Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PEDAHULUAN

HALUSINASI

A. Pengertian

Halusinasi merupakan gangguan persepsi sensori dari suatu obyek

tanpa adanya rangsangan dari luar, dimana gangguan persepsi sensori ini

meliputi seluruh panca indra. Halusinasi merupakan salah satu gejala

gangguan jiwa dimana pasien mengalami perubahan persepsi sensori

serta merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan,

perabaan atau penciuman (Yusuf, Ah., Fitryasari, R., & Nihayati,

H. E, 2015).

Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien

mengalami perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa

suara, penglihatan, pengecapan, parabaan atau penghiduan. Klien

merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada (Damaiyanti, 2012).

Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan

rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar).

Klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada

objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan

mendengar suara padahal tidak ada orang yang berbicara (Direja, 2011).

Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa dimana

pasien mengalami perubahan persepsi sensori berupa: merasakan sensasi

palsu seperti: mendengar suara-suara, penglihatan, perabaan, pengecapan


dan penghinduan (Stuart dan Laraia, 2005).

B. Proses terjadinya Halusinasi

Ketika seseorang mengalami stress, otak akan merespon untuk

menafsirkan serta menterjemahkan terhadap perubahan yang terjadi.

Stress akan menyebabkan korteks serebri mengirimkan tanda bahaya ke

hipotalamus. Kemudian respon saraf simpatis untuk melakukan

perubahan. Dan ankan ditangkap oleh sistim limbik yaitu amigdala yang

bertanggung jawab untuk pengontrolan emosional pada diri seseorang.

Gannguan pada sitim limbik ini yang akan menyebabkan gangguan pada

emosi, perilaku, dan kepribadian pada diri seseorang. Dan terdapat gejala

perubahan stasus mental, ingatan, kecemasan, perubahan kepribadian dan

halusinasi (Kaplan, Saddock dan Grebb, 1997).

C. Etiologi

1) Faktor Predisposisi

1) Faktor perkembangan

Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan

interpersonal yang dapat meningkatkan stress dan ansietas yang

dapat berakhir dengan gangguan persepsi. Pasien mungkin menekan

perasaannya sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak

efektif

2) Faktor sosial budaya

Berbagai faktor di masyarakat yang membuat seseorang

merasa disingkirkan atau kesepian, selanjutnya tidak dapat diatasi


sehingga timbul akibat berat seperti delusi dan halusinasi

3) Faktor psikologis

Kepribadian terdiri dari tiga aspek yaitu: Id, Ego, dan Super

Ego. Pertimbangan Id dan Super Ego sering tidak seimbang,

sehingga menimbulkan konlik. Hubungan interpersonal yang tidak

harmonis, serta peran ganda atau peran yang bertentangan dapat

menimbulkan ansietas berat terakhir dengan pengingkaran terhadap

kenyataan sehingga terjadi halusinasi

4) Faktor biologis

Struktur otak yang abnormal ditemukan pada pasien

gangguan orientasi realitas, serta dapat ditemukan atropik otak,

pembesaran ventikal, perubahan besar, serta bentuk sel kortikal dan

limbic. Perubahan struktur otak yang mempengaruhi keseimbangan

neurotransmitter. Menurut hawari (2003) perubahan SSP, gangguan

neurotransmitter, dan neuron serta interksi zat neuro-kimia seperti

dopamine dan serotonin yang mempengaruhi kognitif, aektif dan

psikomotor. Kerusakan pada lobus frontalis dapat menyebabkan

gangguan berfikir dan kesulitan untuk berbicara dan tidak mampu

mengontrol emosi yang mengakibatkan berprilaku maladaptif.

5) Faktor genetic

Gangguan orientasi realitas termasuk halusinasi umumnya

ditemukan pada psaien skizofrenia.


2) Faktor Presipitasi

1) Stressor sosial budaya

Stress dan kecemasan akan meningkat bila terjadi penurunan stabilitas

keluarga, perpisahan dengan orang yang penting, atau diasingkan dari

kelompok dapat menimbulkan halusinasi

2) Faktor bokimia

Berbagai penelitian tentang dopamine, norepinetrin, indolamin serta

zat halusigenik diduga berkaitan dengan gangguan orientasi realitas

termasukhalusinasi.

