Fina Fitria Andika
Fina Fitria Andika
OLEH:
FINA FITRIA ANDIKA, SKG
2207210004
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ...............................................................................................1
1.2 Rumusan masalah .........................................................................................3
1.3 Pertanyaan penelitian ...................................................................................3
1.4 Tujuan penelitian ..........................................................................................4
1.4.1 Tujuan Umum Penelitian ........................................................................4
1.4.2 Tujuan Khusus Penelitian ........................................................................4
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ..............................................................................4
1.6 Manfaat Penelitian ........................................................................................4
1.6.1 Manfaat Teoritis ......................................................................................5
1.6.2 Manfaat Praktis .......................................................................................5
1.7 Orisinalitas Penelitian
1
data anak stunting di Aceh berjumlah 12.000 anak. Total 2 orang anak per desa
dari kurang lebih 6000 desa di Aceh mengalami stunting (Ramadhan R 2018)
Stunting memerlukan perhatian lebih karena berdampak buruk pada
kehidupan balita sampai tumbuh besar, terutama pada risiko gangguan
perkembangan fisik dan kognitif anak. Stunting dalam jangka pendek dapat
menyebabkan penurunan kemampuan belajar, sementara itu stunting dalam
jangka Panjang dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan linear yang akan
memengaruhi daya tahan tubuh sehingga penurunan kualitas hidup anak saat
dewasa menjadi minim peluang pendidikan, kerja, dan pendapatan yang baik.
Stunting dalam jangka Panjang juga dapat menyebabkan penuruban kemampuan
oksidasi lemak sehingga menyebabkan risiko penyakit obesitas yang dapat
mengakibatkan penyakit tidak menular seperti diabetes, hipertensi, kanker,
gangguan organ tubuh, penyakit kardiovaskular dan lain-lain. (KEMENKES 2022)
Faktor-faktor yang berperan dalam kondisi stunting dibagi menjadi factor
eksternal dan internal. Berbagai keadaan termasuk Pendidikan, pelayanan
Kesehatan, kebudayaan, keadaan ekonomi dan politik serta lingkungan
merupakan factor eksternal. Sementara itu perawatan anak yang adekuat,
keadaan Ibu, pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif dan Makanan Pendamping
Air Susu Ibu (MPASI) yang optimal, keadaan rumah, asupan atau kualitas
makanan yang rendah, keamanan makanan dan air dan infeksi tergolong pada
factor internal (Oktia N 2020)
Kesehatan gigi dan mulut merupakan hal penting yang berkaitan dengan
Kesehatan tubuh anak. Masalah yang paling banyak terjadi yakni karies gigi.
Karies gigi adalah penyakit kronik yang terjadi pada jaringan keras gigi yang
disebabkan oleh proses demineralisasi email yang diakibatkan oleh bakteri yang
terdapat pada plak gigi sehingga menyebabkan terbentuknya kavitas atau lubang
pada gigi. Karies gigi dipengaruhi oleh empat factor, yaitu factor host atau gigi,
mikroorganisme, substrat, dan waktu.
Risiko kejadian stunting karena asupan energi dan gizi anak yang kurang
dan belum memenuhi kebutuhan gizi dapat berpengaruh terhadap Kesehatan
2
gigi dan mulut. Salah satunya yaitu adanya gangguan perkembangan kelenjar
saliva yang mampu meningkatkan risiko karies gigi sulung. Tingkat keparahan
karies gigi dapat dinilai menggunakan indicator dengan menghitung jumlah gigi
sulung yang mengalami karies dengan menggunakan indeks def-t (decayed,
exfoliation, filling) (Aviva N 2020)
Skor karies pada anak stunting lebih tinggi karena terjadinya penurunan
pada perkembangan kelenjar saliva sehingga menyebabkan laju aliran saliva
menurunn mengakibatkan buffer saliva dan self cleansing tidak normal yang
akhirnya dapat meningkatkan risiko karies pada gigi sulung (Normansyah T 2022)
Hasil penelitian yang telah ada sebelumnya, didapatkan bahwa stunting
dapat mempengaruhi keadaan gigi geligi, dimana penyakit infeksi yang
menyebabkan stunting menyebabkan penurunan nafsu makan yang berdampak
karies gigi (Abdat 2019). Penelitian Novia, dkk (2021) yang mengatakan bahwa
anak stunting di indonesia memiliki pengalaman karies pada gigi sulung dan
terbanyak pada tingkat keparahan karies yang tinggi, dan terdapat keterkaitan
hubungan satu sama lain antara anak stunting dan karies pada gigi sulung.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
terkait analisis hubungan antara anak stunting usia 3-5 tahun dengan tingkat
keparahan karies gigi sulung khususnya di Kota Banda Aceh.
3
2. Bagaimana indeks def-t karies gigi pada anak stunting di Kota Banda
Aceh?
3. Bagaimana perhitungan laju aliran saliva yang dapat menyebabkan
risiko karies tinggi?
4
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Manfaat Teoritis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan dan
wawasan tentang pengaruh stunting terhadap karies gigi pada anak
usia 3-5 tahun di Kota Banda Aceh. Menggambarkan kondisi peristiwa
stunting anak usia 3-5 tahun di Kota Banda Aceh.
1. Mampu untuk mengetahui dan menganalisis tingkat keparahan karies
gigi pada anak stunting di Kota Banda Aceh.
1.6.2 Manfaat Praktis
2. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam
penyusun kebijakan oleh Dinas Kesehatan dalam bidang kesehatan
untuk anak-anak di Kota Banda Aceh.
3. Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi
mengenai status kesehatan mulut anak stunting usia 3-5 tahun di
Kota Banda Aceh.
4. Sebagai landasan ilmiah yang mendorong agar dilakukan penelitian
lebih lanjut tentang pengaruh stunting terhadap kesehatan gigi dan
mulut.
5
meneliti anak stunting usia 24-60 bulan, memfokuskan penelitian dengan menilai
indeks karies dan asupan gizi anak dengan menghitung hasil angka konsumsi
makanan.
