Disusun oleh:
1. Inka Juniarti 21154011030
2. Tezzy Maria Sintia 211541011002
3. Fitriani 21154011006
Dosen Pembimbing:
Tri Sartika., SST, M.Kes
Faktor Predisposisi
-Kehamilan kembar
-Penyakit trofoblas
-Hidramnion
-Diabetes Militus
-Gangguan vaskuler plasenta
-Faktor herediter
-Riwayat preeklamsi sebelumnya
-Obesitas sebelum hamil. (Tri Restu H | Tri Sartika 2020)
· Jenis-jenis Hipertensi
a. Hipertensi Kronis pada Kehamilan
Definisi
Hipertensi kronis pada kehamilan apabila tekanan darahnya ≥140/90 mmHg, terjadi sebelum
kehamilan atau ditemukan sebelum 20 minggu kehamilan.Seringkali merupakan hipertensi
esensial / primer, dan didapatkan pada 3,6-9% kehamilan (Malha et al., 2018).
Hipertensi kronis pada kehamilan adalah hipertensi (≥ 140/90 mmHg) yang telah ada sebelum
kehamilan. Dapat juga didiagnosissebelum minggu ke-20 kehamilan. Ataupun yang terdiagnosis
untuk pertama kalinya selama kehamilan dan berlanjut ke periode post-partum (Karthikeyan,
2015).
Diagnosis
- Tekanan darah diatas 160/100 mmHg (vivian nanny lia dewi| Tri Sunarsi 2010 )
- Usia pasien diatas 40 tahun.
-Tekanan darah ≥140/90mmHg (Tri Restu H | Tri Sartika 2020)
-Sudah ada riwayat hipertensi sebelum hamil, atau diketahui adanya hipertensi pada usuia
kehamilan <20 minggu
- Tidak ada proteinuria
-Dapat disertai keterlibatan organ lain seperti mata, jantung dan ginjal.
Tatalaksana
a) Tatalaksana Umum
Diagnosis
-Tekanan darah ≥140/90mmHg
- Tidak ada riwayat hipertensi sebelum hamil, tekanan darah normal di usia kehamilan <12
minggu
- Tidak ada proteinuria
-Dapat disertai tanda gejala preeklamsi seperti nyeri ulu hati dan trombositopenia
-Diagnosis pasti ditegakkan pascapersalinan (Tri Restu H | Tri Sartika 2020)
Tatalaksana
a) Tatalaksana Umum
- Pantau tekanan darah, urine dan kondisi janin setiap minggu
- Jika tekanan darah meningkat, tangani sebagai preeklamsi ringan
- Jika kondisi janin membruuk atau terjadi pertumbuhan janin terhambat, rawat untuk penilaian
kesehatan janin
- Beritahu pasien dan keluarga tanda bahaya dan gejala preekalmsi dan eklampsi
- Jika tekanan darah stabil, janin dapat dilahirkan secara normal. (Tri Restu H | Tri Sartika 2020)
c. Hipertensi Gravidarum
Hipertensi dalam kehamilan termasuk hipertensi karena kehamilan dan hipertensi kronik
(meningkatnya tekanan darah sebelum usia kehamilan 20 minggu). Nyeri kepala, kejang, dan
hilangnya kesadaran sering berhubungan dengan hipertensi dalam kehamilan. Keadaan lain yang
dapat mengakibatkan kejang ialah epilepsi, malaria, trauma kepala, meningitis, dan ensefalitis.
(Ummi Hani|Jiarti Kusbandiyah Marjati|Rita Yulifa 2010)
1. Tekanan diastolik merupakan indikator untuk prognosis pada penanganan hipertensi dalam
kehamilan.
2. Tekanan diastolik mengukur tekanan tahanan perifer dan tidak oleh keadaan emosi pasien
(seperti pada tekanan sistolik).
3. Jika tekanan diastolik ≥90 mmHg pada dua pemeriksaan berjarak 4 jam atau lebih,
diagnosisnya adalah hipertensi. Pada keadaan urgen, tekanan diastolik 110 mmHg dapat dipakai
sebagai dasar diagnosis, dengan jarak waktu pengukuran < 4 jam.
-Jika hipertensi pada kehamilan > 20 minggu, pada persalinan, atau dalam 48 jam sesudah
persalinan, diagnosisnya adalah hipertensi dalam kehamilan.
- Jika hipertensi terjadi pada kehamilan < 20 minggu, diagnosisnya adalah hipertensi kronik.
Ø Tujuan Penatalaksanaan
Target penatalaksanaan hiperemesis gravidarum adalah:
· Mengatasi dehidrasi
· Mengurangi gejala dengan modifikasi diet, serta terapi farmakologi
· Mencegah komplikasi serius dari muntah yang persisten, termasuk di antaranya gangguan
elektrolit, defisiensi vitamin, dan kehilangan berat badan yang ekstrem
· Meminimalisir efek fetal baik karena kondisi mual dan muntah ibu maupun karena
pengobatan.
3. Isolasi
Penderita disendirikan dalam kamar yang tenang, cerah, dan memiliki peredaran
udara yang baik. Sebaiknya hanya dokter dan perawat saja yang diperbolehkan untuk keluar
masuk kamar tersebut. Catat cairan yang keluar dan masuk. Pasien tidak diberikan makan
ataupun minum selama 24 jam. Biasanya dengan isolasi saja gejala-gejala akan berkurang
atau hilang tanpa pengobatan.
4. Terapi psikologik
Perlu diyakinkan kepada pasien bahwa penyakitnya dapat disembuhkan. Hilangkan
rasa takut oleh karena kehamilan dan persalinan karena itu merupakan proses fisiologis,
kurangi pekerjaan serta menghilangkan masalah dan konflik lainnya yang melatarbelakangi
penyakit ini. Jelaskan juga bahwa mual dan muntah adalah gejala yang normal terjadi pada
kehamilan muda, dan akan menghilang setelah usia kehamilan 4 bulan.
5. Terapi Alternatif
Ada beberapa macam pengobatan alternatif bagi hiperemesis gravidarum, antara lain:
a. Vitamin B6
Vitamin B6 merupakan koenzim yang berperan dalam metabolisme lipid,
karbohidrat dan asam amino. Peranan vitamin B6 untuk mengatasi 12 hiperemesis masih
kontroversi. Dosis vitamin B6 yang cukup efektif berkisar 12,5-25 mg per hari tiap 8 jam.
Selain itu Czeizel melaporkan suplementasi multivitamin secara bermakna mengurangi
kejadian mencegah insiden hiperemesis gravidarum.
Defisiensi vitamin B6 akan menyebabkan kadar serotonin rendah sehingga saraf
panca indera akan semakin sensitif yang menyebabkan ibu mudah mual dan muntah.
Pada wanita hamil terjadi peningkatan kynurenic dan xanturenic acid di urin. Kedua asam
ini diekskresi apabila jalur perubahan tryptophan menjadi niacin terhambat. Hal ini dapat
juga terjadi karena defisiensi vitamin B6. Kadar hormon estrogen yang tinggi pada ibu
hamil juga menghambat kerja enzim kynureninase yang merupakan katalisator perubahan
tryptophan menjadi niacin, yang mana kekurangan niacin juga dapat mencetuskan mual
dan muntah.
B. Penyebab Prematur
Penyebab dari Persalinan Preterm sebagi berikut :
4. Ketuban pecah prematur pada kehamilan preterm (KPP preterm). Suatu reaksi
inflamasi yang ditemukan pada tempat pecahnya selaput amnion pada KPP preterm
telah diketahui sejak tahun 1950 dan ini memberikan gambaran yang lebih nyata
tentang infeksi. McGregor dkk., dengan menunjukkkan bahwa protease yang
dikeluarkan oleh kuman bisa mengurangi elastisitas selaput amnion (in vitro). Dengan
demikian, mikroorganisme telah memberi akses pada selaput ketuban untuk terjadi
KPP dengan/tanpa diikuti tanda-tanda adanya proses persalinan pada kehamilan
preterm.
5. Vaginosis bakterial. Vaginosis Bakterial (BV) adalah kondisi di mana flora normal
vagina Lactobasilus digantikan dengan bakteri anaerob Gardnerella vaginalis dan
Mycoplasma hominis. Diagnosis dari BV ini didasarkan atas pemeriksaan berikut ini.
· PH vagina >4,5
· Bau amine bila lender vagina ditambah KOH.
·
6. rikomoniasis dan Kandidiasis. Meis dkk, mengemukakan bahwa tidak ada hubungan
yang signifikan antara Trikomoniasis dan Kandidiasis dengan kejadian persalinan
preterm.
© Dampak dalam Segi Ekonomi dari Persalinan Preterm Amerika Serikat, until
7% persalinan preterm, memerlukan dan pembayan kesehatan untuk tahun
pertama kehidupan. Perwatan bays preterno dengiam baru lahir 2500 gr
memerlukan biaya 8 lah lebih besar dibandingkan dengan bayi normal, sedangkan
bila berat lahir 1500 gr memerlukan biaya 10 kali dibanding bayi normal.
3. Penularan dari ibu kepada bayinya / penularan virus dari ibu hamil positif HIV kepada
anaknya dapat terjadi pada 3 waktu yang berbeda, yaitu:
· Saat janin masih dalam kandungan melalui tali pusat
· Saat persalinan (bayi terpapar cairan dari jalan lahir ibu)
· Setelah bayi lahir melalui ASI.
b. Trasmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada gejala
2. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1 - 2 minggu dengan gejala flu.
3. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1 - 15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada.
4. Supresi imun simtomatik. Di atas 3 tahun dengan demam, keringat malam hari, Berat badan
menurun, diare, neuropati, lemah, ras, limfa denopati, lesi mulut.
5. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1 -5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali ditegakkan.
Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system tubuh, dan manifestasi
neurologist.
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria maupun wanita. Yang
termasuk kelompok resiko tinggi adalah:
Lelaki homoseksual atau biseks. Bayi dari ibu / bapak terinfeksi.
Orang yang ketagihan obat intravena
Partner seks dari penderita AIDS
Penerima darah atau produk darah (transfusi) (Susanto, 2013).
c. Gejala HIV/AIDS
Pada awalnya, seseorang yang terkena virus HIV umumnya tidak menunjukkan gejala
yang khas (asimtomatik). Penderita hanya mengalami demam selama 3-6 minggu, tergantung
dari daya tahan tubuh saat mendapatkan kontak virus HIV tersebut. Setelah kondisi mulai
membaik, orang yang terkena virus HIV akan tetap sehat dalam beberapa tahun. Namun
demikian, perlahan-lahan kekebalan tubuhnya mulai menurun sehingga jatuh sakit karena
serangan demam yang berulang (Rimbi, 2014).
