Anda di halaman 1dari 48

11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORITIS, KERANGKA BERPIKIR,

DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Needle Stick Injury (NSI)


The National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH)

mendefenisikan luka tusuk jarum suntik sebagai luka yang disebabkan oleh jarum

suntik seperti jarum hipodermik, jarum pengambilan darah, stylet intravena, dan

jarum yang digunakan untuk menghubungkan bagian dari sistem intravena

(NIOSH-CDC 1999).

Pada tahun 2008, CDC (Centre of Disease Control and Prevention of

America) memperkirakan petugas kesehatan di rumah sakit menderita luka tusuk

jarum suntik dan luka akibat alat medis tajam lainnya sebanyak 385.000 kasus

per tahun atau 1,000 kasus per hari. Kejadian luka tusuk jarum suntikyang

sesungguhnya mugkin lebih tinggi dari perkiraan CDC karena banyak kasus yang

tidak dilaporkan (underreporting), beberapa survei menyebutkan bahwa > 50%

petugas kesehatan tidak melaporkan luka tusuk jarum suntik yang terjadi pada

diri mereka (CDC, 2008).

Dr. Ng pada tahun 2000 melaporkan dalam penelitiannya bahwa di rumah

sakit pendidikan di Kuala Lumpur insiden luka tusuk jarum untuk pembantu

perawat sebesar 50%, perawat 37%, dan dokter 27,2% (Ng, 2007).

11
12

Di Indonesia, Kepmenkes Nomor 1087//Menkes/SK/VIII/2010

mencantumkan hasil penelitian dr. Joseph tahun 2005-2007 yang mencatat bahwa

proporsi luka tusuk jarum suntik mencapai 38-73% dari total petugas kesehatan

(Rival, 2012).

Luka tusuk jarum suntik merupakan kecelakaan yang tidak dikehendaki dan

bila terpajan patogen darah, misalnya HBV, HCV dan HIV, dapat berdampak

infeksi. Oleh karena itu perlu untuk mengetahui besaran prevalensi dan

mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya luka tusuk jarum

suntik guna melakukan tindakan pencegahan dan pengendalian.

2.2 Pencegahan Penularan Infeksi pada Petugas Kesehatan

2.2.1 Kewaspadaan Universal

Untuk mencegah transmisi penularan penyakit melalui darah pada

pelayanan kesehatan, Center for Disease Control and Prevention (CDC) pada

tahun 2007, membuat sebuah program pencegahan infeksi penyakit menular

melalui darah yaitu standard precautions. Standar Precautions merupakan

penyempurnaan dari program universal precautions (CDC, 2007). Di Indonesia,

melalui Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Menular dan Penyehatan

Lingkungan, dibetuklah suatu program kewaspadaan universal/standar.

Kewaspadaan Standar/Universal merupakan bagian dari upaya pencegahan

dan pengendalian infeksi penyakit yang ditularkan melalui darah (HIV, HBV dan

HCV) di sarana pelayanan kesehatan. Prinsip penerapan kewaspadaan Universal/


13

Standar didasarkan pada keyakinan bahwa darah dan cairan tubuh berpotensi

menularkan penyakit, baik yang berasal dari pasien maupun petugas kesehatan

(CDC, 2011).

Prosedur Kewaspadaan Standar ini juga dapat dianggap sebagai pendukung

program K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) bagi petugas kesehatan Prinsip

Kewaspadaan Standar tertuang dalam 5 (lima) kegiatan pokok (Dirjen P2MPL,

2010), diantaranya yaitu :

1. Kebersihan tangan

2. Pemakaian alat pelindung diri (APD) seperti masker, celemek, dan

sarung tangan untuk mencegah kontak dengan darah atau cairan tubuh

lainnya

3. Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai

4. Pengelolaan alat/benda tajam seperti jarum suntik untuk menghindari

kontak yang mengakibatkan luka

5. Pengelolaan limbah dan sanitasi ruangan

2.2.1.1 Kebersihan Tangan


Kebersihan tangan pada tenaga kesehatan tercermin pada kegiatan

mencuci tangan. Mencuci tangan bagi petugas kesehatan berfungsi untuk

menghilangkan/mengurangi mikroorganisme yang ada di tangan sehingga dapat

mengurangi penyebaran penyakit dan risiko infeksi. Cuci tangan dilakukan

sebelum dan setelah melakukan tindakan yang memungkinkan terjadi

pencemaran dan infeksi (Dirjen P2MPL, 2010), seperti:


14

a. Sebelum melakukan tindakan, misalnya memulai pekerjaan, saat akan

memeriksa (kontak dengan pasien), saat akan memakai sarung tangan,

saat akan memakai peralatan, saat akan melakukan injeksi

b. Setelah melakukan tindakan, misalnya setelah memeriksa pasien,

setelah memegang peralalatan bekas pakai dan bahan-bahan yang

terkontaminasi, setelah memegang peralatan bekas pakai dan bahan-

bahan yang terkontaminasi, setelah menyentuh selaput mukosa, darah

atau cairan tubuh lainnya, serta setelah membuka sarung tangan

Cara cuci tangan dibedakan berdasarkan kebutuhannya (Dirjen P2MPL,

2010), yaitu :

1. Cuci tangan higienik atau rutin


Cuci tangan dengan menggunakan sabun yang bertujuan untuk

menghilangkan kotoran dan flora yang ada di tangan

2. Cuci tangan aseptic

Cuci tangan dengan cairan antiseptic dan dilakukan sebelum melakukan

tindakan aspetik

3. Cuci tangan bedah

Cuci tangan dilakukan sebelum melakukan tindakan steril, cara cuci tangan

sama halnya dengan cuci tangan aspetik


15

Gambar 2.1Prosedur Cuci Tangan


Higienis[Sumber:http://blogsoewandono.blogspot.com, 2011]

Prosedur kewaspadaan standar/universal berupa cuci tangan dapat

berlangsung di suatu tempat kerja jika tersedia saran cuci tangan (Dirjen P2MPL,

2010). seperti:

1. Air mengalir

Sarana utama untuk cuci tangan yaitu air mengalir dengan saluran

pembuangan atau bak penampung yang memadai. Dengan guyuran air

mengalir tersebut maka mikroorganisme yang terlepas karena gesekan

kimiawi atau mekanis saat cuci tangan akan terhalau dan tidak menempel

lagi di permukaan kulit

2. Sabun dan deterjen

Sabun dan deterjen tidak bertindak sebagai zat pembunuh mikroorganisme.

Bahan tersebut hanya membantu menghambat dan mengurangi jumlah

mikroorganisme di permukaan kulit


16

3. Larutan Antiseptik

Larutan antiseptic digunakan untuk menghambat aktivitas atau membunuh

mikroorganisme pada permukaan kulit

Satu hal yang perlu diingat, tangan manusia tidak dapat disterilkan. Tujuan

dari cuci tangan hanya untuk mengurangi jumlah mikrorganisme pada kulit

terutama kuman transien.

2.2.1.2 Alat Pelindung Diri (APD)


Alat pelindung diri diperlukan untuk melindungi beberapa bagian tubuh

pekerja dari risiko pajanan darah, cairan tubuh lain, secret, eksreta, kulit yang

tidak utuh (luka), dan selaput lender pasien. Jenis-jenis alat pelindung diri yang

dibutuhkan di sarana pelayanan kesehatan (Dirjen P2MPL, 2010), yaitu:

1. Sarung tangan

2. Pelindung wajah/masker/kaca mata

3. Penutup kepala

4. Gaun pelindung (baju kerja/celemek)

5. Sepatu pelindung (sturdy foot wear)

Dari kelima alat pelindung diri (APD) tersebut tidak semuanya harus

dipakai setiap saat. Jenis alat pelindung diri yang digunakan tergantung pada

kegiatan atau proses kerja yang akan dilakukan.


