Anda di halaman 1dari 42

BAB IV.

SEJARAH PETERNAKAN

1.1 DOMESTIKASI TERNAK

Domestikasi atau penjinakan tumbuhan dan hewan merupakan markah awal perkembangan pertanian
secara luas. Proses belajar menanam dan beternak berawal dari domestikasi aneka tumbuhan dan hewan dari
kehidupannya yang liar. Hikayatnya dimulai pada masa Neolitik sebagaimana ditandai oleh sejumlah situs
pertanian, diantaranya di Asia Barat Daya dan di Asia Tenggara.
Usaha peternakan di Indonesia telah dikenal sejak dahulu kala. Adanya bangsa ternak asli di seluruh
Indonesia seperti sapi, kerbau, kambing, domba, babi, ayam dan itik, memberikan petunjuk bahwa penduduk
pertama Indonesia telah mengenal ternak sekurang-kurangnya melalui pemanfaatannya sebagai hasil perburuan.
Pentahapan sejarah usaha peternakan di Indonesia, disesuaikan dengan perjalanan sejarah. Kedatangan bangsa-
bangsa Cina, India, Arab, Eropa dan lain-lain, maka ternak kuda dan sapi yang dibawa serta bercampur darah
dengan ternak asli. Terjadilah kawin silang yang menghasilkan ternak keturunan atau peranakan dipelbagai daerah
Indonesia. Disamping itu, dalam jumlah yang banyak masih terdapat ternak asli.
Dengan demikian terjadilah tiga kelompok besar bangsa ternak yaitu kelompok pertama adalah bangsa
ternak yang masih tergolong asli, ialah ternak yang berdarah murni dan belum bercampur darah dengan bangsa
ternak luar; kelompok kedua adalah kelompok "peranakan", yaitu bangsa ternak yang telah bercampur darah
dengan bangsa ternak luar; kelompok ketiga adalah bangsa ternak luar yang dikembangbiakan di Indonesia, baik
murni dari satu bangsa atau yang sudah bercampur darah antara sesama bangsa ternak "luar" tersebut. Bangsa
ternak demikian dikenal dalam dunia peternakan sebagai ternak "ras" atau ternak "negeri".
Topik ini bermanfaat bagi mahasiswa yakni sebagai titik awal dalam mempelajari mata kuliah pengantar
ilmu peternakan, setelah mempelajari modul ini mahasiswa akan mendapat materi lanjutan berupa regulasi
peternakan di Indonesia dan taksonomi bangsa /jenis ternak yang didomestikasi. Topik ini memiliki relevansi
dengan mata kuliah lainnya terutama dengan mata kuliah dasar ilmu ternak dan ilmu produksi ternak. Setelah
mempelajari modul ini pembaca (mahasiswa) diharapkan memiliki kompetensi akhir yakni dapat menjelaskan
domestikasi dan sejarah usaha peternakan di Indonesia.

1.1.1 Pengertian Domestikasi.


Domestikasi secara etimologis, berasal dari kata Latin domus atau rumah tangga : penjinakan hewan liar
atau hewan buas dsb: binatang liar yg baru ditangkap di hutan agar dapat dimanfaatkan kegunaannya oleh
manusia atau transformasi dari gaya hidup “liar” menuju yang berbudaya yang terjadi ketika manusia mulai
berdomisili secara tetap, mulai terbatasi horison-horisonnya. Sehingga dalam kaitan dengan ternak maka
domestikasi berarti proses penjinakan hewan-hewan yang hidup liar menjadi hewan-hewan piaraan. Kegiatan atau
proses domestikasi belum berakhir karena manusia masih juga menambah jenis-jenis hewan piaraan yang
baru,misalnya rubah untuk diambil bulunya.

1.1.2 Landasan Dalam Memahami Domestikasi.


Diperhadapkan pada upaya melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan hidup, transformasi
sumber hayati tersebut nampak perlu secara bijaksana diserasikan dengan berbagai kegiatan dalam payung
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Dampak apa pun yang mungkin dapat ditimbulkan oleh suatu
kegiatan, seyogyanya telah diperhitungkan secara cermat semenjak tahap perencanaan kegiatan, sehingga langkah
pengendaliannya diantisipasi secara dini.

Bertolak dari uraian di atas, selanjutnya akan dipaparkan suatu deskripsi hasil penalaran tentang
domestikasi tumbuhan dan hewan. Sebagai suatu elaborasi pemikiran terbatas waktu, deskripsi dimaksud terfokus
pada upaya menjawab: apa (ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi) domestikasi tumbuhan
dan hewan., sebagai berikut :

4.1.2.1 Landasan Ontologis


Istilah ontologi berasal dari bahasa yunani yakni ta onta dan logi. Ta onta berarti berada dan logi berarti
ilmu pengetahuan atau ajaran, sehingga ontologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mengkaji tentang keberadaan
suatu obyek

Dalam lingkup pengalaman manusia, tumbuhan dan hewan termasuk jazad renik telah dan sementara
menjadi objek transformasi dari kehidupannya yang liar menjadi jinak. Transformasi yang dikenal sebagai
domestikasi ini, menurut Wallack (2001), telah berlangsung lebih dari 10.000 tahun terakhir, bagi ratusan jenis
tumbuhan dan hewan, yang kini menjadikannya andalan dalam memenuhi kebutuhan manusia. Diperhitungkan 61
% bahan kering edibel dari tanaman utama dunia berasal dari gandum, jagung , dan padi. Selebihnya dari sekitar
100 spesies tumbuhan, antara lain : kedelai, tebu, sorghum, kentang, dan ubi kayu. Di samping itu, sekitar 95 %
dari produk daging, susu, dan telur unggas dihasilkan oleh sebanyak lima spesies hewan ternak. Sementara produk
akuakultur berasal dari sekitar 200 spesies biota air (Pullin, 1994). Selain sejumlah spesies pohon kayu dan
puluhan pohon buah-buahan yang telah didomestikasi, Leakey (1999) mengidentifikasi 17 spesies buah-buahan
tropis yang potensial dikembangkan dalam sistem agroforestry dan pada bidang peternakan di Indonesia.
Pemerintah telah mengkampanyekan pemanfaatan jenis Satwa Harapan sebagai sumber protein dimasa
mendatang.

Domestikasi sebagai proses perkembangan organisme yang dikontrol manusia, oleh Evans (1996)
dinyatakan mencakup perubahan genetik (tumbuhan) yang berlangsung sinambung semenjak dibudidayakan.
Dengan demikian, domestikasi berkaitan dengan seleksi dan manajemen oleh manusia, dan tidak hanya sekedar
pemeliharaan saja. Spesies organisme eksotik yang dipindahkan dari habitat aslinya ke wadah budidaya,
karakteristik genetiknya terubah dengan maksud tertentu, atau sebaliknya, melalui sembarang cara/manajemen
pemeliharaan, seleksi dan manajemen genetik (Pullin, 1994). Dalam hal ini, mendomestikasi adalah
menaturalisasikan biota kekondisi manusia dengan segala kebutuhan dan kapasitasnya.

Dalam domestikasi tanaman, Evans (1996) mengungkapkan secara luas berbagai perubahan yang terjadi
pada penampilan tumbuhan, mulai dari yang menyangkut retensi benih hingga ke isi DNA. Demikian halnya
perubahan bentuk dan ukuran pada sejumlah tanaman, serta laju perkembangan dan pertumbuhannya. Lebih dari
pada itu, sejumlah tumbuhan yang didomestikasi ternyata kehilangan substansi racun sebagai unsur proteksi
alaminya terhadap hama dan penyakit. Tampaknya, perubahan-perubahan ini terpaut dengan penimbulan
(mengefisiensi) dan penenggelaman (mendefesiensi) satu atau lebih unsur genetik seturut dengan faktor
lingkungan budidaya yang dikenakan. Hal yang kemudian membuka peluang kemodifikasi genetik ini, antara lain
ditandai ketika tanaman tebu Saccharum officinarum disilangkan dengan S. spontaneum yang memiliki genyang
tahan atas penyakit cacar yang mewabah pada tahun 1880.

Seperti halnya hewan, perpindahan lokasi dari tumbuhan yang didomestikasi berlangsung secara luar
biasa, menyebar luas dan jauh dari asalnya, bahkan terkadang melimpah di kawasan yang didatanginya.
Dicontohkan oleh Wallack (2001), gandum yang berasal dari Timur Tengah, kini diproduksi besar-besaran di Cina,
India, dan Amerika. Jagung yang asalnya Meksiko, tapi Brasilia menumbuhkannya tiga kali lebih banyak, China
sebanyak enam kali lebih banyak, dan Amerika sebanyak 10 kali. Kentang yang mulainya di Andes, kini produktor
utamanya adalah Cina, Rusia dan Polandia. Selain dengan jelas menunjukkan difusi dan adopsi teknologi berkenaan
dengan hasil domestikasi, tapi hal ini menunjukkan juga kemampuan hasil domestikasi dalam mengkolonisasi
daerah baru.

Subjek domestikasi, seperti menurut Evans (1996) terhadap tumbuhan, menarik minat sejumlah disiplin
ilmu, diantaranya antropologi, arkeologi, biokimia, genetika, geografi, linguistik, biologi molekuler, fisiologi, dan
sosiologi. Dengan demikian, banyak aspek domestikasi telah diungkapkan selama ini, misalnya mengenai sejarah
dan keterkaitannya dengan kebudayaan, demikian pula dengan permasalahan lingkungan hidup yang
ditimbulkannya. Ringkasnya, domestikasi tumbuhan dan hewan tidak saja sekaligus mendomestikkan
pengelompokkan manusia (humandkind) dalam suatu permukiman, tapi juga menurut Wallack (2001), manusia
secara mutlak kini tergantung pada hasil domestikasi yang dilakukannya.

