Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang atas berkat dan karunia-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai kehendak kami dan tepat pada waktunya. Adapun
tema dari makalah ini adalah “Etika dan Pembentukan Karakter Kristiani”.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen mata
kuliah Agama Kristen Protestan yang telah memberikan tugas terhadap kami. Kami juga ingin
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam pembuatan makalah ini.

Kami masih jauh dari kata sempurna. Dan ini merupakan langkah yang baik bagi kami untuk
berkembang menjadi lebih sempurna dari yang sebelumnya. Oleh karena itu, kami mengharapkan
segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya
kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia
pendidikan.

Medan, 10 September 2022

KELOMPOK 4

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………....................................1
DAFTAR ISI…………………………………………………………...................................2
BAB 1. PENDAHULUAN………………………………………………………………….3
1. Latar Belakang………………………………………………………………………...3
2. Rumusan Masalah……………………………………………………………………..5
3. Tujuan Penelitian……………………………………………………………………...5
BAB 2. ETIKA DAN PEMBENTUKAN KARAKTER KRISTIANI………………….…..6
1. Pengertian Etika…………………………………………………………..………….. 6
2. Membangun Norma Untuk Membuat Penilaian Moral…………………………..…...7
3. Mengenali dan Membangun Karakter Kristiani dan Hubungan
Dengan Iman dan Etika Kristen………………………………………..……………...8
4. Sistem Etika Kristen dan Prinsip Utamanya………………………………………....13
5. Etika Teologis dan Etika Filsafat…………………………………………………….14
BAB 3. KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………………………....16
1. Kesimpulan…………………………………………………………………………..16
2. Saran……………………………………………………………………………...…..16

BAB I

2
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Etika adalah konsep penilaian sifat kebenaran atau kebaikan dari tindakan sosial
berdasarkan kepada tradisi yang dimiliki oleh individu maupun kelompok. Pembentukan
etika melalui proses filsafat sehingga etika merupakan bagian dari filsafat. Unsur utama
yang membentuk etika adalah moral.

Penelitian yang dilakukan oleh Reckitt Benckiser Indonesia lewat merek alat
kontrasepsi Durex terhadap 500 remaja di lima kota besar di Indonesia menemukan, 33
persen remaja pernah melakukan hubungan seks penetrasi. Dari hasil tersebut, 58
persennya melakukan penetrasi di usia 18 sampai 20 tahun. Selain itu, para peserta survei
ini adalah mereka yang belum menikah (liputan6.com). Sedangkan remaja korban narkoba
mencapai 1,1 juta atau 3,9 %. Data tersebut diambil pada tahun 2008, dengan mengambil
sampel di 33 provinsi di Indonesia. Data Pusat Pengendalian Gangguan Sosial DKI Jakarta
menyebutkan pelajar SD, SMP, dan SMA yang terlibat tawuran mencapai 0,08% atau
sekitar 1.318 siswa dari total 1.647.835 siswa DKI Jakarta. Bahkan, 26 siswa diantaranya
meninggal dunia. Persoalan remaja saat ini tidak sampai disitu saja, akhir-akhir ini banyak
bermunculan kasus tentang siswa yang melawan gurunya. Bahkan sampai ada yang tega
menganiaya gurunya sendiri sampai meninggal, seperti yang terjadi di Madura. Hal ini
tentunya sudah kelewat batas, tidak ada lagi rasa hormat dan etika yang tertanam pada diri
siswa tersebut.
Tentunya ada aspek yang melatar belakangi maraknya degradasi moral pada generasi
muda saat ini. Ada dua poin penting yang dirasa cukup berperan dalam hal tersebut, yaitu;
keluarga/orang tua dan lingkungan (baik di dalam maupun di luar sekolah). Keluarga
dinilai sebagai faktor yang paling dominan dalam meletakkan dasar bagi perkembangan
moral/akhlaq, karena sebagai madrasah pertama bagi remaja. Namun pada kenytaannya
banyak para orang tua yang kurang paham tentang perannya tersebut.  Para orang tua

