Anda di halaman 1dari 12

Garuda: Pengakuan pendapatan kesepakatan Mahata-Citilink

untuk mendongkrak kinerja

Tugas ini disusun guna melengkapi tugas akhir Tata Kelola Perusahaan

dan Etika Bisnis

Diusulkan oleh:

Muhammad Rois Azzidan 1810112109

Luqyana Rachim 1810112150

Muhammad Mirza Maulana 1810112207

Program Studi  Akuntansi S1

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta

2019
ABSTRAK

Garuda: Pengakuan pendapatan kesepakatan Mahata-Citilink untuk mendongkrak kinerja

Oleh :

Muhammad Rois Azzidan – 1810112109

Luqyana Rachim – 1810112150

Muhammad Mirza Maulana – 1810112207

Analisa kasus ini ditulis untuk mengetahui keadaan tata kelola PT Garuda Indonesia hingga
mereka dianggap bersalah atas skandal laporan keuangan yang terjadi. Aspek yang yang
menjadi tinjauan utama dalam analisa ini ialah melalui penerapan prinsip-prinsip good
corporate governance perusahaan, serta manajemen resiko perusahaan. Selain itu juga
dianalisa menganai kesesuaian antara isi kontrak perjanjian dengan PSAK 72 sebagai
standar pengakuan pendapatan yang berlaku per 1 Januari 2019. Meskipun sebetulnya
skandal laporan keuangan ini menimpa Garuda Indonesia untuk laporan keuangan tahun
2018 mereka, tetapi analisa ini dianggap perlu untuk mengetahui apakah dengan PSAK
terbaru ini pengakuan pendapatan tersebut tetap dinilai salah. Dari hasil analisa dapat
disimpulkan kalau PT Garuda Indonesia nyatanya memiliki pertimbangan resiko yang
kurang baik dan memang terbukti kalau secara PSAK 72 kebijakan perusahaan ini untuk
tetap mengakui pendapatan tersebut sebagai pendapatan tahun 2018 juga bukan hal yang
tepat, karena tidak ada kesesuain. Solusi atas hal tersebut yakni Garuda musti menganalisa
ulang resiko yang bisa timbul selain yang sudah ditetapkan sebelumnya. Juga menganalisa
dan mempertimbangkan untuk melakukan rotasi jabatan untuk unit tertentu yang
bersinggungan langsung dengan pembuatan kebijakan, dan pelaporan keuangan.