Uraian terdahulu mengungkapkan bahwa ternyata ujud hakiki dari apa yang disebut domestikasi
tumbuhan dan hewan sebagai masukan/input, proses, dan hasilnya/output mengandung banyak aspek dan
bermatra luas. Penjelajahan selanjutnya terhadap hal ini melalui pendekatan multi-disipliner, dipandang sebagai
pilihan yang memihak pada perwujudan fungsi sains dalam kehidupan manusia.

1.1.2.1 Landasan Epistemologis


Epistemologi berasal dari kata episteme yang berarti “pengetahuan” dan logos yang berarti “teori”. Jadi
epistemologi dapat diartikan sebagai teori pengetahuan. Dalam ilmu filsafat, epistemologi dikategorikan sebagai
cabang ilmu yang mempelajari asal mula pengetahuan, struktur, metode dan validitas pengetahuan (Nasoetion,
1999; Keraf dan Dua, 2001; Thoyibi, 1999; Mandey, 2000).

Mengutip uraian Suriasumantri (2000), tahap mistis adalah masa di mana sikap manusia menunjukkan
keberadaaannya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya. Sejalan dengan perkembangan penalaran,
upaya manusia dalam memenuhi rasa ingin tahu dan kebutuhannya, mengikuti tahapan perkembangan
kebudayaan yang meliputi tahap mistis, tahap ontologis, dan tahap fungsional. Tahap ontologis adalah masa di
mana sikap manusia mengambil jarak dari objek di sekitarnya serta mulai melakukan telaahan terhadap objek
tersebut. Tahap fungsional adalah masa di mana sikap manusia selain memiliki pengetahuan berdasarkan telaahan
terhadap objek-objek sekitarnya, tapi juga memfungsionalkan pengetahuan tersebut bagi kepentingan dirinya dan
lingkungan hidupnya.

Proses domestikasi tumbuhan dan hewan, nampaknya mengikuti tahapan sikap manusia sebagaimana
dikemukakan terdahulu. Dengan demikian, pengetahuan menjinakkan tumbuhan dan hewan diawali pada tahap
mistis ketika manusia bersikap menghadapi kekuatan yang mengepungnya sekaligus berupaya mempertahankan
kehidupannya. Pada tahap ontologis di mana ilmu mulai berkembang, manusia mengambil jarak dengan objek
domestikasi, bertindak sebagai subjek yang mengamati, menelaah dan memanfaatkan. Mengawalinya, tahap
ontologis melahirkan pengetahuan yang berakar pada pengalaman berdasarkan akal sehat yang didukung oleh
metode mencoba-coba, namun secara historis tercatat tingkat teknologinya tinggi meskipun tetap terbelakang
dalam bidang keilmuan (Suriasumantri, 2000). Tumbuhnya pengetahuan yang tergolong seni terapan ini, seperti
antara lain dalam peradaban Mesir kuno, Cina dan India, mengikutsertakan perkembangan awal pertanian dalam
mendomestikasi tumbuhan dan hewan. Selanjutnya, telaahan terhadap objek sekitar seperti domestikasi, didekati
secara rasional yang mengandalkan penalaran deduktif, dan kemudian melalui metode ilmiah yang
menggabungkan penalaran deduktif dan pengalaman empiris.

Domestikasi tumbuhan dan hewan secara aktual dilakukan manusia berdasarkan prinsip-prinsip dan
konsep-konsep yang ditemukan dengan menggunakan metode ilmiah. Dalam hal ini, prinsip dan konsep
mendomestikasi disusun dengan menerapkan penalaran deduktif, sementara kesesuaiannya dengan fakta
diverifikasi dengan menerapkan penalaran induktif.

Berkaitan dengan masalah objek empiris dalam domestikasi tumbuhan dan hewan, ada dua kelompok
pertanyaan yang teridentifikasi berbeda menurut bidang ilmu dan menurut bidang teknologi. Dalam bidang ilmu,
objeknya adalah gejala yang sudah ada, sementara dalam bidang teknologi, objeknya adalah gejala yang ingin
diciptakan. Kejelasan tentang struktur dan bentuk susunan serta hubungan antar bagian, merupakan prinsip dan
konsep yang dipertanyakan dalam bidang ilmu. Struktur suatu gejala yang dikehendaki agar suatu fungsi yang
diinginkan terlaksana beserta cara membentuk struktur dimaksud, merupakan konsep yang ditangani dan ingin
dihasilkan dalam bidang teknologi.
4.1.2.2 Landasan aksiologis

Aksiologi adalah ilmu yang mempertanyakan nilai suatu obyek yang akan dikaji. Secara signifikan, hasil
transformasi tumbuhan dan hewan yang dilakukan dalam lingkup domestikasi, telah memberi manfaat dan
membawa berkah bagi manusia. Dari upaya untuk sekedar memenuhi kepentingan praktis, domestikasi tumbuhan
dan hewan berkembang aktual untuk tujuan meningkatkan produksi dan mengembangkan kualitas produk dari
beragam usaha pertanian, kehutanan, peternakan dan perikanan. Dengan demikian, domestikasi sumber hayati ini
berkontribusi besar dalam mewujudkan tujuan ketersediaan pangan, termasuk ketika swasembada pangan
pernah dicapai Indonesia.

Diperhadapkan pada isu dunia mengenai lingkungan hidup yang cenderung mengalami degradasi,
domestikasi organisme diarahkan pula untuk konservasi genetik dan/atau plasma nuftah. Sejalan dengan itu,
konservasi ekosistem diupayakan, khususnya hutan dan laut. Sementara FAO mencatat bahwa di samping
sebanyak enam keuntungan domestikasi NWTP (non-wood timber products), terdapat empat keadaan merugikan
(Simon, 1996). Keuntungannya meliputi produksi yang diandalkan, mengurangi tekanan pada hutan, menghasikan
pendapatan, mudah panen, perbaikan laju pertumbuhan, dan peningkatan nilai tanaman. Keadaan yang
merugikan ditunjukkan pada peningkatan kerentanan terhadap hama, kehilangan fungsi ekologis, ketergantungan
pada sumber benih liar yang baru, dan menambah nilai keuntungan pada korporasi/perusahan besar yang ada.

Tanpa mengabaikan sejumlah kerugian, sesungguhnya tumbuhan dan hewan yang didomestikasi
menerima perlakuan istimewa yang memungkinkan potensi gennya diberdayakan dengan berbagai cara
manipulasi. Meskipun demikian, proses domestikasi yang berlangsung juga merupakan gangguan fisik-biologis
terhadap integritas spesies. Transformasi dilakukan dengan risiko yang tidak saja sukar diramalkan tapi juga yang
kurang menjadi perhatian. Untuk itu, selain dibutuhkan rumusan bioetik secara spesifik, nilai-nilai universal
menghargai alam perlu dijabarkan terinci dalam memandu aktivitas domestikasi tumbuhan dan hewan
selanjutnya.

Sepintas mencermati domestikasi tumbuhan dan hewan, maka pengakuan terhadap berbagai
keberhasilan manusia selama ini dalam mentransformasi fungsi dan struktur elemen daur hayati. Transformasi
yang telah dan sementara berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan pangan ini, menyertakan kebutuhan ruang
yang bersesuaian bagi hasil transformasi tersebut. Sesuai kapasitas rasional dari lingkungan beserta sumber
dayanya, seharusnya setiap bagian harus dapat berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Untuk itu ke depan, serangkaian upaya dibutuhkan dalam memantapkan pengembangan domestikasi sumber
hayati dengan menerapkan pendekatan multi-disipliner berdasarkan metodologi sistem.

1.1.3 Cara-cara dan Tahapan Domestikasi.


Semua hewan ternak yang dibudidaya manusia sekarang ini mengalami proses domestikasi beribu tahun
yang lalu. Mengenai "approximate dates" dan lokasi-lokasi dari "original domestication", dapat diketahui dari
pelajaran sejarah domestikasi.

Berdasarkan hasil penalaran manusia selama ini, tumbuhan dan hewan didomestikasi dengan beragam
cara, dari yang sederhana hingga ke cara yang sangat maju ditopang dengan perkembangan bioteknologi.
Sederhananya, seperti untuk tanaman buah-buahan menurut Demchik dan Streed (2002) dengan cara bertahap
yakni :

a) Wildcrafting : adalah praktek panen tanaman dari alam atau habitat "liar", untuk makanan atau obat tujuan.
Ini berlaku untuk tanaman hidup dimanapun mereka dapat ditemukan, dan tidak terbatas pada suatu daerah.
Pertimbangan etis sering terlibat, seperti melindungi spesies yang terancam punah..
b) Stand Improvement: Secara sederhana, perbaikan keberadaan adalah pengobatan, atau tindakan, yang
meningkatkan pertumbuhan pohon yang terbaik dengan menghapus semua pohon yang ada di disekitarnya.
c) Penanaman/Pemeliharaan.
d) Seleksi, Pemuliaan, dan Penggunaan Stok Andal dalam Proses Budidaya.
e) Bioteknologi sebagai penerapan biologi molekuler, genetika molekuler dan rekayasa genetika, transformasi
gen merubah organisme eksotik menjadi (Genetically Modified Organism (GMO) dan Transgenic Organism
(TO).