3) Faktor psikologis

Intensitas kecemasan yang ekstrem dan memanjang disertai

terbatasnya kemampuan mengatasi masalah memungkinkan

berkembangnya gangguan orientasi realitas. Pasien mengembangkan

koping untuk menghindari kenyataan yang tidak menyenangkan

4) Perilaku

Perilaku yang perlu dikaji pada pasien dengan gangguan orientasi

realitas berkaitan dengan perubahan proses pikir, afektif persepsi

motoric dan sosial.


D. Rentang Respon Halusinasi

Adaptif Maladaptif

Pikiran logis Proses pikir terganggu Gangguan proses pikir

Persepsi tepat Ilusi Halusinasi

Emosi konsisten Perilaku yang tidak Kesukaran proses pikir

biasa

Interaksi sosial Menarik diri Isolasi sosial

Harmonis

Adaptif Maladaptif

Sehat Jiwa Masalah Psikososial Gangguan Jiwa


Pikiran logis Pikiran kadang menyimpang Waham
Persepsi akurat Ilusi Halusinasi
Emosi konsisten Reaksi emosional Ketidakmampuan
mengendalikan emosi
Perilaku sesuai Perilaku kadang tidak sesuai Perilaku kacau
Hubungan sosial Menarik diri Isolasi sosial
memuaskan
(Stuart, 2016).

E. Tanda dan Gejala Halusinasi

Adapun Tanda dan gejala halusinasi menurt Direja, 2011 sebagai berikut :

1. Halusinasi Pendengaran

Data Objektif : Bicara atau ketawa sendiri, marah-marah tanpa

sebab, mengarahkan telinga ke arah tertentu, menutup telinga.

Data Subjektif : mendengar suara atau kegaduhan, mendengarkan

suara yang mengajak bercakap-cakap, mendengarkan suara yang

menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya.


2. Halusinasi Penglihatan

Data Objektif : menunjuk-nunjuk kearah tertentu, ketakutan pada

sesuatu yang tidak jelas.

Data Subjektif : melihat bayangan, sinar bentuk geometris, bentuk

kortoon, melihat hantu atau monster.

3. Halusinasi Penghidungan

Data Objektif : menghidu seperti sedang membaui bau-bauan

tertentu, menutup hidung.

Data Subjektif : membaui bau-bauan seperti bau darah, urine, feses,

kadang-kadang bau itu menyenangkan.

4. Halusinasi Pengecapan

Data Objektif : Sering meludah, muntah.

Data Subjektif : merasakan rasa seperti darah, urine atau feses.

5. Halusinasi Perabaan

Data Objektif :Menggaruk- garuk permukaan kulit.

Data Subjektif : menyatakan ada serangga di permukaan kulit, merasa

tersengat listrik.

F. Fase-fase Halusinasi

Menurut Stuart dan Laraia (2001) membagi fase halusinasi dalam 4 fase

berdasarkan tingkat ansietasnya yang dialami dan kemampuan klien

mengendalikan dirinya

1. Fase 1 : Comforting : Ansietas Sedang : halusinasi menyenangkan.

Karakteristik : Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas,


kesepian, rasah bersalah, takut, dan mencoba untuk berfokus pada

pikiran menyenangkan untuk meredakan ansietas. Individu mengenali

bahwa pikiran-pikiran dan pengalaman sensori berada dalam kendali

kesadaran jika ansietas dapat ditangani.

Perilaku klien :

a. Tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai

b. Menggerakkan bibir tanpa suara.

c. Pergerakan mata yang cepat.

d. Respon verbal yang lambat jika sedang asyik.

e. Diam dan asyik sendiri.

2. Fase II : Condemning : Ansietas Berat : Halusinasi menjadi

menjijikkan.

Karakteristik : Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan.

Klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil

jarak dirinya dengan sumber yang dipersepsikan. Klien mungkin

mengalami dipermalukan oleh pengalaman sensori dan menarik diri

dari orang lain.