Kata kunci: skandal laporan keuangan, pengakuan pendapatan, resiko, PSAK 72


PENDAHULUAN
PT Garuda Indonesia adalah salah satu BUMN yang berbentuk persero yang
didirikan pada 1 Agustus 1947. Berdasarkan anggaran dasar yang telah ditetapkan PT
Garuda Indonesia adalah perusahaan yang didirikan untuk melakukan usaha di bidang jasa
angkutan udara niaga serta optimalisasi pemanfaatan sumber daya yang dimiliki
perusahaan untuk menghasilkan barang dan jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing
kuat untuk mendapatkan atau mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai Perusahaan
dengan menerapkan prinsip-prinsip Perseroan Terbatas. Untuk saat ini Garuda Indonesia
masih dipimpin oleh I.G.N. Askhara Danadiputra selaku CEO dan Fuad Rizal sebagai
Direktur Keuangan dan Manajemen Resiko. PT Garuda Indonesia adalah induk dari
perusahaan maskapai penerbangan Citilink dan Sriwijaya Air. Selain itu, beberapa anak
usaha Garuda diantaranya adalah PT Gapura Angkasa, PT Aerowisata, dan PT Sabre Travel
Network Indonesia. Perusahaan ini memulai operasinya pada 26 Januari 1949 dengan
nama Indonesian Airways.
Sesuai dengan POJK No. 29/POJK.04/2016 tentang laporan tahunan emiten atau
perusahaan publik, setiap perusahaan terbuka diwajibkan untuk menyajikan laporan
tahunan yang isinya mencakup beberapa item termasuk di dalamnya laporan keuangan
yang telah diaudit. Sementara itu laporan keuangan adalah penyajian yang terstruktur dari
posisi keuangan dan kinerja keuangan suatu entitas (PSAK 1, 2015). Maka dari itu, laporan
keuangan selalu dijadikan dasar untuk menilai hasil kinerja suatu perusahaan pada periode
waktu tertentu yang selanjutnya menjadi penentu pembuatan keputusan.
Dilansir dari berita harian online CNNIndonesia.com pada awal tahun 2019,
maskapai penerbangan nasional Indonesia ini tersandung skandal laporan keuangan yang
mengakibatkan perusahaan ini akhirnya harus melakukan restatement. Kronologi kejadian
bermula pada mencuatnya kabar tentang dua orang komisaris mereka yang merasa
keberatan atas penyajian pendapatan lain-lain pada laporan laba rugi. Pasalnya terdapat
lonjakan signifikan pos pendapatan lain-lain yang semula 0 menjadi US$ 239.940.000 dan
mengakibatkan perusahaan melaporkan laba senilai US$ 809,84 ribu. Jika pendapatan lain-
lain tersebut tidak dilaporkan oleh Garuda, maka seharusnya perusahaan masih
menanggung kerugian seperti tahun sebelumnya. Angka sebesar itu rupanya berasal dari
hasil kerjasama pemasangan peralatan layanan konektivitas dan hiburan dalam pesawat
dengan PT Mahata Aero Teknologi melalui salah satu anak usaha Garuda yakni PT Citilink
Indonesia.
Selanjutnya, pada tanggal 24 April 2019 saat PT Garuda Indonesia mengadakan
rapat umum pemegang saham tahunan, dua orang komisaris tadi yaitu Chairal Tanjung dan
Donny Oskaria menyampaikan keberatannya atas nilai pendapatan lain-lain yang telah
disampaikan sebelumnya melalui sebuah surat kepada pihak manajemen Garuda
Indonesia. Mereka sempat meminta agar keberatan itu dibacakan pada saat RUPST, akan
tetapi pimpinan rapat tidak mengabulkan permintaan tersebut. Chairal dan Dony juga
menolak untuk menandatangani buku laporan keuangan tahun 2018. Sementara itu, hasil
RUPST pun akhirnya menyetujui laporan keuangan Garuda tahun 2018 meskipun dengan
dua catatan yaitu adanya perbedaan pendapat (disenting opinion) terkait pendapatan lain-
lain.
Chairal Tanjung dan Donny Oskaria merasa keberatan atas pengakuan pendapatan
tersebut dikarenakan mereka menilai pengakuan pendapatan kompensasi dalam laporan
laba rugi 2018 kurang tepat. Karena pada dasarnya belum ada sepeserpun uang yang
diterima oleh Garuda, meskipun perjanjian telah dilaksanakan dan satu alat telah
