesar 13% dari produksi kakao dunia. Adapun produksi
Pantai Gading dan Ghana masing-masing adalah 39% dan 19% (International Cocoa Organization
[ICCO], 2012). Berdasarkan data statistik dari Direktorat Jendral Perkebunan pada tahun 2009 luas areal
penanaman kakao telah mencapai 1.475.344 ha dan terbesar diseluruh provinsi dengan sentra produksi di
Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur dan Jawa Timur. Sebagian besar (>90%) areal
perkebunan kakao tersebut dikelola oleh rakyat. Kakao sering kali digunakan untuk berbagai macam
kebutuhan dikarenakan kandunganya yang sangat bermanfaat seperti dapat dijadikan sebagai bahan
pembuat coklat, pasta coklat, dan cocoa powder. Produk yang dapat dimanfaatkan tidak hanya dari buah
kakao saja, tetapi limbah kulit biji kakao juga dapat digunakan sebagai barang yang memiliki nilai guna,
salah satunya adalah hand sanitizer Antiseptik. Limbah kulit biji kakao di Indonesia belum dimanfaatkan
secara optimal dan nilai ekonomisnya rendah. Sejauh ini limbah kulit biji kakao hanya dimanfaatkan
sebagai pakan ternak dan kompos.
Sebagai mana diketahui pada masa pandemi Covid – 19 masyarakat lebih memperhatikan
kebersihan dan salah satunya adalah kebersihan tangan. Keberadaan sabun dan air terkadang tidak sesuai
dengan yang diinginkan. Air yang tersedia terkadang tidak bersih, berbau, serta keluar dari keran yang
sudah berkarat. Selain itu sabun yang digunakan Bersama - sama, terkadang menimbulkan kekhawatiran
atas kebersihan dan kesehatan pengguna sebelumnya. Hand sanitizer yang merupakan antiseptik
pembersih tangan hadir sebagai jalan keluar dari permasalahan tersebut. Namun beberapa jenis gel
antiseptic pembersih tangan (hand sanitizer) di pasaran masih menggunakan alcohol dengan konsentrasi
± 50% sampai 70% sebagai bahan antibakterinya. Penggunan alkohol dalam pembersih tangan dirasa
kurang aman terhadap kesehatan karena alkohol merupakan pelarut organik yang dapat melarutkan
lapisan lemak dan sebum pada kulit yang berfungsi sebagai pelindung terhadap infeksi mikroorganisme.
Alkohol juga mudah terbakar dan pada pemakaian berulang menyebabkan kekeringan dan iritasi pada
kulit (Block S. 2001). Maka dari itu diperlukan inovasi dalam pembuatan antiseptic yang berasal dari
bahan alam serta memanfaatkan limbah yang ada sehingga dapat mengurangi kerusakan pada
lingkungan.
Salah satu bahan alam yang dapat dijadikan hand sanitizer antiseptic adalah limbah kulit biji
kakao. Kulit biji kakao ini merupakan salah satu sumber limbah perkebunan di Indonesia. Penelitian
yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kulit biji kakao mengandung senyawa polifenol seperti
antosianin, katekin, dan leukoantosianidin yang berpotensi sebagai antioksidan. Sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Mulyatni dkk pada tahun 2012 melaporkan bahwa Ekstrak konsentrat
kulit biji kakao hibrida mempunyai potensi sebagai bahan antibakteri terhadap Escherichia coli, Bacillus
subtilis, dan Staphylococcus aureus. Ekstrak konsentrat kulit buah kakao paling efektif menghambat
pertumbuhan Staphylococcus aureus dengan konsentrasi hambat minimum (KHM) 8% (g/mL), jika
dibandingkan dengan bakteri Bacillus subtilis dan Escherichia coli dengan kadar hambat minimum
berturut-turut sebesar 16% (g/mL) dan 32% (g/mL).
Ada tiga komponen utama polifenol pada kakao, yakni katekin (37%), antosianin (4%), dan
proantosianidin (58%) (Hii et al., 2009). Kandungan polifenol yang terdapat dalam biji kakao
kemungkinan memiliki kandungan polifenol yang sama pada kulit biji kakao. Berdasarkan hasil
penelitian-penelitian tersebut, limbah biji kakao diiharapkan dapat memiliki nilai lebih dan dapat
menghasilka inovasi produk baru yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Tujuan :
1. Memberikan terobosan inovasi Hand sanitizer antiseptic gel dari limbah kulit biji kakao
2. Mensosialisasikan hand sanitizer yang memanfaatkan limbah kulit biji kokoa sehingga
mengurangi limbah yang ada
3. Memprioritaskan nilai ekonomi namun tetap memiliki tujuan untuk menciptakan nilai sosial
dalam hal ini urgensi tujuan pembangunan berkelanjutan.
4. Pemberdayaan sumber daya manusia Indonesia dengan menyediakan lapangan pekerjaan baru

Manfaat :

1. Memberikan ide inovasi untuk memanfaatkan limbah bahan alami menjadi produk yang
bermanfaat
2. Ikut memberikan kontribusi untuk mencapai sustainable development goals dalam hal ini di
bidang climate action dan life below water
3. Memaksimalkan penggunaan sumber daya alam Indonesia agar dapat memberikan manfaat lebih
bagi masyarakat
4. Menekankan pentingnya value peduli lingkungan dan sustainable product bagi partner mitra
usaha dan konsumen

Dapus latar belakang

Direktorat Jenderal Perkebunan. (2013). Produksi, luas areal dan produktivitas perkebunan di Indonesia.
Retrieved from http://ditjenbun.deptan.go.id/

International Cocoa Organization. (2012). International Cocoa Organization Quarterly Bulletin of Cocoa
Statistics, XXXVIII (4), Cocoa year 2011/2012. Retrieved from
http://www.icco.org/.

Block S. Disinfection, Sterilization and Preservation, 4th. Edition. Williams and Wilkins. P; 2001

Mulyatni AS, Budiani A, Taniwiryono D. Aktivitas antibakteri ekstrak kulit buah kakao (Theobroma
cacao L.) terhadap escherichia coli, bacillus subtilis, dan staphylococcus aureus. Jurnal Menara
Perkebunan 2012; 80(2) : 77-84.

