Anda di halaman 1dari 20

TUGAS PELAYANAN FARMASI

KASUS 3
KANKER PAYUDARA
Dosen Pengampu : Sumaryana, M.Sc., Apt

Disusun oleh :

Nama : Fitriasih
NIM : 19405021042
Kelompok :3

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS WAHID HASYIM
SEMARANG
2020
BAB I
KASUS 3

Seorang ibu bernama HD 42 tahun datang ke rumah sakit mengeluhkan payudara


bagian kanannya terasa nyeri dan terdapat benjolan. Pasien merasakan nyeri yang amat sangat
pada payudara kanan, namun keluhan tidak disertai panas badan. pasien kemudian dirawat di
rumah sakit karena didiagnosis tumor mamae dan melakukan pembedahan untuk
menghilangkan benjolan pada payudara

Uraian Tanggal
13-10-14
Nyeri √
Benjolan √
Pusing √

TTV
Pemeriksaan Satuan Tanggal
13-Oct 14-Oct 15-Oct 16-Oct
TD mmHG 100/70 110/80 100/70 120/70

Data penggunaan Obat


No Nama Obat Dosis Rute Tanggal
13-Okt 14-Okt 15-Okt
1 Infus RL 20 tpm Iv • • •
2 Injeksi ketorolac 30mg /12 jam Iv • • •
3 Injeksi Ranitidin 1 A /12 jam Iv • • •
4 Ondansetron inj 1 A /12 jam Iv • • •
5 Aminofluid 10 tpm Iv - • •
6 Cefotaxim inj 1 A /12 jam Iv - • •

TUGAS INDIVIDU

Membuat makalah dari kasus yang di bagi untuk masing-masing kelompok dengan
metode analisis SOAP dilengkapi dengan literature yang kekinian. Literature paling kini nilai
paling besar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. KANKER PAYUDARA

A. Pengertian Kanker Payudara


Kanker payudara (KPD) merupakan keganasan pada jaringan payudara yang
dapat berasal dari epitel ductus maupun lobulusnya (Kepmenkes RI, 2018).

B. Faktor Resiko Kanker Payudara


Faktor risiko yang erat kaitannya dengan peningkatan insiden kanker payudara
antara lain jenis kelamin wanita, usia > 50 tahun, riwayat keluarga dan genetik
(Pembawa mutasi BRCA1, BRCA2, ATM atau TP53 (p53)), riwayat penyakit
payudara sebelumnya (DCIS pada payudara yang sama, LCIS, densitas tinggi pada
mammografi), riwayat menstruasi dini (<12 tahun) atau menarche lambat (>55 tahun),
riwayat reproduksi (tidak memiliki anak dan tidak menyusui), hormonal, obesitas,
konsumsi alkohol, riwayat radiasi dinding dada, dan faktor lingkungan(Kepmenkes RI,
2018).

C. Skrining Kanker Payudara


1. Periksa Payudara Sendiri (SADARI)
SADARI dilakukan oleh masing-masing wanita, mulai dari usia 20 tahun. SADARI
dilakukan setiap bulan, 7-10 hari setelah hari pertama haid terakhir. Cara melakukan
SADARI yang benar dapat dilakukan dalam 5 langkah, yaitu:
a. Dimulai dengan memandang kedua payudara didepan cermin dengan posisi
lengan terjuntai kebawah dan selanjutnya tangan berkacak pinggang. Lihat dan
bandingkan kedua payudara dalam bentuk, ukuran, dan warna kulitnya.
Perhatikan kemungkinan-kemungkinan dibawah ini :
1. Dimpling, pembengkakan kulit;

2. Posisi dan bentuk dari puting susu (apakah masuk kedalam atau bengkak);

3. Kulit kemerahan, keriput atau borok, dan bengkak.


b. Tetap didepan cermin, kemudian mengangkat kedua lengan dan melihat
kelainan seperti pada langkah a.
c. Pada waktu masih ada didepan cermin, lihat dan perhatikan tanda-tanda
adanya pengeluaran cairan dari puting susu.
d. Berikutnya dengan posisi berbaring, rabalah kedua payudara, payudara kiri
dengan tangan kanan dan sebaliknya, gunakan bagian dalam (volar/telapak)
dari jari ke 2-4. Raba seluruh payudara dengan cara melingkar dari luar
kedalam atau dapat juga vertikal dari atas kebawah.
e. Langkah berikutnya adalah meraba payudara dalam keadaan basah dan licin
karena sabun dikamar mandi, rabalah dalam posisi berdiri dan lakukan seperti
langkah d.
Upaya promotif melakukan SADARI dapat diajarkan oleh petugas terlatih, mulai
dari Tingkat Pelayanan Kesehatan Primer (Kepmenkes RI, 2018).