Metode dan/atau teknik domestikasi tumbuhan dan hewan dengan pendekatan bioteknologi
dideskripsikan secara luas dan lengkap dalam sejumlah sumber informasi. Mengacu pada Winter et al (1998) dan
Madigan et al (2000), rekayasa genetika dinyatakan sebagai upaya teknik memodifikasi penampilan genetika sel
dan organisme melalui manipulasi suatu gen dengan menggunakan teknik laboratorium. Ini merupakan sintesis
dari genetika molekuler, biokimia dan mikrobiologi, terutama dalam aspek yang mencakup isolasi, manipulasi, dan
ekspresi materi genetik. Selain itu, rekayasa genetika mempunyai aplikasi luas tidak hanya pada penelitian dasar
tetapi juga pada penelitian aplikatif, antara lain untuk menghasilkan suatu protein dalam jumlah besar dan
mentransfer suatu material genetik untuk “menciptakan” organisme-organisme (tanaman, hewan, dan
mikrorganisme) dengan ciri-ciri “yang diinginkan”.

Lebih jauh terungkap bahwa dalam rekayasa genetika, urutan DNA tertentu dari organisme yang berbeda
bahkan dari spesies yang berbeda dapat berintegrasi menjadi suatu DNA hibrida (rekombinasi DNA). Berkaitan
dengan ini, kloning molekuler dimungkinkan melalui serangkaian proses isolasi, pemurnian, dan pereplikasian
fragmen DNA khusus. Selain itu, pertukaran material genetik di antara spesies yang secara alamiah tidak terjadi,
membuka peluang perubahan/make up genetik suatu organisme. Dalam kultur jaringan, rekayasa genetika
menawarkan suatu metode langsung untuk mengintroduksi suatu sifat tertentu melalui baik elektroforasi maupun
penembakan molekul DNA atau melalui Agrobacterium tumefaciens. Dalam pemuliaan hewan dimungkinkan untuk
mentransfer gen yang membawa sifat secara langsung ke dalam hewan. Gen dapat diintroduksi ke dalam hewan
melalui vektor retrovirus, mikro-injeksi, dan embryonic-stem cells, dimana melibatkan transfer gen ke dalam sel
telur yang terfertilisasi atau ke dalam sel dari embrio tingkat awal. Demikianlah untuk tumbuhan dan hewan
termasuk jazad renik, rekayasa genetika adalah suatu cara domestikasi dalam manajemen genetik yang dapat saja
mengundang masalah seperti dalam hal ketidakstabilan vektor yang digunakan, ekspresi gen yang tidak
sepenuhnya, dan gangguan regulasi gen.

Sebagaimana dikemukakan terdahulu, wujud dari domestikasi tumbuhan dan hewan bermatra luas. Selain
cara dan/atau metode yang mengantar pada penemuan organisme domestik (GMO dan TO), tahapan aktivitas
domestikasi menurut Simon (1996) akan sangat ditentukan oleh faktor-faktor biologi, kebijakan, pasar, dan sosial.

Pemanfaatan selanjutnya melalui budidaya dan bahan pangan yang dihasilkan, membutuhkan metode
aplikasi yang berjangkauan komprehensif dan berlandasan aksiologis memadai. Dalam bidang akuakultur, Pullin
(1994) menyatakan bahwa permasalahan utama yang dihadapi ilmuwan dan pengambil keputusan adalah efek
jangka panjang pada keragaman hayati akuatik yang tidak dapat diprediksi secara tepat berkenaan dengan
kemungkinan lolosnya GMO dari wadah budidaya. Hal yang sama dengan intensitas beragam dapat saja berlaku
dalam kegiatan budidaya pertanian lainnya. Untuk itu, Peraturan Pemerintah RI No.27 Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup menyatakan usaha dan/atau kegiatan berdampak besar dan penting
terhadap lingkungan hidup, antara lain : (1) introduksi suatu jenis tumbuhan baru atau jazad renik yang dapat
menimbulkan penyakit baru terhadap tanaman, (2) introduksi suatu jenis hewan baru yang dapat mempengaruhi
kehidupan hewan yang telah ada, (3) penggunaan bahan hayati dan nir-hayati mencakup pengertian perubahan.
Gambar 4.1. Skema pengambilan keputusan untuk pengembangan budidaya dan dampak lingkungannya

Uraian tersebut di atas membawa kepemikiran bahwa aktivitas domestikasi suatu organisme adalah suatu
kesatuan sistem yang tersusun oleh sejumlah elemen. Sesuai pendekatan multi-disipliner yang diajukan sebagai
pilihan dalam menjelajahinya, maka penerapan pengembangan aktivitas tersebut layaknya dilakukan dengan
metodologi sistem.

Sehubungan dengan hal ini, suatu bentuk skema pengambilan keputusan untuk mengembangkan
budidaya yang menggunakan organisme domestic disajikan skema di atas yang dimodifikasi dari Pullin (1994).
Skema ini menunjukkan pengambilan keputusan dapat didasarkan atas hasil dari evaluasi yang prosesnya akurat,
meliputi efek sosial, efek lingkungan, dan kelayakan aspek teknis budidaya.
Menurut Zairin (2003), ada beberapa tingkatan yang dapat dicapai manusia dalam upaya penjinakan
hewan ke dalam suatu sistem budidaya. Tingkatan dimaksud, sebagaimana berlangsung pada ikan, adalah sebagai
berikut:

a) Domestikasi sempurna, yaitu apabila seluruh daur hidup sudah dapat berlangsung dalam sistem
budidaya. Contoh : Ikan asli Indonesia gurami (Osphroneus gouramy), tawes (Puntius javanicus), kerapu,
bandeng, dan kakap putih.
b) Domestikasi hampir sempurna, yaitu apabila seluruh daur hidupnya dapat berlangsung dalam sistem
budidaya, tapi keberhasilannya masih rendah. Contoh : Ikan asli Indonesia asalah : betutu, balashark,
dan arowana.
c) Domestikasi belum sempurna, yaitu apabila baru sebagian daur hidupnya dapat berlangsung dalam
sistem budidaya. Contohnya antara lain : ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) dan tuna.

Tingkatan kesempurnaan domestikasi hewan umumnya, sangat ditentukan oleh pengetahuan tentang
keseluruhan aspek biologi dan ekologi hewan tersebut. Perilaku satwa liar di habitat alaminya, daur hidup dan
dinamika pertumbuhannya merupakan aspek biologi yang antara lain menunjang keberhasilan domestikasi.

1.1.4 Peranan Domestikasi bagi Manusia


Domestikasi sebagai proses perkembangan organisme yang dikontrol manusia, oleh Evans (1996)
dinyatakan mencakup perubahan genetik (tumbuhan/hewan) yang berlangsung kontinyu sejak dibudidayakan.
Dengan demikian, domestikasi berkaitan dengan seleksi dan manajemen oleh manusia, dan tidak hanya sekedar
pemeliharaan saja. Spesies eksotik – organisme yang dipindahkan dari habitat aslinya ke wadah budidaya,
karakteristik genetiknya terubah dengan maksud tertentu, atau sebaliknya, melalui sembarang cara pemeliharaan,
seleksi dan manajemen genetik (Pullin, 1994). Dalam hal ini, mendomestikasi adalah menaturalisasikan biota ke
kondisi manusia dengan segala kebutuhan dan kapasitasnya.

Kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa difahami orang sebagai
budidaya tanaman atau bercocok tanam (bahasa Inggris: crop cultivation) serta pembesaran hewan ternak
(raising), meskipun cakupannya dapat pula berupa pemanfaatan mikroorganisme dan bioenzim dalam pengolahan
produk lanjutan, seperti pembuatan keju dan tempe, atau sekedar ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan
atau eksploitasi hutan. Sumbangan domestikasi bagi kehidupan manusia berupa pangan, sandang dan papan,
misalnya dari aspek peternakan sumbangan domestikasi adalah sebagai berikut :
 Ayam menyediakan dua keperluan pokok diet manusia sebagai sumber protein: daging ayam dan telur;
 Domestikasi sapi dan kambing dan penggunaan susunya untuk konsumsi manusia di Asia dan Afrika Timur
Laut sudah dimulai sejak 8.000 - 6.000 SM. Sebelum sapi dijinakkan mungkin dengan jalan diburu oleh orang-
orang primitif. Telah bertahun tahun sapi digunakan sebagai ternak beban dan sebagai sumber makanan,
untuk upacara agama, upacara korban. Susu sapi dan produknya telah digunakan sebagai makanan, bahan
upacara-upacara korban, kosmetik dan obat-obatan.Orang-orang India menternakkan sapi sekitar 2.000 SM,
menteganya digunakan sebagai bahan makanan dan sebagai bahan persembahan pada Tuhannya. Mentega
diubah menjadi Ghee (= butter oil). Di India sapi dianggap sebagai hewansuci. Catatan dari Mesir pada tahun
300 SM menunjukkan bahwa susu, mentega dan keju telah digunakan secara meluas. Sapi diperah dari
samping, tidak dari belakang seperti orang-orang Somalia, namun demikian kedua bangsa tersebut memerah
sapinya dengan menempatkan pedetnya di depan sapi yang sedang di perah. Perkembangan yang besar
dalam peternakan sapi perah mulai tahun Masehi sampai pertengahan 1850-an terjadi di Eropa. Bangsa-
bangsa sapi perah yang penting di Amerika Serikat, Eropa dan Australia aslinya berasal dari Eropa.
 Kuda sebagai alat transportasi
 Domba sebagai penghasil wool untuk pakaian

1.1.5 Sejarah Perkembangan Peternakan Zaman Kerajaan Tua.


Usaha peternakan di Indonesia telah dikenal sejak dahulu kala. Namun pengetahuan tentang kapan
dimulainya proses domestikasi dan pembudidayaan ternak dari hewan liar, masih langka.