Hii, C.L., C.L. Law, S. Suzannah, Misnawi and M. Cloke. Polyphenols in cocoa (Theobroma cacao L.).
Asian J of food and agro-industry 2009; 2 (4) : 702- 22.
Kulit buah kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu sumber limbah perkebunan di
Indonesia. Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kulit buah kakao mengandung
senyawa polifenol seperti antosianin, katekin, dan leukoantosianidin yang berpotensi sebagai
antioksidan. Namun demikian, belum dilakukan penelitian mengenai kandungan senyawa polifenol
tersebut pada bagian-bagian kulit buah kakao yang terdiri dari kulit terluar, daging buah, dan kulit
dalam, serta pada salut biji kakao. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kandungan polifenol dan
aktivitas senyawa antioksidan pada kulit buah dan salut biji kakao. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan 3 sampel buah kakao varietas Forastero (Bulk Cocoa) yang sudah matang dan dipetik
dari satu pohon kakao. Kulit buah dan salut biji kakao yang sudah dipisahkan diukur kadar airnya dan
diekstrak dengan metanol 70%. Selanjutnya dilakukan pengukuran kadar polifenol total pada ekstrak
kulit buah dan salut biji kakao dengan metode Folin Ciocalteau sebanyak 3 kali ulangan serta dilakukan
pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode DPPH. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar
polifenol total tertinggi pada kadar air 80% dimiliki oleh kulit terluar kakao yaitu sebesar 321,95 ppm,
diikuti oleh salut biji kakao sebesar 291,59 ppm, daging buah kakao sebesar 240,29 ppm, dan kulit
dalam kakao sebesar 189,14 ppm. Aktivitas senyawa antioksidan pada keempat sampel tersebut
memiliki korelasi yang positif dengan kadar polifenol total.

Direktorat Jenderal Perkebunan. (2013). Produksi,


luas areal dan produktivitas perkebunan di
Indonesia. Retrieved from http://ditjenbun.
deptan.go.id/

International Cocoa Organization. (2012).


International Cocoa Organization Quarterly
Bulletin of Cocoa Statistics, XXXVIII (4), Cocoa
year 2011/2012. Retrieved from
http://www.icco.org/.

Antiseptik adalah zat yang


dapat menghambat pertumbuhan dan
perkembangan mikroorganisme.
Penggunaan antiseptik didalam
upaya untuk inaktivasi atau
melenyapkan mikroba merupakan
langkah yang penting untuk
pencegahan terjadinya infeksi.
Penyakit infeksi (infectious disease)
adalah penyakit yang terjadi akibat
mikroorganisme patogen seperti
virus, bakteri, parasit, dan jamur.1

Era modern seperti saat ini


dimana masyarakat disibukkan
dengan berbagai kegiatan serta
jadwal yang padat membuat
masyarakat ingin serba praktis dalam
membersihkan tangan. Dalam
kondisi tertentu, orang susah mencari
air ataupun sabun pembersih tangan
Keberadaan sabun dan air terkadang
tidak sesuai dengan yang diinginkan.
Air yang tersedia terkadang tidak
bersih, berbau, serta keluar dari
keran yang sudah berkarat. Selain itu
sabun yang digunakan bersamasama,
terkadang menimbulkan
kekhawatiran atas kebersihan dan
kesehatan pengguna sebelumnya.5
Hand sanitizer yang
merupakan antiseptik pembersih
tangan hadir sebagai jalan keluar dari
permasalahan tersebut. Namun
beberapa jenis gel antiseptik
pembersih tangan (hand sanitizer) di
pasaran masih menggunakan alkohol
dengan konsentrasi ± 50% sampai
70% sebagai bahan antibakterinya.
Penggunan alkohol dalam pembersih
tangan dirasa kurang aman terhadap
kesehatan karena alkohol merupakan
pelarut organik yang dapat
melarutkan lapisan lemak dan sebum
pada kulit yang berfungsi sebagai
pelindung terhadap infeksi
mikroorganisme. Alkohol juga
mudah terbakar dan pada pemakaian
berulang menyebabkan kekeringan
dan iritasi pada kulit.6
Meningkatnya keinginan
masyarakat untuk menggunakan
bahan alam atau ³EDFN_ WR_ QDWXUH´_
ditanggapi dengan banyaknya
produk-produk topikal berbahan aktif
tanaman untuk perawatan kesehatan,
kosmetik, dan pencegahan penyakit.
Hand sanitizer yang berasal dari
bahan alam lebih aman digunakan,
tidak mengandung zat kimia
berbahaya, tidak merusak
pernafasan, dan aman untuk anakanak.
7

1. Ministry of Health Malaysia.


Antiseptics for Skin Preparations Prior
to Procedures. Kuala Lumpur,
Malaysia: Health Technology
Assessment Section (MaHTAS); 2010.
2. World Health Organization (WHO),
Hand Hygiene: Why, How, andWhen?.
(Online) 2009.
http://www.who.int/gpsc/5may/Hand_
Hygiene_Why_How_and_When_Broc
hure.pdf (17 juli 2014).
3. Kementerian Kesehatan RI. Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan
Tahun 2010-2014. Jakarta; 2010.
4. Bailey, R. Bacteria And Food
Poisoning. (Online) 2010.
http://biology.about.com/od/bacteriolo
gy/a/aa072706a.htm (7 April 2014).
5. Rahman, M.A. Kitosan Sebagai bahan
Antibakteri Alternatif Dalam Formulasi
Gel Pembersih Tangan (Hand
Sanitizer). Institut Pertanian Bogor:
Departermen Teknologi Hasil Perairan;
2012.
6. Block S. Disinfection, Sterilization and
Preservation, 4th. Edition. Williams
and Wilkins. P; 2001,
7. Retnosari. Studi Efektivitas Sediaan
Gel Antiseptik Tangan Ekstrak Daun
Sirih (Piper betle Linn.). Jurnal
Farmasi Indonesia; 2006; 17(4), 163-
169.
8. Hariana, A. Tumbuhan Obat dan
Khasiatnya, Seri 2. Jakarta: Penebar
Swadaya; 2008.
9. Gunawan D dan Mulyani S. Ilmu Obat
Alam (Farmakognosi). Jakarta: Penebar
Swadaya; 2004.
10. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Sediaan Galenik. Jakarta.
Depkes RI. 1999.