2. Periksa Payudara Klinis (SADANIS)


Pemeriksaan klinis payudara dikerjakan oleh petugas kesehatan yang terlatih,
mulai dari Tingkat Pelayanan Kesehatan Primer. Pemeriksaan klinis pada payudara
dilakukan sekurangnya 3 tahun sekali atau apabila ditemukan adanya abnormalitas
pada proses SADARI.
Selanjutnya setelah dilakukan pemeriksaan klinis payudara, maka dapat
ditentukan apakah memang betul ada kelainan, dan apakah kelainan tersebut
termasuk kelainan jinak, ganas, atau perlu pemeriksaan lebih lanjut sehingga
membutuhkan rujukan (Kepmenkes RI, 2018).

D. Tatalaksana Kanker Payudara


Mastektomi dikerjakan pada stadium I, II, dan III bisa berbentuk mastektomi
radikal modifikasi ataupun yang klasik. Pembedahan merupakan terapi yang paling
awal dikenal untuk pengobatan kanker payudara. Terapi pembedahan dikenal sebagai
berikut :
a. Terapi atas masalah lokal dan regional : Mastektomi, breast conserving surgery,
diseksi aksila dan terapi terhadap rekurensi lokal/regional.
b. Terapi pembedahan dengan tujuan terapi hormonal : ovariektomi, adrenalektomi,
dsb
c. Terapi terhadap tumor residif dan metastase.
d. Terapi rekonstruksi, terapi memperbaiki kosmetik atas terapi lokal/regional, dapat
dilakukan pada saat bersamaan (immediate) atau setelah beberapa waktu (delay)
(Kepmenkes RI, 2018).
(Kepmenkes RI, 2018).
Jenis pembedahan pada kanker payudara diantaranya :
a. Mastektomi
1. Mastektomi Radikal Modifikasi (MRM)
MRM adalah tindakan pengangkatan tumor payudara dan seluruh
payudara termasuk kompleks puting-areola, disertai diseksi kelenjar getah
bening aksilaris level I sampai II secara en bloc. Indikasi: Kanker payudara
stadium I, II, IIIA dan IIIB. Bila diperlukan pada stadium IIIb, dapat dilakukan
setelah terapi neoajuvan untuk pengecilan tumor.
2. Mastektomi Radikal Klasik (Classic Radical Mastectomy)
Mastektomi radikal adalah tindakan pengangkatan payudara, kompleks
puting-areola, otot pektoralis mayor dan minor, serta kelenjar getah bening
aksilaris level I, II, III secara en bloc. Jenis tindakan ini merupakan tindakan
operasi yang pertama kali dikenal oleh Halsted untuk kanker payudara, namun
dengan makin meningkatnya pengetahuan biologis dan makin kecilnya tumor
yang ditemukan maka makin berkembang operasi operasi yang lebih minimal.
Indikasi:
- Kanker payudara stadium IIIb yang masih operable
- Tumor dengan infiltrasi ke muskulus pectoralis major. (Kepmenkes RI,
2018).
b. Breast Conserving Therapy (BCT)
Pengertian BCT secara klasik meliputi : BCS (=Breast Conserving Surgery),
dan Radioterapi (whole breast dan tumor sit). BCS adalah pembedahan atas tumor
payudara dengan mempertahankan bentuk (cosmetic) payudara, dibarengi atau
tanpa dibarengi dengan rekonstruksi. Tindakan yang dilakukan adalah lumpektomi
atau kuadrantektomi disertai diseksi kelenjar getah bening aksila level 1 dan level
2.
Tujuan utama dari BCT adalah eradikasi tumor secara onkologis dengan
mempertahankan bentuk payudara dan fungsi sensasi. BCT merupakan salah satu
pilihan terapi lokal kanker payudara stadium awal. Beberapa penelitian RCT
menunjukkan DFS dan OS yang sama antara BCT dan mastektomi. Namun pada
follow up 20 tahun rekurensi lokal pada BCT lebih tinggi dibandingkan
mastektomi tanpa ada perbedaan dalam OS. Sehingga pilihan BCT harus
didiskusikan terutama pada pasien kanker payudara usia muda. Secara umum, BCT
merupakan pilihan pembedahan yang aman pada pasien kanker payudara stadium
awal dengan syarat tertentu.
Tambahan radioterapi pada BCS dikatakan memberikan hasil yang lebih baik
Indikasi : - Kanker payudara stadium I dan II.
- Kanker payudara stadium III dengan respon parsial setelah terapi
neoajuvan. (Kepmenkes RI, 2018).