17

2.2.1.3 Pengelolaan Alat Kesehatan

Pengelolaan alat kesehatan dilakukan untuk menjamin alat kesehatan

dalam keadaan steril sehingga mencegah terjadinya infeksi yang ditularkan

melalui alat kesehatan. Proses pengelolaan alat kesehatan dilakukan melalui

empat tahap kegiatan yaitu dekontaminasi, pencucian, strerilisasi atau desinfeksi

tingkat tinggi (DTT), dan penyimpanan (Dirjen P2MPL, 2010).

1. Dekontaminasi
Dekontaminasi merupakan langkah pertama yang penting dalammenangani

peralatan, perlengkapan, sarung tangan dan benda-benda lain yang

terkontaminasi. Dekontaminasi bertujuan untuk membuat benda-benda lebih

aman untuk ditangani petugas pada saat dilakukan pembersihan (Dorjen P2MPL,

2010).

Dekontaminasi dilakukan segera setelah pemakaian benda yang

terkontaminasi. Cara dekontaminasi yaitu dengan segera merendam peralatan

maupun perlengkapan ke dalam larutan klorin 0,5% selama ± 10 menit. Saat

melakukan dekontaminasi, petugas kesehatan perlu memakai alat pelindung diri

yang memadai (sarung tangan tebal), melakukan prosedur kerjab yang

meminimalkan risiko pajanan terhadap lapisan mukosa dan kontak parenteral

melalui bahan-bahan terkontaminasi (Dirjen P2MPL, 2010).

2. Pencucian
Pencucian yaitu suatu proses pembersihan yang dilakukan untuk

menghilangkan segala kotoran yang kasat mata dari benda dan permukaan benda

dengan sabun atau deterjen, air dan sikat. Selain itu, proses pencucian juga

membantu menurunkan jumlah mikroorganiisme pada permukaan benda dan


18

memeprsiapkan permukaan benda untuk kontak dengan desinfektan atau bahan

sterilisasi sehingga proses disinfeksi dan sterilisasi menjadi lebih efektif (Dirjen

P2MPL, 2010).

3. Strerilisasi atau Desinfeksi

Desinfeksi adalah suatu proses untuk menghilangkan sebagian atau semua

mikroorganisme dari alat kesehatan kecuali endospora bakteri (Dirjen

P2MPL,2010). Proses disinfeksi, berdasarkan cara dan bahan yang digunakan,

dibedakan menjadi disinfeksi kimiawi, radiasi sinar ultraviolet, pasteurisasi, dan

mesin pencuci.

Disinfeksi tingkat tinggi (DTT) merupakan alternative pengelolaan alat

kesehatan apabila sterilisasi tidak dapat dilakukan atau sterilisator tidak tersedia.

Proses ini dapat membunuh semua mikroorganisme termasuk virus hepatitis B

dan HIV tetapi tidak dapat membunuh endospora (Dirjen P2MPL, 2010).

Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Kewaspadaan Un9versal yang dibentuk oleh

Depkes RI, ada beberapa cara melakukan DTT, diantaranya :

a. Merebus dalam air mendidih selama 20 menit

b. Merendam dalam diinfektan kimia seperti glutardelhid, formaldehid 8%

c. DTT dengan uap (stemer)

Sterilisasi merupakan proses yang dilakukan untuk membunuh seluruh

mikroorganisme pada alat kesehatan termasuk endospora bakteri. Pada suatu,

rumah sakit, biasanya ada dua cara sterilisasi yaitu secara fisik (dengan

pemanasan kering, uap panas bertekenan, radiasi dan filtrasi) dan secara kimiawi
19

(gas etilen oksida dan zat kimia cair). Sterilisasi dianggap sebagai cara yang

paling efektif dan ama untuk mengelola alat kesehatan yang berhubungan

langsung dengan darah atau jaringan di bawah kulit (Dirjen P2MPL, 2010).

4. Penyimpanan Alat Kesehatan


Penyimpanan alat kesehatan berdasarkan cara penyimpanannya dibagai

menjadi penyimpanan alat yang dibungkus dan yang tidak dibungkus. Alat

kesehatan yang dibungkus dapat dianggap steril selama bungkusan tetap utuh dan

kering dala kondisi penyimpanan yang optimaldan penanganan yang minimal.

Sedangkan alat yang tidak dibungkus dapat dinyatakan steril jika tersimpan

dalam wadah steril dan tertutup serta diyakini streril paling lama 1 minggu.

Namun, jika ragu-ragu tentang sterilitas suatu peralatan baik yang dibungkus

maupun tidak dibungkus maka alat dianggap tercemar dan perlu disterilkan

dahulu sebelum digunakan (Dirjen P2MPL, 2010).

5. Pengelolaan Benda Tajam


Penyebaran infeksi HIV, HBV, dan HCV disarana pelayanan kesehatan

sebagian besar disebabkan oleh kecelakaan kerja seperti tertusuk jarum suntik

atau tergores benda tajam (termasuk pecahan kaca) yang sudah terkontaminasi

(Levy et.al, 2000). Menurut Kemenkes RI, 40% dari kecelakaan yang terjadi

merupakan kecelakaan kerja yang dapat dicegah dan terjadi akibat melakukan

penutuupan kembali jarum suntik setelah pemakaian (recapping).

Untuk menghindari kecelakaan kerja dan perlukaan, maka petugas

kesehatan perlu memerhatikan prosedur penanganan jarum suntik dan benda


20

tajam dimulai sejak pembukaan bungkus/wadah, penggunaan, dekontaminasi

hingga ke penampungan sementara berupa wadah tahan tusukan. Berikut

prosedur pengelolaan benda tajam yang dapat dilakukan di sarana pelayanan

kesehatan (Dirjen P2MPL, 2010):

a. Saat melakukan prosedur dengan menggunakan jarum suntik/benda tajam

atau saat pengelolaan benda tajam, petugas harus menggunakan sarung

tangan

b. Saat memindahkan alat tajam dari satu orang ke orang lain, menggunakan

teknik tanpa sentuh (hands free) yaitu dengan menggunakan nampan atau alat

perantara

c. Petugas tidak dianjurkan untuk menutup kembali jarum suntik bekas pakai

melainkan langsung membuangnya ke dalam wadah tahan tusukan

d. Jika jarum terpaksa ditutup kembali, maka gunakan prosedur pentutpan

dengan satu tangan (single handed recapping method)

Gambar 2.2 Cara Menutup (recapping) Jarum dengan Satu Tangan


[Sumber:http://labspace.open.ac.uk 2012]
21

6. Pengelolaan Limbah
Suatu sarana pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit menghasilkan limbah

sebagai hasil akhir proses kerjanya. Limbah yang dihasilkan diantaranya yaitu

limbah rumah tangga atau limbah non medis, dan limbah medis. Limbah medis

berupa limbah klinis, limbah laboratrium, dan limbah berbahaya (B3) (Dirjen

P2ML, 2010).

Untuk menghindari penularan dan penyebarab infeksi, maka diperlukan

penanganan limbah yang baik di rumah sakit. Teknik penanganan limbah di

rumah sakit meliputi beberapa tahap, yaitu pemilihan atau pemisahan,

penanganan sampah, penampungan sementara dan pembuangan/pemusnahan

sampah (Dirjen P2MPL, 2010)

OSHA dan CDC menyatakan bahwa pendekatan kewaspadaan universal

dengan penekanan pentingnya pemakaian APD dan pengendalian tatalaksana

kerja, efektif mencegah pajanan luka dan membran mukosa terhadap pathogen

darah (CDC, 2008).