Perilaku Klien :

a. Meningkatnya tanda-tanda sistem syaraf otonom akibat ansietas

otonom akibat ansietas seperti peningkatan denyut jantung,

pernafasan, dan tekanan darah.

b. Rentang perhatian menyempit.


c. Asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan

membedakan halusinasi dan realita.

3. Fase III : Controlling : Ansietas berat : Pengalaman sensori

menjadi berkuasa

Karakteristik : Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap

halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Isi halusinasi

menjadi menarik. Klien mungkin mengalami pengalaman kesepian jika

sensori halusinasi berhenti.

Perilaku Klien :

a. Kemauan yang dikendalikan halusinasi akan lebih diikuti.

b. Kesukaran berhubungan dengan orang lain.

c. Rentang perhatian hanya beberapa detik atau menit.

d. Adanya tanda-tanda fisik ansietas berat : berkeringat, tremor, tidak

mampu mematuhi perintah.

4. Fase IV : Conquering : Panik : Umumnya menjadi melebur dalam

halusinasi.

Karakteristik : pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien

mengikuti perintah halusinasi. Halusinasi berakhir dari beberapa jam

atau hari jika tidak ada intervensi terapeutik.

Perilaku Klien :

a. Perilaku teror akibat panik.

b. Potensi kuat suicide (bunuh diri) atau homicide (membunuh orang

lain)
c. Aktivitas fisik merefleksikan isi halusinasi seperti perilaku

kekerasan, agitasi, menarik diri, atau katatonia.

d. Tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks.

e. Tidak mampu berespon lebih dari satu orang.

G. Jenis-jenis Halusinasi

Jenis halusinasi Data subyektif Data obyektif


Halusinasi  Mendengarkan suara-suara atau  Bicara atau tertawa
dengar/suara kegaduhan sendiri
 Mendengar suara yang mengajak  Marah-marah tanpa
bercakap-cakap sebab
 Mendengar suara menyuruh  Mengarahkan telinga
melakukan sesuatu yang ke arah
berbahaya tertentu
 Menutup telinga
Halusinasi  Melihat bayangan, sinar, bentuk  Menunjuk-nunjuk ke
Penglihatan geometris, bentuk kartun, melihat rah tertentu
hantu atau monster  Ketakutan pada
sesuatu yang tidakjelas

Halusiansi  Membaui bau-bauan seperti bau  Mencium seperti


Penciuman darah, urine, feses dan kadang- sedang membauibau-
kadang bau itu menyenangkan bauan tertentu
 Menutup hidung
Halusinasi  Merasakan seperti darah, urine,  Sering meludah
Pengecapan atau feses  Muntah
Halusinasi perabaan  Mengatakan ada serangga di  Menggaruk
permukaan kulit garuk
 Merasa seperti tersengat listrik permukaan
kulit

H. Penatalaksanaan Medis

Menurut Keliat (2014) dalam Pambayun (2015), tindakan

keperawatan untuk membantu klien mengatasi halusinasinya dimulai

dengan membina hubungan saling percaya dengan klien. Hubungan saling


percaya sangat penting dijalin sebelum mengintervensi klien lebih lanjut.

Pertama-tama klien harus difasilitasi untuk merasa nyaman menceritakan

pengalaman aneh halusinasinya agar informasi tentang halusinasi yang

dialami oleh klien dapat diceritakan secara konprehensif. Untuk itu

perawat harus memperkenalkan diri, membuat kontrak asuhan dengan

klien bahwa keberadaan perawat adalah betul-betul untuk membantu

klien. Perawat juga harus sabar, memperlihatkan penerimaan yang tulus,

dan aktif mendengar ungkapan klien saat menceritakan halusinasinya.

Hindarkan menyalahkan klien atau menertawakan klien walaupun

pengalaman halusinasi yang diceritakan aneh dan menggelikan bagi

perawat. Perawat harus bisa mengendalikan diri agar tetap terapeutik.

