Anda di halaman 1dari 16

LANGKAH-LANGKAH PEMBINAAN AKHLAK

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok

Mata Kuliah : Akhlak Tasawuf

Dosen Pengampu : Bapak Nur Hidayat, M.Ag

Disusun Oleh :

PGMI A / Smt V

Alfi Nurul Hikmah (17104080026)


Yunny Tri Hanifah (17104080037)
Ismifah Tunari (17104080090)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SUNAN KALIJAGA

2019
LANGKAH-LANGKAH PEMBINAAN AKHLAK

Alfi Nurul Hikmah, Yunny Tri Hanifah, Ismifat Tunari


Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Abstrak

Akhlak merupakan perilaku yang melekat pada diri manusia. Akhlak yang
baik perlu diterapkan agar kehidupan manusia tetap berjalan dengan nyaman dan
tidak menimbulkan banyak pelanggaran dan penyelewengan. Akhlak yang baik
perlu ditanamkan pada diri manusia sejak belia agar akhlak tersebut menjadi
karakter yang melekat pada diri manusia. Dalam penanaman akhlak tersebut
terdapat beberapa langkah pembinaan yang perlu dilakukan. Langkah-langkah
pembinaan akhlak tersebut adalah Musyarathah (Penetapan Syarat), Muraqabah
(Pengawasan), Muhasabah (Introprksi), Mu’aqabah (Menghukum Diri Atas Segala
Kekurangan), Mujahadah (Bersungguh-sungguh), Mu’atabah (Mencela Diri).

Kata Kunci : Akhlak, Karakter, Pembinaan Akhlak


BAB I
PENDAHULUAN

A. Pengantar
Puji syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan kami rahmat serta hidayah – Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas kelompok dari mata kuliah Akhlak Tasawuf dengan
judul “Latngkah-langkah Pembinaan Akhlak ” dengan tepat pada waktunya.
Makalah ini disusun dengan menggunakan beberapa referensi yang
berkaitan dengan materi. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak
Nur Hidayat, M.Ag selaku dosen pengampu mata kuliah Akhlak Tasawuf
yang telah memberikan arahan dan juga bimbingan.
Makalah ini sudah disusun dengan maksimal oleh penulis dengan
kemampuan yang ada. Namun penulis menyadari bahwa makalah ini belum
sempurna. Oleh sebab itu penulis berharap pembaca memberikan kritik
serta saran yang membangun. Semoga kedepannya makalah ini dapat
bermanfaat dan menambah wawasan bagi pembaca, khususnya di bidang
pendidikan.
B. Latar Belakang
Akhlak merupakan perbuatan manusia yang dilakuakannya setiap
saat. Di jaman sekarang, akhlak merupakan salah satu landasan penting dan
perlu diteguhkan dalam hidup bermasyarakat. Akhlak seakan menjadi
kriteria pedoman manusia dalam penilaian baik dan buruknya seseorang.
Kepribadian dan perbuatan yang baik oleh manusia akan menghasilkan
akhlak yang baik juga. Akhlak yang baik harus ditanamkan kepada manusia
sedari dini agar akhalk terpuji tersebut mengakar kuat dan menjadi karakter
yang telah melekat dengan diri manusia.
Akhlak yang baik lahir dari pembiasaan-pembiasaan yang dilakukan
oleh setiap individu. Dalam membangun akhlak yang baik terdapat
beberapa langkah dalam pembinaan akhlak sebagai acuan untuk
meningkatkan akhlak yang baik dan terpuji.
C. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, dapat diambil beberapa rumusan
masalah yaitu sebagai berikut:
1. Apa saja langkah-langkah dalam pembinaan akhlak?
2. Bagaimana penjelasan dalam setiap langkah-langkah tersebut?
D. Kerangka Teori