Gejala orang yang terinfeksi HIV menjadi AIDS bisa dilihat dari 2 gejala yaitu gejala
mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi) :
Ø Gejala mayor :
1. Berat badan menurun lebih dari 10 % dalam 1 bulan.
2. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan.
3. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan.
4. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis.
5. Demensia/HIV ensafalopati.
Ø Gejala minor :
1. Batuk menetap lebih dari 1 bulan.
2. Dermatitis generalisata.
3. Adanya herpes zostermulti segmental dan herpes zoster berulang.
4. Kandidias orofaringiel.
5. Herpes simpleks kronis progresif.
6. Limfadenopati generalisata.
7. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita.
8. Retinitis virus sitomegalo. (Noviana, 2016).
b. Tes darah
a. Lewat pemeriksaan ini akan ketahuan kemungkinan resus antibodi yang dapat
berdampak bagi janin. FYI, ibu dengan resus negatif, akan mengandung bayi
dengan resus positif. HIV adalah virus yang dapat menyebabkan AIDS. Ada
kemungkinan infeksi HIV yang dialami ibu hamil dapat menembus janin.
6. Berhenti merokok
Efek rokok pada tubuh penderita HIV bisa dua kali lebih berbahaya. Itu kenapa berhenti
merokok dapat membantu ODHA hidup lebih sehat dan merasa lebih baik, entah itu secara fisik
maupun emosional. Bonusnya, berhenti merokok juga akan membantu mencegah sejumlah
masalah kesehatan dan mengurangi penyakit kronis di kemudian hari, seperti serangan jantung
dan stroke.
HERPES SIMPLEX
2.3.2 Patofisiologis
Infeksi HSV dibagi menjadi beberapa kategori episode, yaitu infeksi primer, infeksi non-
primer, infeksi rekurens, dan pelepasan virus tanpa gejala (asymptomatic viral shedding).
Episode infeksi primer, atau sering disebut infeksi inisial, merupakan fase virus memasuki
tubuh hospesnya dengan adanya kontak secara fisik antara virus dan tempat yang sesuai,
seperti membran mukosa atau kulit yang terluka lalu bereplikasi di epidermis dan dermis
sehingga mengakibatkan destruksi sel dan inflamasi.
Virus tersebut tidak perlu berasal dari genital. Gejala infeksi herpes genitalis akan timbul
pada ibu hamil yang belum memiliki antibodi terhadap HSV setelah terpapar lesi herpes
genitalis aktif pada pasangannya.
Orang yang sudah terinfeksi dan menimbulkan gejala prodromal dimulai dengan rasa
gatal, panas, kencang, atau kesemutan pada kulit sebelum timbulnya lesi pada kulit. Lesi
kulit akan muncul sekitar 2-12 hari berupa papul, pustul, atau vesikel berkelompok dengan
dasar eritema tergantung derajat beratnya penyakit. Lesi biasanya bertahan hingga dua puluh
hari tanpa pemberian terapi. Respon antibodi akan terbentuk dan bertahan sepanjang hidup
setelah 3-4 minggu sejak terinfeksi.
Vesikel yang timbul mudah pecah dan dapat menimbulkan multipel erosi dan ulkus
eritema dangkal setelah pecah. Gejala ini dapat hilang 2-3 minggu. Lokasi lesi yang sering
timbul gejala pada perempuan adalah labia mayor, labia minor, klitoris, introitus, vagina, dan
serviks, tapi lesi infeksi HSV ini dapat muncul juga di lipat paha, paha, dan bokong. Disuria
dapat dirasakan jika lesi mengenai uretra atau parauretra. Gejala neralgia, konstipasi, dan
retention urin dapat muncul pada Herpetic Sacral Radiculomyelitis. Gejala bervariasi dari
asimptomatik hingga berat, terutama gejala yang timbul mengenai serviks. HSV servisitis
dapat disertai keluhan keputihan yang purulent dan darah. Kasus ini muncul pada 80% kasus
infeksi primer HSV pada perempuan. Limfadenopati pada kelenjar limfe femoral dan
inguinal dapat timbul akibat infeksi ini pada 75% kasus. Gejala-gejala lain perlahan dapat
muncul mengikuti gejala awal seperti demam, sakit kepala, sakit otot, dan lemah badan. Ibu
hamil dengan seronegatif HSV dapat menderita herpes genitalis pada saat persalinan karena
memiliki pasangan dengan seropositif HSV2 terjadi sekitar 13%, sekitar dua pertiga kasus
terjadi secara asimptomatik, lesi yang timbul minimal, atau tidak spesifik sehingga tidak
dapat dikenali oleh petugas medis. Kemudian, virus menginfeksi DNA hospes kemudian
replikasi virus sehingga menimbulkan gejala. Perubahan hormonal pada ibu hamil
meningkatkan risiko terjadinya infeksi dibandingkan diluar hamil. Antibodi spesifik belum
terbentuk pada episode I infeksi primer, mengakibatkan lesi yang cukup luas dan
berlangsung lama.
Virus bermigrasi dari lesi mukokutan ke ganglion saraf regional melalui serabut saraf
sensorik kemudian virus berdiam diri di ganglion dan bersifat laten sehingga tidak
menimbulkan gejala. Seseorang yang memiliki riwayat infeksi HSV sebelumnya dapat
terinfeksi lagi dengan tipe HSV yang lain.
Infeksi HSV dapat mengalami reaktivasi pada traktus genitalis secara asimptomatis maupun
simtomatis. Gejala klasik dan lebih sering disebabkan oleh HSV-2 adalah lesi pada daerah kecil di genital
berupa vesikel yang berkelompok yang dapat menjadi ulserasi dan berkrusta, tetapi lesi ini lebih kecil dan
sedikit dibandingkan infeksi primer.
Infeksi rekuren HSV ditandai dengan timbulnya antibodi terhadap tipe HSV yang sama dan gejala
herpes yang biasanya lebih ringan (7-10 hari) dibandingkan infeksi primer. Mayoritas infeksi rekuren
disebabkan oleh HSV-2 karena virus ini lebih sering bereaktivasi dibandingkan HSV-1.
Hingga saat ini tidak ada satupun bahan yang efektif mencegah HSV. Kondom dapat menurunkan
transmisi penyakit, tetapi penularan masih dapat terjadi pada daerah yang tidak tertutup kondom ketika
terjadi ekskresi virus. Spermatisida yang berisi surfaktan nonoxynol-9 menyebabkan HSV menjadi inaktif
secara invitro. Di samping itu yang terbaik, jangan melakukan kontak oral genital pada keadaan dimana
ada gejala atau ditemukan herpes oral. Pencegahan Tertularnya Herpes :
1. Menghindari kontak fisik dengan orang lain, terutama kontak dari koreng yang muncul akibat
herpes.
3. Mengoleskan obat antivirus topikal menggunakan kapas agar kulit tangan tidak menyentuh daerah
yang terinfeksi virus herpes.
4. Jangan berbagi pakai barang-barang yang dapat menyebarkan virus, seperti gelas, cangkir, handuk,
pakaian, make up, dan lip balm.
5. Jangan melakukan oral seks, ciuman atau aktivitas seksual lainnya, selama munculnya gejala
penyakit herpes.
Tidak ada pengobatan yang dapat menyembuhkan herpes genitalis, tetapi pengobatan bisa
memperpendek lamanya serangan. Pengobatan yang diberikan dapat dibagi menjadi 3 bagian :
3. Pengobatan spesifik, yaitu pengobatan antivirus terhadap virus herpes. Tiga obat virus yang efektif
yaitu asiklovir, valasiklovir dan famsikolovir. Efek obat antivirus tersebut mengurangi viral shedding,
memperpendek lama sakit dan memperpendek rekurensi.
Untuk mengurangi nyeri yang ditimbulkan oleh herpes, tips-tips berikut ini dapat dilakukan selama
masa penyembuhan herpes, antara lain yaitu :
3. Kompres dengan air hangat atau atau air dingin pada kulit yang terkena.
3. Cuci sores dengan air garam 2 sendok the garam dalam 1 liter air, atau 1 cup garam dalam air
mandi) dapat menolong penyembuhan.
4. Olesan salep atau krim penghilang rasa sakit dapat mengurangi rasa sakit, terutama ketika
mengeluarkan air seni.
5. Bila sakit sewaktu kencing , Anda dapat mengeluarkan air seni sewaktu duduk dalam air mandi
yang hangat.
Selain obat utama diatas, ada obat-obatan lain yang biasanya diberikan untuk orang dengan herpes
zoster.
1. Obat antiradang
Antiradang termasuk obat tambahan yang diresepkan sebagai salah satu cara untuk
mengobati herpes zoster. Ibuprofen atau obat-obatan NSAID lainnya mampu mengurangi
rasa sakit dan pembengkakan.
2. Analgesik (obat pereda nyeri)
Analgesik adalah obat untuk meredahkan rasa nyeri obat ini bekerja dengan cara
mengurangi peradangan di tempat rasa sakit, atau mengubah cara otak dalam memproses dan
merasakan rasa sakit titik. ( Halodoc, 2022)
3. Antihistamin
Antihistamin seperti diphenhydramine (Benadryl) sering kali ikut diresepkan untuk
mengatasi rasa gatal. Ini karena rasa gatal akibat herpes zoster biasanya tak tertahankan.
Menggaruk ruam dan luka bisa membuat penyakit menyebar luas. Untuk itu, antihistamin
menjadi salah satu cara efektif untuk mengobati rasa gatal akibat herpes zoster.
4. Capsaicin (Zostrix)
Capsaicin merupakan obat yang ditujukan untuk mengurangi risiko nyeri saraf pasca
pulih dari herpes zoster. Kondisi ini biasanya sangat menyiksa karena menyerang serabut
saraf dan kulit. Kulit akan terasa seperti terbakar dalam waktu yang cukup lama.
Wanita hamil dengan episode klinis pertama atau rekuren dapat diterapi dengan acyclovir
atau valacyclovir. Walaupun penggunaan kedua obat ini tidak meningkatkan kemungkinan
terjadinya abnormalitas pada fetus, tetapi efek obat tersebut pada jangka panjang masih
membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
Risiko tertinggi infeksi neonatal terjadi jika ibu hamil terinfeksi HSV pada trimester
ketiga kehamilan. Oleh karena itu persalinan secara sectio sesaria merupakan keharusan pada
wanita hamil yang terinfeksi HSV primer maupun non primer pada trimester akhir
kehamilan. Selain itu, membatasi penggunaan monitoring invasif pada wanita yang akan
bersalin dapat menurunkan kejadian infeksi neonatal.