Setelah hubungan saling percaya terjalin, intervensi keperawatan

selanjutnya adalah membantu klien mengenali halusinasinya (tentang isi

halusinasi, waktu, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang

menyebabkan munculnya halusinasi, dan perasaan klien saat halusinasi

muncul). Setelah klien menyadari bahwa halusinasi yang dialaminya

adalah masalah yang harus diatasi, maka selanjutnya klien perlu dilatih

bagaimana cara yang bisa dilakukan dan terbukti efektif mengatasi

halusinasi. Proses ini dimulai dengan mengkaji pengalaman klien

mengatasi halusinasi. Bila ada beberapa usaha yang klien lakukan untuk

mengatasi halusinasi, perawat perlu mendiskusikan efektifitas cara

tersebut. Apabila cara tersebut efektif, bisa diterapkan, sementara jika cara
yang dilakukan tidak efektif perawat dapat membantu dengan cara-cara

baru.

Menurut Keliat (2014), salah satu cara mengontrol halusinasi

adalah melalui penggunan obat. Salah satu penyebab munculnya

halusinasi adalah akibat ketidakseimbangan neurotransmiter di syaraf

(dopamin, serotonin). Jenis-jenis obat yang biasa digunakan pada pasien

halusinasi adalah:

1. Clorpromazine ( CPZ, Largactile ), Warna : Orang

Indikasi: Untuk mensupresi gejala – gejala psikosa : agitasi, ansietas,

ketegangan, kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan gejala –

gejala lain yang biasanya terdapat pada penderita skizofrenia, manik

depresi, gangguan personalitas, psikosa involution, psikosa masa

kecil.

Cara pemberian: Untuk kasus psikosa dapat diberikan per oral atau

suntikan intramuskuler. Dosis permulaan adalah 25 – 100 mg dan

diikuti peningkatan dosis hingga mencapai 300 mg perhari. Dosis ini

dipertahankan selama satu minggu. Pemberian dapat dilakukan satu

kali pada malam hari atau dapat diberikan tiga kali sehari. Bila gejala

psikosa belum hilang, dosis dapat dinaikkan secara perlahan – lahan

sampai 600 – 900 mg perhari.

Kontra indikasi: Sebaiknya tidak diberikan kepada klien dengan

keadaan koma, keracunan alkohol, barbiturat, atau narkotika, dan

penderita yang hipersensitif terhadap derifat fenothiazine.


Efek samping: Yang sering terjadi misalnya lesu dan mengantuk,

hipotensi orthostatik, mulut kering, hidung tersumbat, konstipasi,

amenore pada wanita, hiperpireksia atau hipopireksia, gejala

ekstrapiramida. Intoksikasinya untuk penderita non psikosa dengan

dosis yang tinggi menyebabkan gejala penurunan kesadaran karena

depresi susunan syaraf pusat, hipotensi,ekstrapiramidal, agitasi,

konvulsi, dan 14 perubahan gambaran irama EKG. Pada penderita

psikosa jarang sekali menimbulkan intoksikasi.

2. Haloperidol ( Haldol, Serenace ), Warna : Putih besar

Indikasi: Yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma gilies de

la tourette pada anak – anak dan dewasa maupun pada gangguan

perilaku yang berat pada anak – anak.

Cara pemberian: Dosis oral untuk dewasa 1 – 6 mg sehari yang

terbagi menjadi 6 – 15 mg untuk keadaan berat. Dosis parenteral

untuk dewasa 2 -5 mg intramuskuler setiap 1 – 8 jam, tergantung

kebutuhan.

Kontra indikasi: Depresi sistem syaraf pusat atau keadaan koma,

penyakit parkinson, hipersensitif terhadap haloperidol. Efek samping:

Yang sering adalah mengantuk, kaku, tremor, lesu, letih, gelisah,

gejala ekstrapiramidal atau pseudoparkinson. Efek samping yang

jarang adalah nausea, diare, kostipasi, hipersalivasi, hipotensi, gejala

gangguan otonomik.
Efek samping yang sangat jarang yaitu alergi, reaksi hematologis.

Intoksikasinya adalah bila klien memakai dalam dosis melebihi dosis

terapeutik dapat timbul kelemahan otot atau kekakuan, tremor,

hipotensi, sedasi, koma, depresi pernapasan.

3. Trihexiphenidyl ( THP, Artane, Tremin ), Warna: Putih kecil

Indikasi: Untuk penatalaksanaan manifestasi psikosa khususnya gejala

skizofrenia.