terpasang. Term of payment yang seharusnya ada pun sampai saat itu belum ada, bahkan
masih dalam proses negosiasi. Dalam surat pernyataan komitmen pembayaran kompensasi
juga tertera kalimat yang menyatakan bahwa skema dan ketentuan pembayaran dapat
berubah sewaktu-waktu mengacu pada kemampuan financial Mahata. Hal ini
mengindikasikan kalau pendapatan yang akan diterima nantinya oleh Garuda masih tidak
jelas besaran per satu kali pembayaran. Selain masalah perjanjian yang masih kurang jelas,
diakuinya pendapatan tersebut untuk tahun buku 2018 juga menyebabkan perusahaan
harus menanggung beban pajak penghasilan dan pajak pertambahan atas pendapatan yang
belum diterima pembayarannya.
Ketika pernyataan keberatan dari komisaris tersebut mencuat ke muka publik,
saham Garuda Indonesia dengan kode GIAA merosot sampai dengan 4,4% pada penutupan
perdagangan sesi pertama. Pasar merespon negatif isu yang mencuat ke publik. Berkaitan
dengan itu, ketua asosiasi profesi akuntan publik Indonesia, Tarko Sunaryo berpendapat
bahwa dari sisi akuntansi tidak ada masalah apabila perusahaan mengakui piutang yang
belum diterima pembayarannya menjadi pendapatan. Hal ini berkaitan dengan metode
pengakuan yang digunakan oleh suatu perusahaan. Akan tetapi, bukan berarti perusahaan
bisa dengan bebas mengakui pendapatan itu. Tarko mengatakan harus ada yang sudah
dilakukan dari kontrak kerjasama yang telah disetujui.
Oleh karena berbagai dugaan yang timbul dari berbagai pihak, akhirnya Bursa Efek
Indonesia menangani kasus ini dengan bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan selaku
pihak yang berwenang mengatasi masalah pada perusahaan publik. Selanjutnya, Badan
Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia pun akhirnya turun tangan mengatasi masalah
yang terjadi di perusahaan maskapai penerbangan milik negara tersebut. Menteri
Keuangan RI, Sri Mulyani juga mengutus sekjen kementerian keuangan Hadiyanto untuk
meneliti masalah laporan keuangan periode 2018 PT Garuda Indonesia. Pihaknya akan
berhubungan langsung dengan KAP yang mengaudit laporan keuangan Garuda. Tak tinggal
diam, Ikatan Akuntan Publik Indonesia turut menelaah laporan keuangan Garuda
Indonesia yang menuai polemik itu.
Hasil akhir dari semua pemeriksaan yang sudah dilakukan mengakibatkan Garuda
Indonesia harus menanggung sanksi administratif berupa denda sebesar Rp100.000.000
atas pelanggaran POJK No. 29/POJK.04/2016 tentang Laporan Tahunan Emiten atau
Perusahaan Publik dan denda sebesar Rp100.000.000 secara tanggung renteng kepada
seluruh anggota direksi dan komisaris yang menandatangani laporan keuangan tersebut.
Bursa Efek Indonesia juga menjatuhi hukman sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp250.000.000. PT Garuda Indoenesia juga diminta untuk melakukan restatement.
Sementara itu, untuk KAP yang ditunjuk oleh Garuda Indonesia sebagai auditor eksternal
yaitu KAP Tanubrata, Sutanto, Fahmi, Bambang & Rekan juga dijatuhi sanksi berupa
pembekuan izin praktik selama 12 bulan berdasarkan KMK No.312/KM.1/2019 karena
melakukan pelanggaran berat yang berpotensi berpengaruh signifikan terhadap opini
Laporan Auditor Independen dan peringatan tertulis dengan disertai kewajiban untuk
melakukan perbaikan terhadap Sistem Pengendalian Mutu KAP.
Berawal dari kebijakan agresif yang dilakukan pihak manajemen Garuda Indonesia
akhirnya hanya mengakibatkan perusahaan ini menanggung kerugian yang lebih besar dari
yang seharusnya karena harus menanggung denda yang cukup banyak. Lalu, apabila
dikaitkan dengan PSAK 72 sebagai pembaharuan PSAK 23 mengenai pendapatan apakah
kebijakan agresif PT Garuda Indonesia masih dinilai melanggar hukum? Bagaimanakah tata
kelola perusahaan di PT Garuda Indonesia terkait dengan penyajian informasi dalam
laporan keuangan?