Keistimewaan dalam penelitian ini yang berjudul “Analisis Hubungan
Kejadian Stunting Anak Usia 3-5 Tahun Dengan Tingkat Keparahan Risiko Karies
Gigi Sulung Di Kota Banda Aceh”, adalah terletak pada tema yang diangkat yaitu
mengenai kasus karies dengan kejadian stunting di Kota Banda Aceh. Setelah
mempertimbangkan variabel berdasarkan literatur pencaharian, belum ada
satupun penelitian yang membahas tentang tingkat keparahan karies gigi dengan
kejadian stunting di Kota Banda Aceh. Penelitian dilakukan dengan menganalisis
hubungan dari kedua variable tersebut dengan data DEF-T (decay, exfoliated,
filling) pada anak stunting usia 3-5 tahun di Kota Banda Aceh.
6
BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
7
subnasional (Gambar 1), dengan rentang provinsi dari 26% di Kepulauan Riau
menjadi 52% di Nusa Tenggara Timur (NHRD, Depkes, 2013). Data tersebut
menunjukkan adanya variasi paparan populasi terhadap determinan anak
stunting dan kebutuhan untuk menargetkan dan menyesuaikan intervensi
dengan yang paling berisiko. Terdapat risiko fatal penyebab stunting di
Indonesia, termasuk faktor proksimat seperti status gizi ibu, praktik menyusui,
praktik pemberian makanan pendamping, dan paparan infeksi serta determinan
distal terkait seperti pendidikan, sistem pangan, perawatan kesehatan, dan
infrastruktur air dan sanitasi lingkungan (Beal T 2018)
Gambar 2.1. Paparan populasi terhadap determinan anak stunting (Beal T 2018)
8
kekurangan gizi, atau kehilangan berat badan secara drastis di masa kehamilan.
Kondisi tersebut menjadi lebih buruk apabila sang ibu menolak
memberikan ASI kepada bayi, sehingga membuat bayikehilangan banyak nutrisi
penting yang sangat penting untuk bertumbuh dan berkembang (Rahayu A
2018).
Kemiskinan merupakan hal yang sangat oenting terkait dengan tingginya
tingkat kekurangan gizi kronis pada anak-anak kecil secara global. Malnutrisi ibu
dapat memulai proses pertumbuhan yang berkontribusi pada pembatasan
pertumbuhan intrauterin dan berat badan lahir rendah. Pemberian makanan
yang kurang optimal pada masa bayi ditambah dengan beban penyakit menular
yang tinggi juga memprediksi pertumbuhan anak yang buruk. Pengerdilan
pertumbuhan linier, yang didefinisikan sebagai Height for Age (HAZ) dengan skor
2 SD di bawah median, adalah indikator fisik yang diukur dari kekurangan gizi
kronis pada masa kanak-kanak. Risiko tingkat kematian, kesakitan, suboptimal
yang tinggi dapat ditemukan pada anak-anak yang pertumbuhannya terhambat.
Penting untuk mengidentifikasi faktor-faktor penentu untuk pengurangan
peristiwa stunting sehingga setiap negara mampu mempelajari kebijakan
kebijakan apa saja yang dapat diprogramkan sebagai target tindakan
pencegahan. Kebijakan dan program berbasis bukti, sensitif nutrisi, dan spesifik
nutrisi adalah hal yang dapat membuat peningkatan dalam pengembangan
sumber daya manusia dan produktivitas ekonomi. (UNICEF, 2020).
Terdapat lima asumsi signifikan tentang masa kanak-kanak yang berasal
dari teori ini:
1. Perkembangan anak adalah merupakan universal: Setiap anak berkembang di
sepanjang lintasan atau jalur yang sama menuju proses kedewasaan dan
menyiratkan bahwa ada seperangkat 'aturan' yang diikuti sepanjang proses
perkembangan anak. Faktor pembeda seperti factor kebudayaan, temporalis,
kontekstual dan individu sebagian besar diabaikan.
2. Kedewasaan memiliki status yang normatif: Saat seorang anak mencapai usia
dewasa, barulah ia memiliki status manusia seutuhnya. Seorang anak dianggap
9
dalam keadaan belum dewasa yang ditandai dengan irasionalitas, kelemahan,
kenaifan, inkompetensi, dan keluguan. Dengan begitu, segala sesuatu yang
dilakukan seorang anak pada dasarnya merupakan suatu persiapan menuju
kedewasaan. Masa kanak-kanak adalah suatu proses perkembangan.
3. Tujuan perkembangan anak bersifat universal: Budaya yang berbeda memiliki
aspirasi yang berbeda secara signifikan untuk anak-anak, dan perbedaan
tersebut dapat mempengaruhi tujuan perkembangan anak. Misalnya, di sebagian
besar masyarakat Barat, tujuan akhir pembangunan mencakup pencapaian
otonomi pribadi, sosial dan politik, dan kemandirian, sedangkan pada banyak
budaya lain, saling ketergantungan dan integrasi adalah hal yang lebih dihargai.
Tujuan pembangunan juga berbeda dalam konteks budaya masyarakat, di mana
pendidikan lebih ditekankan untuk anak laki-laki yang tinggal di keluarga kelas
menengah, dan pernikahan dan pekerjaan dianggap suatu prioritas tinggi bagi
anak perempuan dari status ekonomi miskin, atau di mana pendidikan anak
perempuan tidak terlalu dihargai.
4. Penyimpangan dari norma yang menunjukkan risiko bagi anak: terdapat
asumsi tentang perilaku dan aktivitas normal pada setiap tahap perkembangan
dan setiap penyimpangan dari perilaku normal dianggap berpotensi
membahayakan anak. Sebagian besarnya diambil dari model masa kanak-kanak
Barat, dan gagal untuk mencerminkan perbedaan dan realitas pengalaman masa
kanak-kanak di lingkungan budaya lain. Sehingga diasumsikan, bahwa semua
bentuk pekerjaan yang membahayakan bagi anak-anak, sehingga secara efektif
membuat jutaan anak yang membutuhkan pekerjaan, atau mengakui potensi
manfaat bagi anak-anak yang terkait dengan pekerjaan.
5. Anak-anak adalah pemain pasif: Masa kanak-kanak dipandang sebagai proses
perolehan kompetensi dan keterampilan yang sesuai dengan kekuatan biologis
atau psikologis dan telah ditentukan sebelumnya. Anak-anak gagal memiliki hak
pilihan untuk mempengaruhi kehidupan dan perkembangan mereka sendiri, dan
dapat memberikan kontribusi aktif terhadap lingkungan sosial mereka (Hasanah
LN, 2022).