Langkah-langkah
Pembinaan Akhlak

Musyarathah Muraqabah Muhasabah Mu'aqabah Mujahadah Mu'atabah


BAB II
PEMBAHASAN

Upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. adalah dengan


beribadah kepada Allah Swt. Beribadah merupakan bentu pengabdian manusia
kepada Allah Swt. Dalam mewujudkan pengabdiannya, manusia akan selalu
berusahan untuk bersih dan suci dari segala dosa yang melekat pada diri manusia
tersebut. Pembinaan Akhlak dalam hal ini ditekankan pada pembinaan akhlak
melalui Tarbiyah Dzatiyah, Tarbiyah Al-Nafs dan Halaqah Tarbawiyah. Para
ahli mendekat kepada Tuhannya dengan cara muraqabah, muhasabah,
musyrathah, mujahadah dan mu’tabah. Dengan cara tersebutlah salah satu
sarana bagi para ahli dalam tazkiyatun nafs yaitu pemberihan atau menyucikan
jiwa sebagai sarana mendekatkan diri pada Allah Swt.

Manusia yang selalu men-tazkiyah dirinya, maka dia akan selalu


mengingat bahwa Allah Swt akan selalu mengawasi mereka, bertanya kepada
mereka dalam proses hisab, dan kemudian akan dituntut dengan apa yang telah
dikerjakannya selama hidup dengan seditail-ditailnya. Tidak akan ada sesuatu
yang dapat menyelamatkan mereka dari proses hisab tersebut kecuali lazumul
muhasabah (muhasabah secara terus menerus), shidul muraqabah (muraqabah
secara benar), muthalabatun nafsi (menuntut jiwa). Barang siapa yang
menghisab dirinya terlebih dahulu sebelum dihisab, maka pada hari kiamat akan
ringan hisabannya. Bisa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh malaikat
dengan baik dan benar, dan akan mendapatkan tempat kembali yang baik yaitu
syurga. Tetapi sebaliknya jika tidak dapat menghisab dirinya maka akan
menyesal selamanya, akan lama dalam penantiannya di pelataran kiamat, dan
berbagai keburukan yang akan menyeretnya kepada kehinaan dan murka.
Setelah proses hisab tersebutlah, manusia akan sadar bahwa tidak ada sesuatu
yang dapat menyelamatkannya kecuali ketaatan mereka kepada Allah Swt.

Dalam hal tersebut Allah sudah memerintahkan kepada manusia untuk


bersabar dan bersiap siaga (murabathah). Dalam firman-Nya berbunyi “Hai
orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu
dantetaplah bersiap siaga…” maka dengan itu mereka dapat mensiagakan diri
mereka dengan musyarathah (menetapkan beberapa syarat), kemudian
muraqabah, muhasabah, mu’aqabah, mujahadah dan mu’atabah.

Ada beberapa tahapan yang penting agar benar-benar menjadi


penyelamat manusia dari keterperosokan dan keterpuruksn di dunia serta
kebahncuran di akhirat kelah. Dalam mempersiapakn diri untuk ber-tazkiyah,
tahapan tersebut dibagi menjadi enam tingkatan, yaitu:1

A. Musyarathah (Penetapan Syarat)


Penetapan syarat merupakan permulaan seseorang dalam melakukan
suatu kegiatan. Contohnya pada tuntutan seseorang dalam kongsi perdagangan,
ketika melakukan perhitungan maka yang diselamatkan adalah keuntungan. Saat
pedagang meminta bantuan kepada sekutu dagangnya lalu menyerahkan
hartanya agar memperdagangkan kemudian memperhitungkan keuntungan.
Begitu juga dengan akal, akal adalah pedagang di jalan akhirat, yang menjadi
tuntutan dan dan keuntungan adalah tazkiyatun nafs karena dengan hal
tersebutlah keberuntungannya. Dengan keberuntungan tersebut adalah amal
saleh. Allah berfirman “ Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
Dalam perdagangan akal dibantu oleh jiwa, yang dipergunakan dan
dikerjakan untuk hal yang dapat mensucikannya. Selain itu juga pedagang harus
menentukan syarat agar tidak dimanioulasi keuntungannya oleh sekutu.
Demikian juga dengan akal memerlukan musyarathah (penetapan syarat kepada
jiwa), lalu memberikan berbagai tugas, menetapkan berbagai syarat,
mengarahkan kejalan kemenangan, dan mewajibkan agar menempuh jalan
tersebut. Tidak lupa juga untuk mengawasinya, karena jika manusia
mengabaikannya maka akan terjadi penghianatan dan menyia-nyiakan modal.
Setelah itu barulah ia harus menghisabnya dan menuntut memenuhi syarat yang