Selain itu, pada berbagai penelitian, pemberian acyclovir dan valacyclovir kepada ibu
hamil dari umur 36 minggu gestasi sampai persalinan dapat menurunkan frekuensi
manifestasi klinis, penyebaran virus pada saat persalinan sehingga mengurangi dilakukannya
tindakan section sesaria, dan penurunan risiko transmisi vertikal. Walaupun begitu, terdapat
penentuan cara persalinan menurut status infeksi HSV yang diderita, yaitu :
a) Manajemen Infeksi HSV Primer Pada Kehamilan
Jika infeksi primer terjadi pada trimester 1 atau 2 kehamilan, disarankan untuk
melakukan kultur virus dari sekret genital pada umur kehamilan 32 minggu. Jika 2 kali hasil
kultur menunjukkan hasil negatif dan tidak ada lesi genital herpetika aktif pada saat
persalinan, maka dimungkinkan untuk dilakukan persalinan pervaginam. Jika terjadi
serokonversi pada saat persalinan, yang artinya risiko transmisi HSV kepada fetus rendah
karena neonatus telah terproteksi oleh antibodi maternal, maka tindakan sectio sesaria tidak
perlu dilakukan.
Jika infeksi primer didapatkan pada trimester 3 kehamilan, maka tindakan sectio sesaria
harus dilakukan karena serokonversi yang adekuat tidak akan terjadi pada 4 sampai 6 minggu
gestasi akhir sehingga bayi berisiko untuk terinfeksi jika dilahirkan pervaginam.
b) Manajemen Terapi Infeksi HSV Rekuren Pada Kehamilan
Bagi para wanita hamil dengan episode rekuren herpes genital yang terjadi beberapa
minggu sebelum taksiran persalinan, dibutuhkan terapi supresif dengan acyclovir atau
valacyclovir sepanjang 4 minggu terakhir kehamilan. Selain itu dilakukan kultur virus dari
sekret servix-vagina pada saat umur 36 minggu kehamilan. Jika tidak terdeteksi lesi herpes
secara klinis tetapi kultur virus positif pada saat persalinan, maka dibutuhkan tindakan sectio
sesaria untuk persalinannya. Sebaliknya, bila tidak ditemukan lesi dan kultur virus negatif,
maka dapat dilakukan persalinan pervaginam.
Ibu hamil yang terinfeksi pada masa kehamilan trimester I dan II, segera diberikan
asiklovir. Jika dapat dilakukan, perlu ditentukan apa penyebab infeksinya, HSV-1 atau HSV-
2, dan menentukan apakah ini infeksi primer, gejala pertama non-primer, atau episode
pertama infeksi rekurensi. Observasi terjadinya rekurensi selama kehamilan sampai usia
kehamilan aterm, ibu hamil dapat melahirkan secara spontan dengan syarat tidak
menggunakan alat-alat seperti forcep atau vacum, pada saat melahirkan. Jika infeksi terjadi
pada 6 minggu terakhir kehamilan, disarankan untuk melahirkan secara pembedahan atau
section caesaria sebelum atau empat jam sesudah pecah ketuban. Kontak lama neonatus
dengan sekret infeksius pada saat melahirkan spontan akan meningkatkan risiko tertularnya
neonates oleh HSV. Sectio caesaria tidak rutin dilakukan, hanya dilakukan pada ibu hamil
dengan viral shedding dan untuk ibu hamil dengan lesi aktif atau sedang mengalami gejala
prodormal pada saat hampir/saat melahirkan. Ibu hamil dengan riwayat infeksi HSV tapi
tidak timbul lesi aktif di genital pada saat persalinan atau memiliki lesi aktif di tempat selain
genital tidak disarankan dilakukan section caesaria.
Infeksi HSV yang terjadi pada usia kehamilan 30-34 minggu memerlukan pemeriksaan
serologik untuk menentukan infeksi primer atau bukan. Jika didapatkan hasil sebagai infeksi
primer, berikan terapi asiklovir tergantung berat ringannya penyakit, atau pemberian
asiklovir supresi hingga waktu persalinan untuk menekan pelepasan virus. Timbulnya gejala
atau tidak pada masa persalinan menentukan langkah selanjutnya. Sectio Caesaria segera
dilakukan bila gejala timbul dan perlu penjelasan pada pasien dan keluarga mengenai semua
risiko, sedangkan ibu hamil tanpa gejala pada masa persalinan boleh dilakukan persalinan
pervaginam. Kedua cara tersebut tetap dibarengi pemberian asiklovir sebagai terapi supresi
pada ibu. Setelah persalinan, dilakukan kultur virus dalam waktu 12-24 jam dan observasi
neonatus. Neonatus yang mengalami gejala perlu diberikan terapi dengan asiklovir segera.
Kehamilan di atas 34 minggu dengan infeksi herpes genitalis diberikan terapi asiklovir
seperti pengobatan pada usia kehamilan 30-34 minggu, tetapi pada usia kehamilan ini segera
direncanakan section caesarea untuk mengurangi risiko transmisi virus ke bayi. Setelah
persalinan, dilakukan kultur virus dari bayi dalam waktu 12-24 jam dan observasi neonatus.
Terapi asiklovir diberikan pada bayi atau diberikan setelah diobservasi dan timbul gejala.
Pada kasus tertentu terjadi persalinan pervaginam saat persiapan, dilakukan kultur virus dari
bayi dalam 12-24 jam dan pemberian asiklovir dapat dipertimbangkan. Jika hasil kultur virus
dari bayi negative, hentikan pemberian terapi asiklovir. Pemberian ASI diperbolehkan selama
tidak terdapat lesi aktif di payudara. Perilaku bersih dan sehat dengan mencuci tangan perlu
ditingkatkan.4 Infeksi primer yang cepat ditangani dapat menghasilkan prognosis yang lebih
baik, sedangkan infeksi rekurens hanya bisa dibatasi frekuensi kekambuhannya.
Ibu hamil dengan riwayat infeksi rekurensi, perlu ditandai dalam status dan menjadi
perhatian. Melakukan pemeriksaan untuk mencari timbul atau tidaknya lesi pada masa awal
persalinan. Pemberian asiklovir supresif pada 2-4 minggu di akhir kehamilan.
Jika lesi tidak ditemukan, risiko rendah dan ibu hamil dapat melahirkan secara
pervaginam. Saat bayi lahir perlu diobservasi secara ketat dan pemberian asiklovir dapat
diberikan saat timbul gejala herpes neonatal. Dibandingkan perempuan yang tidak hamil,
Gejala infeksi HSV yang timbul lebih berat pada ibu hamil.
Infeksi pada masa intrapartum penularan pada janin dapat menyebabkan abortus,
stillbirth, pertumbuhan terhambat, kelainan perkembangan psikomotor, kelainan kulit
(blister, scarring), atau kelainan kongenital berupa kelainan mata (chorioretinitis,
microphtalmia, katarak), kelainan neurologis (kalsifikasi intrakranial, microcephali,
hydraencephaly, encephalitis, meningitis) hingga kematian jika tidak diterapi dengan baik.
Perlu perhatian khusus pada ibu hamil dengan kelainan ini. Hasil dari penatalaksanaan herpes
genital sering kali tidak memuaskan, tapi penanganan yang baik dengan konseling,
pemeriksaan diagnostik, penatalaksanaan antivirus, dan pencegahan timbulnya lesi aktif pada
saat persalinan yang dilakukan dengan baik dan tepat dapat memperbaiki hasil pengobatan.
Simpulan herpes genitalis pada kehamilan merupakan infeksi pada genital disebabkan Herpes
simplex virus (HSV) dengan gejala berupa vesikel berkelompok dengan dasar eritema dan
bersifat rekurens pada perempuan hamil. HSV dibagi menjadi HSV-1 dan HSV-2. HSV-2
paling sering menyebabkan herpes genital sedangkan HSV-1 lebih sering menyebabkan
herpes non-genital, Infeksi HSV dibagi menjadi infeksi primer, nonprimer, rekurens, dan
asimptomatis. Hal ini perlu diperhatikan dengan serius karena infeksi atau reaktivasi herpes
genitalis pada kehamilan memungkinkan penularan ke janin pada masa intrauterine 5%,
perinatal 85%, atau postnatal 10%. Penularan pada janin dapat menyebabkan abortus,
stillbirth, pertumbuhan terhambat, kelainan kongenital, dan kematian. Penggunaan asiklovir
atau valasiklovir pada ibu hamil sebagai terapi utama maupun terapi supresif. Terapi supresif
digunakan untuk mencegah, menurunkan frekuensi rekurensi, menurunkan penularan selama
kehamilan, dan menurunkan angka pelaksanaan sectio caesaria.
menunda kehamilan sampai IgG menjadi negative ,yaitu selama 3-6 bulan jika anti-
Rubella IgG dan anti-Rubella IgM negatif berarti anda tidak mempunyai kekebalan terhadap
Rubella. bila anda belum hamil, dokter akan memberikan vaksin Rubella dan menunda
kehamilan selama 3-6 bulan.
bila anda tidak bisa mendapat vaksin,tidak mau menunda kehamilan atau sudah hamil,
yang dapat dikerjakan adalah mecegah anda terkena Rubella bila sudah hamil padahal belum
kebal, terpaksa berusaha menghindari tertular Rubella dengan cara berikut: jangan mendekati
orang sakit demam,jangan pergi ke tempat banyak anak berkumpul,
misalnya Playgroup sekolah TK dan SD,jangan pergi ke tempat penitipan anak.
4. PENGOBATAN RUBELLA PADA IBU HAMIL
1. Beristirahat Sebanyak Mungkin
Saat ibu mengalami gejala-gejala yang hampir mirip dengan penyakit virus rubella,
sebaiknya ibu memperbanyak waktu istirahat. Istirahat nyatanya mampu meningkatkan
sistem imunitas tubuh menjadi semakin baik.
2. Konsumsi Air Putih dan Makanan Sehat
Dengan mengonsumsi air putih yang cukup, kamu bisa menetralisir racun atau virus yang
ada dalam tubuh kamu. Tidak hanya itu, air putih juga berfungsi untuk menghidrasi tubuh
kamu. Nutrisi ibu hamil juga perlu diperhatikan agar kebutuhan nutrisi dan gizi ibu tetap
terpenuhi. Dengan pemenuhan gizi yang cukup, tentu saja daya tahan tubuh ibu juga bisa
meningkat.
3. Periksakan Diri ke Dokter
Sebaiknya ibu hamil segera periksakan diri ke dokter saat merasakan gejala awal rubella.