Salah satu tanaman yang memiliki banyak potensi yang menguntungkan, baik untuk teknologi pangan
maupun untuk dikembangkan sebagai obat tradisional adalah tanaman kakao (Theobroma cacao L.).
Indonesia merupakan salah satu negara pembudidaya tanaman kakao paling luas di dunia dan termasuk
negara penghasil kakao terbesar kedua setelah Ivory Coast. Berdasarkan data statistik dari Direktorat Jendral
Perkebunan pada tahun 2009 luas areal penanaman kakao telah mencapai 1.475.344 ha dan terbesar diseluruh
provinsi dengan sentra produksi di Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur dan Jawa
Timur. Sebagian besar (>90%) areal perkebunan kakao tersebut dikelola oleh rakyat. 5,6
Pada tahun 2006 areal kakao rakyat di Sumatera Utara mencapai 49.171,94 Ha dengan total produksi
61.087,18 ton yang tersebar hampir diseluruh kabupaten Sumatera Utara. Penyebaran pertanaman kakao di
Sumatera Utara meliputi 17 kabupaten yaitu Deli Serdang, Langkat, Simalungun, Karo, Dairi, Tapanuli
Utara, Tapanuli Tengah, Nias, Nias Selatan, Labuhan Batu, Asahan, Mandailing Natal, Tobasa, Pak-pak
Bharat, Samosir, dan Serdang Bedage.7
Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu sentra produksi kakao rakyat di Provinsi Sumatera Utara.
Pada tahun 2010, luas areal perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Deli Serdang sebesar 6.435,95 ha,
produksi 3.760,76, produktivitas 979,21 kg/tahun dan jumlah KK yang terlibat sebanyak 9.533,00.
Kabupaten Deli Serdang merupakan penyumbang terbesar kedua setelah Kab
upaten Asahan terhadap produksi kakao di Provinsi Sumatera Utara. 8
Bagian biji kakao banyak dimanfaatkan oleh masyarakat yang berguna sebagai antioksidan yang dapat
mengurangi pembentukan radikal bebas penyebab kanker. Kakao juga mengandung senyawa bioaktif yang
bermanfaat mencegah terjadinya penimbunan kolesterol pada dinding pembuluh darah.9,10 Hasil penelitian
menunjukkan bahwa produk olahan biji kakao seperti cokelat dan minuman coklat merupakan sumber yang
kaya antioksidan khusus/spesifik dalam bentuk senyawa katekin, epikatekin, procianidin dan polifenol yang
lebih tinggi dibandingkan
dengan teh hijau, anggur merah maupun blueberry. 10 Biji kakao mengandung senyawa polifenol cukup besar.
Kandungan polifenol pada biji kakao meliputi katekin 33-42%, leukosianidin 23-25% dan antosianin 5%.
Sedangkan pada biji kakao bubuk bebas lemak mengandung 5-18% senyawa polifenol. Adanya kandungan
senyawa polifenol yang tinggi tersebut maka produk kakao maupun produk turunannya sangat berkontribusi
untuk menyehatkan tubuh, karena mempunyai peran sebagai antioksidan, anti kanker, anti diabetes, anti
hipertensi, anti inflamansi, menghilangkan stres, mencegah karies gigi, memperbaiki kemampuan kognitif,
meningkatkan resistensi terhadap hemolisis, dan menyehatkan jantung. 11,12
Penelitian biji kakao sebagai antimikroba mulai dilakukan karena melihat tingginya senyawa polifenol pada
biji kakao. Selain itu, resistensi mikroba terhadap beberapa produk antibiotik menjadi permasalahan dan
fenomena saat ini, dan berbagai jenis produk antimikroba berbahan sintetik seperti obat kumur Chlorhexidine
0,2% juga memiliki efek negatif terhadap kesehatan rongga mulut seperti munculnya noda pada gigi dan
mukosa pipi serta menimbulkan iritasi pada mukosa mulut, sehingga menjadi perhatian beberapa ahli
mikrobiologi untuk menemukan alternatif antimikroba yang dapat menyembuhkan penyakit yang disebabkan
oleh bakteri. Alternatif antimikroba baru bisa bersumber dari alam, salah satunya dengan memanfaatkan
senyawa metabolit sekunder yang berasal dari tanaman biji kakao. 13,14
Hasil penelitian Osawa dkk menunjukkan bahwa senyawa fenolik pada kakao yang mempunyai sifat
antimikroba juga dapat berfungsi baik untuk melawan beberapa jenis bakteri pathogen yang terdapat pada
bahan pangan tetapi juga mampu melawan beberapa jenis bakteri karsinogenik. 15 Aktivitas anti mikroba ini
secara langsung berkaitan erat dengan sifat kemampuan senyawa bioaktif tersebut untuk menembus
dinding sel bakteri. Sifat anti bakteri biji kakao berasal dari zat aktif utamanya, yaitu katekin, prosianidin dan
antosiani. Katekin bersifat bakterisidal dengan cara mendenaturasi protein bakteri, prrosianidin
menginaktivasi atau mendestruksi materi genetik pada bakteri, sedangkan antosianin berfungsi sebagai
antibakteri.16,17
Pada penelitian yang dilakukan oleh Mulyani dkk pada tahun 2012 melaporkan bahwa Ekstrak konsentrat
kulit buah kakao hibrida mempunyai potensi sebagai bahan antibakteri terhadap Escherichia coli, Bacillus
subtilis, dan Staphylococcus aureus. Ekstrak konsentrat kulit buah kakao paling efektif menghambat
pertumbuhan Staphylococcus aureus dengan konsentrasi hambat minimum (KHM) 8% (g/mL), jika
dibandingkan dengan bakteri Bacillus subtilis dan Escherichia coli dengan kadar hambat minimum berturut-
turut sebesar 16% (g/mL) dan 32% (g/mL). 19
Pada penelitian yang dilakukan oleh Devi Chintya dkk pada tahun 2015 melaporkan bahwa ekstrak etanol
biji kakao (Theobroma cacao L.) mempunyai efek sebagai antibakteri terhadap pertumbuhan Pseudomonas
aeruginosa secara in vitro. Konsentrasi minimum ekstrak etanol biji kakao (Theobroma cacao L.) yang
mampu menghambat pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa secara kualitatif adalah pada konsentrasi 125
mg/ml dan secara kuantitatif adalah di atas konsentrasi 6,95 mg/ml.20
Pada penelitian yang dilakukan oleh Medan Yumas pada tahun 2017 bertujuan untuk mengetahui apakah
kulit ari biji kakao sebagai sumber senyawa aktif yang memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri
Streptococcus mutans. Ekstrak etanol kulit ari biji kakao diperoleh dengan metode maserasi. Hasil dari
penelitian tersebut menunjukkan bahwa ekstrak limbah kulit ari biji kakao berpotensi sebagai senyawa aktif
antibakteri dan dapat bersifat bakteriostatik terhadap Streptococcus mutans.21
Pada penelitian yang dilakukan Nurul Hafidhah dkk pada tahun 2017 melaporkan bahwa ekstrak biji kakao
(Theobroma cacao L.) pada berbagai konsterasi memiliki pengaruh terhadapat pertumbuhan Enterokokus
faecalis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok uji mulai dari konsentrasi 6,25% hingga 100% dan
chlorhexidine 0,2% sebagai kontrol positif dapat menghambat pertumbuhan Enterococcus faecalis.16
DAFTAR PUSTAKA
1. Pratiwi ST. Mikrobiologi farmasi. Jakarta: Erlangga, 2008 : 188-91.
2. Zulkifli. Pengobatan tradisional sebagai pengobatan alternatif harus dilestarikan, Medan: Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, 2007: USU Digital Library.
3. Sondang p, Hamada T. Menuju gigi dan mulut sehat pencegahan dan pemeliharaan. Edisi revisi. Medan:
USU Press, 2015; 5-10; 2-4.
4. Tarigan R. Perawatan pulpa gigi. Jakarta: Widya Medika, 1994 : 181-194.
5. Marru B, Sipayung HH. Kakao. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015 : 1-4.
6. Haryadi, Supriyanto. Teknologi cokelat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2017 : 1-10.
7. Rizal S, Edy BM, Erwin P. Analisis perkembangan kakao rakyat pada tiga kabupaten sentra produksi
diprovinsi sumatera utara. Jurnal agribisnis sumatera utara 2010; 3(2) : 35-9.
8. Maharani C, Edy BS, Akbar MS. Analisis pengembangan perkebunan kakao rakyat di kabupaten deli
serdang provinsi sumatera utara. Jurnal agribisnis sumatera utara 2015; 8(2) : 27-35.
9. Chandra YT, Suwasono S, Yuwanti S. Pemanfaatan biji kakao inferior campuran sebagai sumber
antioksidan dan antibakteri. Jurnal Berkala ilmiah Ppertanian 2013; 1: 33-5.
10. Ackar, D., K.V. Landic, M. Valek, D. Subaric, B. Milicevic, J. Babic and H. Nedic. Cocoa polyphenols :
Can we consider cocoa and chocolate as potential functional food. J of Chemistry 2013;13 : 289-96.
11. Latif, R. Chocolate/cocoa and human health : A review. The J of Med 2013; 71(2) : 63-68.
12. Hii, C.L., C.L. Law, S. Suzannah, Misnawi and M. Cloke. Polyphenols in cocoa (Theobroma cacao L.).
Asian J of food and agro-industry 2009; 2 (4) : 702- 22.