1
Nur Hidayat, Akhlak Tasawuf (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), hlm 164-166.
talah ditetapkan, memperketat hisab pada jiwa lebih penting daripada
perhitungan keuntungan dunia,
Maka manusia yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak boleh
lalai dalam melakkan muhasabah terhadap jiwanya, memperketat dalam
berbagai gerak, diam, lintasan dan langkah-langkahnya. Apabila seorang hamba
setelah shalat subuh maka hendaknya ia meluangkan hatinya untuk menetapkan
syarat terhadap jiwanya. Seandainya Allah mematikan aku maka aku akan
berandai, “Sekiranya Allah mengembalikan aku ke dunia sehari saja, maka aku
akan beramal saleh”. Seandainya jiwa manusia telah meninggal dan kemudian
dikembalikan lagi kedunia, maka jangan menyia-nyiakan hari tersebut. Karena
satiap nafas adalah mutiara yang tidak ada nilainya. Maka bersungguh-
sungguhlah untuk mengumpulkan bekal dan menghindari dari kemalasan,
kelesuan dan santai yang dapat menyebabkan tidak dapat merah derajat “iltiyin
sebagaimana orang yang telah mendapatkannya.2

B. Muraqabah (Pengawasan)
Muraqabah atau merasa diawasi yaitu upaya diri untuk senantiasa merasa
terawasi oleh Allah (muraqabatullah). Menghadirkan muraqabatullah dalam diri
adalah dengan cara mewaspadai dan mengawasi diri sendiri. Jika hal tersebut
ada pada diri seorang muslim maka dalam dirinya terdapat “waksat” yaitu
pengawasan yang melekat yaitu ia akan aktif mengawasi dan mengontrol dirinya
sendiri karena ia sadar senantiasa berada di bawah pengawasan Allah seperti
yang dinyatakan dalam Al-Quran dan Hadis, yang artinya yaitu:
1) “Dan Dia bersama kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah Maha
melihat apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Hadid ayat 4). “ dan
seseungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa
yang dibisikkan hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari urat
lehernya” (QS. Qaf ayat 16).

2
Nur Hidayat, hlm 166-168.
2) Nabi saw. bersabda “ jangan engkau mengatakan engkau sendiri,
sesungguhnya Allah bersamamu. Dan jangan pula mengatakan taka da
yang mengetahui isi hatimu, sesungguhnya Allah metahui.” (HR.
Ahmad)

Muraqabatullah akan melahirkan ma’iyatullah (kesertaan Allah) seperti


yang ada pada keyakinan Rasulullah saw. pada QS. At-Taubah : 40 bahwa
“Sesungguhnya Allah bersama kita”, ketika Abu Bakar r.a merasa cemas musuh
akan bisa mengetahui keberadaan Nabi dan menangkapnya. Begitupula pada diri
para Nabi yang lain, mereka yakin bahwa Allah akan selalu bersama mereka.
Seperti cerita Nabi Musa a. yang menghadapi jalan buntu ketika dikejar oleh
Fir’aun maka dengan seizin Allah dibukalah laut merah agar Nabi Musa a.s dapat
menghindari Fir’aun. Apabila manusia telah mewasiati jiwa dan menetapkan
syarat kepada dirinya maka langkah selanjutnya yaitu muraqabah.