Lalu, rutin meminum obat-obatan sesuai dengan yang dianjurkan dokter. Dengan penanganan
medis sesegera mungkin maka penyakit ini akan lebih mudah untuk ditangani
Bila memungkinkan, minta orang yang tinggal serumah dengan Bumil untuk menerima
vaksin MMR. Cara ini dilakukan untuk mencegah mereka terinfeksi virus rubella dan
menularkannya kepada Bumil.
Menjaga kebersihan
Segera cuci tangan Bumil dengan sabun setelah melakukan perkerjaan apa pun. Jangan
menyentuh wajah, terutama hidung dan mulut, dengan tangan yang belum dicuci,
Menunda berwisata
Jika Bumil berencana untuk berwisata dengan pasangan selama hamil, sebaiknya tunda
dulu. Apalagi, jika tempat wisata yang Bumil kunjungi termasuk wilayah dengan kasus
rubella yang tinggi
TOXOPLASMOSIS
A. PENGRTIAN TOXOPLASMOSIS
Toksoplasmosis adalah infeksi yang disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii. Parasit
ini dapat ditemukan pada kotoran kucing, sayuran dan buah-buahan yang tidak dicuci bersih,
atau daging yang belum matang. Jika masuk ke dalam tubuh manusia, T. gondii dapat
bertahan pada kondisi tidak aktif. Umumnya, infeksi parasit ini dapat dikendalikan oleh
sistem kekebalan tubuh sehingga tidak menimbulkan gejala. Meski begitu, parasit ini dapat
menyebabkan masalah kesehatan serius jika terjadi pada orang dengan daya tahan tubuh
rendah atau ibu hamil.
Pada dasarnya, toksoplasmosis tidak dapat menyebar antarmanusia. Namun, ibu hamil
dapat menularkan infeksi ini ke janinnya. Kondisi tersebut bisa menyebabkan pertumbuhan
janin terhambat, cacat pada janin, keguguran, hingga kematian janin
E. Gejala Toksoplasmosis
Umumnya, toksoplasmosis tidak menimbulkan gejala. Namun, pada beberapa kasus,
gejala dapat muncul beberapa minggu atau bulan setelah parasit T.gondii menyerang tubuh.
Beberapa gejala umum yang dialami penderita toksoplasmosis mirip dengan gejala flu,
yaitu:
1. Demam
2. Nyeri otot
3. Kelelahan
4. Sakit tenggorokan
5. Pembengkakan kelenjar getah bening
Selain gejala di atas, gejala lain juga dapat muncul berdasarkan kondisi penderita, yaitu:
➢ Pada ibu hamil dan bayi baru lahir
Pada ibu hamil, toksoplasmosis dapat menyebabkan janin di dalam kandungan
mengalami gangguan pertumbuhan. Selain itu, tidak menutup kemungkinan keguguran, baik
hanya ancaman (abortus iminens), tidak dapat dihindari (abortus insipiens) atau yang komplit
(abortus komplit), atau kematian janin bisa terjadi.
Sedangkan, pada bayi baru lahir, toksoplasmosis dapat menimbulkan beberapa gejala
berikut:
1. Kejang
2. Pembesaran organ hati atau limpa
3. Penyakit kuning pada bayi
4. Ruam kulit
5. Kepala tampak lebih kecil (mikrosefalus)
Bayi baru lahir yang terinfeksi parasit T.gondii juga mungkin tidak mengalami gejala apa
pun. Akan tetapi, beberapa gejala dapat timbul seiring bayi bertumbuh besar atau saat remaja.
Gejala yang dimaksud berupa gangguan pendengaran, gangguan intelektual, atau infeksi
berat pada mata.
Ibu hamil yang terinfeksi toksoplasmosis juga dapat mengalami gejala umum
toksoplasmosis, seperti demam, nyeri otot, atau kelelahan.
F. Diagnosis Toksoplasmosis
Untuk mendiagnosis toksoplasmosis, dokter akan melakukan tanya jawab mengenai
gejala yang dialami dan riwayat kesehatan pasien, serta kemungkinan terpapar T.gondii.
Selanjutnya, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh, diikuti dengan
pemeriksaan lanjutan untuk menetapkan diagnosis, seperti:
• Tes darah, untuk menilai kadar antibodi tubuh terhadap gondii
• MRI, untuk mendeteksi penyebaran infeksi ke otak, terutama pada pasien yang berisiko
tinggi terserang komplikasi
• Biopsi otak atau cairan tulang belakang, untuk mendeteksi keberadaan parasit gondii,
terutama pada kasus yang parah
Sementara pada ibu hamil, dokter akan melakukan pemeriksaan berupa:
• Amniosentesis, untuk mengetahui penularan infeksi toksoplasmosis pada janin dengan
memeriksa sampel air ketuban pada usia kehamilan di atas 15 minggu
• USG kehamilan, untuk menilai pertumbuhan dan mendeteksi kelainan pada janin
Jika hasil USG kehamilan menunjukkan gangguan pertumbuhan atau tanda-tanda
kelainan pada janin, dokter akan menyarankan pasien menjalani pemeriksaan rutin untuk
mencegah terjadinya perburukan.
Setelah bayi lahir, dokter akan melakukan pemeriksaan untuk melihat kemungkinan
komplikasi toksoplasmosis pada bayi. Jika komplikasi tidak terlihat, dokter akan
menyarankan ibu memeriksakan bayi secara berkala hingga anak berusia remaja.
➢ Pengobatan Toksoplasmosis
Pada orang yang tidak sedang hamil atau mengalami gangguan kekebalan tubuh,
toksoplasmosis umumnya ringan dan tidak memerlukan perawatan medis. Namun, pada
toksoplasmosis yang sampai menimbulkan gejala, dokter akan memberikan pengobatan
sesuai kondisinya. Berikut adalah penjelasannya:
G. Pencegahan Toxoplasmosis
Pencegahan dan pengendalian infeksi yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii. Gejala
klinis awal infeksi toksoplasmosis pada wanita usia subur imunokompeten, termasuk wanita
hamil, sangat sulit dideteksi karena biasanya tidak ada gejala.
Skrining serologi toksoplasma berimplikasi sebagai satu-satunya cara untuk menentukan
apakah infeksi toksoplasmosis pada ibu hamil trimester pertama dapat menularkan infeksi ke
janin berupa kelainan kongenital yang serius. Pemeriksaan laboratorium toksoplasmosis
dengan menggunakan deteksi serologi berbagai antibodi toksoplasma di Indonesia masih
cukup mahal. Oleh karena itu, tujuan dari kegiatan pengabdian masyarakat ini adalah untuk
mengetahui tingkat pengetahuan pencegahan faktor risiko toksoplasmosis pada wanita usia
subur.
Toksoplasmosis bisa dicegah dengan menerapkan pola hidup bersih dan sehat. Beberapa
langkah yang dapat dilakukan adalah:
• Gunakan sarung tangan saat berkebun atau memegang tanah.
• Hindari mengonsumsi daging mentah atau setengah matang.
• Cucilah tangan sebelum dan sesudah memegang makanan.
• Cucilah semua peralatan dapur dengan bersih setelah memasak daging mentah.
• Cucilah buah dan sayuran sebelum dikonsumsi.
• Hindari mengonsumsi susu dan produk olahan susu yang tidak dipasteurisasi.
Bila Anda memelihara kucing, lakukan langkah-langkah di bawah ini untuk mencegah
toksoplasmosis:
o Jaga kesehatan kucing dengan rutin membawanya untuk divaksinasi.
o Gunakan sarung tangan saat membersihkan tempat kotoran kucing.
o Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun setelah membersihkan tempat kotoran
kucing.
o Jaga kucing agar tetap berada di dalam rumah.
INFEKSI SYPHILIS
A. Pengertian Syphilis
PEMBAHASAN
Sifilis merupakan salah satu Infeksi Menular Seksual yang disebabkan Treponema
pallidum yang dapat menimbulkan kondisi cukup parah misalnya infeksi otak dan kecacatan
tubuh. Bila tidak diobati Treponema pallidum akan menyebabkan 67% kehamilan berakhir
dengan keguguran, lahir mati, atau infeksi neonates (Sifilis congenital).
Sifilis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang meluas di berbagai Negara,
akan Sifilis masih merupakan penyebab utama morbitas dan mortalitas perinatal di banyak
Negara. Sebagaimana IMS lainnya, Sifilis akan meningkatkan resiko tertular Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) Sifilis
meningkatkan daya infeksi HIV dan pada mereka yang belum terinfeksi HIV, Sifilis
meningkatkan kerentangn tertular HIV.
B. Perjalanan Alamiah Infeksi Syphilis
Pada ibu hamil sering ditemui adanya infeksi Sifilis yang menyertai kehamilan dan
persalinan. Infeksi ini mempunyai resiko terhadap kehamilan dan persalinan. Apabila ibu
hamil terinfeksi Sifilis, Treponema Pallidum masuk melalui peredaran janin dan menyebar
keseluruh jaringan. Kemudian berkembang biak dan menyebabkan respon peradangan selular
yang akan merusak janin, maka dapat ditularkan ke bayi melalui plasenta dan pada saat
bersalin dapat menyebabkan bayi lahir mati, kongenital Sifilis pada bayi, dan Berat Bayi
Lahir Rendah (BBLR). Resiko Sifilis kongenital berhubungan langsung dengan stadium
Sifilis yang diderita ibu selama kehamilan.
Sifilis adalah penyakit kronis dan bersifat sistemik. Penyakit sifilis dapat ditularkan
dari ibu yang menderita sifilis ke janinnya melalui plasenta pada stadium akhir
kehamilan.
C. Penyebab Syphilis
Sifilis disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum yang berbentuk spiral. Bakteri ini
dapat masuk ke dalam tubuh melalui luka kecil, lecet, ruam pada kulit, atau melalui selaput
lendir, yaitu jaringan dalam mulut atau kelamin.
Sifilis lebih banyak menular akibat berhubungan seksual dengan penderita infeksi ini.
Selain hubungan seksual, penyebaran bisa terjadi melalui kontak fisik dengan luka di tubuh
penderita, atau menular dari ibu ke janin saat kehamilan atau persalinan.
D. Penularan Syphilis
Cara penularan sifilis sama dengan penyakit IMS lainnya, yaitu umumnya melalui
hubungan seksual dengan pasangan yang mengidap sifilis, di samping penularan dari ibu ke
bayi. Penularan sifilis dari ibu ke bayi berlangsung melalui cara yang lebih kurang sama
seperti pada penularan infeksi HIV. Penularan ini terjadi pada masa kehamilan, kontak saat
persalinan dan kontak dengan lesi sifilis setelah persalinan. Walaupun penularan dari ibu ke
bayi dapat terjadi pada minggu ke-9 kehamilan, namun biasanya penularan terjadi pada
minggu ke-16 dan ke-28 kehamilan.
