Anda di halaman 1dari 81

MAKALAH ASUHAN KEHAMILAN

Disusun oleh:
1. Inka Juniarti 21154011030
2. Tezzy Maria Sintia 211541011002
3. Fitriani 21154011006

Dosen Pembimbing:
Tri Sartika., SST, M.Kes

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA HUSADA PALEMBANG


PROGRAM STUDI DIII KEBIDANAN
TAHUN AJARAN 2022
DAFTAR ISI
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hipertensi


Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko penting pada penyakit kardiovaskular,
penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah perifer, stroke dan penyakit ginjal. Untuk
menghindari komplikasi tersebut diupayakan pengendalian tekanan darah dalam batas normal
baik secara farmakologis maupun non farmakologis (Nadar, 2015; Rani et al., 2006).
Lima penyebab kematian ibu terbesar di Indonesia diantaranya adalah karena hipertensi
dalam kehamilan (Kemenkes RI, 2014, 2015, 2016, 2018).
Hipertensi pada kehamilan dapat digolongkan menjadi pre-eklampsia, eklampsia,
hipertensi kronis pada kehamilan, hipertensi kronis disertai preeklampsia, dan hipertensi
gestational (Roberts et al., 2013).
Penyakit kardio-serebrovaskular adalah salah satu penyebab utama morbiditas dan
mortalitas, dengan angka kematian 17 juta di seluruh dunia setiap tahunnya atau 31% dari
seluruh mortalitas. Di eropa, angka ini bahkan mencapai 42%. Penyakit kardiovaskular kerap
diasosiasikan dengan gaya hidup (merokok, kurangnya aktivitas fisik, perilaku makan yang tidak
sehat, dan stress) dan beberapa faktor risiko lain seperti hipertensi, dislipidemia, obesitas, usia
lanjut, riwayat penyakit kardiovaskular pada keluarga, dan disfungsi endhothelium. Koeksistensi
dari beberapa faktor risiko akan meningkatkan risiko kardiovaskular (Turana et al., 2017;
Nambiar, 2015).
Peningkatan tekanan darah yang tidak terlalu tinggi (high normal / prehipertensi) telah terbukti
meningkatkan insiden penyakit kardiovaskular. Insiden penyakit kardiovaskular selama 10 tahun
pada mereka yang tekanan darahnya prehipertensi adalah 8% pada laki-laki dan 4% pada
perempuan. Sehingga disimpulkan bahwa semakin tinggi tekanan darah, semakin tinggi pula
angka kejadian kelainan kardiovaskular (Nadar, 2015).
JNC 7 juga melaporkan bahwa peningkatan tekanan darah sistolik 20 mmHg atau
diastolik 10 mmHg akan meningkatkan risiko kejadian penyakit kardiovaskular dua kali lipat
(Nadar, 2015; Burt et al., 1995).
Sebaliknya penurunan tekanan diastolik 2 mmHg dapat menurunkan penyakit jantung
koroner, stroke dan transient ischemic attact (TIA) sebesar 6% (Vassan et al., 2001).
Tetapi apabila tekanan darah diastolik diturunkan hingga < 70 mmHg dapat
meningkatkan angka mortalitas (Kimm et al., 2018; Vidal-Petiot et al., 2016; Tringali et al.,
2013).
Konsekuensi hipertensi pada kehamilan (Mustafa et al., 2012; Malha et al., 2018) :

a). Jangka pendek


Ibu : eklampsia, hemoragik, isemik stroke, kerusakan hati (HELL sindrom, gagal hati,
disfungsi ginjal, persalinan cesar, persalinan dini, dan abruptio plasenta.Janin : kelahiran
preterm, induksi kelahiran, gangguan pertumbuhan janin, sindrom pernapasan, kematian janin.
b) Jangka panjang
Wanita yang mengalami hipertensi saat hamil memiliki risiko kembali mengalami hipertensi
pada kehamilan berikutnya, juga dapat menimbulkan komplikasi kardiovaskular, penyakit ginjal
dan timbulnya kanker.
Hipertensi pada kehamilan dapat berkembang menjadi pre-eklampsia, eklampsia dan sindrom
HELLP. Kemudian dapat bermanifestasi dengan kejadian serebral iskemik atau hemoragik pada
pra, peri, dan postpartum menjadi penyakit stroke. Gejala pre-eklampsia/eklampsia adalah sakit
kepala, gangguan penglihatan (kabur atau kebutaan) dan kejang. Hal ini dapat menyebabkan
kecacatan bahkan kematian bagi ibu dan janin bila tidak segara dilakukan penanganan (Vidal et
al., 2011).

Faktor Predisposisi
-Kehamilan kembar
-Penyakit trofoblas
-Hidramnion
-Diabetes Militus
-Gangguan vaskuler plasenta
-Faktor herediter
-Riwayat preeklamsi sebelumnya
-Obesitas sebelum hamil. (Tri Restu H | Tri Sartika 2020)
· Jenis-jenis Hipertensi
a. Hipertensi Kronis pada Kehamilan
Definisi
Hipertensi kronis pada kehamilan apabila tekanan darahnya ≥140/90 mmHg, terjadi sebelum
kehamilan atau ditemukan sebelum 20 minggu kehamilan.Seringkali merupakan hipertensi
esensial / primer, dan didapatkan pada 3,6-9% kehamilan (Malha et al., 2018).
Hipertensi kronis pada kehamilan adalah hipertensi (≥ 140/90 mmHg) yang telah ada sebelum
kehamilan. Dapat juga didiagnosissebelum minggu ke-20 kehamilan. Ataupun yang terdiagnosis
untuk pertama kalinya selama kehamilan dan berlanjut ke periode post-partum (Karthikeyan,
2015).

Diagnosis
- Tekanan darah diatas 160/100 mmHg (vivian nanny lia dewi| Tri Sunarsi 2010 )
- Usia pasien diatas 40 tahun.
-Tekanan darah ≥140/90mmHg (Tri Restu H | Tri Sartika 2020)
-Sudah ada riwayat hipertensi sebelum hamil, atau diketahui adanya hipertensi pada usuia
kehamilan <20 minggu
- Tidak ada proteinuria
-Dapat disertai keterlibatan organ lain seperti mata, jantung dan ginjal.
Tatalaksana
a) Tatalaksana Umum

- Anjurkan istirahat lebih banyak


- Pada hipertensi kronik, penurunan tekanan darah ibu akan menganggu perfusi serta tidak ada
bukti-bukti bahwa tekanan darah yang normal akan memperbaiki keadaan janin dan ibu
- Berikan suplementasi kalsium 1.5-2 g/hari dan aspirin 75mg/hari mulai dari usia kehamilan
20minggu
- Pantau pertumbuhan dan kondisi janin
- Jika tidak ada komplikasi, tunggu sampai aterm
- Jika denyut jantung janin <100 kali/menit atau >180 kali/menit, tangani seperti gawat janin.
Jika terdapat pertumbuhan janin terhambat, pertimbangkan terminasi kehamilan
b. Hipertensi gestasional
Definisi
Hipertensi gestasional adalah hipertensi yang terjadi setelah 20 minggukehamilan tanpa
proteinuria. Angka kejadiannya sebesar 6%. Sebagian wanita (> 25%) berkembang menjadi pre-
eklampsia diagnosis hipertensi gestasional biasanya diketahui setelah melahirkan (Leslie and
Collins, 2016; Malha et al., 2018).
Hipertensi gestasional berat adalah kondisi peningkatan tekanan darah > 160/110 mmHg.
Tekanan darah baru menjadi normal pada post partum, biasanya dalam sepuluh hari. Pasien
mungkin mengalami sakit kepala, penglihatan kabur, dan sakit perut dan tes laboratorium
abnormal, termasuk jumlah trombosit rendah dan tes fungsi hati abnormal (Karthikeyan, 2015).
Hipertensi gestasional terjadi setelah 20 minggu kehamilan tanpa adanya proteinuria. Kelahiran
dapat berjalan normal walaupun tekanan darahnya tinggi. Penyebabnya belum jelas, tetapi
merupakan indikasi terbentuknya hipertensi kronisdi masa depan sehingga perlu diawasi dan
dilakukan tindakan pencegahan (Roberts et al., 2013).

Diagnosis
-Tekanan darah ≥140/90mmHg
- Tidak ada riwayat hipertensi sebelum hamil, tekanan darah normal di usia kehamilan <12
minggu
- Tidak ada proteinuria
-Dapat disertai tanda gejala preeklamsi seperti nyeri ulu hati dan trombositopenia
-Diagnosis pasti ditegakkan pascapersalinan (Tri Restu H | Tri Sartika 2020)

Tatalaksana
a) Tatalaksana Umum
- Pantau tekanan darah, urine dan kondisi janin setiap minggu
- Jika tekanan darah meningkat, tangani sebagai preeklamsi ringan
- Jika kondisi janin membruuk atau terjadi pertumbuhan janin terhambat, rawat untuk penilaian
kesehatan janin
- Beritahu pasien dan keluarga tanda bahaya dan gejala preekalmsi dan eklampsi
- Jika tekanan darah stabil, janin dapat dilahirkan secara normal. (Tri Restu H | Tri Sartika 2020)
c. Hipertensi Gravidarum

Hipertensi dalam kehamilan termasuk hipertensi karena kehamilan dan hipertensi kronik
(meningkatnya tekanan darah sebelum usia kehamilan 20 minggu). Nyeri kepala, kejang, dan
hilangnya kesadaran sering berhubungan dengan hipertensi dalam kehamilan. Keadaan lain yang
dapat mengakibatkan kejang ialah epilepsi, malaria, trauma kepala, meningitis, dan ensefalitis.
(Ummi Hani|Jiarti Kusbandiyah Marjati|Rita Yulifa 2010)
1. Tekanan diastolik merupakan indikator untuk prognosis pada penanganan hipertensi dalam
kehamilan.
2. Tekanan diastolik mengukur tekanan tahanan perifer dan tidak oleh keadaan emosi pasien
(seperti pada tekanan sistolik).
3. Jika tekanan diastolik ≥90 mmHg pada dua pemeriksaan berjarak 4 jam atau lebih,
diagnosisnya adalah hipertensi. Pada keadaan urgen, tekanan diastolik 110 mmHg dapat dipakai
sebagai dasar diagnosis, dengan jarak waktu pengukuran < 4 jam.

-Jika hipertensi pada kehamilan > 20 minggu, pada persalinan, atau dalam 48 jam sesudah
persalinan, diagnosisnya adalah hipertensi dalam kehamilan.
- Jika hipertensi terjadi pada kehamilan < 20 minggu, diagnosisnya adalah hipertensi kronik.

Klasifikasi hipertensi dalam kehamilan adalah sebagai berikut.


1. Hipertensi (tanpa proteinuria atau edema).
2. Preeklampsia ringan.
3. Preeklampsia berat.
4. Eklampsia. (Ummi Hani|Jiarti Kusbandiyah Marjati|Rita Yulifa 2010)

· Diet Pada Ibu Hamil Yang Hipertensi


Diet bagi ibu hamil yang hipertensi adalah diet rendah garam, terdiri dari diet ringan
(konsumsi garam 3,75-7,5 gram per hari), menengah (1,25-3,75 gram per hari) dan berat (kurang
dari 1,25 gram per hari). Menjaga rasa makanan sealami mungkin merupakan diet terbaik.
Saat menurunkan konsumsi garam, makanlah banyak buah-buahan dan sayuran yang
kaya potasium seperti kacang-kacangan dan aprikot. Potasium membantu menurunkan tekanan
darah. Namun jika Anda juga mengalami gangguan ginjal, hindari potasium sebab memperburuk
kondisi ginjal.
Kalsium dan magnesium adalah dua jenis mineral yang baik bagi penderita hipertensi.
Terdapat pada susu, ikan laut, rumput laut, kacang, kol, kacang almond kering, bayam, alpukat,
pisang, kismis dan kacang mede.
Buah-buahan dan sayuran tinggi serat juga punya kemampuan menurunkan tekanan darah.
Asam lemak tak jenuh seperti omega 3 dari minyak ikan tuna juga punya efek yang bagus
untuk menurunkan tekanan darah.
Alkohol dilarang karena dapat meningkatkan tekanan darah. Waspada alkohol yang
tersembunyi di dalam makanan.

· Pengobatan Hipertensi pada Ibu Hamil


Obat yang umum digunakan dalam pengobatan hipertensi pada kehamilan adalah labetalol,
methyldopa, nifedipine, clonidine, diuretik, dan hydralazine. Labetalol adalah obat yang paling
aman. Diuretik dan CCB (nifedipine) mungkin aman tetapi data minimal dan tidak digunakan
sebagai firstline drug (Karthikeyan, 2015).

Kapan memulai pengobatan hipertensi pada kehamilan? Guideline ESH/ESC 2018


menyarankan tekanan darah sistolik ≥ 140 atau diastolik ≥ 90mmHg tetapi pada kasus-kasus
tertentu disarankan pada tekanan darah sistolik ≥150 atau diastolik ≥ 95 mmHg. Pada tekanan
darah sistolik ≥ 170 mmHg atau diastolik ≥ 110 mmHg pada wanita hamil dianggap emergensi
dan diperlukan rawat inap di rumah sakit (Regitz-Zagrosek, 2018).

2.2 Pengertian Hiperemesis Gravidarum


Emesis gravidarum adalah gejala yang wajar atau serring terdapat pada kehamilan
trimester pertama. Mual biasanya terjadi pada pagi hari, tetapi ada yang timbul setiap saat
dan malam hari. Gejala-gajala ini biasanya terjadi 6 minggu setelah hari pertama haid
terakhir dan berlangsung kurang lebih 10 minggu14. Mual muntah terjadi hampir 80% pada
ibu hamil.
Hiperemesis gravidarum adalah keadaan dimana penderita mual muntah lebih dari 10
kali dalam 24 jam, sehingga pekerjaan sehari-hari terganggu dan keadaan umum menjadi
buruk. Keadaan ini rata-rata muncul pada usia kehamilan 8-12 minggu16.Hiperemesis
gravidarum adalah kondisi persisten mual muntah ibu hamil pada trimester pertama sampai
dengan usia kehamilan 22 minggu yang apabila berkelanjutan bisa mengakibatkan
kekurangan karbohidrat dalam lemak, dehidrasi dan kekurangan elektrolyt.
Hiperemesis gravidarum ditandai dengan mual muntah, ketonuria dan kehilangan 5%
dari berat sebelum hamil, 0,3 hingga 0,2 % hyperemesis gravidarum membutuhkan
perawatan di rumah sakit.
Pada umumnya hiperemesis gravidarum terjadi pada minggu ke 6- 12 masa
kehamilan, yang dapat berlanjut sampai minggu ke 16-20 masa kehamilan. Mual dan muntah
merupakan gejala yang wajar ditemukan pada kehamilan triwulan pertama. Biasanya mual
dan muntah terjadi pada pagi hari sehingga sering dikenal dengan morning sickness.
Sementara itu setengah dari wanita hamil mengalami morning sickness, antara 1,2 - 2%
mengalami hiperemesis gravidarum, suatu kondisi yang lebih serius. Hampir 50% wanita
hamil mengalami mual dan biasanya mual ini mulai dialami sejak awal kehamilan.

a. Tingkatan Hiperemesis Gravidarum


Runiari menyatakan bahwa tidak ada batasan yang jelas antara mual yang bersifat
fisiologis dengan hiperemesis gravidarum, tetapi bila keadaan umum ibu hamil
terpengaruh sebaiknya dianggap sebagai hyperemesis gravidarum. Menurut berat
ringannya gejala hiperemesis gravidarum dapat dibagi kedalam tiga tingkatan sebagai
berikut :
1. Tingkat I
Muntah terus menerus yang mempengaruhi keadaan umum. Pada tingkatan ini ibu
hamil merasa lemah, nafsu makan tidak ada, berat badan menurun dan merasa nyeri pada
epigastrium. Nadi meningkat sekitar 100 kali per menit, tekanan darah sistolik menurun,
dapat disertai peningkatan suhu tubuh, turgor kulit berkurang, lidah kering dan mata
cekung.
2. Tingkat II
Ibu hamil tampak lebih lemas dan apatis, turgor kulit lebih menurun, lidah kering
dan tampak kotor, nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun, suhu kadang-kadang naik,
mata cekung dan sedikit ikterus, bera badan turun, hemokonsentrasi, oligouria, dan
konstipasi. Aseton dapat tercium dari hawa pernapasan karena mempunyai aroma yang
khas, dan dapat pula ditemukan dalam urine.
3. Tingkat III
Keadaan umum lebih parah, muntah berhenti, kesadaran menurun dari somnolen
sampai koma, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun, serta suhu meningkat.
Komplikasi fatal terjadi pada susunan saraf yang dikenal sebagai wenickle ensefalopati.
Gejala yang dapat timbul seperti nistagmus, diplopia, dan perubahan mental, keadaan ini
adalah akibat sangat kekurangan zat makanan, termasuk vitamin B kompleks. Timbulnya
ikterus menunjukkan terjadinya payah hati. Pada tingkatan ini juga terjadi perdarahan
dari esofagus, lambung, dan retina.

b. Penyebab Hiperemesis Gravidarum


Penyebab hiperemesis gravidarum belum diketahui secara pasti, tetapi kondisi ini
sering kali dikaitkan dengan tingginya kadar hormon human chorionic gonadotropin
(HCG) dalam darah. Hormon ini dihasilkan oleh ari-ari (plasenta) sejak trimester pertama
kehamilan dan kadarnya terus meningkat sepanjang masa kehamilan.
Beberapa teori penyebab terjadinya hiperemesis gravidarum namun tidak ada satupun yang dapat
menjelaskan proses terjadinya secara tepat. Teori tersebut antara lain adalah :
1. Teori endokrin
Teori ini menyatakan bahwa peningkatan kadar progesteron, estrogen, dan Human
Chorionic Gonadotropin (HCG) dapat menjadi faktor pencetus mual muntah. Peningkatan
hormon progesterone menyebabkan otot polos pada sistem gastrointestinal mengalami relaksasi,
hal itu mengakibatkan penurunan motilitas lambung sehingga pengosongan lambung melambat.
Refleks esofagus, penurunan motilitas lambung dan penurunan sekresi dari asam hidroklorid
juga berkontribusi terhadap terjadinya mual dan muntah. Selain itu HCG juga menstimulasi
kelenjar tiroid yang dapat mengakibatkan mual dan muntah.
2. Teori Metabolik
Teori metabolik menyatakan bahwa kekurangan vitamin B6 dapat mengakibatkan mual
dan muntah pada kehamilan.
3. Teori Alergi
Adanya histamine sebagai pemicu dari mual dan muntah mendukung ditegakkannya teori
alergi sebagai etiologi hiperemesis gravidarum. Mual dan muntah berlebihan juga dapat terjadi
pada ibu hamil yang sangat sensitive terhadap sekresi dari korpus luteum
4. Teori Infeksi
Hasil penelitian menemukan adanya hubungan antara infeksi Helicobacter pylori dengan
terjadinya hiperemesis gravidarum, sehingga dijadikan dasar dikemukakannya teori infeksi
sebagai penyebab hiperemesis gravidarum.
5. Teori Psikomantik
Menurut teori psikomatik, hiperemesis gravidarum merupakan keadaan gangguan
psikologis yang dirubah dalam bentuk gejala fisik. Kehamilan yang tidak direncanakan dan tidak
diinginkan serta tekanan pekerjaan dan pendapatan menyebabkan terjadinya perasaan berduka,
ambivalen, serta konflik dan hal tersebut dapat menjadi faktor psikologis penyebab hiperemesis
gravidarum.

c. Gejala Hiperemesis Gravidarum


Gejala utama hiperemesis gravidarum adalah mual dan muntah saat hamil, yang bisa
terjadi hingga lebih dari 3–4 kali sehari. Kondisi ini bisa sampai mengakibatkan hilang nafsu
makan dan penurunan berat badan. Muntah yang berlebihan juga dapat menyebabkan ibu
hamil mengalami pusing, lemas, dan dehidrasi.
Selain mual dan muntah secara berlebihan, penderita hiperemesis gravidarum juga
dapat mengalami gejala tambahan berupa:
· Sakit kepala
· Konstipasi
· Sangat sensitif terhadap bau
· Inkontinensia urine
· Produksi air liur berlebihan
· Jantung berdebar
Gejala hiperemesis gravidarum biasanya muncul di usia kehamilan 4–6 minggu dan mulai
mereda pada usia kehamilan 14–20 minggu.
Ada beberapa kondisi yang membuat ibu hamil lebih berisiko mengalami hiperemesis
gravidarum, yaitu:
· Baru pertama kali mengandung
· Mengandung anak kembar
· Menderita obesitas
· Memiliki keluarga yang pernah mengalami hiperemesis gravidarum
· Mengalami hiperemesis gravidarum pada kehamilan sebelumnya
· Mengalami hamil anggur

d. Faktor risiko hiperemesis gravidarum


Ada beberapa kondisi yang meningkatkan risiko mengalami muntah hebat saat hamil,
yaitu:
· Hamil di usia yang sangat muda
· Kelebihan berat badan (obesitas)
· Kehamilan pertama
· Memiliki riwayat hiperemesis gravidarum pada kehamilan sebelumnya
· Faktor biologis, psikologis, dan sosial

e. Bahaya hyperemesis gravidarum


Kondisi muntah dan mual parah ini dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada ibu,
seperti ketidakseimbangan elektrolit, dehidrasi, defisiensi vitamin B6 dan B12 yang dapat
menimbulkan gangguan saraf tepi (saraf kejepit).

g. Dampak hiperemesis gravidarum pada ibu dan janin


Kondisi mual dan muntah parah ini dapat menyebabkan masalah bagi ibu dan bayi,
seperti:
· Berat badan ibu hamil turun drastis.
· Ginjal ibu tidak berfungsi dengan baik, di mana ini menyebabkan ibu buang air kecil
lebih sedikit dari seharusnya.
· Kadar mineral dalam tubuh tidak seimbang sehingga dapat menyebabkan pusing, lemah,
dan perubahan tekanan darah.
· Otot-otot jadi lemah karena kekurangan nutrisi.
· Tubuh akan mengeluarkan air liur lebih banyak saat hamil, jika ditelan bisa membuat
kondisi mual lebih buruk.
Wanita dengan hiperemesis gravidarum pada masa awal kehamilan tidak berisiko lebih tinggi
mengalami keguguran.
Namun, ibu hamil dapat berisiko tinggi untuk mengalami komplikasi, yaitu:
· Dehidrasi
· Takikardia (denyut jantung cepat yang tidak normal)
· Cairan ketuban sedikit
· Bayi lahir premature

h. Penatalaksaan hiperemesis gravidarum

Penatalaksanaan awal hiperemesis gravidarum dapat dilakukan dengan penyesuaian


suplemen prenatal. Minuman atau makanan mengandung jahe mungkin juga dapat mengurangi
keluhan. Pemberian obat yang disarankan sebagai lini pertama adalah vitamin B6-doksilamin.
Jika keluhan tidak membaik, dapat diberikan terapi lini kedua seperti dimenhydrinate,
diphenhydramine, metoclopramide, dan ondansetron.

Ø Tujuan Penatalaksanaan
Target penatalaksanaan hiperemesis gravidarum adalah:
· Mengatasi dehidrasi
· Mengurangi gejala dengan modifikasi diet, serta terapi farmakologi
· Mencegah komplikasi serius dari muntah yang persisten, termasuk di antaranya gangguan
elektrolit, defisiensi vitamin, dan kehilangan berat badan yang ekstrem
· Meminimalisir efek fetal baik karena kondisi mual dan muntah ibu maupun karena
pengobatan.

Ø Pengobatan Hiperemesis Gravidarum


Pengobatan bertujuan untuk menghentikan mual dan muntah, mengganti cairan dan
elektrolit yang hilang akibat muntah berlebihan, memenuhi kebutuhan nutrisi, dan
mengembalikan nafsu makan.
Beberapa obat yang dapat diberikan oleh dokter adalah:
· Obat antimual, seperti promethazine
· Vitamin B1 atau tiamin
· Pyridoxine atau vitamin B6
· Suplemen vitamin dan nutrisi.

Ø Penataksanaan hiperemesis gravidarum tingkat 1


a. Memberikan keyakinan bahwa mual dan muntah merupakan gejala yang fisiologik pada
kehamilan muda dan akan hilang setelah kehamilan berumur 4 bulan
b. Ibu dianjurkan untuk mengubah pola makan sehari-hari dengan makanan dalam jumlah
kecil tetapi sering
c. Waktu bangun pagi jangan segera turun dari tempat tidur, tetapi dianjurkan untuk makan
roti kering atau biskuit dengan teh hangat
d. Hindari makan yang berminyak dan berbau lemak
e. Makan makanan dan minuman yang disajikan jangan terlalu panas ataupun terlalu dingin
f. Usahakan defekasi teratur

Ø Penatalaksaan hiperemesis gravidarum tingkat 2 dan 3


Pada pasien dengan hiperemesis gravidarum tingkat II dan III harus dilakukan rawat
inap dirumah sakit, dan dilakukan penanganan yaitu :
1. Medikamentosa
Obat-obatan yang dapat diberikan diantaranya suplemen multivitamin, antihistamin,
dopamin antagonis, serotonin antagonis, dan kortikosteroid. Vitamin yang dianjurkan adalah
vitamin B1 dan B6 seperti pyridoxine (vitamin B6). Pemberian pyridoxin cukup efektif
dalam mengatasi keluhan mual dan muntah. Anti histamin yang dianjurkan adalah
doxylamine dan dipendyramine. Pemberian antihistamin bertujuan untuk menghambat secara
langsung kerja histamin pada reseptor H1 dan secara tidak langsung mempengaruhi sistem
vestibular, menurunkan rangsangan di pusat muntah.
2. Terapi Nutrisi
Pada kasus hiperemesis gravidarum jalur pemberian nutrisi tergantung pada derajat
muntah, berat ringannya deplesi nutrisi dan peneriamaan penderita terhadap rencana
pemberian makanan.

3. Isolasi
Penderita disendirikan dalam kamar yang tenang, cerah, dan memiliki peredaran
udara yang baik. Sebaiknya hanya dokter dan perawat saja yang diperbolehkan untuk keluar
masuk kamar tersebut. Catat cairan yang keluar dan masuk. Pasien tidak diberikan makan
ataupun minum selama 24 jam. Biasanya dengan isolasi saja gejala-gejala akan berkurang
atau hilang tanpa pengobatan.