Keutamaan muraqabah adalah ketika sesorang pada waktu beribadah ia


merasa bahwa dirinya akan selalu diawasi oleh Allah Swt. Jibril’alaihisalam
pernah bertanya tentang ihsan lalu Rasulullah menjawab : “Engkau beribadah
kepada Allah seolah-olah engkau melihatnya” (Bukhari dan Muslim). Salah satu
ayat Al-Quran yang mendukung adanya keutamaan muraqabah adalah QS. Al-
Alaq : 14, yang berbunyi:

ٰ َ َ َ َّ َّ َ َ ۡ َ ۡ َ َ
١٤ ‫ألم يعلم بِأن ٱّلل يرى‬

“Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala


perbuatannya?”

Seorang hamba tidak akan terlepas dari tiga keadaan : dalam ketaatan,
atau dalm kemaksiatan atau dalam hal yang mubah. Muraqabah dalam
ketaatan ialah dengan ikhlas, menyempurnakan, menjaga adab dan
melindunginya dari berbagai catatan. Dalam kemaksiatan, maka
muraqabah-nya adalah dengan taubat, melepaskan, malu, dan sibuk
melakukan tafakur. Jika dalam hal mubah, maka muraqabah-nya adalah
dengan menjaga adab kemudian mensyukuri nikmat yang telah didapat.
Seorang hamba harus mengontrol dirinya dalam semua waktu nya dalam
ketiga hal tersebut. Jika telah menyelesaikan berbagai kewajiban dan
mampu melakukan berbagi keutamaan maka hendaknya ia mencari amal
yang paling utama untuk ditemuninya.3

C. Muhasabah (Intropeksi)
Muhasabah adalah menganalisa terus menerus atas hati berikut
keadaannya yang selalu berubah. Muhasabah juga berarti usaha seorang Muslim
untuk menghitung, mengkalkulasi diri seberapa banyak dosa yang telah
dilakukan dan mana-mana saja kebaikan yang belum dilakukannya.
Selama muhasabah, orang yang merenung pun memeriksa gerakan hati yang
paling tersembunyi dan paling rahasia. Dia menghisab dirinya sendiri sekarang
tanpa menunggu hingga Hari Kebangkitan.
Jadi muhasabah adalah sebuah upaya untuk selalu menghadirkan
kesadaran bahwa segala sesuatu yang dikerjakannya tengah dihisab, dicatat oleh
Malaikat Raqib dan Atid sehingga ia pun berusaha aktif menghisab dirinya
terlebih dulu agar dapat bergegas memperbaiki diri.

Tentang keutamaan muhasabah, Allah berfirman: “Hai orang-orang yang


beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa
yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)” (QS. Al-Hasyr ayat 18). Ini
adalah isyarat kepada muhasabah terhadap amal perbuatan yang telah dikerjakan.
Oleh karena itu Umar ra berkata, “hisablah dirimu sebelum kamu dihisab, dan
timbanglah dia sebelum kamu ditimbang.”

Seoarang hamba memulai muhasabahnya. dengan bertaubat pada Allah


SWT. Sebagaimana dalam firman Allah: “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada
Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” (QS. An-Nur ayat
31). Taubat adalah meninjau perbuatan dengan menyesalinya setelah dikerjakan.

3
Nur Hidayat, hlm 168-173.
Nabi SAW bersabda dalam sebuah Hadits Shahih: Sesungguhnya aku memohon
ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya seratus kali dalam sehari.”4

Dalam ayat lain Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang


bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah,
maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya” (QS. al- A’raf ayat
201). Dari Umar ra bahwa ia memukul kedua kakinya dengan cemeti apabila malam
telah larut seraya berkata pada dirinya; “Apakah yang telah kamu perbuat hari ini?”
Dari Maimun bin Mahran bahwa ia berkata: “Seorang hamba tidak termasuk
golongan muttaqin sehingga dia menghisab dirinya lebih keras
ketimbang muhasabahnya terhadap mitra usahanya. Al-Hasan berkata: “Orang
mukmin selau mengevaluasi dirinya, ia menghisabnya karena Allah. Hisab akan
menjadi ringan bagi orang-orang yang telah menghisab diri mereka di dunia, dan
akan menjadi berat pada hari kiamat bagi orang-orang yang mengambil perkara ini
tanpa muhasabah.”