Penularan sifilis dapat terjadi saat penderita berada dalam tahap primer, sekunder, atau
awal tahap laten. Meski demikian, sipilis tidak bisa ditularkan melalui kontak dengan
dudukan kloset, serta berbagi pemakaian baju atau peralatan makan dengan penderita.
Melihat cara penularannya, ada beberapa kondisi yang membuat seseorang berisiko
tertular penyakit sipilis atau sifilis, yaitu:
a) Bergonta-ganti pasangan seksual, contohnya menjalani hubungan poliamori
b) Berhubungan seksual tanpa kondom
c) Memiliki pasangan seksual penderita sifilis
d) Memiliki orientasi seksual lelaki seks lelaki
e) Positif terinfeksi HIV
Risiko Penularan Sifilis dari Ibu ke Anak
Faktor risiko penularan sifilis dari ibu ke anak sebagai berikut.
1. Faktor ibu.
a) Adanya infeksi lain selama kehamilan, misalnya IMS (HIV, gonore, dll), infeksi
organ reproduksi, malaria dan tuberkulosis akan memperbesar risiko penularan
sifilis.
b) Penularan baru sifilis pada ibu hamil meningkatkan risiko penularan ke anak.
2. Faktor tindakan obstetrik: berbeda dengan penularan infeksi HIV dari ibu ke anak,
risiko penularan sifilis pada masa kehamilan lebih besar dibandingkan risiko pada saat
persalinan karena bakteri dapat menembus barier darah plasenta.
E. Gejala Syphilis
Gejala sipilis digolongkan sesuai dengan tahap perkembangan penyakitnya.
Tiap jenis sifilis memiliki gejala yang berbeda. Berikut adalah penjelasannya:
• Sifilis primer
Sifilis jenis ini ditandai dengan luka (chancre) di tempat bakteri masuk.
• Sifilis sekunder
Sifilis jenis ini ditandai dengan munculnya ruam pada tubuh.
• Sifilis laten
Sifilis ini tidak menimbulkan gejala, tetapi bakteri ada di dalam tubuh penderita.
• Sifilis tersier
Sifilis ini dapat menyebabkan kerusakan otak, saraf, jantung, atau organ lain.
Gejala Syphilis pada ibu hamil dan bayi nya :
Sifilis juga bisa terjadi pada wanita yang sedang hamil, kondisi ini disebut dengan sifilis
kongenital. Wanita hamil yang mengidap sifilis sangat berpeluang untuk menularkannya ke
janin.
Jika bayi lahir dengan kongenital sifilis dalam keadaan hidup, biasanya tidak memiliki
gejala apa pun. Akan tetapi, masih ada kemungkinan munculnya ruam pada telapak tangan
dan telapak kaki bayi. Seiring bertambahnya usia, gejala yang dimiliki anak yang lahir
dengan sifilis mungkin akan berkembang menjadi masalah pendengaran, deformasi gigi,
hingga pertumbuhan tulang yang abnormal.
F. Pencegahan Syphilis
Upaya paling ampuh untuk mencegah penularan sifilis yang menular lewat hubungan
seksual adalah dengan berhubungan seksual dengan aman. Caranya adalah dengan setia pada
satu pasangan dan menggunakan kondom saat berhubungan seksual.
Sifilis juga bisa dicegah dengan membatasi konsumsi minuman beralkohol dan tidak
menyalahgunakan NAPZA. Hal ini karena alkohol dan NAPZA dapat menurunkan kesadaran
dan membuat seeseorang menjadi agresif atau impulsif. Akibatnya, risiko untuk berhubungan
seksual dengan cara yang tidak aman akan meningkat.
Di samping itu, penting bagi ibu hamil untuk memeriksakan kehamilannya secara rutin.
Saat pemeriksaan rutin kehamilan, dokter kandungan akan melakukan skrining penyakit
sifilis, biasanya saat trimester pertama kehamilan dan trimester akhir kehamilan
Pencegahan penyakit sifilis dapat dilakukan dengan melakukan skrining dan pemeriksaan
sedini mungkin. Pemeriksaan dapat dilkaukan segera setelah munculnya tanda dan gejala
awal penyakit tersebut.
Kementerian Kesehatan (2013) menyatakan bahwa, untuk melindungi janin dalam
kandungan perlu dilakukan skrining dan penanganan sifilis pada ibu hamil.
Secara internasional telah ditetapkan target untuk mengeliminasi sifilis kongenital.
Beberapa cara yang diakukan antara lain:
1. Integrasi layanan infeksi menular seksual (terutama skrining sifilis) dengan program
pencegahan infeksi HIV dari ibu ke anak dan program kesehatan ibu dan anak.
2. Melakukan skrining sifilis pada semua ibu hamil.
3. Melakukan skrining sifilis pada ibu melahirkan, terutama mereka yang belum
pernah diskrining sebelumnya.
4. Mengobati semua ibu hamil yang positif sifilis dengan segera.
5. Melakukan edukasi, konseling aktif, dan promosi kondom untuk mencegah infeksi
ulang.
6. Melakukan pengobatan pada semua bayi yang lahir dari ibu yang positif sifilis.
7. Melakukan pemeriksaan dengan seksama dan membuat rencana perawatan bagi
bayi yang lahir dari ibu yang positif sifilis.
G. Tata Laksana Syphilis
Secara umum, pengobatan utama sifilis adalah dengan suntikan antibiotik penisilin yang
dosisnya tergantung pada kondisi tiap penderita. Pada sifilis yang masih di tahap awal, suntik
penisilin cukup dilakukan satu kali (dosis tunggal). Sedangkan pada sifilis tahap lanjut,
diperlukan dosis tambahan sesuai petunjuk dokter.
Sipilis termasuk penyakit yang dapat disembuhkan, terutama jika cepat terdeteksi dan
ditangani. Bila sifilis baru diobati saat sudah terjadi kerusakan organ, pengobatan sifilis tidak
bisa memperbaiki kerusakan organ.
Antibiotik penisilin juga diberikan kepada ibu hamil yang menderita sifilis dan bayi yang
dilahirkan dari ibu penderita sifilis. Bagi penderita yang alergi terhadap penisilin, diskusikan
kembali manfaat dan risiko penggunaan penisilin, serta tanyakan kepada dokter kulit
mengenai pengganti obat penisilin. Setelah disuntik antibiotik penisilin, beberapa penderita
bisa merasakan reaksi Jarisch-Herxheimer. Reaksi ini dapat menimbulkan gejala berupa
demam, sakit kepala, dan nyeri otot atau sendi.
Reaksi ini bukan suatu kondisi yang serius dan biasanya hanya berlangsung selama 1
hari.
Untuk mengetahui seseorang terinfeksi sifilis diantaranya dengan pemeriksaan
imunoserologi yaitu pemeriksaan VDRL (Veneral Disease Research Laboratory) dengan
metode slide flokulasi adalah tes yang dilakukan untuk memeriksa munculnya antibodi
terhadap bakteriTreponema pallidum, bakteri yang menyebabkan penyakit menular
seksual sifilis.
TBC
2.1 Pengertian TBC
Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
tuberculosis. Kondisi ini dapat menyerang otak, kelenjar getah bening, sistem saraf pusat, jantung dan
tulang belakang. Namun, infeksi TBC paling sering menyerang paru-paru.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), TBC berada di peringkat kedua sebagai penyakit
menular yang mematikan. Indonesia termasuk lima besar negara dengan jumlah pengidap TBC terbanyak
di Asia Tenggara. Merujuk data 2012, jumlah pengidap TBC yang mencapai 305 ribu jiwa.
Adalah Mycobacterium tuberkulosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan panjang 1-4/um dan
tebal 0,3-0,6/um. Sebagian besar kuman ini terdiri dari asam lemak (Lipid). Lipid inilah yang membuat
kuman lebih tahan terhadap asam dan terhadap gangguan kimia dan fisik. Kuman dapat tahan hidup
pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat bertahun-tahun dalam lemari es) Hal ini terjadi
karena kuman yang ada pada sifat yang dormant, yang kemudian dapat bangkit kembali dan menjadi
tuberkulosis aktif kembali. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih
menyenangi jaringan yang kandungan oksigennya tinggi. Cara penularan melalui udara pernafasan
dengan menghirup partikel kecil yang mengandung bakteri tuberculosis. Masa tunas berkisar antara 4-12
minggu. Masa penularan terus berlangsung selama sputum BTA penderita positif.
• Anoreksia
• Dispneu
• Demam
• Batuk
• Sesak nafas.
• Nyeri dada
• Malaise
Permasalahan utama pada TBC dengan kehamilan adalah adanya keterlambatan dalam
mendiagnosis. Hal ini disebabkan kebanyakan perempuan hamil baru memeriksakan diri ke fasilitas
kesehatan pada tahap lanjut dari kehamilannya, serta diagnosis klinis cenderung sulit karena kehamilan
dapat mengaburkan gejala klinis infeksi TBC. Beberapa gejala seperti lelah , lesu , penurunan nafsu
makan, sesak dan berkeringat juga di jumpai pada kehamilan. Gejala lain seperti anemia, juga dapat
mencerminkan penyakit kronis TBC. Penapisan dan penemuan kasus secara aktif perlu dilakukan untuk
mendapatkan sebanyak mungkin kasus TBC yang diagnosis untuk kemudian diobati.
Diagnosis TBC saat ini masih bergantung pada temuan BTA (Basil Tahan Asam) secara mikroskopis,
kultur BTA dan deteksi DNA secara moleskuler ( uji GeneXpert MTB/RIF) M.tubercolosis terutama pada
dahak. Infeksi TBC dapat juga terjadi pada organ ekstraparu. Berbagai laporan kasus
mendokumentasikan berbagai manifestasi TBC ekstraparu , misalnya pericarditis TBC , spondylitis TBC ,
peritonitis TBC ,abses psoas, meningitis TBC ,dan sebagainya. Banyak kasus yang didiagnosis terlambat,
atau bahkan secara retrospektif setelah identifikasi adanya TB pada neonatus maupun kehamilan ektopik
pada TB genital hingga paraplegia pada TB spinal." Kesulitan dalam mendiagnosis TB ekstraparu ini dapat
disebabkan baik kesulitan dalam teknis hiopsi yang dilakukan melalui tindakan pembedahan maupun
endoskopi dan juga. dalam mencapai lesi, serta risiko akibat paparan obat anestesi pada janin." Dampak
pada janin dilaporkan beragam, mulai dari asimtomatik. abortus spontan, hingga abnormalitas kongenital
yang serius.