Prosedur baku kewaspadaan universal pada saat bekerja menggunakan jarum

suntik meliputi (Hoy, 2009):

a. Menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) berupa sarung tangan, apron,

dan sepatu tahan tembus

b. Tidak menyarungkan kembali jarum suntik sesudah menyuntik/mengambil

darah (non recapping)

c. Menampung jarum suntik bekas di sharps container


22

d. Mencuci tangan sebelum dan sesudah memakai sarung tangan

e. Mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak klinis dengan pasien

f. Mencuci tangan sesudah memakai alat suntik

g. Memeriksakan serologi dasar hepatitis B, Hepatitis C, dan HIV

h. Imuninasi hepatitis B untuk petugas pelayanan kesehatan

i. Memeriksakan kadar antibodi hepatitis B petugas pelayanan kesehatan

j. Memeriksakan serologi berkala hepatitis B, hepatitis C, dan HIV

k. Pemberian PEP hepatitis B berupa HBIG diberikan dalam 72 jam pasca

terpajan

l. Pemberian PEP HIV berupa kombinasi tablet ARV (Anti Retrovirus)

diberikan antara satu sampai dengan dua jam pasca terpajan

2.2.2 Safe Injection Practice


Kejadian praktik injeksi yang tidak aman banyak terjadi di seluruh dunia

(Simonsen, 1999) Hal ini disebabkankarena meningkatnyapenggunaan suntikan

tidak aman yang menyebabkan sebagian besar infeksi dengan patogen yang

ditularkan melalui darah(Kane, 1999).

Risiko infeksi dapat terjadi ketika petugas kesehatan terkontaminasijarum

suntik dari masyarakat luas melalui paparan limbah benda tajam yang

terkontaminasi.Sebuah model matematika telah digunakan untuk memperkirakan

beban penyakit dari suntikan yang tidak aman diberbagai daerah. Menurut

perkiraan menggunakan model ini, praktik menyuntik yang tidak aman

menyumbang 32% dari infeksi virus hepatitis B, 40% dari infeksi virus hepatitis
23

C,28% dari kanker hati, 24% dari sirosis dan 5% dari infeksi HIV pada tahun

2000 (Hauri, 2003). Secara keseluruhan,sekitar 500 000 kematian per tahun yang

disebabkan suntikan yang terkontaminasi di fasilitas pelayanan kesehatandi

seluruh dunia (WHO, 2002).

Suatu program "Safe Injection Practice” merupakan suatu kajian cepat dan

panduan respon yang bertujuan untuk melibatkan para pemangku kepentingan

dengan meluncurkan proses perencanaan melalui penyediaan deskripsi sederhana

dari praktek injeksi yang aman, serta penentu dan konsekuensi dari tindakan

mereka. Hal ini didasarkan pada sampel gabungan injeksiresep, penyedia injeksi

dan masyarakat umum. Hal ini dapat menawarkan berbagai strategi pengambilan

sampelsesuai dengan tingkat presisi yang diperlukan dan sumber daya yang

tersedia (WHO, 2015)

Sebuah strategi akan berhasil untuk mencapai praktik injeksi yang aman jika

membutuhkan upaya dengan melibatkan semua program dan layanan nasional

melalui penggunaan suntikan yang aman . Seperti strategi akan berisi tigaelemen

(WH0, 2015):

1. Perubahan Perilaku antara pasien dan petugas kesehatan untuk

mengurangi suntikan yang tidak perlu dengan pelatihan dan edukasi

2. Penatalaksanaan kerja yang aman

3. Pemanfaatan alat suntik dengan safety design

Peningkatan pelatihan dan edukasi serta penatalaksanaan kerja saja tidak

cukup untuk meniadakan luka tusuk jarum suntik dan benda tajam lainnya
24

keseluruhan. Pemanfaatan alat suntik dengan rekayasa safety design dperlukan

untuk peningkatan keselamatan menyuntik guna pencegahan needle stick injury

(NSI) dan benda tajam lainnya yang lebih baik (Eucomed, 2001).

OSHA(2016) mendefinisikan safety design sebagai atribut fisik yang

ditempahkan pada alat suntik yang digunakan untuk pengambilan cairan tubuh,

mengakses vena atau arteri, atau memasukkan obat atau cairan lain, yang secara

efektif mengurangi risiko pajanan insiden luka tusuk jarum dan benda tajam

lainnya dengan mekanisme berupa barrier, penumpulan, pembuangan atau

mekanisme efektif lainnya.

Strategi rekayasa alat suntik safetypada umumnya meliputi langkah-langkah

sebagai berikut :

1. Eliminasi kebutuhan jarum suntik (subsitusi)

2. Isolasi jarum suntik agar tidak memiliki hazard

3. Menambahkan alat untuk isolasi jarum suntik sesudah dipakai

Kombinasi pelatihan dan edukasi, penatalaksanaan kerja, dan pemanfaatan

alat suntik safety design akan meningkatkan keamanan menyuntik dan diprediksi

akan menurunkan risiko luka tusuk jarum suntik secara signifikan.

Engineering control lainnya berupa pemanfaatan sharps container untuk

penampungan alat suntik bekas pakai. Alat penampungan ini merupakan startegi

penting dan elemen inti dari upaya pencegahan dan pemgendalian luka tusuk

jarum suntik dan benda tajam lainnya yang komprehensif.


25

Kecelakaan kerja yang meungkinkan terjadinya pajanan darah atau cairan

tubuh dapat terjadi melalui tusukan, luka, percikan pada mukosa mata, hidung

atau mulut, dan percikan pada kulit yang tidak utuh (Levy et.al,2000).

Jika pada suatu pelayanan kesehatan terjadi kecelakaan kerja, maka harus

didokumentasikan dan dilaporkan segera mungkin kepada panitia keselamatan

dan kesehatan kerja (K3) dan kepada tim pengendalian infeksi. Pekerja yang

mengalami perlukaan diberikan imunisasi dan diberikan konseling serta

pemeriksaan laboratrium ( Dirjen P2MPI, 2010).

Prosedur tatalaksana pajanan darah di saran pelayanan kesehatan disesuaikan

dengan sarana dan kebijakan institusi setempat. Penatalaksanaan pajanan darah di

tempat kerja terdiri dari beberapa langkah (Dirjen P2MPI, 2010), diantaranya

yaitu:

1. Langkah 1

Tindakan pertama pada setiap pajanan yaitu cuci dengan air mengalir dan

sabun anitiseptic, mencatat dan melaporkan kejadian pajanan darah kepada

panitia K3 atau panitia pengendalian infeksi dalam waktu 24 jam.

2. Langkah 2

Menelaah pajanan mulai dari jenis dan alur pajanan, bahan pajanan, status

infeksi sumber pajanan, dan kerentanan orang terpajan

3. Langkah 3

Memberikan profilaksis pasca pajanan (PPP) kepada pekerja


26

4. Langkah 4

Melakukan tes lanjutan (laboratrium) dan memberikan konseling. Pekerja

yang terpajan dianjurkan untuk segera memeriksakan dirinya jika

ditemukan tanda atau gejala dari suatu penyakit infeksi

Tindakan segera yang harus dilakukan ketika petugas kesehatan

mengalami Needle Stick Injury (NSI) atau cidera akibat tersayat benda tajam.

Penanganan segera (ANA, 2002), mencakup: a) Mencuci luka dengan sabun dan

air mengalir, b) Melaporkan pada atasan dan melakukan pelaporan melalui

system pelaporan cidera sesuai kebijakan fasilitas c) Mengidentifikasi kondisi

pasien dan melakukan tes HIV, hepatitis B, dan hepatitis C, d) Melaporkan

kepada layanan kesehatan petugas, UGD, atau fasilitas kesehatan untuk pegawai

lainnya e) Melakukan tes for HIV, Hepatitis B, dan Hepatitis C dengan segera. f)

Melakukan Post-exposure prophylaxis (PEP) atau pengobatan lainnya g)

Mendokumentasikan kejadian pajanan secara lengkap dan penjelasan bagaimana

pajanan dapat terjadi.