Skema Kasus

Garuda Mahata

------- Indonesia Aeroteknologi

------- KAP Tanubrata,


Citilink ------- Sutanto, dan rekan

Dewan
2
------- Komisaris
Dewan Direksi
dan
dan Manajemen
Manjemen
2 orang
komisaris
orang
Sriwijaya Anggo

Restatement

Dissenting
Opinion

Penurunan Sanksi
Harga Saham Administrasi

Pemer
BEI
BEI BP
BPK
Utusan
Utusan
Menteri
Menteri
Keuangan
Keuangan
Pemeriksaa
n oleh IAPI
iksana
an
K
Pembahasan
1. Pengakuan Pendapatan dengan Mengacu pada PSAK 72
Titik masalah dari skandal laporan keuangan yang terjadi pada PT Garuda
Indonesia ialah mengenai pengakuan atas pendapatan hasil kontrak kerjasama
dengan PT Mahata Aeroteknolgi. Melirik kembali kepada isi kontrak perjanjian,
kerjasama ini akan berlangsung dalam tempo 15 tahun dengan nilai kontrak yang
tercantum ialah senilai Rp241,9 juta untuk pesawat Garuda, Citilink, dan Sriwijaya.
Sementara objek perjanjian kerjasama yakni Penyediaan Layanan Konektivitas
Dalam Penerbangan dan Pengelolaan In-Flight Entertainment dan Manajemen
Konten.
Dalam perjanjian tersebut disepakati bahwa pendapatan yang akan
diperoleh oleh Garuda Indonesia yaitu berupa kompensasi hak pemasangan
peralatan layanan konektivitas dan alokasi slot yang selanjutnya ditentukan
berdasarkan aktual pendapatan iklan yang didapat. Garuda Indonesia
mempertimbangkan kerja sama ini sebagai bentuk kerjasama yang menguntungkan
yang dapat menjadi faktor pendukung bagi penumpang memilih garuda sebagai
pilihan maskapai penerbangan. Dalam public expose insidentil yang dikeluarkan oleh
Garuda Indonesia, disebutkan beberapa dasar yang menjadi acuan bagi manajemen
perusahaan ini untuk mengakui pendapatan tersebut sebagai pendapatan tahun
buku 2018.
Dengan mengaitkan permasalahan yang dialami oleh PT Garuda Indonesia
dengan Mahata Aeroteknologi dengan PSAK 72 maka akan merujuk pada beberapa
poin yang menjadi kesalahan dari perjanjian yang telah dilakukan oleh dua
perusahaan ini. Jika kita berkaca pada poin yang tertera dalam PSAK 72 "yaitu
mengakui pendapatan ketika entitas sudah menyelesaikan kewajiban pelaksanaan,
entitas dapat mengakui pendapatan ketika memenuhi kewajiban pelaksanaan yang
teridentifikasi dengan mentransfer barang atau jasa yang dijanjikan kepada
pelanggan". Dalam kasus Garuda mereka telah memenuhi kewajiban untuk
menyediakan tempat untuk pemsangan alat-alat yang dimiliki oleh Mahata
Aeroteknologi, namun disisi lain Mahata Aeroteknologi belum menjalankan
kewajibannya perihal pembayaran kepada PT Garuda Indonesia.
Menelaah lebih jauh maka akan mengacu pada kesalahan yang dilakukan PT
Garuda Indonesia saat melakukan perjanjian dengan Mahata karena disinyalir, di
dalam kesepakatan kerjasama tersebut tidak dicantumkan metode pembayaran
yang perlu dilakukan, seperti kapan pembayaran tersebut perlu dilakukan apakah di
lakukan di awal, pada saat akhir, atau dengan cara dicicil. Sehingga akibat dari tidak
tercantumnya metode pembayaran ini pada kontrak kerjasama menjadi kekeliruan
tersendiri bagi Garuda, karena mereka kurang memiliki dasar acuan yang tepat
untuk memaksa melakukan penagihan pendapatan yang seharusnya mereka
peroleh.
Pada PSAK 72 ini juga terdapat poin lain yang berbunyi "mengidentifikasi
kewajiban di dalam kontrak" yang mana dalam kasus Garuda mereka seperti kurang
cermat selama proses kerjasama berlangsung. Karena hingga kontrak kerjasama ini
berakhir hanya satu alat yang sudah dipasang oleh Mahatta Aeroteknologi. Sehingga
bila kita tarik kesimpulan Garuda mengalami kerugian dari sisi keuangan yang
mana sampai kontrak akhirnya diputus mereka tidak mendapatkan pendapatannya.
Selanjutnya dari sisi efektivitas waktu, yang mana mereka mengalami kerugian dari
sisi waktu yang telah mereka jalani selama kontrak berlangsung namun tidak
memperoleh profit yang sesuai. Yang terakhir dari nama baik perusahaan, yang
menjadi tercoreng karena langkah yang mereka ambil, justru membuat mereka
mendapatkan sanksi dan berususan dengan lembaga negara Seperti OJK, BPK, Dan
IAI.