10
2.1.1 Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Stunting Pada Anak
Banyak factor yang mempengaruhi peristiwa stunting pada balita, namun
bayi pada masa tumbuh kembang umumnya bergantung pada ibu dan keluarga,
oleh karena itu dampak status gizi seorang balita berkaitan dengan kondisi
keluarga dan lingkungan yang mempengaruhi keluarga. Pengurangan status pada
gizi dapat terjadi terjadi karena asupan gizi yang kurang, terjadinya infeksi, factor
lingkungan, keadaan dan perilaku keluarga. Kecukupan energi dan asupan
protein per hari per kapita anak Indonesia masih sangat kurang jika dibandingkan
dengan angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan. Konsumsi energi dan
protein yang diperoleh diperuntukkan baik untuk anak normal maupun anak
pendek (stunting). Jika masalah tersebut berangsur lama maka akan
menyebabkan masalah kronis.
Beberapa faktor yang menjadi penyebab stunting dapat digambarkan antara lain:
(Mely O, 2022)
1. Praktek pola asuh orang tua yang kurang baik, seperti kurangnya
Pendidikan atau pengetahuan ibu terkait asupan gizi semasa kehamilan
dan setelah melahirkan. Beberapa fakta dan informasi yang ada
menunjukkan bahwa 60% dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan Air
Susu Ibu (ASI) secara ekslusif, dan 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak
menerima Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). MPASI
diberikan/mulai diperkenalkan semenjak bayi berusia diatas 6 bulan.
MPASI berfungsi untuk mengenalkan anak pada makan-makanan baru
pada bayi dan mampu mencukupi kebutuhan nutri yang baik pada tubuh
bayi.
2. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal
Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan), Post Natal
Care dan pembelajaran dini yang berkualitas. Informasi yang
dikumpulkan dari publikasi Kemenkes dan Bank Dunia menyatakan
bahwa tingkat kehadiran anak di Posyandu semakin menurun dari 79% di
11
2007 menjadi 64% di 2013 dan anak belum mendapat akses yang
memadai ke layanan imunisasi. Fakta lain adalah 2 dari 3 ibu hamil belum
mengkonsumsi sumplemen zat besi yang memadai serta masih
terbatasnya akses ke layanan pembelajaran dini yang berkualitas (baru 1
dari 3 anak usia 3-6 tahun belum terdaftar di layanan PAUD/Pendidikan
Anak Usia Dini).
3. Masih kurangnya akses rumah tangga / keluarga ke makanan bergizi.
Penyebabnya karena harga makanan bergizi di Indonesia masih tergolong
mahal.
4. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. Data yang diperoleh di
lapangan menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia masih
buang air besar (BAB) di ruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah tangga
belum memiliki akses ke air minum bersih. Pada penelitian oleh Aridiyah,
dihasilkan bahwa jumlah ibu anak balita stunting yang berpendidikan
rendah adalah sebesar 96,7% di desa, sedangkan untuk di kota sebesar
80%. Pada status pekerjaan ibu anak balita stunting yang berada di
wilayah desa terbanyak adalah tidak bekerja sebesar 71%, dan di kota
sebesar 53,3%.8 Peran sanitasi dalam mempengaruhi kejadian stunting,
karena saniasi yang buruk akan meningkatkan kejadian sakit, sepeti yang
disampaikan pada penelitian Safitri, Uji korelasi antara sanitasi rumah
dengan kejadian diare pada balita juga menunjuk- kan adanya hubungan
yang signifikan. Keluarga dengan sanitasi rumah memenuhi syarat
sebagian besar memiliki balita yang tidak terkena diare, begitu pula
sebaliknya. Hal tersebut terjadi karena sanitasi tidak memenuhi syarat,
cenderung tidak memiliki penyediaan air bersih untuk mencuci tangan
dan makanan maupun membersihkan peralatan makan sehingga kuman
dan bakteri penyebab diare tidak dapat hilang. Penyediaan air
berhubungan erat dengan Kesehatan di negara berkembang,
5. Kekurangan penyediaan air yang baik sebagai sarana sanitasi akan
meningkatkan terjadinya penyakit dan kemudian berujung pada keadaan
12
malnutrisi.9 Komponen fasilitas sanitasi yang tidak terpenuhi juga
merupa-kan penyebab terjadinya diare dalam keluarga. Akses dan sarana
toilet yang buruk, serta tidak adanya fasilitas pengelolaan tinja dan
limbah akan menambah resiko terjadinya diare pada balita dalam
keluarga karena persebaran virus, kuman, dan bakteri akan semakin
tinggi.10
6. Faktor lain terkait erat dengan kejadian pendek adalah kejadian kurang
energi kronis (KEK) pada wanita usia subur 15-49 tahun, baik hamil
maupun tidak hamil. Menurut Riskesdas 2013, prevalensi risiko KEK pada
wanita hamil adalah 24,2 persen, sedangkan pada wanita tidak hamil
adalah 20,8 persen
13
negara berkembang. Selama sakit, anak-anakmembutuhkan tambahan protein
dan asam amino esensial untuk pulih. Persyaratan protein dan asam amino
esensial lebih tinggi dengan adanya infeksi kronis atau akut.
Peradangan meningkatkan kebutuhan asam amino tiga kali lipat. Namun,
efek peradangan pada protein dan kebutuhan asam amino pada anak-anak di
negara berkembang kurang dipahami. Lebih jauh, bukti menunjukkan bahwa
defisit energi meningkatkan kebutuhan protein dan asam amino esensial.
Perkiraan kebutuhan protein dan asam amino esensial saat ini tidak menjawab
pertanyaan tersebut peningkatan kebutuhan karena infeksi yang sering dan
defisit energi pada anak-anak dalam perkembangan negara. Bukti terbaru
menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami stunting mungkin tidak
mendapatkan asupan makanan yang cukup asam amino esensial, dan mungkin
memiliki asam amino sirkulasi rendah. Pertumbuhan seperti insulin faktor-I (IGF-
I) adalah hormon protein yang memediasi efek hormon pertumbuhan dan
dilaporkan memiliki banyak efek anabolik pada otot rangka dan jaringan lain.
Ketika anak-anak memiliki asupan protein dan asam amino esensial yang tidak
memadai, serum transthyretin (TTR), serum mereka asam amino (AAs), serta
tingkat serum IGF-1 mungkin rendah, yang pada gilirannya dapat mengurangi
pertumbuhan anak-anak. Namun, hubungan ini belum dipelajari di negara
berkembang dengan tingkat yang lebih tinggi peradangan.