Adanya bangsa ternak asli di seluruh Indonesia seperti sapi, kerbau, kambing, domba, babi, ayam dan itik,
memberikan petunjuk bahwa penduduk pertama Indonesia telah mengenal ternak sekurang-kurangnya melalui
pemanfaatannya sebagai hasil perburuan. Dengan kedatangan bangsa-bangsa Cina, India, Arab, Eropa dan lain-
lain, maka ternak kuda dan sapi yang dibawa serta bercampur darah dengan ternak asli. Terjadilah kawin silang
yang menghasilkan ternak keturunan atau peranakan dipelbagai daerah Indonesia. Disamping itu, dalam jumlah
yang banyak masih terdapat ternak asli. Dengan demikian terjadilah tiga kelompok besar bangsa ternak yaitu
kelompok pertama asalah bangsa ternak yang masih tergolong asli, ialah ternak yang berdarah murni dan belum
bercampur darah dengan bangsa ternak luar. Kelompok kedua adalah kelompok "peranakan", yaitu bangsa ternak
yang telah bercampur darah dengan bangsa ternak luar. Kelompok ketiga adalah bangsa ternak luar yang masih
diperkembang-biakan di Indonesia, baik murni dari satu bangsa atau yang sudah bercampur darah antara sesama
bangsa ternak "luar" tersebut. Bangsa ternak demikian dikenal dalam dunia peternakan sebagai ternak "ras" atau
ternak "negeri".

Pentahapan waktu didalam mempelajari sejarah usaha peternakan di Indonesia, disesuaikan dengan
perjalanan sejarah, untuk melihat perkembangan usaha peternakan dalam kurun waktu suatu tahap sejarah.
Didalam kurun waktu tersebut dapat dipelajari sejauh mana pemerintah dikala itu memperhatikan perkembangan
bidang peternakan atau segi pemanfaatan ternak oleh penduduk diwaktu itu.

Di zaman kerajaan-kerajaan tua di Indonesia, usaha peternakan belum banyak diketahui. Beberapa
petunjuk tentang manfaat ternak di zaman itu serta perhatian pemerintah kerajaan terhadap bidang peternakan
telah muncul dalam pelbagai tulisan prasasti atau dalam kitab-kitab Cina Kuno yang diteliti dan dikemukakan oleh
para ahli sejarah. Sangat menarik apa yang dikatakan oleh para ahli sejarah tentang kegunaan ternak di zaman-
kerajaan Tarumanegara, Sriwijaya, Mataram, Kediri, Sunda, Bali dan Majapahit. Ternak dizaman kerajaan-kerajaan
tua ini telah memiliki tiga peranan penting dalam masyarakat dan penduduk, yaitu sebagai perlambang status
sosial, misalnya sebagai hadiah Raja kepada penduduk atau pejabat yang berjasa kepada raja. Peranan kedua
adalah sebagai barang niaga atau komoiti ekonomi yang sudah diperdagangkan atau dibarter dengan kebutuhan
hidup lainnya. Dan peranan ketiga adalah sebagai tenaga pembantu manusia baik untuk bidang pertanian maupun
untuk bidang transportasi. Kerajaan-kerajaan dimaksud adalah :

1. Tarumanegara.

Kerajaan yang berpusat di Jawa Barat ini telah memberikan perhatian terhadap ternak, terutama ternak
besar. Hal ini terdapat pada prasasti batu. Pada upacara pembukaan saluran Gomati yang dibuat sepanjang sebelas
kilometer, Raja Purnawarman yang memerintah Tarumanegara dimasa itu telah menghadiahkan seribu ekor sapi
kepada kaum Brahmana dan para tamu kerajaan.

2. Sriwijaya.

Salah satu kegemaran penduduk Sriwijaya adalah permainan adu ayam. Oleh karena itu ternak ayam
sudah mendapat perhatian. Disamping itu ternak babi juga banyak dipelihara oleh penduduk. Sebagaimana kita
tahu bahwa kerajaan Siwijaya sangat luas daerah kekuasaannya dimasa itu. Terdapat petunjuk bahwa ternak
kerbau dan kuda sudah diternakkan diseluruh kerjaan Sriwijaya, ternak sapi baru terbatas di Pulau Jawa, Sumatera
dan Bali.

3. Mataram.

Ternak sapi dan kerbau adalah dua jenis ternak besar yang memperoleh perhatian raja-raja Mataram
pada abad ke VIII Masehi. Kedua jenis ternak ini memiliki hubungan erat dengan pertanian, disamping perlambang
status. Pada tulisan prasasti Dinaya diceritakan bahwa diwaktu persemian sebuah arca didesa Kanjuruhan dalam
tahun 760 M, Raja Gayana yang memerintah Kerajaan Mataram dimasa itu telah menghadiahkan tanah, sapi dan
kerbau kepada para tamu kerajaan dan kepada kaun Brahmana. Terlihat disini bahwa hadiah kerajaan dalam
bentuk ternak, memiliki kesamaan dengan apa yang dilakukan oleh raja Purnawarman dari kerajaan
Tarumanegara.

4. Kediri.

Kediri adalah suatu kerajaan yang rakyatnya makmur dan sejahtera, karena kerajaan ini telah memajukan
pelbagai bidang kehidupan termasuk peternakan. Hal ini terdapat didalam kitab Cina Ling-wai-tai-ta yang disusun
oleh Chou-K'u-fei dalam tahun 1178 M. Dikatakan bahwa rakyat kerajaan Kediri hidup dalam kemakmuran dan
kesejahteraan karena pemerintah Kerajaan memperhatikan dan memajukan bidang pertanian, peternakan,
perdagangan dan penegakan hukum.

5. Sunda

Dimasa kerajaan Sunda, kita mulai mengetahui adanya tataniaga ternak. Hal ini disebabkan
berkembangnya 6 kota pelabuhan didaerah kekuasaan Kerajaan Sunda, yaitu Bantam, Pontang, Cigede, Tamgara,
Kalapa dan Cimanuk. Hasil pertanian termasuk peternakan sangat ramai. Semua ini diceritakan dalam buku
petualang Portugis, Tome Pires. Dikatakan bahwa kemakmuran kerajaan Sunda terlihat dari hasil pertanian yang
diperdagangkan dikota-kota pelabuhan, meliputi lada, sayur-mayur, sapi, sapi, kambing, domba, babi, tuak dan
buah-buahan. Karena kerajaan Sunda juga memajukan kesenian dan permainan rakyat diwaktu itu, maka terdapat
petunjuk bahwa permainan rakyat adu-domba telah berkembang dizaman kerajaan Sunda.

6. B a l i.

Di zaman kerajaan Bali, kita mulai mengetahui adanya penggunaan tanah penggembalaan ternak atau
tanah pangonan. Rakyat kerajaan Bali dizaman pemerintah raja Anak Wungsu (1049-1077 M), memohon kepada
raja untuk dapat menggunakan tanah milik raja bagi tempat penggembalaan ternak, karena tanah milik mereka tak
dapat lagi menampung ternak yang berkembang begitu banyak. Semua jenis ternak telah diternakkan oleh
penduduk kerajaan Bali, yaitu kambing, kerbau, sapi, babi, kuda, itik, ayam dan anjing. Raja Anak Wungsu
mengangkat petugas kerajaan untuk mengurus ternak kuda milik kerajaan (Senapati Asba) dan petugas urusan
perburuan hewan (Nayakan). Dimasa kerajaan Bali inilah ternak sapi Bali yang sangat terkenal dewasa ini mulai
berkembang dengan baik.

7. Majapahit.

Di zaman kerajaan Majapahit kita mulai diperkenalkan dengan teknologi luku yang ditarik sapi dan kerbau.
Penggunaan tenaga ternak sebagai tenaga tarik pedati dan gerobak meliputi ternak kuda, sapi dan kerbau. Hasil
pertanian melimpah sehingga rakyat Majapahit hidup makmur dibawah pemerintahan raja Hayam Wuruk dan
Maha Patih Gajah Mada. Kerajaan-kerajaan di Pulau Sumatra, Jawa, Bali, Lombok dan Sumbawa, yang berada
dibawah kekuasaan Majapahit juga meniru tehnik pertanian sawah dengan penggunaan tenaga ternak dari
kerajaan Majapahit. Namun penggunaan ternak sebagai tenaga tarik sudah meluas keseluruh daerah kekuasaan
Majapahit lainnya di Nusantara.
Menjelang berakhirnya kerajaan Majapahit belum terdapat petunjuk bahwa teknologi luku dengan ternak
sapi dan kerbau sebagai tenaga tarik sudah masuk ke Kalimantan, Sulawesi dan Kepulauan Indonesia bagian timur
lainnya. Maka dapatlah disimpulkan bahwa teknologi sawah dengan sapi dan kerbau sebagai penarik luku baru
sempat disebarkan dipulau-pulau Sumatra, Jawa, Bali, Lombok dan Sumbawa dizaman Majapahit.