Uji tuberkulin dan IGRA dapat digunakan untuk mendiagnosis TB laten pada perempuan hamil,
namun bukan untuk mendiagnosis TB aktif Sensitivitas uji tuberkulin tidak dipengaruhi oleh kehamilan,
namun dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti keadaan imunokompromais yang dapat
memberikan hasil negatif palsu atau vaksinasi BCG yang memberikan hasil positif palsu. Oleh karena itu,
pada wilayah dimana mayoritas penduduknya sudah divaksinasi BCG ataupun bila status vaksinasinya
tidak diketahui serta pada penderita HIV positif, pemeriksaan IGRA lebih dianjurkan untuk penapisan dan
diagnosis TB.
WHO masih menganjurkan uji tuberkulin untuk penapisan TB laten pada daerah endemik TB. karena
sama baik dan lebih murah dari pada tes IGRA. Namun perlu diperhatikan adanya studi yang
menunjukkan 4-29% pasien yang tidak kembali ke fasilitas kesehatan untuk pembacaan hasil, padahal
mayoritas pasien ini mempunyai hasil positif pada pemeriksaan IGRA.
2.5 Penatalaksanaan
Perawatan antenatal merupakan saat yang baik untuk penapisan dan deteksi kemungkinan adanya
TB, serta pemantauan pengobatan, terutama bagi banyak wanita dengan keterbatasan akses ke
pelayanan kesehatan, yang cenderung hanya memeriksakan dirinya disaat kehamilan." Pada wanita
hamil yang didiagnosis TB, WHO menganjurkan pengobatan dengan OAT segera, ibu tetap menyusui
anaknya seperti biasa, anak diberikan terapi profilaksis isoniazid selama 6 bulan, dan imunisasi BCG pada
bayi setelah selesai pengobatan. Selama pengobatan TB, kepatuhan pasien, efek samping obat, dan ada
tidaknya gejala gangguan fungsi hati. perlu dipantau ketat. Dengan kesembuhan TB. prognosis ibu dan
anak akan lebih baik.
Terapi OAT yang dianjurkan pada perempuan hamil tidak berbeda dengan terapi TB pada umumnya.
yaitu dengan regimen standar yang terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol yang
diminum selama 2 bulan (fase intensif), dilanjutkan dengan isoniazid dan rifampisin selama 4 bulan (fase
lanjutan). Regimen. standar ini aman diberikan selama kehamilan." Suplementasi piridoksin 10 mg hari
dianjurkan pada semua perempuan hamil dan menyusui dalam pengobatan isoniazid untuk mencegah
potensi neurotoksisitas pada janin. Vitamin K perlu diberikan pada bayi baru lahir yang ibunya
mengkonsumsi rifampisin, karena adanya risiko perdarahan. Selain itu, suplementasi besi juga dianjurkan
pada TB dengan anemia ringan hingga sedang Streptomisin tidak boleh diberikan. selama kehamilan,
akibat potensi efek samping ototoksisitas (tuli kongenital) pada janin.
Perempuan hamil dengan risiko infeksi (misalnya HIV positif) atau paparan kontak TB dapat memulai
profilaksis isoniazid sesegera mungkin pada trimester pertama, untuk mencegah penyebaran
M.tuberculosis secara. hematogen ke plasenta. Pada perempuan dengan risiko yang lebih rendah untuk
progresi kepada infeksi aktif, terapi profilaksis isoniazid dapat ditunda hingga setelah persalinan. Terapi
yang dianjurkan adalah isoniazid dengan dosis 300 mg per hari disertai piridoksin 10-25 mg per hari
selama 6 bulan. Perempun hamil dengan TB laten juga dianjurkan menerima terapi profilaksis dengan
isoniazid Kepatuhan pasien terhadap pengobatan dan pemantauan efek samping perlu diperhatikan.
Beberapa studi menunjukkan kepatuhan terapi profilaksis isoniazid pada perempuan hamil yang rendah
yaitu hanya 9,3% hingga 21,2% akibat kurangnya pemantauan, dan meningkatnya risiko efek samping
hepatitis. Pada perempuan hamil dengan TB laten dengan risiko yang rendah untuk menjadi TB aktif
maka terapi isoniazid profilaksis dapat ditunda hingga 2-3 bulan pasca-persalinan."
Ibu menyusui yang menderita TB aktif harus segera juga memulai pengobatan TB secara lengkap.
Inisiasi segera terapi OAT merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan TB pada bayi. Setelah
infeksi aktif pada bayi dapat disingkirkan, bayi dapat diberikan profilaksis isoniazid selama 6 bulan,
dilanjutkan dengan vaksinasi BCG. Isoniazid dapat diberikan pada tahap manapun selama kehamilan,
bahkan: dalam trimester pertama, karena tidak bersifat teratogenik. Namun, kemungkinan efek samping
isoniazid misalnya hepatitis hams tetap dideteksi selama pengobatan terutama selama masa peripartum,
Menyusui bukan merupakan kontraindikasi pada perempuan yang menderita TB. Perempuan yang
menderita TB dengan sputum BTA negatif dapat segera menyusui setelah mengkonsumsi OAT: Semua
OAT lini pertama dapat ditemukan pada ASI dengan kadar yang rendah, Semua OAT ditemukan pada ASI
dengan kadar yang kurang dari 1%, kecuali isoniazid yang: kadarnya berkisar 0,75% -2.3%. Streptomisin
dalam ASI tidak menyebabkan dampak yang bermakna terhadap bayi, selain itu penyerapan streptomisin
melalui saluran cerna juga sangat kecil. Secara keseluruhan risiko toksisitas OAT terhadap bayi yang
disusui sangat rendah sehingga aman dan dapat diminimalisasi lagi dengan cara ibu meminum obatnya
tepat setelah selesai menyusui. Untuk OAT lini kedua perlu lebih diwaspadai, karena sedikitnya data yang
dari penularan hematogen melalui plasenta yang kemudian dapat menyebabkan pembentukan tersedia
terkait kadar obat tersebut dalam ASI maupun dampaknya terhadap bayi. Oleh karena itu, ibu perlu
diberikan edukasi mengenai potensi risikonya, walaupun tidak ada kontraindikasi absolut."
♥ Terapi TB MDR
Pengobatan TB MDR dengan regimen lini kedua pada ibu hamil dan menyusui, dilaporkan
menunjukkan hasil yang baik bagi ibu dan anak, dengan dampak perinatal yang serupa dengan kehamilan
sehat tanpa didapatkan adanya defek kongenital Regimen yang dianjurkan yaitu meliputi 4 OAT lini
kedua (termasuk parenteral) serta pirazinamid, dengan pengobatan dapat berlangsung selama 18-24
bulan. Namun demikian, perlu diketahui bahwa OAT lini kedua memiliki potensi efek samping yang lebih
besar terhadap ibu dan anaknya. Aminoglikosida yang termasuk kelas D menurut Food and Drug
Administration (FDA), mempunyai efek samping ototoksik dan nefrotoksik bagi ibu dan janin. Kuinolon
juga berpotensi teratogenik (kelas C) dan dapat. menyebabkan deformitas muskuloskeletal. Kapreomisin
juga dapat menyebabkan risiko ototoksik Ftionamid dapat menyebabkan. mual dan muntah, serta efek
teratogenik dalam uji pada hewan Namun demikian, manfaat pengobatan yang dapat diperoleh
dibandingkan dengan risikonya perlu dipertimbangkan secara spesifik pada masing-masing kasus, dan
selama. pengobatan perlu diawasi secara ketat oleh dokter yang ahli dalam penatalaksanaan TB Bebagai
studi menunjukkan bahwa pengobatan TB MDR pada ibu hamil memberikan dampak maternal yang baik,
sedangkan penundaan atau putusnya pengobatan merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada ibu dan anaknya."
Infeksi TB pada anak dapat bersifat kongenital (bawaan) atau neonatal (diperoleh setelah lahir).
Namun karena sulit dalam mendiagnosis dan dalam menentukan sumber penularan, maka lebih banyak
digunakan istilah TB perinatal, yaitu TB yang diperoleh anak selama kehamilan, persalinan, maupun saat
bayi baru lahir. Sumber infeksi pada janin dapat berasal dari penularan hematogen melalui plasenta yang
kemudian dapat menyebabkan pembentukan kompleks primer pada hepar (granuloma kaseosa hopar),
atau melalui aspirasi/ingesti cairan amnion yang terinfeksi sehingga dapat menimbulkan kompleks
primer pada paru-paru atau saluran pencernaan."
Gejala TB pada neonatus umumnya tidak spesifik dan dapat menyerupai infeksi bakterial atau
kongenital lainnya. Gejala dapat terlihat saat lahir, tetapi lebih sering timbul pada minggu kedua atau
ketiga. Gejala TB kongenital yang paling sering antara lain hepatomegali dan distres pernapasan.
Berbagai gejala lain juga dapat ditemukan seperti demam, distensi abdomen, limfadenopati, sekret
telinga atau hidung, letargi atau iritabilitas, kegagalan pertumbuhan, tidak nafsu makan, hingga kejang.
Tidak ada gejala patognomonik untuk TB kongenital.
Bila didapatkan dugaan adanya TB kongenital maka harus dicari kemungkinan adanya TB pada
maternal. Sebaliknya bayi yang dilahirkan dari ibu yang terdiagnosis TB memiliki risiko tinggi mengalami
TB perinatal. Untuk itu bayi tersebut perlu ditapis terhadap kemungkinan adanya TB kongenital atau
dipantau akan ada tidaknya manifestasi TB aktif selama perkembangannya. Plasenta juga harus
diperiksakan terhadap kemungkinan terinfeksi TB.
Uji tuberkulin pada TB perinatal biasanya tidak memberikan hasil positif hingga 1-3 bulan. atau
bahkan hingga 6 bulan. Demikian juga dengan uji IGRA yang belum terbukti validitasnya pada neonatus
Kebanyakan bayi dengan TB perinatal memperlihatkan gambaran radiografi dada yang tidak normal
seperti adenopati. konsolidasi dengan kavitasi, dan infiltrat parenkim paru yang difus. Hasil apusan atau
kultur yang positif terhadap bakteri tahan asam dapat diperoleh dari bilasan lambung, aspirat
endotrakeal, sekret telinga, cairan serebrospinal atau dari aspirat sumsum tulang. Jika diagnosis TB dapat
ditegakan, OAT hanis segera diberikan untuk mencegah kematian. Pemeriksaan darah, fungsi hati,
kreatinin serum serta pendengaran perlu dilakukan secara berkala."