13. Sudibyo A. Peranc cokelat sebagai produk pangan derivat kakao yang menyehatkan. Jurnal Riset Industry
2012; 6(1) : 23-40.
14. Dewi NR, Sasongko H. Perbandingan aktivitas antimikroba ekstrak infusa daun dari sembilan jenis suku
piperace terhadap staphylococcus aureus dan candida albicans. Jurnal Ilmu Alam dan Tek Terapan 2019;
1(1): 1-5.
15. Ranneh, Y., F. Ali and N.M. Esa. The protective effect of cocoa (Theobroma cacao L.) in colon cancer.
Jof nutrition and food science . 2013; 3 (2) : 190- 3.
16. Hafidhah N, Hakim RF, Fakhrurrazi. Pengaruh ekstrak biji kakao (Theobroma cacao L.) terhadap
pertumbuhan enterokokus faecalis pada berbagai konsentrasi. Jurnal Canius Dent 2017; 2(2) : 92-6.
17. Wulandari, Suswati E, Misnawati. Efek antibakteri ekstrak etanol biji kakao (Theobroma cocoa L.)
terhadap pertumbuhan shigella dysentria secara in vitro. Jurnal medika planta 2012; 1(5) : 69-73.
18. Habiburrahman B, Hasyim M, Rahim B. Formulasi dan uji stabilitas fisik ekstrak kulit buah kakao
(Theobroma cacao L.) pada sediaan pasta gigi sebagai antibakteri terhadap streptococcus mutans. Jurnal
Pharma and Med Sci 2016; 1(2) : 5-10.
19. Mulyatni AS, Budiani A, Taniwiryono D. Aktivitas antibakteri ekstrak kulit buah kakao (Theobroma
cacao L.) terhadap escherichia coli, bacillus subtilis, dan staphylococcus aureus. Jurnal Menara Perkebunan
2012; 80(2) : 77-84.
20. Kumalasari DV, Suswati E, Misnawati. The effect of ethanolic extract of cocoa beans (Theobroma cacao
L.) as an antibacterial against pseudomonas aeruginosa in vitro. E-j Pustaka Kesehatan 2015; 3(1) : 29-33.
21. Yumas M. Pemanfaatan limbah kulit ari biji kakao (Theobroma cacao L.) sebagai sumber antibakteri
streptococcus mutans. Jurnal Industri Hasil Perkebunan 2017;12(2): 7-20.
22. Atikah AR, Hendrik SB Tuti K. Antibacterial effect of 70% ethanol and water extract of cacao beans
(Theobroma cacao L.) on aggregatibacter actinomycetemcomitans. J Dent 2016; 49(2) : 104-9

Universitas Sumatera Utara


23. Pusat penelitian kopi dan kakao Indonesia. Panduan lengkap budi daya kakao. Depok: AgroMedia
Pustaka, 2004: 1-25.
24. Sari DN, Cholil, Sukmana BI. Perbandingan efektivitas obat kumur bebas alkohol yang mengandung
cetylpyridium chloride dengan chlorhexidine terhadap penurunan plak. Dentino J Ked. Gigi 2014; 2(2) : 179-
83
25. Rakasari NG, Duniaji AS, Nocianitri KA. Kandungan senyawa flavonoid dan antosianin ekstrak kayu
secang (Caesalpinia sappan L.) serta aktivitas antibakteri terhadap vibrio chlorae. Jurnal ilmu dan tek pangan
2019; 8(2) : 216-25
26. Sari FP, Sari SM. Ekstraksi zat aktif antimikroba dari tanaman yodium (Jatropha multifida Linn) sebagai
bahan baku alternatif antibiotik alami. Semarang: Fakultas teknik Universitas Diponegoro. 2011:1-14
27. Mukhriani. Ekstrak, pemisahan senyawa, dan identifikasi senyawa aktif. Jurnal kesehatan 2014; 7(2):
361-7.
28. Maleta HS, Indrawati R, Limantara L. Ragam metode ekstraksi karotenoid dari sumber tumbuhan dalam
dekade terakhir (telaah literatur). Jurnal Rekayasa kimia dan lingkungan 2018: 13(1) : 40-50.
29. Nasution M. Pengantar mikrobiologi. Medan: USU Press.2013:61-4, 74-8, 82-4.
30. Forssten S, Bj rklund M, uwehand AC. Streptococcus mutans, caries and stimulation models. MDPI
Nutrients 2010; 2(3): 290-8.
31. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Mikrobiologi kedokteran. Alih Bahasa. Bagian Mikrobiologi Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga. Jakarta: Penerbit Salemba Medika, 2005: 205-10, 317-26, 327-39
32. Pratiknya. Dasar-dasar metodologi penelitian kedokteran dan kesehatan. Ed.11. Jakarta: Rajawali Press,
2014 : 105-39.
33. Sandi IM, Bachtiar H, Hidayati. Perbandingan efektivitas daya hambat dadih dengan yogurt terhadapat
pertumbuhan bakteri streptokokus mutans. J B-Dent 2015; 2(2) : 88- 94.