II. NYERI PADA KANKER PAYUDARA

A. Gejala

Nyeri biasanya tidak terjadi pada kanker payudara dini. Sebuah benjolan tanpa
rasa sakit mungkin merupakan gejala pertama. Pada stadium lanjut, rasa sakit dapat
terjadi karena keterlibatan jaringan yang lebih dalam seperti otot, tulang
rusuk, dll., mengakibatkan rasa sakit yang sangat, meningkat dengan gerakan dada.
Mungkin ada eksaserbasi (rasa sakit yang tiba-tiba) disebut sebagai
breakthrough cancer pain (BTcP). Seorang pasien yang memiliki BTcP hanya jika
memilikinya latar belakang rasa sakit yang cukup terkontrol dan mengalami eksaserbasi
nyeri sementara. Hal tersebut dapat terjadi secara tiba-tiba (nyeri idiopatik) biasanya
pada tindakan reflek batuk atau tindakan yg sadar seperti berjalan. Patofisiologi BTcP
biasanya relatif umum disebabkan metastasis vertebral yang nyeri dan nyeri berasal dari
pleksus saraf (Satija et al, 2014).

B. Etiologi
Etiologi nyeri kanker bersifat multi-faktorial. Ini mungkin timbul karena :
1. kanker itu sendiri, karena pelepasan mediator inflamasi atau karena metastasis ke
jaringan yang jauh termasuk tulang dan jaringan saraf
2. pengobatan kanker.
neuron sensorik merosot setelah kemoterapi dan menyebabkan nyeri neuropatik.
Radioterapi diinduksi nyeri timbul sebagai akibat dari perubahan mikrovaskuler
dan compression saraf. Penyebab utama untuk operasi diinduksi nyeri adalah
kerusakan pada saraf intercostobrachial dan neuroma formation . defisiensi
estrogen yang disebabkan oleh inhibitor aromatase mengarah ke arthralgias (Satija
et al, 2014).

C. Tatalaksana Terapi Nyeri


Manajemen nyeri untuk pasien kanker memerlukan penilaian nyeri kritis dan
evaluasi menyeluruh termasuk penilaian psikologis. Bergantung pada etiologi nyeri,
pendekatan manajemen nyeri dapat disesuaikan untuk pasien. Berbagai pendekatan
untuk manajemen dan perawatan nyeri diberikan pada Tabel I dan II. Pada sekitar 85-
90 persen dari pasien, rasa sakit dapat dikontrol dengan analgesik oral yang diberikan
sesuai dengan algoritma analgesik menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),
sedangkan yang lain mungkin diperlukan intervensi.
(Satija et al, 2014).