Rumah sakit harus membuat kebijakan terkait system penanganan Needle

Stick Injury (NSI) atau cidera akibat tersayatbenda tajam lainnya. Kebijakan

fasilitas terkait Neddle Stick Injury atau cidera akibat tersayat benda tajam

(ANA, 2002) adalah :

1) Memberikan akses dalam dua jalan terhadap tindak lanjut pasca pajanan

untuk test dan profilaksis

2) Memfasilitasi vaksin hepatitis B pada semua staf terutama petugas kesehatan


27

3) Membeli dan menggunakan peralatan berdasarkan keselamatan dan

keefektifan produk

4) Melarang praktik membengkokkan jarum, menutup kembali menggunakan

dua tangan, atau membuang jarum terbuka

5) Memberikan dan mendekontaminasi permukaan di tempat kerja setelah

kontak dengan darah dan cairan infeksius

6) Menyediakan APD mencakup sarung tangan, jubah, apron, kaca mata,

masker dan perisai muka. Perlengkapan ini harus sesuai ukuran petugas

kesehatan dan memilki kualitas yang baik dan mudah dan siap digunakan.

Alternatif non-lateks harus disediakan

7) Mempertahankan update pelaporan cidera secara regular secara lengkap

pada semua kejadian Needle Stick Injury (NSI) atau tersayat benda tajam

mencakup tanggal, tempat, situasi, dan merek serta tipe alat.

2.3 Faktor-faktor yang berhubungan dengan Safe Injection Practice dan


Kepatuhan terhadap Kewaspadaan Universal

Wilburn dan Eijkemans dalam Naphole menyatakan bahwa determinan

terjadinya luka tusuk jarum meliputi: injeksi yang berlebihan, ketidak-tersediaan

jarum suntik safety design dan sharps container, kekurangan petugas

kesehatan,recapping pasca suntik, pengoperan alat suntik, kurang pelatihan

(Naphole, 2009).
28

Ng menyatakan bahwa faktor-faktor yang berkontribusi terhadap luka tusuk

jarum termasuk tingkat pengetahuan tentang penyakit akibat pathogen darah dan

kewaspadaan universal, dan persepsi terhadap risiko (Ng, 2007).

Ismail dalam penelitiannya menyatakan bahwa faktor-faktor yang mendasari

terjadinya luka tusuk jarum suntik meliputi persepsi terhadap risiko penularan

melalui luka tusuk jarum suntik dan benda tajam lainnya, pengetahuan dan

pemberlakuan kewaspadaan universal, prosedur kerja, dan kepatuhan

pelaksanaan kewaspadaan universal (Ismail et.al.,2009).

Jagger dalam Foley menyatakan bahwa alat suntik yang lebih aman,

bersama-sama dengan edukasi yang diberikan kepada petugas kesehatan dan

pengendalian cara kerja dapat mengurangi kejadian luka tusuk jarum dan benda

tajam lainnya sampai >90% (Foley, 2003)

2.3.1 Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang

terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan

sebagainya). Pengetahuan orang terhadap objek mempunyai intensitas atau

tingkat yang berbeda-beda, yang dapat di bagi ke dalam 6 tingkat pengetahuan

(Notoadmojo, 2007) yaitu tahu (know), memahami (comprehension), aplikasi

(application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), evaluasi (evaluation).

Pengetahuan tentang cara penularan Blood Borne Infection di tempat kerja

merupakan faktor penting terbentuknya kepatuhan seseorang terhadap

kewaspadaan standar. Berdasarkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan,


29

baik di Indonesia maupun dunia, ditemukan bahwa ada hubungan antara

pengetahuan dengan kepatuhan kewaspadaan standar (Saroha, 2003).

Pengetahuan petugas kesehatan tentang Blood Borne Infection, terlihat dari

tahu atau tidaknya petugas kesehatan mengenai cara penularan blood borne

Infection(CDC, 2008), seperti:

1. Melalui selaput mukosa:percikan darah atau cairan tubuh lainnya pada mata

atau mulut

2. Melalui membrane perkutan:tusukan jarum atau benda tajam lain

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Saroha Pinem (2003), Salah satu

faktor yang mempengaruhi penerapan kewaspadaan universal yaitu tingkat

pengetahuan tentang blood borne infection. Petugas kesehatan yang memiliki

tingkat pengetahuan kurang , berpeluang hampir 3 kali untuk tidak patuh dalam

menerapkan kewaspadaan universal ( Sulastri, 2001). Selain itu, penelitian yang

dilakukan di Minnesota menemukan bahwa perawat yang memliki tingkat

pengetahuan tinggi tentang cara penularan (transmisi ) HIV 1,6 kali lebih patuh

untuk menerapkan kewaspadaan universal (Mc. Govern et al, 2000).

2.3.2 Sikap Petugas Kesehatan


Sikap merupakan suatu respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap

suatu stimulus atau objek. Sikap belum merupakan suatu tidakan atau aktivitas,

akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap merupakan

kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu

penghayatan terhadap objek (Notoadmodjo, 2007).


30

Menurut (Notoadmodjo, 2007) sikap terdiri dari berbagai tingakatan:

1. Menerima (receiving), diartikan bahwwa orang (subjek) mau dan

memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek)

2. Merespon (responding), memberikan jawaban apabila ditanya,

mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi

dari sikap

3. Menghargai (valuing), mengajak orang lain untuk mengerjakan atau

mendiskusikan suatu masalah adalah indikasi sikap tingkat tiga.

4. Bertanggung jawab (responsible), bertanggung jawab atas segala sesuatu

yang telah dipilihnya dengan segala risiko adalah merupakan sikap yang paling

tinggi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, perawat yang

memilik sikap positif terhadap pasien dengan HIV/AIDS lebih cenderung patuh

terhadap penerapan kewaspadaan universal (DeJoy, et.al., 2000). Namun, hasil

penelitian pada sejumlah perawat di Afrika (Delobelle et.al, 2009) tidak

menemukan hubungan yang signifikan antara sikap dan perilaku.

2.3.3 Persepsi terhadap Risiko

Persepsi terhadap risiko merupakan penafsiran subjektif kemungkinan

terjadinya sesuatu kecelakaan dan sejauh mana kita peduli dengan dampak

negatifnya. Dengan demikian, persepsi risiko merupakan untuk mengevaluasi

probabilitas sesuatu kejadian yang tidak dikehendaki dan keparahan konsekuensi

negative dari kejadian tersebut.


31

Persepsi terhadap risiko pada petugas kesehatan yang tidak mengalami needle

stick injury lebih tinggi dari petugas kesehatan yang mengalami needle stick

injury (Ng, 2007 dalam Ismail et.,al 2009)

2.3.4 Risk Taking Personality


Definisi risk-taking menurut Levenson (1990 adalah “risk takingis defined

as any purposive activity that entails novelty or danger sufficient to create

anxiety in most people. Risk taking can be either physical or social, or a

combination of the two.”Risk taking refers to the tendency to engange in

behaviors that have the potential to be harmful or dangerous, et at the same time

provide the opportunity for some kind of outcome that can be perceived as

positive. Driving fast ora engaging in substance use would be examples of risk-

taking behavior. They may bring about positive feelings in the moment. However,

they can also put you at risk for serious harm, such as an accident

(www.ptsd.about.com).

Berdasarkan definisi ini dapat diambil makna bahwa risk-taking mengacu

pada kecenderungan untuk terlibat dalam perilaku yang memiliki potensi menjadi

berbahaya, namun pada saat yang sama memberikan hasil yang dapat dirasakan

sebagai sesuatu yang positif. Misalnya, mengebut atau menggunakan narkoba

merupakan contoh perilaku risk-taking. Mereka sebagai risk-takermungkin

memiliki perasaan yang sangat puas atau senang saat melakukan hal tersebut.

Akan tetapi, hal ini dapat menempatkan mereka pada resiko yang sangat

berbahaya seperti pengebut mengalami kecelakaan sedangkan pengguna narkoba


32

mengalami overdosis. Sedangkan risk-taking personality adalah sikap seseorang

terhadap perilaku berisiko (Mc Gorven, et.al.,2000).

