Kelompok 1:
MAGISTER AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2023
Belakangan ini, investor dan masyarakat Indonesia dikejutkan oleh informasi mengenai
indikasi bahwa PT Garuda Indonesia Tbk telah menyusun laporan keuangan dengan
menggelembungkan pendapatan yang seharusnya tidak diakui sebagai pendapatan. Yang dinilai
sebagai kesalahan signifikan adalah pengakuan pendapatan dari kontrak Garuda dengan PT
Mahata Aero Teknologi tentang kerja sama penjualan layanan konektivitas dalam penerbangan
dan hiburan dalam pesawat dan manajemen konten. Konsekuensi atas pengakuan pendapatan
dari kontrak tersebut adalah Garuda membukukan laba tahun 2018 sebesar US$
5.018.308. Dengan menganggap bahwa imbalan tersebut merupakan imbalan tetap, Garuda
mengklaimnya sebagai pendapatan tahun berjalan.
Pada Laporan Keuangan tahun berjalan 2017 rasio GPM dan NPM diketahui masing-
masing -0.014 dan -0.051, sedangkan pada Laporan Keuangan tahun berjalan 2018
kedua rasio tersebut secara simultan dengan nilai 2.074 dan 0.001, hal ini memicu pertanyaan,
bagaimana dalam 1 tahun pendapatan Garuda Indonesia dengan tingkat pendapatan merugi bisa
menjadi untung, kemudian diberitahukan bahwa Garuda Indonesia memiliki kontrak perjanjian
kerja sama dengan Mahata Aero Teknologi, Hal ini tentunya merupakan bentuk perjanjian
kontrak yang awalnya dinilai positif, namun ketika terbit laporan keuangan (LK) tahun 2018,
anomaly ini terjadi.
Manajemen Garuda Indonesia berusaha membuat Laba Garuda menjadi bernilai positif
setelah beberapa tahun belakangan bernilai negative, hal ini didasari karena buruknya/tidak
efisien dari tata kelola manajemen Garuda Indonesia itu sendiri, di lain hal, tingginya biaya
pemeliharaan dan operasional armada juga tidak sedikit, ditambah dengan beberapa kasus
korupsi pada tahun 2014 yang menyangkut permasalahan dengan Rolls Royce, sehingga wajar
bagi para direksi dan dewan komisaris Garuda menjalankan manajemen laba
Pada pos pendapatan diterima dimuka, Garuda membukukan $234 juta sebelum
menjalankan restatement, hal tersebut berasal dari kontrak kerjasama dengan Mahata, namun
Garuda melanggar pencatatan laporan keuangan tersebut langsung sebagai pendapatan tahun
berjalan, sedangkan pembayaran atas jasa yang dijanjikan dalam kontrak belum sepenuhnya
dilunasi. Akibat dari sifat pengakuan pendapatan yang dinilai sebagai bentuk aggressive accounting ini,
dinilai bahwa kesalahan manajemen dalam pengelolaan garuda dijadikan sebagai alasan utama.
Kesimpulan:
Kecerobohan dari pihak Akuntan Publik, dewan direksi Garuda Indonesia, sekali lagi membuat
perusahaan plat merah ini mengalami kerugian yang signifikan, seharusnya Garuda bersabar dalam
mengakui pendapatan diterima dimuka tersebut, agar keuangan garuda menjadi pulih kembali.
Sumber :