4. Terapi psikologik
Perlu diyakinkan kepada pasien bahwa penyakitnya dapat disembuhkan. Hilangkan
rasa takut oleh karena kehamilan dan persalinan karena itu merupakan proses fisiologis,
kurangi pekerjaan serta menghilangkan masalah dan konflik lainnya yang melatarbelakangi
penyakit ini. Jelaskan juga bahwa mual dan muntah adalah gejala yang normal terjadi pada
kehamilan muda, dan akan menghilang setelah usia kehamilan 4 bulan.

5. Terapi Alternatif
Ada beberapa macam pengobatan alternatif bagi hiperemesis gravidarum, antara lain:
a. Vitamin B6
Vitamin B6 merupakan koenzim yang berperan dalam metabolisme lipid,
karbohidrat dan asam amino. Peranan vitamin B6 untuk mengatasi 12 hiperemesis masih
kontroversi. Dosis vitamin B6 yang cukup efektif berkisar 12,5-25 mg per hari tiap 8 jam.
Selain itu Czeizel melaporkan suplementasi multivitamin secara bermakna mengurangi
kejadian mencegah insiden hiperemesis gravidarum.
Defisiensi vitamin B6 akan menyebabkan kadar serotonin rendah sehingga saraf
panca indera akan semakin sensitif yang menyebabkan ibu mudah mual dan muntah.
Pada wanita hamil terjadi peningkatan kynurenic dan xanturenic acid di urin. Kedua asam
ini diekskresi apabila jalur perubahan tryptophan menjadi niacin terhambat. Hal ini dapat
juga terjadi karena defisiensi vitamin B6. Kadar hormon estrogen yang tinggi pada ibu
hamil juga menghambat kerja enzim kynureninase yang merupakan katalisator perubahan
tryptophan menjadi niacin, yang mana kekurangan niacin juga dapat mencetuskan mual
dan muntah.

b. Jahe (zingiber officinale)


Pemberian dosis harian 250 mg sebanyak 4 kali perhari lebih baik hasilnya
dibandingkan plasebo pada wanita dengan hiperemesis gravidarum. Salah satu studi di
Eropa menunjukan bubuk jahe (1 gram per hari) lebih efektif dibandingkan plasebo
dalam menurunkan gejala hiperemesis gravidarum. Belum ada penelitian yang
menunjukan hubungan kejadian abnormalitas pada fetus dengan jahe. Namun, harus
diperhatikan bahwa akar jahe diperkirakan mengandung tromboksan sintetase inhibitor
dan dapat mempengaruhi peningkatan reseptor testoteron fetus.

2.3 Pengertian Premature


American Academic Pediatric mendefinisikan prematuritas adalah kelahiran
hidup bayi dengan <2500 gram. Keriteria ini dipakai terus secara luas, sampai tampak
bahwa ada perbedaan antara usia hamil dan berat lahir yang disebabkan adanya hambatan
pertumbuhan janin.
WHO (1961) menambahkan bahwa usia hamil sebagi kriteria untuk bayi
premature adalah yang lahir seblum 37 minggu dengan berat lahir dibawah 2500 gram.
ACOG (1995) mengusulkan bahwa dinamakan persalinan preterm apabila bayi lahir
sebelum usia 37 Minggu. Dengan perbaikan perawatn bayi premature, maka kelompok
Kerjasama pengobatan steroid antenatal (1981) melaporkan bahwa morbiditas dan
mortalitas terbesar pada bayi yang lahir preterm adalah pada usia hamil dibawah 34
Minggu
Pengelompokan bayi-bayi yang lahir preterm antara lain :
1. Low Birth Weight (LBW) bila berat lahir <2500 gram.
2. Very Low Birth Weight (VLBW) bila berat lahir <1500 gram.
3. Extreemly Low Birth Weigth (ELBW) bila berat lahir >1000 gram.
Berdasarkan pandangan usia kehamilan, janin bisa lahir preterm, term, dan postterm.
Sementara itu, dari sudut pandang berat lahir, maka janin bisa lahir Appropriate for
Gestational Age (AGA), Small for Gestational Age (SGA), dan Large for Gestationel
Age (LGA). SGA yang lahir dibawah 10 persentile disebut juga Intra Uterine Growt
Retardation (IUGR). Dalam 5 tahun terakhir ini, istilah “retardasi” telah diubah menjadi
“restriksi” karena retardasi lebih ditekanan untuk mental. LGA adalah bayi yang lahir
diatas 90 persentile, sedangkan bayi yang lahir diantara 10-90 persentile disebut dengan
AGA.
A. Cara Pendeteksian Prematur
Berbagai faktor dapat diketahui sebagai faktor pencetus terjadinya persalinan
prematur adalah riwayat persalinan premature, malformasi rahim, leiomioma uterus,
kehamilan ganda, solusio plasenta, hiper- tensi kronis, penyalahgunaan obat, alkohol, dan
merokok, usia mater- nal yang muda, kelas sosio ekonomi rendah, dan berat badan
maternal yang rendah.

Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan untuk mencari hemo- globinopati, anemia,


infeksi pelvis, dan saluran kemih, serta diabetes mellitus. Pemeriksaan USG juga dapat
membantu dalam menegakkan diagnosis usia kehamilan dan ukuran janin secara akurat
dan untuk menunjukkan anomali rahim atau leiomioma. Penilaian psikososial, adalah
sesuai untuk gravid yang masuk ke dalam kelompok risiko tinggi terjadinya persalinan
prematur, terutama jika risiko yang tim bul adalah penggunaan alkohol perokok, nutrisi
yang buruk serta di- mungkinkan untuk dilakukan perbaikan. Pendidikan dan konsultasi
adalah komponen asuhan prenatal yang penting bagi pasien tersebut. Asuhan antenatal
yang agresif dapat menurunkan dengan bermakna faktor risiko pecahnya selaput amnion
sebelum waktunya, BBLR, per- salinan prematur dan kematian prenatal. Persalinan
prematur mudah terdiagnosa jika disertai dengan kontrak- si rahim yang teratur dan
perubahan pada serviks. Pemeriksaan awal harus termasuk monitoring dan USG janin
untuk tujuan memperki- rakan berat badan janin, menentukan usia kehamilan, dan
mendapat informasi mengenai persentasi janin, malformasi, tempat plasenta, volume
cairan amnion, dan jenis kelamin janin. Berikan hidrasi cepat serta anjurkan pasien
istirahat baring pada lateral kiri sebagai langkah pertama penatalaksanaan, karena
tindakan ini secara efektif mampu menghilangkan kontraksi.

B. Penyebab Prematur
Penyebab dari Persalinan Preterm sebagi berikut :

1. Komplikasi medis maupun obstetric.


Kurang lebih dari kejadian persalinan preterm disebabkan oleh hal-hal yang berkaitan
dengan komplikasi medis ataupun obstetrik tertentu misalnya pada kasus-kasus
perdarahan antepartum ataupun hipertema dalam kehamilan yang sebagian besar
memerlukan tindakan terminasi saat kehamilan preterm. Akan retapi, dari kejadian
persalinan preterm tidak diketahui secara jelas faktor- faktor penyebabnya karena
persalinan preterm pada kelompok ini terjadi persalinan preterm yang spontan
(idiopatik).

2. Faktor gaya hidup.


Kebiasaan merokok, kenaikan berat badan ibu selama hamil yang kurang, serta
penyalahgunaan obat (kokain) dan alkohol merupakan faktor yang berkaitan dengan
gaya hidup seseorang yang bisa dihubungkan dengan persalinan preterm. Menurut
Halzman, alkohol tidak hanya meningkatkan kejadian persalinan preterm saja, tetapi
juga meningkatkan risiko terjadinya kerusakan otak pada bayi yang yang lahir
preterm. Selain itu, kehamilan pada usia muda, sosial ekonomi rendah, ibu yang
pendek, stres kejiwaan, juga merupakan faktor yang bisa dihubungkan dengan
kejadian persalinan preterm meskipun semuanya belum dibuktikan secara konseptual
sebagai penyebab persalinan preterm, tetapi secara empirik dari penelitian
epidemiologik statistik membuktikan adanya korelasi antara faktor-faktor di atas
dengan kejadian persalinan preterm.

3. Infeksi dalam air ketuban (Amniotic Fluid Infection)


Infeksi pada jaringan korioamniotik (korioamnionitis) yang disebabkan berbagai Jenis
mikroorganisme pada alat reproduksi wanita dikaitkan dengan kejadian persalinan
preterm pertama kali yang dikemukakan oleh Knox & Harnes Akhirnya pada tahun
1996 ditemukan bahwa pemeriksaan bakteriologik yang positif di dalam cairan
ketuban ditemukan pada 20% kasus persalinan preterm tanpa disertai dengan tanda-
tanda klinik infeksi. Patogenesis dari infeksi ini, yang menyebabkan persalinan
preterm pertama kali dikemukakan oleh Schwarz yang memperkirakan bahwa proses
persalinan pada persalinan preterm diawali dengan aktivasi dari phospholipase A2
(PLA-2) yang melepaskan bahan asam arakidonik (AA) dari selaput amnion janin
sehingga meningkatkan penyediaan AA yang bebas untuk sintesis prostaglandin
(PG).

4. Ketuban pecah prematur pada kehamilan preterm (KPP preterm). Suatu reaksi
inflamasi yang ditemukan pada tempat pecahnya selaput amnion pada KPP preterm
telah diketahui sejak tahun 1950 dan ini memberikan gambaran yang lebih nyata
tentang infeksi. McGregor dkk., dengan menunjukkkan bahwa protease yang
dikeluarkan oleh kuman bisa mengurangi elastisitas selaput amnion (in vitro). Dengan
demikian, mikroorganisme telah memberi akses pada selaput ketuban untuk terjadi
KPP dengan/tanpa diikuti tanda-tanda adanya proses persalinan pada kehamilan
preterm.

5. Vaginosis bakterial. Vaginosis Bakterial (BV) adalah kondisi di mana flora normal
vagina Lactobasilus digantikan dengan bakteri anaerob Gardnerella vaginalis dan
Mycoplasma hominis. Diagnosis dari BV ini didasarkan atas pemeriksaan berikut ini.
· PH vagina >4,5
· Bau amine bila lender vagina ditambah KOH.
·
6. rikomoniasis dan Kandidiasis. Meis dkk, mengemukakan bahwa tidak ada hubungan
yang signifikan antara Trikomoniasis dan Kandidiasis dengan kejadian persalinan
preterm.

7. Klamydiasis. Sering dikemukakan oleh sejumlah peneliti tentang adanya gangguan


terhadap fungsi reproduksi wanita (infertility) sebagai akibat dari infeksi oleh kuman
Chlamydia trachomatis, akan tetapi McGregor & French (1991) serta Ryan dkk..
(1990), menunjukkan bahwa adanya ketidakjelasan hubungan antara infeksi ini
dengan proses persalinan preterm.
C. Dampak Prematur
Dampak dari Bayi yang Lahir Preterm
© Dampak Jangka Pendek. Komplikasi jangka pendek pada bayi yang lahir
preterm selalu dikaitkan dengan pematangan paru janin yang belum sempurna,
antara lain Respiratory Distress Syndrome (RDS). Intra Ventricular Haemorrhage
(IVH), dan Necrotizing Enterocolitis (NEC). Pada ketiga kondisi ini, hipoksia
memegang peran yang sangat dominan.

© Dampak Jangka Panjang. Allen dkk. (1993), mengemukakan bahwa bayi-bayi


yang lahir pada usia hamil 23-24 minggu yang berhasil diselamatkan
menunjukkan komplikasi kelainan otak yang cukup berarti (79% atau lebih).
Hack dick. (1994) melakukan pengamatan terhadap 60 anak yang lahir dengan
berat 750 gr sampai dengan usia sekolah, ternyata mereka mempunyai masalah
dalam hal keterampilan. Sebesar 45% dari bayi-bayi preterm yang hidup
memerlukan sarana pendidikan khusus, di mana 21% mempunyai 1Q <70 dan
banyak yang mengalami hambatan pertumbuhan dan daya penglihatan yang di
bawah normal. Sementara itu, bayi-bayi preterm yang lahir lebih tua (32-34
minggu) dan mempunyai berat lahir yang lebih besar masih juga mempunyai
risiko jangka pendek vang berupa RDS, bahkan komplikasi jangka pendek ini
masih bisa terjadi pada 6% bayi yang lahir dengan usia hamil 35-38 minggu.

© Dampak dalam Segi Ekonomi dari Persalinan Preterm Amerika Serikat, until
7% persalinan preterm, memerlukan dan pembayan kesehatan untuk tahun
pertama kehidupan. Perwatan bays preterno dengiam baru lahir 2500 gr
memerlukan biaya 8 lah lebih besar dibandingkan dengan bayi normal, sedangkan
bila berat lahir 1500 gr memerlukan biaya 10 kali dibanding bayi normal.

D. Gejala Klinis dari Persalinan Preterm


Tanda-tanda klinis dari persalinan preterm adalah didahului dengan adanya kontraksi uterus
dan rasa menekan pada panggul (menstrual like cramp, low backpain) kemudian diikuti
dengan keluarnya cairan vagina yang mengandung darah. Adapun indicator – indicator
terjadinya persalinan preterm :
1. Indikator klinik
2. Indikator laboratorik
3. Indikator biokimiawi

E. Diagnosis Persalinan Aterm


Diagnosis suatu persalinan preterm yang membakat (preterm labor) didasarkan atas gejala
klinis yang ditandai dengan suatu kontraksi rahim yang teratur dengan interval<5-8 menit
pada kehamilan 20-37 minggu, yang disertai dengan satu atau lebih gejala-gejala berikut.
1. Perubahan serviks yang progresif.
2. Pembukaan serviks 2 cm atau lebih.
3. Pendataran serviks 80% atau lebih.

2.4 Pengertian HIV pada ibu hamil


HIV atau Human Immunodeficiensy Virus adalah yang menyerang sistem kekebelan
tubuh manusia (Noviana, 2016). Sedangkan AIDS atau Acquired Immune Deficiency Sindrom
merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang
disebabkan oleh retrovirus yaitu HIV yang menyebaban penurunan sistem kekebalan tubuh
secara simtomatis atau asimtomatis (Irianto, 2013).2, Etilogi HIV/AIDS.

a. Sumber penyakit AIDS


AIDS disebabkan oleh masuknya HIV kedalam tubuh. HIV merupakan virus yang
menyerang kekebalan tubuh manusia. HIV merupakan retrovirus yang termasuk dalam famili
lentivirus (Santoso, 2008). Retnovirus merupakan virus yang memiliki enzim (protein) yang
dapat mengubah RNA, materi genetiknya, menjadi DNA. Kelompok ini disebut retrovirus karena
virus ini membalik urutan normal yaitu DNA diubah (diterjemahkan) menjadi RNA (Gallant,
2010).

Ø Ada 3 cara penularan :


1. Hubungan seksual tidak aman
· Hubungan seks tidak aman melalui vagina/dubur antara laki
· Hubungan seksual tidak aman melalui dubur antara laki
· Hubungan seks melalui mulut/oral (risiko lebih rendah) 4
· Hubungan seks antara wanita ( risiko rendah).

2. Suntikan atau transfusi darah yang terinfeksi/tercemar HIV :


· Menggunakan jarum suntik bersama
· Menggunakan alat cukur kumis bersama
· Menggunakan jarum /alat tusuk tercemar HIV.

3. Penularan dari ibu kepada bayinya / penularan virus dari ibu hamil positif HIV kepada
anaknya dapat terjadi pada 3 waktu yang berbeda, yaitu:
· Saat janin masih dalam kandungan melalui tali pusat
· Saat persalinan (bayi terpapar cairan dari jalan lahir ibu)
· Setelah bayi lahir melalui ASI.

b. Trasmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada gejala
2. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1 - 2 minggu dengan gejala flu.
3. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1 - 15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada.
4. Supresi imun simtomatik. Di atas 3 tahun dengan demam, keringat malam hari, Berat badan
menurun, diare, neuropati, lemah, ras, limfa denopati, lesi mulut.
5. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1 -5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali ditegakkan.
Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system tubuh, dan manifestasi
neurologist.
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria maupun wanita. Yang
termasuk kelompok resiko tinggi adalah:
 Lelaki homoseksual atau biseks. Bayi dari ibu / bapak terinfeksi.
 Orang yang ketagihan obat intravena
 Partner seks dari penderita AIDS
 Penerima darah atau produk darah (transfusi) (Susanto, 2013).
c. Gejala HIV/AIDS
Pada awalnya, seseorang yang terkena virus HIV umumnya tidak menunjukkan gejala
yang khas (asimtomatik). Penderita hanya mengalami demam selama 3-6 minggu, tergantung
dari daya tahan tubuh saat mendapatkan kontak virus HIV tersebut. Setelah kondisi mulai
membaik, orang yang terkena virus HIV akan tetap sehat dalam beberapa tahun. Namun
demikian, perlahan-lahan kekebalan tubuhnya mulai menurun sehingga jatuh sakit karena
serangan demam yang berulang (Rimbi, 2014).
Gejala orang yang terinfeksi HIV menjadi AIDS bisa dilihat dari 2 gejala yaitu gejala
mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi) :
Ø Gejala mayor :
1. Berat badan menurun lebih dari 10 % dalam 1 bulan.
2. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan.
3. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan.
4. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis.
5. Demensia/HIV ensafalopati.

Ø Gejala minor :
1. Batuk menetap lebih dari 1 bulan.
2. Dermatitis generalisata.
3. Adanya herpes zostermulti segmental dan herpes zoster berulang.
4. Kandidias orofaringiel.
5. Herpes simpleks kronis progresif.
6. Limfadenopati generalisata.
7. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita.
8. Retinitis virus sitomegalo. (Noviana, 2016).

Ibu hamil wajib mengenali gejala berikut ini:


Prinsip gejala HIV pada ibu hamil sama dengan gejala HIV pada umumnya. Adapun gejala HIV
di setiap tahapannya berbeda-beda, yaitu:
1. Gejala HIV tahap awal
Di tahap ini sering kali tidak disadari kalau penyebab virus HIV sudah ada di dalam tubuh karena
gejala yang muncul sangat mirip dengan flu.
Adapun pada ibu hamil, gejala HIV yang muncul seperti demam, muncul ruam kemerahan pada
kulit, sakit kepala, cepat lemas, sakit tenggorokan dan kelenjar getah bening membesar. Di
antara beberapa gejala tersebut, yang bisa kamu jadikan tanda waspada adalah kelenjar getah
bening yang membesar atau bengkak.
2. Gejala HIV tahap kedua
Pada tahap ini bisa dibilang justru tidak bergejala sama sekali, maka sering kali disebut sebagai
tahap periode jendela. Karena meski tidak bergejala tetap sangat menular karena virus HIV di
dalam tubuh bereplikasi dengan cepat. Replikasi inilah yang kemudian melemahkan sistem imun
kamu sehingga berpotensi mengalami penyakit lainnya. Kondisi ini tentu berbahaya bagi janin,
apalagi jika tidak terdeteksi dengan cepat proses persalinan bisa berpeluang untuk menularkan
HIV kepada janin.
3. Gejala HIV tahap ketiga
Gejala spesifik di tahap ini adalah penurunan berat badan yang drastis, muncul bercak putih di
lidah, mulut atau tenggorokan, infeksi paru atau pneumonia, diare yang berkelanjutan, kelenjar
getah bening yang terus membengkak.

d. Cara mendeteksi HIV/AIDS


Upaya tes HIV/AIDS bagi ibu hamil telah diatur dalam Undang-undang Kesehatan dan Peraturan
Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 21 tahun 2013.
Skrining HIV pada ibu hamil bisa dilakukan melalui serangkaian tes antara lain, yaitu
a. Voluntary Counseling and Testing (VCT)
a. Yaitu serangkaian tes untuk mengetahui apakah anda positif atau negatif
mengidap HIV

b. Tes darah
a. Lewat pemeriksaan ini akan ketahuan kemungkinan resus antibodi yang dapat
berdampak bagi janin. FYI, ibu dengan resus negatif, akan mengandung bayi
dengan resus positif. HIV adalah virus yang dapat menyebabkan AIDS. Ada
kemungkinan infeksi HIV yang dialami ibu hamil dapat menembus janin.

c. Terapi ARV (antiretroviral).


a. Terapi antiretroviral (ART) dini diberikan untuk wanita hamil yang positif
mengidap HIV dengan tujuan untuk menjaga kesehatan ibu dan mencegah
penularan HIV ke janin selama masa kehamilan dan menyusui.
d. Skrining HIV pada ibu hamil bermanfaat untuk menanggulangi risiko penularan
terhadap bayi

e. ICT (immunokromatografi) Rapid test/strip

e. Cara Penanganan / mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi


1. Rutin minum obat
Pengobatan HIV pada ibu hamil perlu dilakukan sesegera mungkin setelah ibu hamil
terdiagnosis mengidap HIV. Namun, obat antiretroviral tidak hanya digunakan selama masa
kehamilan saja. Untuk mengatasi gejala HIV sekaligus munculnya penyakit komplikasi HIV,
pengobatan HIV pada ibu hamil perlu dijalani seumur hidup. Pengobatan juga tidak hanya
ditujukan pada ibu hamil saja. Setelah kelahiran, bayinya juga akan diberikan obat HIV selama 4
hingga 6 minggu untuk mengurangi risiko infeksi dari HIV yang mungkin masuk ke dalam tubuh
bayi selama proses kelahiran.
2. Melindungi bayi Anda selama persalinan
Jika Anda sudah mulai rutin jalani pengobatan sejak jauh sebelum kehamilan, ada
kemungkinan bahwa viral load sudah tidak terdeteksi dalam darah. Hal ini artinya Anda dapat
merencanakan persalinan normal melalui vagina karena risiko penularan HIV kepada bayi
selama persalinan akan sangat kecil. Namun jika dokter melihat Anda masih berisiko
menularkan virus pada bayi, Anda akan disarankan untuk bersalin lewat operasi caesar. Prosedur
ini memiliki risiko yang lebih kecil terhadap penularan HIV pada bayi dibandingkan dengan
persalinan melalui vagina.

3. Melindungi bayi selama menyusui ASI mengandung virus HIV.


Pada umumnya dokter akan menyarankan Anda untuk menyusui bayi dengan susu formula.
Namun jika Anda ingin menyusui ASI eksklusif, Anda harus selalu ingat untuk terus rutin
menggunakan pengobatan selama setidaknya 6 bulan. Jika Anda tidak yakin apakah Anda harus
menyusui atau tidak, bicarakan dengan profesional medis untuk saran spesialis lebih lanjut.

4. Jaga pola makan sehat


Asupan makanan yang sehat dan bergizi seimbang merupakan tips sehat untuk ODHA
berikutnya. Asupan makanan yang baik dapat membantu meningkatkan sistem kekebalan tubuh
penderita aids dan HIV, meringankan gejala, serta mencegah terjadinya komplikasi HIV.
Pastikan makanan yang Anda konsumsi mengandung gizi seimbang yang meliputi protein,
karbohidrat, serat, lemak baik, serta vitamin dan mineral. Jangan lupa, hitung juga asupan kalori
yang masuk ke dalam tubuh.

5. Kurangi risiko penularan kepada orang lain


Melakukan hubungan seksual aman dengan menggunakan kondom juga termasuk tindakan
pencegahan HIV yang bisa dilakukan penderita HIV. Tidak hanya mencegah penularan virus
HIV kepada orang lain. Cara ini juga bisa dilakukan untuk melindungi Anda dan pasangan dari
infeksi penyakit menular seksual lainnya.

6. Berhenti merokok
Efek rokok pada tubuh penderita HIV bisa dua kali lebih berbahaya. Itu kenapa berhenti
merokok dapat membantu ODHA hidup lebih sehat dan merasa lebih baik, entah itu secara fisik
maupun emosional. Bonusnya, berhenti merokok juga akan membantu mencegah sejumlah
masalah kesehatan dan mengurangi penyakit kronis di kemudian hari, seperti serangan jantung
dan stroke.

7. Cuci tangan dan vaksinasi


HIV membuat sistem kekebalan tubuh ODHA menurun. Akibatnya, tubuh penderita HIV jadi
lebih rentan terhadap paparan virus, bakteri, dan kuman. Guna menghindari paparan kuman ini,
pastikan ODHA membiasakan diri untuk mencuci tangan sesering mungkin. Terutama sebelum
makan dan setelah buang air besar maupun air kecil.

f. Penatalaksanaan HIV/AIDS pada ibu hamil


· Konseling dan Tes Antibodi HIV terhadap Ibu
Petugas yang melakukan perawatan antenatal di puskesmas maupun di tempat perawatan
antenatal lain sebaiknya mulai mengadakan pengamatan tentang kemungkinan adanya ibu hamil
yang berisiko untuk menularkan penyakit HIV kepada bayinya. Anamnesis yang dapat dilakukan
antara lain dengan menanyakan apakah ibu pemakai obat terlarang, perokok, mengadakan
hubungan seks bebas, dan lain-lainnya. Bila ditemukan kasus tersebut di atas, harus dilakukan
tindakan lebih lanjut.
Ibu yang sudah diketahui terinfeksi HIV sebelum hamil, perlu dilakukan pemeriksaan
untuk mengetahui jumlah virus di dalam plasma, jumlah sel T CD4+, dan genotipe virus. Juga
perlu diketahui, apakah ibu tersebut sudah mendapat anti retrovirus (ARV) atau belum. Data
tersebut kemudian dapat digunakan sebagai bahan informasi kepada ibu tentang risiko penularan
terhadap pasangan seks, bayi, serta cara pencegahannya. Selanjutnya, ibu harus diberi 13
penjelasan tentang faktor risiko yang dapat mempertinggi penularan infeksi HIV-1 dari ibu ke
bayi.