Disamping penggunaan ternak dalam bidang pertanian, ternak gajah dan sapi adalah ternak "kebesaran",
karena raja-raja Majapahit bila keluar istana dengan naik gajah kehormatan atau naik kereta kerajaan yang ditarik
sapi, seperti yang ditulis dalam berita-berita Cina. Dengan demikian dapatlah dikatakan juga bahwa kereta
kerajaan dengan kuda sebagai ternak tarik baru muncul pada kerajaan-kerajaan setelah zaman Majapahit.

1.2 Sejarah Perkembangan Peternakan


1.2.1 Zaman Penjajahan,
Usaha peternakan dizaman penjajahan bangsa asing atas penduduk Nusantara, banyak terdapat dalam
tulisan-tulisan yang berbentuk laporan maupun buku yang diterbitkan secara resmi. Pengaruh penjajahan dalam
bidang peternakan banyak terdapat dalam masa penjajahan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC), masa
pemerintahan Hindia Belanda dan Jepang. Laporan-laporan sejarah tentang pengaruh masa pemerintahan Inggris,
Portugis dan bangsa lainnya terhadap bidang peternakan sampai saat ini belum banyak diketahui.

1.2.1.1 Masa Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC).


Perhatian VOC lebih banyak ditujukan pada perdagangan rempah-rempah yang sangat mahal dipasaran
Eropa. Dimasa VOC (1602-1799) usaha peternakan kuda lebih banyak memperoleh perhatian. Hal ini penting bagi
VOC untuk kepentingan tentara "Kompeni" diwaktu itu. Pada masa itu kuda Arab dan Persia dimasukkan dan
disilangkan dengan ternak kuda asli.

Dari laporan pemerintah Hindia Belanda diketahui, bahwa dalam masa VOC ternyata usaha peternakan
kuda juga mendapat perhatian raja-raja dan sultan-sultan untuk kepentingan laskar kerajaan dan untuk
kepentingan kuda tunggangan raja sewaktu berburu hewan. Yang terkenal adalah peternakan kuda milik Sultan
Pakubuwono III di Mergowati yang terdiri dari kuda Friesland, didirikan pada tahun 1651 tapi ditutup pada tahun
1800.

 Perdagangan Ternak.
Perdagangan ternak dan pemotongan ternak cukup ramai di zaman VOC, terutama dipulau Jawa.
Perdagangan ternak antar pulau begitu ramai, karena dizaman itu transportasi laut masih dengan kapal layar yang
tidak memungkinkan pengangkutan ternak dalam jumlah yang banyak.

 Peraturan Peternakan.
Peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah VOC yaitu larangan terhadap pemotongan kerbau betina
yang masih produktif dalam tahun 1650. Peraturan ini mula-mula diberlakukan dipulau Jawa, tetapi kemudian juga
meliputi daerah-daerah pengaruh VOC lainnya di Nusantara dan diperluas dengan larangan pemotongan sapi
betina yang masih produktif. Peraturan ini mula-mula bermaksud untuk menjamin populasi ternak yang terus
bertambah dan dengan demikian menjamin pengadaan daging bagi tentara Kompeni di Pulau Jawa. Dalam tahun
1776, peraturan ini ditambah dengan larangan pemotongan ternak kerbau betina putih yang masih produktif.

1.2.1.2 Masa Hindia Belanda.


Pada awal pemerintah Hindia Belanda, bidang peternakan belum banyak menarik perhatian selain usaha
peternakan kuda sebagai kelanjutan dari kegiatan utama VOC dalam bidang peternakan, untuk kepentingan
militer, pengangkutan kiriman pos dan untuk memenuhi kegemaran pembesar-pembesar Belanda dan kaum
bangsawan sebagai ternak rekreasi dan perburuan hewan.

Selama abad kesembilan belas dan abad kedua puluh sampai berakhirnya pemerintahan Hindia belanda, beberapa
kegiatan dalam bidang peternakan perlu dicatat, karena memiliki hubungan dengan perkembangan usaha
peternakan di zaman pemerintah Indonesia.

Kegiatan dalam bidang peternakan di zaman Hindia Belanda dapat dikelompokkan ke dalam 10 jenis, ialah
:

1. Peningkatan Mutu Ternak.


Perkembangan ilmu pengetahuan dalam abad kesembilan belas, khususnya ilmu biologi dan mikrobiologi,
ikut memberi pengaruh terhadap kegiatan dalam bidang peternakan. Pengaruh ilmu genetika yang dipelopori oleh
Mendel (1822-1884) ikut mewarnai dunia peternakan, khususnya didalam kegiatan peningkatan mutu genetik
ternak lokal di Nusantara. Demikian juga didalam bidang mikrobiologi yang dipelopori oleh Louis Pasteur (1822-
1899) dan Robert Koch (1843-1920) mewarnai penanganan kesehatan ternak, produksi sera dan vaksin. Khususnya
dalam bidang peningkatan mutu genetik ternak asli Nusantara, kegiatan persilangan dan seleksi dan penyebaran
bibit ternak cukup banyak dilakukan.

Kuda - Persilangan antara ternak kuda asli dilakukan dengan mendatangkan kuda Arab dan Persia (1809)
dan kuda Australia (1817). Dalam tahun 1870 dan 1880, kuda Australia didatangkan oleh pedagang ternak
berkebangsaan Perancis dari kepulauan Mauritanius.

Untuk pulau Sumba hasil persilangan dengan kuda asli setempat, sangat terkenal dengan nama Kuda
Sandel. Selain itu didirikan pusat-pusat pembibitan kuda di Cipanas (1820), Bogor (1938), Payakumbuh, Lubuk
Sikaping dan Tarutung (1980), Padalarang(1903), Padang Mangatas (1922), sebagai pengganti Payakumbuh yang
ditutup pada tahun 1907, Malasaro Sulawesi Selatan (1874) dan pulau Rote (1841). Disamping itu di Cisarua-
Bandung perusahaan swasta bibit ternak, "General de Wet" milik Hirchland dan Van Zyl yang didirikan pada tahun
1900, pada tahun 1921 ditunjuk sebagai rekanan bibit unggul kuda pemerintah.
Sapi - Keturunan Bos sondaicus yang semula tersebar dipulau Jawa, Madura, Sumatera, Bali dan Lombok,
banyak memperoleh perhatian Pemerintah Hindia Belanda. Selama abad kesembilan belas, persilangan ditujukan
terutama terhadap perbaikan mutu sapi Jawa, yang jumlahnya terbanyak, namun berbadan kecil sehingga kurang
cocok untuk ternak kerja.

Pada tahun 1806 Kontrolir Rothenbuhler di Surabaya, melaporkan bahwa pedagang ternak di Jawa Timur
telah mendatangkan sapi pejantan Zebu dari India untuk dipersilangkan dengan sapi Jawa. Dalam tahun 1812
tercatat sapi bangsa Zebu yang didatangkan adalah Mysore, Ongol, Hissar, Gujarat dan Gir untuk dipersilangkan
dengan sapi Jawa. Walaupun persilangan antara sapi Jawa dengan bangsa sapi Zebu ini banyak memperlihatkan
hasil yang baik, namun bukanlah suatu program resmi pemerintah Hindia Belanda, karena dalam abad ke sembilan
belas belum ada dinas resmi yang menangani bidang peternakan. Impor sapi Zebu dari India tetap dilanjutkan oleh
para pengusaha di Jawa Timur dari tahun 1878 hingga tahun 1897, disaat mana impor dihentikan, karena
berjangkitnya wabah pes ternak di India. Pada waktu ini keturunan hasil persilangan telah banyak dengan bentuk
tubuh yang lebih besar dari sapi Jawa.

Sementara itu pada tahun 1889, Residen Kedu Selatan, Burnaby Lautier dengan bantuan dokter hewan
Paszotta melancarkan aksi kastrasi secara besar-besaran terhadap ternak jantan lokal di Bagelen. Tujuannya, agar
pejantan Zebu saja yang digunakan sebagai pemacak. Walaupun usaha ini ditentang oleh pemerintah pusat Hindia
Belanda, pada tahun 1890 asisten residen Schmalhausen mengikuti jejak Lautier untuk daerah Magetan di Jawa
Timur. Ia juga menganjurkan penanaman rumput benggala untuk makanan ternak. Usaha persilangan sapi Jawa
dengan sapi Madura, dilaksanakan oleh kontrolir Van Andel, dibantu oleh dokter hewan Bosma, di daerah
Pasuruan Jawa Timur pada tahun 1891-1892. Persilangan secara berencana dan besar-besaran barulah
dilaksanakan setelah dinas resmi yang menangani bidang peternakan dibentuk pada tahun 1905 yaitu Burgelijke
Veeatsenijkundige Diens (BVD) sebagai bagian dari Departemen van Landbaouw atau Departemen Pertanian. BVD
telah melaksanakan peningkatan mutu sapi Jawa dengan pelbagai kegiatan ialah :

a. Peningkatan dengan pejantan Jawa

Dari tahun 1905 sampai 1911 dilakukan penyebaran sapi jantan Jawa yang baik ke daerah Jawa Barat,
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam tahun 1911 usaha ini dihentikan, oleh karena para petani menginginkan
ternak sapi yang lebih kuat dan lebih besar untuk ternak kerja.

b. Persilangan dengan Sapi Madura

Usaha ini sudah dimulai di akhir abad ke sembilan belas oleh Van Andel. BVD juga melanjutkan kegiatan
persilangan ini di pulau Jawa sampai tahun 1921. Pada saat ini usaha ini dihentikan, karena kurang memenuhi
harapan para petani terhadap ternak kerja.
c. Persilangan dengan Sapi Bali.