Sebuah studi melaporkan adanya transmisi TB yang terjadi secara vertikal dari ibu ke anak sebesar
16%, yang didapat pada ibu yang tidak berobat atau putus berobat TB selama kehamilannya. Namun
jumlah ini diperkirakan lebih kecil dari kenyataan yang ada, karena bayi yang lahir mati dan tanpa
konfirmasi diagnosis mikrobiologis tidak diikutsertakan dalam studi tersebut." Faktorrisiko tinggi lain
untuk terjadinya transmisi TB secara vertikal serupa dengan TB. pada umumnya yang meliputi adanya
infeksi HIV dan status sosioekonomi yang rendah." Pengobatan dini TB maternal pada kehamilan
merupakan cara terbaik untuk mencegah TB perinatal Jika bayi lahir tanpa adanya tanda infeksi TB aktif,
dianjurkan diberikan pengobatan profilaksis isoniazid Vaksinasi BCG selanjutnya diberikan setelah terapi
profilaksis selesai, karena INH akan menghambat efikasi vaksinasi BCG tersebut. Vaksinasi BCG tidak
boleh diberikan pada anak yang terinfeksi HIV
Wanita hamil dengan HIV positif memiliki risiko 10 kali lebih tinggi menderita TB aktif dibandingkan
dengan wanita hamil tanpa HIV Data WHO tahun 2014 menunjukkan bahwa pada 12% penderita TB baru
didapatkan positif HIV. Pada wanita hamil dengan HIV postif, adanya infeksi TB akan meningkatkan risiko
transmisi vertikal HIV yaitu hingga 30% (tanpa koinfeksi TB risiko transmisi didapatkan sebesar 12%) serta
meningkatkan risiko kematian ibu dan anak. Infeksi TB dilaporkan sebagai penyebab 6%-10% kematian
maternal pada wilayah dengan prevalensi HIV rendah, dengan peningkatan hingga 15% kematian pada
wilayah dengan prevalensi HIV tinggi." Sesuai rekomendasi WHO, terapi profilaksis isoniazid selama 6
bulan dan inisiasi dini anti retrovirus merupakan pencegahan utama TB pada wanita hamil dengan HIV
positif. Wanita dengan TB dan HIV positif, harus mendapatkan obat antiretrovirus sesegera mungkin,
dengan berapapun jumlah CD4 pasien. Terapi profilaksis isoniazid selama 6-12 bulan aman. bagi ibu
hamil, dan tidak menyebabkan dampak yang buruk.
BACTERIAL. VAGINOSIS
Malaria merupakan penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit Plasmodium dan
disebarkan melalui gigitan nyamuk. Penyakit ini dapat menyerang semua individu tanpa
membedakan umur dan jenis kelamin dan tidak terkecuali wanita hamil. Wanita hamil
termasuk golongan yang rentan untuk terkena malaria sehubungan dengan penurunan
imunitas di masa kehamilan. Malaria pada kehamilan dapat menimbulkan berbagai keadaan
patologi pada ibu hamil dan janin yang dikandungnya. Pada ibu hamil, malaria dapat
mengakibatkan timbulnya demam, anemia, hipoglikemia, udema paru akut, gagal ginjal
bahkan dapat menyebabkan kematian. Pada janin yang dikandung oleh ibu penderita malaria
dapat terjadi abortus, lahir mati, persalinan prematur, berat badan lahir rendah, dan kematian
janin. Keadaan patologi yang ditimbulkan ini sangat tergantung pada status imunitas, jumlah
paritas dan umur ibu hamil.
Orang yang terinfeksi malaria akan menunjukan gejala awal menyerupai penyakit
influenza, bila tidak diobati maka dapat terjadi komplikasi yang berujung pada kematian.
1. Demam
Biasanya sebelum timbul demam, penderita malaria akan mengeluh lesu, sakit kepala,
nyeri pada tulang dan otot, kurang nafsu makan, rasa tidak enak pada perut, diare ringan dan
kadang-kadang merasa dingin dipunggung. Umumnya keluhan seperti ini timbul pada
malaria yang disebabkan oleh P. Vivax dan P. ovale, sedangkan pada malaria yang
disebabkan oleh P.Falciparum dan P.malriae, keluhan-keluhan tersebut tidak jelas.
Serangan demam yang khas pada malaria terdiri dari tiga stadium. Berikut dipaparkan
stadium demam yang khas pada malaria :
• Stadium Menggigil
Dimulai dengan perasaan kedinginan hingga menggigil. Penderita sering membungkus
badannya dengan selimut atau sarung. Pada saat menggigil, seluruh tubuhnya bergetar,
denyut nadinya cepat tetapi lemah, bibir dan jari-jari tangannya biru serta kulitnya pucat.
Pada anak-anak sering disertai dengan kejang - kejang. Stadium ini berlangsung 15 menit
sampai satu jam yang diikuti dengan meningkatnya suhu badan.
• Stadium Berkeringat
Penderita berkeringat banyak diseluruh tubuhnya hingga tempat tidurnya basah. Suhu
badan turun dengan cepat, penderita merasa sangat lelah dan sering tertidur. Setelah bangun
dari tidurnya, penderita akan merasa sehat dan dapat melakukan pekerjaan seperti biasa
padahal sebenarnya penyakit ini masih bersarang dalam tubuh penderita. Stadium ini
berlangsung 2 sampai 4 jam
2. Anemia
Pada penyakit malaria, anemia atau penurunan kadar hemoglobin darah terkadang sampai
dibawah nilai normal. Hal ini karena disebabkan penghancuran sel darah merah yang
berlebihan oleh parasit malaria. Selain itu, anemia timbul akibat gangguan pembentukan sel
darah merah disum - sum tulang.
3. Pembesaran Limpa
Pembesaran organ limpa merupakan gejala yang khas pada penyakit malaria kronis atau
menahun. Organ Limpa mengalami pembengkakan dan terasa nyeri. Pembengkakan pada
organ Limpa diakibatkan karena adanya penyumbatan oleh sel-sel darah merah yang
mengandung parasit malaria.
Penyebab terjadinya malaria pada masa kehamilan parasitaemia, spleen rates, anemia,
demam, malaria serebral, perdarahan yang berujung pada kematian. Dampak pada janin yaitu
abortus (janin gugur), lahir mati, infeksi kongenital dan dampak pada bayi baru lahir adalah
berat badan bayi lahir rendah, lahir prematur, kelainan kongenital/ bawaan, malaria pada bayi
dan kematian.
penularan malaria bisa tertular dari daerah manapun. Berikut ini penyebab malaria,
sekaligus cara penularannya Gigitan nyamuk Seperti yang sudah disebutkan penyakit malaria
ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk, terutama Anopheles betina yang terdapat
parasit.
2.5. Pencegah Malaria Ibu Hamil
Pencegahan Malaria pada Kehamilan Ibu hamil dan bayi lebih rentan terhadap penyakit-
penyakit menular termasuk malaria, tetapi seringkali diabaikan tanpa upaya deteksi dini serta
pencegahan. Berdasarkan estimasi sekitar 125 juta ibu hamil di seluruh dunia berisiko
menderita malaria setiap tahunnya. Malaria dalam masa kehamilan tidak saja berdampak
negatif pada kesehatan ibu, tetapi juga berdampak pada sekitar 200 ribu kematian
bayi.Meskipun dampak serius malaria pada kehamilan telah dideteksi sejak lama. WHO
menyatakan cakupan pencegahan malaria pada ibu hamil masih rendah terutama di sebagian
besar negara-negara endemis malaria.
Cara Pengobatan malaria, maka segera periksakan diri ke dokter. Diagnosis dini dan
pengobatan malaria mengurangi penyakit, mencegah kematian dan berkontribusi untuk
mengurangi penularan.
• Tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test / RDT) dengan antigen malaria
menggunakan sampel darah penderita.
• Tes diagnostik berbasis parasit melalui mikroskop.
Tes diagnostik memungkinkan tenaga medis dapat dengan cepat membedakan antara
demam malaria dan non-malaria sehingga dapat memfasilitasi pengobatan yang tepat,
termasuk terapi kombinasi berbasis artemisinin (ACT).
A. Pengertian Streptokokus
Streptokokus grup B adalah bakteri yang normal ditemukan pada vagina dan rektum.
Normalnya kehadiran SGB tidak menimbulkan penyakit, namun dalam kondisi tertentu SGB
dapat menginvasi tubuh dan dapat menyebabkan terjadinya infeksi serius, terutama pada
neonatal. Persentase insidensi ibu hamil sebagai reservoar SGB adalah 31.58%. Pada ibu
hamil sehat terdeteksi sekitar 22.22% positif SGB, sedangkan pada ibu hamil yang
mengalami komplikasi ditemukan sekitar 54.54% positif SGB. Wanita hamil yang berumur
di atas 30-an sangat rentan terhadap infeksi SGB, hal ini dikarenakan semakin bertambah
umur seorang wanita, maka mekanisme tubuh-pun semakin menurun, sehingga
mengakibatkan tubuh mudah terserang infeksi SGB. Penelitian tentang angka kejadian,
serotipe, hingga metode preventif terhadap infeksi SGB di negara lain sudah sangat maju dan
berkembang. Sementara di Indonesia sendiri, informasi mengenai peran SGB sebagai salah
satu penyebab gangguan bahkan kematian pada neonatal masih sangat terbatas. Informasi
tentang insidensi kasus SGB, baik pad a ibu hamil dengan atau tanpa komplikasi, juga belum
pernah dilaporkan.
Streptokokus Grup B (SGB) merupakan penyebab penting infeksi yang serius pada
neonatus antara lain menyebabkan pneumonia, septikemia dan meningitis neonatal. Infeksi
neonatal SGB menjadi penyebab utama kematian pada bayi baru lahir dan lebih dari 6000
kasus infeksi ini terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. Bakteri ini umumnya diperoleh
bayi melalui transmisi vertikal dari ibunya baik in utero maupun ketika ia melewati jalan
lahir.
Infeksi neonatal SGB dapat terjadi dalam dua bentuk sindroma yaitu infeksi neonatal
dengan onset-dini (early-onset) dan infeksi neonatal dengan onset-lambat (late- onset). Kira-
kira 75% dari kasus infeksi neonatal SGB adalah bentuk early-onset. Hayati dan Karmil
(2009) melaporkan hasil uji patogenisitas SGB pada mencit neonatal bahwa 7 dari 10 isolat
menimbulkan infeksi early-onset rata-rata di atas 60%. Infeksi early- onset biasanya terjadi
pada usia 1 hingga 6 hari, umumnya bayi sudah menderita sakit dalam 24 jam setelah lahir.