2.3.5 Efficacy of Prevention


Efficacy of prevention pada individu akan terwujud apabila didukung

dengan efektiivitas tindakan pencegahan (precautionary) yang ada serta persepsi

individu itu sendiri terhadap kemampuannya untuk berhasil mengikuti

precautionary tersebut (self-effficacy).

Self Efficacy dapat didefinisikan sebagai sejauh mana individu meyakini

mereka mampu menghadapi tantangan hidup. Kemampuan diri membentuk

bagian teori kognitif social bahwa perilaku di pelajari, melalui modeling,

visualisasi, pemantauan diri, dan pelatihan keterampilan. Perilaku ditentukan oleh

harapan dan insentif. Harapan dikategorikan dalam:

1. Harapan tentang petunjuk lingkungan – keyakinan tentang bagaimana

kejadian- kejadian dihubungkan

2. Harapan hasil-keyakinan tentang perilaku mungkin mempengaruhi hasil

3. Harapan kemampuan-harapan tentang kompetensi diri seseorang untuk

melakukan perilaku yang diperlakukan untuk mempengaruhi hasil.

2.3.6 Hambatan Penerapan Kewaspadaan Standar/Universal


Hambatan penelitian ini dapat diterjemahkan sebagai adanya konflik

kepentingan antara melayani kebutuhan pasien dengan kebutuhan reponden

melindungi diri. Akibatnya, dalam situasi-situasi tertentu (keadaan emergensi),


33

perawat dan bidan sering mengabaikan pedoman kewaspadaan standar, misalnya

menggunakan APD.

Hal ini didukung oleh penelitian yang pernah dilakukan oleh Mc Govern et

al (2000) dan Kermode et al (2005), dimana semakin rendah hambatan penerapan

KU akibat pekerjaannya semakin tinggi pula tingkat kepatuhan perawat dalam

menerpakan program pencegahan dan penanggulangan blood borne infection

(kewaspadaan universal) di tempat kerja. Efstathiou (2011), menemukan bahwa

sejumlah perawat tidak menerapkan program pencegahan infeksi blood borne

infection karena merasa ada hambatan dalam menerapkan kewaspadaan standar

akibat ketidakcukupan waktu.

2.3.7 Beban Kerja


Beban kerja yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah penilaian

responden terhadap tuntutan pekerjaan yang harus diseleseikan. Berdasarkan

penelitian dalam DeJoy (1995), Salah satu faktor pekerjaan yaitu beban kerja

ditemukan tidak dapat memprediksikan kepatuhan. Namun, menurut Kelen,

et.al.,1990 dalam DeJoy (1995), ketidakcukupan waktu menjadi alasan yang kuat

pada ketidakpatuhan.

Beban kerja termasuk dalam salah satu variabel pemicu stress di

lingkungan kerja. Salah satu cara stress dapat mempengaruhi kesakitan dan

kesehatan adalah “the health behavior route”. Faktor beban kerja ini dapat

menyebabkan dampak yang merugikan, termasuk perilaku. Stress dapat secara


34

langsung mempengaruhi kesakitan dengan cara merubah pola perilaku individu

(Smet, 1994).

2.3.8 Iklim Keselamatan (Safety Climate)


Iklim keselamatan merupakan persepsi dari pekerja mengenai

keselamatan dalam lingkungan kerja mereka dan menjadi landasan mereka untuk

mengerjakan tugas sehari-hari (Hahn dan Lawrence R. Murphy, 2008).

Sedangkan menurut Griffin dan Neal dalam Benedetto (2011), iklim

keselamatan kerja sebagai sesuatu hal yang penting dan diprioritaskan, dimana

komitmen tersebut diwujudkan baik dalam kata-kata maupun tindakan.

Keselamatam kerja harus diintegrasikan ke dalam system manajemen organisasi,

artinya keselamatan kerja harus ditangani/dianggap penting dengan fungsi –

fungsi organisasi yang lain (Feyer, Anne Marie and Williamson (ed), 1998).

2.3.9 Safety Perfomance Feedback


Safety performance feedback merupakan umpan balik yang baik yang

bersifat formal maupun informal yang diterima dari pimpinan, supervisor, dan

rekan kerja. Umpan balik yang bersifat formal misalnya penilaian kinerja.

Sedangkan umpan balik yang bersifat informal cenderung lebih tidak tegas dan

berhubungan dengan interaksi antara rekan kerja ( DeJoy, et.al.,1995).

2.3.10 Keterampilan
Kewaspadaan universal (universal precaution) merupakan konsep dimana

semua darah dan cairan tubuh diperlakukan sebagai infeksius dan dalam bekerja

pemakaian jarum suntik dan benda tajam lainnya di sarana kesehatan harus
35

mematuhi prosedur baku sebagai panduan untuk mencegah pajanan luka

perkutaneus dan membrane mukosa terhadap pathogen darah.

Petugas kesehatan yang tidak mengikuti pelatihan kewapadaan universal

mempunyai risikoneedle stick injury (NSI) yang lebih tinggi dibanding yang

mengikuti pelatihan (Tan Siew Khoon dalam Ismail et.al.,2009).

2.3.11 Pengalaman Pajanan Sebelumnya


Pajanan, terutama tusukan jarum suntik, memiliki risiko tinggi untuk

menularkan HIV/AIDS. Pajanan merupakan dampak yang timbul jika

kewaspadaan standar tidak diterapkan dengan baik saat bekerja. Penelitian di

China menyebutkan bahwa pengalaman seorang perawat terhadap pajanan yang

pernah diterima 6 bulan sebelumnya memiliki hubungan yang signifikan dengan

kepatuhan terhadap kewaspadaan standar (OR= 0, 69). Semakin tinggi kepatuhan

terhadap kewaspadaan standard semakin sedikit pengalaman pajanan yang

diterima (Luo et.al., 2010). Penelitian lain yangsemakin banyak dilakukan oleh

DeJoy et.al pada tahun 2000 juga menunjukkan bahwa semakin banyak pajanan

yang pernah diterima, semakin rendah tingkat kepatuhannya terhadap

kewaspadaan standar..

2.4 .Perilaku Pencegahan Blood Borne Infection pada Kesehatan

2.4.1 Definisi Perilaku

Perilaku adalah keseluruhan (totalitas) pemahaman dan aktivitas antara

faktor internal dan faktor eksternal (Notoadmodjo, 2007). Perilaku manusia


36

adalah suatu fungsi dari interaksi antara indvidu dengan lingkungannya. Semua

perilaku individu pada dasarnya dibentuk oleh kepribadian dan pengalamannya

(Rivai, 2011).

Perilaku pencegahan infeksi HIV, HBV, HCV dapat dinilai dari kepatuhan

seorang tenaga kesehatan dalam menerapkan program pencegahan infeksi

HIV/AIDS (kewaspadaan universal/standar). Heynes,et.al (1979) dalam

Efstathiou et.al (2011) mendefinisikan kepatuhan sebagai suatu indikator sejauh

mana perilaku tertentu sesuai dengan instruksi atau saran. Menurut Heynes,

kepatuhan dapat dikendalikan atau dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti

budaya, faktor ekonomi dan social, self-efficacy, dan pengetahuan.

Seorang ahli psikologi kesehatan menjelaskan, “in the context of health

psychology, adherence refers to the situation when behavior of an individual

matches the recommended action or device proposed by a health practioner or

information derrivied from some other information source (such as advice given

in a health promotion leaflet or via mass media campaign “ ( Albery dan Marcus,

2008).

Definisi kepatuhan tersebut merupakan definsi perilaku kepatuhan yang

merujuk kepada perilaku pasien dalam pengobatan dan pencegahan penyakit.

Definisi tersebut dapat digunakan pula untuk melihat perilaku kepatuhan

terhadap kewaspadaan standard/universal. Kepatuhan tenaga kesehatan terhadap

kewaspadaan standard merupakan indikator perilaku pencegahan infeksi

HIV/AIDS pada tenaga kesehatan.