Universitas Sumatera Utara


34. Tim Mikrobiologi FK Unibraw. Bakteriologi medik. Malang: Bayumedia Publishing, 2003 : 108-45.
35. Sari R, Alana lulu, Apridamayanti P. Penentuan FICI kombinasi ekstrak etanol kulit daun lidah buaya
(Aloe vera (L) burm.f) dan gentamisin sulfat terhadap bakteri Escherichia coli. Pharm Sci Res 2017; 4(3) :
132-42.
36. Hayati Z, Yulia W, Karmil TF, Azmy A. Antibacterial activity of rosella flowers extract (Hibiscus
sabdariffa linn) in inhibiting bacterial growth methicillin-resistant staphylococcus aureus. Dalam: Hayati
Karmil. The 2nd Annual International Conference Syiah Kuala University& The 8th IMT-GT Uninet
Biosciences Conference, 2012: 417-9.
37. Cousido MC. Invivo substantivity of 0,12% and 0,2% chlorhexidine mouthtinses on salivary bacteria.
Clin Oral Invest 2010;14:397-402.
38. Rondhianto, Wantiyah, Putra FM. Penggunaan chlorhexidine 0,2% dengan povidone iodine 1% sebagai
dekontaminasi mulut terhadap kolonisasi staphylococcus aureus pada pasien pasca operasi anastesi umum.
Nurseline J 2016; 1(1) : 176-83.
39. Malhotra R, Grover V, Kapoor A, Saxena D. Comparison of the effectiveness of a commercially
available herbal mouthrinse with chlorhexidine gluconate at the clinical and patient level. J Indian Soc
Periodontal.2011;15(4) : 349-52.
40. Notoatmodjo S, Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka cipta, 2012: 50-60.
41. Sastroasmor S, Ismael S. Dasar-dasar metodologipenelitian klinis. Edisi 5. Jakarta: Sagung seto, 2014:
341-2.
42. Bono R, Blanca MJ, Arnau J. Non-normal Distributions commonly used in health, education, and social
sciences: A systematic review. Frontiers in Psychology. 2017;8 : 1-6.
Kakao (Theobroma cacao, L.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki
prospek cerah karena harganya relatif tinggi, mudah dipasarkan serta mempunyai arti ekonomi
sebagai penghasil devisa negara (Kuswinanti, 2005). Tanaman kakao dapat tumbuh di sebagian
besar wilayah Indonesia terutama Pulau Sulawesi, Pulau Jawa dan Pulau Sumatera (Fowler, 2009).
Ketinggian pohon kakao mencapai 12-15 m dan tumbuh di dataran rendah pada ketinggian kurang
dari 700 m di atas permukaan laut (Beckett, 2004).
Indonesia merupakan negara produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan
Ghana (Fowler, 1994). Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perkebunan, total produksi kakao
Indonesia tahun 2009 sebanyak 809.583 ton. Produksi biji kakao kering menghasilkan produk
sampingan atau limbah diantaranya kulit buah kakao dan pulp sedangkan pada proses pengolahan
biji kakao kering menjadi produk coklat dihasilkan limbah berupa kulit biji kakao. Limbah kulit
biji kakao belum dimanfaatkan secara optimal dan nilai ekonomisnya rendah. Sejauh ini limbah
kulit biji kakao hanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan kompos.
Kulit biji kakao adalah kulit tipis, lunak dan agak berlendir yang menyelubungi keping biji kakao.
Persentasenya berkisar 10-16% dari keseluruhan bagian biji kakao kering (Fowler, 2009). Pada
proses pengolahan biji kakao menjadi cokelat, kulit biji kakao dipisahkan dari keping bijinya
melalui proses winnowing.
Menurut Felita (2012), kulit biji kakao masih mengandung komponen fungsional seperti
theobromine, kafein, dan polifenol. Senyawa-senyawa tersebut merupakan komponen fitokimia
hasil metabolit sekunder tanaman. Komponen fitokimia dapat diisolasi dari tanaman dengan cara
ekstraksi. Salah satu metode ekstraksi yang dapat diterapkan adalah maserasi menggunakan
pelarut organik seperti etanol dan aseton.

KAJIAN FITOKIMIA EKSTRAK KULIT BIJI KAKAO (Theobroma cacao L.)

Kulit buah kakao kaya akan senyawa fenolik, seperti


asam sinamat, tanin, pirogalol, epikatekin-3-galat, kuersetin, dan resinol
(Fapohunda & Alofayan, 2012). Ada tiga komponen utama polifenol pada kakao,
yakni katekin (37%), antosianin (4%), dan proantosianidin (58%) (Hii et al.,
2009). Kandungan polifenol yang terdapat dalam biji kakao kemungkinan sama
kandungan polifenolnya pada kulit buah kakao, sehingga diperkirakan dapat
memberikan khasiat yang sama.
2
Sartini et al. (2011) membuktikan bahwa ekstrak aseton 70% dari sampel
kulit buah segar menunjukkan adanya aktivitas antibakteri terhadap Streptococcus
mutans. Polifenol pada kakao dapat mengurangi pembentukan biofilm dan
produksi asam pada Streptococcus mutans (Ferrazzano et al., 2009).
Streptococcus mutans merupakan flora normal mulut yang pada kondisi tertentu
dapat bersifat patogenik dan dapat menyebabkan infeksi pada bagian mulut,
jantung, sendi, kulit, otot, dan sistem saraf pusat (Forssten et al., 2010).
Fapohunda & Afolayan (2012) membuktikan bahwa ekstrak metanol kulit buah
kakao mampu menghambat pertumbuhan Bacillus subtilis. Komponen terbesar
pada kulit buah kakao adalah fenol. Menurut Tiwari et al. (2011) fenol dapat
tersari pada pelarut metanol maupun aseton. Bacillus subtilis dapat menyebabkan
keracunan pada makanan karena memproduksi enzim subtilisin yang biasanya
ditandai dengan terbentuknya lendir pada makanan (Sundaram et al., 2011).
Pada penelitian ini dilakukan ekstraksi dengan pelarut aseton untuk
membandingkan aktivitas antibakteri pada ekstrak aseton dengan ekstrak aseton
70%. Fraksinasi dilakukan dengan menggunakan etil asetat untuk mengetahui
golongan senyawa yang terlarut dalam pelarut etil asetat yang mempunyai
aktivitas antibakteri. Penelitian Pasiga (2007) menunjukkan bahwa ekstrak etil
asetat kulit buah kakao memberikan zona daya hambat terhadap Streptococcus
mutans.
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian tersebut, menarik bila dilakukan
penelitian lebih lanjut untuk mengetahui aktivitas antibakteri dari fraksi etil asetat
ekstrak aseton kulit buah kakao terhadap Streptococcus mutans dan Bacillus
subtilis sehingga kulit buah kakao tidak hanya sebagai limbah.
Bab 1
Sartini et al. (2011) membuktikan bahwa ekstrak aseton 70% dari sampel
kulit buah segar menunjukkan adanya aktivitas antibakteri terhadap Streptococcus
mutans. Polifenol pada kakao dapat mengurangi pembentukan biofilm dan
produksi asam pada Streptococcus mutans (Ferrazzano et al., 2009).
Streptococcus mutans merupakan flora normal mulut yang pada kondisi tertentu
dapat bersifat patogenik dan dapat menyebabkan infeksi pada bagian mulut,
jantung, sendi, kulit, otot, dan sistem saraf pusat (Forssten et al., 2010).
Fapohunda & Afolayan (2012) membuktikan bahwa ekstrak metanol kulit buah
kakao mampu menghambat pertumbuhan Bacillus subtilis. Komponen terbesar
pada kulit buah kakao adalah fenol. Menurut Tiwari et al. (2011) fenol dapat
tersari pada pelarut metanol maupun aseton. Bacillus subtilis dapat menyebabkan
keracunan pada makanan karena memproduksi enzim subtilisin yang biasanya
ditandai dengan terbentuknya lendir pada makanan (Sundaram et al., 2011).
Pada penelitian ini dilakukan ekstraksi dengan pelarut aseton untuk
membandingkan aktivitas antibakteri pada ekstrak aseton dengan ekstrak aseton
70%. Fraksinasi dilakukan dengan menggunakan etil asetat untuk mengetahui
golongan senyawa yang terlarut dalam pelarut etil asetat yang mempunyai
aktivitas antibakteri. Penelitian Pasiga (2007) menunjukkan bahwa ekstrak etil
asetat kulit buah kakao memberikan zona daya hambat terhadap Streptococcus
mutans.
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian tersebut, menarik bila dilakukan
penelitian lebih lanjut untuk mengetahui aktivitas antibakteri dari fraksi etil asetat
ekstrak aseton kulit buah kakao terhadap Streptococcus mutans dan Bacillus
subtilis sehingga kulit buah kakao tidak hanya sebagai limbah.
Tujuan Inovasi Produk
Manfaat Inovasi Produk

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Subbab A ?