3
beranggapan bahwa pendidikan bagi anak-anaknya cukup pada rana sekolah saja dan hal
yang jadi sorotan utama orang tua kepada anaknya hanyalah persoalan nilai raport. Ketika
bagus dipuji dan ketika buruk dimarahi, tanpa menanyakan pemahaman anaknya berkenaan
dengan mata pelajaran tersebut. Secara tidak langsung orang tua mengejarkan bahwa hasil
lebih penting dari pada proses. Maka dari itu pentingnya membangun komunikasi antara
orang tua dan anak.

Selain itu banyak orang tua siswa yang tidak sepenuhnya mendukung pengajaran
yang ada di sekolah. Banyak orang tua siswa yang melaporkan para guru yang memberi
sanksi fisik kepada anaknya. Hal tersebut membuat para guru takut untuk memberi sanksi
kepada siswa yang bersalah, sehingga banyak murid yang berani kepada gurunya.
Kurangnya pengawasan oleh orang tua terhadap pergaulan anak juga dapat menyebabkan
merosotnya moral anak tersebut.

Lingkungan sekolah dianggap berperan penting dalam pembentukan moral siswa.


Sekolah merupakan lingkungan pendidikan sekunder, yang secara secara sistematis
melaksanakan bimbingan, pengajaran dan latihan dalam rangka membantu siswa supaya
mampu mengembangkan potensinya, baik berkenaan dengan aspek moral, spiritual,
intlektual, emosional, maupun sosial. Maka dari itu peran sekolah terbilang cukup besar
ditambah lagi hampir sepertiga waktu siswa dihabiskan di sekolah. Kebanyakan orang tua
juga menganggap dunia pendidikan sudah cukup memberikan muatan-muatan moral pada
anak-anaknya. Namun kondisi dunia Pendidikan saat ini dirasa belum mampu sepenuhnya
untuk membentuk moral siswanya. Kebanyakan para pendidik dalam mengajar hanya
gugur kewajiban saja dalam mengajar. Para siswa lebih ditonjolkan dalam hal intlektual
saja dan mngesampingkan pendidikan moral. Contoh kasus yang sering terjadi adalah
Ketika ujian nasional (UN) mata pelajaran yang diujikan hanya mata pelajaran umum saja,
mata pelajaran yang menyangkut aspek moral/akhlak diabaikan. Sehingga para siswa
beranggapan bahwa intlektualitas/kepintaran siswa jauh lebih penting dibandingkan moral
siswa tersebut. Hal tersebutnya harusnya dikaji ulang oleh para pemangku kebijakan.

4
2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari latar belakang di atas, yakni:
a. Bagaimana upaya untuk mengatasi penurunan nilai etika dan moral ?
b. Bagaimana peran keluarga, sekolah dan organisasi di masyarakat agar masalah
penurunan etika dan moral dapat teratasi?
c. Factor apa penyebab masalah penurunan etika dan moral tersebut?

3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengurangi penurunan etika dan moral terhadap semua orang
b. Memperbaiki hubungan antara keluarga, sekolah dan organisasi di masyarakat
supaya dapat mengurangi masalah penurunan etika dan moral
c. Unutuk mencegah agar tidak terjadi lagi masalah seperti ini kedepannya

5
BAB. II
ETIKA DAN PEMBENTUKAN KARAKTER KRISTIANI
1. Pengertian Etika
Pasti tidak dapat disangkal bahwa banyak sekali pilihan yang kita hadapi adalah pilihan-
pilihan dalam bidang etika yakni berkaitan dengan apa yang baik, benar, bertanggung
jawab atau sebaliknya. Lantas, apa itu etika?
Pengertian etika secara etimologis adalah “etika” berasal dari bahasa Yunani “ethos” dan
“ethikos”. Pengertian etika secara etimologis dari kata “ethos” memiliki arti sifat, watak,
adat, kebiasaan, dan tempat yang baik. Merujuk serapan bahasa Yunani tersebut, pengertian
etika secara etimologis dari etika adalah timbul dari kebiasaan. Sedangkan pengertian etika
dari penegasan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah ilmu tentang apa yang baik
dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral.