2. Corporate Governance Di PT Garuda Indonesia Sebagai BUMN Terkait Dengan


Penyajian Informasi Dalam Laporan Keuangan
Good Corporate Governance adalah suatu prinsip yang mengarahkan dan
mengendalikan perusahaan berkenaan dengan tanggung jawabanya kepada
investor dan pemangku kepentingan [ CITATION Nuj17 \l 1033 ] . Setiap perusahaan
tentunya menerapkan prinsip ini untuk mengelola kegiatan operasional mereka
agar tujuan utama tercapai dengan baik. Salah satu komponen mendasar yang
penting dari good corporate governance ialah pembentukan struktur organisasi
yang efektif (Anand, 2008). Artinya, pemegang saham, anggota dewan, dan
eksekutif, serta hubungan dari masing-masing pemangku kepentingan harus diatur
dengan cara yang sesuai dengan prinsip corporate governance [ CITATION San08 \l 1033
]. Prinsip dasar dari GCG yang digunakan oleh PT Garuda Indonesia diantaranya
ialah transparency, accountability, responsibility, independence, dan fairness.
Menyangkut soal skandal laporan keuangan yang terjadi pada perusahaan ini ada
kemungkinan kalau ada beberapa prinsip dari lima prinsip tadi yang mungkin saja
tidak dijalankan dengan baik. Prinsip itu yakni accountability dan responsibility.
Prinsip accountability mengharuskan semua anggota struktur bersedia
bertanggungjawab atas segala kegagalan yang disebabkan oleh tindakan mereka
atau kelalaian [ CITATION San08 \l 1057 ] yang dapat merugikan para shareholder dan
stakeholder. Apabila kita hendak mengaitkannya dengan skandal yang terjadi di
Garuda Indonesia, sesungguhnya mereka telah melakukan tindakan yang mengarah
pada pelanggaran hukum dengan cara menyajikan informasi material yang tidak
benar dalam laporan keuangan mereka. Hal ini tentunya mengarahkan tindakan
yang diambil oleh Garuda Indonesia ke arah window dressing. Window dressing
didefinisikan sebagai hasil dari keputusan menajemen dengan memlih antara
berbagai prinsip-prinsip dan metode akuntansi dengan tujuan utama untuk
menyesatkan opini pengguna laporan keuangan (Breton, 1995). Window Dressing
ini terjadi karena beberapa hal seperti upaya untuk mendapatkan penghargaan dari
perusahaan, tingginya target/ekspektasi yang diberikan manajemen terhadap
perusahaan, dan rendahnya pencapaian kinerja dari perusahaan selama tahun
berjalan. Hal ini menjadi indikasi bahwa Garuda Indonesia mengambil langkah ini
karena mereka sedang dalam kondisi tersebut.
Seperti yang kita tahu belakangan ini Garuda melaporkan rugi pada laporan
keuangannya. Sehingga ada kemungkinan bahwa agar kinerja perusahaan ini
terlihat bagus, maka manajemen perusahaan mengakui nilai kontrak tersebut
sebagai pendapatan tahun 2018. Padahal jika kita melihat beberapa titik lemah yang
ada dari isi kontrak perjanjian, dapat diidentifikasi kalau pendapatan tersebut
merupakan pendapatan prematur. Yaitu pendapatan yang diakui sebelum waktunya
tiba (Mulford, 2002). Tentunya hal ini sejalan dengan praktik window dressing tadi
yang sebetulnya tidak sejalan dengan ketentuan PSAK. Padahal dalam Kebijakan
Tata Kelola Perusahaan Garuda disebutkan bahwa dalam kebijakan mengenai
laporan keuangan, laporan keuangan harus disusun berdasarkan prinsip akuntansi
yang berlaku umum yaitu PSAK. Sedangkan apa yang sudah dibuat oleh Garuda
secara prinsip melanggar ketentuan tersebut.
Selanjutnya dari prinsip responsibility, Garuda menerapkan agar Organ
Perusahaan (Rapat Umum Pemegang Saham, Dewan Komisaris dan Direksi)
mematuhi peraturan, perundang-undangan, Anggaran Dasar dan peraturan
Perusahaan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan
lingkungan, sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang
dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen. Namun pada