Penduduk Jawa Timur terutama di daerah keresidenan Banyuwangi telah lama mengenal sapi Bali sebagai
ternak kerja yang cukup baik. Usaha persilangan sapi Jawa dengan pejantan Bali dimulai tahun 1908 di Pulau Jawa.
Tapi usaha inipun dihentikan pada tahun 1921, karena angka kematian sapi Bali dan keturunannya yang sangat
tinggi oleh penyakit darah.

d. Persilangan dengan Sapi Zebu

Pengusaha perkebunan di Sumatera Timur telah banyak mendatangkan sapi Zebu untuk ternak penarik
gerobak dan ternak perah di akhir abad kesembilan belas. Ternyata kemudian ternak sapi tersebut adalah sapi
Hissar yang didatangkan ke Pulau Jawa pada tahun 1905 dan dinamai Sapi Benggala. Namun sapi Hissar yang tiba
di pulau Jawa tidak memuaskan. BVD dalam tahun 1906 dan 1907 telah mendatangkan sapi Zebu dari India. Dokter
hewan Van Der Veen yang diserahi tugas ke India, ternyata telah memilih Sapi Mysore, yang kurang memenuhi
harapan karena kematian yang tinggi akibat penyakit piroplasmosis dan ternak jantannya sangat agresif.

Pada pembelian di tahun 1908 oleh BVD tiga bangsa sapi dipilih, ialah Ongol, Gujarat dan Hissar. ternyata
Sapi Ongol berkembang baik di Pulau Jawa, Sapi Gujarat baik di pulau Sumba dan Sapi Hissar baik di pulau
Sumatera. Pada tahun 1909 dan 1910 ternyata BVD memutuskan untuk lebih banyak membeli Sapi Ongol. Sampai
tahun 1911 perkembangan sapi Ongol lebih baik, sehingga diputuskan memilih sapi Ongol untuk perbaikan mutu
Sapi Jawa. Dari sinilah muncul untuk pertama kalinya Program Ongolisasi yang dimulai pada tahun 1915, disaat
mana pembelian dari India dihentikan sama sekali. Semua ternak pembelian terakhir ditempatkan di pulau Sumba.
Dikemudian hari ternyata Sapi Ongol dan Gujarat di Sumba berkembang sangat baik, sehingga pulau Sumba
menjadi sumber bibit murni sapi Ongol dan Gujarat yang kemudian dikenal sebagai sapi Sumba Ongol (SO).
Sekarang (Temu, dkk 2017) ternak sapi Ongol di Pulau Sumba adalah sapi peranakan ongole karena sudah tidak
murni lagi sapi Sumba ongolnya.

e. Persilangan dengan Sapi Eropa

Tiga bangsa sapi Eropa yang banyak digunakan untuk persilangan adalah Hereford, Shorthorn (Australia)
dan Fries Holland (Belanda). Impor Sapi Hereford dan Shorthorn kemudian dihentikan karena berjangkitnya
penyakit paru-paru ganas di Australia. Sapi Fries Holland sendiri banyak disilangkan dengan sapi Jawa dan sapi
Ongol terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah, karena keturunannya memiliki sifat yang baik.

f. Sumba Kontrak.

Salah satu bentuk penyebaran bibit ternak sapi Ongol di dalam Program Ongolisasi, ialah Sumba Kontrak.
Sumba Kontrak adalah penempatan dan penyebaran sapi bibit ongol di pulau Sumba yang dilaksanakan dalam
bentuk meminjamkan 12 induk dan satu pejantan ongol kepada seorang peternak. Pengembalian pinjaman
dilakukan oleh peminjam dengan mengembalikan ternak keturunan dalam jumlah, umur dan komposisi kelamin
yang sama dengan jumlah ternak yang dipinjam, ditambah dengan satu ekor keturunan (jantan atau betina) untuk
setiap tahun selama peternak belum melunasi pinjamannya. Untuk akad pinjaman ini, peternak menandatangani
suatu kontrak dengan pemerintah, yang kemudian dikenal dengan Sumba Kontrak. Jumlah ternak awal disebut
Koppel, sehingga kemudian hari muncul juga istilah Sapi Koppel. Sumba kontrak secara resmi dimulai pada tahun
1912.

1. Penyebaran ternak

Sistim penyebaran sapi bibit ini tidak hanya berlaku dipulau sumba, tapi diperluas ke pulau-pulau lain dan
meliputi pelbagai jenis ternak : Sapi Bali, Sapi Madura, Kambing, Domba dan Babi dengan jumlah ternak yang tidak
sama untuk satu koppel. Dalam masa dua puluh tahun (1920 - 1940) penyebaran ternak bibit, terjadi dua kegiatan
yang usaha penting yaitu :

 Penyebaran ternak bibit antar pulau dan antar daerah, yaitu penyebaran sapi Ongol dan peranakan Ongol
dari pulau Jawa ke Sumbawa, Sulawesi, Kalimantan Barat dan Sumatera. Penyebaran sapi Bali dari pulau
Bali ke Lombok, Timor, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan. Penyebaran sapi Madura ke pulau Flores
dan Kalimantan Timur.
 Penyebaran ternak bibit dan bibit tanaman makanan ternak secara lokal disekitar taman-taman ternak
dipulau Jawa dan Sumatera.
Kerbau.

Ternak kerbau lokal yang dikenal sebagai Kerbau Lumpur sudah sejak dahulu terdapat diseluruh
Nusantara. Dengan kedatangan bangsa India ke Sumatera, dibawa juga kerbau Murrah yang kini masih banyak
terdapat didaerah Sumatera Utara dan Aceh.

Kambing.

Kambing lokal atau kambing kacang telah ada di seluruh Nusantara. Didalam zaman Hindia Belanda
didatangkan juga kambing bangsa India (Ettawah) yang merupakan kambing perah dan disebarkan hampir
diseluruh pantai utara pulau Jawa. Namun persilangan yang terkenal kini adalah kambing Peranakan Ettawah (PE).
Bebarapa bangsa kambing lain juga didatangkan yaitu : Saanen.

Domba

Ternak domba dibagi dua bangsa yang terkenal yaitu domba ekor gemuk dan domba lokal lainnya, yang
tersebar diseluruh Nusantara. Semua bangsa domba ini adalah tipe daging. Dizaman Hindia Belanda didatangkan
bangsa domba tipe wol misalnya Merino, Ramboillet, Romney dan tipe daging misalnya Corriedale dan Suffolk.
Persilangan bangsa domba wol dan daging dengan domba lokal Priangan menghasilkan domba yang sangat
terkenal diwaktu ini ialah domba Garut.

Babi

Ternak babi lokal tersebar diseluruh Nusantara. Dizaman Hindia Belanda didatangkan babi ras dari Eropah
yaitu Yorkshire, Veredelde Deutchland Landvarken (VDL), Tamworth, Veredelde Nederlandsche Landvarken (VNL),
Saddleback, Duroc, Jersey dan Berkshire.

Sapi Perah

Pada permulaan abad ke 20 telah terdapat perusahaan sapi perah dipinggiran kota-kota besar di Jawa dan
Sumatera. Kebanyakan perusahaan adalah milik bangsa Eropah, Cina, India dan Arab. Hanya sebagian kecil milik
penduduk asli. Bangsa sapi perah yang ada ialah Fries Holland, Jersey, Ayrshire, Dairy Shorthorn dan Hissar.
Kemudian ternyata yang terus berkembang adalah Fries Holland. Bangsa sapi Hissar masih terus diternakkan
didaerah Sumatera bagian Utara dan Daerah Istemewa Aceh.

Ayam

Disamping ayam kampung, di zaman Hindia Belanda telah diperkenalkan ayam ras tipe petelur misalnya
leghorn dan ayam ras tipe pedaging misalnya Rhode Island Red dan Australorp. Persilangan Autralorp dengan
ayam kampung yang terkenal adalah Ayam kedu.

Itik

Di samping itik lokal, di zaman Hindia Belanda telah didatangkan bangsa itik Khaki Campbell dan itik
Peking. Bangsa itik lokal yang terkenal : adalah itik Tegal, itik Karawang dan itik Alabio.

Aneka Ternak

Aneka ternak misalnya ternak kelinci, burung puyuh dan burung merpati, belum memperoleh perhatian
pemerintah Hindia Belanda. Kelinci hanyalah digunakan di balai-balai penelitian sebagai hewan percobaan.
disinilah asalnya istilah : Kelinci percobaan.

2. Pengadaan Peraturan

Peraturan-peraturan yang diterbitkan selama masa Hindia Belanda, terbanyak setelah dibentuk badan
resmi yang menangani bidang peternakan dalam tahun 1905. Semua peraturan tersebut dapat dikelompokan
kedalam 4 kelompok, yaitu :

1. Peraturan yang menyangkut pengaman ternak


2. Peraturan yang menyangkut produksi, populasi dan sarana produksi ternak
3. Peraturan yang menyangkut pemotongan ,pajak potong, distribusi, tata niaga dan sarana-sarana
peternakan.
4. Peraturan yang menyangkut bahan-bahan veteriner dan kesehatan masyarakat Veteriner.