· Pencatatan dan pemantauan ibu hamil


Catatan medis yang lengkap sangat perlu untuk ibu hamil terinfeksi HIV termasuk catatan
tentang kebiasaan yang meningkatkan risiko dan keadaan sosial yang lain, pemeriksaan fisik
yang lengkap, serta pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui status virologi dan imunologi.
Pada saat penderita datang pertama kali harus dilakukan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan
ini akan digunakan sebagai data dasar untuk bahan banding dalam melihat perkembangan
penyakit selanjutnya. Pemeriksaan tersebut adalah darah lengkap, urinalisis, tes fungsi ginjal dan
hati, amylase, lipase, gula darah puasa, VDRL, gambaran serologis hepatitis B dan C, subset sel
T, dan jumlah salinan RNA HIV.
Selanjutnya, ibu harus selalu dipantau. Cara pemantauan ibu hamil terinfeksi HIV sama
dengan pemantauan ibu terinfeksi HIV tidak hamil. Pemeriksaan jumlah sel T CD4+ dan kadar
RNA HIV-1 harus dilakukan setiap trimester (yaitu, setiap 3 - 4 bulan) yang berguna untuk
menentukan pemberian ARV dalam pengobatan penyakit HIV pada ibu. Bila fasilitas
pemeriksaan sel T CD4+ dan kadar HIV-1 tidak ada maka dapat ditentukan berdasarkan kriteria
gejala klinis yang muncul.

· Pengobatan dan profilaksis antiretrovirus pada ibu terinfeksi HIV


Untuk mencegah penularan vertikal dari ibu ke bayi, maka ibu hamil terinfeksi HIV harus
mendapat pengobatan atau profilaksis antiretrovirus (ARV). Tujuan pemberian ARV pada ibu
hamil, di samping untuk mengobati ibu, juga untuk mengurangi risiko penularan perinatal
kepada janin atau neonatus. Ternyata ibu dengan jumlah virus sedikit di dalam plasma (<1000
salinan RNA/ml), akan menularkan HIV ke bayi hanya 22%, sedangkan ibu dengan jumlah
muatan virus banyak menularkan infeksi HIV pada bayi sebanyak 60%. Jumlah virus dalam
plasma ibu masih merupakan faktor prediktor bebas yang paling kuat terjadinya penularan
perinatal. Karena itu, semua wanita hamil yang terinfeksi HIV harus diberi pengobatan
antiretrovirus (ARV) untuk mengurangi jumlah muatan virus.

· Persalinan bagi ibu hamil positif hamil


Persalianan bagi ibu hamil positif HIV Dalam upaya mencegah terjadinya penularan HIV
dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang dikandungnya, maka perlu dilakukan antisipasi dengan
memberikan pelayanan persalinan yang aman bagi ibu hamil HIV positif.
Untuk terlaksananya persalinan yang aman perlu direkomendasikan kondisi-kondisi berikut
ini:
a) Ibu hamil HIV positif perlu mendapatkan konseling sehubungan dengan keputusannya
sendiri untuk melahirkan bayi secara operasi seksio caesaria ataupun persalinan normal.
b) Pelaksanaaan persalinan, baik secara operasi seksio caesaria maupun persalinan normal,
harus memperhatikan kondisi fisik dari ibu hamil HIV positif.
c) Tindakan menolong persalinan ibu hamil HIV positif, baik secara operasi seksio caesaria
maupun persalinan secara normal, harus mengikuti standar kewaspadaan universal.

· Terapi Oat Antiretroviral (ARV)


untuk ibu hamil Terapi antiretroviral/ARV/HAART (Highly Active Antiretroviral
Therapy) dalam program PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission – PPIA =
Pencegahan Penularan Ibu ke Anak) adalah penggunaan obat antiretroviral jangka panjang
(seumur hidup) untuk mengobati perempuan hamil HIV positif dan mencegah penularan HIV
dari ibu ke anak.
Pemberian obat antiretroviral dalam program PMTCT/PPIA ditujukan pada keadaan
seperti terpapar berikut ini : Pemberian obat antiretroviral dalam program PMTCT/PPIA ditujukan
pada keadaan seperti terpapar berikut ini :

Pemberian Anriretroviral Pada Ibu Hamil dengan Berbagai Situasi Klinis.


INFEKSI CYTOMEGALOVIRUS PADA IBU HAMIL

2.1 Infeksi Cytomegalovirus (CMV)


Infeksi kongenital sitomegalovirus (cytomegalovirus/CMV) merupakan salah satu infeksi
virus paling umum yang menyebabkan infeksi kongenital. Di Amerika Serikat,
seroprevalensi CMV mencapai 50% sehingga wanita hamil dengan usia produktif memiliki
risiko terjadinya infeksi primer CMV. Angka seroprevalensi tersebut mencapai 40-80% di
negara maju dan 90- 100% di negara berkembang. CMV sering menyebabkan infeksi intra-
uterin dengan insidensi mencapai 0,03- 2,0% dari semua bayi lahir hidup atau 7 per-1000
kelahiran hidup. Sebanyak 12,7% bayi yang terinfeksi memperlihatkan gejala saat lahir dan
sebanyak 13,5% bayi yang tidak memperlihatkan gejala berkembang menjadi sekuele
termasuk di dalamnya gangguan pendengaran sensorineural saat anak-anak.
Infeksi CMV pada umumnya didapat dalam tahun pertama kehidupan pada negara
dengan pendapatan ekonomi rendah, sedangkan di negara maju, infeksi ini muncul pada
akhir masa anak-anak. Penyebab utama transmisi virus ke ibu hamil atau wanita muda usia
produktif ialah dari anak kecil usia pra sekolah yang bermain atau dekat dengan wanita
tersebut, namun dapat juga berasal dari pasangan atau kontak seksual. Transmisi dapat
berasal dari semua cairan tubuh seperti urin, cairan semen, ludah, air mata, cairan
serebrospinal, air susu ibu (ASI), transfusi
darah, atau dari transplantasi organ.
Infeksi CMV primer terjadi pada 0,15-2,0% dari populasi wanita hamil dan berisiko
mengalami transmisi secara vertikal dari ibu ke fetus sebesar 30-40%. Saat ini, faktor10
resiko terjadinya reaktivasi ataupun reinfeksi pada wanita dengan seropositif CMV belum
diketahui secara jelas.4 Berdasarkan jumlah populasi pasien infeksi CMV kongenital maka
10-15% merupakan infeksi yang simtomatik dimana lebih dari 30% bersifat fatal. Infeksi
yang asimptomatik terjadi pada 85-90% dan lebih dari 15% akan mengalami sequele di
kemudian hari.
2.2 Penyebaran Infeksi CMV
Sumber infeksi sangat mudah ditemui dalam kehidupan sehari-hari yakni semen, darah,
ASI, air mata, tinja, saliva, sekret servikal maupun vaginal. Penyebaran dapat terjadi dengan
cara kontak langsung dan tidak ditemui pada peralatan yang terkontaminasi. Penyebaran
infeksi CMV dapat terjadi vertikal maupun horizontal. Penyebaran bersifat vertikal terjadi
pada infeksi wanita hamil yang mengenai fetusnya. Terdapat 3 jenis infeksi pada wanita
hamil yaitu infeksi primer, reaktivasi dari infeksi laten, dan reinfeksi. Infeksi primer
merupakan infeksi yang pertama kali terjadi dan didapat pada waktu bayi, anak, remaja
maupun saat hamil. Reaktivasi atau infeksi rekurens merupakan infeksi yang kembali aktif
dan reinfeksi adalah terjadinya infeksi berulang
oleh virus CMV dengan galur sama atau beda. Kondisi-kondisi yang dapat memicu
terjadinya reinfeksi adalah kondisi imunokompromais, misalnya pasien HIV , transplantasi,
dan kemoterapi.
Transmisi intrauterin dapat terjadi karena virus yang beredar dalam sirkulasi (viremia)
ibu menular ke janin. Keadaan ini terjadi pada 0,5-1% kasus yang mengalami reinfeksi atau
rekurens. Risiko infeksi primer lebih tinggi dibandingkan reaktivasi atau ibu terinfeksi
sebelum konsepsi. Transmisi intrauterus dapat terjadi sepanjag usia kehamilan namun
seringkali menimbulkan manifestasi yang lebih berat jika terjadi pada usia kehamilan 16
minggu.
2.3 Amniosentesis
Pemeriksaan amniosentesis sangat akurat setelah usia kehamilan 21 minggu, ketika ginjal
janin sudah cukup matang untuk mengeksresikan virus ke cairan amnion. Meski demikian
perlu dipertimbangkan besarnya risiko terjadinya aborsi spontan bila dilakukan suatu
amniosentesis.
2.4 Pemeriksaan Kombinasi
Ibu hamil dengan seronegatif 6 bulan sebelum konsepsi berpeluang untuk terinfeksi
primer saat hamil. Pemeriksaan IgG perlu dilakukan sekurang-kurangnya dua kali yaitu pada
2 bulan dan 4 bulan kehamilan. Pemeriksaan radiologis dilakukan pada janin dengan infeksi
kongenital CMV untuk mengetahui apakah janin akan menderita infeksi dan gangguan
perkembangan psikomotor.
Temuan yang sering didapatkan pada janin dengan infeksi CMV ialah ventrikulomegali
otak, mikrosefali, usus yang ekogenik, hepatosplenomegali, kalsifikasi intrakranial dan
intraabdominal, restriksi pertumbuhan, serta pembesaran plasenta. Pemeriksaan
ultrasonografi (USG) dapat juga digunakan sebagai tambahan amniosentesis. Meski
demikian, bila tidak didapatkan temuan, infeksi kongenital CMV tidak dapat disingkirkan
karena hingga 47% janin dengan infeksi kongenital CMV memiliki gambaran USG normal.
Bila diagnosis infeksi CMV pada janin belum dapat ditegakkan, maka dapat dikatakan USG
merupakan prediktor buruk untuk infeksi kongenital dengan gejala.

KEHAMILAN DENGAN PENYULIT OBSTETRI

HERPES SIMPLEX

2.1 Definisi Herpes


Herpes merupakan nama kelompok virus herpesviridae yang dapat menginfeksi manusia.
Infeksi virus herpes dapat ditandai dengan munculnya lepuhan kulit dan kulit kering. Jenis
virus herpes yang paling terkenal adalah herpes simplex virus atau HSV. Herpes simplex
dapat menyebabkan infeksi pada daerah mulut, wajah, dan kelamin (herpes genitalia). Herpes
merupakan kondisi jangka Panjang. Akan tetapi, banyak orang yang tidak memunculkan
gejala herpes padahal mereka memiliki virus herpes di dalam tubuhnya. (Monica Shendy,
2016)
Herpes kemaluan (genital herpes) adalah lepuhan atau sores pada kemaluan. Ini
disebabkan oleh Herpes Simplex Virus (HSV) Tipe I atau Tipe II. HSV Tipe I lebih banyak
di mulut (cold sores) dan HSV Tipe II di kemaluan. Kedua virus ini dapat menginfeksi mulut
dan daerah kemaluan. (Monica Shendy, 2016)

2.2 Klasifikasi Herpes


2.2.1 Herpes Zoster /Varicella Zoster Virus (VZV)
Herpes zoster yang sering disebut dengan istilah shingles adalah penyakit yang
disebabkan oleh varicella zoster virus (VZV), dengan manifestasi klinis berupa nyeri disertai
blister yang muncul mengikuti dermatom saraf dan sering terbatas pada area di satu sisi
tubuh dan membentuk garis. Infeksi awal herpes zoster adalah varicella atau cacar air yang
biasanya menyerang pada usia anak hingga remaja. Setelah varicella sembuh, virus ini akan
dalam keadaan dorman di ganglion saraf dan dapat teraktivasi menimbulkan herpes zoster
apabila imunitas menurun. (CDC, 2008)
Varicella zoster virus (VZV) adalah virus yang menyebabkan cacar air (chicken pox) dan
herpes zoster (shingles). Herpes zoster Varicella zoster adalah virus yang hanya dapat hidup
di manusia dan primata ;(simian). Pertikel virus (virion) varicella zoster memiliki ukuran
120-300 nm. Virus ini memiliki 69 daerah yang mengkodekan gen-gen tertentu sedangkan
genom virus ini berukuran 125 kb (kilobasa). Komposisi virion adalah berupa kapsid,
selubung virus, dan nukleokapsid yang berfungsi untuk melindungi inti berisi DNA double
stranded genom. Nukleokapsid memiliki bentuk ikosahedral, memiliki diameter 100-110 nm,
dan terdiri dari 162 protein yang dikenal dengan istilah kapsomer. Virus ini akan mengalami
inaktivasi pada suhu 56-60 °C dan menjadi tidak berbahaya apabila bagian amplop virus ini
rusak. Penyebaran virus ini dapat terjadi melalui pernapasan dan melalui vesikel pada kulit
pada penderita.
2.2.2 Herpes Simplex Virus
Herpes simplex virus (HSV), atau Herpes virus hominis (HVH) merupakan tipe virus
DNA double-stranded, berkapsid ikosahedral, ber-envelope, termasuk genus Simplexvirus,
subfamily Alphaherpesvirinae, dan famili Herpesviridae. Ukuran virus ini sekitar 150-200
nm. Virus ini memiliki masa inkubasi 1-26 hari, dengan rata-rata tujuh hari, setelah terjadi
kontak langsung dengan lesi aktif, berlaku juga pada pasien tanpa gejala, dan replikasi virus
terjadi di dalam nukleus sel hospes. Virus ini dibagi menjadi dua tipe, yaitu HSV-1 dan
HSV-2. HSV-1 berhubungan dengan glikoprotein G1 dan HSV-2 berhubungan dengan
glikoprotein G2.5 Kedua tipe virus ini sulit dibedakan secara serologik, biologik, maupun
sifat fisikokimia. Kedua tipe HSV ini sensitif terhadap disinfektan dan pengaruh lingkungan.
a) Herpes Simplex Virus 1 (HSV 1)
Infeksi Herpes Simpleks Virus 1 (HSV 1) pada rongga mulut merupakan suatu penyakit
yang diawali gejala prodromal yaitu demam diikuti munculnya vesikel pada wajah, mukosa
mulut, dan bibir. HSV 1 bersifat laten di dalam tubuh dan dapat rekuren yang dipicu oleh
paparan sinar matahari, stres emosional, kondisi imunosupresi, kelainan hormonal dan
trauma saraf. Herpes Simpleks Keratitis (HSK) merupakan salah satu penyebab kerusakan
kornea. HSK terjadi akibat infeksi Herpes Simplex Virus tipe 1 (HSV-1). HSK memiliki
manifestasi klinik dari epitel sampai endotel. Diagnosis didukung dengan penurunan
sensibilitas kornea, pemeriksaan Giemsa dan Papaniculou. ( Raihana Rustam, 2018)
b) Herpes Simplex Virus 2 (HSV 2)
Infeksi Herpes simpleks virus (HSV) dapat berupa kelainan pada daerah orolabial atau
herpes orolabialis serta daerah genital dan sekitarnya atau herpes genitalis, dengan gejala
khas berupa adanya vesikel berkelompok di atas dasar makula eritematosa.
Infeksi HSV-1 maupun HSV-2 berhubungan dengan respon antibodi yang menyebabkan
virus ini laten dalam saraf. HSV-2 merupakan tipe HSV yang paling sering menyebabkan
herpes genital sekitar 82% kasus dan ditularkan melalui kontak seksual, sedangkan HSV-1
lebih sering menyebabkan infeksi herpes nongenital dan biasanya didapat saat masih anak-
anak. Antibodi terhadap HSV-1 terdapat pada anak-anak sekitar 20%, remaja 70%, dan orang
tua 97% dilaporkan penelitian seroepidemiologik. Antibodi HSV-2 terbentuk setelah
melakukan hubungan seksual telah disimpulkan oleh WHO. Sekitar lima puluh juta dewasa
muda dan dewasa telah terinfeksi HSV-2. Herpes genital akibat HSV-2 masih menjadi kasus
terbanyak pada orang dewasa, tetapi terjadi peningkatan prevalensi herpes genitalis
diakibatkan HSV-1 pada lebih dari setengah kasus baru pada dewasa muda karena
kemungkinan adanya praktek seksual orogenital yang meningkat. Infeksi virus ini lebih
tinggi sepuluh kali lipat pada perempuan penjaja seks. Herpes genital yang disebabkan HSV2
lebih sering terjadi rekurensi dibandingkan HSV-1.

2.3 Etiologi, Patofisiologis, Pathogenesis dan Epidemiologi Herpes


2.3.1 Etiologi Herpes
Berdasarkan struktur antigeniknya dikenal 3 tipe virus herpes :
1. Virus Herpes Simpleks Tipe I (HSV I)
Penyakit kulit/ selaput lendir yang ditimbulkan biasanya disebut herpes simpleks saja,
atau dengan nama lain herpes labialis, herpesfebrilis. Biasanya penderita terinfeksi virus ini
pada usia kanak-kanak melalui udara dan sebagian kecil melalui kontak langsung seperti
ciuman, sentuhan atau memakai baju/ handuk mandi bersama. Lesi umumnya dijumpai pada
tubuh bagian atas termasuk mata dengan rongga mulut, hidung dan pipi; selain itu, dapat juga
dijumpai di daerah genitalia, yang penularannya lewat koitusoro genital (oral sex). Gejala
pada Herpes HSV 1 ( Herpes Simplex) diawali dengan demam, nyeri otot, dan lemas. Lalu
muncul rasa nyeri, gatal, rasa terbakar atau ditusuk pada tempat infeksi. Kemudian timbul
blister, yaitu lesi kulit seperti melepuh yang pecah dan mengering dalam beberapa hari.
Blister yang pecah tersebut mengakibatkan luka dengan rasa nyeri.
2. Virus Herpes Simpleks Tipe II (HSV II)
Penyakit ditularkan melalui hubungan seksual, tetapi dapat juga terjadi tanpa koitus,
misalnya dapat terjadi pada dokter gigi dan tenaga medik. Lokalisasi lesi umumnya adalah
bagian tubuh di bawah pusar, terutama daerah genitalia lesi ekstra-genital dapat pula terjadi
akibat hubungan seksualorogenital.
HSV tipe 1 dan 2 merupakan virus hominis yang merupakan virus DNA. Pembagian tipe
1 dan 2 berdasarkan karakteristik pertumbuhan pada media kultur, antigenic marker, dan
lokasi klinis yaitu tempat predileksi.
Terdapat tumpang tindih yang cukup besar antara HSV-1 dan HSV-2, yang secara klinis
tidak dapat dibedakan. HSV-1 Kontak manusia melalui mulut, orofaring, permukaan mukosa,
vagina, dan serviks tampak merupakan sumber penting untuk tertular penyakit. Tempat lain
yang rentan adalah laserasi pada kulit dan konjungtiva. Biasanya virus mati pada ruangan
akibat kekeringan. Saat replikasi virus tidak terjadi, virus naik ke saraf sensori perifer dan
tetap tidak aktif dan ganglia saraf. Wabah lain terjadi ketika hospes menderita stres. Pada
wanita hamil dengan herpes aktif, bayi yang dilahirkan pervagina dapat terinfeksi oleh virus.
Terdapat resiko morbiditas dan mortalitas janin. Gejala pada HSV 2 (Herpes Genetial)
contohnya gatal sekitar alat kelamin. Lalu sakit pada saat buang air kecil. Keluarnya cairan
dari vagina. Munculnya benjolan di selangkangan dan koreng yang menyakitkan pada
kemaluan, pantat, anus, atau paha. Pada pria, herpes dapat menyebabkan kulit penis kering,
perih, dan gatal.
3. Varisella Zoster Virus
Herpes zoster disebabkan oleh Varisella Zoster Virus yang mempunyai kapsid tersusun
dari 162 subunit protein dan berbentuk simetri ikosehedral dengan diameter 100 nm. Virion
lengkapnya berdiameter 150-200 nm dan hanya virion yang berselubung yang bersifat
infeksius. Virus varisela dapat menjadi laten di badan sel saraf, sel satelit pada akar dorsalis
saraf, nervus kranialis dan ganglio autonom tanpa menimbulkan gejala. Pada individu yang
immunocompromise, beberapa tahun kemudian virus akan keluar dari badan saraf menuju ke
akson saraf dan menimbulkan infeksi virus pada kulit yang dipersarafi. Virus dapat menyebar
dari satu ganglion ke ganglion yang lain pada satu dermatom. Pada VZV (Varicella-zoster
virus) gejala yang ditimbulkan ruam kulit berisi cairan (vesikel) yang terasa gatal,demam,
hilangnya nafsu makan,sakit kepala, rasa nyeri, panas pada kulit di salah satu sisi bagian
tubuh.

2.3.2 Patofisiologis
Infeksi HSV dibagi menjadi beberapa kategori episode, yaitu infeksi primer, infeksi non-
primer, infeksi rekurens, dan pelepasan virus tanpa gejala (asymptomatic viral shedding).
Episode infeksi primer, atau sering disebut infeksi inisial, merupakan fase virus memasuki
tubuh hospesnya dengan adanya kontak secara fisik antara virus dan tempat yang sesuai,
seperti membran mukosa atau kulit yang terluka lalu bereplikasi di epidermis dan dermis
sehingga mengakibatkan destruksi sel dan inflamasi.
Virus tersebut tidak perlu berasal dari genital. Gejala infeksi herpes genitalis akan timbul
pada ibu hamil yang belum memiliki antibodi terhadap HSV setelah terpapar lesi herpes
genitalis aktif pada pasangannya.
Orang yang sudah terinfeksi dan menimbulkan gejala prodromal dimulai dengan rasa
gatal, panas, kencang, atau kesemutan pada kulit sebelum timbulnya lesi pada kulit. Lesi
kulit akan muncul sekitar 2-12 hari berupa papul, pustul, atau vesikel berkelompok dengan
dasar eritema tergantung derajat beratnya penyakit. Lesi biasanya bertahan hingga dua puluh
hari tanpa pemberian terapi. Respon antibodi akan terbentuk dan bertahan sepanjang hidup
setelah 3-4 minggu sejak terinfeksi.
Vesikel yang timbul mudah pecah dan dapat menimbulkan multipel erosi dan ulkus
eritema dangkal setelah pecah. Gejala ini dapat hilang 2-3 minggu. Lokasi lesi yang sering
timbul gejala pada perempuan adalah labia mayor, labia minor, klitoris, introitus, vagina, dan
serviks, tapi lesi infeksi HSV ini dapat muncul juga di lipat paha, paha, dan bokong. Disuria
dapat dirasakan jika lesi mengenai uretra atau parauretra. Gejala neralgia, konstipasi, dan
retention urin dapat muncul pada Herpetic Sacral Radiculomyelitis. Gejala bervariasi dari
asimptomatik hingga berat, terutama gejala yang timbul mengenai serviks. HSV servisitis
dapat disertai keluhan keputihan yang purulent dan darah. Kasus ini muncul pada 80% kasus
infeksi primer HSV pada perempuan. Limfadenopati pada kelenjar limfe femoral dan
inguinal dapat timbul akibat infeksi ini pada 75% kasus. Gejala-gejala lain perlahan dapat
muncul mengikuti gejala awal seperti demam, sakit kepala, sakit otot, dan lemah badan. Ibu
hamil dengan seronegatif HSV dapat menderita herpes genitalis pada saat persalinan karena
memiliki pasangan dengan seropositif HSV2 terjadi sekitar 13%, sekitar dua pertiga kasus
terjadi secara asimptomatik, lesi yang timbul minimal, atau tidak spesifik sehingga tidak
dapat dikenali oleh petugas medis. Kemudian, virus menginfeksi DNA hospes kemudian
replikasi virus sehingga menimbulkan gejala. Perubahan hormonal pada ibu hamil
meningkatkan risiko terjadinya infeksi dibandingkan diluar hamil. Antibodi spesifik belum
terbentuk pada episode I infeksi primer, mengakibatkan lesi yang cukup luas dan
berlangsung lama.
Virus bermigrasi dari lesi mukokutan ke ganglion saraf regional melalui serabut saraf
sensorik kemudian virus berdiam diri di ganglion dan bersifat laten sehingga tidak
menimbulkan gejala. Seseorang yang memiliki riwayat infeksi HSV sebelumnya dapat
terinfeksi lagi dengan tipe HSV yang lain.

Hasil pemeriksaan diagnostik menunjukan hasil pasien memiliki antibody.terhadap salah


satu tipe HSV dan saat ini terinfeksi tipe HSV yang berbeda, hal ini disebut episode infeksi
non-primer. Antibodi yang sudah dibentuk oleh tubuh dapat bereaksi silang terhadap virus
HSV tipe berbeda sehingga gejala yang timbul tidak seberat episode inisial. Infeksi primer
dengan non-primer dari gejala klinis sulit untuk dibedakan, hal ini memerlukan pemeriksaan
serologi tipe spesifik untuk mengetahui adanya antibodi dari infeksi sebelumnya atau tidak.
Beberapa faktor seperti faktor pencetus, pajanan HSV sebelumnya, episode terdahulu,
dan tipe virus memengaruhi gejala yang timbul. Virus yang bersifat laten dapat mengalami
reaktivasi dan melakukan replikasi kembali dengan atau tanpa gejala jika ada faktor
pencetus, seperti trauma, koitus yang berlebihan, menstruasi, demam, gangguan pencernaan,
stress, makanan, alkohol, obat-obatan, atau factor pencetus lainnya, disebut infeksi rekurens.
Sekitar 14% kasus infeksi rekurens pada saat persalinan dari seluruh ibu hamil yang
terinfeksi HSV dan hanya 3% diantaranya yang menularkan pada neonatus. Lesi rekurensi
muncul di tempat infeksi primer terjadi dan antibodi spesifik sudah terbentuk pada saat ini
sehingga gejala yang timbul tidak seberat infeksi primer.