III. PONV (POSTOPERATIVE NAUSEA AND VOMITING)

A. Etiologi
Etiologi mual muntah pasca operasi bersifat multi-faktorial. Salah satu penyebab
PONV yang berhubungan dengan kanker payudara diantaranya yaitu :
1. Peran penggunaan anestesi dan opioid yang mudah menguap
Sebelum di operasi, pasien dapat memiliki kecenderungan untuk PONV,
termasuk wanita (jenis kelamin), riwayat mabuk perjalanan atau PONV, status
bukan perokok, dan usia yang lebih muda. Berdasarkan studi klinis penyebab
utama PONV setelah operasi adalah penggunaan anestesi inhalasi dan analgesik
opioid. Agen anestesi inhalasi (misalnya, sevoflurane, isoflurane) tampaknya
memiliki potensi dengan menghasilkan PONV, dan durasi paparan yang lebih
lama terhadap agen-agen ini dikaitkan dengan lebih banyak PONV. Ada juga
dampak penggunaan nitro oksida meningkatkan PONV seangkan saat iv propofol
digunakan untuk menggantikan anestesi inhalasi, ada jauh lebih sedikit PONV.
Opioid biasanya digunakan pada periode perioperatif untuk mengontrol rasa
sakit dan berkontribusi anestesi seimbang. Opioid, termasuk morfin dan fentanyl,
diketahui dapat menyebabkan mual dan muntah sebagai stimulus independen serta
penggunaan intraoperatif dari opioid tampaknya tidak menjadi stimulus yang
konsisten untuk PONV (Horn et al, 2014).
2. Trauma dan peradangan bedah
Operasi bedah dapat menghasilkan trauma jaringan dan peradangan.
Meningkatkan durasi pembedahan tampaknya menjadi satu-satunya faktor risiko
yang konsisten untuk PONV . Beberapa jenis operasi telah terbukti menempatkan
pasien risiko lebih tinggi untuk PONV. Beberapa jenis operasi yang berpotensi
menginduksi PONV termasuk bedah kolesistektomi, laparoskopi, ginekologis,
dan telinga-hidung-tenggorokan (THT). Meskipun tidak secara langsung
ditangani oleh penelitian saat ini, antiemetik dapat menekan PONV dengan
menghambat peradangan dan bukan dengan tindakan langsung pada sistem saraf
untuk mual dan muntah. Trauma yang mengarah ke pelepasan zat P, 5-HT, atau
mediator lokal lainnya yang dapat mempengaruhi pensinyalan serat aferen
ekstrinsik. Antiemetik yang digunakan untuk mengendalikan PONV , diantaranya
deksametason dan antagonis reseptor 5-HT 3 dan NK1 (Horn et al, 2014).

B. Tatalaksana Terapi PONV

(Consensus Guidelines for the Management of PONV, 2014)


BAB III
ANALISIS SOAP

A. Analisis SOAP

1. Subjektif

Keluhan : payudara bagian kanannya terasa nyeri dan terdapat benjolan. Pasien
merasakan nyeri yang amat sangat pada payudara kanan, namun keluhan
tidak disertai panas badan.
Uraian Tanggal
13-10-14
Nyeri √

Benjolan √

Pusing √

2. Objektif

Diagnosis : tumor mamae


TTV
Pemeriksaan Satuan Tanggal
13-Oct 14-Oct 15-Oct 16-Oct
TD mmHG 100/70 110/80 100/70 120/70

Data penggunaan Obat


No Nama Obat Dosis Rute Tanggal
13-Okt 14-Okt 15-Okt
1 Infus RL 20 tpm Iv • • •
2 Injeksi ketorolac 30mg /12 jam Iv • • •
3 Injeksi Ranitidin 1 A /12 jam Iv • • •
4 Ondansetron inj 1 A /12 jam Iv • • •
5 Aminofluid 10 tpm Iv - • •
6 Cefotaxim inj 1 A /12 jam Iv - • •
Nama obat 3. Asesmen 4. Plan
Ketorolac iv Indikasi: Antinyeri MESO:
Mekanisme: NSID yang menghambat enzim siklooksigenase 1 dan 2 (COX 1 dan 1. Monitoring terjadinya perdarahan (MIMS, 2020)
COX 2), menghasilkan penurunan pembentukan prekursor (MIMS, 2020)
Dosis literatur: Rekomendasi:
Dosis ketorolac iv 10-30mg tiap 6 jam, max 5 hari (Dipiro Ed X, 2017) 1. Usul terapi ketorolac iv 30mg/6 jam dan durasi
Farmakokinetik: maksimal penggunaanya 5 hari (Dipiro Ed X, 2017)
Bioavalaibilitas 100%, durasi 4-6 jam, Vd 13L, Metabolisme: hati, Eksresi: urin. 2. Monitoring terjadinya perdarahan, TD, LFT, dan
Efek Samping: fungsi ginjal (MIMS, 2020)
Perdarahan gastrointestinal, ulserasi atau perforasi, kejadian trombotik CV (mis.
infark miokard, stroke), bronkospasme, dermatitis eksfoliatif, sindrom Stevens-
Johnson, toksik nekrolisis epidermis.
DRP:
- Terapi penggunaan ketorolac iv kurang, dalam MR 30mg/12jam, seharusnya
30mg/6jam (Dipiro Ed X, 2017)
- Durasi penggunaan ketorolac iv maksimal 5 hari (Dipiro Ed X, 2017), serta
monitoring terjadinya perdarahan.