Tentang firman Allah: “Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat
menyesali (dirinya sendiri)” (QS. al-Qiyamah ayat 2).

Penyesalan ini akan dapat mendorong seseorang untuk mengevaluasi atau


memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan, sehingga perbuatan
yang akan dijalani dapat terkontrol dengan baik. Inilah keutamaan muhasabah.

D. Mu’aqabah (Menghukum Diri Atas Segala Kekurangan)


Selain sadar akan pengawasan (muraqabah) dan sibuk mengkalkulasi
diri, maka perlu meneladani para sahabat dan salafus-shaleh dalam
meng’iqab (menghukum atau menjatuhi sanksi atas diri mereka sendiri). Bila
Umar r.a terkenal dengan ucapan: “Hisablah dirimu sebelum kelak engkau

4
Khoiri, Alwin dkk. 2005. Akhlak Tasawuf. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan
Kalijaga
Said Hawa, Al2004. -Mustakhlas fi Tazkiyah al- Anfus, Cetakan ke 8 , Terj.Annur Rafiq
Shaleh Tahmid, Jakarta: Rabani Press
dihisab”, maka mu’aqabah dianalogikan dengan ucapan tersebut yakni “Iqablah
dirimu sebelum kelak engkau diiqab”. Umar Ibnul Khathab pernah terlalaikan
dari menunaikan shalat dzuhur berjamaah di masjid karena sibuk mengawasi
kebunnya. Lalu karena ia merasa ketertambatan harinya kepada kebun
melalaikannya dari bersegera mengingat Allah, maka ia pun cepat-cepat
menghibahkan kebun beserta isinya tersebut untuk keperluan fakir miskin. Hal
serupa itu pula yang dilakukan Abu Thalhah ketika beliau terlupakan berapa
jumlah rakaatnya saat shalat karena melihat burung terbang. Ia pun segera
menghibahkan kebunnya beserta seluruh isinya, subhanallah.
Betapapun manusia telah menghisab dirinya tetapi ia tidak terbebas sama
sekali dari kemaksiatan dan melakukan kekurangan berkaitan dengan hak Allah
sehingga ia tidak pantas mengabaikannya, jika ia mengabaikannya maka ia akan
mudah terjatuh melakukan kemaksiatan, jiwanya menjadi senang kepada
kemaksiatan, dan sulit untuk memisahkannya. Hal ini merupakan sebab
kehancurannya, sehingga harus diberi sanksi. Apabila ia memakan sesuap subhat
dengan nafsu syahwat maka seharusnya perut dihukum dengan rasa lapar.
Apabila ia melihat orang yang bukan muhrimnya maka seharusnya mata
dihukum dengan larangan melihat. Demikian pula setiap anggota tubuhnya
dihukum dengan melarangnya dari syahwatnya.
Kami menyebutkan hadits Abu Thalhah, ketika hatinya tidak khusu’
karena memperhatikan seekor burung di kebunnya lalu ia menshadaqahkan
kebunnya sebagai kafarat hal tersebut. Demikian pula ‘Umar memukul kedua
kakinya dengan cemeti setiap malam seraya berkata: Apa yang telah kamu
perbuat hari ini?
Demikian pula sanksi orang-orang yang bersikap tegas terhadap jiwa
mereka. Hal yang mengherankan bahwa manusia menghukum budak, istri dan
anak manusia atas akhlak buruk yang mereka lakukan dan keteledoran mereka
terhadap suatu perintah, dan manusia memaafkan mereka niscaya urusan mereka
akan rusak dan mereka tidak mentaatinya, tetapi kemudian manusia membiarkan
nafsu syaitan yang merupakan musuh terbesar bagi manusia menyelimuti
jiwanya. Sekiranya manusia berfikir mendalam niscaya manusia menyadari
bahwa kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan akhirat, karena di
dalamnya terdapat kenikmatan abadi yang tiada ujungnya.5