Spektrum klinik yang paling sering terjadi adalah pneumonia (35-55% kasus). Pada keadaan
yang lebih berat dapat terjadi sepsis yang disertai dengan kegagalan pernafasan (respiratory
distress), apnea, perfusi yang jelek dan shok. SepSGB dikenal sebagai Streptococcus
agalactiae adalah bakteri penyebab utama terjadinya kelahiran prematur, ketuban pecah dini,
infeksi post partum, pnemonia, maningitis dan sepsis pada neonatus.
D. FAKTOR RISIKO
Setiap individu berisiko mengalami kondisi ini. Kendati demikian, faktor di bawah ini
mampu meningkatkan risikonya:
G. PENATALAKSANAAN
simtomatik tetap menjadi dasarnya. Terminasi kehamilan hanya dilakukan atas indikasi
obstetrik. Aspek yang perlu ditimbangkan ialah tatalaksana terkait dengan kemungkinan
terjadinya transmisi vertikal virus penyebabnya, karena hal ini dapat berpengaruh pada
morbiditas dan mortalitas anak di hari kehamilan. Menurut American College of
Gastroenterology (ACG) dan American Association for the Study of Liver Disease (AASLD)
sangat merekomendasikan inisiasiantivirus pada pasien dengan viremia yang tinggi pada 28-
32 minggu kehamilan untuk mengurangi MTCT.
1.2 Penyebab Hepatitis B
Adapun Penyebab dari penyakit ini yang sering terjadi adalah sebagai berikut :
berganti-ganti pasangan seksual, tindik telinga/lidah/hidung, transfusi, jarum suntik
bekas/tidak steril, cabut gigi, pecandu narkotika, tattoo, hemodialisis, tukar sikat gigi/alat
cukur, dan akupuntur,serta skrinning yang kurang efektif.
1.3 Cara Mendeteksi
prosedur pertama dari tes HbsAg adalah dengan pengambilan sempel darah.dokter
mengunakan jarum kepada orang yang diperiksa untuk mengambil darah dari vena dilengan
atau tangan.darah tersebut akan periksa dilaboratorium untuk melihat apakah ada virus
hepatitis B.
1.4 Cara Menatalaksana
Bagi penderita hepatitis B yang sudah kronis, pilihan pengobatan yang biasa dilakukan
adalah mengonsumsi obat antivirus seperti lamivudin, telbivudin, tenofovir, dan entecavir,
serta suntikan interferon.
Pengobatan hepatitis B tersebut juga membutuhkan kepatuhan dan disiplin dari pasien
untuk kontrol secara rutin ke dokter untuk memantau perkembangan penyakit dan
mengevaluasi pengobatan yang diberikan.
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan kerusakan hati cukup parah, dokter mungkin akan
menganjurkan transplantasi hati.
1.5 Cara penanganan hepatitis B pada ibu hamil
Penanganan untuk hepatitis B akut pada kehamilan adalah sama dengan pada wanita
tidak hamil yaitu cukup istirahat, diet tinggi protein dan karbohidrat. Tetapi bila gejalanya
berat maka jumlah protein harus dibatasi. Sebagian
besar dari mereka tidak memerlukan perawatan di rumah sakit kecuali terjadi muntah
yang hebat, tidak dapat makan atau menunjukkan tanda- tanda kearah hepatitis yang berat
( Soemohardjo.1999, Cohen M.1994)
pengetahuan ibu yang masuk dalam kategori kurang baik belum melakukan pencegahan
dengan baik dan pengetahuan tentang penyakit hepatitis B masih minim. Selain itu faktor
pendorong seperti peran petugas kesehatan setempat belum optimal dalam memberikan
penyuluhan tentang kesehatan kepada warga atau masyarakat sekitar. Sehingga perilaku
masyarakat masih kurang baik.
Jika saat melakukan pemeriksaan dinyatakan positif virus hepatitis B, biasanya ibu akan
diberikan vaksin yang memperkuat sistem imunitas tubuh guna mencegah perkembangan
virus dalam tubuh. Vaksin ini aman diberikan pada ibu hamil dengan janin yang tengah
berkembang. Dalam kasus yang lebih parah, biasanya dokter/tenaga kesehatan akan
memberikan obat antivirus guna mencegah perkembangan virus hepatitis B pada janin.
Hepatitis B yang dialami ibu hamil akan memicu timbulnya komplikasi kesehatan
lainnya, seperti mengidap diabetes gestasional, ketuban pecah sebelum waktunya, memiliki
faktor risiko lebih tinggi mengalami perdarahan saat kehamilan, serta mengidap batu
empedu.
Hepatitis B secara umum dapat disebuhkan dengan cara yang tak rumit. Namun hal ini
akan sangat berbeda bila yang terserang virus Hepatitis B adalah wanita yang sedang hamil.
Segala keputusan tentang memulai, melanjutkan atau menghentikan terapi penyembuhan
Hepatitis B selama kehamilan harus melalui pertimbangan dan analisis resiko dan manfaat
bagi ibu dan janin.
Penanganan pada Ibu hamil :
1) bila hasil pemeriksaan laboratorium untuk konfirmasi reaktif, maka pasien dirujuk ke
rumah sakit yang telah mampu melakukan tatalaksana Hepatitis B dan C
terdekat.
2) penanganan selanjutnya sesuai SOP rumah sakit rujukan 3) pembiayaan secara
mandiri, atau menggunakan BPJS atau asuransi lainnya.
4) hasil pemeriksaan, penanganan dan rekomendasi tim ahli di rumah sakit rujukan
dikirim ke puskesmas yang
merujuk untuk umpan balik (feedback).
5) bila hasil deteksi dini hepatitis B di puskesmas non- reaktif, maka ibu hamil tersebut
dianjurkan pemeriksaan
Kondisi tersebut seperti preeklampsia dan perdarahan saat persalinan. Namun, risiko
tersebut umumnya terjadi pada kasus hepatitis C yang sudh sangat parah hingga
menyebabkan sirosis (gagal hati).
Jadi, tidak semua Moms mengalami hal ini meski terkena hepatitis saat hamil.
2.2 Penyebab Hepatitis C
• Menggunakan jarum suntik bekas pakai penderita
• Mendapatkan transfusi darah atau transplantasi organ dari penderita • Menjalani
prosedur medis dengan peralatan yang tidak steril
• Berbagi peralatan dengan penderita, seperti alat cukur atau sikat gigi • Berhubungan
seks tanpa kondom dengan penderita
Selain faktor penyebab tersebut, penularan hepatitis C lebih mudah terjadi jika memiliki
faktor risiko berikut ini:
• Terlahir dari ibu penderita hepatitis C
• Memiliki infeksi HIV
• Memiliki pasangan seksual yang menderita hepatitis C
• Melakukan cuci darah atau hemodialisis bagi penderita gagal ginjal • Menyalahgunakan
narkoba suntik
• Pernah menderita penyakit menular seksual
Meski tampak mudah menular, perlu diingat bahwa virus hepatitis C tidak akan menular
melalui air susu ibu (ASI), makanan, minuman, maupun sentuhan, seperti bersalaman,
berpelukan, atau berciuman dengan pengidapnya.
2.3 Cara Mendeteksi Hepatitis C
Penatalaksanaan hepatitis C yang utama adalah terapi antivirus dengan direct- acting
antivirals (DAAs), seperti sofosbuvir. DAAs umumnya digunakan dalam regimen kombinasi
dengan DAAs lain untuk meningkatkan efikasinya.
Sebelum ditemukannya all-oral DAAs, hepatitis C diterapi dengan injeksi pegylated
interferon dan ribavirin, namun terapi tersebut hanya memiliki angka kesembuhan 40-60%
serta banyak menimbulkan efek samping seperti neutropenia, trombositopenia, anemia berat,
dan efek neurokognitif. Dengan DAAs, angka kesembuhan meningkat sampai 90-97%, efek
samping lebih ringan, durasi terapi lebih singkat, serta menurunkan penggunaan obat injeksi.
Target terapi hepatitis C adalah mencapai eradikasi HCV berkelanjutan yang ditandai
dengan tidak adanya HCV RNA dalam serum 12 minggu setelah terapi antivirus, serta
mencegah progresi ke arah sirosis, hepatocellular carcinoma (HCC), dan penyakit hati
dekompensata yang membutuhkah transplantasi hati.
Terapi Antivirus Hepatitis C
Terapi antivirus diberikan berdasarkan kasus (case-by-case). Hal-hal yang perlu
dipertimbangkan sebelum memulai terapi DAAs antara lain genotipe virus, status sirosis
pasien, koinfeksi virus lain seperti HIV atau hepatitis B, serta usia dan status kehamilan
pasien.
Peresepan DAAs merupakan kompetensi spesialis penyakit dalam, spesialis penyakit
dalam konsultan gastroenterohepatologi, dan spesialis anak konsultan
gastroenterohepatologi.
2.5 Cara Penanganan Hepatitis C Pada Ibu Hamil
Saat ini pengobatan Hepatitis C dilakukan dengan pemberian obat seperti Interferon alfa,
Pegylated interferon alfa dan Ribavirin. Adapun tujuan pengobatan dari Hepatitis C adalah
menghilangkan virus dari tubuh anda sedini mungkin untuk mencegah perkembangan yang
memburuk dan stadium akhir penyakit hati. Pengobatan pada penderita Hepatitis C
memerlukan waktu yang cukup lama bahkan pada penderita tertentu hal ini tidak dapat
menolong, untuk itu perlu penanganan pada stadium awalnya.
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Dasa, T., et al. (2021). Toxoplasmosis Infection Among Pregnant Women in Africa: A Systematic
Review and Meta-Analysis. PLOS One, 16(7), pp. e0254209.
Chung, M., et al. (2018). TORCH (Toxoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, and Herpes Simplex
Virus) Screening of Small for Gestational Age and Intrauterine Growth Restricted Neonates: Efficacy
Study in A Single Institute in Korea. Korean Journal of Pediatrics, 61(4), pp. 114–120.
Centers for Disease Control and Prevention (2018). Parasites - Toxoplasmosis (Toxoplasma Infection).
hhttps://www.academia.edu/23690832/Kehamilan_rubella
ttps://www.alodokter.com/kenali-dampak-dan-cara-mencegah-rubella-saat-hamil
https://www.docdoc.com/id/info/condition/rubella-german-measles
https://vivahealth.co.id/article/detail/12298/apakah-bahaya-campak-jerman-pada- kehamilan?
https://www.halodoc.com/kesehatan/rubella
https://www.halodoc.com/artikel/ini-bahaya-yang-terjadi-bila-ibu-hamil- terinfeksi-rubella
https://www.halodoc.com/artikel/cara-mengobati-rubella-pada-ibu-hami