Anda di halaman 1dari 11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Obesitas

2.1.1 Definisi obesitas

Obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan penumpukan yang berlebih

dari lemak tubuh. Penentu yang digunakan adalah IMT. Obesitas atau kegemukan

terjadi karena ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan energi yang

keluar sedangkan overweight adalah tahap sebelum dikatakan obesitas secara

klinis (Guyton, 2007).

2.1.2 Epidemiologi obesitas

Pada tahun 2008, sekitar 1,5 milliar penduduk dewasa (dengan umur lebih

dari 20 tahun keatas) termasuk kedalam kategori overweight dan lebih dari 200

juta laki-laki dan sekitar 300 juta wanita termasuk kategori obese. WHO juga

memprediksi bahwa pada tahun 2015, sekitar 2.3 milliar penduduk dewasa akan

mengalami overweight dan lebih dari 700 milliar akan mengalami obese (WHO,

2014).

Pada tahun 2013, prevalensi obesitas penduduk dewasa (di atas umur 18

tahun) menurut jenis kelamin di Indonesia cukup tinggi yaitu 15.4 % dengan

wanita 32.9 % dan pria 19.7% (RISKESDAS, 2013). Enam belas provinsi dengan

prevalensi diatas nasional, yaitu Jawa Barat , Papua, DI Yogyakarta, Aceh,

Sulawesi Tengah, Jawa Timur, Bangka Belitung, Sumatera Utara, Papua Barat,

Kepulauan Riau, Maluku Utara, Kalimantan Timur, DKI Jakarta, Gorontalo

,Sulawesi Utara, dan termasuk juga Provinsi Bali, yang memiliki prevalensi

~15.4% (RISKESDAS,2013)

7
8

Gambar 2.1 Prevalensi status gizi kurus, BB lebih, obesitas penduduk dewasa
(>18 tahun) menurut provinsi, Indonesia 2013 (RISKESDAS, 2013)

Gambar 2.2 Kecenderungan prevalensi obesitas (IMT > 25) pada laki-laki umur
>18 tahun, Indonesia 2007, 2010, dan 2013 (RISKESDAS, 2013)

Gambar 2.3 Kecenderungan prevalensi obesitas (IMT > 25) pada perempuan
umur >18 tahun, Indonesia 2007, 2010, dan 2013(RISKESDAS, 2013)
9

Urbanisasi yang diikuti dengan perubahan status ekonomi dan sosial

masyarakat negara-negara yang sedang berkembang berdampak pada peningkatan

prevalensi obesitas di negara-negara ini, termasuk Indonesia (Hendrik, 2011).

2.1.3 Pengukuran obesitas

Pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan salah satu cara yang

sering digunakan dalam menentukan kategori status gizi seseorang apakah obese

atau tidak, dengan cara membagi berat badan dalam kg dengan tinggi badan dalam
2
m yang dikuadratkan [BB/TB ].

Menurut WHO (2000), seseorang dikatakan obesitas jika nilai IMT ≥ 30


2
kg/m . Namun karena penelitian ini dilakukan di Indonesia yang merupakan

wilayah asia pasifik, penelitian ini pun menggunakan kriteria yang bebeda dalam

menentukan status gizi responden, yakni dengan Kriteria Asia Pasifik tahun 2000,
2
dalam Belliana, 2012. Kriteria ini mengkategorikan IMT ≥ 25 kg/m dan/atau

ukuran LP (lingkar perut) dengan kategori pria LP ≥ 90 cm dan wanita LP ≥ 80

cm sebagai kategori obesitas.

Tabel. 2.1 Klasifikasi berat badan lebih dan obesitas pada orang
dewasa berdasarkan IMT dan lingkar perut menurut kriteria asia pasifik
(2000)
Resiko ko-morbiditas
Lingkar perut
Klasifikasi IMT (kg/m2)
< 90cm (laki-laki) ≥ 90 cm (laki-laki)
< 80cm (perempuan) ≥ 80 cm (perempuan)
Kurang < 18,5 Rendah (meningkat Sedang
pada masalah klinis lain)
Normal 18,5-22,9 Sedang Meningkat
Berat Badan ≥ 23,0
Lebih
Berisiko 23,0-24,9 Meningkat Moderat
Obese I 25,0-29,9 Moderat Berat
Obese II ≥ 30,0 Berat Sangat berat
10

Pengukuran LP sebaiknya diukur di pertengahan pada batas bawah iga dan

krista iliaka, dengan menggunakan ukuran pita secara horizontal pada saat akhir

ekspirasi dengan kedua tungkai dilebarkan 20-30 cm dan subjek diminta untuk

tidak menahan perutnya.

