Anda di halaman 1dari 3

Nama : Naufal Ahsani Hartono

NIM : 142190100

Analisis PSAK 23 & 72 Terhadap Kasus PT. Garuda


Kronologi
Garuda Indonesia pada 2 april 2019 dikenakan sanksi oleh lembaga keuangan pemerintah dan
non pemerintah. Pasalnya, dalam laporan keuangan Garuda ditemukan kejanggalan.
Kasus Garuda Indonesia ini tidak hanya memukul si burung baja. Auditor laporan keuangan,
yakni Akuntan Publik (AP) Kasner Sirumapea Kantor Akuntan Publik (KAP) Tanubrata
Sutanto Fahmi Bambang & Rekan (Member of BDO Internasional), juga dikenakan sanksi oleh
Kementerian Keuangan.
Semua berawal dari hasil laporan keuangan Garuda Indonesia untuk tahun buku 2018. Dalam
laporan keuangan tersebut, Garuda Indonesia Group membukukan laba bersih sebesar
USD809,85 ribu atau setara Rp11,33 miliar (asumsi kurs Rp14.000 per dolar AS). Angka ini
melonjak tajam dibanding 2017 yang menderita rugi USD216,5 juta.
Namun laporan keuangan tersebut menimbulkan polemik, lantaran dua komisaris Garuda
Indonesia yakni Chairal Tanjung dan Dony Oskaria (saat ini sudah tidak menjabat),
menganggap laporan keuangan 2018 Garuda Indonesia tidak sesuai dengan Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan (PSAK).
Pasalnya, Garuda Indonesia memasukan keuntungan dari PT Mahata Aero Teknologi yang
memiliki utang kepada maskapai berpelat merah tersebut. PT Mahata Aero Teknologi sendiri
memiliki utang terkait pemasangan wifi yang belum dibayarkan.

Analisis
Terkait PSAK 23
Untuk menentukan apakan suatu perjanjian mengandung sewa atau tidak diperlukan penilaian
atas dua aspek yaitu:
1) pemenuhan perjanjian bergantung pada penggunaan suatu aset-aset tertentu, dan
2) perjanjian tersebut memberikan suatu hak untuk menggunakan aset tersebut (Ikatan Akuntan
Indonesia, 2018). Saragih (2019) memaparkan jawaban direktur keuangan dan manajemen
risiko yang disampaikan oleh PT. Garuda yang menyatakan bahwa perjanjian atara PT. G
dengan PT. M bukanlah perjanjian sewa ataupun perjanjian yang mengandung sewa.
Untuk itu dalam analisis ini menggunakan dasar PSAK 23 dan ISAK 8 dala penilaian
pengakuan pendapatan yang dilakukan. Berdasarkan PSAK No. 23 (Ikatan Akuntan Indonesia,
2018) Paragraf 20 disebutkan bahwa hasil transaksi dapat diestimasi secara andal apabila
memenuhi seluruh kondisi yaitu jumlah pendapatan dapat diukur secara andal dan
kemungkinan besar manfaat ekonomik sehubungan dengan transaksi tersebut akan mengalir
ke entitas.
• Pertama, Garuda Grup telah menyerahkan hak pemasangan peralatan layanan
konektivitas dan hak pengelolaan In-Flight Entertainment pada saat perjanjian
ditandatangani. Segala menfaat kepemilikan yang sebelumnya dibukukan pada
pendapatan Garuda Grup dihehentikan dan diserahkan kepada Mahata.
• Kedua, entitas tidak lagi melanjutkan pengelolaan yang biasanya terkait dengan
kepemilikan atas barang ataupun melakukan pengendalian efektif atas barang yang
dijual. Berdasarkan perjanjian, Garuda Grup telah menyerahkan hak pemasangan
layanan konektivitas dan hiburan kepada Mahata.
• Ketiga, jumlah pendapatan dapat diukur secara andal. Dalam perjanjian, disepakati
bahwa biaya kompensasi atas hak pemasangan peralatan layanan konektivitas sebesar
US$92,94 juta untuk 103 pesawat Garuda, US$39 juta untuk 50 pesawat Citilink, dan
US$30 juta untuk 50 pesawat Sriwijaya. Adapun, biaya kompensasi atas hak
pengelolaan layanan hiburan dalam pesawat dan manajemen konten senilai US$80 juta
untuk 99 pesawat Garuda.
• Keempat, kemungkinan besar manfaat ekonomik yang terkait dengan transaksi tersebut
akan mengalir ke entitas.
• Kelima, biaya yang terjadi sehubungan transaksi penjualan dapat diukur secara andal.
Prosedur audit lainnya mengacu ke PSAK 23 paragraf 22 yang menyatakan pendapatan diakui
jika kemungkinan besar manfaat ekonomis sehubungan dengan transaksi akan mengalir ke
entitas. Akan tetapi, jika ketidakpastian timbul atas kolektibilitas jumlah yang telah termasuk
pendapatan, maka jumlah yang tidak tertagih atau jumlah pemulihan yang kemungkinannya
tidak lagi besar diakui sebagai beban, bukan sebagai penyesuaian terhadap jumlah pendapatan
yang diakui semula.
Berdasarkan prosedur audit tersebut, auditor berpendapat bahwa perlakukan akutansi untuk
pendapatan Garuda Indonesia atas PKS dengan Mahata telah diakui dan dicatat sesuai standar
akutansi keuangan yang berlaku, khususnya PSAK 23.