2.2 Subbab B ?

BAB 3. DESKRIPSI PRODUK

Karakteristik Umum ? apakah sama dengan pendahuluan


Nama Produk, Logo, dan Tagline

Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, Threat)

Business Model Canvas ? ap aitu ?

BAB 4. METODE

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan :
Bahan baku utama yang digunakan adalah kulit buah kakao. Bahan tersebut
didapat sebagai limbah yang berasal dari industri atau usaha yang memproduksi
olahan buah kakao. Bahan lain yang digunakan untuk memproduksi hand
sanitizer gel dari kulit buah kakao adalah etanol 90%, Alcohol 70%, triclosan 1,5
– 2 %, lidah buaya 10%. Essensial oil cacao.

Alat yang digunakan adalah :


Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah rotary evaporator, gelas ukur, pipet tetes,
baker glass, kertas saring, grinder, Erlenmeyer.

Proses pembuatan

1. Kulit buah kakao disortasi basah kemudian dicuci menggunakan air yang
mengalir sampai bersih.
2. Dikeringkan di dalam ruangan tanpa terkena sinar matahari langsung
3. Disortasi kering dan dihaluskan menggunakan grinder dan menghasilkan
serbuk kulit kokoa
4. Mengekstraksi 500 gram serbuk kulit buah kokoa menggunakan metode
maserasi dengan 1000 ml pelarut etanol 95% Selama 4 hari, diaduk setiap 12
jam dan diganti pelarut setiap 24 jam. Maserasi adalah metode yang digunakan untuk
mencegah dekomposisi senyawa yang labil terhadap pemanasan sehingga dapat
mengekstrak senyawa dengan baik (Dean, 2009).
5. Suspensi disaring dan dievaporasi dengan vakum rotary evaporator. Serbuk yang sudah
dimaserasi diuapkan menggunakan rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental
kulit buah kokoa. Penguapan ini berfungsi untuk menghilangkan pelarut etanol dan
memekatkan senyawa aktif yang terikat saat proses maserasi.
6. Penambahan Alcohol 70%, triclosan 1,5 – 2 %, lidah buaya 10%, dan
Essensial oil cacao.
Serbuk daun binahong dimaserasi dengan pelarut n–heksana hingga filtratnya jernih.
Kemudian disaring, residu hasil maserasi diangin-anginkan hingga kering. Residu yang
telah kering kemudian dimaserasi kembali menggunakan etanol hingga filtratnya jernih.
Ekstrak yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan rotary evaporator sehingga
diperoleh ekstrak etanol. Ekstrak etanol yang telah didapatkan, ditambahkan larutan HCl
2M hingga pH larutan menjadi 3. Larutan yang telah bersifat asam kemudian diekstraksi
menggunakan etil asetat. Hasil ekstraksi akan terbentuk 2 lapisan, yaitu lapisan asam
dan lapisan etil asetat. Selanjutnya kedua lapisan dipisahkan, kemudian lapisan asam
ditambahkan NH4OH hingga pH larutan mencapai 9 kemudian diekstraksi kembali
menggunakan etil asetat. Hasil ekstraksi akan terbentuk 2 lapisan yaitu lapisan basa dan
lapisan etil asetat, kemudian dipisahkan. Lapisan etil asetat dipekatkan menggunakan
rotary evaporator sehingga didapatkan ekstrak alkaloid total. (Titis, 2013).

Maserasi adalah metode yang digunakan untuk mencegah dekomposisi senyawa yang labil
terhadap pemanasan sehingga dapat mengekstrak senyawa dengan baik (Dean, 2009). Serbuk yang
sudah dimaserasi diuapkan menggunakan rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental
sebanyak 18,4091 g. Penguapan ini berfungsi untuk menghilangkan pelarut etanol dan
memekatkan senyawa aktif yang terikat saat proses maserasi.
Metode isolasi alkaloid yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstraksi cair-cair ( Titis, 2013).
Penambahan HCl hingga pH 3 pada Ekstrak kental etanol biji mengkudu yaitu agar terbentuk
garam alkaloid sedangkan pada penambahan NH 4OH hingga pH mencapai 9 menyebabkan
terbentuk basa yang bebas alkaloid.

Jumlah yang dihasilkan :

Dalam penelitian alat yang digunakan ialah mortir dan stemper, erlenmeyer,
gelas ukur, tabung reaksi, cawan petri, spatula, autoklaf, kawat ose, Laminar Air
Flow (LAF), penangas, inkubator, viskometer, pH meter, alumunium foil, kertas
saring, pipet tetes, mikropipet, sudip, tissu, kapas, lemari pendingin, spirtus, hot
plate, perforator dan jangka sorong5.
Bahan
Dalam penelitian ini bahan yang digunakan ialah ekstrak kulit buah jeruk manis
(citrus x aurantium L.), etanol 96%, carbopol 940, gliserin, triethanolamin (TEA),
aquadest, DMDM hydantion, Nutrien Agar (NA), Kertas Cakram, bakteri
staphylococcus epidermidis, dimethyl sufoxide (DMSO)5.

Prosedur Rinci
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah rotary evaporator, autoklaf, inkubator, LAF
(Laminer air flow), FT-IR (Spektrum 100-Perkin Elmer), Spektro UV-Vis (Spectroquant pharo
300). Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah etanol, HCl, Etil Asetat, H2SO4, FeCl3,
BaCl2 dan Asam Asetat Anhidrat dengan grade pro analys buatan Merck. Reagen Dragendorff,
CHCl3 teknis, biji mengkudu, nutrient agar (NA), bakteri Escherichia coli, bakteri Staphylococcus
aureus, NaCl fisiologis 0,9%, CMC, TEA, Metilparaben, Gliserin, aquadest, hand sanitizer merk
X.
Pada penelitian ini dilakukan preparasi sampel, sebanyak 500 g serbuk biji mengkudu direndam
dengan 1000 mL etanol 96% selama 4 hari, diaduk setiap 12 jam dan diganti pelarut setiap 24 jam.
Suspensi disaring dan dievaporasi dengan vakum rotary evaporator. Maserat di uji fitokimia
diantaranya uji alkaloid, flavonoid, tanin, saponin triterpenoid dan steroid. Ekstrak etanol di
analisis dengan FT-IR, di uji antibakteri dan gel hand sanitizer.
Ekstrak etanol ditambahkan larutan HCl 2M sampai pH menjadi 3. Larutan yang bersifat asam
diekstraksi menggunakan etil asetat. Hasil ekstraksi akan terbentuk 2 lapisan, yang kemudian
kedua lapisan dipisahkan, lapisan asam ditambahkan NH4OH sampai pH l menjadi 9 dan
diekstraksi kembali menggunakan etil asetat. Hasil ekstraksi akan terbentuk 2 lapisan, kemudian
dipisahkan. Hasil alkaloid kasar di analisis menggunakan spektrofotometer UV-Vis dan FT-IR
(Titis, 2013).