2.2 Gangguan tidur

2.2.1 Gangguan pernapasan saat tidur

Sleep Disordered Breathing (SDB) adalah gambaran abnormalitas respirasi

selama tidur, yang terjadi jika terdapat episode penghentian aliran udara (apnea)

atau penurunan aliran udara (hypopnea) yang berulang selama tidur dan disertai

adanya fragmentasi tidur, sering terbangun, serta penurunan saturasi oksigen.

SDB memiliki suatu spektrum perjalanan penyakit dari mendengkur hingga

obesity hypoventilation syndrome sehingga disebut SDB syndromes (Rodriguez &

Berggren, 2006). Mendengkur disebabkan oleh turbulensi udara karena kolapsnya

sebagian saluran napas atas. Pada tingkat severe sleep apnea, proses ini akan

meningkatkan mortilitas hingga 10% dikarenakan hubunganya dengan penyakit

kardiovaskular seperti stroke, myocardial infarction, dan arrythmia. Severe sleep

apnea syndrome juga berhubungan erat dengan peningkatan IMT (Rodriguez &

Berggren, 2006). Salah satu gangguan SDB yang paling berat adalah Obesity

hypoventilation syndrome dengan chronic alveolar hypoventilation, obesitas, dan

daytime hypercapnia (PaCO2 > 45 mmHg). Hal ini dapat bermanifestasi menjadi

hipertensi pulmonar dan gagal jantung kanan (Welch and Goldberg, 2008).

2.3 Obstructive Sleep Apnea (OSA)

2.3.1 Definisi OSA


11

Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah suatu gangguan tidur berupa

penghentian atau penurunan yang signifikan dari aliran udara secara berulang

dan episodik namun masih terdapat usaha untuk bernapas (Downey, 2012).

Adanya fragmentasi tidur dapat menurunkan kualitas tidur pasien dan

menimbulkan rasa kantuk yang berlebihan pada siang hari atau disebut juga

dengan Excessive Daytime Sleepiness (EDS). OSA yang disertai dengan gejala

EDS biasanya disebut sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) atau

disebut juga dengan Obstructive Sleep Apnea/Hypopnea Syndrome (OSAHS)

(Downey, 2012).

Hypopnea adalah keadaan penurunan 10-70% aliran udara dibandingkan

orang normal yang terjadi selama 10 detik atau lebih. Sedangkan apnea

merupakan suatu kondisi di mana tidak ada sama sekali aliran udara dari hidung

atau mulut selama 10 detik atau lebih. Apnea/hypopnea index (AHI) atau

respiratory disturbance index (RDI) merupakan jumlah dari kondisi

apnea/hypopnea per jam saat tidur. AHI atau RDI dapat dinilai dengan

pemeriksaan polysomnography (Welch, 2008). Adapun klasifikasi dari OSA

mengikuti satuan tersebut. OSA terjadi jika RDI ≥ 5 kali/ jam. OSA

diklasifikasikan menjadi OSA Ringan dengan RDI 5-15 kali/jam, OSA Sedang

dengan RDI 15-30 kali/jam, dan OSA Berat dengan RDI > 30 kali/ jam. Seseorang

yang didiagnosis OSA dikatakan menderita OSA jika RDI > 15 kali/jam serta

mengalami nocturnal dan daytime symptoms (Welch and Goldberg, 2008).

2.3.2 Epidemiologi OSA

Saat ini data prevalensi mengenai OSA di Indonesia masih sangat sedikit

namun, di amerika serikat OSA merupakan salah satu penyakit yang umum terjadi.
12

National Commission on Sleep Disorders Research mengestimasi bahwa terdapat

sekitar 7-8 juta orang dengan OSA ringan (RDI > 5 kali/jam) dan sekitar 1,8-4 juta

orang dengan kasus OSA Sedang dan Berat (RDI > 15 kali/jam) di Amerika

Serikat (Downey, 2012).

Selain di amerika serikat, prevalensi ganguan napas saat tidur telah

tersedia setelah dilakukannya studi epidemiologi berskala luas diberbagai negara.

(Jamie et al., 2010). Sebagai estimasi total lintas negara, prevalensinnya sekitar 3-

7 persen untuk laki-laki dewasa dan 2-5 persen untuk perempuan dewasa pada

populasi umum. OSA lebih sering terjadi di laki-laki, sekitar 2-3 kali lebih banyak

daripada perempuan. Selain itu, prevalensi OSA cenderung sama untuk ras

kaukasus dan ras asia, yang mengindikasikan bahwa OSA tidak hanya umum

dinegara maju, namun juga pada negara berkembang. Namun, prevalensinya tetap

lebih tinggi pada subpopulasi dengan overweight atau obese. (Jamie et al., 2010)