37

2.4.1.1 Kepatuhan Petugas Kesehatan terhadap Kewaspadaan Universal


Perilaku pencegahanblood borne infectionpada petugaskesehatan

dipengaruhi oleh kepatuhan seorang petugas kesehatan terhadap kewaspadaan

universal. Penelitian, baik di Indonesia maupun di beberapa negara, sudah pernah

dilakukan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku patuh

terhadap kewaspadaan universal tersebut. Salah satu model determinan perilaku

kesehatan yang dikeluarkan oleh Green et.al, 1980. Model tersebut menjelaskan

bahwa suatu perilaku kesehatan seseoarang dipengaruhi faktor predisposisi,

faktor enabling (pemungkin), dan faktor reinforcing (penguat).

Penelitian sebelumnya di beberapa negara menggunakan model perilaku

kesehatan PRECEDE Model untuk meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi

perilaku patuh seorang tenaga kesehatan terhadap program pencegahan infeksi

blood borne Infection(kewaspadaan universal).

Faktor Predisposisi

Faktor Enabling
Kepatuhan
(pemungkin)
terhadap
Kewaspadaan
Faktor Reinforcing Universal

(penguat)

Gambar 2.3 Model Detreminan Perilaku Kesehatan PRECEDE Model


[Sumber: DeJoy et al, 2000]
38

PRECEDE Model (Green et al, 1980) digunakan oleh DeJoy et al (2000).

Pinem (2003) dan Sulastri (2001) untuk menentukan faktor-faktor yang

mempengaruhi perilaku kepatuhan terhadap kewaspadaan universal. Dengan

menggunakan PRECEDE Model, ditemukan beberapa faktor yang

mempengaruhi perilaku patuh sesorang terhadap kewaspadaan universal. Faktor-

faktor tersebut diantaranya yaitu faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor

penguat.

Faktor predisposisi yang mempengaruhi kepatuhan terhadap kewaspadaan

universal yaitu faktor yang berasal dari individu pekerja seperti pengetahuan,

sikap, tingkat pendidikan dan masa kerja. Selain itu, tingkat kepatuhan seseorang

terhadap kewaspdaan universal juga dipengaruhi oleh faktor pemungkin

(enabling) seperti ketersediaan sarana dan fasilitas, adanya informasi,pelatihan,

ketersediaan SOP, dan lain-lain. Faktor penguat (reinforcing) juga turut

mempengaruhi kepatuhan terhadap kewaspadaan universal seperti ada tidaknya

dukungan dan pengawasan dari atasan dan/atau dari teman sejawat (DeJoy et al,

2000; Pinem, 2003; Sulastri, 2001).

Selain dengan PRECEDE Model, perilaku kepatuhan seorang tenaga

kesehatan terhadap program pencegahan infeksi HIV/AIDS (Kewaspadaan

Universal) juga dapat ditinjau dari model perlindungan diri di tempat kerja yang

terdiri dari faktor individu, faktor terkait pekerjaan, faktor terkait

lingkungan/orgnisasi (ed Feyer, Anne-Marie and Ann Williamson, 1998)( Bagan

2.3). Model perilaku ini merupakan perkembangan dari PRECEDE Model.


39

Faktor Individu

Sosiodemografi, Sikap,
Kepercayaan, Nilai,
pengetahuan, dan pendidikan

Faktor terkait Pekerjaan CORRESPONDING OR Faktor Organisasi


CONFLICTING
Pelatihan, Peer review,
DEMANDS
Dukungan Administratif,
Pengalaman, Safety Climate
keterampilan, Cognitive
Demands, Beban Kerja ,
Work Stress

KEPATUHAN

Bagan 2.4 : Model Determinan Perilaku Kepatuhan


[Sumber: Mc. Goven, et.al, (2000)]

Model detrminan perilaku perlindungan diri di tempat kerja digunakan

oleh McGovern et al, (2000) untuk menentukan faktor-faktor yang

mempengaruhi perilaku patuh seorang tenaga kesehatan terhadap pencegahan

infeksi blood borne infection(kewaspadaan universal). McGovern et al (2000)

melalui penelitiannya yang berjudul “Factors Affecting Universal Precautions

Compliance” membagi faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan terhadap


40

kewaspadaan universal menjadi faktor individu, faktor terkait pekerjaan dan

faktor organisasi.

2.5 Kerangka Teoritis

Dalam menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan safe

injection practice dan , mengacu pada teori pendidikan kesehatan yaitu model

PRECEDE oleh Laurence Green (1980), Modifikasi oleh DeJoy (1986) yaitu

untuk aplikasi perilaku melindungi diri sendiri di tempat kerja (McGovern, et al.,

2000).
41

Teori L.Green

FAKTOR PREDISPOSING

Umur, masa
kerja,pendidikan,pengetahuan,
sikap,kepercayaan,kegemaran,ketr
ampilan

FAKTOR REINFORCING

Reward Kepatuhan
NSI
FAKTOR ENABLING

Ketersediaan Sumber Daya

Safety
injection

Modifikasi DeJoy et.al (1995) dan Mc Goven et al., (2000)

Personal Traits

Sosiodemografi,
Sikap, Kepercayaan,
Nilai, pengetahuan,
dan pendidikan

Work-related CORRESPONDING Organizational


requirements Factors
OR CONFLICTING
Pengalaman, DEMANDS Pelatihan, Peer
keterampilan, Cognitive review, Dukungan
Demands, Beban Administratif,
Kerja , Work Stress Safety Climate

KEPATUHAN
42

Seperti yang ditampilkan pada gambar 2.4 terdapat 3 faktor utama

yang berhubungan dengan kepatuhan, yaitu faktor personal traits (faktor

individu), faktor work-related requirements (faktor pekerjaan/tugas), dan

organizational factors (faktor organisasi) (Mc Govern, et.al.,2000).

1. Faktor individu meliputi :

a. Demografi (jenis kelamin, umur, pendidikan)

b. Karakteristik pekerjaan (jumlah jam kerja/hari, profesi, lama kerja)

c. Pengetahuan (pengetahuan umum mengenai HIV dan KU,

pengetahuan mengenai transmisi HIV, cara alternative penularan

HIV)

d. Sikap dan persepsi (sikap terhadap pasien dengan HIV, persepsi

seseorang tentang risiko HIV pada pekerjaannya, persepsi individu

bahwa KU sebagai hambatan dalam job performance, dan efficacy of

Universal Precaution, sikap terhadap perilaku berisiko)

e. Keyakinan (pada kemampuan seseorang untuk melindungi dirinya

HIV pada pekerjaan)

2. Faktor Pekerjaan meliputi :

a. Cognitive demand

b. Job ambiguity

c. Beban Kerja

d. Stress terkait pekerjaan


43

3. Organizational factors, meliputi :

a. Iklim keselamatan kerja (safety climate)

b. Ketersediaan APD

c.Pelatihan tentang pemakaian APD

d. Pelatihan

tentang kewaspadaan Universal

Dengan menggunakan framework yang sama yaitu model PRECEDE (Green,

et.al., 1980) dimodifikasi oleh DeJoy (1986) untuk aplikasi melindungi diri

sendiri di tempat kerja. DeJoy, Gershon & Murphy (1995) menjelaskan untuk

menentukan kepatuhan pekerja terhadapUniversal Precaution, ada empat faktor

yang mempengaruhinya, antara lain :

1. Faktor demografi, terdiri dari : umur, lama kerja pada pekerja saat ini,

lama bekerja sebagai perawat

2. Karakterstik pribadi pekerja, meliputi: personal risk taking tendencies,

khawatir tertular HIV saat bekerja, pengetahuan tentang KU yang

dirasakan (perceived knowledge of UP) dan nilai dari tindakan pencegahan

yang dirasakan (perceived knowledge of UP) dan nilai dari tindakan

pencegahan yang dirasakan (perceived value of preventive action).