Sementara pengertian etika secara etimologis dari kata “ethikos” memiliki arti susila,
keadaban, atau kelakuan dan perbuatan yang baik. Untuk kata “etika” dibedakan dengan
kata “etik” dan “etiket”. Pengertian etika secara etimologis dari kata “etik” memiliki arti
kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak atau nilai mengenai benar dan
salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Tak cuman itu, pengertian etika secara
etimologis dari kata “etiket” memiliki arti tata cara atau adat, sopan santun, dan lain
sebagainya dalam masyarakat beradaban dalam memelihara hubungan baik sesama
manusia.

Pengertian etika secara umum adalah konsep penilaian sifat kebenaran atau kebaikan dari
tindakan sosial berdasarkan kepada tradisi yang dimiliki oleh individu maupun kelompok.
Pembentukan etika melalui proses filsafat sehingga etika merupakan bagian dari filsafat.
Unsur utama yang membentuk etika adalah moral.

Masihkah kita menilai perilaku yang kelihatan itu suatu hal yang baik jika akhirnya
ketahuan bahwa motivasinya hanya ingin mencari tujuan atau mempunyai kepentingan

6
pribadi? Tentu saja tidak. Apa yang dinilai baik, tidak sebatas terhadap perilaku yang
kelihatan saja melainkan juga motivasi yang mendaorong perilaku itu harus dapat
dipertanggung jawabkan. Dalam kaitan ini, masih perlu dibedakan lagi antara istilah baik
baik dan benar, sebab baik dan benar tidak selalu berkonotasi etis. Misalnya dalam
ungkapan “ apel ini masih baik” atau dalam ungkapan “ 2+2=4 adalah benar” keduanya
tidak berkonotasi etis.

2. Membangun Norma Untuk Membuat Penilaian Moral

Bila etika sebagai ilmu mempelajari norma-norma sebagai ukuran untuk menilai secara etis
(menilai baik benar dan bertanggung jawab) pertanyaannya adalah bagaimanakah orang
membangun norma atau penilaian etisnya? Dalam kaitan itu maka ada dua kategori teori
yang berbeda yang ini yang oleh filsut moral disebut teori teleologis dan teori deontologis.

a. Teori Teleologis
Teori teologis adalah teori yang berpendapat bahwa kebaikan atau kebenaran itu
ditentukan oleh tujuan yang baik (telos=tujuan). Jadi, kalau seseorang mempunyai
tujuan yang baik yang mendorong suatu tindakan apapun tindakan itu pasti dinilai
baik meluluh karena tujuannya baik. Namun muncul pertanyaan tujuan yang baik
untuk siapa? Untuk pelakunya kah atau untuk orang banyak? Dalam hal ini ada dua
teori lagi yakni yang dinamakan etika egoisme dan etika universalisme.
Etika egoisme berpendapat bahwa tujuan yang baik adalah bagi pelakunya (orang
itu sendiri atau setidaknya kelompoknya). Walaupun tujuan yang baik untuk diri
sendiri atau kelompoknya tidak selalu yang jahat atau buruk teori ini bisa
melahirkan suatu sistem etika yang disebut “hedonism” yakni kenikmatan hidup
dengan prinsip nikmat lah hidup ini selain masih hidup, besok anda akan mati dan
tidak ada apa-apa lagi yang bisa dinikmati.
Etika universalisme adalah teori etika yang berpendapat bahwa kebenaran atau
kebaikan itu ditentukan oleh tujuan yang baik untuk jumlah terbesar. Misalnya