Selanjutnya, peran inflamasi pada TTR, serum essential AAs dan serum
IGF-1 tingkat di antara anak-anak kurang dipahami di negara-negara berkembang
Sebuah studi baru-baru ini tentang pasokan energi di tingkat negara di negara-
negara berkembang telah menunjukkan hal itu suplai energi berkorelasi dengan
stunting pada anak-anak [18]. Kekurangan energi yang disebabkan oleh Asupan
makanan yang tidak adekuat dapat menyebabkan status gizi suboptimal. Sangat
sedikit informasi yang tersedia di hubungan antara asupan energi dan
pertumbuhan linier anak-anak di Ethiopia. Bukti menunjukkan bahwa jumlah
pemberian makan yang tepat tergantung pada kepadatan energi makanan lokal
dan lebih tinggi frekuensi makan diperlukan dengan diet kepadatan energi
14
rendah. Temuan tentang efek peningkatan energi kepadatan MPASI terhadap
pertumbuhan linear anak tidak konsisten (Tessema M, 2018).
15
dengan praktik diet serta peningkatan paparan lingkungan, yang meningkatkan
kejadian penyakit. Kualitas dan kuantitas asupan makanan anak sangat penting
untuk diperhatikan, agar anak tidak mengalami gejala defisiensi kronis, hal ini
erat kaitannya dengan gizi bayi dan anak. Ada hubungan positif antara asupan
makanan dengan kejadian infeksi. Kekambuhan penyakit dapat mempengaruhi
status gizi, dan status gizi yang buruk dapat meningkatkan risiko infeksi. Bahkan,
dengan tidak adanya gejala yang jelas, kondisi fisiologis yang terkait dengan
infeksi berhubungan dengan penurunan nafsu makan, penyerapan nutrisi
terhambat, kecukupan nutrisi meningkat, kehilangan mineral, dan kegagalan
untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan (dapat menghambat pertumbuhan).
Energi merupakan faktor penting dalam ketersediaan zat gizi makro bagi balita.
Penelitian telah menunjukkan bahwa asupan energi merupakan faktor penting
dalam stunting pada anak di bawah 5 tahun.
Risiko stunting pada balita di desa Karanganyar 6,111 kali lebih besar jika
asupan energi yang tidak mencukupi menjadi masalah. Asupan energi yang
rendah dikaitkan dengan risiko stunting pada balita.Selain itu, asupan energi
yang rendah dapat menyebabkan status gizi yang buruk, dan juga dapat
mempengaruhi perkembangan anak. Anak yang stunting (memiliki tingkat
perkembangan yang rendah) memiliki perkembangan yang kurang dari rata-rata
jika dibandingkan dengan anak yang tidak stunting. Makronutrien adalah nutrisi
yang mengandung energi. Ini disebut karbohidrat, lemak, dan protein. Pedoman
Diet untuk Orang Amerika merekomendasikan bahwa sebagian besar energi yang
kita butuhkan berasal dari karbohidrat, protein, dan lemak.Konsentrasi energi
yang tinggi berasal dari makanan berlemak, seperti lemak dan minyak, kacang-
kacangan dan bijibijian. Setelah mengonsumsi makanan sumber karbohidrat,
seperti biji-bijian, kentang, dan gula, tubuh beralih ke sumber lain untuk
mendapatkan energinya. Semua makanan yang dibuat dari bahan makanan ini
adalah sumber energi. Kebutuhan energi seorang anak meningkat seiring dengan
bertambahnya berat badan mereka selama masa pertumbuhan (baduta). Hal ini
16
dikarenakan selama ini tubuh anak berkembang sangat pesat, sehingga energi
yang digunakan juga signifikan.
Kebutuhan energi bayi berkisar antara 105-110 kkal per kilogram berat
badan antara usia 6 sampai 12 bulan. Kebutuhan energi dalam tubuh digunakan
untuk meningkatkan berat badan, pertumbuhan dan perkembangan, melakukan
aktivitas fisik saat terjaga dan waspada, mengatur metabolisme makanan, dan
memulai proses penyembuhan sakit (Aisyah, IS 2021).
17
baik. Hal ini dapat disebabkan oleh kondisi yang berasal dari dalam diri individu,
antara lain usia, jenis kelamin, dan penyakit infeksi.
Anak membutuhkan asupan gizi lebih banyak yang sangat dibutuhkan
untuk tumbuh kembang menuju remaja. Anak laki-laki lebih banyak
membutuhkan zat gizi sumber energi dibandingkan dengan anak perempuan
karena anak laki-laki cenderung memiliki banyak aktifitas, namun jika tidak
diimbangi dengan konsumsi makanan yang dapat menyebabkan masalah gizi.
Konsumsi makanan yang baik namun keadaan anak sakit atau mengalami
penyakit infeksi dapat menyebabkan anak mengalami status gizi yang tidak baik
pula. Pertumbuhan dan perkembangan anak sangat membutuhkan gizi yang
cukup agar tidak terjadi penyimpangan pada pertumbuhan dan perkembangan
anak. Gizi yang kurang juga akan membuat sistem imun pada anak menjadi
lemah. Aktifitas yang cukup tinggi dan kebiasaan makan yang tidak teratur pada
anak sering mengakibatkan ketidakseimbangan antara asupan dan kecukupan
gizi. Ketidakseimbangan antara asupan dan kecukupan gizi akan menimbulkan
masalah gizi, baik itu masalah gizi lebih maupun gizi kurang.
Salah satu masalah kesehatan yang terdapat di Indonesia saat ini adalah
gizi kurang. Faktor yang dapat berpengaruh terhadap gizi seseorang adalah pola
makan. Pola makan sangat erat kaitannya dengan macam, jumlah dan komposisi
makanan yang dikonsumsi setiap hari. Pemenuhan makanan yang baik bagi anak
akan mempengaruhi status gizi pada anak. Bahwa ada hubungan pola makan
dengan status gizi pada anak usia prasekolah di TK Kristen Tunas Rama.