Cefotaxim iv Indikasi : MESO:


profilaksis untuk postoperative kanker Fungsi ginjal (MIMS, 2020)
Mekanisme :
Cefotaksim berikatan dengan 1 atau lebih penicillin-binding proteins (PBPs) yang Rekomendasi:
akan menghambat pada tahap transpeptidisasi sintesis peptidoglikan dinding sel, Terapi dihentikan (Nurkusuma dan Dewi, 2017)
sehingga menghambat biosintesis dan mengakibatkan kematian sel bakteri

Farmakokinetik:
Absorbsi :
4 jam melalui IV
Distribusi :
didistribusikan secara luas ke jaringan tubuh dan cairan dan terdistibusi ke plasenta
dan ASI.
Metabolisme :
Mengalami metabolisme parsial dalam hati dan dikonversi menjadi
desacetylcefotaxime dan metabolit tidak aktif.
Ekskresi :
Terutama melalui urin (kira-kira 40-60% sebagai obat tidak berubah, lebih lanjut
20% sebagai desacetyl metabolit); empedu (konsentrasi yang relatif tinggi); faeces
(sekitar 20%). Waktu paruh plasma: Kira-kira 1 jam (sefotaksim); sekitar 1,5 jam
(desacetylcefotaxime).
Rute :
Intravena (Injeksi)
Efek Samping :
anafilaksis, aritmia (MIMS, 2020)
Dosis Literatur :
Injeksi 1 gram/hari tiap 12 jam (Anonim, 2014)
Dosis Pasien : sudah sesuai (Injeksi 1 g tiap 12 jam)
DRP:
Penggunaan profilaksis antibiotik pasca operasi seharusnya diberikan satu kali
sebelum operasi atau dapat ditambah satu kali setelah operasi bila ada indikasi
(Nurkusuma dan Dewi, 2017)

Ranitidine iv Indikasi : Stress Ulcer MESO :


Mekanisme : Ranitidine secara kompetitif dan reversibel menghambat histamin Monitoring fungsi hati dan ginjal (mis. Kreatinin
pada reseptor H2 di sel parietal lambung sehingga menghambat sekresi asam serum), pendarahan gastrointestinal, dan tanda-tanda
lambung, volume lambung dan mengurangi konsentrasi ion hidrogen (MIMS, kebingungan.
2020)
Farmakokinetik: Rekomendasi :
Absorbsi : 50% dari dosis yang diberikan diserap dari saluran pencernaan (oral); Peningkatan durasi Injeksi Ranitidine menjadi tiap 8 jam
cepat diserap (IM). Waktu untuk memuncak konsentrasi plasma: 2-3 jam (oral); (Dzierba, A., 2015)
dalam 15 menit (IM).
Bioavailibilitas: Oral 50%; IM 90-100%.
Distribusi: Secara minimal menembus sawar darah-otak, melewati plasenta, dan
memasuki SI. Volume distribusi: Perkiraan: 1,4 L/kg. Ikatan protein plasma:
Sekitar 15%.
Metabolisme: Di metabolisme di hati menjadi N-oksida (metabolit utama), S-
oksida, dan metabolit N-desmethyl.
Ekskresi: Melalui urin, feses.
Waktu paruh eliminasi: 2,5-3 jam (oral); 2-2,5 jam (IV).

Dosis Literatur
- 50 mg IV setiap 8 jam (Dzierba, A., 2015)
- 50 mg IM atau IV setiap 6 sampai 8 jam.
Dosis maksimal 400 mg/day. (Drugs, 2020)

Efek Samping Obat :


Depresi, Halusinasi, Bingung. (MIMS,2020)

DRP:
Durasi penggunaan kurang, dalam data penggunaan obat Injeksi Ranitidine
diberikan secara intravena setiap 12 jam, sedangkan dalam literatur Injeksi
Ranitidine diberikan setiap 6-8 jam.