Kemudian, paparan faktor pencetus pada kulit setempat menyebabkan kelemahan


setempat dan menimbulkan lesi rekurens, selain virus yang terus menerus bermigrasi ke sel
kulit. Rekurensi lebih sering terjadi pada infeksi yang diakibatkan HSV-2 enam belas kali
lebih dibandingkan infeksi yang disebabkan HSV-1, selain itu frekuensinya pun lebih sering
yaitu 3-4 kali per tahun.
Rekurensi lebih sering terjadi pada satu tahun pertama sejak infeksi inisial dan akan
berkurang seiring berjalannya waktu. Reaktivasi virus sering kali tidak menimbulkan gejala,
hanya sekitar 20% pasien dengan riwayat infeksi HSV mengeluhkan lesi di genital. Lesi yang
timbul akan menghilang setelah sekitar 9 hari dan pelepasan virus terjadi selama sekitar 4
hari. Jumlah virus pada infeksi rekurens tidak sebanyak infeksi primer.
Pelepasan virus tanpa gejala (asymptomatic viral shedding) dapat menyebabkan transmisi
virus pada pasangan seksual yang belum terinfeksi dan janin setiap saat. Pelepasan virus
dapat terjadi dalam waktu singkat sekitar 24-48 jam dari vulva, cervix, urethral, dan kulit
perianal. Hal ini diketahui pelepasan virus tanpa gejala yang paling sering terjadi ada
penularan infeksi HSV-2, terutama pada infeksi primer. Infeksi primer maupun rekurensi
pada kehamilan dapat menyebabkan terjadinya kelainan pada janin, tetapi infeksi primer
memiliki risiko lebih besar pada janin.
Di Amerika dilaporkan terdapat infeksi neonatal terjadi pada 0,5-1/10.000 kelahiran dan
sebagian besar ditularkan dari ibu yang tidak memiliki gejala infeksi HSV. Risiko penularan
infeksi HSV pada janin atau neonatus berhubungan dengan lesi HSV aktif di genital, tipe
HSV, penggunaan alat invasif pada persalinan, dan derajat penyakit ibu. Janin memiliki
resiko terinfeksi pada masa intrauterine sekitar 5%, perinatal sekitar 85%, atau postnatal
sekitar 10% selama neonatus kontak dengan virus yang hidup.
Plasenta menjadi jalur transmisi pada masa intrauterin dari ibu ke janin dalam awal
kehamilan (sekitar 20 minggu kehamilan) pada saat terjadi viremia. Infeksi saat intrapartum
sangat berisiko menularkan pada janin karena terjadi transmisi melalui kontak secara
langsung antara neonatus dengan jalan lahir ibu yang terinfeksi saat persalinan.
Kemungkinan penularan infeksi HSV pada bayi yang dilahirkan secara pervaginam pada
saat ibu dalam masa infeksi primer dengan gejala, lebih berisiko mengalami infeksi neonatal
sekitar 50-80%. Risiko penularan pada neonatus dari ibu tergantung dari jenis infeksi yang
terjadi, infeksi primer berisiko 50%, infeksi non-primer 33%, dan infeksi rekurens atau
pelepasan virus tanpa gejala berisiko 0-4%. Neonatus yang lahir dari ibu terinfeksi HSV
tanpa gejala terinfeksi herpes saat persalinan pada 70% kasus.
Infeksi yang terjadi dapat berisiko menyebabkan infeksi pada neonatus berupa lesi HSV
yang terlokalisir pada kulit, mata dan atau mulut (SEM) sekitar 40% kasus; encephalitis HSV
sekitar 40%, dan HSV diseminata berupa disfungsi organ berat sekitar 32%, jika tidak
ditangani dapat meningkatkan mortalitas mencapai 80%. Infeksi postnatal dapat terjadi
penularannya melalui kontak antara neonatus dengan orang-orang disekitarnya yang
menderita herpes orolabial, di sekitar kuku, ujung jari, atau tempat lain maupun melalui air
susu ibu.

2.3.3 Pathogenesis Herpes


HSV-1 dan HSV-2 adalah termasuk dalam famili herphesviridae, sebuah grup virus DNA
rantai ganda lipid-enveloped yang berperanan secara luas pada infeksi manusia. Kedua
serotipe HSV dan virus varicella zoster mempunyai hubungan dekat sebagai subfamili virus
alpha-herpesviridae. Alfa herpes virus menginfeksi tipe sel multiple, bertumbuh cepat dan
secara efisien menghancurkan sel host dan infeksi pada sel host. Infeksi pada natural host
ditandai oleh lesi epidermis, seringkali melibatkan permukaan mukosa dengan penyebaran
virus pada sistem saraf dan menetap sebagai infeksi laten pada neuron, dimana dapat aktif
kembali secara periodik. Transmisi infeksi HSV seringkali berlangsung lewat kontak erat
dengan pasien yang dapat menularkan virus lewat permukaan mukosa.
Infeksi HSV-1 biasanya terbatas pada orofaring, virus menyebar melalui droplet
pernapasan, atau melalui kontak langsung dengan saliva yang terinfeksi. HSV-2 biasanya
ditularkan secara seksual. Setelah virus masuk ke dalam tubuh hospes, terjadi penggabungan
dengan DNA hospes dan mengadakan multiplikasi serta menimbulkan kelainan pada kulit.
Waktu itu pada hospes itu sendiri belum ada antibodi spesifik. Keadaan ini dapat
mengakibatkan timbulnya lesi pada daerah yang luas dengan gejala konstitusi berat.
Selanjutnya virus menjalar melalui serabut saraf sensorik ke ganglion saraf regional dan
berdiam di sana serta bersifat laten. Infeksi orofaring HSV-1 menimbulkan infeksi laten di
ganglia trigeminal, sedangkan infeksi genital HSV-2 menimbulkan infeksi laten di ganglion
sakral. Bila pada suatu waktu ada faktor pencetus (trigger factor), virus akan mengalami
reaktivasi dan multiplikasi kembali sehingga terjadilah infeksi rekuren. Pada saat ini dalam
tubuh hospes sudah ada antibodi spesifik sehingga kelainan yang timbul dan gejala
konstitusinya tidak seberat pada waktu infeksi primer.
Faktor pencetus antara lain adalah trauma atau koitus, demam, stres fisik atau emosi,
sinar UV, gangguan pencernaan, alergi makanan dan obat-obatan dan beberapa kasus tidak
diketahui dengan jelas penyebabnya. Penularan hampir selalu melalui hubungan seksul baik
genito genital, ano genital maupun oro genital. Infeksi oleh HSV dapat bersifat laten tanpa
gejala klinis dan kelompok ini bertanggung jawab terhadap penyebaran penyakit. Infeksi
dengan HSV dimulai dari kontak virus dengan mukosa (orofaring, serviks, konjungtiva) atau
kulit yang abrasi. Replikasi virus dalam sel epidermis daan dermis menyebabkan destruksi
seluler dan keradangan.
Lalu pada Herpez zoster disebabkan oleh varicello zoster (VZV). Pada episode infeksi
primer, virus dari luar masuk ke tubuh hospes (penerima virus). Selanjutnya, terjadilah
penggabungan virus dengan DNA hospes, mengadakan multiplikasi atau replikasi sehingga
menimbulkan kelainan pada kulit. Virus akan menjalar melalui serabut saraf sensorik ke
ganglion saraf dan berdiam secara permanen dan bersifat laten. Infeksi hasil reaktivasi virus
varicella yang menetap di ganglion sensori setelah infeksi chickenpox pada masa anak –
anak. Ketika reaktivasi virus berjalan dari ganglion ke kulit area dermatom.
2.3.4 Epidemiologi Herpes
Data World Health Organization (WHO) diperkirakan usia 15-49 tahun yang hidup
dengan infeksi HSV-2 di seluruh dunia pada tahun 2003 sejumlah 536 juta. Wanita lebih
banyak yang terinfeksi dibanding pria, dengan perkiraan 315 juta wanita yang terinfeksi
dibandingkan dengan 221 juta pria yang terinfeksi. Jumlah yang terinfeksi meningkat
sebanding dengan usia terbanyak pada 25-39 tahun.
Sedangkan, jumlah infeksi HSV-2 baru pada kelompok usia 15-49 tahun di seluruh dunia
pada tahun 2003 sejumlah 236 juta, di antaranya 12,8 juta adalah wanita dan 10,8 juta adalah
pria. (Lisa Bonita, 2017)
Prevalensi anti bodi dari HSV-1 pada sebuah populasi bergantung pada faktor-faktor
seperti negara, kelas sosial ekonomi dan usia. HSV-1 umumnya ditemukan pada daerah oral
pada masa kanak-kanak, terlebih lagi pada kondisi sosial ekonomi terbelakang. Kebiasaan,
orientasi seksual dan gender mempengaruhi HSV-2. HSV-2 prevalensinya lebih rendah
dibanding HSV-1 dan lebih sering ditemukan pada usia dewasa yang terjadi karena kontak
seksual. Prevalensi HSV-2 pada usia dewasa meningkat dan secara signifikan lebih tinggi
Amerika Serikat dari pada Eropa dan kelompok etnik kulit hitam dibanding kulit putih.
Pada Varicella zoster virus (VZV), level infektifitasnya tinggi dan memiliki prevalensi
yang terjadi di seluruh dunia. Herpes zoster tidak memiliki kaitan dengan musim dan tidak
terjadi epidemik. Hubungan yang kuat terdapat pada peningkatan usia, yaitu 1,2 sampai 3,4
per 1000 penduduk per tahun pada orang sehat berusia muda, dan meningkat menjadi 3,9
sampai dengan 11,8 per 1000 penduduk pada usia di atas 65 tahun. (Long MD dkk., 2013)

2.4 Infeksi HSV Pada Saat Kehamilan


Infeksi HSV pada kehamilan dapat terjadi secara primer maupun rekuren, keduanya dapat
menyebabkan efek pada janin yang dikandungnya berupa abnormalitas pada neonatus. Selain
itu HSV dapat menyebabkan tampilan klinis yang lebih berat pada ibu hamil dibandingkan
ibu yang tidak hamil. Infeksi primer terutama pada herpes genitalis dalam kehamilan
menimbulkan infeksi yang lebih berat pada neonatus, terlebih pada penderita yang belum
memiliki antibodi terhadap HSV.
Infeksi HSV pada neonatus dapat diperoleh pada saat kehamilan, intrapartum, atau post
partum. Risiko infeksi HSV intrauterin meningkat pada ibu hamil yang menderita infeksi
HSV yang meluas dimana 90% disebabkan oleh HSV-2. Transmisi virus intrauterin dapat
terjadi pada awal kehamilan (sekitar 20 minggu gestasi) dan menyebabkan abortus, stillbirth,
dan anomali kongenital. Anomali kongenital tersebut berupa kelainan mata (chorioretinitis,
microphtalmia, katarak), kerusakan neurologis (kalsifikasi intrakranial, microcephali),
growth retardation, dan kelainan perkembangan psikomotor. Jika infeksi HSV terjadi pada
saat intrapartum atau post partum maka dapat menyebabkan infeksi pada neonatus berupa
penyakit HSV yang terlokalisir pada kulit, mata dan atau mulut (SEM); encephalitis HSV
dengan atau kelainan pada kulit, mata, mulut; dan HSV diseminata berupa disfungsi organ
berat dengan mortalitas mencapai 80% tanpa terapi. Tujuh puluh sampai 85% infeksi HSV
pada neonatus disebabkan oleh HSV-2, sedangkan sisanya disebabkan oleh HSV-1.
Infeksi HSV yang terjadi pada akhir trimester kehamilan meningkatkan risiko terjadinya
infeksi neonatal sekitar 30-50% dibandingkan infeksi pada awal kehamilan sebesar 1%.
Infeksi primer HSV pada saat trimester dua atau tiga dapat menimbulkan prematuritas dan
abnormalitas pada fetus karena lebih berisiko untuk mentransmisikan virus kepada janin,
sedangkan infeksi rekuren cenderung menimbulkan risiko yang lebih rendah pada fetus.
Sebaliknya hubungan antara infeksi HSV dengan kejadian keguguran pada trimester pertama
masih kontroversial.
Infeksi HSV pada kehamilan baik itu infeksi primer maupun rekuren dapat terjadi
simtomatis dan asimtomatis. Kebanyakan infeksi HSV pada neonatus (70%) disebabkan oleh
wanita hamil yang asimtomatis.
a) Infeksi Primer HSV Pada Kehamilan
Infeksi primer pada wanita yang sedang hamil menimbulkan tampilan klinis yang lebih
berat dibandingkan wanita yang tidak hamil. Lesi gingivostomatitis dan vulvovaginitis
herpetika cenderung lebih menyebar dan risiko terjadinya gejala pada organ visceral
(hepatitis, encephalitis) lebih besar. Ketika infeksi primer didapatkan pada akhir kehamilan,
maka tubuh ibu tidak sempat untuk membentuk antibodi untuk menekan replikasi virus
sebelum terjadinya persalinan.
Infeksi HSV pada neonatus lebih sering terjadi (sekitar 50% kasus) pada ibu dengan infeksi primer
dibandingkan ibu dengan infeksi rekuren dan menyebabkan infeksi neonatal yang berat. Sembilan puluh
persen neonatal herpes didapatkan pada masa perinatal, yaitu pada saat kelahiran pervaginam melalui
sekret vagina yang terkontaminasi HSV, sedangkan sisanya didapatkan segera setelah kelahiran.

b) Infeksi Rekuren HSV Pada Kehamilan

Infeksi HSV dapat mengalami reaktivasi pada traktus genitalis secara asimptomatis maupun
simtomatis. Gejala klasik dan lebih sering disebabkan oleh HSV-2 adalah lesi pada daerah kecil di genital
berupa vesikel yang berkelompok yang dapat menjadi ulserasi dan berkrusta, tetapi lesi ini lebih kecil dan
sedikit dibandingkan infeksi primer.

Infeksi rekuren HSV ditandai dengan timbulnya antibodi terhadap tipe HSV yang sama dan gejala
herpes yang biasanya lebih ringan (7-10 hari) dibandingkan infeksi primer. Mayoritas infeksi rekuren
disebabkan oleh HSV-2 karena virus ini lebih sering bereaktivasi dibandingkan HSV-1.

2.5 Cara Pencegahan Herpes

Hingga saat ini tidak ada satupun bahan yang efektif mencegah HSV. Kondom dapat menurunkan
transmisi penyakit, tetapi penularan masih dapat terjadi pada daerah yang tidak tertutup kondom ketika
terjadi ekskresi virus. Spermatisida yang berisi surfaktan nonoxynol-9 menyebabkan HSV menjadi inaktif
secara invitro. Di samping itu yang terbaik, jangan melakukan kontak oral genital pada keadaan dimana
ada gejala atau ditemukan herpes oral. Pencegahan Tertularnya Herpes :

1. Menghindari kontak fisik dengan orang lain, terutama kontak dari koreng yang muncul akibat
herpes.

2. Mencuci tangan secara rutin.

3. Mengoleskan obat antivirus topikal menggunakan kapas agar kulit tangan tidak menyentuh daerah
yang terinfeksi virus herpes.

4. Jangan berbagi pakai barang-barang yang dapat menyebarkan virus, seperti gelas, cangkir, handuk,
pakaian, make up, dan lip balm.

5. Jangan melakukan oral seks, ciuman atau aktivitas seksual lainnya, selama munculnya gejala
penyakit herpes.

2.6 Pengobatan Herpes

Tidak ada pengobatan yang dapat menyembuhkan herpes genitalis, tetapi pengobatan bisa
memperpendek lamanya serangan. Pengobatan yang diberikan dapat dibagi menjadi 3 bagian :

1. Pengobatan profilaksis, meliputi penjelasan kepada pasien tentang penyakitnya, proteksi


individual, menghindari faktor pencetus, psikoterapi.

2. Pengobatan non spesifik, yaitu yang bersifat simtomatis.

3. Pengobatan spesifik, yaitu pengobatan antivirus terhadap virus herpes. Tiga obat virus yang efektif
yaitu asiklovir, valasiklovir dan famsikolovir. Efek obat antivirus tersebut mengurangi viral shedding,
memperpendek lama sakit dan memperpendek rekurensi.

Untuk mengurangi nyeri yang ditimbulkan oleh herpes, tips-tips berikut ini dapat dilakukan selama
masa penyembuhan herpes, antara lain yaitu :

1. Mengonsumsi paracetamol atau ibuprofen sebagai obat pereda nyeri.

2. Mandi dengan menggunakan air suam.

3. Kompres dengan air hangat atau atau air dingin pada kulit yang terkena.

4. Menggunakan pakaian dalam berbahan katun.

5. Menggunakan pakaian longgar.

6. Menjaga area koreng tetap kering dan bersih.


Khusus ibu hamil, jika sedang atau pernah menderita herpes genital harus berkonsultasi dengan
dokter. Virus herpes dapat menular dari ibu kepada bayi selama masa persalinan, terutama ketika sedang
infeksi aktif, serta dapat menyebabkan komplikasi yang berbahaya bagi bayi.

1. Paracetamol atau aspirin dapat mengurangi rasa sakit dan soreness.

2. Betadine akan mengeringkan lepuhan & mencegah sores terinfeksi.

3. Cuci sores dengan air garam 2 sendok the garam dalam 1 liter air, atau 1 cup garam dalam air
mandi) dapat menolong penyembuhan.

4. Olesan salep atau krim penghilang rasa sakit dapat mengurangi rasa sakit, terutama ketika
mengeluarkan air seni.

5. Bila sakit sewaktu kencing , Anda dapat mengeluarkan air seni sewaktu duduk dalam air mandi
yang hangat.

Selain obat utama diatas, ada obat-obatan lain yang biasanya diberikan untuk orang dengan herpes
zoster.

1. Obat antiradang

Antiradang termasuk obat tambahan yang diresepkan sebagai salah satu cara untuk
mengobati herpes zoster. Ibuprofen atau obat-obatan NSAID lainnya mampu mengurangi
rasa sakit dan pembengkakan.
2. Analgesik (obat pereda nyeri)
Analgesik adalah obat untuk meredahkan rasa nyeri obat ini bekerja dengan cara
mengurangi peradangan di tempat rasa sakit, atau mengubah cara otak dalam memproses dan
merasakan rasa sakit titik. ( Halodoc, 2022)
3. Antihistamin
Antihistamin seperti diphenhydramine (Benadryl) sering kali ikut diresepkan untuk
mengatasi rasa gatal. Ini karena rasa gatal akibat herpes zoster biasanya tak tertahankan.
Menggaruk ruam dan luka bisa membuat penyakit menyebar luas. Untuk itu, antihistamin
menjadi salah satu cara efektif untuk mengobati rasa gatal akibat herpes zoster.
4. Capsaicin (Zostrix)
Capsaicin merupakan obat yang ditujukan untuk mengurangi risiko nyeri saraf pasca
pulih dari herpes zoster. Kondisi ini biasanya sangat menyiksa karena menyerang serabut
saraf dan kulit. Kulit akan terasa seperti terbakar dalam waktu yang cukup lama.
Wanita hamil dengan episode klinis pertama atau rekuren dapat diterapi dengan acyclovir
atau valacyclovir. Walaupun penggunaan kedua obat ini tidak meningkatkan kemungkinan
terjadinya abnormalitas pada fetus, tetapi efek obat tersebut pada jangka panjang masih
membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
Risiko tertinggi infeksi neonatal terjadi jika ibu hamil terinfeksi HSV pada trimester
ketiga kehamilan. Oleh karena itu persalinan secara sectio sesaria merupakan keharusan pada
wanita hamil yang terinfeksi HSV primer maupun non primer pada trimester akhir
kehamilan. Selain itu, membatasi penggunaan monitoring invasif pada wanita yang akan
bersalin dapat menurunkan kejadian infeksi neonatal.
Selain itu, pada berbagai penelitian, pemberian acyclovir dan valacyclovir kepada ibu
hamil dari umur 36 minggu gestasi sampai persalinan dapat menurunkan frekuensi
manifestasi klinis, penyebaran virus pada saat persalinan sehingga mengurangi dilakukannya
tindakan section sesaria, dan penurunan risiko transmisi vertikal. Walaupun begitu, terdapat
penentuan cara persalinan menurut status infeksi HSV yang diderita, yaitu :
a) Manajemen Infeksi HSV Primer Pada Kehamilan
Jika infeksi primer terjadi pada trimester 1 atau 2 kehamilan, disarankan untuk
melakukan kultur virus dari sekret genital pada umur kehamilan 32 minggu. Jika 2 kali hasil
kultur menunjukkan hasil negatif dan tidak ada lesi genital herpetika aktif pada saat
persalinan, maka dimungkinkan untuk dilakukan persalinan pervaginam. Jika terjadi
serokonversi pada saat persalinan, yang artinya risiko transmisi HSV kepada fetus rendah
karena neonatus telah terproteksi oleh antibodi maternal, maka tindakan sectio sesaria tidak
perlu dilakukan.
Jika infeksi primer didapatkan pada trimester 3 kehamilan, maka tindakan sectio sesaria
harus dilakukan karena serokonversi yang adekuat tidak akan terjadi pada 4 sampai 6 minggu
gestasi akhir sehingga bayi berisiko untuk terinfeksi jika dilahirkan pervaginam.
b) Manajemen Terapi Infeksi HSV Rekuren Pada Kehamilan
Bagi para wanita hamil dengan episode rekuren herpes genital yang terjadi beberapa
minggu sebelum taksiran persalinan, dibutuhkan terapi supresif dengan acyclovir atau
valacyclovir sepanjang 4 minggu terakhir kehamilan. Selain itu dilakukan kultur virus dari
sekret servix-vagina pada saat umur 36 minggu kehamilan. Jika tidak terdeteksi lesi herpes
secara klinis tetapi kultur virus positif pada saat persalinan, maka dibutuhkan tindakan sectio
sesaria untuk persalinannya. Sebaliknya, bila tidak ditemukan lesi dan kultur virus negatif,
maka dapat dilakukan persalinan pervaginam.

2.7 Pemeriksa Penunjang


Perlu perhatian khusus pada ibu hamil yang terinfeksi HSV. Pemeriksaan rutin pada ibu
hamil yang terinfeksi HSV tanpa gejala disarankan oleh beberapa organisasi kesehatan di
dunia. Pemeriksaan dengan anamnesis dan pemeriksaan diagnostik pada masa antenatal awal
dan pada akhir kehamilan sehingga dapat meminimalisasi risiko penularan pada janin.
Gejala herpes genitalis sering dibandingkan dengan kelainan lain karena memiliki gejala
yang serupa seperti ulkus mole, ulkus durum pada sifilis, atau ulkus pada penyakit Behcet.
Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk membantu mendiagosis herpes genitalis pada
pasienpasien dengan gejala klinis khas. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan ter virologi atau
tes serologi tipe spesifik. Tes virologi dapat mengambil sampel pemeriksaan dari apusan lesi
mukokutan aktif, disarankan diambil dari dasar vesikel. Sampel diperiksa dengan tes Tzanck-
Smear dengan pewarnaan Giemsa atau Wright dan ditemukan sel raksasa berinti banyak. Tes
Tzanck-smear ini sederhana dan dapat dilakukan dengan alat sederhana, tetapi sensitivitas
dan spesifitasnya rendah sehingga menyebabkan hasil false-positive atau false-negative.
Pemeriksaan dengan metode ini sudah jarang digunakan dan hanya digunakan untuk
keperluan sejarah. Kultur HSV dapat menjadi cara paling baik karena memiliki sensitivitas
70% dan spesifitas hampir 100%. Hasil positif didapatkan bila titer virus dalam spesimen
tinggi, hasil ini dapat didapatkan dalam 24-48 jam. Granulasi sitoplasmik, degenerasi balon,
dan adanya sel raksasa berinti banyak menunjukan adanya pertumbuhan virus. Pemeriksaan
ini lebih sensitif terhadap HSV-2 dibandingkan HSV1. Spesimen dari perempuan yang
terinfeksi HSV tanpa gejala dapat diambil dari serviks dan sekitarnya jika tidak terdapat lesi.
Selain kultur jaringan, metode biologi molecular (polymerase chain reaction/PCR) dapat
menjadi pilihan lain, metode ini lebih sensitif dibandingkan kultur jaringan. Namun dibalik
sensitivitas dan spesifitas yang tinggi, cara ini memerlukan waktu yang lebih lama dan biaya
yang dibutuhkan besar.
Tes serologi dapat digunakan pada pasien dengan gejala genital rekuren, gejala atipikal
dengan hasil kultur negatif, diagnosis klinis HSV tanpa konfirmasi, orang yang memiliki
pasangan dengan HSV genital, dan dianjurkan dilakukan pada orang-orang dengan penyakit
menular seksual.
Tes ini dapat mendeteksi antibodi terhadap glikoprotein HSV secara spesifik dan
membedakan infeksi primer dengan infeksi rekuren. Protein ini membangkitkan respon
antibody tipe spesifik pada infeksi HSV-1 dan HSV-2. Antibodi IgG terbentuk setelah 1-2
minggu setelah infeksi primer dan menetap. Sensitivitas pemeriksaan ini 90-100% dengan
spesifitas 99-100%. Skrining HSV pada ibu hamil dengan seronegative HSV, perlu dilakukan
skrining pada pasangannya. Ibu hamil dengan seropositive atau seronegative HSV dengan
pasangan seropositive, perlu dijelaskan mengenai transmisi HSV dan dianjurkan pemakaian
kondom. Selain itu dijelaskan juga terjadinya rekurensi selama kehamilan perlu ditangani.