Berdasarkan penelitian ini diharapkan agar ibu lebih memperhatikan status gizi
anaknya yaitu dengan memberikan makanan yang mengandung gizi baik pada
anak. Bahwa terdapat hubungan antara status gizi dan kelelahan pada
produktivitas tenaga kerja. Oleh karena itu pengaturan status gizi yang optimal
dengan minimalisasi kelelahan kerja diperlukan agar tercapai produktivitas yang
optimal. Pengaturan jam kerja, penyelenggaraan makan, ketersediaan air minum
dan sarana olahraga dapat menjadi opsi untuk memantau status gizi pekerja dan
18
menghindari kelelahan sebagai faktor yang berpengaruh terhadap produktivitas
(Rahayu A 2018).
19
tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Metode ini
digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi
keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak gejala klinis yang kurang
spesifik, maka penentuan kimia faali dapat lebih banyak menolong untuk
menentukan kekurangan gizi yang spesifik.
2) Penilaian Status Gizi Secara Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai
status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan
yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidak cukupan zat gizi. Hal ini
dapat dilihat pada jaringan epitel (supervicial epithelial tissues) seperti
kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat
dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. Metode ini digunakan
untuk survey klinis secara cepat (rapid clinical surveys). Survei ini
dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum dari
kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Disamping itu pula digunakan
untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan
pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan gejala (symptom) atau riwayat
penyakit.
3) Penilaian Status Gizi Secara Biofisik
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status
gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat
perubahan struktur dari jaringan. Metode ini digunakan dalam situasi
tertentu seperti kejadian buta senja epidmik. (epidemic of night
blindness). Cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap.
4) Penilaian Status Gizi Secara Antropometri
Antropometri berasal dari kata anthopros (tubuh) dan metros
(ukuran). Secara umum antropometri diartikan sebagai ukuran tubuh
manusia. Dalam bidang gizi, antropometri berhubungan dengan berbagai
macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai
tingkat umur dan tingkat gizi. Dalam bidang ilmu gizi, antropometri
20
digunakan untuk menilai status gizi. Ukuran yang sering digunakan adalah
berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, tinggi duduk, lingkar perut,
lingkar pinggul, dan lapisan lemak bawah kulit.
Parameter indeks antropometri yang umum digunakan untuk menilai
status gizi anak adalah indikator berat badan menurut umur (BB/U).
Tinggi badan menurut umur (TB/U), Indeks Massa Tubuh Menurut Umur
(IMT/U) (Depkes RI,2010). Indeks massa tubuh menurut umur digunakan
untuk menentukan atau melihat status gizi seseorang dengan cara
mengukur berat badan dan tinggi badan seseorang. Ukuran fisik
seseorang sangat erat hubungannya dengan status gizi. Atas dasar itu,
ukuran-ukuran yang baik dan dapat diandalkan bagi penentuan status gizi
dengan melakukan pengukuran antropmetri (SK.Menkes,2010)
Pengukuran IMT dapat dilakukan pada anak-anak, remaja maupun orang
dewasa. Pada remaja pengukuran IMT sangat terkait dengan umurnya,
karena dengan perubahan umur terjadi perubahan komposisi tubuh dan
densitas tubuh, pada remaja digunakan indikator IMT/U.
5) Penilaian Status Gizi Secara Tidak Langsung
Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi tiga yaitu
survey konsumsi makanan, statistik vital dan factor ekologi. Pengertian
dan penggunaan metode ini akan diuraikan sebagai berikut:
a. Statistik Vital
Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan
menganalisa dari beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian
berdasarkan umur, angka kesakitan, dan kematian akibat penyebab
tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi. Penggunaannya
dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak langsung
pengukuran status gizi secara tidak langsung pengukuran status gizi
masyarakat.
21
b. Faktor Ekologi
Penggunaan fakor ekologi dipandang sangat penting untuk
mengetahui penyebab malnutrisi di suatu masyarakat sebagai dasar
untuk program intervensi gizi.
c. Surve Konsumsi Makanan
Surve konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi
secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang
dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan
gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga
dan individu. Surve dapat mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan zat
gizi (Hardiansyah MS, 2017).
22
2.3. Konsep Dasar Gigi
2.3.1 Pengertian Gigi
Gigi merupakan salah satu organ pengunyah yang terdiri dari gigi pada
rahang atas dan rahang bawah, gigi terdiri dari tiga bagian yaitu mahkota gigi,
akar gigi dan leher gigi. Gigi susu mulai tumbuh ketika bayi berumur 6 bulan
setelah bayi berumur 2 tahun maka seluruh gigi yang berjumlah 20 buah sudah
tumbuh sempurna ( Ramadhan, 2010). Tanpa adanya gigi, manusia akan sulit
memakan yang dimakannya. Menurut tugasnya, gigi termasuk dari sistem
pencernaan. Gigi tumbuh didalam lesung pada rahang dan memiliki jaringan
seperti pada tulang, tetapi gigi bukanlah bagian dari kerangka. Menurut
perkembangannya, gigi lebih banyak persamaannya dengan kulit daripada
dengan tulang.
23
bunyi huruf- hruf ini tidak akan terdengar dengan sempurna. Dalam hal berbicara
pun akan terdengar kurang atau bahkan tidak sempurna.
c. Estetik
Sebuah senyum tidak akan lengkap tanpa hadirnya sederetan gigi yang
rapi
dan bersih. Hampir semua orang yang profesinya mengandalakan penampilan
didepan orang banyak .
d. Menjaga kesehatan rongga mulut dan rahang
Banyak hal yang akan terjadi bila gigi kita hilang, diantaranya gangguan
pengunyahan makanan, terutama pada susunan gigi yang tidak teratur
((malokluksi), tulang alveolar yang berkurang (resorpsi), gangguan pada sendi
rahang,dan penyakit pada jaringan periodontal.
24
lebih besar dari gigi kaninus. Tiap rahangnya berjumlah empat, berfungsi
untuk menyobek dan membantu menghaluskan makanan.
d. Gigi molar atau gigi geraham besar
Bentuknya seperti kotak dan ukurannya besar. Gigi molar merupakan gigi
yang paling berperan dalam proses penghalusan makanan. Tottalnya ada dua
belas buah,enam dirahang atas dan enam dirahang bawah.
25
penyebaran infeksinya ke jaringan periapeks yang dapat menyebabkan nyeri
Penyakit karies bersifat progresif dan kumulatif, bila dibiarkan tanpa disertai
perawatan dalam kurun waktu tertentu kemungkinan akan bertambah parah.