Tabel. 2.2 Studi terkini mengenai prevalensi OSA pada populasi etnis
yang berbeda di berbagai negara
Reference Study Population Age,yr Prevalensi (%)
Young et al American men and 30-60 Men: 4*-25#
1993 women Women: 2*-19#
Bixler et al American men 20-100 17#
1998
Bixler et al American men 20-100 Men: 3.9*
2001 and women Women: 1.2*
Duran et al Spanish men and 30-70 Men: 14*-26#
2001 women Women: 7*-28#
Ip et al 2001 Chinese men 30-60 4.1*-8.8#
Ip et al 200419 Chinese women 30-60 2.1*-3.7#
Kim et al 2004 Korean men and 40-69 Men: 4.5*-27#
women Women: 3.2*-16#
Udwadia et al Indian men 25-65 7.5*-19.5#
2004
Sharma et al Indian men and 30-60 Men: 4.9*-19.7#
2006 women Women: 2.1*-7.4#
Catatan : *OSA syndrom didefinisikan dengan AHI ≥ 5 dengan EDS ; #OSA didefinisikan
dengan AHI ≥ 5. Semua prevalensi ini menggunakan pengukuran polisomnografi
standart.
Sumber : (Jamie et al., 2010, 167)
13

2.3.3 Diagnosis OSA

Diagnosis pada OSA dapat ditentukan berdasarkan riwayat tidur,

manifestasi klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (pemeriksaan

radiologi dan pemeriksaan khusus) (Douglas, 2008).

Manifestasi klinis OSA dapat dibagi menjadi dua garis besar, yaitu gejala

pada saat tidur (Nocturnal Symptoms) dan gejala pada siang hari (Daytime

Symptoms). Nocturnal Symptoms terdiri dari keseharian mendengkur dengan suara

kuat dan mengganggu orang di sekitarnya; apnea/hypopnea pada saat akhir

dengkuran; rasa tercekik yang membuat pasien sering terbangun dari tidur;

nokturia; insomnia; serta tidur tidak nyenyak. Sedangkan Daytime Symptoms

terdiri dari : sakit kepala di pagi hari; Excessive Daytime Sleepiness (EDS); rasa

lelah saat bangun tidur dan siang hari; defisit kognitif; gangguan memori dan

intelektual; penurunan kewaspadaan; perubahan mood dan kepribadian (seperti

depresi dan ansietas) (Downey, 2012).

2.3.4 Faktor selain Obesitas yang Memengaruhi Risiko OSA

1. Jenis Kelamin

Hal ini tidak sepenuhnya diketahui dengan jelas mengapa risiko OSA

kurang umum ditemukan pada prempuan dibandingkan laki-laki. Namun

demikian, beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki memiliki risiko 2-4

kali lipat lebih besar untuk menderita OSA. Penelitian terbaru memberikan bukti

bahwa perbedaan ini mungkin terkait dengan distribusi jaringan adiposa yang

berbeda menurut determinat seks. Secara umum, wanita menunjukkan deposisi

jaringan adiposa di sekitar leher dan perut yang lebih sedikit dibandingkan dengan

laki-laki, dan ini telah terbukti untuk berkontribusiterhadap risiko terjadinya OSA.
14

Pada individu obesitas, deposito jaringan adiposa menyebabkan penurunan

dimensi saluran napas bagian atas dan berkontribusi dalam meningkatkan

resistensi aliran udara. Pada pria yang lebih tua dan perempuan pascamenopause,

peningkatan lemak di daerah leher dan kraniofasial meningkatkan risiko OSA

(Carter and Watenpaugh, 2008)

2. Usia

Penuaan telah dilihat sebagai faktor utama dalam patogenesis OSA

prevalensi OSA tertinggi terjadi pada pria berusia 45-64 tahun dan pada wanita

lebih dari 65 tahun. Namun, pengumpulkan bukti untuk peningkatan prevalensi

OSA pada anak mengubah cara pandang seorang dokter dan ilmuwan dalam

melihat usia sebagai faktor risiko. Baru-baru ini, sebuah studi menunjukkan

bahwa meskipun prevalensi OSA lebih sedikit pada individu yang lebih muda,

perilaku, suasana hati, dan kantuk siang hari yang berlebihan memberikan dampak

yang lebih parah pada OSA yang tidak diobati. Pada anak-anak dengan obesitas,

prevalensi OSA pada anak-anak dengan gejala mendengkur dilaporkan lebih

tinggi. (Carter and Watenpaugh, 2008)

3. Faktor genetik dan keturunan

Faktor penentu genetik atau keturunan memainkan peranan secara independent

sebagai penentu terjadinya obesitas. Secara historis, studi dari Amerika Serikat

dan Eropa telah melaporkan bahwa faktor keturunan berkontribusi 50-80% dalam

menentukan berat badan individu. Stunkard dkk. menemukan bahwa berat badan

dan ukuran antoprometri individu yang diadopsi lebih mungkin mencerminkan

orang tua biologis mereka daripada orang tua yang mengadopsi. Beberapa studi
15

telah menunjukkan hubungan signifik antara faktor genetik dalam pprogresifitas

gejala klinis OSA. (Carter and Watenpaugh, 2008)