Ondansetron iv Indikasi : Mual muntah pasca operasi MESO :


Mekanisme : Ondansetron secara selektif memusuhi reseptor 5-HT3 pada kedua Pantau EKG, serum K, dan serum Mg. Pantau tanda dan
perifer pada terminal saraf vagal dan secara terpusat di zona pemicu kemoreseptor. gejala sindrom serotonin dan penurunan aktivitas usus.
(MIMS, 2020)
Onset: Sekitar 30 menit. Rekomendasi :
Farmakokinetik: Terapi dilanjutkan
Absorbsi : Diserap secara pasif dan sepenuhnya dari saluran pencernaan.
Ketersediaan hayati sedikit ditingkatkan dengan makanan.
Distribusi : Didistribusikan secara luas di dalam tubuh, termasuk eritrosit.
Melintasi plasenta. Volume distribusi: 1,9 L / kg.
Metabolisme: Secara luas dimetabolisme di hati terutama melalui hidroksilasi,
diikuti oleh konjugasi glukuronida atau sulfat oleh isoenzim CYP3A4, CYP1A2
dan CYP2D6. Demetilasi juga dapat terjadi.
Ekskresi: Melalui urin, faeces
Waktu paruh eliminasi: Sekitar 3-6 jam (oral / parenteral); Kira-kira 6 jam
(dubur).

Dosis Literatur
4 mg IV tiap 12 jam

Efek Samping Obat :


sakit kepala, kelelahan, mulut kering, malaise, dan sembelit. (Bush dan Griddine,
2019)
DRP:
-
Infus Ringer Indikasi : Profilaksis mual muntah sebelum dan setelah operasi (Soleimani dkk., MESO :
Laktat 2018) -
Mekanisme : Penggantian secara parenteral dari kehilangan cairan dan elektrolit
ekstraseluler (MIMS, 2020). Rekomendasi :
Dosis literatur: Dosis tergantung usia, berat badan, dan keadaan klinis pasien Terapi dilanjutkan
(MIMS, 2020)
Farmakokinetik: -
Efek Samping: -
DRP: -
Aminofluid Indikasi: Terapi Parenteral Nutrisi MESO :
Mekanisme: Menggunakan 8 jenis asam amino esensial (Aminofluid) and L- -
histidine yang dibutuhkan oleh pasien yang memiliki gangguan gagal ginjal, terapi
menggunakan asam amino Rekomendasi :
(aminofluid) dapat memperbaiki gejala klinis dan mencegah perburukan penyakit. Aminofluid di hentikan
Menuruntkan nitrogen urea darah dan kreatinin serum, meningkatkan total protein
dan albumin, meningkatkan sel darah merah dan hemoglobin, dan peningkatan
kadar hematokrit. Terutama Asam Amino (Aminofluid) efektif dalam
meningkatkan metabolisme nitrogen.
Dosis literatur: -
Farmakokinetik: -
Efek Samping: -
DRP: -
B. Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE)

1. Melakukan kegiatan preventif-promotif yaitu program Periksa Payudara Sendiri


(SADARI) yang dilakukan oleh masing-masing wanita, mulai dari usia 20 tahun.
SADARI dilakukan setiap bulan, 7-10 hari setelah hari pertama haid terakhir.
2. Setelah dilakukan proses pengangkatan tumor, menginformasikan dan mengedukasi
pasien untuk tetap memeriksa area payudara sendiri bila adanya kemungkinan nyeri
atau benjolan kembali, dan segera melakukan pemeriksaan ke fasilitas pelayanan
kesehatan.
3. Merekomendasikan untuk mempertahankan aktivitas fisik semampunya pada pasien
setelah pengobatan untuk membantu pembentukan massa otot, fungsi fisik dan
metabolisme tubuh .
4. Mengedukasi pasien agar memiliki BB yang sehat (ideal) dan menerapkan pola
makan yang sehat (terutama berbasis tanaman), tinggi buah, sayur dan biji-bijian,
serta rendah lemak, daging merah, dan hindari alkohol.
5. Mengedukasi pasien untuk menjaga area payudara agar tetap bersih dan menghindari
pakaian dalam terlalu ketat.
6. Menginformasikan terapi yang digunakan pasien kepada keluarga pasien (nama
obat, dosis, indikasi, efek samping yang mungkin terjadi) dan mengedukasi pasien
agar mengkonsumsi obat secara teratur.
BAB IV
PEMBAHASAN