2.8 Penatalaksanaan Herpes Genitalis Pada Kehamilan


Penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk ibu hamil yang terinfeksi HSV perlu
menentukan usia kehamilan saat terinfeksi. Pada infeksi primer, dapat dipertimbangkan
penggunaan asiklovir atau valasiklovir pada ibu hamil secara oral atau intravena tergantung
berat penyakitnya untuk terapi dan terapi supresif. asiklovir dapat menghambat replikasi
virus HSV secara selektif dan tidak banyak mempengaruhi sel normal.
Asiklovir akan melintasi plasenta dan terkumpul di cairan amnion selama kehamilan.
Konsentrasi obat ini dalam tubuh ibu sama dengan konsentrasi dalam tubuh janin.
Valasiklovir mirip dengan asiklovir tetapi memiliki bioavailibilitas lebih tinggi karena zat
tambahan. Kedua obat ini termasuk kategori B dan dapat digunakan selama kehamilan.
Pemberian asiklovir oral dengan dosis 5x200 mg atau 3x400 mg dalam 7-10 hari
diberikan pada infeksi primer herpes genitalis atau asiklovir intravena dengan dosis 5-10 mg/
kgBB setiap 8 jam untuk 2-7 hari diberikan pada infeksi primer herpes genitalis dengan
gejala berat pada kehamilan.
Selain asiklovir, valasiklovir dengan dosis 2x1000 mg untuk 7-10 hari dapat diberikan
pada infeksi primer. Infeksi rekurens dapat diberikan asiklovir dengan pilihan dosis 3x400
mg selama lima hari, 2x800 mg selama lima hari, atau dosis 3x800 mg selama dua hari.
Sedangkan pemberian valasiklovir dapat diberikan dengan dosis 2x500 mg selama tiga
hari atau 1x1000 mg selama lima hari. Penggunaan antivirus pada terapi untuk infeksi
rekurensi dalam kehamilan digunakan sebagai pereda gejala.
Terapi supresif dapat digunakan pada ibu hamil untuk mencegah, menurunkan frekuensi
rekurensi, menurunkan angka penularan selama kehamilan, dan menurunkan angka
pelaksanaan sectio caesaria. Terapi supresif dapat menggunakan asiklovir dengan dosis
3x400 mg atau valasiklovir 2x500 mg sejak usia kehamilan 36 minggu hingga persalinan.
Pemberian asiklovir dan valasiklovir belum terbukti mengakibatkan adanya gangguan pada
janin dan dapat diberikan pada ibu menyusui karena konsentrasi obat di dalam air susu ibu
kecil.
Tabel Dosis Obat Terapi HSV

Ibu hamil yang terinfeksi pada masa kehamilan trimester I dan II, segera diberikan
asiklovir. Jika dapat dilakukan, perlu ditentukan apa penyebab infeksinya, HSV-1 atau HSV-
2, dan menentukan apakah ini infeksi primer, gejala pertama non-primer, atau episode
pertama infeksi rekurensi. Observasi terjadinya rekurensi selama kehamilan sampai usia
kehamilan aterm, ibu hamil dapat melahirkan secara spontan dengan syarat tidak
menggunakan alat-alat seperti forcep atau vacum, pada saat melahirkan. Jika infeksi terjadi
pada 6 minggu terakhir kehamilan, disarankan untuk melahirkan secara pembedahan atau
section caesaria sebelum atau empat jam sesudah pecah ketuban. Kontak lama neonatus
dengan sekret infeksius pada saat melahirkan spontan akan meningkatkan risiko tertularnya
neonates oleh HSV. Sectio caesaria tidak rutin dilakukan, hanya dilakukan pada ibu hamil
dengan viral shedding dan untuk ibu hamil dengan lesi aktif atau sedang mengalami gejala
prodormal pada saat hampir/saat melahirkan. Ibu hamil dengan riwayat infeksi HSV tapi
tidak timbul lesi aktif di genital pada saat persalinan atau memiliki lesi aktif di tempat selain
genital tidak disarankan dilakukan section caesaria.
Infeksi HSV yang terjadi pada usia kehamilan 30-34 minggu memerlukan pemeriksaan
serologik untuk menentukan infeksi primer atau bukan. Jika didapatkan hasil sebagai infeksi
primer, berikan terapi asiklovir tergantung berat ringannya penyakit, atau pemberian
asiklovir supresi hingga waktu persalinan untuk menekan pelepasan virus. Timbulnya gejala
atau tidak pada masa persalinan menentukan langkah selanjutnya. Sectio Caesaria segera
dilakukan bila gejala timbul dan perlu penjelasan pada pasien dan keluarga mengenai semua
risiko, sedangkan ibu hamil tanpa gejala pada masa persalinan boleh dilakukan persalinan
pervaginam. Kedua cara tersebut tetap dibarengi pemberian asiklovir sebagai terapi supresi
pada ibu. Setelah persalinan, dilakukan kultur virus dalam waktu 12-24 jam dan observasi
neonatus. Neonatus yang mengalami gejala perlu diberikan terapi dengan asiklovir segera.
Kehamilan di atas 34 minggu dengan infeksi herpes genitalis diberikan terapi asiklovir
seperti pengobatan pada usia kehamilan 30-34 minggu, tetapi pada usia kehamilan ini segera
direncanakan section caesarea untuk mengurangi risiko transmisi virus ke bayi. Setelah
persalinan, dilakukan kultur virus dari bayi dalam waktu 12-24 jam dan observasi neonatus.
Terapi asiklovir diberikan pada bayi atau diberikan setelah diobservasi dan timbul gejala.
Pada kasus tertentu terjadi persalinan pervaginam saat persiapan, dilakukan kultur virus dari
bayi dalam 12-24 jam dan pemberian asiklovir dapat dipertimbangkan. Jika hasil kultur virus
dari bayi negative, hentikan pemberian terapi asiklovir. Pemberian ASI diperbolehkan selama
tidak terdapat lesi aktif di payudara. Perilaku bersih dan sehat dengan mencuci tangan perlu
ditingkatkan.4 Infeksi primer yang cepat ditangani dapat menghasilkan prognosis yang lebih
baik, sedangkan infeksi rekurens hanya bisa dibatasi frekuensi kekambuhannya.
Ibu hamil dengan riwayat infeksi rekurensi, perlu ditandai dalam status dan menjadi
perhatian. Melakukan pemeriksaan untuk mencari timbul atau tidaknya lesi pada masa awal
persalinan. Pemberian asiklovir supresif pada 2-4 minggu di akhir kehamilan.
Jika lesi tidak ditemukan, risiko rendah dan ibu hamil dapat melahirkan secara
pervaginam. Saat bayi lahir perlu diobservasi secara ketat dan pemberian asiklovir dapat
diberikan saat timbul gejala herpes neonatal. Dibandingkan perempuan yang tidak hamil,
Gejala infeksi HSV yang timbul lebih berat pada ibu hamil.
Infeksi pada masa intrapartum penularan pada janin dapat menyebabkan abortus,
stillbirth, pertumbuhan terhambat, kelainan perkembangan psikomotor, kelainan kulit
(blister, scarring), atau kelainan kongenital berupa kelainan mata (chorioretinitis,
microphtalmia, katarak), kelainan neurologis (kalsifikasi intrakranial, microcephali,
hydraencephaly, encephalitis, meningitis) hingga kematian jika tidak diterapi dengan baik.
Perlu perhatian khusus pada ibu hamil dengan kelainan ini. Hasil dari penatalaksanaan herpes
genital sering kali tidak memuaskan, tapi penanganan yang baik dengan konseling,
pemeriksaan diagnostik, penatalaksanaan antivirus, dan pencegahan timbulnya lesi aktif pada
saat persalinan yang dilakukan dengan baik dan tepat dapat memperbaiki hasil pengobatan.
Simpulan herpes genitalis pada kehamilan merupakan infeksi pada genital disebabkan Herpes
simplex virus (HSV) dengan gejala berupa vesikel berkelompok dengan dasar eritema dan
bersifat rekurens pada perempuan hamil. HSV dibagi menjadi HSV-1 dan HSV-2. HSV-2
paling sering menyebabkan herpes genital sedangkan HSV-1 lebih sering menyebabkan
herpes non-genital, Infeksi HSV dibagi menjadi infeksi primer, nonprimer, rekurens, dan
asimptomatis. Hal ini perlu diperhatikan dengan serius karena infeksi atau reaktivasi herpes
genitalis pada kehamilan memungkinkan penularan ke janin pada masa intrauterine 5%,
perinatal 85%, atau postnatal 10%. Penularan pada janin dapat menyebabkan abortus,
stillbirth, pertumbuhan terhambat, kelainan kongenital, dan kematian. Penggunaan asiklovir
atau valasiklovir pada ibu hamil sebagai terapi utama maupun terapi supresif. Terapi supresif
digunakan untuk mencegah, menurunkan frekuensi rekurensi, menurunkan penularan selama
kehamilan, dan menurunkan angka pelaksanaan sectio caesaria.

RUBELLA PADA IBU HAMIL


1. PENGERTIAN RUBELLA
PEMBAHASAN
Rubella adalah penyakit jenis campak yang dapat dicegah dengan imunisasi atau dikenal
dengan sebutan PD3I. Rubella dikenal juga dengan nama Campak Jerman, Campak 3 Hari
merupakan penyakit yang sangat mudah menular. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi virus
rubella yang menyerang tubuh, terutama pada kulit dan kelenjer getah bening. Penularan
rubella dapat terjadi melalui droplet yaitu melalui percikan cairan seperti air ludah, keringat
yang terkena orang lain. Selain itu rubella juga dapat ditularkan melalui plasenta oleh ibu
hamil kepada janin yang ada di dalam kandungannya atau dikenal dengan nama rubella
kongenital.
Rubella pada dasarnya merupakan penyakit ringan, dan dapat sembuh dengan sendirinya
bagi orang normal. namun penyakit ini, apabila diderita oleh wanita hamil terutama pada
awal kehamilan atau 20 minggu pertama kehamilan akan menjadi berbahaya karena dapat
menyebabkan sindrom rubella bawaan (Syndrome Rubella Congenital) pada bayi seperti bayi
lahir cacat, abortus, bayi lahir dengan mata katarak, gangguan pendengaran, terjadi
pengapuran otak, dan lain sebagainya.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menyatakan bahwa penyakit rubella
apabila terjadi pada ibu hamil yang tidak mendapatkan vaksinasi, akan berpotensi terjadinya
keguguran atau bayi meninggal dunia setelah dilahirkan.
Infeksi virus Rubella merupakan penyakit ringan pada anak dan dewasa, tetapi apabila
terjadi pada ibu yang sedang mengandung virus ini dapat menembus dinding plasenta dan
langsung menyerang janin Rubella atau dikenal juga dengan nama campak jerman adalah
penyakit menular
yang disebabkan oleh virus Rubella Virus biasanya menginfeksi tubuh melalui
pernapasan seperti hidung dan tenggorokan.

2. GEJALA RUBELLA PADA IBU HAMIL


 Flu: Mirip dengan gejala flu biasa, tetapi pada infeksi rubella, flu disertai dengan
hidung tersumbat dan terjadi dalam jangka waktu lama. Ibu hamil perlu waspada jika hidung
mampet disertai sakit kepala dan berlangsung selama lebih dari dua minggu.
 Kulit ruam: Awalnya muncul di area wajah, lalu menyebar ke bagian tubuh lain. Ruam
bisa muncul mendadak setelah 48-60 jam setelah terinfeksi dan menyebar ke bagian tubuh
lain selama kurang lebih empat hari.
 Demam: Demam yang terjadi tergolong ringan, tidak melebihi suhu 39 derajat Celcius,
tetapi terjadi selama 4-7 hari.
 Mual berlebihan, mudah lelah, dan iritasi mata dapat menjadi gejala lainnya. Meski
mual merupakan tanda awal kehamilan, ibu hamil perlu waspada jika berlangsung lama dan
lebih dari biasanya.
3. PENCEGAHAN RUBELLA PADA IBU HAMIL
Vaksinasi sejak kecil atau sebelum hamil.Untuk perlindungan terhadap seran gan virus
Rubella telah tersedia vaksin dalam bentuk vaksin kombinasi yang sekaligus digunakan
untuk mencegah infeksi campak dan gondongan, dikenal
sebagai vaksin MMR (Mumps, Measles, Rubella). Vaksin Rubella diberikan pada usia
15 bulan Setelah itu harus mendapat ulangan pada umur 4-6 tahun bila belum mendapat
ulangan pada umur 4-6 tahun, harustetap diberikan umur 11-12 tahun, bahkan sampai remaja.
Vaksin tida kdapat diberikan pada ibu yang sudah hamil.Deteksi status kekebalan tubuh
sebelum hamil Sebelum hamil sebaiknya memeriksakan kekebalan tubuh terhadap Rubella,
seperti juga terhadap infeksi TORCH lainnya.Jika anti-Rubella IgG saja yang positif berarti
Anda pernah terifeksi atau sudah divaksinasi terhadap Rubella Anda tidak mungkin terkena
Rubella lagi, dan janin 100% aman Jika anti-Rubella IgG saja yang positif atau anti-
Rubella IgG dan anti-Rubella IgG positif, berarti anda baru terinieksi Rubella atau baru
divaksinasi terhadap Rubella. Dokter akan menyarankan Anda untuk

menunda kehamilan sampai IgG menjadi negative ,yaitu selama 3-6 bulan jika anti-
Rubella IgG dan anti-Rubella IgM negatif berarti anda tidak mempunyai kekebalan terhadap
Rubella. bila anda belum hamil, dokter akan memberikan vaksin Rubella dan menunda
kehamilan selama 3-6 bulan.
bila anda tidak bisa mendapat vaksin,tidak mau menunda kehamilan atau sudah hamil,
yang dapat dikerjakan adalah mecegah anda terkena Rubella bila sudah hamil padahal belum
kebal, terpaksa berusaha menghindari tertular Rubella dengan cara berikut: jangan mendekati
orang sakit demam,jangan pergi ke tempat banyak anak berkumpul,
misalnya Playgroup sekolah TK dan SD,jangan pergi ke tempat penitipan anak.
4. PENGOBATAN RUBELLA PADA IBU HAMIL
1. Beristirahat Sebanyak Mungkin
Saat ibu mengalami gejala-gejala yang hampir mirip dengan penyakit virus rubella,
sebaiknya ibu memperbanyak waktu istirahat. Istirahat nyatanya mampu meningkatkan
sistem imunitas tubuh menjadi semakin baik.
2. Konsumsi Air Putih dan Makanan Sehat
Dengan mengonsumsi air putih yang cukup, kamu bisa menetralisir racun atau virus yang
ada dalam tubuh kamu. Tidak hanya itu, air putih juga berfungsi untuk menghidrasi tubuh
kamu. Nutrisi ibu hamil juga perlu diperhatikan agar kebutuhan nutrisi dan gizi ibu tetap
terpenuhi. Dengan pemenuhan gizi yang cukup, tentu saja daya tahan tubuh ibu juga bisa
meningkat.
3. Periksakan Diri ke Dokter
Sebaiknya ibu hamil segera periksakan diri ke dokter saat merasakan gejala awal rubella.
Lalu, rutin meminum obat-obatan sesuai dengan yang dianjurkan dokter. Dengan penanganan
medis sesegera mungkin maka penyakit ini akan lebih mudah untuk ditangani

5. FAKTOR RESIKO RUBELLA PADA IBU HAMIL


Ada beberapa faktor risiko yang menempatkan ibu hamil bisa terinfeksi rubella, yaitu:
 Kontak dengan pasien yang terinfeksi.
 Gagal mendapatkan vaksinasi.
 Tinggal di daerah padat penduduk.
 Respons imun yang buruk terhadap vaksin.  Bekerja sebagai tenaga medis.
6. KOMPLIKASI RUBELLA
Komplikasi paling serius dari infeksi rubella adalah bahaya yang dapat ditimbulkannya
pada janin yang sedang berkembang pada wanita hamil. Jika seorang wanita hamil tidak
divaksinasi terinfeksi virus rubella, ia dapat mengalami keguguran, atau bayinya dapat
meninggal tepat setelah lahir. Ibu hamil juga dapat menularkan virus ke bayi yang sedang
berkembang yang dapat mengembangkan cacat lahir yang serius seperti:
 Masalah jantung
 Kehilangan pendengaran dan penglihatan
 Cacat intelektual
 Kerusakan hati atau limpa
7. PENATALAKSANAAN
 Menerima vaksin rubella atau MMR
Pemberian vaksin rubella memang tidak disarankan untuk dilakukan saat hamil. Oleh
karena itu, pemberian vaksin sebaiknya dilakukan sebelum hamil, yaitu saat merencanakan
kehamilan.
 Meminta orang yang tinggal serumah untuk menjalani vaksinasi MMR

Bila memungkinkan, minta orang yang tinggal serumah dengan Bumil untuk menerima
vaksin MMR. Cara ini dilakukan untuk mencegah mereka terinfeksi virus rubella dan
menularkannya kepada Bumil.
 Menjaga kebersihan
Segera cuci tangan Bumil dengan sabun setelah melakukan perkerjaan apa pun. Jangan
menyentuh wajah, terutama hidung dan mulut, dengan tangan yang belum dicuci,
 Menunda berwisata
Jika Bumil berencana untuk berwisata dengan pasangan selama hamil, sebaiknya tunda
dulu. Apalagi, jika tempat wisata yang Bumil kunjungi termasuk wilayah dengan kasus
rubella yang tinggi

TOXOPLASMOSIS

A. PENGRTIAN TOXOPLASMOSIS
Toksoplasmosis adalah infeksi yang disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii. Parasit
ini dapat ditemukan pada kotoran kucing, sayuran dan buah-buahan yang tidak dicuci bersih,
atau daging yang belum matang. Jika masuk ke dalam tubuh manusia, T. gondii dapat
bertahan pada kondisi tidak aktif. Umumnya, infeksi parasit ini dapat dikendalikan oleh
sistem kekebalan tubuh sehingga tidak menimbulkan gejala. Meski begitu, parasit ini dapat
menyebabkan masalah kesehatan serius jika terjadi pada orang dengan daya tahan tubuh
rendah atau ibu hamil.
Pada dasarnya, toksoplasmosis tidak dapat menyebar antarmanusia. Namun, ibu hamil
dapat menularkan infeksi ini ke janinnya. Kondisi tersebut bisa menyebabkan pertumbuhan
janin terhambat, cacat pada janin, keguguran, hingga kematian janin

B. SUMBER PNEULARAN TOXOPLASMOSIS


Penularan toksoplasmosis kepada manusia dapat terjadi salah satunya melalui tertelan
kista jaringan atau takizoit dalam daging mentah atau yang dimasak kurang sempurna. Angka
prevalensi toksoplasmosis di Indonesia pada kambing bisa terbilang tinggi (11-61%).
Konsumsi daging kambing cukup tinggi. Daging kambing yang dimasak kurang matang dan
mengandung kista Toxoplasma gondii merupakan salah satu sumber penularan
toksoplasmosis pada manusia.
penyakit toxoplasmosis biasanya ditularkan dari kucing atau anjing, tetapi penyakit ini
juga dapat menyerang hewan lain seperti babi, sapi, domba, kambing, kelinci dan hewan
peliharaan lainnya. Penularan melalui vektor mekanik (lalat, lipas dan tikus) ikut
berkontribusi, juga penularan bisa terjadi pada orang yang gemar mengkonsumsi daging
mentah atau setengah matang, sayuran mentah serta buah-buahan yang terkontaminasi
Toxoplasma gondii.
C. Penyebab Toksoplasmosis
Toksoplasmosis terjadi ketika parasit Toxoplasma gondii masuk ke dalam tubuh manusia.
Parasit ini biasanya menetap di dalam otot, otak, mata, atau otot jantung.
Selain masuk ke dalam tubuh manusia, parasit T.gondii juga dapat menginfeksi hewan,
terutama kucing. T.gondii dapat berkembang di lapisan usus kucing dan bisa keluar bersama
kotoran.

Seseorang dapat terserang infeksi T. gondii melalui beberapa cara, yaitu:


1. Paparan dari kotoran kucing yang mengandung parasit gondii
2. Konsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi parasit gondii, terutama daging
yang tidak dimasak dengan matang
3. Plasenta ibu hamil, yang menyebarkan infeksi pada janin
4. Tranfusi darah atau tranplantasi organ dari donor yang terinfeksi

D. Faktor risiko toksoplasmosis


Toksoplasmosis dapat terjadi pada siapa saja. Akan tetapi, ada sejumlah faktor yang
dapat meningkatkan risiko seseorang tertular infeksi ini, yaitu:
1. Sedang hamil
2. Menderita HIV/AIDS
3. Mengonsumsi obat kortikosteroid atau imunosupresif jangka panjang
4. Sedang menjalani kemoterapi

E. Gejala Toksoplasmosis
Umumnya, toksoplasmosis tidak menimbulkan gejala. Namun, pada beberapa kasus,
gejala dapat muncul beberapa minggu atau bulan setelah parasit T.gondii menyerang tubuh.
Beberapa gejala umum yang dialami penderita toksoplasmosis mirip dengan gejala flu,
yaitu:
1. Demam
2. Nyeri otot
3. Kelelahan
4. Sakit tenggorokan
5. Pembengkakan kelenjar getah bening
Selain gejala di atas, gejala lain juga dapat muncul berdasarkan kondisi penderita, yaitu:
➢ Pada ibu hamil dan bayi baru lahir
Pada ibu hamil, toksoplasmosis dapat menyebabkan janin di dalam kandungan
mengalami gangguan pertumbuhan. Selain itu, tidak menutup kemungkinan keguguran, baik
hanya ancaman (abortus iminens), tidak dapat dihindari (abortus insipiens) atau yang komplit
(abortus komplit), atau kematian janin bisa terjadi.
Sedangkan, pada bayi baru lahir, toksoplasmosis dapat menimbulkan beberapa gejala
berikut:
1. Kejang
2. Pembesaran organ hati atau limpa
3. Penyakit kuning pada bayi
4. Ruam kulit
5. Kepala tampak lebih kecil (mikrosefalus)
Bayi baru lahir yang terinfeksi parasit T.gondii juga mungkin tidak mengalami gejala apa
pun. Akan tetapi, beberapa gejala dapat timbul seiring bayi bertumbuh besar atau saat remaja.
Gejala yang dimaksud berupa gangguan pendengaran, gangguan intelektual, atau infeksi
berat pada mata.
Ibu hamil yang terinfeksi toksoplasmosis juga dapat mengalami gejala umum
toksoplasmosis, seperti demam, nyeri otot, atau kelelahan.
F. Diagnosis Toksoplasmosis
Untuk mendiagnosis toksoplasmosis, dokter akan melakukan tanya jawab mengenai
gejala yang dialami dan riwayat kesehatan pasien, serta kemungkinan terpapar T.gondii.
Selanjutnya, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh, diikuti dengan
pemeriksaan lanjutan untuk menetapkan diagnosis, seperti:
• Tes darah, untuk menilai kadar antibodi tubuh terhadap gondii
• MRI, untuk mendeteksi penyebaran infeksi ke otak, terutama pada pasien yang berisiko
tinggi terserang komplikasi
• Biopsi otak atau cairan tulang belakang, untuk mendeteksi keberadaan parasit gondii,
terutama pada kasus yang parah
Sementara pada ibu hamil, dokter akan melakukan pemeriksaan berupa:
• Amniosentesis, untuk mengetahui penularan infeksi toksoplasmosis pada janin dengan
memeriksa sampel air ketuban pada usia kehamilan di atas 15 minggu
• USG kehamilan, untuk menilai pertumbuhan dan mendeteksi kelainan pada janin
Jika hasil USG kehamilan menunjukkan gangguan pertumbuhan atau tanda-tanda
kelainan pada janin, dokter akan menyarankan pasien menjalani pemeriksaan rutin untuk
mencegah terjadinya perburukan.
Setelah bayi lahir, dokter akan melakukan pemeriksaan untuk melihat kemungkinan
komplikasi toksoplasmosis pada bayi. Jika komplikasi tidak terlihat, dokter akan
menyarankan ibu memeriksakan bayi secara berkala hingga anak berusia remaja.

➢ Pengobatan Toksoplasmosis
Pada orang yang tidak sedang hamil atau mengalami gangguan kekebalan tubuh,
toksoplasmosis umumnya ringan dan tidak memerlukan perawatan medis. Namun, pada
toksoplasmosis yang sampai menimbulkan gejala, dokter akan memberikan pengobatan
sesuai kondisinya. Berikut adalah penjelasannya:

➢ Pasien tanpa gangguan kekebalan tubuh dan tidak hamil


Jika pasien mengalami infeksi toksoplasmosis akut dengan gejala, dokter dapat
meresepkan beberapa obat berikut ini:
• Pyrimethamine, untuk menghambat pertumbuhan gondii dengan cara menghambat
penyerapan asam folat di dalam tubuh
• Leucovorin, untuk mengurangi efek samping pyrimethamine
• Sulfadiazine yang dikombinasikan pyrimethamine, untuk mengobati toksoplasmosis
• Azithromycin, untuk mengatasi toksoplasmosis pada pasien yang alergi terhadap

G. Pencegahan Toxoplasmosis
Pencegahan dan pengendalian infeksi yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii. Gejala
klinis awal infeksi toksoplasmosis pada wanita usia subur imunokompeten, termasuk wanita
hamil, sangat sulit dideteksi karena biasanya tidak ada gejala.
Skrining serologi toksoplasma berimplikasi sebagai satu-satunya cara untuk menentukan
apakah infeksi toksoplasmosis pada ibu hamil trimester pertama dapat menularkan infeksi ke
janin berupa kelainan kongenital yang serius. Pemeriksaan laboratorium toksoplasmosis
dengan menggunakan deteksi serologi berbagai antibodi toksoplasma di Indonesia masih
cukup mahal. Oleh karena itu, tujuan dari kegiatan pengabdian masyarakat ini adalah untuk
mengetahui tingkat pengetahuan pencegahan faktor risiko toksoplasmosis pada wanita usia
subur.
Toksoplasmosis bisa dicegah dengan menerapkan pola hidup bersih dan sehat. Beberapa
langkah yang dapat dilakukan adalah:
• Gunakan sarung tangan saat berkebun atau memegang tanah.
• Hindari mengonsumsi daging mentah atau setengah matang.
• Cucilah tangan sebelum dan sesudah memegang makanan.
• Cucilah semua peralatan dapur dengan bersih setelah memasak daging mentah.
• Cucilah buah dan sayuran sebelum dikonsumsi.
• Hindari mengonsumsi susu dan produk olahan susu yang tidak dipasteurisasi.
Bila Anda memelihara kucing, lakukan langkah-langkah di bawah ini untuk mencegah
toksoplasmosis:
o Jaga kesehatan kucing dengan rutin membawanya untuk divaksinasi.
o Gunakan sarung tangan saat membersihkan tempat kotoran kucing.
o Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun setelah membersihkan tempat kotoran
kucing.
o Jaga kucing agar tetap berada di dalam rumah.