E. Mujahadah (Bersungguh-sungguh)
Mujahadah merupakan upaya keras untuk bersungguh-sungguh
melaksanakan ibadah kepada Allah, menjauhi segala larangan dan mengerjakan
apa saja yang diperintahkannya.6
Rasulullah SAW terkenal dengan mujahadahnya yang luar biasa dalam
ibadah sampai kaki beliau bengkak karena terlalu lama berdiri. Namun ketika
seseorang menanyakan “Bukankah seluruh dosamu yang lalu dan yang akan
datang akan datang?” beliau menjawab, “Salahkah aku bila menjadi abdan
syakuran (hamba yang senantiasa bersyukur?”.
Diriwayatkan dari seseorang dari sahabat Ali bin Abi Thalib ra bahwa ia
berkata : “Aku pernah sholat subuh di belakang Ali ra. Ketika salam, ia menoleh
kesebelah kananya dengan sedih hati lalu diam hingga terbit matahari kemudian
membalik tangannya seraya berkata:
“Demi Allah, aku melihat para sahabat Muhammad SAW, dan
sekarang aku tidak melihat sesuatu yang menyerupai mereka sama sekali.
Mereka dahulu berdebu dan pucat pasi, mereka melewatkan malam hari
dengan sujud dan berdiri karena Allah, mereka membaca kita Allah dengan
bergantian pijakan kaki dan jidat mereka, apabila menyebut Allah, maka
mereka bergetar seperti pohon bergetar tertiup angin,mata mereka
mengucurkan air mata membasahi pakaian mereka, dan orang-orang
sekarang seakan-akan lalai (bila dibandingkan dengan mereka)”. 7
Dengan mengingat makna sumpah dan janji manuasia atas Allah SWT,
semestinya manusia akan menjalani hidup dengan bersungguh-sungguh.
Manusia muslim panyang merendahkan martabatnya dengan bermalas-malas,
mengemis, membuang kesempatan dan waktu, mengambil keuntungan di atas

5
ibid
6
Nur Hidayat, Akhlak Tasawuf (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), hlm 175.
7
Nur Hidayat, hlm 178.
kerugian orang lain dan sebagainnya. Manusia muslim selalu diharapkan Allah
untuk hidup produktif, kreatif, inovatif, dan adaptif, sehingga menimbulkan
kenyamanan hidup, kemakmuran ekonomi, dan keadilan untuk semua
masyarakat. 8
Beberapa indikator doktrin kerja keras, antara lain:
a. Perintah sedikit tertawa dan banyak menangis. (QS At-Taubah:82)
b. Nasib suatu kaum tidak akan berubah hingga mereka mengubah
keadaannya sendiri. (QS Ar-Rad:11)
c. Orang yang suka meminta akan menghadap Allah dengan muka tanpa
daging. (HR Bukhari dan Muslim)
d. Malam adalah waktu untuk beristirahat dan siang adalah waktu untuk
mencari nafkah. (QS An-Naba:10-11)
e. Perintah untuk menyebar di muka bumi dan mencari karunia Allah
(bekerja) setelah beribadah. (QS Al-Jum’ah:10)
f. Yang lebih bekerja keras di siang hari, malamnya diampuni. (HR Ahmad)
g. Setiap orang yang bekerja harus kompeten, amanah, dan professional. Bila
urusan diberikan kepada sembarsng orang akan hancur. (HR Bukhari) 9

F. Mu’atabah (Mencela Diri)


Mu’atabah adalah mencela diri karena kekurangan dalam beribadah
kepada Allah SWT. Mu’atabah mengandung arti perlunya memonitoring,
mengontrol dan mengevaluasi sejauh mana proses-proses pembinaan akhlak
dapat berjalan baik. Abu Bakar Asidiq pernah berkata : “Barang siapa yang
memarahi dirinya karena Allah maka ia akan aman dari kemarahan Allah”.10
Mu’atabah melibatkan elemen roh, qalb, aqal dan al-nafs sebagai puncak
dalam membentuk niat kepada tingkah laku luaran dan perbuatan manusia. Oleh