penerapannya Garuda telah menciderai nilai – nilai yang coba mereka bangun
sendiri. Dari skandal laporan keuangan yang terjadi, tentunya dengan pengakuan
pendapatan yang tidak sebagaimana mestinya sudah termasuk pada pelanggaran
aturan. Dan secara sadar mereka tetap mengesahkan laporan keuangan tersebut
pada RUPS yang sesungguhnya telah melalui berbagai macam prosedur dan
persetujuan dari seluruh elemen perusahaan, seperti audit internal, komite audit,
corporate secretary dan unit kerja lainnya yang terkait.
Dengan tidak terpenuhinya prinsip accountability dan responsibiity,
kemudian dipertanyakan mengenai bagaimana manajemen resiko perusahaan ini.
Biar bagaimanapun semestinya perusahaan telah menyusun berbagai pertimbangan
serta resiko-resiko yang mungkin didapat atas setiap keputusan yang diambil.
Garuda Indonesia sendiri telah menetapkan beberapa resiko-resiko yang mungkin
terjadi pada perusahaan ini. Resiko-resiko tersebut diantaranya ialah financial risk,
strategic risk, compliance risk, operational risk, dan safety and security risk.
Comité Européen des Assurances (CEA) dan the Groupe Consultatif Actuariel
Européen (Groupe Consultatif) dalam Solvency Glossary II mengartikan compliance
risk sebagai risiko sanksi hukum atau peraturan yang mengakibatkan kerugian
finansial, atau hilangnya reputasi sebagai akibat dari kegagalan perusahaan
asuransi untuk mematuhi hukum, peraturan, aturan, standar organisasi regulasi
mandiri terkait, dan kode etik Dalam kaitannya dengan skandal laporan keuangan
yang terjadi pada perusahaan ini, Garuda Indonesia terbukti tidak patuh terhadap
POJK No. 29/POJK.04/2016 tentang Laporan Tahunan Emiten atau Perusahaan
Publik. Selain itu, pengakuan sejumlah pendapatan yang dilaporkan dalam laporan
keuangan perusahaan ini juga dianggap tidak memenuhi ketentuan dalam PSAK 23
dan 72 sebagai pengganti PSAK 23 tentang pendapatan. Dengan begitu dapat
diidentifikasi kalau perusahaan ini sepertinya lupa akan resiko tersebut dalam
membuat suatu kebijakan dalam pelaporan keuangan.
Selain compliance risk, sebetulnya juga ada resiko lain yang tidak
dipertimbangkan oleh perusahaan ini yaitu reputation risk. International Association
of Insurance Supervisors mengartikan reputation risk sebagai risiko yang merugikan
publisitas mengenai praktek bisnis dan asosiasi asuransi, apakah akurat atau tidak,
akan menyebabkan hilangnya kepercayaan pada integritas lembaga. Padahal, pada
riset bisnis yang telah dilakukan sebelumnya tentang resiko-resiko bisnis resiko
yang paling sering dibahas ialah resiko litigasi dan resiko terhadap jatuhnya
reputasi perusahaan (Palmrose, et al, 1988). Artinya resiko reputasi merupakan
resiko umum yang menjadi topik utama resiko perusahaan. Akan tetapi Garuda
Indonesia seperti sudah tidak mementingkan resiko ini lagi. Padahal, dari nilai atau
reputasi perusahaan sangat berpengaruh terhadap keputusan para investor dan
harga saham. Ketika suatu perusahaan terdengar sedang dalam masalah atau
skandal, secara otomatis hal tersebut akan berpengaruh terhadap value perusahaan.
Yang pada akhirnya juga akan berpengaruh pada reputasi perusahaan tersebut dan
kemudian kepada harga saham. Buktinya, saat isu ini baru mencuat saja saham
Garuda Indonesia langsung turun 4,4%.
Direktur utama PT Garuda Indonesia, I.G.N Askhara Danadiputera sayangnya
juga seperti tidak mempertimbangkan pendapat dewan komisaris yang tidak setuju
atas pengakuan pendapatan tersebut. Padahal sebagai direksi ia bertanggung jawab
atas nilai aset perusahaan dan kepentingan pemegang saham. Sehingga seharusnya
ia memastikan terlebih dahulu resiko-resiko yang bahkan sebelumnya telah
diperhitungkan oleh perusahaan ini, agar itu tidak terjadi.