7
kebijakan-kebijakan pemerintah untuk kepentingan orang banyak bisa
mengorbankan kepentingan pribadi dan jumlah orang yang lebih sedikit. Kita
mendapatkan contoh sistem etika universalisme (unity) seperti yang dikembangkan
oleh John Stuart Mill, yakni yang berprinsip bahwa tindakan yang baik yang
membawa dampak atau kegunaan bagi jumlah terbesar itu yang dinilai baik, benar
dan bertanggung jawab (prinsipnya the greatest good for the greatet number).
b. Teori Deontologis
Teori deontologis pada prinsipnya berpendapat bahwa suatu tindakan itu baik bila
memenuhi kewajiban moral (deon=kewajiban). Untuk teori ini pun terbagi dua
bagian lagi berkaitan dengan kewajiban itu siapa yang menentukan kalau kewajiban
itu ditentukan oleh aturan-aturan yang sudah ada (dari manapun datangnya) teori itu
disebut sebagai “deontologis aturan” (rule deontologist).
Namun, ada juga yang berpendapat bahwa kewajiban ditentukan bukan oleh aturan
yang sudah ada melainkan oleh situasi/ keadaan, teori ini disebut “deontologis
tindakan” (act deontologist) dalam hal ini kita mendapatkan contoh sistem etika
yang dikenal dengan nama etika situasi (ditustion ethics) yang dikembangkan oleh
Joseph fletcher.

3. Mengenali dan Membangun Karakter Kristiani dan Hubungan


Dengan Iman dan Etika Kriten

Pilihan-pilihan kita tentang baik dan buruk mempunyai sejumlah faktor penyumbang,
misalnya kondisi mental dan psikologis kita. Kalau kita sedang stress, kita berbicara dan
bertindak lain dibandingkan waktu kita tidak stress. Lingkungan sosial banyak berperan
dalam keputusan dan tindakan etis kita. Hubungan-hubungan masa lampau kita juga bisa
mempengaruhi etis kita, begitu pula orang-orang sekitar kita bisa memberi tekanan atau
mendukung yang pada gilirannya mempengaruhi kita. Kadang kita juga mengatakan
pikiran-pikiran yang selalu membisikan kepada kita untuk melakukan sesuatu, atau
sebaliknya Tuhan mengatakan agar kita melakukannya. Sebelum lebih jauh dibicarakan

8
tentang karakter, perlu diperhatikan beberapa konsep penting berikut ini: prinsip-prinsip
(priciples), nilai-nilai (values) dan kebajikan-kebajikan (virtures). Prinsip-prinsip moral
diartikan sebagai pernyataan singkat yang berfungsi sebagai penuntut tindakan yang
menentukan hal benar apa yang harus dilakukan atau sebaliknya yang tidak boleh lakukan.
Akan tetapi, masalah dalam pengambilan urusan etis ini tidak terletak pada kurangnya
prinsip-prinsip atau aturan-aturan yang baik.

Pada sisi lain, karakter Anda selalu ada bersama Anda, selalu secara segera hadir dalam
situasi apapun. Kekuatan karakter dapat menolong bahwa kita melalui situasi saat kita tidak
dapat mengingat suatu prinsip pun. Jadi apakah karakter itu? Bill Hybels, seorang pendeta,
mengatakan karaktermu adalah “siapa Anda ketika tidak seorangpun melihatmu,”
maksudnya adalah bahwa Anda harus tetap jujur bahkan ketika tidak seorang pun tahu apa
yang Anda lakukan. Misalnya, Anda tidak akan mengambil barang bukan milik Anda
meskipun tidak seorangpun tahu bahwa Anda mengambilnya, karena karakter Anda selalu
bersama Anda yakni karakter kejujuran itu. Kita baru mengatakan seseorang itu jujur,
bukan karena ia tahu dan memiliki prinsip kejujuran, melainkan karena ia memperhatikan
kejujuran dan telah menjadi pola hidupnya.