INFEKSI SYPHILIS

A. Pengertian Syphilis
PEMBAHASAN
Sifilis merupakan salah satu Infeksi Menular Seksual yang disebabkan Treponema
pallidum yang dapat menimbulkan kondisi cukup parah misalnya infeksi otak dan kecacatan
tubuh. Bila tidak diobati Treponema pallidum akan menyebabkan 67% kehamilan berakhir
dengan keguguran, lahir mati, atau infeksi neonates (Sifilis congenital).
Sifilis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang meluas di berbagai Negara,
akan Sifilis masih merupakan penyebab utama morbitas dan mortalitas perinatal di banyak
Negara. Sebagaimana IMS lainnya, Sifilis akan meningkatkan resiko tertular Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) Sifilis
meningkatkan daya infeksi HIV dan pada mereka yang belum terinfeksi HIV, Sifilis
meningkatkan kerentangn tertular HIV.
B. Perjalanan Alamiah Infeksi Syphilis
Pada ibu hamil sering ditemui adanya infeksi Sifilis yang menyertai kehamilan dan
persalinan. Infeksi ini mempunyai resiko terhadap kehamilan dan persalinan. Apabila ibu
hamil terinfeksi Sifilis, Treponema Pallidum masuk melalui peredaran janin dan menyebar
keseluruh jaringan. Kemudian berkembang biak dan menyebabkan respon peradangan selular
yang akan merusak janin, maka dapat ditularkan ke bayi melalui plasenta dan pada saat
bersalin dapat menyebabkan bayi lahir mati, kongenital Sifilis pada bayi, dan Berat Bayi
Lahir Rendah (BBLR). Resiko Sifilis kongenital berhubungan langsung dengan stadium
Sifilis yang diderita ibu selama kehamilan.
Sifilis adalah penyakit kronis dan bersifat sistemik. Penyakit sifilis dapat ditularkan
dari ibu yang menderita sifilis ke janinnya melalui plasenta pada stadium akhir
kehamilan.

C. Penyebab Syphilis
Sifilis disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum yang berbentuk spiral. Bakteri ini
dapat masuk ke dalam tubuh melalui luka kecil, lecet, ruam pada kulit, atau melalui selaput
lendir, yaitu jaringan dalam mulut atau kelamin.
Sifilis lebih banyak menular akibat berhubungan seksual dengan penderita infeksi ini.
Selain hubungan seksual, penyebaran bisa terjadi melalui kontak fisik dengan luka di tubuh
penderita, atau menular dari ibu ke janin saat kehamilan atau persalinan.
D. Penularan Syphilis
Cara penularan sifilis sama dengan penyakit IMS lainnya, yaitu umumnya melalui
hubungan seksual dengan pasangan yang mengidap sifilis, di samping penularan dari ibu ke
bayi. Penularan sifilis dari ibu ke bayi berlangsung melalui cara yang lebih kurang sama
seperti pada penularan infeksi HIV. Penularan ini terjadi pada masa kehamilan, kontak saat
persalinan dan kontak dengan lesi sifilis setelah persalinan. Walaupun penularan dari ibu ke
bayi dapat terjadi pada minggu ke-9 kehamilan, namun biasanya penularan terjadi pada
minggu ke-16 dan ke-28 kehamilan.
Penularan sifilis dapat terjadi saat penderita berada dalam tahap primer, sekunder, atau
awal tahap laten. Meski demikian, sipilis tidak bisa ditularkan melalui kontak dengan
dudukan kloset, serta berbagi pemakaian baju atau peralatan makan dengan penderita.
Melihat cara penularannya, ada beberapa kondisi yang membuat seseorang berisiko
tertular penyakit sipilis atau sifilis, yaitu:
a) Bergonta-ganti pasangan seksual, contohnya menjalani hubungan poliamori
b) Berhubungan seksual tanpa kondom
c) Memiliki pasangan seksual penderita sifilis
d) Memiliki orientasi seksual lelaki seks lelaki
e) Positif terinfeksi HIV
Risiko Penularan Sifilis dari Ibu ke Anak
Faktor risiko penularan sifilis dari ibu ke anak sebagai berikut.
1. Faktor ibu.
a) Adanya infeksi lain selama kehamilan, misalnya IMS (HIV, gonore, dll), infeksi
organ reproduksi, malaria dan tuberkulosis akan memperbesar risiko penularan
sifilis.
b) Penularan baru sifilis pada ibu hamil meningkatkan risiko penularan ke anak.

2. Faktor tindakan obstetrik: berbeda dengan penularan infeksi HIV dari ibu ke anak,
risiko penularan sifilis pada masa kehamilan lebih besar dibandingkan risiko pada saat
persalinan karena bakteri dapat menembus barier darah plasenta.
E. Gejala Syphilis
Gejala sipilis digolongkan sesuai dengan tahap perkembangan penyakitnya.
Tiap jenis sifilis memiliki gejala yang berbeda. Berikut adalah penjelasannya:
• Sifilis primer
Sifilis jenis ini ditandai dengan luka (chancre) di tempat bakteri masuk.
• Sifilis sekunder
Sifilis jenis ini ditandai dengan munculnya ruam pada tubuh.
• Sifilis laten
Sifilis ini tidak menimbulkan gejala, tetapi bakteri ada di dalam tubuh penderita.
• Sifilis tersier
Sifilis ini dapat menyebabkan kerusakan otak, saraf, jantung, atau organ lain.
Gejala Syphilis pada ibu hamil dan bayi nya :
Sifilis juga bisa terjadi pada wanita yang sedang hamil, kondisi ini disebut dengan sifilis
kongenital. Wanita hamil yang mengidap sifilis sangat berpeluang untuk menularkannya ke
janin.
Jika bayi lahir dengan kongenital sifilis dalam keadaan hidup, biasanya tidak memiliki
gejala apa pun. Akan tetapi, masih ada kemungkinan munculnya ruam pada telapak tangan
dan telapak kaki bayi. Seiring bertambahnya usia, gejala yang dimiliki anak yang lahir
dengan sifilis mungkin akan berkembang menjadi masalah pendengaran, deformasi gigi,
hingga pertumbuhan tulang yang abnormal.
F. Pencegahan Syphilis
Upaya paling ampuh untuk mencegah penularan sifilis yang menular lewat hubungan
seksual adalah dengan berhubungan seksual dengan aman. Caranya adalah dengan setia pada
satu pasangan dan menggunakan kondom saat berhubungan seksual.
Sifilis juga bisa dicegah dengan membatasi konsumsi minuman beralkohol dan tidak
menyalahgunakan NAPZA. Hal ini karena alkohol dan NAPZA dapat menurunkan kesadaran
dan membuat seeseorang menjadi agresif atau impulsif. Akibatnya, risiko untuk berhubungan
seksual dengan cara yang tidak aman akan meningkat.
Di samping itu, penting bagi ibu hamil untuk memeriksakan kehamilannya secara rutin.
Saat pemeriksaan rutin kehamilan, dokter kandungan akan melakukan skrining penyakit
sifilis, biasanya saat trimester pertama kehamilan dan trimester akhir kehamilan

Pencegahan penyakit sifilis dapat dilakukan dengan melakukan skrining dan pemeriksaan
sedini mungkin. Pemeriksaan dapat dilkaukan segera setelah munculnya tanda dan gejala
awal penyakit tersebut.
Kementerian Kesehatan (2013) menyatakan bahwa, untuk melindungi janin dalam
kandungan perlu dilakukan skrining dan penanganan sifilis pada ibu hamil.
Secara internasional telah ditetapkan target untuk mengeliminasi sifilis kongenital.
Beberapa cara yang diakukan antara lain:
1. Integrasi layanan infeksi menular seksual (terutama skrining sifilis) dengan program
pencegahan infeksi HIV dari ibu ke anak dan program kesehatan ibu dan anak.
2. Melakukan skrining sifilis pada semua ibu hamil.
3. Melakukan skrining sifilis pada ibu melahirkan, terutama mereka yang belum
pernah diskrining sebelumnya.
4. Mengobati semua ibu hamil yang positif sifilis dengan segera.
5. Melakukan edukasi, konseling aktif, dan promosi kondom untuk mencegah infeksi
ulang.
6. Melakukan pengobatan pada semua bayi yang lahir dari ibu yang positif sifilis.
7. Melakukan pemeriksaan dengan seksama dan membuat rencana perawatan bagi
bayi yang lahir dari ibu yang positif sifilis.
G. Tata Laksana Syphilis
Secara umum, pengobatan utama sifilis adalah dengan suntikan antibiotik penisilin yang
dosisnya tergantung pada kondisi tiap penderita. Pada sifilis yang masih di tahap awal, suntik
penisilin cukup dilakukan satu kali (dosis tunggal). Sedangkan pada sifilis tahap lanjut,
diperlukan dosis tambahan sesuai petunjuk dokter.
Sipilis termasuk penyakit yang dapat disembuhkan, terutama jika cepat terdeteksi dan
ditangani. Bila sifilis baru diobati saat sudah terjadi kerusakan organ, pengobatan sifilis tidak
bisa memperbaiki kerusakan organ.
Antibiotik penisilin juga diberikan kepada ibu hamil yang menderita sifilis dan bayi yang
dilahirkan dari ibu penderita sifilis. Bagi penderita yang alergi terhadap penisilin, diskusikan
kembali manfaat dan risiko penggunaan penisilin, serta tanyakan kepada dokter kulit
mengenai pengganti obat penisilin. Setelah disuntik antibiotik penisilin, beberapa penderita
bisa merasakan reaksi Jarisch-Herxheimer. Reaksi ini dapat menimbulkan gejala berupa
demam, sakit kepala, dan nyeri otot atau sendi.
Reaksi ini bukan suatu kondisi yang serius dan biasanya hanya berlangsung selama 1
hari.
Untuk mengetahui seseorang terinfeksi sifilis diantaranya dengan pemeriksaan
imunoserologi yaitu pemeriksaan VDRL (Veneral Disease Research Laboratory) dengan
metode slide flokulasi adalah tes yang dilakukan untuk memeriksa munculnya antibodi
terhadap bakteriTreponema pallidum, bakteri yang menyebabkan penyakit menular
seksual sifilis.

Selama pengobatan berlangsung, penderita tidak boleh berhubungan seksual sampai


dinyatakan sembuh. Untuk mencegah penularan, beri tahu pasangan tentang kondisi yang
dialami agar pasangan segera melakukan tes sifilis dan segera diobati.
Setelah pengobatan, penderita tetap diminta untuk menjalani tes darah secara berkala.
Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa infeksi telah sembuh total. Penderita juga harus
tetap waspada karena masih bisa terinfeksi sifilis kembali, meski sudah diobati dan
dinyatakan sembuh.

TBC
2.1 Pengertian TBC

Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
tuberculosis. Kondisi ini dapat menyerang otak, kelenjar getah bening, sistem saraf pusat, jantung dan
tulang belakang. Namun, infeksi TBC paling sering menyerang paru-paru.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), TBC berada di peringkat kedua sebagai penyakit
menular yang mematikan. Indonesia termasuk lima besar negara dengan jumlah pengidap TBC terbanyak
di Asia Tenggara. Merujuk data 2012, jumlah pengidap TBC yang mencapai 305 ribu jiwa.

2.2 Penyebab Tuberkulosis

Adalah Mycobacterium tuberkulosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan panjang 1-4/um dan
tebal 0,3-0,6/um. Sebagian besar kuman ini terdiri dari asam lemak (Lipid). Lipid inilah yang membuat
kuman lebih tahan terhadap asam dan terhadap gangguan kimia dan fisik. Kuman dapat tahan hidup
pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat bertahun-tahun dalam lemari es) Hal ini terjadi
karena kuman yang ada pada sifat yang dormant, yang kemudian dapat bangkit kembali dan menjadi
tuberkulosis aktif kembali. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih
menyenangi jaringan yang kandungan oksigennya tinggi. Cara penularan melalui udara pernafasan
dengan menghirup partikel kecil yang mengandung bakteri tuberculosis. Masa tunas berkisar antara 4-12
minggu. Masa penularan terus berlangsung selama sputum BTA penderita positif.

2.3 Manifestasi klinis

• Penurunan berat badan

• Anoreksia

• Dispneu

• Sputum purulen/hijau, mukoid/kuning.

• Demam

• Batuk

• Sesak nafas.

• Nyeri dada

• Malaise

2.4 Cara Mendeteksi

Permasalahan utama pada TBC dengan kehamilan adalah adanya keterlambatan dalam
mendiagnosis. Hal ini disebabkan kebanyakan perempuan hamil baru memeriksakan diri ke fasilitas
kesehatan pada tahap lanjut dari kehamilannya, serta diagnosis klinis cenderung sulit karena kehamilan
dapat mengaburkan gejala klinis infeksi TBC. Beberapa gejala seperti lelah , lesu , penurunan nafsu
makan, sesak dan berkeringat juga di jumpai pada kehamilan. Gejala lain seperti anemia, juga dapat
mencerminkan penyakit kronis TBC. Penapisan dan penemuan kasus secara aktif perlu dilakukan untuk
mendapatkan sebanyak mungkin kasus TBC yang diagnosis untuk kemudian diobati.

Diagnosis TBC saat ini masih bergantung pada temuan BTA (Basil Tahan Asam) secara mikroskopis,
kultur BTA dan deteksi DNA secara moleskuler ( uji GeneXpert MTB/RIF) M.tubercolosis terutama pada
dahak. Infeksi TBC dapat juga terjadi pada organ ekstraparu. Berbagai laporan kasus
mendokumentasikan berbagai manifestasi TBC ekstraparu , misalnya pericarditis TBC , spondylitis TBC ,
peritonitis TBC ,abses psoas, meningitis TBC ,dan sebagainya. Banyak kasus yang didiagnosis terlambat,
atau bahkan secara retrospektif setelah identifikasi adanya TB pada neonatus maupun kehamilan ektopik
pada TB genital hingga paraplegia pada TB spinal." Kesulitan dalam mendiagnosis TB ekstraparu ini dapat
disebabkan baik kesulitan dalam teknis hiopsi yang dilakukan melalui tindakan pembedahan maupun
endoskopi dan juga. dalam mencapai lesi, serta risiko akibat paparan obat anestesi pada janin." Dampak
pada janin dilaporkan beragam, mulai dari asimtomatik. abortus spontan, hingga abnormalitas kongenital
yang serius.

Uji tuberkulin dan IGRA dapat digunakan untuk mendiagnosis TB laten pada perempuan hamil,
namun bukan untuk mendiagnosis TB aktif Sensitivitas uji tuberkulin tidak dipengaruhi oleh kehamilan,
namun dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti keadaan imunokompromais yang dapat
memberikan hasil negatif palsu atau vaksinasi BCG yang memberikan hasil positif palsu. Oleh karena itu,
pada wilayah dimana mayoritas penduduknya sudah divaksinasi BCG ataupun bila status vaksinasinya
tidak diketahui serta pada penderita HIV positif, pemeriksaan IGRA lebih dianjurkan untuk penapisan dan
diagnosis TB.

WHO masih menganjurkan uji tuberkulin untuk penapisan TB laten pada daerah endemik TB. karena
sama baik dan lebih murah dari pada tes IGRA. Namun perlu diperhatikan adanya studi yang
menunjukkan 4-29% pasien yang tidak kembali ke fasilitas kesehatan untuk pembacaan hasil, padahal
mayoritas pasien ini mempunyai hasil positif pada pemeriksaan IGRA.

2.5 Penatalaksanaan

Perawatan antenatal merupakan saat yang baik untuk penapisan dan deteksi kemungkinan adanya
TB, serta pemantauan pengobatan, terutama bagi banyak wanita dengan keterbatasan akses ke
pelayanan kesehatan, yang cenderung hanya memeriksakan dirinya disaat kehamilan." Pada wanita
hamil yang didiagnosis TB, WHO menganjurkan pengobatan dengan OAT segera, ibu tetap menyusui
anaknya seperti biasa, anak diberikan terapi profilaksis isoniazid selama 6 bulan, dan imunisasi BCG pada
bayi setelah selesai pengobatan. Selama pengobatan TB, kepatuhan pasien, efek samping obat, dan ada
tidaknya gejala gangguan fungsi hati. perlu dipantau ketat. Dengan kesembuhan TB. prognosis ibu dan
anak akan lebih baik.

♥ Terapi Pada Perempuan Hamil

Terapi OAT yang dianjurkan pada perempuan hamil tidak berbeda dengan terapi TB pada umumnya.
yaitu dengan regimen standar yang terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol yang
diminum selama 2 bulan (fase intensif), dilanjutkan dengan isoniazid dan rifampisin selama 4 bulan (fase
lanjutan). Regimen. standar ini aman diberikan selama kehamilan." Suplementasi piridoksin 10 mg hari
dianjurkan pada semua perempuan hamil dan menyusui dalam pengobatan isoniazid untuk mencegah
potensi neurotoksisitas pada janin. Vitamin K perlu diberikan pada bayi baru lahir yang ibunya
mengkonsumsi rifampisin, karena adanya risiko perdarahan. Selain itu, suplementasi besi juga dianjurkan
pada TB dengan anemia ringan hingga sedang Streptomisin tidak boleh diberikan. selama kehamilan,
akibat potensi efek samping ototoksisitas (tuli kongenital) pada janin.

Perempuan hamil dengan risiko infeksi (misalnya HIV positif) atau paparan kontak TB dapat memulai
profilaksis isoniazid sesegera mungkin pada trimester pertama, untuk mencegah penyebaran
M.tuberculosis secara. hematogen ke plasenta. Pada perempuan dengan risiko yang lebih rendah untuk
progresi kepada infeksi aktif, terapi profilaksis isoniazid dapat ditunda hingga setelah persalinan. Terapi
yang dianjurkan adalah isoniazid dengan dosis 300 mg per hari disertai piridoksin 10-25 mg per hari
selama 6 bulan. Perempun hamil dengan TB laten juga dianjurkan menerima terapi profilaksis dengan
isoniazid Kepatuhan pasien terhadap pengobatan dan pemantauan efek samping perlu diperhatikan.
Beberapa studi menunjukkan kepatuhan terapi profilaksis isoniazid pada perempuan hamil yang rendah
yaitu hanya 9,3% hingga 21,2% akibat kurangnya pemantauan, dan meningkatnya risiko efek samping
hepatitis. Pada perempuan hamil dengan TB laten dengan risiko yang rendah untuk menjadi TB aktif
maka terapi isoniazid profilaksis dapat ditunda hingga 2-3 bulan pasca-persalinan."

Ibu menyusui yang menderita TB aktif harus segera juga memulai pengobatan TB secara lengkap.
Inisiasi segera terapi OAT merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan TB pada bayi. Setelah
infeksi aktif pada bayi dapat disingkirkan, bayi dapat diberikan profilaksis isoniazid selama 6 bulan,
dilanjutkan dengan vaksinasi BCG. Isoniazid dapat diberikan pada tahap manapun selama kehamilan,
bahkan: dalam trimester pertama, karena tidak bersifat teratogenik. Namun, kemungkinan efek samping
isoniazid misalnya hepatitis hams tetap dideteksi selama pengobatan terutama selama masa peripartum,

♥ Terapi Pada Ibu Menyusui

Menyusui bukan merupakan kontraindikasi pada perempuan yang menderita TB. Perempuan yang
menderita TB dengan sputum BTA negatif dapat segera menyusui setelah mengkonsumsi OAT: Semua
OAT lini pertama dapat ditemukan pada ASI dengan kadar yang rendah, Semua OAT ditemukan pada ASI
dengan kadar yang kurang dari 1%, kecuali isoniazid yang: kadarnya berkisar 0,75% -2.3%. Streptomisin
dalam ASI tidak menyebabkan dampak yang bermakna terhadap bayi, selain itu penyerapan streptomisin
melalui saluran cerna juga sangat kecil. Secara keseluruhan risiko toksisitas OAT terhadap bayi yang
disusui sangat rendah sehingga aman dan dapat diminimalisasi lagi dengan cara ibu meminum obatnya
tepat setelah selesai menyusui. Untuk OAT lini kedua perlu lebih diwaspadai, karena sedikitnya data yang
dari penularan hematogen melalui plasenta yang kemudian dapat menyebabkan pembentukan tersedia
terkait kadar obat tersebut dalam ASI maupun dampaknya terhadap bayi. Oleh karena itu, ibu perlu
diberikan edukasi mengenai potensi risikonya, walaupun tidak ada kontraindikasi absolut."

♥ Terapi TB MDR

Pengobatan TB MDR dengan regimen lini kedua pada ibu hamil dan menyusui, dilaporkan
menunjukkan hasil yang baik bagi ibu dan anak, dengan dampak perinatal yang serupa dengan kehamilan
sehat tanpa didapatkan adanya defek kongenital Regimen yang dianjurkan yaitu meliputi 4 OAT lini
kedua (termasuk parenteral) serta pirazinamid, dengan pengobatan dapat berlangsung selama 18-24
bulan. Namun demikian, perlu diketahui bahwa OAT lini kedua memiliki potensi efek samping yang lebih
besar terhadap ibu dan anaknya. Aminoglikosida yang termasuk kelas D menurut Food and Drug
Administration (FDA), mempunyai efek samping ototoksik dan nefrotoksik bagi ibu dan janin. Kuinolon
juga berpotensi teratogenik (kelas C) dan dapat. menyebabkan deformitas muskuloskeletal. Kapreomisin
juga dapat menyebabkan risiko ototoksik Ftionamid dapat menyebabkan. mual dan muntah, serta efek
teratogenik dalam uji pada hewan Namun demikian, manfaat pengobatan yang dapat diperoleh
dibandingkan dengan risikonya perlu dipertimbangkan secara spesifik pada masing-masing kasus, dan
selama. pengobatan perlu diawasi secara ketat oleh dokter yang ahli dalam penatalaksanaan TB Bebagai
studi menunjukkan bahwa pengobatan TB MDR pada ibu hamil memberikan dampak maternal yang baik,
sedangkan penundaan atau putusnya pengobatan merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada ibu dan anaknya."

♥ Infeksi TB Pada Anak

Infeksi TB pada anak dapat bersifat kongenital (bawaan) atau neonatal (diperoleh setelah lahir).
Namun karena sulit dalam mendiagnosis dan dalam menentukan sumber penularan, maka lebih banyak
digunakan istilah TB perinatal, yaitu TB yang diperoleh anak selama kehamilan, persalinan, maupun saat
bayi baru lahir. Sumber infeksi pada janin dapat berasal dari penularan hematogen melalui plasenta yang
kemudian dapat menyebabkan pembentukan kompleks primer pada hepar (granuloma kaseosa hopar),
atau melalui aspirasi/ingesti cairan amnion yang terinfeksi sehingga dapat menimbulkan kompleks
primer pada paru-paru atau saluran pencernaan."

Gejala TB pada neonatus umumnya tidak spesifik dan dapat menyerupai infeksi bakterial atau
kongenital lainnya. Gejala dapat terlihat saat lahir, tetapi lebih sering timbul pada minggu kedua atau
ketiga. Gejala TB kongenital yang paling sering antara lain hepatomegali dan distres pernapasan.
Berbagai gejala lain juga dapat ditemukan seperti demam, distensi abdomen, limfadenopati, sekret
telinga atau hidung, letargi atau iritabilitas, kegagalan pertumbuhan, tidak nafsu makan, hingga kejang.
Tidak ada gejala patognomonik untuk TB kongenital.

Bila didapatkan dugaan adanya TB kongenital maka harus dicari kemungkinan adanya TB pada
maternal. Sebaliknya bayi yang dilahirkan dari ibu yang terdiagnosis TB memiliki risiko tinggi mengalami
TB perinatal. Untuk itu bayi tersebut perlu ditapis terhadap kemungkinan adanya TB kongenital atau
dipantau akan ada tidaknya manifestasi TB aktif selama perkembangannya. Plasenta juga harus
diperiksakan terhadap kemungkinan terinfeksi TB.

Uji tuberkulin pada TB perinatal biasanya tidak memberikan hasil positif hingga 1-3 bulan. atau
bahkan hingga 6 bulan. Demikian juga dengan uji IGRA yang belum terbukti validitasnya pada neonatus
Kebanyakan bayi dengan TB perinatal memperlihatkan gambaran radiografi dada yang tidak normal
seperti adenopati. konsolidasi dengan kavitasi, dan infiltrat parenkim paru yang difus. Hasil apusan atau
kultur yang positif terhadap bakteri tahan asam dapat diperoleh dari bilasan lambung, aspirat
endotrakeal, sekret telinga, cairan serebrospinal atau dari aspirat sumsum tulang. Jika diagnosis TB dapat
ditegakan, OAT hanis segera diberikan untuk mencegah kematian. Pemeriksaan darah, fungsi hati,
kreatinin serum serta pendengaran perlu dilakukan secara berkala."

Sebuah studi melaporkan adanya transmisi TB yang terjadi secara vertikal dari ibu ke anak sebesar
16%, yang didapat pada ibu yang tidak berobat atau putus berobat TB selama kehamilannya. Namun
jumlah ini diperkirakan lebih kecil dari kenyataan yang ada, karena bayi yang lahir mati dan tanpa
konfirmasi diagnosis mikrobiologis tidak diikutsertakan dalam studi tersebut." Faktorrisiko tinggi lain
untuk terjadinya transmisi TB secara vertikal serupa dengan TB. pada umumnya yang meliputi adanya
infeksi HIV dan status sosioekonomi yang rendah." Pengobatan dini TB maternal pada kehamilan
merupakan cara terbaik untuk mencegah TB perinatal Jika bayi lahir tanpa adanya tanda infeksi TB aktif,
dianjurkan diberikan pengobatan profilaksis isoniazid Vaksinasi BCG selanjutnya diberikan setelah terapi
profilaksis selesai, karena INH akan menghambat efikasi vaksinasi BCG tersebut. Vaksinasi BCG tidak
boleh diberikan pada anak yang terinfeksi HIV

♥ Koinfeksi TB dan HIV

Wanita hamil dengan HIV positif memiliki risiko 10 kali lebih tinggi menderita TB aktif dibandingkan
dengan wanita hamil tanpa HIV Data WHO tahun 2014 menunjukkan bahwa pada 12% penderita TB baru
didapatkan positif HIV. Pada wanita hamil dengan HIV postif, adanya infeksi TB akan meningkatkan risiko
transmisi vertikal HIV yaitu hingga 30% (tanpa koinfeksi TB risiko transmisi didapatkan sebesar 12%) serta
meningkatkan risiko kematian ibu dan anak. Infeksi TB dilaporkan sebagai penyebab 6%-10% kematian
maternal pada wilayah dengan prevalensi HIV rendah, dengan peningkatan hingga 15% kematian pada
wilayah dengan prevalensi HIV tinggi." Sesuai rekomendasi WHO, terapi profilaksis isoniazid selama 6
bulan dan inisiasi dini anti retrovirus merupakan pencegahan utama TB pada wanita hamil dengan HIV
positif. Wanita dengan TB dan HIV positif, harus mendapatkan obat antiretrovirus sesegera mungkin,
dengan berapapun jumlah CD4 pasien. Terapi profilaksis isoniazid selama 6-12 bulan aman. bagi ibu
hamil, dan tidak menyebabkan dampak yang buruk.