Kesimpulan dan Solusi Untuk Masalah Tersebut


Dari beberapa uraian di atas maka dapat disimpulkan bahawa PT Garuda Indonesia
nyatanya memiliki pertimbangan resiko yang kurang baik. Sehingga terjadilah kesalahan
seperti ini yang seharusnya bisa ditangani tanpa harus sampai ke ranah hukum. Dampak
yang ditimbulkan atas lemahnya hal tersebut pada akhirnya hanya membuat Garuda
Indonesia menanggung kerugian yang lebih besar karena juga harus membayar sejumlah
denda. Melalui semua uraian tersebut juga dapat ditarik kesimpulan kalau penerapan good
corporate governance berpengaruh terhadap hasil kinerja perusahaan. Selain itu, juga
merupakan salah satu alat untuk menjauhi perusahaan dari beragam masalah yang secara
riil dapat mempengaruhi reputasi mereka. Membandingkan antara PSAK 72 dan isi kontrak
perjanjian, ternyata memang pengakuan pendapatan tersebut tak sesuai standar yang
berlaku. Sehingga terbukti benar bahwa Garuda Indonesia telah melakukan kesalahan yang
fatal.
Solusi yang dapat dilakukan oleh Garuda Indonesia agar hal semacam ini tidak
terjadi tentunya mereka harus memperhatikan lagi resiko-resiko yang sudah mereka
tetapkan di awal. Selain itu, Garuda Indonesia juga perlu untuk mengkaji ulang resiko
korporasi yang ada apakah sudah sesuai dengan keadaan terkini perusahaan atau belum.
Karena manajemen resiko adalah salah satu hal penting yang perlu diperhatikan agar
perusahaan bisa beroperasi secara maksimal dan terhindar dari berbagai masalah yang
dapat merugikan perusahaan secara material.
Di samping itu, Garuda Indonesia juga perlu melakukan analisa terhadap beberapa
pihak yang ada di internal perusahaan terutama pada bagian yang bersinggungan langsung
dengan laporan keuangan yang mereka buat, serta pembuat kebijakan perusahaan. Karena
terjadinya skandal ini tentunya tidak lepas dari kelalaian kinerja pada struktur perusahaan
maka Garuda Indonesia perlu untuk melakukan rotasi jabatan pada bagian-bagian tertentu
yang memiliki andil langsung dalam pembuatan kebijakan akuntansi pada perusahaan ini.
Referensi

Anand, S. (2008). Good Ggovernance. In S. Anand, Essentials of Corporate Governance (pp. 75-90).
Aprilianti, I. D. (2019). Between politics and bussiness: Boardroom decision making in state-owned
Indonesia enterprises. Corporate Governance International Review, 166-185.
Breton, G., Taffler, R, J. (1995). Creative Accounting and Investment Analyst Response. Journal of
Accounting and Bussines Research, 81-92.
Comité Européen des Assurances (CEA) and the Groupe Consultatif Actuariel Européen (Groupe
Consultatif). (2007). Solvency II Glossary.
Dewan Standar Akuntansi Keuangan. (2015). PSAK No. 1.
Dewan Standar Akuntansi Keuangan. (2016). PSAK No. 72
Dewan Standar Akuntansi Keuangan. (2012). PSAK No. 23
Djumena, E. (2019, 07 18). Kasus Garuda dan Misteri Akuntansi. Retrieved from Kompas.com:
https://money.kompas.com/read/2019/07/18/152000526/kasus-garuda-dan-misteri-
akuntansi?page=all
Fiasari, N, etal. (2018). The Effect of Good Corporate Governance on Company Value in Life
Company Cycle. Reasearch Journal of Finance and Accounting. 9(20): (24-32).
IAIS. (2006). Glossary of terms.
Iqbal, M. (2019, 04 25). Poin Keberatan Dua Komisaris Teken Laporan Keuangan Garuda . Retrieved
from CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190425082143-92-
389455/poin-keberatan-dua-komisaris-teken-laporan-keuangan-garuda
Laily, N. (2017). The Effects of Good Corporate Governance and Audit Quality on Earnings
Management . Journal of Accounting and Bussiness Education, 134-143.
Mulford,etal. (2002). The Financial Number Game: Detecting Creative Accounting Practices.John
Wiley & Sons,Inc.
Otoritas Jasa Keuangan. (2016). POJK No. 29/POJK.04/2016 tentang Laporan Tahunan Emiten atau
Perusahaan Publik.
Palmrose,Z,V. (1986). AuditFees and Auditor Size.. Journal of Accounting Reasearch. 24:1 (97-110).
Pratiwi, H. R. (2019, 04 30). Kronologi Kisruh Laporan Keuangan Garuda Indonesia. Retrieved from
CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190430174733-92-
390927/kronologi-kisruh-laporan-keuangan-garuda-indonesia
PT Garuda Indonesia. (2019). Public Expose Insidentil.

Anda mungkin juga menyukai