3. Pameran Ternak
Pameran ternak diadakan untuk pertama kali di Blora (1876). Kemudian di Surabaya(1878), Blora(1887),
Bandung(1899). Pada tahun 1906 secara resmi diadakan oleh BVD di Kebumen dan Bandung.Tujuannya lebih
banyak bersifat penyuluhan kepada para peternak, sehingga ternak yang unggul dapat dijual atau dibeli dengan
harga premium.

4. Taman Ternak

Taman ternak pertama didirikan di Karanganyar di desa Pecorotan pada tahun 1909, namun pada tahun
1912 dipindahkan ke desa Jiladri. Kemudian menyusul pendirian taman ternak di Bandar (1916), Purworejo(1918),
Pengarasan Tegal(1920), Kedu Selatan, Rembang dan Padang Mangatas(1922). Taman ternak ini merupakan
sumber ternak bibit dan sumber bibit makanan ternak. Beberapa pusat pembibitan ternak kuda dan sapi di
Sumatra, kemudian juga diperluas menjadi taman ternak.

5. Koperasi Peternakan

Koperasi peternakan dianjurkan, terutama didalam pembelian pejantan bersama. Koperasi peternakan
yang pertama didirikan di Salatiga, Kedu dan Tasikmalaya.

6.Sensus Ternak

Dalam tahun 1867 pemerintah di Jawa dan Madura diwajibkan mengadakan sensus ternak di daerahnya
masing-masing. Sensus ternak secara resmi mulai diadakan pada tahun 1905.

7. Pengamanan Ternak

Pengaman ternak merupakan lanjutan dan perluasan kegiatan pemerintah VOC. Sebelum BVD dibentuk
pada tahun 1905, kegiatan pencegahan dan pemberantasan penyakit, dilakukan oleh dokter-dokter hewan yang
didatangkan sejak tahun 1820 sebagai penasehat pemerintah. Namun sejak BVD lahir, pencegahan dan
pemberantasan penyakit secara resmi ditangani pemerintah Hindia Belanda.

8. Pengadaan Ternak

Sarana peternakan yang dimaksudkan disini adalah : tanah pangonan, pasar hewan, karantina, rumah
potong hewan, kapal hewan.
9. Produksi Sera dan Vaksin

Produksi Sera dan Vaksin untuk ternak terutama diadakan oleh Balai Penyelidikan Penyakit Hewan yang
didirikan di Bogor.

10. Pendidikan dan Penelitian

Sekolah dokter hewan pertama didirikan pada tahun 1860 di Surabaya, tapi karena kurang peminat, maka
ditutup pada tahun 1875. Baru pada tahun 1907 dibuka kembali di Bogor. Sekolah Menengah Kehewanan didirikan
di Malang dan Bogor. Pendidikan Mantri Hewan ditangani langsung oleh Jawatan Kehewanan diwaktu itu.
Penyelidikan penyakit hewan ditangani dengan dibangun Balai Besar Penyakit Hewan dan Balai Penelitian
Peternakan di Bogor, Balai Penyelidikan Penyakit Mulut dan Kuku di Surabaya.

Dari catatan sejarah dapat disimpulkan bahwa pengembangan peternakan masa itu dapat disejajarkan
dengan tuntutan perekonomian negara. Pendirian pabrik gula (1830-1835) banyak memerlukan ternak sebagai
tenaga kerja. Untuk itu diimpor ternak dengan konsekuensi timbulnya berbagai wabah penyakit seperti penyakit
Ngorok (Septichaemia Epizotica, 1884) di Jawa Barat, Anthrax (1884) di Lampung, Surra (1886) di Jawa Barat,
penyakit Mulut dan Kuku (1884) di Jawa Timur dan Rabies (1989) di Jawa Barat.

Untuk itu tahun 1841 dibentuk semacam Dinas Kehewanan didaerah-daerah dan tahun 1905 dibentuk
Jawatan Kehewanan Pusat (Buurgelijk Veeartsenijkundige Diest atau BVD). Pada tahun yang bersamaan
pemerintah Belanda melakukan survei kemiskinan Jawa dan Madura. Tindak lanjut hasil survei mulai dilaksanakan
impor ternak. Namun dengan konsekuensi terbawa penyakit ternak sehingga menimbulkan wabah yang sangat
merugikan seperti Rinderpest (1912). Untuk itu pemerintah Belanda menerbitkan Ordonansi yang mengatur
Campur Tangan Pemerintah pada Urusan Peternakan dan Kesehatan Hewan ( Ordonansi No.432 tahun 1912). Pada
tahun 1935 di Bogor didirikan Sekolah Dokter Hewan yang pertama.

1.2.1.3 Masa Penjajahan Jepang


Pada masa penjajahan Jepang pembinaan peternakan hampir tidak dilakukan bahkan untuk kepentingan
konsumsi terjadi pemotongan yang berlebihan sehingga mengakibatkan pengurasan populasi ternak sapi dari
4.604 ribu ekor menjadi 3.840 ribu ekor atau turun 16,5 persen, kuda dari sekitar 740 ribu ekor menjadi 500 ribu
ekor atau turun 32 persen, kambing dari sekitar 7.600 ribu ekor menjadi 6.100 ribu ekor atau turun 20 persendan
babi dari sekitar 1.320 ribu ekor menjadi 530 ribu ekor atau turun 60 persen.

1.2.2 Sejarah Perkembangan Peternakan Zaman Kemerdekaan.


4.2.2.1. Masa Pra-Pelita

Sebelum masa Pelita terdapat dua konsep pembangunan yakni Rencana Kasimo (27 November 1947) dan
Pembangunan Semesta Berencana (1961-1969). Pembangunan Peternakan diarahkan kepada pemenuhan bahan
makanan yang cukup. Program penggalakan minum susu di berbagai daerah dimasyarakatkan dengan slogan
Empat Sehat Lima Sempurna

Pada Rencana Kasimo diberikan prioritas pada peningkatan bahan pangan rakyat termasuk komoditi
peternakan. Kenaikan beberapa populasi ternak per tahun diproyeksikan seperti sapi sekitar 4%, kerbau 2%,
kambing 5% dan babi 10%. Diberbagai daerah dibangun Taman Ternak dalam rangka program Rencana
Kemakmuran Indonesia (RKI), sebagai sumber pembibitan ternak didaerah-daerah.

Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana memberikan prioritas kepada penyediaan bahan
pangan. Sasaran diberikan kepada swasembada beras. Diberikan pula perhatian kepada penyediaan protein baik
nabati maupun hewani (kedelai, peternakan ayam). Ditetapkan standar konsumsi protein hewani 8 gram perkapita
perhari. Karena situasi dan kondisi perekonomian pada kurun waktu tersebut tidak memungkinkan, maka praktis
kedua rencana pembangunan tersebut tidak dapat dilaksanakan.

Pada tahun 1967 lahir Undang-undang No.6 tentang Pokok-pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan
pada tahun yang sama dilakukan Survei Inventarisasi Hewan (SIH) Nasional.

4.2.2.2 Masa Pelita

Sejalan dengan kelahiran Orde Baru (1969) dilaksanakan penataan kembali kehidupan berbangsa dan
bernegara sesuai dengan cita-cita kemerdekaan antara lain menghantar bangsa Indonesia menuju masyarakat adil
dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

 Pada tahun 1989 Indonesia diakui Internasional dari Bebas Penyakit Mulut dan Kuku.
 Pelaksanaan pembangunan peternakan dilaksanakan melalui 3 evolusi pendekatan yaitu : teknis, terpadu dan
agribisnis
 Panca Usaha Ternak menjadi Sapta Usaha Ternak
 Penerapan teknologi produksi, ekonomi dam sosial melahirkan program yang dikenal sebagai :
 Pilot Proyek Bimas unggas
 Panca Usata Ternak Potong ( PUTP )
 Pengembangan Usaha Sapi Perah ( PUSP )
 Intensifikasi Ayam Buras ( INTAB )
 Intensifikasi Ternak Kerja ( INTEK )
 Industri Peternakan Rakyat ( INNAYAT )
 Perusahan Inti Rakyat (PIR) Ternak Potong
 Perusahan Inti Rakyat (PIR) Bakalan
 Perusahan Inti Rakyat (PIR) Penggemukkan
 Perusahan Inti Rakyat (PIR) Pakan
 Perusahan Inti Rakyat (PIR) Saham.