Kedua, nilai-nilai (values). Suatu cara modal untuk berbicara tentang etika kita adalah
bertanya “apa saja nilai-nilai kita”. Istilah nilai-nilai (values) ini merujuk pada fakta bahwa
kita menganggap atau memandang atribut atribut tertentu dari karakter kita sebagai “layak”
(penting) bagi kita, sebagai hal yang kita setujui. Nilai-nilai (values) menjumbuhkan
sesuatu yang subjektif dari isu (walau adalah penting untuk menghargai beberapa atribut
karakter). Kita juga harus mencatat fakta bahwa kita mengambil dari suatu istilah ekonomi
(values), dan menerapkannya serta total kepada isu-isu karakter. Hal ini merajuk kepada
konsumerisme dari perspektif kita.

9
Ketiga, kebajikan-kebajikan (virtues). Virtues berasal dari bahasa latin virtus yang secara
harfiah berarti sesuatu seperti “power” (kekuatan atau kuasa). Jadi, virtues pada dasarnya
bukan sekedar values (nilai-nilai) yakni ciri-ciri yang dirasakan berguna/layak, tetapi

kekuatan-kekuatan yang merupakan kemampuan yang riil untuk mencapai sesuatu yang
baik. Sebenarnya, menurut Gill, sebelum istilah latin virtus sudah ada konsep Yunani yang
disebut arete (yang oleh orang Romawi diterjemahkan dengan virtus). Karena itulah para
filsuf moral menterjemahkan “the ethics of character” (etika karakter) sebagai “aretaic
ethics” (etika eretaic). Sedangkan alat dalam bahasa Yunani mungkin paling baik
diterimakan dalam bahasa Inggris bagi excellence (keunggulan). Keunggulan ini bukan
keunggulan dalam semua hal, melainkan hanya keunggulan dalam terang tujuan yang sudah
ditentukan. Ketika kebajikan-kebajikan seperti itu terjalin dalam karakter kita, kebajikan-
kebajikan itu tidak menjadi sekedar komponen-komponen pengalaman hidup kita tetapi
sudah menjadi kebiasaan-kebiasaan, kecenderungan-kecenderungan, dan watak-watak yang
terus-menerus. Ryan dan Bohlin mencoba dengan cara yang agak beda menjelaskan tentang
apa itu karakter. Dengan mengunting Exupery yang mengatakan “it's only with the heart
that one seesrightly, what is essential is invisible to the eye.” Dari kutipan itu mereka
berdua ingin mengatakan bahwa karakter adalah satu dari hal-hal yang esensial tersebut.
Karakter adalah salah satu dari kata-kata yang biasa kita dengar, tetapi yang sulit
dijelaskan. Seperti halnya semua hal abstrak, kita tidak bisa melihat, menjamah, maupun
merasakannya. Bilamana kita berada di dekat seorang yang mempunyai karakter yang baik,
kita bisa menyadarinya.

Kata bahasa Inggris “character” berasal dari bahasa Yunani Charassen yang berarti
mengukir, memahat, seperti tindakan mengukir pada lempengan batu permata atau
permukaan logam. Dari akar tersebut, berkembanglah karakter sebagai suatu/petunjuk yang
khusus, dan dari situlah bertumbuhlah konsep bahwa karakter adalah pola perilaku hidup
yakni keadaan moralnya.

10
Untuk mengetahui yang baik, tibalah pada pemahaman akan yang baik dan jahat. Tindakan
ini berarti mengembangkan kemampuan untuk menilai situasi dan secara sadar memilih hal
yang benar untuk dilakukan dan melakukannya inilah yang disebut oleh Aristoteles sebagai
penalaran praktis. Ini tidak hanya bijaksana mengatur waktu tetapi juga menentukan
prioritas, dan memilih dengan baik dalam semua bidang kehidupan.