Cara pemberian: Dosis dan cara pemberian untuk dosis awal

sebaiknya rendah ( 12,5 mg ) diberikan tiap 2 minggu. Bila efek

samping ringan, dosis ditingkatkan 25 mg dan interval pemberian

diperpanjang 3 – 6 mg 15 setiap kali suntikan, tergantung dari respon

klien. Bila pemberian melebihi 50 mg sekali suntikan sebaiknya

peningkatan perlahan – lahan.

Kontra indikasi: Pada depresi susunan syaraf pusat yang hebat,

hipersensitif terhadap fluphenazine atau ada riwayat sensitif terhadap

phenotiazine. Intoksikasi biasanya terjadi gejala – gejala sesuai

dengan efek samping yang hebat. Pengobatan over dosis ; hentikan

obat berikan terapi simtomatis dan suportif, atasi hipotensi dengan

levarteronol hindari menggunakan ephineprine ISO, (2008) dalam

Pambayun (2015).
I. Pengkajian Keperawatan

Fokus pengkajian pada kasus halusinasi : persepsi halusinasi, isi

halusinasi, waktu terjadinya, frekuensi halusinasi, respon pasien. Menurut

Stuart (2009) bahwa faktor-faktor terjadinya halusinasi meliputi:

a. Faktor predisposisi Faktor predisposisi atau faktor yang mendukung

terjadinya halusinasi menurut Stuart (2013) adalah :

1) Faktor biologis Pada keluarga yang melibatkan anak kembar dan

anak yang diadopsi menunjukkan peran genetik pada

schizophrenia.Kembar identik yang dibesarkan secara terpisah

mempunyai angka kejadian schizophrenia lebih tinggi dari pada

saudara sekandung yang dibesarkan secara terpisah.

2) Faktor psikologis Hubungan interpersonal yang tidak harmonis

akan mengakibatkan stress dan kecemasan yang berakhir dengan

gangguan orientasi realita. c. Faktor sosial budaya Stress yang

menumpuk awitan schizophrenia dan gangguan psikotik lain,

tetapi tidak diyakini sebagai penyebab utama gangguan.

b. Faktor presipitasi Faktor presipitasi atau faktor pencetus halusinasi

menurut Stuart (2009) adalah:

1) Biologis

Stressor biologis yang berhubungan dengan respon neurobiologis

maladaptif adalah gangguan dalam komunikasi dan putaran umpan

balik otak dan abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam


otak, yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif

menanggapi stimulus.

2) Lingkungan

Ambang toleransi terhadap stres yang ditentukan secara biologis

berinteraksi dengan stresor lingkungan untuk menentukan

terjadinya gangguan prilaku.

3) Stres sosial / budaya Stres dan kecemasan

Meningkat apabila terjadi penurunan stabilitas keluarga,

terpisahnya dengan orang terpenting atau disingkirkan dari

kelompok.

4) Faktor psikologik

Intensitas kecemasan yang ekstrem dan memanjang disertai

terbatasnya kemampuan mengatasi masalah dapat menimbulkan

perkembangan gangguan sensori persepsi halusinasi.

5) Mekanisme koping

Menurut Stuart (2013) perilaku yang mewakili upaya untuk

melindungi pasien dari pengalaman yang menakutkan

berhubungan dengan respons neurobiologis maladaptif meliputi :

regresi, berhunbungan dengan masalah proses informasi dan upaya

untuk mengatasi ansietas, yang menyisakan sedikit energi untuk

aktivitas sehari-hari. Proyeksi, sebagai upaya untuk menejlaskan

kerancuan persepsi dan menarik diri.


6) Sumber koping

Menurut Stuart (2013) sumber koping individual harus dikaji

dengan pemahaman tentang pengaruh gangguan otak pada

perilaku. Orang tua harus secara aktif mendidik anak–anak dan

dewasa muda tentang keterampilan koping karena mereka

biasanya tidak hanya belajar dari pengamatan. Disumber keluarga

dapat pengetahuan tentang penyakit, finensial yang cukup, faktor

ketersediaan waktu dan tenaga serta kemampuan untuk

memberikan dukungan secara berkesinambungan.