3. Faktor tugas pekerjaan meliputi :job hindrance or barriers (hambatan

pekerjaan), beban kerja, role ambiguity , kenyamanan secara fisik saat

bekerja
44

4. Organisasi, terdiri dari : ketersediaan APD, performance feedback, dan

safety climate

2.6 Kerangka Berpikir

Dalam penelitian ini, tidak semua variable yang ada di kerangka teori

dijadikan kerangka konsep peneltian. Ada beberapa variable yang tidak

dimasukkan karena peneliti ingin memfokuskan penelitian pada variable yang

diadopsi dari model studi Mc Govern, et.al (2000) dan DeJoy, Gershon, &

Murphy (1995).

Kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :
45

FAKTOR PEMUNGKIN: SAFE INJECTION


PRACTICE
Ketersediaan &Kemudahan akses
sumber daya 1. Melakukan non
recapping
2. Menampung di sharps
FAKTOR INDIVIDU container
3. Eliminasi jarum suntik
1. Pengetahuan tentang transmisi
penularan HIV, HBV,dan HCV 4. Menggunakan SITJ
2. Sikap Petugas Kesehatan 5. Menggunakan JSSD
3. Persepsi terhadap risiko
4. Risk Taking Personality
5. Efficacy of Prevention

FAKTOR PEKERJAAN

1.Hambatan Penerapan KU KEPATUHAN


2. Beban Kerja (Workload) DALAM
PENERAPAN
KEWASPADAAN
FAKTOR ORGANISASI UNIVERSAL

1. Iklim Keselamatan (Safety


Climate )
2. Safety Perfomance Feedback
3. Informasi dan Pelatihan
(Training)

FAKTOR PENGUAT

Pengalaman Pajanan sebelumnya


46

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan langsung faktor

individu, faktor terkait pekerjaan, faktor organisasi ,faktor penguat dan faktor

pemungkin dengan kepatuhan petugas kesehatan dalam penerapan kewaspadaan

universal dansafe injection practiceberkaitan dengan penularan infeksi

bloodborne pathoegen melalui luka tusuk jarum suntik di RS Kariadi Semarang.

Variable independen dalam peneltian ini adalahfaktor pemungkin

(ketersedian suumber daya) faktor individu (penegtahuan, sikap, persepsi

terhadap risiko, risk taking personality, efficacy of prevention), faktor pekerjaan

(hambatan dalam penerapan UP/SP, beban kerja (workload), faktor organisasi

(safety climate, safety performance feedback, dan pelatihan dan informasi),

Faktor penguat (pengalaman pajanan sebelumnya), Sedangkan variable

dependen dalam penelitian ini adalahsafe injection practicedan kepatuhan dalam

penerapan kewaspadaan universal pada petugas kesehatan.

2.7 Hipotesis Penelitian

Dalam penelitian ini, selain bertujuan untuk melihat gambaran

kepatuhan petugas kesehatan dalam penerapan kewaspadaan universal juga

bertujuan untuk melihat hubungan dua variabel yaitu variabel independen dan

variabel dependen. Hipotesis untuk penelitian ini adalah: :

H01 : :Tidak ada hubungan antara ketersediaan dan

kemudahan akses sumber daya dengan safe

injection practice terhadapkejadian needle stick


47

injurypada petugas kesehatan di RSUP

Dr.Kariadi

Ha1 :Ada hubungan antara ketersediaan dan kemudahan

akses sumber daya dengan safe injection

practice terhadap kejadian needle stick

injurypadapetugas kesehatan di RSUP

Dr.Kariadi

H02 : Tidak ada hubungan antara ketersediaan dan

kemudahan akses sumber daya dengan safe

injection practice terhadapkejadian needle stick

injury pada petugas kesehatan di RSUD

Tugurejo

Ha2 :Ada hubungan antara ketersediaan dan kemudahan

akses sumber daya dengan safe injection

practice terhadapkejadian needle stick injury

pada petugas kesehatan di RSUD Tugurejo

Ho3 :Tidak ada hubungan antara ketersediaan dan

kemudahan akses sumber daya dengan

kepatuhan pada kewaspadaan

universalterhadap kejadian needle stick injury

pada petugas kesehatan di RSUP Dr.Kariadi

Ha3 : Ada hubungan antara ketersediaan dan

kemudahan akses sumber daya dengan


48

kepatuhan pada kewaspadaan

universalterhadap kejadian needle stick injury

pada petugas kesehatan di RSUD Dr.Kariadi

H04 :Tidak ada hubungan antara ketersediaan dan

kemudahan akses sumber daya dengan

kepatuhan pada kewaspadaan

universalterhadap kejadian needle stick injury

pada petugas kesehatan di RSUD Tuguurejo

Ha4 : Ada hubungan antara ketersediaan dan

kemudahan akses sumber daya dengan

kepatuhan pada kewaspadaan

universalterhadap kejadian needle stick injury

pada petugas kesehatan di RSUD Tugurejo

H05 : Tidak ada hubungan antara pengetahuan

dengan kepatuhan dalam penerapan

kewaspadaan universal terhadap kejadian

needle stick injury petugas kesehatan di RSUP

Dr.Kariadi

Ha5 : Ada hubungan antara pengetahuan dengan

kepatuhan dalam penerapan kewaspadaan

universal terhadap kejadian needle stick injury

petugas kesehatan di RSUP Dr.Kariadi


49

Ho7 : Tidak ada hubungan antara pengetahuan

dengan kepatuhan dalam penerapan

kewaspadaan universal terhadap kejadian

needle stick injury petugas kesehatan di RSUD

Tugurejo

Ha7 : Ada hubungan antara pengetahuan dengan

kepatuhan dalam penerapan kewaspadaan

universal terhadap kejadian needle stick injury

petugas kesehatan di RSUP Dr. Tugurejo

Ho8 : Tidak ada hubungan antara sikap dengan

kepatuhan dalam penerapan kewaspadaan

universal pada petugas kesehatan terhadap

kejadian needle stick injury petugas kesehatan

di RSUP Dr. Kariadi

Ha8 : Ada hubungan antara sikap dengan kepatuhan

dalam penerapan kewaspadaan universal pada

petugas kesehatan terhadap kejadian needle

stick injury petugas kesehatan di RSUP Dr.

