NIM : ........................
Jur/smt/kls : PMH/VII/A
Terjemahan Edisi 2002 juga menghilangkan judul-judul kecil kelompok ayat yang
ada pada edisi terjemahan sebelumnya. Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Ulama Al-
Qur'an yang diselenggarakan pada tanggal 18-21 Agustus 2015 yang dihadiri oleh beberapa
ulama dari berbagai kelompok dan organisasi Islam juga merekomendasikan agar Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur'an (LPMQ) Kementerian Agama melakukan penyempurnaan
dan perbaikan terhadap terjemahan Al-Qur'an Kementerian Agama. Forum tersebut
memberikan catatan bahwa beberapa isi Terjemahan Al-Qur’an yang pada beberapa surat
atau ayat dianggap kurang sesuai dengan makna sebenarnya, mengandung bias, tidak mudah
dipahami, dan lainnya.
Berdasarkan rekomendasi Mukernas Ulama Al-Qur'an 2015 itu, tim LPMQ mulai
tahun 2016 melakukan revisi ketiga terhadap terjemahan Al-Qur’an Kementerian Agama
setelah tahun 1989 dan 2002. Setidaknya, ada empat aspek yang menjadi fokus revisi, yaitu
aspek bahasa mengingat penggunaan istilah yang tidak lagi sesuai dengan zamannya, aspek
konsistensi guna merevisi konsistensi penggunaan kalimat atau lafaz pada lafaz atau ayat
tertentu, aspek substansi mengingat kaitan makna dan kandungan ayatnya, dan aspek format
sistematika penyusunan yang bertujuan untuk melihat data tambahan atau pelengkap yang
bisa dimasukkan dalam sistematika isi seperti glosari, sejarah Al-Qur’an, ulumul qur’an,
penjelasan setiap perpindahan antara satu Surah ke Surah yang lain, dan lain sebagainya.
Perlunya Revisi Diperkuat Hasil Konsultasi Perlunya ada revisi perbaikan terhadap
terjemahan Al-Qur’an edisi 2002 juga diperkuat dari hasil konsultasi publik yang dilakukan
oleh pihak LPMQ selama 2016 dan 2017 di Jakarta, Yogyakarta, Rembang, dan Bukittinggi.
Hasil konsultasi publik tersebut menegaskan bahwa masih adanya beberapa masalah terkait
terjemahan Al-Qur’an Kementerian Agama yang di antaranya tidak sensitif gender atau
sangat bias gender, penggunaan diksi yang tidak tepat, serta metodologi penerjemahan yang
masih dianggap rancu. Alasan lainnya secara sistematika dan penulisan kalimat yang
digunakan, Al-Qur’an dan terjemahan masih belum sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia
yang baik dan benar karena adanya beda struktur bahasa Arab dengan bahasa Indonesia. Dari
sisi penggunaan kata, perlu dicarikan padanan kata yang lebih mendekati makna yang
dimaksud.
Dari sini pula dapat dikatakan bahwa seperti, Ijma, Qiyas, mashlahah mursalah,
istihsan dan lain sebagainya tidak dapat dikatakan sebagai sumber hukum Islam, karena dalil-
dalil ini hanya bersifat al-Kasyf wa al-Izhar li al-Hukum artinya hanya menyingkap dan
memunculkan yang ada dalam Alquran dan al-Sunnah. Karena suatu dalil yang
membutuhkan dalil lain untuk dijadikan hujjah, tidaklah dapat dikatakan sumber, karena
yang dikatakan sumber itu harus berdiri sendiri.
Disamping itu, keberadaan suatu dalil, seperti Ijma, Qiyas dan istihsan misalnya,
tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Alquran dan al-
Sunnah. Oleh sebab itu, para ahli ushul Fiqh sering menyebut terhadap adillah ahkam seperti
Ijma, Qiyas dan sebagainya, sebagai turuq istinbath al-Ahkam yaitu metode dalam
menetapkan hukum.