Melakukan yang baik berarti, bahwa setelah pertimbangan yang teliti dan sungguh-sungguh
atas semua keadaan dan fakta-fakta yang relevan mempunyai kemampuan untuk
berbuat/bertindak. Dunia penuh dengan orang-orang yang tahu hal benar apa yang harus
dilakukan, tetapi kurang sekali kemauan untuk melakukannya. Mereka tahu apa yang baik,
tetapi tidak dapat mengantar mereka kepada melakukan yang baik.

Namun dari perspektif Kristen, yang baik adalah yang dikehendaki Tuhan. Apa yang
dikehendaki Tuhan? Sangat banyak dan tersebar dalam seluruh Alkitab intinya adalah
“kasih” atau mengasihi karena itulah hukum utama dan pertama. Apa arti mengasihi itu?
Tentu saja masih membutuhkan penjelasan. Bisa juga kita mengatakan bahwa hukum kasih
yakni “mengasihi Tuhan Allah dan mengasihi sama seperti mengasihi diri sendiri” (lihat
Mat. 22:37-40) adalah prinsip utama dan terdalam. Hal ini masih bisa dijabarkan secara
lebih spesifik seperti dalam kata-kata Tuhan Yesus dalam Lukas yang mengatakan “sama
seperti kamu suka orang lain berbuat kepadamu maka perbuatlah itu kepada orang lain.”

Bagaimanakah hubungan antara iman dan etika Kristen dan karakter Kristen? Hubungan
diantara ketiganya sangat erat dan bahkan menyatu. Iman Kristiani, bilamana dipahami
dengan betul, tidak hanya menyangkut kepercayaan dalam arti kognitif, sebagai pengakuan
intelektual kita mengenai kebenaran dari yang kita percayai. Iman Kristiani mencangkup
pengertian mempercayakan diri kepada yang dipercayai dan membangun sikap dalam
hubungan dan komitmen dengan yang dipercayai. Pada akhirnya, pengetahuan dan sikap
saja tidak cukup untuk mewujudkan iman Kristiani itu. Kita perlu apa yang kita percayai
dan kita ketahui bahwa hal itu baik.

11
Tuhan Yesus setelah selesai membasuh kaki para murid-Nya, menantang mereka dengan
pernyataan: mengertikah mereka akan apa yang sudah dia lakukan-Nya? Dan tanpa
menunggu jawaban mereka, Tuhan Yesus langsung melanjutkan dengan kata-kata
berikutnya: “Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama
dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu.” (Mat.7:24)

Pada intinya jelas bahwa karakter kristen tidak hanya terbatas pada tahu apa yang baik,
tetapi juga mempunyai kecintaan, dan keinginan melakukannya, serta melakukan dalam
tindakan nyata. Berkali-kali Alkitab menegaskan hal ini, misalnya dalam Yakobus 2:26
yang mengatakan bahwa “sama seperti tubuh tanpa roh adalah mati demikian pun iman
tanpa perbuatan adalah mati.”

Gil kembali lagi menegaskan perlunya memahami konsep “hati” di dalam Alkitab. Bagi
mereka yang percaya akan Alkitab sebagai firman Tuhan hati adalah pusat yang
mengontrol kehidupan seseorang. Tuhan Yesus mengatakan, “sebab dari dalam dari hati
orang timbul segala pikiran jahat, pencabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan,
keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kekebalan”
Semua yang jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang. Karena itu, kita butuh hati
yang baru, cara pandang baru, yang berasal dari Allah dan diasuh oleh firman-Nya serta
didukung oleh komunitas orang berkarakter baik, sehingga seseorang terbangun karakter
kristianinya.

Pertama, dari sudut pandang manapun, terutama teologis, pendidikan karakter adalah
tanggung jawab utama dan pertama dari orang tua, karena setiap anak pada umurnya
terlahir dalam keluarga, dan dipercaya sebagai anak karunia Tuhan. Karena itu orang tua
lah penanggung jawab untuk mendidik karakter bagi anak-anaknya.