BACTERIAL. VAGINOSIS

A. Pengertian Bacterial Vaginosis


Bakterial Vaginosis (BV) merupakan salah satu infeksi vagina yang paling sering terjadi
pada wanita usia reproduksi. Bakterial vaginosis sering menunjukkan prevalensi yang tinggi,
kejadian yang berulang disertai dengan komplikasi, sehingga membuat BV menjadi
permasalahan global. Etiologinya yaitu adanya perubahan ekologi vagina yang ditandai
dengan pergeseran keseimbangan flora normal vagina dimana dominasi Lactobacillus
digantikan oleh bakteri anaerob. Pergantian Lactobacillus spp. ini menyebabkan penurunan
konsentrasi hidrogen peroksidase (H2O2) yang umumnya ditandai dengan produksi sekret
vagina yang banyak, berwarna abu-abu hingga kuning, tipis, homogen, berbau amis dan
terdapat peningkatan pH. Penegakan diagnosis bakterial vaginosis dilakukan berdasarkan
kriteria amsel. Kejadian BV cukup sering terjadi di negaranegara berkembang termasuk
Indonesia, dengan jumlah prevalensi bervariasi tergantung pada populasi pasien. Pada
penelitian terhadap pegawai kantor swasta, jumlahnya berkisar antara 4%-17%, pada
mahasiswi jumlahnya berkisar antara 4%-25%, pada wanita hamil rata-ratanya hampir sama
dengan wanita yang tidak hamil yaitu berkisar antara 6%-32%.

B. Penyebab Bacterial Vaginosis


penyebab terjadinya Bacterial vaginosis (BV) antara lain; Gardnella vaginalis,
Ureaplasma urealythicum, Mycoplasma hominis, Mobilunces spp, Prevotella bivia,
Peptostreptoccocus, Ureaplasma urealyticum. Bakteri tersebut akan senang tumbuh apabila
keadaan vulva mempunyai kelembaban yang tinggi yang bersifat menekan pertumbuhan
Lactobacillus yang berperan untuk keseimbangan flora normal vagina. Banyak faktor yang
dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan normal flora vagina diantaranya adalah:
1) Teknik cebok yang salah yaitu cebok dari arah belakang ke depan. ;
2) Kurang menjaga kebersihan vagina pada saat menstruasi
3) Penggunaan serta frekwensi ganti celana dalam sehari.
4) Kebersihan vulva setelah 10 melakukan hubungan sexual
5) Penggunaan deodoran yang dapat merusak kelembaban vagina
6) Penggunaan larutan kimia pembersih vagina yang terlalu sering untuk cebok
❖ Penyebab Vaginosis Bakterialis pada Ibu Hamil
Penyebab utama vaginosis bakterialis adalah gangguan keseimbangan jumlah bakteri
baik dan jahat pada vagina. Normalnya, bakteri baik (Lactobacilli) berjumlah lebih banyak
dan bisa mengendalikan jumlah bakteri jahat dalam vagina.
Namun, bila jumlah bakteri baik berkurang, pertumbuhan bakteri jahat jadi tidak
terkendali sehingga jumlahnya menjadi lebih banyak ketimbang bakteri baik. Pada keadaan
ini, terjadilah vaginosis bakterialis.
Penyebab pasti terganggunya keseimbangan jumlah bakteri pada vagina belum diketahui
secara pasti. Namun, sejumlah faktor diduga dapat meningkatkan risiko wanita mengalami
vaginosis bakterialis, yaitu:
1. Terbiasa membilas vagina dengan produk pembersih (douching)
2. Sering berganti pasangan seksual dan tidak menggunakan kondom
3. Konsumsi antibiotik
4. Penggunaan obat-obatan tertentu di vagina

C. Manifestasi Klinis Bacterial vaginosis (BV)


Bakterial Vaginosis (BV) adalah suatu kondisi abnormal perubahan ekologi vagina yang
ditandai dengan pergeseran keseimbangan flora vagina dimana dominasi Lactobacillus
digantikan oleh bakteri-bakteri anaerob, diantaranya Gardnerella vaginalis, Mobiluncus,
Prevotella, Bacteroides, dan Mycoplasma sp. ( Morris et al ,2001:197). Infeksi bakteri ini
disebabkan oleh ketidak seimbangan bakteri dalam vagina perempuan, yang mengarah ke
faktor mengacaukan keseimbangan pH (asambasa keseimbangan) di dalam vagina (Donders,
2010). Bacterial vaginosis (BV) terkadang tidak bergejala namun apabila terdapat gejala
biasanya ditandai dengan keputihan yang mengeluarkan bau tidak sedap, rasa terbakar pada
vulva, dan terasa gatal pada vagina ( Koumans, et al. 2007). Jumlah cairan keputihan yang
dikeluarkan pada Bacterial vaginosis (BV) dapat normal atau berlebihan sehingga keputihan
yang terjadi pada seorang wanita harus diperiksa lebih lanjut. Cairan vagina pada Bacterial
vaginosis (BV) biasanya encer berbau amis serta berwarna keabu-abuan dan umumnya
keluar pasca senggama. Bacterial vaginosis (BV) juga ditandai dengan peningkatan PH
(asam basa keseimbangan) yang lebih dari 4,5 yang dapat menyebabkan penurunan jumlah
Lactobacillus.

D. Diagnosa Bacterial vaginosis (BV)


Diagnosis dibuat atas dasar ditemukannya Clue Cell, pH vagina diatas 4,5, tes
aminpositif, dan adanya Gardnerella Vaginalis sebagai flora utama menggantikan
lactobacillus (Mansjoer, 2001). Diagnosa klinik dari Bacterial Vaginosis (BV) didasarkan
pada gejala yang ditemukan yaitu cairan vagina tipis berwarna putih keruh dengan 11 bau
amis saat dilakukan test amin, perdarahan abnormal dari uterus dan vagina terutama terjadi
saat melakukan hubungan sexual, PH vagina lebih dari 4.7, ditemukan clue sel pada
pemeriksaan mikroskopik menggunakan saline preparation (Lindau, et al.2009). Selain hal
tersebut, penentuan diagnosa Bacterial vaginosis (BV) juga didasarkan pada anamnessa
kepada penderita tentang kondisi keputihan, frekwensi, warna, bau, personal hygien terutama
vulva hygiene, dll.

E. Faktor Bacterial Vaginosis (BV)


Bacterial vaginosis (BV) disebabkan oleh faktor-faktor yang mengubah lingkungan asam
normal di vagina menjadi keadaan basa yang mendorong pertumbuhan berlebihan bakteri-
bakteri penghasil basa. Ketika konsentrasi Lactobacilli yang merupakan flora normal vagina
jumlahnya menurun, bakteri ini jumlahnya dapat meningkat berlebihan sehingga menjadi
spesies dominan di lingkungan vagina yang dapat bersifat patogenik(Ilse Truter dan Michael
Graz, 2013). Faktor-faktor yang dapat mengubah pH (asam basa keseimbangan) melalui efek
alkalinisasi antara lain adalah mucus serviks, semen, darah haid, mencuci vagina (douching),
pemakaian antibiotik, dan perubahan hormon saat hamil dan menopause. Faktor-faktor ini
memungkinkan terjadinya peningkatan pertumbuhan Gardnerella vaginalis, Mucoplasma
hominis, dan bakteri anaerob. faktor risiko lain yang telah dikaitkan dengan Bacterial
Vaginosis (BV) termasuk memiliki beberapa pasangan seks, pasangan seks pria baru, seks
dengan sesama jenis, hubungan seksual pertama pada usia dini , sering douching vagina,
Penggunaan benda asing vagina atau sabun wangi, merokok dan kurangnya vagina
lactobacilli (Cherpes, etal. 2008). Mencuci vagina (douching) sering dikaitkan dengan
keluhan disuria, keputihan, dan gatal pada vagina. Pada wanita yang beberapa kali
melakukan douching, dilaporkan terjadi perubahan pH (asam basa keseimbangan) vagina dan
berkurangnya 12 konsentrasi mikroflora normal sehingga memungkinkan terjadinya
pertumbuhan bakteri pathogen yang oportunistik (Vandepitte, et al.2011).
Flora vagina wanita tanpa Bacterial Vaginosis (BV) biasanya terdiri dari kuman gram-
batang positif, dengan dominasi oleh Lactobacillus crispalus, Lactobacillus jensenii dan
Lactobacillus iners ( Johnson dalam Truter dan Graz 2013). Menurut Sobel ( 2000, dalam
Hodiwala dan Koli, 2015 ) Pada Bacterial vaginosis (BV) dapat terjadi simbiosis antara
Gardnerella vaginalis sebagai pembentuk asam amino dan kuman anaerob beserta bakteri
fakultatif dalam vagina yang mengubah asam amino menjadi amin sehingga menaikkan pH
sekret vagina sampai suasana yang sesuai bagi pertumbuhan Gardnerella vaginalis. Beberapa
amin diketahui menyebabkan iritasi kulit dan menambah pelepasan sel epitel dan
menyebabkan cairan yang keluar dari vagina berbau tidak sedap, bakteri anaerob yang
menyertai Bacterial vaginosis (BV) diantaranya Bacteroides bivins, Bacteroides Capilosus
dan Bacteroides disiens yang dapat diisolasikan dari infeksi genitalia. Gardenella vaginalis
melekat pada sel-sel epitel vagina in vitro, kemudian menambahkan deskuamasi sel epitel
vagina sehingga terjadi perlekatan duh tubuh pada dinding vagina. Organisme ini tidak
invasif dan respon inflamasi lokal yang terbatas dapat dibuktikan dengan sedikitnya jumlah
leukosit dalam sekret vagina dan dengan pemeriksaan histopatologis. Timbulnya Bakterial
Vaginosis (BV) ada hubungannya dengan aktivitas seksual atau pernah menderita infeksi
Trichomonas.

F. Komplikasi Bacterial Vaginosis (BV)


Banyak komplikasi yang ditimbulkan oleh Bacterial Vaginosis (BV), Bacterial Vaginosis
(BV) diantaranya adalah peningkatan resiko terhadap infeksi saluran genitalia termasuk
infeksi yang disebabkan oleh Chlamydia trachomatis, Neisseria gonorrhoeae, HSV-1 and -2
dan peningkatan terhadap resiko penularan human immunodeficiency virus (HIV) dan
kelahiran premature (Geva et al., 2006).
Menurut Rungpao (2008), komplikasi yang dapat timbul pada Bakterial Vaginosis (BV)
antara lain menyebabkan infeksi dan ruptur membran amnion pada kehamilan, kelahiran
prematur, endometritis, komplikasi setelah melahirkan, Nongonococcal pelvic inflamantory
desease, kemandulan, dan dapat meningkatkan resiko penularan human immunodeficiency
virus (HIV)/ Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) .Alsworth dan Peiperth (2009)
menyatakan Bacterial Vaginosis (BV) dapat meningkatkan resiko terjadinya Sexual
Transmited Desease (STD), human immunodeficiency virus (HIV), dan penyakit kelamin
yang lain. Adanya penyakit menular seksual bisa meningkatkan resiko Bakterial Vaginosis
(BV).
Pemakaian douching vagina yang merupakan produk untuk menjaga higiene wanita
(vaginal spray atau vaginal wipes dan buble baths bisa menyebabkan terjadinya Bakterial
Vaginosis (BV). Hubungan seksual tanpa menggunakan kondom dapat juga menyebabkan
Bakterial Vaginosis (BV).

G. Pencegahan Bacterial Vaginosis (BV)


Menurut Bahram, et al. (2009) ada tiga kriteria dalam pencegahan terjadinya Bakterial
Vaginosis (BV) yaitu:
1. Menjaga kebersihan saat menstruasi seperti selalu menggunaan pembalut yang bersih,
selalu menganti pembalut setelah buang air kecil dan tidak melakukan hubungan seksual
selama menstruasi.
2. Menjaga kebersihan vagina dengan tindakan selalu menggunakan celana dalam yang
tidak ketat dan kering, selalu menggunakan teknik cebok dari depan ke belakang,
mengeringkan vagina setelah cebok, selalu menggunakan peralatan mandi (sabun dan
handuk) pribadi, selalu membersihkan kloset sebelum digunakan, selalu mengeringkan
peralatan mandi (handuk) dibawah terik matahari secara langsung.
3. Menjaga kebersihan pada saat melakukan hubungan sexual dengan cara membersihkan
alat genitalia sebelum dan sesudah melakukan hubungan suami istri, dan melakukan
hubungan sexual dengan frekwensi kurang dari tujuh kali dalam seminggu
IV

❖ Cara Mengatasi dan Mencegah Vaginosis Bakterialis Ibu Hamil


Untuk mengatasi infeksi bakteri vagina pada ibu hamil, dokter akan memberikan
antibiotik yang tergolong aman digunakan pada masa kehamilan. Antibiotik ada yang bisa
digunakan langsung di vagina dan ada juga yang diminum. Biasanya, dokter akan
membebaskan pilihan kepada pasien.
Karena komplikasinya yang bisa membahayakan janin, alangkah baiknya Bumil
melakukan langkah-langkah untuk mencegah vaginosis bakterial. Pencegahan tersebut di
antaranya adalah:
➢ Hindari berganti pasangan seksual
➢ Gunakan kondom bila aktif dalam berhubungan seksual
➢ Jaga kebersihan organ intim kewanitaan
➢ Dahulukan membersihkan area kemaluan terlebih dahulu sebelum anus saat cebok
➢ Hindari ratus atau vaginal douching
➢ Gunakan celana dalam berbahan katun agar sirkulasi udara baik
Vaginosis bakterial memang merupakan hal yang cukup umum dialami ibu hamil. Meski
begitu, kondisi ini bisa menimbulkan komplikasi yang dampaknya cukup besar, baik untuk
ibu maupun bayi.
Oleh sebab itu, Bumil perlu rajin menjaga kesehatan organ intim selama hamil. Jika
Bumil merasakan adanya keputihan yang berbau amis, segera periksakan diri ke dokter agar
mendapat penanganan yang aman dan tepat.

H.Gejala dan Dampak Vaginosis Bakterialis pada Ibu Hamil


Vaginosis bakterialis seringkali tidak menimbulkan gejala. Namun, sebagian ibu hamil
bisa mengalami gejala keputihan. Keputihan biasanya berwarna putih keabu-abuan dan
berbau amis. Selain keputihan, gejala lain yang bisa dirasakan adalah vagina terasa gatal, rasa
nyeri atau sensasi terbakar ketika kencing.
Infeksi bakteri pada vagina saat hamil dapat meningkatkan risiko terjadinya ketuban
pecah dini, persalinan prematur, berat bayi lahir rendah, serta infeksi rahim setelah
melahirkan. Selain itu, wanita dengan vaginosis bakterialis lebih rentan terkena infeksi
menular seksual, seperti gonore, klamidia, dan HIV.

MALARIA PADA IBU HAMIL

2.1. Pengertian Malaria Ibu Hamil

Malaria merupakan penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit Plasmodium dan
disebarkan melalui gigitan nyamuk. Penyakit ini dapat menyerang semua individu tanpa
membedakan umur dan jenis kelamin dan tidak terkecuali wanita hamil. Wanita hamil
termasuk golongan yang rentan untuk terkena malaria sehubungan dengan penurunan
imunitas di masa kehamilan. Malaria pada kehamilan dapat menimbulkan berbagai keadaan
patologi pada ibu hamil dan janin yang dikandungnya. Pada ibu hamil, malaria dapat
mengakibatkan timbulnya demam, anemia, hipoglikemia, udema paru akut, gagal ginjal
bahkan dapat menyebabkan kematian. Pada janin yang dikandung oleh ibu penderita malaria
dapat terjadi abortus, lahir mati, persalinan prematur, berat badan lahir rendah, dan kematian
janin. Keadaan patologi yang ditimbulkan ini sangat tergantung pada status imunitas, jumlah
paritas dan umur ibu hamil.

2.2. Gejala Malaria Ibu Hamil

Gejala Klinis Malaria

Orang yang terinfeksi malaria akan menunjukan gejala awal menyerupai penyakit
influenza, bila tidak diobati maka dapat terjadi komplikasi yang berujung pada kematian.

1. Demam
Biasanya sebelum timbul demam, penderita malaria akan mengeluh lesu, sakit kepala,
nyeri pada tulang dan otot, kurang nafsu makan, rasa tidak enak pada perut, diare ringan dan
kadang-kadang merasa dingin dipunggung. Umumnya keluhan seperti ini timbul pada
malaria yang disebabkan oleh P. Vivax dan P. ovale, sedangkan pada malaria yang
disebabkan oleh P.Falciparum dan P.malriae, keluhan-keluhan tersebut tidak jelas.

Serangan demam yang khas pada malaria terdiri dari tiga stadium. Berikut dipaparkan
stadium demam yang khas pada malaria :

• Stadium Menggigil
Dimulai dengan perasaan kedinginan hingga menggigil. Penderita sering membungkus
badannya dengan selimut atau sarung. Pada saat menggigil, seluruh tubuhnya bergetar,

denyut nadinya cepat tetapi lemah, bibir dan jari-jari tangannya biru serta kulitnya pucat.
Pada anak-anak sering disertai dengan kejang - kejang. Stadium ini berlangsung 15 menit
sampai satu jam yang diikuti dengan meningkatnya suhu badan.

• Stadium Puncak Demam


Penderita yang sebelumnya merasa kedinginan berubah menjadi panas sekali. Wajah
penderita merah, kulit kering dan terasa panas seperti terbakar, frekuensi pernapasan
meningkat, nasdi penuh dan berdenyut keras, sakit kepala semakin hebat, muntah- muntah,
kesadaran menurun sampai timbul kejang ( pada anak-anak ). Suhu badan bisa mencapai
410C. Stadium ini berlangsung selama 2 jam atau lebih yang diikuti dengan keadaan
berkeringat.

• Stadium Berkeringat
Penderita berkeringat banyak diseluruh tubuhnya hingga tempat tidurnya basah. Suhu
badan turun dengan cepat, penderita merasa sangat lelah dan sering tertidur. Setelah bangun
dari tidurnya, penderita akan merasa sehat dan dapat melakukan pekerjaan seperti biasa
padahal sebenarnya penyakit ini masih bersarang dalam tubuh penderita. Stadium ini
berlangsung 2 sampai 4 jam
2. Anemia

Pada penyakit malaria, anemia atau penurunan kadar hemoglobin darah terkadang sampai
dibawah nilai normal. Hal ini karena disebabkan penghancuran sel darah merah yang
berlebihan oleh parasit malaria. Selain itu, anemia timbul akibat gangguan pembentukan sel
darah merah disum - sum tulang.

3. Pembesaran Limpa

Pembesaran organ limpa merupakan gejala yang khas pada penyakit malaria kronis atau
menahun. Organ Limpa mengalami pembengkakan dan terasa nyeri. Pembengkakan pada
organ Limpa diakibatkan karena adanya penyumbatan oleh sel-sel darah merah yang
mengandung parasit malaria.

2.3. Penyebab Malaria Ibu Hamil

Penyebab terjadinya malaria pada masa kehamilan parasitaemia, spleen rates, anemia,
demam, malaria serebral, perdarahan yang berujung pada kematian. Dampak pada janin yaitu
abortus (janin gugur), lahir mati, infeksi kongenital dan dampak pada bayi baru lahir adalah
berat badan bayi lahir rendah, lahir prematur, kelainan kongenital/ bawaan, malaria pada bayi
dan kematian.

2.4. Penularan Malaria Ibu Hamil

penularan malaria bisa tertular dari daerah manapun. Berikut ini penyebab malaria,
sekaligus cara penularannya Gigitan nyamuk Seperti yang sudah disebutkan penyakit malaria
ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk, terutama Anopheles betina yang terdapat
parasit.
2.5. Pencegah Malaria Ibu Hamil

Pencegahan Malaria pada Kehamilan Ibu hamil dan bayi lebih rentan terhadap penyakit-
penyakit menular termasuk malaria, tetapi seringkali diabaikan tanpa upaya deteksi dini serta
pencegahan. Berdasarkan estimasi sekitar 125 juta ibu hamil di seluruh dunia berisiko
menderita malaria setiap tahunnya. Malaria dalam masa kehamilan tidak saja berdampak
negatif pada kesehatan ibu, tetapi juga berdampak pada sekitar 200 ribu kematian
bayi.Meskipun dampak serius malaria pada kehamilan telah dideteksi sejak lama. WHO
menyatakan cakupan pencegahan malaria pada ibu hamil masih rendah terutama di sebagian
besar negara-negara endemis malaria.

2.6. Pengobatan Malaria Pada Ibu Hamil

Cara Pengobatan malaria, maka segera periksakan diri ke dokter. Diagnosis dini dan
pengobatan malaria mengurangi penyakit, mencegah kematian dan berkontribusi untuk
mengurangi penularan.

Diagnosis malaria dapat dilakukan melalui

• Tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test / RDT) dengan antigen malaria
menggunakan sampel darah penderita.
• Tes diagnostik berbasis parasit melalui mikroskop.
Tes diagnostik memungkinkan tenaga medis dapat dengan cepat membedakan antara
demam malaria dan non-malaria sehingga dapat memfasilitasi pengobatan yang tepat,
termasuk terapi kombinasi berbasis artemisinin (ACT).

2.7. Penatalaksanaan Ibu Hamil


PenatalaksanaanIbu hamil sebaiknya dicegah untuk bepergian ke daerah endemis
malaria. Apabila tidak mungkin menghindarinya, ibu harus diberi pengobatan pencegahan,
yakni klorokuin bila bepergian ke daerah malaria yang sensitif terhadap klorokuin,
atau meflokuin untuk daerah malaria yang resisten terhadap klorokuin. Pada wanita hamil
yang tinggal di daerah endemik dan telah mempunyai kekebalan alami (karena kontak
yang lama dengan malaria), pemberian kemoprofilaksis terhadap malaria menyebabkan
kejadian bayi berat badan lahir rendah dan anemia ibu menurun. Pengobatan
Pencegahan Intermiten selama kehamilan ( IPTp -Intermittent Preventive Treatment
during pregnancy) lebih disukai karena efektif dan lebih praktis. Untuk IPTpSemua ibu hamil
diberikan IPTp dengan sulfadoksin-pirimetamin (SP) pada kunjungan pemeriksaan
antenatal ke-2 dan ke-3 (WHO merekomendasikan empat kunjungan pemeriksaan
antenatal standar, yakni kunjungan pertama pada trimester pertama, kunjungan kedua
pada 24 hingga 26 minggu kehamilan, kunjungan ketiga pada 32 minggu, dan
kunjungan keempat pada 36 sampai 38 minggu). Setiap dosis dapat menekan atau
menghilangkan infeksi asimtomatik pada plasenta dan memberikan profilaksis pasca-
pengobatan untuk 6 minggu.

STREPTOKOKUS GRUP B PADA IBU HAMIL

A. Pengertian Streptokokus

Streptokokus grup B (SGB) yang juga dikenal dengan Streptococcus agalactiae


merupakan salah satu bakteri yang mempunyai peranan penting di bidang kedokteran
manusia maupun veteriner. Pada sapi perah, SGB merupakan penyebab utama mastitis
subklinis. Pada manusia, SGB merupakan bakteri penyebab utama terjadinya infeksi neonatal
dengan menisfestasi klinik berupa septikemia, meningitis, atau pneumonia, sedangkan pad a
orang dewasa SGB terkait dengan kolonisasi asimtomatik.

Streptokokus grup B adalah bakteri yang normal ditemukan pada vagina dan rektum.
Normalnya kehadiran SGB tidak menimbulkan penyakit, namun dalam kondisi tertentu SGB
dapat menginvasi tubuh dan dapat menyebabkan terjadinya infeksi serius, terutama pada
neonatal. Persentase insidensi ibu hamil sebagai reservoar SGB adalah 31.58%. Pada ibu
hamil sehat terdeteksi sekitar 22.22% positif SGB, sedangkan pada ibu hamil yang
mengalami komplikasi ditemukan sekitar 54.54% positif SGB. Wanita hamil yang berumur
di atas 30-an sangat rentan terhadap infeksi SGB, hal ini dikarenakan semakin bertambah
umur seorang wanita, maka mekanisme tubuh-pun semakin menurun, sehingga
mengakibatkan tubuh mudah terserang infeksi SGB. Penelitian tentang angka kejadian,
serotipe, hingga metode preventif terhadap infeksi SGB di negara lain sudah sangat maju dan
berkembang. Sementara di Indonesia sendiri, informasi mengenai peran SGB sebagai salah
satu penyebab gangguan bahkan kematian pada neonatal masih sangat terbatas. Informasi
tentang insidensi kasus SGB, baik pad a ibu hamil dengan atau tanpa komplikasi, juga belum
pernah dilaporkan.

Streptokokus Grup B (SGB) merupakan penyebab penting infeksi yang serius pada
neonatus antara lain menyebabkan pneumonia, septikemia dan meningitis neonatal. Infeksi
neonatal SGB menjadi penyebab utama kematian pada bayi baru lahir dan lebih dari 6000
kasus infeksi ini terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. Bakteri ini umumnya diperoleh
bayi melalui transmisi vertikal dari ibunya baik in utero maupun ketika ia melewati jalan
lahir.

Infeksi neonatal SGB dapat terjadi dalam dua bentuk sindroma yaitu infeksi neonatal
dengan onset-dini (early-onset) dan infeksi neonatal dengan onset-lambat (late- onset). Kira-
kira 75% dari kasus infeksi neonatal SGB adalah bentuk early-onset. Hayati dan Karmil
(2009) melaporkan hasil uji patogenisitas SGB pada mencit neonatal bahwa 7 dari 10 isolat
menimbulkan infeksi early-onset rata-rata di atas 60%. Infeksi early- onset biasanya terjadi
pada usia 1 hingga 6 hari, umumnya bayi sudah menderita sakit dalam 24 jam setelah lahir.
Spektrum klinik yang paling sering terjadi adalah pneumonia (35-55% kasus). Pada keadaan
yang lebih berat dapat terjadi sepsis yang disertai dengan kegagalan pernafasan (respiratory
distress), apnea, perfusi yang jelek dan shok. SepSGB dikenal sebagai Streptococcus
agalactiae adalah bakteri penyebab utama terjadinya kelahiran prematur, ketuban pecah dini,
infeksi post partum, pnemonia, maningitis dan sepsis pada neonatus.