Kariadi

H09 : Tidak ada hubungan antara sikap dengan

kepatuhan dalam penerapan kewaspadaan

universal pada petugas kesehatan terhadap


50

kejadian needle stick injury petugas kesehatan

di RSUD Tugurejo

Ha9 : Ada hubungan antara sikap dengan kepatuhan

dalam penerapan kewaspadaan universal pada

petugas kesehatan terhadap kejadian needle

stick injury petugas kesehatan di RSUD

Tugurejo

H010 : Tidak ada hubungan antara persepsi terhadap

risiko dengan kepatuhan dalam penerapan

kewaspadaan universal pada petugas kesehatan

terhadap kejadian needle stick injury petugas

kesehatan di RSUP Dr Kariadi

Ha10 : Ada hubungan antara persepsi terhadap risiko

dengan kepatuhan dalam penerapan

kewaspadaan universal pada petugas kesehatan

terhadap kejadian needle stick injury petugas

kesehatan di RSUP Dr Kariadi

H011 : Tidak ada hubungan antara persepsi terhadap

risiko dengan kepatuhan dalam penerapan

kewaspadaan universal pada petugas kesehatan

terhadap kejadian needle stick injury petugas

kesehatan di RSUD Tugurejo


51

Ha11 : Ada hubungan antara persepsi terhadap risiko

dengan kepatuhan dalam penerapan

kewaspadaan universal pada petugas kesehatan

terhadap kejadian needle stick injury petugas

kesehatan di RSUD Tugurejo

H012 : Tidak ada hubungan antara risk taking

personality dengan kepatuhan dalam

penerapan kewaspadaan universal pada petugas

kesehatan terhadap kejadian needle stick injury

petugas kesehatan di RSUP Dr. Kariadi

Ha12 : Ada hubungan antara risk taking personality

dengan kepatuhan dalam penerapan

kewaspadaan universal pada petugas kesehatan

terhadap kejadian needle stick injury petugas

kesehatan di RSUP Dr. Kariadi

H013 : Tidak ada hubungan antara risk taking

personality dengan kepatuhan dalam

penerapan kewaspadaan universal pada petugas

kesehatan terhadap kejadian needle stick injury

petugas kesehatan di RSUD Tugurejo

Ha13 : Ada hubungan antara risk taking personality

dengan kepatuhan dalam penerapan

kewaspadaan universal pada petugas kesehatan


52

terhadap kejadian needle stick injury petugas

kesehatan di RSUD Tugurejo

H014 : Tidak ada hubungan antara efficacy of

prevention dengan kepatuhan dalam penerapan

kewaspadaan universal pada petugas kesehatan

terhadap kejadian needle stick injury petugas

kesehatan di RSUP Dr. Kariadi

Ha14 : Ada hubungan antara efficacy of prevention

dengan kepatuhan dalam penerapan

kewaspadaan universal pada petugas kesehatan

terhadap kejadian needle stick injury petugas

kesehatan di RSUP Dr. Kariadi

H015 : Tidak ada hubungan antara efficacy of

prevention dengan kepatuhan dalam penerapan

kewaspadaan universal pada petugas kesehatan

terhadap kejadian needle stick injury petugas

kesehatan di RSUD Tugurejo

Ha15 : Ada hubungan antara efficacy of prevention

dengan kepatuhan dalam penerapan

kewaspadaan universal pada petugas kesehatan

terhadap kejadian needle stick injury petugas

kesehatan di RSUD Tugurejo


53

H016 : Tidak ada hubungan antara hambatan

penerapan kewaspadaan universal dengan

kepatuhan dalam penerapan kewaspadaan

universal pada petugas kesehatan terhadap

kejadian needle stick injury petugas kesehatan

di RSUP Dr. Kariadi

Ha16 : Ada hubungan antara hambatan penerapan

kewaspadaan universal dengan kepatuhan

dalam penerapan kewaspadaan universal pada

petugas kesehatan terhadap kejadian needle

stick injury petugas kesehatan di RSUP Dr.

Kariadi

H017 : Tidak ada hubungan antara hambatan

penerapan kewaspadaan universal dengan

kepatuhan dalam penerapan kewaspadaan

universal pada petugas kesehatan terhadap

kejadian needle stick injury petugas kesehatan

di RSUD Tugurejo

Ha17 : Ada hubungan antara hambatan penerapan

kewaspadaan universal dengan kepatuhan

dalam penerapan kewaspadaan universal pada

petugas kesehatan terhadap kejadian needle


54

stick injury petugas kesehatan di RSUD

Tugurejo

H018 : Tidak ada hubungan antara beban kerja dengan

kepatuhan dalam penerapan kewaspadaan

universal pada petugas kesehatan terhadap

kejadian needle stick injury petugas kesehatan

di RSUP Dr. Kariadi

Ha18 : Ada hubungan antara beban kerja dengan

kepatuhan dalam penerapan kewaspadaan

universal pada petugas kesehatan terhadap

kejadian needle stick injury petugas kesehatan

di RSUP Dr. Kariadi

H019 : Tidak ada hubungan antara beban kerja dengan

kepatuhan dalam penerapan kewaspadaan

universal pada petugas kesehatan terhadap

kejadian needle stick injury petugas kesehatan

di RSUD Tugurejo

Ha19 : Ada hubungan antara beban kerja dengan

kepatuhan dalam penerapan kewaspadaan

universal pada petugas kesehatan terhadap

kejadian needle stick injury petugas kesehatan

di RSUD Tugurejo
55

H020 : Tidak ada hubungan antara iklim keselamatan

(safety climate) dengan kepatuhan dalam

penerapan kewaspadaan universal pada petugas

kesehatan terhadap kejadian needle stick injury

petugas kesehatan di RSUP Dr. Kariadi

Ha20 : Ada hubungan antara iklim keselamatan (safety

climate) dengan kepatuhan dalam penerapan

kewaspadaan universal pada petugas kesehatan

terhadap kejadian needle stick injury petugas

kesehatan di RSUP Dr. Kariadi

H021 : Tidak ada hubungan antara iklim keselamatan

(safety climate) dengan kepatuhan dalam

penerapan kewaspadaan universal pada petugas

kesehatan terhadap kejadian needle stick injury

petugas kesehatan di RSUD Tugurejo

Ha21 : Ada hubungan antara iklim keselamatan (safety

climate) dengan kepatuhan dalam penerapan

kewaspadaan universal pada petugas kesehatan

terhadap kejadian needle stick injury petugas

kesehatan di RSUD Tugurejo

H022 :Tidak ada hubungan antara safety performance

feedback dengan kepatuhan dalam penerapan

kewaspadaan universal pada petugas kesehatan


56

terhadap kejadian needle stick injury petugas

kesehatan di RSUP Dr. Kariadi

Ha22 : Ada hubungan antara safety performance

feedback dengan kepatuhan dalam penerapan

kewaspadaan universal pada petugas kesehatan

terhadap kejadian needle stick injury petugas

kesehatan di RSUP Dr. Kariadi

H023 : Tidak ada hubungan antara safety performance

feedback dengan kepatuhan dalam penerapan

kewaspadaan universal pada petugas kesehatan

terhadap kejadian needle stick injury petugas

kesehatan di RSUD. Tugurejo

Ha23 : Ada hubungan antara safety performance

feedback dengan kepatuhan dalam penerapan

kewaspadaan universal pada petugas kesehatan

terhadap kejadian needle stick injury petugas

kesehatan di RSUD. Tugurejo

Ho24 : Tidak ada hubungan antara informasi dan

pelatihan (training) dengan kepatuhan dalam

penerapan kewaspadaan universal pada petugas

kesehatan terhadap kejadian needle stick injury

petugas kesehatan di RSUP Dr. Kariadi


57

Ha24 : Ada hubungan antara informasi dan pelatihan

(training) dengan kepatuhan dalam penerapan

kewaspadaan universal pada petugas kesehatan

terhadap kejadian needle stick injury petugas

kesehatan di RSUP Dr. Kariadi

H025 : Tidak ada hubungan antara informasi dan

pelatihan (training) dengan kepatuhan dalam

penerapan kewaspadaan universal pada petugas

kesehatan terhadap kejadian needle stick injury

petugas kesehatan di RSUD Tugurejo

Ha25 : Ada hubungan antara informasi dan pelatihan

(training) dengan kepatuhan dalam penerapan

kewaspadaan universal pada petugas kesehatan

terhadap kejadian needle stick injury petugas

kesehatan di RSUD Tugurejo

H026 : Tidak ada hubungan antara pengalaman

pajanan sebelumnyadengan kepatuhan dalam

penerapan kewaspadaan universal pada petugas

kesehatan terhadap kejadian needle stick injury

petugas kesehatan di RSUP Dr. Kariadi

Ha26 : Ada hubungan antara pengalaman pajanan

sebelumnyadengan kepatuhan dalam penerapan

kewaspadaan universal pada petugas kesehatan


58

terhadap kejadian needle stick injury petugas

kesehatan di RSUP Dr. Kariadi

H027 : Tidak ada hubungan antara pengalaman

pajanan sebelumnyadengan kepatuhan dalam

penerapan kewaspadaan universal pada petugas

kesehatan terhadap kejadian needle stick injury

petugas kesehatan di RSUD Tugurejo

Ha27 : Ada hubungan antara pengalaman pajanan

sebelumnyadengan kepatuhan dalam penerapan

kewaspadaan universal pada petugas kesehatan

terhadap kejadian needle stick injury petugas

kesehatan di RSUD Tugurejo

Anda mungkin juga menyukai