Maserasi adalah metode yang digunakan untuk mencegah dekomposisi senyawa yang labil
terhadap pemanasan sehingga dapat mengekstrak senyawa dengan baik (Dean, 2009). Serbuk yang
sudah dimaserasi diuapkan menggunakan rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental
sebanyak 18,4091 g. Penguapan ini berfungsi untuk menghilangkan pelarut etanol dan
memekatkan senyawa aktif yang terikat saat proses maserasi.
Metode isolasi alkaloid yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstraksi cair-cair ( Titis, 2013).
Penambahan HCl hingga pH 3 pada Ekstrak kental etanol biji mengkudu yaitu agar terbentuk
garam alkaloid sedangkan pada penambahan NH 4OH hingga pH mencapai 9 menyebabkan
terbentuk basa yang bebas alkaloid.

Lidah buaya :

Alat yang digunakan pada


penelitian ini antara lain gelas ukur,
pipet tetes, pipet volumetrik, vortex,
labu erlenmeyer, tabung reaksi, rak
tabung, cawan petri, termometer,
inkubator, Hot plate, timbangan
analitik, blender, batang pengaduk,
bunsen, autoklaf, lemari pendingin,
oven, penangas air, Handscun,
masker, lidi kapas steril, penjepit
tabung reaksi, stopwatch, alumunium
foil, colony counter, spuit, gelas
beker, label.
Bahan lidah buaya :
Bahan yang digunakan pada
penelitian ini antara lain lidah buaya,
media Plate Count Agar, aquades,
spiritus, asam asetat glasial, asam
klorida pekat, asam sulfat pekat, besi
(III) klorida 1%, besi (III) klorida
5%, kalium iodida (KI), serbuk
magnesium, pereaksi Mayer,
kloroform, larutan NaCl 0,9%, Hand
sanitizer.

Pelepah lidah
buaya (Aloe vera L.) yang telah
dikumpulkan, disortasi basah,
kemudian dicuci menggunakan air
yang mengalir sampai bersih,
dikeringanginkan di dalam ruangan
tanpa terkena sinar matahari
langsung, disortasi kering,

dihaluskan dengan menggunakan


blender.9

kulit salak

Sediaan di buat berdasarkan formula gel HPMC menurut (Ningsih, dkk, 2016).
Penelitian ini dibuat sediaan gel mengandung bahan tumbuhan yang telah dihaluskan
dengan memakai sedikit akuades dan disaring yang akan dipakai untuk mencukupkan
sediaan. Pembuatan gel handsanitizer di formulasikan tidak memakai pewangi
tambahan, karena pada penelitian ini bahan alam yang digunakan memiliki aroma
yang khas dengan susunan formula sebagaimana pada tabel 1.
Cara pembuatan sediaan handsanitizer dimulai dari menimmbang kulit buah salak
segar sesuai dengan bobot masing-masing, kemudian dihaluskan di dalam lumpang
ditambahkan sedikit demi sedikit akuades, (akuades diambil dari ad 100 ml) disaring
dengan kain kasa, kumpulan sari kulit buah salak ditampung ke dalam beaker glass.
Handsanitizer dibuat dengan menggunakan bahan dasar HPMC, ke dalam lumpang
porselin dimasukkan 20 ml akuades panas, pembuatan gel dilanjutkan dengan
menaburkan HPMC di atas akuades panas kemudian ditunggu 15-30 menit sampai
HPMC mengembang (massa I). Nipagin dilarutkan ke dalam propilenglikol (massa
II) kemudian massa II dicampurkan ke massa I, kemudian gerus hingga homogen,
diambil beaker glass yang telah dikalibrasi, ditambah sari air kulit buah salak yang
telah dipersiapkan sesuai dengan bobot masing-masing dihomogenkan, ditambahkan
sisa akuades sedikit demi sedikit sampai 100 ml dan diaduk hingga homogen, maka
diperoleh sediaan gel cair handsanitizer.
Kakao kaya akan polifenol, kira-kira 12-18% dari berat kering keseluruhan biji. Kelompok
polifenol utama dalam kakao adalah katekin dan epikatekin, antosianin, dan
prosianidin.6,7 Kakao telah dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi
dibandingkan teh dan anggur merah. 7

Penelitian selanjutnya menemukan bahwa polifenol kakao dapat menghambat S.


sanguinis serta mengurangi pembentukan biofilm dan produk asam dari S. mutans dan
S. sanguinis.6

6. Ferrazzano, Gianmaria F, Ivana Amato, Aniello Ingenito, Antonino De Natale,


Antonino Pollio. Anti-Cariogenic Effects of Polyphenols from Plant Stimulant Beverages
(Cocoa, Coffee, Tea). Fitoterapia. 2009: 259.
7. Hiie, C.L., C.L. Law, S. Suzannah, Misnawi, M. Cloke. Polyphenol in Cocoa
(Theobroma cacao L.). Asian Journal of Food and Agro-Industry. 2009; 2(4):702.

Senyawa
fungsional yang terkandung dalam kulit biji kakao
adalah polifenol, theobromin, kafein, dan komplek
lignin-karbohidrat (Senanayake & Wijesekera, 1971;
Bruna, Eicholz, Rohn, Kroh, & Huyskens-Keil, 2009;
Nsor-Atindana, Zhong, Mothibe, Bangoura, & Camel,
2012; Sakagami & Matsuta, 2013).

Berbagai senyawa fungsional tersebut baru


sebagian saja yang telah dimanfaatkan sebagai bahan
baku dalam berbagai industri farmasi, kosmetika, dan
minuman kesehatan yang saat ini banyak beredar di
pasaran. Oleh karena itu, mengingat selama ini
berbagai produk kakao lebih banyak dimanfaatkan
dalam berbagai industri makanan dan minuman maka
dalam era pertanian bioindustri, sudah saatnya
berbagai senyawa fungsional yang terkandung dalam
buah kakao, terutama dalam limbah produksi kakao
seperti kulit buah kakao, pulpa, dan kulit biji kakao
yang selama ini tidak dimanfaatkan dapat digunakan
sebagai produk diversifikasi bahan baku biofarmaka.
Selain dapat meningkatkan nilai tambah produk,
upaya tersebut juga dapat dilihat sebagai pengurangan
limbah usaha pertanian kakao menuju konsep zero
waste.