4.2.7.3. Masa Reformasi

Lahir UU No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Daftar Pustaka.
Demchick, M. dan E. Streed. 2002. Non-timber Forest Products and Implication for Forest Managers : Use,
Collection, and Growth of Berriers, Fruits, and Nuts. University of Minnesota Extention Service, 405
Coffey Hall.
Ditjen Peternakan Jakarta, Sekelumit Sejarah Usaha Peternakan Di Indonesia
Evans, L.T. 1996. Crops Evolution, Adaptation, and Yield. Combridge Univ.
Press.http://en.wikipedia.org/wiki/Wildcraftinghttp://www.na.fs.fed.us/stewardship/faq/
04standimprove.html)
Keraf, A.S. dan M.Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan; Sebuah Tinjauan Fisolofis. Penerbit Kanisius. p: 158.
King, J. dan D. Stabinsky.1998. Biotechnology under globalisation: The Corporate Expropriation of Plant, Animal
and Microbial Species. http://hornacek.coa.edu/ dave/Reading/race.html.
Leakey, R.B.B. 1999. Potential for Novel Food Products From Agroforestry Trees : A Review. Food Chemistry 66 :
1 – 14.
Mandey, C.F.T. 2000. Pengetahuan. http://www.sulutlink.com/ termpaper3.htm.
Nasoetion, A.H. 1999. Pengantar ke Filsafat Sains.  Litera Antar Nusa. Jakarta.
Pullin, R.S.V. 1994. Exotic Species and Genetically Modified Organisms in Aquaculture and Enchanced Fisheries :
ICLARM’s Position. NAGA, the ICLARM Quarterly. 17(4): 19 – 24.
Simon, A.J. 1996. ICRAF’s Strategy for Domestication of Non-Wood Tree Products.
http://.www.fao.org/docrep/w3735e/3735eo7.htm.
Suriasumantri, J.S. 2000. Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Cetakan XIII. Pustaka Sinar Harapan.
Temu, S.T.; H.P. Nastiti; H.T. Handayani; H.T.Pangestuti; D.B. Osa.,2017. Kualitas Rumput pada Padang
Penggembalaan Alam di Kecamatan Katiku Tana Selatan Kabupaten Sumba Tengah Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Prosiding Seminar Nasional Peternakan III.Neo Hotel Kupang.
Thoyibi, M. 1999. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya.  Mohammadiyah University Press. Surakarta. p:105
Wallack, B. 2001. The Great Mirror : An Introduction to Human Geography.
http://geography.ou.edu/courses/1103bw/domestication.html.
Wapedia.mobi/id/Domestikasi
Williamson, G. dan W. J. A. Payne. 1994. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press,
Yoyakarta (Diterjemahkan oleh SGN Djiwa Darmadja).
Zairin, M.Jr. 2003. Endokrinologi dan Perannya Bagi Masa Depan Perikanan Indonesia. Orasi Ilmiah Gurubesar
FPIK IPB.

A. KAITAN PETERNAKAN DENGAN DISIPLIN ILMU LAIN DI UNIVERSITAS NUSA CENDANA

1. Kaitan peternakan dengan disiplin ilmu di Fakultas Hukum Undana


Contohnya:

a. Regulasi peternakan diIndonesia

b. Regulasi pemisahan wilayah peternakan dengan pertanian dan pariwisata


c. Regulasi lainnya:Perdes, Perda Kabupaten/Kota, BUMDES/koperasi dibidang

peternakan

d. Undang-undang No.18 T ahun 2009, tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan


e. Undang-UndangNo.6Tahun1967,tentangPeternakandanKesehatan
f. PeraturanPemerintahNo:16tahun1977tentangUsahaPeternakan

g. Permentan Nomor 54Tahun2006 tentang Pedoman Pembibitan Sapi Potong Yang Baik(Good Breeding
Practice)

2. Kaitan peternakan dengan disiplin ilmu diFakultas Ekonomi dan Bisnis Undana
Contohnya:

a. Bagaimana peranternak dalam meningkatkan ekonomi masyarakat,PAD

Kabupaten/Kota dilahan kering

b. Mendirikan BUMDES dan koperasi dari sektor peternakan dan yang lainnya.
c. Kredit UKM dan Utdari berbagai bank (BNI,BRI,dan lain-lain untuk modal

Pemeliharaan ternak tanpa agunan atau dengan agunan)

d. Industri Pariwisata seperti pacuan kuda yang dapat mendatangkan


pendapatan untuk berbagai pihak

e. Ternak adalah tabungan yang tak kelihatan tapi tetap ada baik itu di padang penggembalaan maupun di
pekarangan.

f. Promosi pangan lokal seperti daging Sei,abon sapi,dendeng manis,

dendeng kering dari sumba,kerupuk kulit

3. Kaitan peternakan dengan disiplin ilmu pada Fakultas Pertanian


Contohnya:

a. Bagaimana hasil pertanian dalam bentuk limbah digunakan untuk makanan ternak

b. Limbah tersebut seperti jerami padi, jagung, kacang kedele,kacang hijau,kacang nasi dan lain-lain

c. Urin dan kotoran ternak digunakan sebagai pupuk kandang untukproduk-produk pertanian tanaman
pangan,sayur-sayuran,buah-buahan.

4. Kaitan peternakan dengan disiplin ilmu pada Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan
Contohnya:
a. Bagaimana alumni FKIP nantinya mengajarkan ke siswa SD,SMP, SMA atau perguruan tinggi mengenai
peranlahan kering dan peternakan untuk siswa-siswi tersebut seperti daging ternak merupakan sumber
protein hewani untuk anak didik,balita dan yang lainnya
b. Menjadikan ternak sebagai alat peraga berupa gambar maupun fisik ternak untuk
diperkenalkan keanak didik
c. Membuat animasi dari ternak untuk berbagai kepentingan proses belajar mengajar di kelas maupun di luar
kelas.

5. Kaitan peternakan dengan disiplin ilmu pada Fakultas Kesehatan Masyarakat


Contohnya:
a. Ternak dipelihara dijadikan sebagai sumber gizi keluarga yang seimbang(Preventif)
b. Ternak dijadikan hiburan bagi anak-anak maupun orang dewasa seperti pacuan kuda,kontes ternak
b. Untuk kesehatan lingkungan ternak yang dipelihara harus tetap dijaga kebersihannya.

6. Kaitan peternakan dengan disiplin ilmu pada fakultas kedokteranManusia


Contohnya:
a. Agar tidak sakit misalnya makan daging yang secukupnya bagi pasien darah tinggi
b. Memelihara ternak di pekarangan harus selalu bersih karena akan mendatangkan penyakit pada manusia
c. Bagi manusia yang sudah lanjut usia agar jangan mengkonsumsi jeroan ternak karena akan menyebabkan asam
urat

7. Kaitanpeternakandengandisiplinilmupadafakultas KedokteranHewan
Contohnya:
a. Tindakan kuratif terhada pternak
b. Tindakan preventif terhadap ternak

8. Kaitan peternakan dengan disiplin ilmu pada Fakultas Sains danTeknik


Contohnya:
a. Kimia: daging ternak agar sehat tidak boleh memberikan pakan yang berbahan kimia sintetik
b. Pencemaran terhadap daging dari bahan B3 perlu dikelola
c. Fisika:kalau pelihara ternak hindari kebisingan dikandang maupun sekitarnya dapat diukur dengan
menggunakan deteksi kebisingan dengan sound level meter kira-kira berapa desibel(dBA),kualitasu darah
arus sesuai standart baku mutu
d. Sipil: bahan kandang ternak yang sesuai dan ternak nyaman berada dikandang tersebut misalnya
ventilasi, kemiringan lantai,bahan bangunan dan lain-lain
e. Arsitektur:gambar kandang sesuai kebutuhan dan jenis ternak dilahan kering,pemetaan
wilayah peternakan dan pertanian serta peruntukan lainnya

9. Kaitan peternakan dengan disiplin ilmu pada fakultas ilmu sosial dan politik Sosiologi: pendekatan sosial untuk
memotivasi masyarakatdalammemelihara ternak.
Contohnya :
a. Tata Niaga: perhitungan penyusutan berat badan ternak yang diantar pulaukan dari pelabuhan
tenau atau NTT kepulau Jawa termasuk tataniaga peternakan dengan ekaligus perhitungan biaya-
biayanya.
b. Politik:ternak dijadikan prestise dalam kegiatan-kegiatan politik dipedesaan maupun perkotaan
c. Budaya: dalam upacara adat ternak selalu digunakan sebagai alat dan bahan untuk persembahan

10.Kaitan peternakan dengan disiplin ilmu pada Fakultas Perikanan dan Kelautan
Contohnya :
a. Ternak dapat merusak ekosistem bakau di pesisir
b. Limbah ikan yang tidak dikonsumsi oleh manusia dapat dijadikan tepung ikan untuk
ransum ternak
c. Kolaborasi antara perikanan, peternakan,dan pertanian seperti mina padi ayam
d. Sistem peternakan terpadu.
GAMBAR TERNAK

1 Ayam Bangkok Ayam Hutan Kelabu


Ayam Hutan Hijau
Ternak Ayam

Ayam Hutan Merah

Ayam Pelung

Ayam Walik
Ternak Babi

Babi Batak Bbabi Toraja


Babi Yorkshire

Babi Bali Babi Nias


Ternak Domba

Domba Ekor Gemuk

Ternak Itik
Ternak Kambing

KambingPeranakanEtawahJawarand Kambing Etawah


Kambing Kacang
uBligon Jamunapari
Ternak Kelinci

Kelinci Himalaya Kelinci Angora Kelinci Rex


Ternak Kuda

Kuda Palamino Kuda Shire Kuda Appalosa


KudaThoroughbred KudaArab
KudaWelshPony
Ternak Merpati

Merpati King
Ternak Merpati

Sapi Peternakan Ongole Sapi Madura Jantan

Sapi Ongole Murni Sapi Bali Betina


Sapi Bali Jantan SapiBrahmanCross(BX)jantan

Sapi Brahman Jantan SapiGratPeranakanFH


Daftar Pustaka
Maranatha, G., Riwu. A. R., Lestari, G. A. Y., Modul Pengantar Ilmu Peternakan fakultas Peternakan Universitas
Nusa Cendana, 2010.

Temu, S.T., Makalah Materi Peternakan Untuk Penyempurnaan Bahan Ajar Blok Pertanian Pada Pertemuan Mata
Kuliah Penciri Universitas Nusa Cendana Budaya Lahan Kering Kepulauan Dan Pariwisata. Hotel T-More
29-30 November 2017. Kupang.

Anda mungkin juga menyukai