B. Gejala Infeksi Streptococcus


GEJALA PADA IBU HAMIL
Setiap pasien dapat mengalami gejala yang berbeda, tergantung organ yang terkena
dampak. Namun, infeksi streptococcus umumnya menimbulkan gejala berikut:
-Kelelahan.
-Kelemahan.
-Masalah pernapasan jika menyerang saluran napas.
-Demam.
-Penurunan berat badan.
-Masalah dengan fungsi jantung jika menyerang organ jantung.
-Masalah sendi
-Ruam kulit
-Kulit dengan keropeng, bernanah, kemerahan.
-Tekanan darah tinggi
-Pembengkakan di wajah, kaki dan urin merah serta berbusan

GEJALA PADA BAYI


Sedangkan gejala yang muncul pada bayi dibagi berdasarkan waktu kemunculannya.
Gejala dini atau yang muncul dalam waktu 24 jam setelah bayi dilahirkan, berupa:
-Sulit menyusu
-Bayi cenderung tidur terus dan sulit dibangunkan
-Napas mendengkur
-Napas sangat lambat atau sangat cepat
-Detak jantung sangat lambat atau sangat cepat
Sementara, gejala lambat atau yang muncul 1 minggu atau 3 bulan setelah dilahirkan,
antara lain:
-Demam
-Sulit menyusu
Sesak napas atau mendengkur
Sering mengantuk
Tubuh terasa lemas atau kaku
Rewel
Muntah
Diare
Kulit berwarna kebiruan (sianosis)
Kejang
C. Penyebab Infeksi Streptococcus
Streptokokus grup B (group B streptococcus/GBS) adalah sejenis bakteri yang banyak
dimiliki manusia di bagian usus. Bakteri ini juga bisa berkoloni pada vagina dan ditularkan
ke janin saat persalinan. Bakteri ini dapat hidup di usus, vagina, dan bagian akhir dari usus
besar (rektum), serta tidak menimbulkan masalah. Terdapat faktor pemicu yang
memengaruhi, seperti umur dan kondisi kesehatan, sehingga bakteri ini dapat menimbulkan
masalah. Ada dua kelompok bakteri Streptococci, yaitu alfa dan beta. Alpha (α) haemolytic
streptococci adalah kelompok yang paling banyak menyebabkan penyakit. Misalnya,
streptococcus pneumoniae dan streptococcus viridans.
Jenis bakteri ini dapat menyebabkan penyakit infeksi saluran napas atas, pneumonia,
infeksi telinga tengah, sinusitis, meningitis, endocarditis. Sedangkan beta (β) haemolytic
streptococci, terbagi lagi menjadi dua yakni grup A Streptococci (GAS) dan Grup B
Streptococci (GBS). GAS dapat mengakibatkan infeksi di tenggorokan, pneumonia,
impetigo, demam scarlet, serta demam rematik.
GBS umumnya banyak terdapat di dalam sistem pencernaan dan organ intim wanita.
Bakteri ini dapat ditularkan secara seksual atau dari … (HCG) dalam darah. Hormon ini
dihasilkan oleh ari-ari (plasenta) sejak trimester pertama kehamilan dan kadarnya terus
meningkat sepanjang masa kehamilan.

D. FAKTOR RISIKO

Faktor Risiko Infeksi Streptococcus

Setiap individu berisiko mengalami kondisi ini. Kendati demikian, faktor di bawah ini
mampu meningkatkan risikonya:

• Bayi di bawah 6 bulan.


• Lanjut usia di atas 75 tahun.
• Orang dengan daya tahan tubuh yang lemah.
• Bayi prematur atau bayi kembar yang lahir dari ibu dengan riwayat infeksi GBS.

E. PENCEGAHAN INFEKSI STREPTOKOKUS PADA IBU HAMIL


Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah ini antara lain:
Jalankan pola hidup sehat dengan makan bergizi seimbang, cukup istirahat dan olahraga
teratur untuk menjaga daya tahan tubuh.
Mencuci tangan teratur terutama sebelum makan.
Pakai masker ketika mengalami gejala batuk, bersin dan gejala penyakit saluran napas
lainnya.
Tutup mulut ketika bersin atau batuk.
Jika mengalami luka di kulit lakukan perawatan luka dengan benar.
Ibu hamil memeriksakan diri secara rutin untuk mendeteksi secara awal infeksi GBS.

F. Bagaimanakah Infeksi SGB mempengaruhi kesehatan bayi?


Pengaruh kesehatan yang paling serius dari SGB adalah bahwa wanita yang terinfeksi
SGB di masa akhir kehamilannya dapat menularkannya kepada bayinya. Ini adalah penyebab
infeksi berat dini yang paling banyak ditemukan menyerang bayi yang baru lahir dengan
tingginya tingkat penyakit dan kematian (5-10%). Di Hong Kong, kasus infeksi SGB dini
pada bayi yang baru lahir adalah sekitar 1,0 per 1000 kelahiran. Bayi dapat terinfeksi SGB di
masa-masa awal atau beberapa waktu setelah kelahirannya.
Pada infeksi SGB dini, tanda-tanda dan gejala-gejala biasanya terjadi dalam beberapa
jam setelah kelahiran. Antara lain:
• Gangguan pernafasan, jantung dan tekanan darah yang tidak stabil
• Gangguan pencernaan dan ginjal
Infeksi paru-paru, infeksi darah dan yang paling banyak ditemukan adalah meningitis.
Pada infeksi GBS berjangka, tanda- tanda dan gejala-gejala muncul dalam satu minggu
atau beberapa bulan setelah kelahiran. Meningitis merupakan gejala yang paling banyak
ditemukan. Namun, ditemukannya SGB berjangka tidaklah sebanyak infeksi sejak dini.

G. PENATALAKSANAAN

Infeksi Streptococcus tipe B


Untuk menangani infeksi Streptococcus tipe B, antibiotik yang dapat diberikan dokter
adalah penisilin dan ampicillin. Namun, pada pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap
penisilin, dokter dapat memberikan antibiotik cefazolin, clindamycin, atau vancomycin.
Ibu hamil yang diduga terinfeksi Streptococcus tipe B akan diberikan antibiotik selama
persalinan, terutama jika:
Terlihat tanda-tanda persalinan prematur
Air ketuban telah pecah selama 18 jam atau lebih
Ibu mengalami demam selama proses melahirkan.
Pemberian antibiotik untuk ibu selama masa persalinan dapat mengurangi potensi
munculnya gejala dini infeksi Streptococcus tipe B pada bayi, tetapi tidak dapat mencegah
timbulnya gejala yang munculnya lambat.
Sama seperti penanganan infeksi Streptococcus tipe A, beberapa kondisi akibat infeksi
Streptococcus tipe B juga mungkin perlu ditangani dengan prosedur operasi. Tindakan
operasi bertujuan untuk mengangkat jaringan lunak, kulit, atau tulang yang terinfeksi.
[13.00, 14/12/2022] Best: Untuk mencegah infeksi Streptococcus tipe B pada bayi baru
lahir, ibu hamil dianjurkan melakukan pemeriksaan rutin, terutama di trimester ketiga
kehamilan, agar penanganan dapat segera dilakukan apabila terdeteksi tanda-tanda infeksi.

HEPATITIS B DAN C Pada Ibu Hamil

1.1 Pengertian Hepatitis B


Hepatitis adalah suatu proses peradangan dipus pada jaringan hati yang memberikan
gejala klinis yang khas yaitu badan lemas,lekas capai nafsu makan menurun,urin seperti
pekat ,serta mata dan seluruh badan menjadi kuning.Penyakit Hepatitis B ini tergolong salah
satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan serius di indonesia maupun di banyak negara
lainnya.Badan kesehatan dunia WHO , Menepatkan Indonesia sebagai Negara dengan
endemisitas menengah sampai tinggi untuk Hepatitis B dengan prefalansi HBsAg 3-17%.
Infeksi virus hepatitis B (VHB) dapat memberikan gambaran klinis yang bervariasi.
Infeksi akut dapat terjadi tanpa disertai gejala sampai menimbulkan gejala yang fatal yang
disebut hepatitis fulminan."
Virus hepatitis B (VHB) merupakan virus DNA yang termasuk dalam famili virus
Hepadnaviridae. Virus ini secara spesifik menyerang sel hati, namun sebagian kecil DNA
hepatitis juga dapat ditemukan di ginjal, pankreas, dan sel mononuklear. Melalui pengamatan
dengan mikroskop elektron dalam serum penderita yang terinfeksi VHB, dapat ditemukan
beberapa macam partikel VHB. Virion VHB yang utuh disebut partikel Dane, merupakan
partikel berukuran 40-42 nm dengan selubung rangkap (double shelled) yang mengandung
antigen permukaan. Di bagian tengahnya terdapat nukleokapsid yang dikelilingi oleh suatu
selubung protein dan terdiri atas: hepatitis B core antigen (HBCAG), hepatitis Be antigen
(HBeAg), genom VHB, dan DNA polymerase.
HBsAg merupakan protein selubung terluar VHB, dan merupakan petanda bahwa
individu tersebut pernah terinfeksi VHB. HBsAg positif dapat ditemukan pada pengidap
sehat (healthy carrier), hepatitis B akut (simtomatik atau asimtomatik), hepatitis B kronik,
sirosis hati, maupun kanker hati primer. Pemeriksaan HBsAg biasanya dilakukan untuk
monitoring perjalanan penyakit hepatitis B akut, skrining sebelum dilakukan vaksinasi, serta
untuk
skrining ibu hamil pada program pencegahan infeksi VHB perinatal. Anti- HBs
merupakan antibodi yang muncul setelah vaksinasi atau setelah sembuh dari infeksi VHB.
Pada wanita hamil kemungkinan untuk terjangkit hepatitis virus adalah sama dengan
wanita tidak hamil pada usia yang sama. Di negara sedang berkembang, wanita hamil lebih
mudah terkena hepatitis virus. Hal ini erat hubungannya dengan keadaan nutrisi dan higiene
sanitasi yang kurang baik. Hepatitis virus dapat timbul pada ketiga trimester kehamilan
dengan angka kejadian yang sama. Menurut sebuah penelitian, 9.5 persen hepatitis virus
terjadi pada trimester 1, 32 persen terjadi pada trimester II, dan 58.5 persen terjadi pada
trimester III.
Mother-to-child-transmission (MTCT) terjadi dari seorang ibu hamil yang menderita
hepatitis B akut atau pengidap persisten HBV kepada bayi yang dikandungnya atau
dilahirkannya. Penularan HBV vertikal dapat dibagi menjadi penularan HBV in-utero,
penularan perinatal dan penularan post natal. Penularan HBV in-utero ini sampai sekarang
belum diketahui dengan pasti, karena salah satu fungsi dari plasenta adalah proteksi terhadap
bakteri atau virus.
cenderung meningkatkan penularan vertikal (lebih dari 9 jam). Hepatitis merupakan salah
satu penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, yang berpengaruh
terhadap angka kesakitan, angka kematian, status kesehatan masyarakat, angka harapan
hidup, dan dampak sosial ekonomi lainnya. Besaran masalah Hepatitis di Indonesia dapat
diketahui dari berbagai studi, kajian, maupun kegiatan.
didiagnosis dengan kehamilan dengan hepatitis B. Diagnosis kehamilan dengan hepatitis
tidak berbeda dengan diagnosis hepatitis akut pada populasi umum. Diagnosis penyakit
hepatitis ditegakkan berdasarkan gejala (keluhan), tanda (temuan klinis), kelainan fungsi hati
yang mendukung (peningkatan kadar seromarker spesifik untuk setiap jenis virus penyebab
Pasien ini ditemukan gejala sklera ikterik dan ikterik generalisata dimana menunjang temuan
klinis kehamilan dengan hepatitis. Pada ibu hamil dengan ikterus, waspadai kemungkinan
infeksi akut HBV dan adanya hepatitis fulminan (sangat ikterik, nyeri perut kanan atas,
kesadaran menurun dan hasil periksaan urine (warna seperti teh pekat, urobilin dan bilirubin
positif, sedangkan pemeriksaan darah selain urobilin dan bilirubin positip SGOT dan SGPT
sangat tinggi (biasanya diatas 1000).
Pada tatalaksana tidak ada yang membedakan prinsip terhadap hepatitis akut pada
kehamilan dengan tanpa kehamilan. Istirahat yang cukup dan terapi

simtomatik tetap menjadi dasarnya. Terminasi kehamilan hanya dilakukan atas indikasi
obstetrik. Aspek yang perlu ditimbangkan ialah tatalaksana terkait dengan kemungkinan
terjadinya transmisi vertikal virus penyebabnya, karena hal ini dapat berpengaruh pada
morbiditas dan mortalitas anak di hari kehamilan. Menurut American College of
Gastroenterology (ACG) dan American Association for the Study of Liver Disease (AASLD)
sangat merekomendasikan inisiasiantivirus pada pasien dengan viremia yang tinggi pada 28-
32 minggu kehamilan untuk mengurangi MTCT.
1.2 Penyebab Hepatitis B
Adapun Penyebab dari penyakit ini yang sering terjadi adalah sebagai berikut :
berganti-ganti pasangan seksual, tindik telinga/lidah/hidung, transfusi, jarum suntik
bekas/tidak steril, cabut gigi, pecandu narkotika, tattoo, hemodialisis, tukar sikat gigi/alat
cukur, dan akupuntur,serta skrinning yang kurang efektif.
1.3 Cara Mendeteksi
prosedur pertama dari tes HbsAg adalah dengan pengambilan sempel darah.dokter
mengunakan jarum kepada orang yang diperiksa untuk mengambil darah dari vena dilengan
atau tangan.darah tersebut akan periksa dilaboratorium untuk melihat apakah ada virus
hepatitis B.
1.4 Cara Menatalaksana
Bagi penderita hepatitis B yang sudah kronis, pilihan pengobatan yang biasa dilakukan
adalah mengonsumsi obat antivirus seperti lamivudin, telbivudin, tenofovir, dan entecavir,
serta suntikan interferon.
Pengobatan hepatitis B tersebut juga membutuhkan kepatuhan dan disiplin dari pasien
untuk kontrol secara rutin ke dokter untuk memantau perkembangan penyakit dan
mengevaluasi pengobatan yang diberikan.
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan kerusakan hati cukup parah, dokter mungkin akan
menganjurkan transplantasi hati.
1.5 Cara penanganan hepatitis B pada ibu hamil
Penanganan untuk hepatitis B akut pada kehamilan adalah sama dengan pada wanita
tidak hamil yaitu cukup istirahat, diet tinggi protein dan karbohidrat. Tetapi bila gejalanya
berat maka jumlah protein harus dibatasi. Sebagian

besar dari mereka tidak memerlukan perawatan di rumah sakit kecuali terjadi muntah
yang hebat, tidak dapat makan atau menunjukkan tanda- tanda kearah hepatitis yang berat
( Soemohardjo.1999, Cohen M.1994)
pengetahuan ibu yang masuk dalam kategori kurang baik belum melakukan pencegahan
dengan baik dan pengetahuan tentang penyakit hepatitis B masih minim. Selain itu faktor
pendorong seperti peran petugas kesehatan setempat belum optimal dalam memberikan
penyuluhan tentang kesehatan kepada warga atau masyarakat sekitar. Sehingga perilaku
masyarakat masih kurang baik.
Jika saat melakukan pemeriksaan dinyatakan positif virus hepatitis B, biasanya ibu akan
diberikan vaksin yang memperkuat sistem imunitas tubuh guna mencegah perkembangan
virus dalam tubuh. Vaksin ini aman diberikan pada ibu hamil dengan janin yang tengah
berkembang. Dalam kasus yang lebih parah, biasanya dokter/tenaga kesehatan akan
memberikan obat antivirus guna mencegah perkembangan virus hepatitis B pada janin.
Hepatitis B yang dialami ibu hamil akan memicu timbulnya komplikasi kesehatan
lainnya, seperti mengidap diabetes gestasional, ketuban pecah sebelum waktunya, memiliki
faktor risiko lebih tinggi mengalami perdarahan saat kehamilan, serta mengidap batu
empedu.
Hepatitis B secara umum dapat disebuhkan dengan cara yang tak rumit. Namun hal ini
akan sangat berbeda bila yang terserang virus Hepatitis B adalah wanita yang sedang hamil.
Segala keputusan tentang memulai, melanjutkan atau menghentikan terapi penyembuhan
Hepatitis B selama kehamilan harus melalui pertimbangan dan analisis resiko dan manfaat
bagi ibu dan janin.
Penanganan pada Ibu hamil :
1) bila hasil pemeriksaan laboratorium untuk konfirmasi reaktif, maka pasien dirujuk ke
rumah sakit yang telah mampu melakukan tatalaksana Hepatitis B dan C
terdekat.
2) penanganan selanjutnya sesuai SOP rumah sakit rujukan 3) pembiayaan secara
mandiri, atau menggunakan BPJS atau asuransi lainnya.
4) hasil pemeriksaan, penanganan dan rekomendasi tim ahli di rumah sakit rujukan
dikirim ke puskesmas yang
merujuk untuk umpan balik (feedback).
5) bila hasil deteksi dini hepatitis B di puskesmas non- reaktif, maka ibu hamil tersebut
dianjurkan pemeriksaan

anti-HBs untuk mengetahui ada tidaknya antibodi.


6) bila hasil pemeriksaan HBsAg dan anti-HBs non-reakif, maka dianjurkan vaksinasi
hepatitis B sebanyak 3 kali secara mandiri.
2.1 Pengertian Hepatitis C
Hepatitis merupakan penyakit peradangan pada hati yang dapat disebabkan oleh berbagai
kausa, termasuk infeksi virus. Infeksi virus tersebut dapat menyebabkan timbulnya cedera,
peradangan, bahkan kematian sel-sel yang terinfeksi pada organ hati [1] Virus Hepatitis C
(VHC) merupakan salah satu virus penyebab hepatitis dan dianggap menimbulkan dampak
yang paling besar di antara virus-virus lain penyebab hepatitis.
Kebanyakan orang yang terinfeksi virus hepatitis C tidak menunjukkan adanya gejala.
Kenyataannya, banyak orang yang tidak tahu bahwa mereka telah terinfeksi virus hepatitis C
hingga muncul kerusakan yang fatal pada organ hati mereka (silent epidemic). Kerasakan
tersebut dapat berupa kegagalan fungsi hati, sirosis, atau kanker hati yang dapat muncul
beberapa tahun setelah infeksi (hepatitis C kronis) [2]. Sejumlah penelitian juga
membuktikan bahwa kejadian karsinoma hepatoselular (HCC-Hepatocellular Carcinoma)
berkaitan erat dengan infeksi virus hepatitis C [3].
Virus hepatitis C (VHC) pertama kali dikenal pada tahun 1989, namun misteri mengenai
virus tersebut masih belum terpecahkan dengan jelas pada saat itu. Sekitar sepuluh tahun
sebelumnya, sejumlah korban bermunculan yang diduga disebabkan oleh infeksi virus
hepatitis. Namun ketika diperiksa, tes untuk hepatitis A dan B menunjukkan hasil yang
negatif sehingga penyakit ini dikenal sebagai hepatitis non-A, non-B (NANB). Pada tahun
1990 dikembangkan sebuah tes untuk mengidentifikasi virus hepatitis C. Hasilnya
membuktikan bahwa sejumlah besar kasus hepatitis yang terjadi saat itu disebabkan oleh
virus hepatitis C.
Dalam beberapa penelitian, salah satunya riset yang dijabarkan pada jurnal Liver
International, menyatakan bahwa hepatitis C pada ibu hamil dapat menyebabkan ibu
mengalami berbagai kondisi tertentu.

Kondisi tersebut seperti preeklampsia dan perdarahan saat persalinan. Namun, risiko
tersebut umumnya terjadi pada kasus hepatitis C yang sudh sangat parah hingga
menyebabkan sirosis (gagal hati).
Jadi, tidak semua Moms mengalami hal ini meski terkena hepatitis saat hamil.
2.2 Penyebab Hepatitis C
• Menggunakan jarum suntik bekas pakai penderita
• Mendapatkan transfusi darah atau transplantasi organ dari penderita • Menjalani
prosedur medis dengan peralatan yang tidak steril
• Berbagi peralatan dengan penderita, seperti alat cukur atau sikat gigi • Berhubungan
seks tanpa kondom dengan penderita
Selain faktor penyebab tersebut, penularan hepatitis C lebih mudah terjadi jika memiliki
faktor risiko berikut ini:
• Terlahir dari ibu penderita hepatitis C
• Memiliki infeksi HIV
• Memiliki pasangan seksual yang menderita hepatitis C
• Melakukan cuci darah atau hemodialisis bagi penderita gagal ginjal • Menyalahgunakan
narkoba suntik
• Pernah menderita penyakit menular seksual
Meski tampak mudah menular, perlu diingat bahwa virus hepatitis C tidak akan menular
melalui air susu ibu (ASI), makanan, minuman, maupun sentuhan, seperti bersalaman,
berpelukan, atau berciuman dengan pengidapnya.
2.3 Cara Mendeteksi Hepatitis C

1. Tes Fungsi Hati


Tes ini dilakukan dengan mengambil sampel darah, untuk mengecek kinerja atau fungsi
hati. Pada tes ini, kandungan enzim hati dalam darah, yaitu enzim aspartat aminotransferase
dan alanin aminotransferase (AST/SGOT dan ALT/SGPT), akan diukur. Normalnya, kedua
enzim tersebut terdapat di dalam hati. Namun jika hati mengalami kerusakan akibat
peradangan, kedua enzim tersebut akan tersebar dalam darah sehingga kadarnya meningkat.
Meski demikian, perlu diingat bahwa tes fungsi hati tidaklah spesifik hanya untuk
menentukan penyebab hepatitis saja.
2. Tes Antibodi Virus Hepatitis
Tes ini bertujuan untuk menentukan keberadaan antibodi yang spesifik untuk virus HAV,
HBV, dan HCV. Ketika seseorang terkena hepatitis akut, tubuh biasanya akan membentuk
antibodi spesifik untuk memusnahkan virus yang menyerang tubuh. Lalu, antibodi dapat
terbentuk beberapa minggu setelah seseorang terkena infeksi virus hepatitis.
3. USG
Dengan menggunakan bantuan gelombang suara, USG perut dapat mendeteksi kelainan
pada hati, seperti adanya kerusakan, pembesaran, maupun tumor hati. Selain itu, USG perut
juga dapat mendeteksi adanya cairan dalam rongga perut serta kelainan pada kandung
empedu.
4. Biopsi Hati
Dalam prosedurnya, sampel jaringan hati akan diambil untuk kemudian diamati
menggunakan mikroskop. Melalui pemeriksaan biopsi hati, dokter dapat menentukan
penyebab kerusakan yang terjadi di dalam hati.
2.4 Cara Penatalaksanaan Hepatitis C

Penatalaksanaan hepatitis C yang utama adalah terapi antivirus dengan direct- acting
antivirals (DAAs), seperti sofosbuvir. DAAs umumnya digunakan dalam regimen kombinasi
dengan DAAs lain untuk meningkatkan efikasinya.
Sebelum ditemukannya all-oral DAAs, hepatitis C diterapi dengan injeksi pegylated
interferon dan ribavirin, namun terapi tersebut hanya memiliki angka kesembuhan 40-60%
serta banyak menimbulkan efek samping seperti neutropenia, trombositopenia, anemia berat,
dan efek neurokognitif. Dengan DAAs, angka kesembuhan meningkat sampai 90-97%, efek
samping lebih ringan, durasi terapi lebih singkat, serta menurunkan penggunaan obat injeksi.
Target terapi hepatitis C adalah mencapai eradikasi HCV berkelanjutan yang ditandai
dengan tidak adanya HCV RNA dalam serum 12 minggu setelah terapi antivirus, serta
mencegah progresi ke arah sirosis, hepatocellular carcinoma (HCC), dan penyakit hati
dekompensata yang membutuhkah transplantasi hati.
Terapi Antivirus Hepatitis C
Terapi antivirus diberikan berdasarkan kasus (case-by-case). Hal-hal yang perlu
dipertimbangkan sebelum memulai terapi DAAs antara lain genotipe virus, status sirosis
pasien, koinfeksi virus lain seperti HIV atau hepatitis B, serta usia dan status kehamilan
pasien.
Peresepan DAAs merupakan kompetensi spesialis penyakit dalam, spesialis penyakit
dalam konsultan gastroenterohepatologi, dan spesialis anak konsultan
gastroenterohepatologi.
2.5 Cara Penanganan Hepatitis C Pada Ibu Hamil
Saat ini pengobatan Hepatitis C dilakukan dengan pemberian obat seperti Interferon alfa,
Pegylated interferon alfa dan Ribavirin. Adapun tujuan pengobatan dari Hepatitis C adalah
menghilangkan virus dari tubuh anda sedini mungkin untuk mencegah perkembangan yang
memburuk dan stadium akhir penyakit hati. Pengobatan pada penderita Hepatitis C
memerlukan waktu yang cukup lama bahkan pada penderita tertentu hal ini tidak dapat
menolong, untuk itu perlu penanganan pada stadium awalnya.

BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Dasa, T., et al. (2021). Toxoplasmosis Infection Among Pregnant Women in Africa: A Systematic
Review and Meta-Analysis. PLOS One, 16(7), pp. e0254209.

Chung, M., et al. (2018). TORCH (Toxoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, and Herpes Simplex
Virus) Screening of Small for Gestational Age and Intrauterine Growth Restricted Neonates: Efficacy
Study in A Single Institute in Korea. Korean Journal of Pediatrics, 61(4), pp. 114–120.

Centers for Disease Control and Prevention (2018). Parasites - Toxoplasmosis (Toxoplasma Infection).

hhttps://www.academia.edu/23690832/Kehamilan_rubella

ttps://www.alodokter.com/kenali-dampak-dan-cara-mencegah-rubella-saat-hamil

https://www.docdoc.com/id/info/condition/rubella-german-measles

https://vivahealth.co.id/article/detail/12298/apakah-bahaya-campak-jerman-pada- kehamilan?

https://www.halodoc.com/kesehatan/rubella

https://www.halodoc.com/artikel/ini-bahaya-yang-terjadi-bila-ibu-hamil- terinfeksi-rubella

https://www.halodoc.com/artikel/cara-mengobati-rubella-pada-ibu-hami

Anda mungkin juga menyukai