Walaupun demikian, mengingat mungkinnya remineralisasi terjadi pada stadium
yang sangat dini penyakit ini dapat dihentikan (Hidayat R, 2016).
26
S.Mutans serotipe c yang terdapat di dalam plak karena kuman ini
memetabolisme sukrosa menjadi asam lebih cepat dibandingkan kuman lain .
2) Host
Terbentuknya karies gigi diawali dengan terdapatnya plak yang
mengandung bakteri pada gigi.Oleh karena itu kawasan gigi yang memudahkan
pelekatan plak sangat memungkinkan diserang karies. Kawasan-kawasan yang
mudah diserang karies tersebut adalah :
a. Pit dan fisur pada permukaan oklusal molar dan premolar; pit bukal molar dan
pit palatal insisif.
b. Permukaan halus di daerah aproksimal sedikit di bawah titik kontak.
c. Email pada tepian di daerah leher gigi sedikit di atas tepi gingiva.
d. Permukaan akar yang terbuka, yang merupakan daerah tempat melekatnya
plak pada pasien dengan resesi gingiva karena penyakit periodonsium.
e. Tepi tumpatan terutama yang kurang atau mengeper.
f. Permukaan gigi yang berdekatan dengan gigi tiruan dan jembatan.
3) Substrat
Penelitian menunjukkan bahwa makanan dan minuman yang bersifat
fermentasi karbohidrat lebih signifikan memproduksi asam, diikuti oleh
demineralisasi email.Tidak semua karbohidrat benar-benar kariogenik. Produksi
polisakarida ekstraseluler dari sukrosa lebih cepat dibandingkan dengan glukosa,
fruktosa, dan laktosa. Sukrosa merupakan gula yang paling kariogenik, walaupun
gula lain juga berpotensi kariogenik.
4) Waktu
Adanya kemampuan saliva untuk mendepositkan kembali mineral selama
berlangsungnya proses karies, menandakan bahwa proses karies tersebut terdiri
dari saliva ada di dalam lingkungan gigi, maka karies tidak menghancurkan gigi
dalam hitungan hari atau minggu, melainkan dalam bulan atau tahun. Dengan
demikian sebenarnya terdapat kesempatan yang baik untuk menghentikan
penyakit ini.
27
b. Faktor Luar
Beberapa faktor luar individu penyebab terjadinya karies gigi, yaittu :
1) Ras
Amat sulit menentukan pengaruh ras terhadap terjadinya karies
gigi.Namun, keadaan tulang rahang suatu ras bangsa mungkin berhubungan
dengan presentasekaries yang semakin meningkat atau menurun. Misalnya,
pada ras tertentu dengan rahang sempit sehingga gigi - geligi pada rahang sering
tumbuh tak teratur. Dengan keadaan gigi yang tidak teratur ini akan mempersulit
pembersihan gigi, dan ini akan mempertinggi persentase karies pada ras
tersebut.
2) Jenis Kelamin
Dari pengamatan yang dilakukan oleh Milhahn-Turkeheim yang dikutip
dari Tarigan pada gigi M1, didapat hasil bahwa persentase karies gigi pada
wanita lebih tinggi dibanding denga pria.Dibanding dengan molar kanan,
persentase karies molar kiri lebih tinggi karena faktorpenguyahan dan
pembersihan dari masing masing bagian gigi.
3) Usia
Sepanjang hidup dikenal 3 fase umur dilihat dari gigi-geligi paling
umumnya adalah periode gigi campuran, disini molar 1 paling sering terkena
karies anak usia 6-12 tahun masih kurang mengetahui dan mengerti bagaimana
cara memelihara kebersihan gigi dan mulut. Anak-anak usia sekolah perlu
mendapat perhatian khusus sebab pada usia ini anak sedang menjalani proses
tumbuh kembang.
4) Makanan
Makanan sangat berpengaruh terhadap gigi dan mulut, pengaruh ini
dapat dibagi mejadi 2, yaitu:
- Komposisi dari makanan yang menghasilkan energi.
28
Misalnya, karbohidrat, protein, lemak, vitamin, serta mineral-mineral.Unsur
unsur tersebut berpengaruh pada masa pra-erupsi serta pasca-erupsi dari gigi
geligi.
- Fungsi mekanis dari makanan yang dimakan.
Makanan yang bersifat membersihkan gigi. Jadi, makanan merupakan penggosok
gigi alami, tentu saja akan mengurangi kerusakan gigi. Makanan bersifat
membersihkan gigi ini adalah apel, jambu air, bengkuang, dan lain sebagainya.
Sebaliknya makananmakanan yang lunak dan melekat pada gigi amat merusak
gigi, seperti bonbon, coklat, biskuit, dan lain sebagainya. Karies terjadi ketika
proses remineralisasi menjadi lebih lambat dibandingkan proses demineralisasi.
Remineralisasi gigi dapat terjadi pada pH lingkungan yang bersifat:
a. Sedikit jumlah bakteri kariogenik
b. Keberadaan fluoride
c. Gagalnya substansi penyebab metabolisme bakteri
d. Peningkatan sekresi saliva
e. Kemampuan buffer yang tinggi
29
b) Karies profunda stadium II.
Masih dijumpai lapisan tipi s yang membatasi karies dengan pulpa. Biasanya di
sini telah terjadi radang pulpa.
c) Karies profunda stadium III. Pulpa telah terbuka dan dijumpai bermacam-
macam radang pulpa.
b. Menurut lama Jalannya Karies
1) Karies akut
Proses karies berjalan cepat sehingga badan tidak sempat membuat perlawanan.
Karies terus berjalan sampai ke ruang pulpa.
2) Karies kronis
Proses karies terlambat, badan masih sempat membuat pertahanan dengan
adanya daerah berwarna kehitam – hitaman dan keras Karena adanya endapan
kapur .
3) Senile caries
Terdapat pada orang tua, sering pada bagian servikal gigi karena atrofi (
fisiologis) gusi sehingga akar terlihat mudah terjadi karies gigi.
4) Rampant caries
Proses karies ini tidak dapat dikontrol karena jalannya sangat cepat (Hidayat R,
2016).