Dari studi literatur yang dilakukan kelompok kami didapatkan hasil :

1. Infus RL
Penggunaan infus RL tetap dilanjutkan penggunaannya. Infus RL disini
digunakan sebagai terapi penggantian dari kehilangan cairan dan elektrolit
ekstraseluler secara parenteral. Pasien pasca operasi, biasanya mengalami mual dan
muntah yang disebabkan karena efek samping dari anestesi yang digunakan. Mual dan
muntah yang berlebihan menyebabkan pasien kehilangan cairan tubuh, oleh karena
itu diperlukan pemberian cairan rehidrasi untuk mengganti cairan tubuh yang hilang
(Soleimani dkk., 2018).
2. Injeksi Ketorolac
Penggunaan injeksi ketorolac sebagai anti nyeri pasca operasi payudara sudah
tepat, karena sangat berguna dalam mengelola nyeri perioperatif pada operasi
payudara dan tidak meningkatkan resiko pendarahan, walaupun begitu monitoring
harus tetap dilakukan selama penggunaan. Ada ketidaksesuaian dengan literatur
tentang penggunaan injeksi ketorolac terkait dengan dosis yang digunakan. Pasien
mendapatkan injeksi ketorolac dengan dosis 30mg tiap 12 jam, sedangkan dalam
literatur disebutkan bahwa untuk injeksi ketorolac dosisnya adalah 30mg tiap 6 jam
dengan durasi penggunaan maksimal 5 hari (Dipiro X et al., 2017). Pembatasan durasi
penggunaan injeksi ketorolac ini disebabkan karena ketorolac injeksi dapat
menyebabkan pendarahan pada gastrointestinal. Monitoring terjadinya pendarahan,
TD, LFT dan fungsi ginjal juga perlu dilakukan selama penggunaan injeksi ketorolac
injeksi (Rojas, et al., 2019).
3. Injeksi Ranitidin
Penggunaan injeksi ranitidin disini diindikasikan untuk mengatasi
kemungkinan timbulnya ulcerasi/perforasi gastrointestinal yang diakibatkan oleh
penggunaan injeksi ketorolac (ketorolac bekerja mengurangi nyeri dengan mekanisme
menghambat COX 1 dan COX 2, sehingga memungkinkan terjadinya
ulcerasi/perforasi gastrointestinal), sehingga penggunaan ranitidin dalam pengobatan
pasien sudah tepat. Ada ketidaksesuaian dengan literatur penggunaan injeksi ranitidin
terkait dengan dosis yang digunakan. Pasien mendapat injeksi ranitidin dengan dosis
50mg tiap 12 jam, sedangkan dalam literatur disebutkan bahwa untuk injeksi ranitidin
dosisnya adalah 50mg setiap 8 jam (Dzierba, A., 2015).
4. Injeksi Ondansetron
Injeksi ondansetron digunakan untuk mengatasi mual dan muntah pada pasien
pasca operasi. Mual dan muntah pasca opeasi biasanya disebabkan karena penggunaan
anestesi, maka penggunaan ondansetron injeksi pada pengobatan sudah tepat. Dosis
yang digunakan untuk injeksi ondansetron juga sudah sesuai dengan literatur yaitu
4mg setiap 12 jam. Perlu dilakukan monitoring EKG, serum K dan serum Mg, tanda
dan gejala sindrom serotonin dan penurunan aktivitas usus selama penggunaan
ondansetron (MIMS, 2020).
5. Aminofluid
Penggunaan aminofluid sebagai Total Parenteral Nutrition sebenarnya tidak
diperlukan dalam terapi pengobatan. Pemberian Total Parenteral Nutrition ditujukan
untuk pasien dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk mendapatkan nutrisi
oral dan enteral (nutrisi oral dan enteral tidak memenuhi kebutuhan nutrisi pasien)
atau bila saluran cerna tidak berfungsi normal, misalnya pendarahan masif saluran
cerna, diare berat, obstruksi usus total/mekanik, malabsorbsi berat. Sedangkan pada
kasus, pasien hanya pembedahan tumor payudara dan dilihat dari tanda-tanda vital
pasien yaitu tekanan darah, keadaan pasien masih bisa mengkonsumsi nutrisi secara
oral, sehingga tidak perlu diberikan Total Parenteral Nutrition.
6. Injeksi Cefotaxim
Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan literatur yaitu 1g setiap 12 jam.
Hanya saja penggunaanya yang tidak sesuai. Penggunaan injeksi cefotaxim sebagai
profilaksi antibiotik pasca operasi seharusnya diberikan satu kali sebelum
operasi/ditambah sekali setelah operasi bila ada indikasi (Nurkusuma dan Dewi,
2017). Tetapi pada data pengobatan pasca operasi pasien diberikan 2x di tanggal 14
dan 15 oktober, hal ini dapat beresiko menimbulkan resistensi pada pasien serta
pengeluaran biaya yang tidak efisien, maka sebaiknya terapi dihentikan saja.
BAB V