7) Perilaku halusinasi

Menurut Towsend (2016), batasan karakteristik halusinasi yaitu

bicara teratawa sendiri, bersikap seperti mendengar sesuatu,

berhenti bicara ditengah – tengah kalimat untuk mendengar

sesuatu, disorientasi, pembicaraan kacau dan merusak diri sendiri,

orang lain serta lingkungan.

J. Diagnosa Keperawatan

1. Resiko Perilaku Kekerasan

2. Perubahan Persepsi Sensori

3. Isolasi Sosial

K. Tindakan Keperawatan pada Pasien Halusinasi

Tujuan tindakan untuk pasien meliputi :

a. Pasien mengenali halusinasi yang dialaminya.

b. Pasien dapat mengontrol halusinasinya


c. Pasien mengikuti program pengobatan secara optimal.

1. Tindakan Keperawatan Pada Pasien

a. Membantu Pasien Mengenali Halusinasi Untuk membantu pasien

mengenali halusinasi, perawat dapat melakukannya cara

berdiskusi dengan pasien tentang ini halusinasi (apa yang

didengar atau dilihat),waktu terjadinya halusinasi, frekuensi

terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan halusinasi

muncul dan perasaan pasien saat halusinasi muncul.

b. Melatih Pasien Mengontrol Halusinasi. Untuk membantu pasien

agar mampu mengontrol halusinasi perawat dapat melatih pasien

empat cara yang sudah terbukti dapat mengendalikan halusinasi.

Keempat cara tersebut meliputi

SP 1: Melatih Pasien Menghardik

Halusinasi Menghardik halusinasi adalah upaya mengendalikan

diri terhadap halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang muncul.

Pasien dilatih untuk mengatakan tidak terhadap halusinasi yang muncul

atau tidak memerdulikan halusinasinya. Kalau ini bisa dilakukan, pasien

akan mampu mengendalikan diri dan tidak mengikuti halusinasi yang

muncul. Mungkin halusinasi tetap ada namun dengan kemampuan ini

pasien tidak akan larut untuk menuruti apa yang ada dalam halusinasinya.

Tahapan tindakan meliputi :

1) Menjelaskan cara menghardik halusinasi

2) Memperagakan cara menghardik


3) Meminta pasien memperagakan ulang

4) Memantau penerapan cara ini, menguatkan perilaku pasien.

SP 2: Melatih Bercakap-cakap dengan Orang Lain

Untuk mengontrol halusinasi dapat juga dengan bercakap-cakap

dengan orang lain. Ketika pasien bercakap-cakap dengan orang lain maka

terjadi distraksi, fokus perhatian pasien akan beralih dari halusinasi ke

percakapan yang dilakukan dengan orang lain tersebut Sehingga salah satu

cara yang efektif untuk mengontrol halusinasi adalah dengan bercakap-

cakap dengan orang lain.

SP 3: Melatih Pasien Beraktivitas Secara Terjadwal

Untuk mengurangi resiko halusinasi muncul lagi adalah dengan

menyibukkan diri dengan aktivitas yang teratur. Dengan beraktivitas

secara terjadwal, pasien tidak akan mengalami banyak waktu luang sendiri

yang seringkali mencetuskan halusinasi. Untuk itu pasien yang mengalami

halusinasi bisa membantu untuk mengatasi halusinasinya dengan cara

beraktivitas secara teratur dari bangun pagi sampai tidur malam, tujuh hari

dalam seminggu. Tahapan intervensi sebagai berikut:

1) Menjelaskan pentingnya aktivitas yang teratur untuk mengatasi

halusinasi

2) Mendiskusikan aktivitas yang bisa dilakukan oleh pasien.

3) Melatih pasien melakukan aktivitas


4) Menyusun jadwal aktivitas sehari-hari sesuai dengan aktivitas yang

telah dilatih. Upayakan pasien mempunyai aktivitas dari bangun pagi

sampai tidur malam, tujuh hari dalam seminggu.

5) Memantau pelaksanaan jadwal kegiatan, memberi penguatan

terhadap perilaku pasien yang positif.