30
segera dibersihkan dan tidak segera ditambal, karies akan menjalar ke lapisan
dentin hingga sampai ke ruang pulpa yang berisi pembuluh saraf dan pembuluh
darah, sehingga menimbulkan rasa sakit dan akhirnya gigi tersebut bisa mati.
Pada tahap lanjut, selain menimbulkan keluhan yang cukup menggangu, maka
apabila tetap dibiarkan tanpa perawatan, proses karies akan semakin berlanjut
sehingga akan merusak jaringan pulpa/syaraf gigi.
Pada tahap seperti ini dapat disertai timbulnya bau mulut (halitosis)
sehingga menggangu pergaulan. Jika kavitas sudah terlalu dalam dann
menyebabkan pulpa terinfeksi, lama kelamaan pulpa akan mati. Bakteri-bakteri
ini akan terus menginfeksi jaringan dibawah gigi dan menimbulkan periodontitis
apikalis yaitu peradangan jaringan periodontal disekitar ujung akar gigi. Apabila
tidak dirawat kondisi tersebut akan bertambah parah sampai terbentuk abses
periapikal (terbentuknya nanah didaerah apeks gigi atau didaerah ujung akar),
granuloma dan kista gigi (Kidd E, 2018)
31
pulpa baik pulpa tersebut masih vital maupun non-vital, walaupun pada gigi
tersebut terdapat restorasi. Seluruh keadaan ini masih dikategorikan d
(decayed), apabila kavitas tersebut nantinya masih dapat direstorasi.
e: Apabila gigi desidui tersebut telah dilakukan pencabutan atau tanggal.
Keadaan lain yang termasuk ke dalam kategori ini yaitu karies gigi desidui yang
diindikasikan untuk pencabutan, contohnya jika mahkota gigi tidak ada atau yang
ada hanya sisa akar.
f: Apabila pada gigi desidui tersebut telah ditumpat atau direstorasi secara tetap
maupun sementara. Apabila gigi yang sudah ditumpat terdapat karies maka tidak
akan termasuk kedalam kategori ini, (Rachmawati E, 2020).
Nilai rata-rata DEF didapatkan melalui jumlah seluruh nilai DEF dibagi
dengan jumlah anak yang diperiksa.
Rumus yang digunakan untuk menghitung DEF-T:
DEF-T = D + E + F / Jumlah anak yang diperiksa
32
2.6 Kerangka Teoritis
Terhambatnya
tumbuh kembang
anak
Gangguan tumbuh
Kejadian stunting kembang gigi geligi
Karies gigi
sulung
33
BAB 3
KERANGKA KONSEP
Definisi Hasil
No Variabel Cara Ukur Alat Ukur Skala Ukur
Operasional Ukur
Variabel Dependen
1. Kejadian Suatu keadaan Indeks Microtoice Nominal 1.Stunting Z-
stunting dimana tinggi Panjang score TB/U <-
badan anak badan 2,0 SD
tidak sesuai dibanding 2.Normal: Z-
dengan usia umur (PB/U) score TB/U ≥ -
(lebih pendek atau tinggi 2,0 SD +2 SD
dari tinggi usia badan
nomal). disbanding
umur (TB/U)
dengan batas
z-score
kurang dari -
2SD
2. Tingkat Suatu keadaan DEF-T index Kaca Ordinal Kategori DEF-T
keparahan dimana anak dengan mulut dan menurut WHO:
karies gigi mengalami pemeriksaan sonde 0,0 – 1,1 =
sulung kelainan berupa karies gigi sangat rendah
karies pada pada 1,2 – 2,6 =
masa gigi responden. rendah
sulungm DEF-T = D + E 2,7 – 4,4 =
perhitungan + F / Jumlah sedang
34
dengan anak yang 4,5 – 6,5 =
indicator: diperiksa tinggi
D (decay)= 6,6> = sangat
semua gigi yang tinggi
mengalami
karies
E (extraction)=
semua gigi yang
dicabut atau
tanggal
F (filling)=
semua gigi yang
ditambal/
dilakukan
penambalan.
Variabel Confounding
1. Pemberian Perilaku ibu Wawancara Nominal 1. Tidak
ASI eksklusif dalam 2. Ya
memberikan
ASI saja mulai
saat bayi lahir
sampai bayi
berusia 6 bulan
tanpa diberikan
makanan atau
minuman lain
kecuali; obat
dan vitamin
2. Pemberian Perilaku ibu Wawancara Nominal 1. Tidak sesuai
MP-ASI dalam (jika
memberikan carapemberian
makanan MP-ASI
tambahan lain seluruhnya
selain ASI dan atau salah
obat-obatan. satunya tidak
Ditinjau dari: sesuai)
Waktu 2. Sesuai (jika
pemberian MP- cara pemberian
ASI : MP-ASI sesuai
- Sesuai: 6 berdasarkan
bulan waktu
- Tidak sesuai: pemberian,
<6 bulan atau jenis, frekuensi
>6 bulan dan
Jenis MP-ASI kandungan)
yang diberikan
sesuai jika:
- 6-8 bulan: ASI
dan makanan
lumat
- 9-11 bulan:
ASI dan
makanan
lembik atau
35
cincang
- 12-24 bulan:
ASI dan
makanan
keluarga
Frekuensi
pemberian MP-
ASI, sesuai jika
- 6 bulan:
teruskan ASI
dan makanan
lumat 2 kali
sehari
- 7-8 bulan:
teruskan ASI
dan makanan
lumat 3 kali
sehari
- 9-11 bulan:
teruskan ASI
dan makanan
lembik 3 kali
sehari
ditambah
makanan
selingan 2 kali
sehari
- 12-24 bulan:
teruskan ASI
dan makanan
keluarga 3 kali
sehari
ditambah
makanan
selingan 2 kali
sehari.
Kandungan MP-
ASI: Sesuai jika
mengandung
protein, kalori,
lemak, vitamin
dan mineral.
3. Pekerjaan Kegiatan utama Wawancara Nominal 1. Tidak bekerja
orangtua yang dilakukan (IRT)
(ibu) responden dan 2. Bekerja
mendapat (pegawai, PNS,
penghasilan pegawai
atas kegiatan swasta, dan
tersebut. wiraswasta)
4. Tingkat Hasil penilaian Wawancara Kuesioner Ordinal 1. Baik, jika
pengetahuan terhadap persentase
ibu terhadap pengetahuan 76% - 100% 2.
gizi ibu tentang gizi Sedang, jika
bayi persentase
36
56% - 75% 3.