Kedua, secara tradisional, komunitas agamawi juga bertanggung jawab terhadap


pendidikan karakter umatnya. Fungsi agama, antara lain, sebagai penuntut moral, termasuk
karakter moralnya.

12
Ketiga, sekolah bertanggung jawab terhadap pendidikan karakter. Belakangan ini, sekolah
diingatkan untuk mengerjakan tanggung jawab ini khusus nya masyarakat Amerika yang
sudah menjadi pendidikan karakter sebagai suatu gerakan nasional. Di sinilah dibutuhkan
dukungan komunitas karakter keluarga, sekolah, dan gereja/komunitas agamawi dapat
menjadi komunitas karakter. Hal ini hanya bisa terjadi bila keluarga, sekolah/universitas,
serta komunitas agamawi mempunyai budaya berkarakter: adil, memberi perhatian,
disiplin, terbuka, dan lain-lain. Pendidikan agama hanyalah salah satu unsur kecil dalam
keseluruhan budaya suatu komunitas keluarga, gereja dan sekolah. Alangkah baiknya bila
ketiga pilar tadi bekerja sama secara sinergis sehingga karakter anak didik benar-benar
terbangun. Ingat bahwa dunia melalui berbagai industri budaya dan hiburan/mainan
menawarkan dan membangun karakter anak-anak muda tetapi karakternya yang
bertentangan dengan kebajikan yang dianut keluarga sekolah dan gereja.

4. Sistem Etika Kristen dan Prinsip Utamanya

Etika Kristen yakni ilmu yang mempelajari norma-norma atau nilai-nilai yang digunakan
oleh orang Kristen untuk menilai tindakan serta memotivasi manusia itu dapat dikatakan
baik, benar, dan bertanggung jawab dan sebaliknya. Untuk itu, acuannya adalah kitab suci
Alkitab yang dipercaya sebagai standar bagi kepercayaan dari perilaku atau motivasi orang
Kristen.

Adakah pernyataan aktivitas memberi prinsip umum yang harus diaktualisasi dalam situasi
yang konkret? Misalnya menghadapi masalah nilai keterangan gender, dari manakah nilai
ekstra gender itu diambil? Tentu saja tidak ada kesetaraan gender tetapi prinsipnya ada
yakni bahwa manusia diciptakan Tuhan menurut gambar-Nya dan mereka diciptakan
sebagai laki-laki dan perempuan karena keduanya diciptakan segambar dan dengan Tuhan,
manusia laki-laki maupun manusia perempuan merupakan setara dan sederajat.

Dekalog/sepuluh perintah Tuhan membuat larangan-larangan dan dianggap sebagai hukum-


hukum. Kalau dibaca dari kacamata Perjanjian Baru dekalog tetap merupakan acuan moral

13
dan karakter orang percaya. Walaupun Tuhan Yesus memperbaruinya dengan mengatakan
bahwa hanya ada satu hukum utama yakni hukum kasih, baik kasih kepada Allah dan juga
kasih kepada sesama manusia (atau lebih akurat dikatakan: kasih kepada Allah melalui
kasih kepada sesama dan pemeliharaan terhadap ciptaan Allah) inilah jiwa dari sepuluh
hukum dalam dekalog tersebut. Tanpa kasih, ketaatan terhadap kesepuluh hukum itu akan
kehilangan roh dan justru mengorbankan esensinya yakni kasih. Kasih adalah melakukan
apa yang terbaik bagi yang dikasihi tanpa adanya syarat bukan kasih karena...., melainkan
kasih walaupun…….