Selain menghasilkan biji, dalam proses


pengolahan biji kakao dihasilkan juga produk ikutan
berupa limbah, yaitu kulit buah kakao, cairan pulpa,
dan kulit biji kakao. Pada proses pengolahan buah
kakao akan dihasilkan limbah kulit buah kakao yang
sangat melimpah, mengingat bahwa kulit buah
merupakan komponen terbesar dari buah, yaitu
mencapai porsi 73,7%. Limbah kulit buah kakao yang
dihasilkan pada setiap panen akan menimbulkan
masalah jika tidak ditangani dengan baik, seperti
polusi udara dan potensi akan menjadi sumber hama
dan penyakit tanaman berupa jamur, bakteri, dan
virus yang dapat menyerang batang, daun, serta buah
kakao (Ditjenbun, 2010;, Muyassir & Alvisyahrin,
2012).

Terdapat sekitar 10-12% kulit


biji kakao dari keseluruhan berat kering biji kakao
yang diolah (Awarikabey, Amponsah, & Woode, 2014).

Kandungan Polifenol pada Biji dan Kulit Buah


Komponen kimia utama yang terkandung pada
biji kakao segar yang belum diolah dapat dilihat pada
Tabel 3, kandungan senyawa polifenol sekitar 12-18%
(Cooper et al., 2007; Meng, Jalil & Ismail, 2009; Afoakwa
et al. 2012; Ackar et al., 2013), yang terdiri dari gugus
polifenol utama, yaitu flavan-3-ol/flavanol,
anthocyanidin, dan proanthocyanidin (Engler & Engler,
2004; Andreas-Lacueva et al., 2008; Hii, Law, Suzannah,
Misnawi, & Cloke, 2009; Chin, Miller, Payne, Hurst, &
Stuart, 2013). Adapun jenis polifenol selengkapnya yang
terkandung pada biji kakao tertera pada Tabel 4. Pada
Gambar 3 memperlihatkan struktur molekul (+)-
catechin yang merupakan gugus polifenol flavan-3-ol,
dan pada Gambar 4 merupakan Struktur molekul
anthocyanidin.
Kowalska & Sidorczuk (2007) serta Meng et al.
(2009) menyatakan kandungan senyawa polifenol pada
biji kakao akan bervariasi tergantung kepada tingkat
kematangan buah, varietas/kultivar, dan lingkungan
tempat tumbuh. Kandungan senyawa polifenol pada
kultivar Forastero dan Trinitario lebih tinggi bila
dibandingkan kultivar Criollo (Wollgast, 2004; Hii et al.,
2009; Saltini, Akkerman, & Frosch, 2013). Mengingat
bahwa selama proses fermentasi terjadi pengurangan
senyawa polifenol sebanyak ± 53% (Misnawi, 2003;
Aikpokpodion & Dongo, 2010)

Senyawa polifenol dapat diekstraksi dari


kulit buah kakao, biji kakao maupun kulit biji kakao
dengan menggunakan larutan campuran aseton-air
(7:3) (Sartini, Djide, & Duma 2012) atau dengan
larutan etanol 96% (Mulyatni, Budiani, &
Taniwiryono, 2012).
Polifenol Sebagai Antioksidan dan Berbagai Produk
Kesehatan
Senyawa polifenol merupakan senyawa
kimia yang mempunyai sifat antioksidan, sifat ini
sangat penting dalam peranannya untuk
menyehatkan tubuh manusia (Jalil & Ismail, 2008;
Nestle Research Centers, 2010; Crozier et al., 2011).
Hasil penelitian Miller et al. (2006), Gu, House, Wu,
Ou, & Prior (2006), Redovnikovic et al. (2009), dan
Chin et al. (2013) mendapatkan kapasitas
antioksidan pada biji kakao maupun berbagai produk
cokelat mempunyai korelasi positif dengan jumlah
total polifenol maupun gugus fenol flavan-3 ol dan
proanthocyanidin yang dikandungnya.
Hasil beberapa penelitian mendapatkan biji
kakao yang diolah menjadi produk olahan kakao
seperti cokelat maupun minuman cokelat
merupakan sumber antioksidan dalam bentuk
senyawa katekin, epikatekin, procianidin, dan bentuk
senyawa polifenol lainnya (Kelishadi, 2005; Fraga,
2005; Vinson et al., 2006). Vicioli, Borsami, & Galli,
(2000) menyatakan senyawa antioksidan mempunyai
kemampuan untuk mengurangi sejumlah gugus
radikal bebas dalam tubuh manusia dan
menyediakan pertahanan terhadap serangan spesies
oksigen yang reaktif (reactive oxygen species/ROS).
Radikal bebas merupakan molekul tidak stabil
sebagai hasil dari proses metabolisme tubuh dan
faktor eksternal seperti asap rokok, hasil penyinaran
ultra violet, zat kimiawi dalam makanan dan polutan
lain. Sebenarnya antioksidan ada secara alami di
dalam tubuh, namun jumlahnya sedikit dan terus
menurun seiring bertambahnya usia, oleh karena itu
tubuh perlu tambahan antioksidan dari asupan
makanan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
dengan mengkonsumsi antioksidan dapat
mengurangi peluang munculnya penyakit degeneratif
dan memperlambat penuaan. Antioksidan tersebut
akan merangsang respon imun tubuh sehingga
mampu menghancurkan radikal bebas,
mempertahankan kelenturan pembuluh darah, dan
mempertahankan besarnya jaringan otak

Kulit buah kakao mengandung senyawa


theobromin sebanyak 0,17-0,22% (Adamafio, Ayombil,
& Tano-Debrah, 2011; Fapohunda & Afolayan, 2012).
Adapun kandungan theobromin pada biji kakao
adalah 1,2-3,9% (Smit, 2011). Selanjutnya Adeyina et
al. (2010) menyatakan pada kulit biji kakao
terkandung theobromin sebanyak 0,60-1,50%.
Senanayake & Wijesekera (1971) melaporkan bahwa
kelompok Forastero mempunyai kandungan
theobromin yang lebih tinggi daripada Criollo (Tabel
5). Senyawa theobromin dapat diekstraksi dari kulit
buah kakao, biji kakao maupun kulit biji kakao
dengan menggunakan larutan campuran aseton air (7
: 3) (Sartini et al., 2012) atau larutan etanol 96%
(Mulyatni et al., 2012).

Sifat penting pektin adalah kemampuannya


membentuk gel. Pektin metoksil tinggi membentuk
gel dengan gula dan asam, yaitu konsentrasi gula 58-
75% dan pH 2,8-3,5. Pembentukan gel terjadi melalui
ikatan hidrogen di antara gugus karboksil bebas dan
di antara gugus hidroksil. Pektin bermetoksil rendah
tidak mampu membentuk gel dengan asam dan gula
tetapi membentuk gel dengan keterlibatan ion-ion
kalsium (Farobie, 2006).

Anda mungkin juga menyukai