Kurang, jika
persentase
<56%
37
BAB 4
METODE PENELITIAN
38
4.3.1 Populasi
4.3.1.1 Kasus
- Anak usia 3-5 tahun
Populasi kasus sesuai kriteria inklusi sebagai berikut:
1. Anak dengan stunting kelahiran 2019 2020
2. Bertempat tinggal dan tercatat pada data stunting puskesmas
3. semua anak stunting berdasarkan hasil pengukuran antropometri (TB/U)
- Orang tua (ibu)
Populasi kasus adalah orang tua (ibu) yang merawat dan mengetahui
kondisi anak tersebut sejak lahir sampai saat ini.
4.3.2 Sampel
Besar sampel dihitung dengan rumus standar case control yang tersedia
di web online (https://sampsize.sourceforge.net/iface/s3.html). Dasar
pertimbangan untuk menentukan besar sampel dalam suatu populasi
menggunakan nilai odds ratio (OR) dan exposed control.
39
tentang Riwayat pemberian ASI ekslusif, kebiasaan buruk anak, pola menyikat
gigi anak, riwayat penyakit infeksi, pola asuh ibu terhadap anak, dan tingkat
pengetahuan gizi dengan ibu menggunakan kuesioner. Untuk pengukuran
stunting menggunakan pengukur tinggi badan yaitu microtoise, selanjutnya data
diolah menggunakan software World Health Organization AnthroPlus dengan
memilih Anthropometric calculator, hasil perhitungan dinyatakan dalam TB/U.
2. Data Sekunder
Data Sekunder meliputi data demografi diperoleh melalui Badan Pusat
Statistik (BPS) Kota Banda Aceh.
40
ekonomi yang meliputi tingkat penghasilan keluarga, Pendidikan orang tua,
status pekerjaan ibu dan jumlah anak dalam keluarga. Selanjutnya variabel ibu
saat konflik yang meliputi: riwayat pemberian ASI ekslusif, kebiasaan buruk anak,
pola menyikat gigi anak, riwayat penyakit infeksi, pola asuh ibu terhadap anak,
dan tingkat pengetahuan ibu tentang gizi. Sementara variabel terpapar konflik
meliputi: ibu terpapar konflik saat hamil dan anak terpapar konflik saat balita.
Sehingga diketahui variabel yang mempengaruhi dan paling dominan terhadap
kejadian stunting dengan menggunakan logistic regresi berganda. Model yang
diasumsikan dari regresi logistic berganda dengan menggunakan rumus:
y = a + 𝑏1 𝑥1 + 𝑏2 𝑥2 + 𝑏3 𝑥3 + 𝑏4 𝑥4 + 𝑏5 𝑥5 + 𝑏6 𝑥6 + 𝑏7 𝑥7
Σ 𝑋 .𝑌− 𝑛 𝑋̅ 𝑌̅
b= Σ 𝑋 2 − 𝑛 𝑋̅ 2
a = 𝑌̅ − 𝑏𝑋̅
41
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, R., & Tandiari, A. (2016). Kesehatan Gigi Dan Mulut. Yogyakarta:
Penerbit Andi.
Hubungan Status Gizi Kurang (Stunting) Terhadap Karies Gigi Pada Anak Usia
2-5 Tahun (Systematic Review). (N.D.).
Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, J., Penelitian, H., Hafid, A., Stikes
Muhammadiyah Sidrap, K., & Puskesmas Lawawoi Artikel Info, K. (N.D.).
Pengaruh Pola Asuh Terhadap Status Gizi Anak Influence Of Foster
Pattern About The Status Of Child Nutrition.
Kementerian Kesehatan Ri. (2019). Laporan Nasional Riskesdas.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (N.D.).
Mely, O. :, Saputri, N., Kadarisman, Y., & Si, M. (N.D.). Faktor-Faktor Penyebab
Stunting Dan Pencegahannya Di Kelurahan Selatpanjang Kota Kecamatan
Tebing Tinggi Kabupaten Kepulauan Meranti. In Jom Fisip (Vol. 9).
Normansyah, T. A., Setyorini, D., Budirahardjo, R., Prihatiningrum, B., &
Dwiatmoko, S. (2022). Indeks Karies Dan Asupan Gizi Pada Anak Stunting.
Caries Index And Nutritional Intake Of Stunted Children. Jurnal
Kedokteran Gigi Universitas
Oktia, N., Dokter, N., & Bsmi, R. (2020). Qawwam: Journal For Gender
Mainstreaming Stunting Pada Anak: Penyebab Dan Faktor Risiko Stunting
Di Indonesia. 14(1), 19.
Abdat, M. (2019). Stunting Pada Balita Dipengaruhi Kesehatan Gigi Geliginya
Munifah Abdat (Vol. 4, Issue 2).
Rachmawati, E., Primarti Saptarini, R., Zenab, Y., Febriani, M., Biologi Oral, D.,
Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, F., Kedokteran Gigi Anak, D.,
Kedokteran Gigi, F., Padjadjaran, U., Ortodonti, D., Ilmu Material Dan
Teknologi Kedokteran Gigi, D., & Moestopo, U. (N.D.). Korelasi Indeks
42
Masa Tubuh (Bmi) Dan Indeks Karies (Def-T) Pada Anak Usia Sekolah
Dasar Di Kabupaten Bandung.
Rahayu, A., Km, S., Ph, M., Yulidasari, F., Putri, A. O., Kes, M., Anggraini, L.,
Mahasiswa, B., & Masyarakat, K. (2018). Study Guide-Stunting Dan Upaya
Pencegahannya.
Ramadhan, R., Nur Ramadhan Balai Litbang Kesehatan Aceh, Dan, & Sultan
Iskandar Muda Lr Tgk Dilangga Gp Bada Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten
Aceh Besar, J. (N.D.). Determinasi Penyebab Stunting Di Provinsi Aceh
Determination Of Stunting Causes In Aceh Province.
Ramadhan, R., Nur Ramadhan Balai Litbang Kesehatan Aceh, Dan, & Sultan
Iskandar Muda Lr Tgk Dilangga Gp Bada Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten
Aceh Besar, J. (N.D.). Determinasi Penyebab Stunting Di Provinsi Aceh
Determination Of Stunting Causes In Aceh Province.
43