8
Yasir Abdul Rahman, “Implementasi Konsep Muahadah Mujahadah, Muraqabah,
Muhasabah Dan Mu’aqabah Dalam Layanan Customer,” Jurnal Ekonomi Dan Bisnis
Islam, June 2, 2014, hlm 124.
9
Yasir Abdul Rahman, hlm 125.
10
Nur Hidayat, Akhlak Tasawuf, hlm 179.
karena itu, tindakan mu’atabah dapat membuka hati manusia untuk menerima
kebenaran dan hakikat ketuhan denga hidayah dan petunjuk Allah. Mu’atabah
juga adalah proses mendidik diri mencapai ke jiwa yang mutma’inah. 11
Dalam melakukan mu’atabah hendaknya mengetahui terlebih dahulu
bahwa musuh bebuyutan dalam diri manusia adalah nafsu yang ada di dalam diri
manusia. Ia diciptakan denan karakter suka memerintahkan pada keburukan,
cenderung pada kejahatan, dan lari dari kebaikan. Manusia diperintahkan agar
menyucikan, meluruskan dan menuntunnya dengan rantai paksaan untuk
beribadah kepada Tuhan, dan mencegahnya dari berbagai syahwatnya dan
menyapihkanya dari berbagai kelezatanyya. Maka hendaklah manusia tidak lupa
sekalipun sesaat untuk mengingatkannya, hendaknya seorang hamba sibuk
menasehati orang lain jika ia sibuk terlebih dahulu menasehati dirinya sendiri.12

11
Mardzelah Makhsin, “AMALAN HISBAH KENDIRI DALAM PENDIDIKAN
ISLAM: KAJIAN TERHADAP MURID-MURID SEKOLAH MENENGAH DI
KEDAH,” The Online Jurnal of Islamic Education, January 2014, hlm 6.
12
Nur Hidayat, Akhlak Tasawuf, hlm 179.
BAB III

KESIMPULAN

Dalam penjabaran makalah tersebut dapat disimpulakan bahwa manusia


sebagai hamba Allah senantiasa harus selalu mengabdi kepada Allah SWT dengan
memperbaiki akhlak dan berusaha melaksanakan akhlak yang baik dan terpuji.
Akhlak yang terpuji tersebut dibentuk dengan adanya pembinaan yang baik
sehingga akhlak tersebut tetap lurus dan tidak melenceng dari ajaran yang berlaku.
Langkah-langkah pembinaan akhlak terbagi menjadi 6 tahapan yakni : Musyarathah
(Penetapan Syarat), Muraqabah (Pengawasan), Muhasabah (Introprksi),
Mu’aqabah (Menghukum Diri Atas Segala Kekurangan), Mujahadah (Bersungguh-
sungguh), Mu’atabah (Mencela Diri).

Dalam setiap tingkatan tersebut hendaknya dipahami dan dilaksanakan


dengan maksimal dengan diniatkan untuk beribadah kepada Allah SWT semata
sebagai bentuk pengabdian diri seorang hamba kepada Rab-Nya. Setiap
tingkatannya saling berhubungan dan berkaitan sehingga tidak bisa terpisah satu
sama lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M
Mardzelah Makhsin. “AMALAN HISBAH KENDIRI DALAM PENDIDIKAN
ISLAM: KAJIAN TERHADAP MURID-MURID SEKOLAH
MENENGAH DI KEDAH.” The Online Jurnal of Islamic Education,
January 2014.
Nur Hidayat. Akhlak Tasawuf. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013.
Yasir Abdul Rahman. “Implementasi Konsep Muahadah Mujahadah, Muraqabah,
Muhasabah Dan Mu’aqabah Dalam Layanan Customer.” Jurnal Ekonomi
Dan Bisnis Islam, June 2, 2014.

Anda mungkin juga menyukai