Terkait PSAK 72
Dengan mengaitkan permasalahan yang dialami oleh PT Garuda Indonesia dengan Mahata
Aeroteknologi dengan PSAK 72 maka akan merujuk pada beberapapoin yang menjadi
kesalahan dari perjanjian yang telah dilakukan oleh duaperusahaan ini. Jika kita
berkaca pada poin yang tertera dalam PSAK 72 "yaitumengakui pendapatan ketika entitas
sudah menyelesaikan kewajiban pelaksanaan,entitas dapat mengakui pendapatan ketika
memenuhi kewajiban pelaksanaan yang teridentifikasi dengan mentransfer barang atau
jasa yang dijanjikan kepadapelanggan". Dalam kasus Garuda mereka telah memenuhi
kewajiban untukmenyediakan tempat untuk pemsangan alat-alat yang dimiliki oleh
MahataAeroteknologi, namun disisi lain Mahata Aeroteknologi belum
menjalankankewajibannya perihal pembayaran kepada PT Garuda Indonesia.
Menelaah lebih jauh maka akan mengacu pada kesalahan yang dilakukan PTGaruda Indonesia
saat melakukan perjanjian dengan Mahata karena disinyalir, didalam kesepakatan kerjasama
tersebut tidak dicantumkan metode pembayaran yangperlu dilakukan, seperti kapan
pembayaran tersebut perlu dilakukan apakah dilakukan di awal, pada saat akhir, atau
dengan cara dicicil. Sehingga akibat dari tidaktercantumnya metode pembayaran ini pada
kontrak kerjasama menjadi kekeliruantersendiri bagi Garuda, karena mereka kurang memiliki
dasar acuan yang tepat untukmemaksa melakukan penagihan pendapatan yang seharusnya
mereka peroleh. Pada PSAK 72 ini juga terdapat poin lain yang berbunyi
"mengidentifikasikewajiban di dalam kontrak" yang mana dalam kasus Garuda mereka seperti
kurang cermat selama proses kerjasama berlangsung.
Karena hingga kontrak kerjasama iniberakhir hanya satu alat yang sudah dipasang oleh
Mahatta Aeroteknologi. Sehinggabila kita tarik kesimpulan Garuda mengalami kerugian dari
sisi keuangan yang mana sampai kontrak akhirnya diputus mereka tidak mendapatkan
pendapatannya.Selanjutnya dari sisi efektivitas waktu, yang mana mereka mengalami kerugian
darisisi waktu yang telah mereka jalani selama kontrak berlangsung namun
tidakmemperoleh profit yang sesuai. Yang terakhir dari nama baik perusahaan,
yangmenjadi tercoreng karena langkah yang mereka ambil, justru membuat
merekamendapatkan sanksi dan berususan dengan lembaga negara Seperti OJK, BPK, Dan
IAI.

Anda mungkin juga menyukai