KESIMPULAN

Pengobatan yang didapatkan pasien yaitu Infus RL (20 tpm) sudah sesuai dan terapi
dilanjutkan, Injeksi Ketorolac (tiap 12 jam) tidak sesuai, seharusnya, setiap 6 jam dan maksimal
penggunaan selama 5 hari, Injeksi Ranitidin (tiap 12 jam) tidak sesuai, seharusnya tiap 8 jam,
Injeksi Ondansetron (tiap 12 jam) sudah sesuai dan terapi dilanjutkan, Aminofluid (10 tpm)
tidak sesuai dan dihentikan pemberiannya, Injeksi Cefotaxim (tiap 12 jam) tidak sesuai dan
dihentikan pemberiannya.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2014, Cefotaxime for Injection, Sanofi ; Canada


Bush, J.S. and Griddine, A., 2019, Ondansetron, NCBI bookshelf.
Consensus Guidelines for the Management of PONV, 2014, Special Article Consensus
Guidelines for the Management of PONV, International Anesthesia Research Society.
DiPiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., and Posey, L.M., 2017,
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach 10th Edition, Mc Graw Hill
Education, New York.
Drugs, 2020, https://www.drugs.com/ diakses tanggal 17/01/2020
Dzierba, A.L., 2015, Supportive and Preventive Medicine:Critical Care Pharmacy Preparatory
Review Course, NewYork-Presbyterian Hospital, New YorK
Horna, Charles C., Wallischc, William J., Homanics, Gregg E., and Williams, John P., 2014,
Pathophysiological and neurochemical mechanisms of postoperative nausea and
vomiting, Eur J Pharmacol.
Kepmenkes RI, 2018, Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Kanker
Payudara, No. HK. 01.07/MENKES/414/2018.
Mims, 2020, https://www.mims.com/indonesia/drug/info/ diakses tanggal 17/01/2020
Nurkusuma, D.D, dan Dewi, A., 2017, Efisiensi Penggunaan Antibiotik Profilaksis
Sefalosporin pada Kasus Operasi Bersih di Rumah Sakit Umum Daerah Temanggung,
Proceeding Health Architecture, 1(1) ; 67-73.
Rojas, K.E., Fortes, T.A., Flom, Peter, Manasseh, D.M, Andaz, Charusheela, and Borgen,
Patrick, 2019, Intraoperative Ketorolac Use Does Not Increase the Risk of Bleeding in
Breast Surgery, Society of Surgical Oncology.
Satija, Aanchal., Ahmed, Syed Mehmood., Gupta, Rahul., Ahmed, Arif., Rana, S.P.S., Singh,
S.P., Mishra, Seema., dan Bhatnagar, Sushma., 2014., Review Article : Breast cancer
pain management - A review of current & novel therapies, The Indian Journal of
Medical Research.
Soleimani., S, Mohammadi., M, Teymourian., H, Gholizadeh., N, Khazaei., Y, dan Safari., F,
2018, The Effect of Fluid Therapy in Acute Post-Operativ Complications of Breast
Cancer; Pain and Post-Operative Nausea And Vomiting, Cancer Research Center,
Shahid Beheshti University Of Medical Sciences.

Anda mungkin juga menyukai