5. Etika Teologis dan Etika Filsafat

Bila etika adalah ilmu yang mempelajari norma-norma sebagai ukuran untuk menilai
perilaku dan motivasi manusia apakah baik atau tidak, pernyataan yang muncul adalah dari
mana kah sumber norma manusia itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada dua kategori
jawaban. Pertama, dari Allah atau yang dianggap Tuhan. Kedua, dari manusia sendiri
melalui kontrak sosial atau penalarannya.

a. Etika Teologis
Kata teologis berasal dari “teologi” yang berarti agama. Jadi, etika teologis
merupakan suatu etika yang dibahas sesuai dengan ajaran dalam Kristen. Etika ini
akan terwujud ketika seseorang mengetahui tujuan hidup orang Kristen. Tanpa
adanya ajaran tersebut, etika teologis tidak pernah terwujud. Etika teologis ini akan
memandang perbuatan sebagai suatu tindakan yang berhubungan dengan:
 Perbuatan yang dilakukan manusia harus sesuai dengan perintah Tuhan
 Perbuatan tersebut harus diwujudkan dalam tindakan nyata dalam cinta
kasih
 Suatu bentuk penyerahan diri manusia kepada Tuhan, Sang Pencipta

14
Etika teologis adalah sistem etika yang bersumber normanya dipercayai berdasarkan
dari Tuhan atau setidak-tidaknya lahir dari asumsi-asumsi teologis baik tentang
Tuhan dan manusia yang bersumber utamanya dari kitab suci masing-masing
agama. Pernyataan-pernyataan dari kitab suci masing-masing agama itu masih perlu
ditafsirkan dalam konteks dan sejarahnya agar menemukan arti serta nilai-nilai yang
bisa dijadikan norma perilaku dan motivasi manusia. Etika Kristen, etika Islam,
etika Hindu, etika Budha, dan lain-lain, termasuk dalam kategori etika teologis.
Bagi sistem etika Kristen, acuan utama adalah pada tokoh dan teladan Kristus
sendiri, melalui ajaran-ajaran-Nya terutama melalui contoh kehidupan-Nya.
Karakter yang ideal sesuai kehendak Allah terwujud dan tercermin dalam
keseluruhan hidup-Nya. Jadi, apa yang sudah dijelaskan di atas, tidak ada etika
Kristen dan etika karakter kalau tidak dikaitkan dengan Yesus Kristus melalui
ajaran-Nya dan teladan-Nya.

b. Etika Filsafat
Kata filosofis berasal dari Bahasa Yunani “philos” yang berarti cinta. Etika
filosofis adalah pengelompokan perbuatan-perbuatan yang menyangkut moralitas
yang dipandang dari sudut filsafat. Hubungan antara etika, moral, dan kemanusiaan
akan dianalisa secara mendalam melalui sebuah rasio perbuatan menurut hukum
Kristiani.

Etika filsafati adalah etika yang dibangun atas dasar pemikiran filsafat manusia
maupun berdasarkan kontrak social. Etika filsafati ini sudah ada sejak dulu, bahkan
setiap budaya melahirkan sistem nilai yang menjadi norma perilaku dan motivasi
yang baik.

15
BAB. III
KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan:
Agama tanpa dimensi etis, moral, dan karakter, hampir tidak ada yang signifikan
bagi manusia dan di dunia ciptaan Tuhan. Pada akhirnya etika dan molaritas harus
menunjukkan kebajikan-kebajikan yang kemudian melalui pendidikan bangun
karakter kebajikan-kebajikan tersebut terjalin dengan pengalaman yang baik dan
benar bagi kita. Itulah karakter yang baik sehingga tujuan pendidikan semula untuk
menjadikan orang-orang yang terdidik pintar dan baik menjadi suatu kenyataan
yang pada gilirannya menyumbang untuk menjadikan bangsa dan masyarakat ini
berkarakter dan bermoral.

2. Saran:
Seharusnya pendidikan di dalam masyarakat, sekolah/universitas maupun di
lingkungan keluarga harus berjalan dengan baik dan harus berjalan secara sinergis
agar menciptakan budaya yang berkarakter: adil, memberi perhatian, disiplin,
terbuka, dan menunujukkan sikap yang benar supaya semua orang yang terdidik
menjadi memiliki etika dan moral yang baik.

16
17

Anda mungkin juga menyukai