2.4 Hubungan Antara Obesitas Dan Gangguan Tidur Obstructive Sleep


Apnea (OSA)
2.4.1 Mekanisme patofisiologi obesitas sebagai faktor resiko terjadinya

OSA

Obesitas adalah faktor risiko OSA yang tertinggi. Diperkirakan hampir

30% pasien dengan IMT ≥ 30 kg/m2 dan 50% pasien dengan IMT ≥ 40 kg/m2

menderita OSA (Downey, 2012). Pada pasien obesitas yang sebagian lemaknya

lebih terakumulasi di daerah leher ataupun lidah, akan lebih berisiko menderita

OSA. Suatu penelitian New Zealand Obese mouse melakukan penelitian terhadap

polygenetic mouse yang obesitas, didapatkan adanya pembesaran dari ukuran

lidah dengan menggunakan three-dimensional MRI (Plen & Pack, Pack, 2008).

Gambar 2.4 Mekanisme patofisiologi terjadinya OSA pada penderita obesitas. Interaksi
antara OSA, obesitas, sleep deprivation, dan abnormalitas metabolik. HDL = high-density
Lipoprotein (Romero-Corral, 2010)

Adanya timbunan lemak di daerah lidah maupun di daerah leher

menyebabkan penyempitan saluran napas atas pada pasien. Hal ini akan
16

menimbulkan gejala mendengkur saat tidur, yang merupakan gejala dini akibat

adanya penyempitan saluran napas atas saat tidur. Jika terjadi penyempitan

saluran napas atas yang progresif pada pasien, maka dapat menyebabkan

terjadinya OSA (Downey, 2012). Obstruksi jalan napas juga menyebabkan

peningkatan tahanan saluran napas atas, hipoksia, dan hypercapnia sehingga

memicu penderita terbangun dari tidur. Oleh sebab itu, pada penderita OSA sering

terjadi fragmentasi tidur dan menimbulkan gejala EDS (Arifin et al., 2010).

2.5 Kuesioner Berlin (Berlin Questionnaire)

2.5.1 Definisi berlin questionnaire

Kuesioner Berlin (apendix 1) dipulikasikan pada April 1996 di Berlin oleh

Conference on Sleep in Primary Care dengan melibatkan 120 orang pulmonary

dan primary care physicians asal Amerika Serikat dan Jerman. Kuesioner ini

terdiri dari 10 pertanyaan yang dipilih berdasarkan faktor-faktor risiko (obesitas,

hipertensi) dan prilaku (mendengkur, rasa kantuk yang berlebihan pada siang hari)

yang berhubungan dengan timbulnya gangguan pernapasan saat tidur yang terbagi

kedalam 3 kategori.

Pada kategori pertama terdiri atas 5 pertanyaan dengan rincian yaitu satu

pertanyaan utama dan empat pertanyaan tambahan untuk menilai gejala

mendengkur (snoring). Kategori kedua terdiri atas 4 pertanyaan dengan rincian

yaitu tiga pertanyaan utama dan satu pertanyaan tambahan untuk menilai gejala

EDS dengan sub-pertanyaan tentang rasa kantuk saat berkendara. Kategori ketiga

terdiri atas 2 pertanyaan dengan rincian pertanyaan mengenai riwayat tekanan

darah tinggi ( > 140/90 mmHg) dan IMT > 30 kg/m2. (El-Sayed, 2012)

2.5.2 Pengukuran risiko menderita OSA


17

Interpretasi pada kuesioner Berlin adalah apakah seseorang berisiko tinggi

atau berisiko rendah menderita OSA.

Pada kategori 1, seseorang berisiko tinggi jika terdapat gejala yang

persisten (lebih dari 3 atau 4 kali per minggu) pada ≥ 2 pertanyaan mengenai

gejala mendengkur. Pada kategori 2, seseorang berisiko tinggi jika gejala EDS,

mengantuk saat mengendarai kendaraan, atau keduanya persisten. (lebih dari 3

atau 4 kali per minggu). Pada kategori 3, seseorang berisiko tinggi jika memiliki

riwayat tekanan darah tinggi ( > 140/90 mmHg) dan/atau IMT ≥ 30 kg/m2.

Kelompok studi dikategorikan Resiko Tinggi menderita OSA jika

mendapat nilai positif pada dua atau lebih kategori, sedangkan kelompok studi

akan dikategorikan Resiko Rendah menderita OSA jika mendapat nilai positif

kurang dari dua kategori. (El-Sayed, 2012)

Gambar 2.5 Kuesioner Berlin (El-Sayed, 2012)

Anda mungkin juga menyukai