SP 4: Melatih Pasien Menggunakan Obat Secara Teratur

Untuk mampu mengontrol halusinasi pasien juga harus dilatih

untuk menggunakan obat secara teratur sesuai dengan program. Pasien

gangguan jiwa yang dirawat di rumah sakit seringkali mengalami putus

obat sehingga akibatnya pasien mengalami kekambuhan. Bila kekambuhan

terjadi maka untuk mencapai kondisi seperti semula akan lebih sulit.

Untuk itu pasien perlu dilatih menggunakan obat sesuai program dan

berkelanjutan.

2. SP Halusinasi Untuk Keluarga: Tindakan Keperawatan Kepada

Keluarga

Tujuan:

a. Mengenal masalah merawat pasien di rumah.

b. Menjelaskan halusinasi (pengertian, jenis, tanda dan gejala

halusinasi dan proses terjadinya).

c. Merawat pasien dengan halusinasi.

d. Menciptakan lingkungan yang nyaman untuk klien dengan

halusinasi
e. Mengenal tanda dan gejala kambuh ulang.

f. Memanfaatkan fasilitas kesehatan untuk follow-up pasien dengan

halusinasi.

Tindakan Keperawatan

1) Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat

pasien.

2) Berikan penjelasan kesehatan meliputi : pengertian halusinasi,

jenis halusinasi yang dialami, tanda dan gejala halusinasi, proses

terjadinya halusinasi.

3) Jelaskan dan latih cara merawat anggota keluarga yang

mengalami halusinasi: menghardik, minum obat, bercakap-

cakap, melakukan aktivitas.

4) Diskusikan cara menciptakan lingkungan yang dapat mencegah

terjadinya halusinasi.

5) Diskusikan tanda dan gejala kekambuhan.

6) Diskusikan pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan terdekat

untuk follow-up anggota keluarga dengan halusinasi

SP 1 Keluarga : Mengidentifikasi masalah yang dirasakan dalam merawat klien

halusinasi dan melatih keluarga cara membimbing pasien mengontrol halusinasi

dengan menghardik.

SP 2 Keluarga : Melatih keluarga cara membimbing pasien minum obat secara

teratur menggunakan prinsip 6 benar.


SP 3 Keluarga : Melatih keluarga membimbing klien mengontrol halusinasi

dengan cara bercakap-cakap

SP 4 Keluarga : Melatih keluarga cara membimbing pasien mengontrol

halusinasi dengan kegiatan harian dan menjelaskan cara follow up ke RSJ/PKM,

mengevaluasi tanda kambuh dan cara melakukanrujukan ke RSJ/PKM

Evaluasi

Menurut Damaiyanti (2012), evaluasi dilakukan sesuai pada perubahan persepsi

sensori (halusinasi) yaitu :

1) Klien dapat menbina hubungan saling percaya

2) Klien dapat mengenali halusinasinya

3) Klien dapat mengontrol halusinasinya

4) Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mrngontrol halusinasi

5) Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik


DAFTAR PUSTAKA

Ah. Yusuf, Rizky Fitryasari PK, dan Hanik Endang Nihayati. (2015). Buku Ajar

Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

Damaiyanti, Mukhripah dan Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa.

Bandung : Refika Aditama.

Direja, Ade H.S. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:

Nuha Medika.

Hawari D (2003). Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa : Skizofrenia. Jakarta

: FKUI.

Kaplan H.I, Sadock B.J, Grebb J.A. 1997. Sinopsis Psikiatri Jilid 1. Edis

ke-7. Terjemahan Widjaja Kusuma. Jakarta: Binarupa Aksara. p. 86-108.

Stuart & Laraia. 2005. Buku Saku Keperawatan Jiwa (terjemahan). Jakarta: EGC

Stuart, G. W., Laraia, M. T. (2001). Prinsip dan Praktik Keperawatan Psikiatrik.

Jakarta. EGC

Stuart, G.W, 2016, Prinsip dan Praktik Keperawatan Jiwa Stuart Buku 2 : Edisi

Indonesia, Elseiver, Singapore

Anda mungkin juga menyukai