Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

“Hadist Arba'in 13 & 14”

Disusun oleh :

kelompok F

Hafshah Nur Attariq (M19010009)

Ngaisah eka raditya (M19010021)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MADANI YOGYAKARTA

BANTUL

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah ‫ سبحانه و تعالى‬, karena berkat rahmat dan
karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan dibuat sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan. Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata
kuliah kegawatdaruratan tentang “ Hadist Arba'in 13 & 14”

Tidak lupa kami memohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam pembuatan
makalah ini, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Kami mengucapkan terima kasih
kepada dosen pengajar sebagai pendukung dalam pembuatan makalah ini.
Mengingat pengetahuan dan wawasan kami dalam pembuatan makalah ini masih
kurang dari kata sempurna, maka kami mengharapkan adanya masukan dari berbagai pihak.
Demikian makalah tentang “Hadist Arba'in 13 & 14” ini, semoga dapat memberikan
manfaat. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Yogyakarta, 11 november 2022


BAB I

PENDAHULUAN

A. Hadist ke 13

‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم – ع َِن‬ ُ‫صلَّى هللا‬


َ ِ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ – َخا ِد ِم َرس ُْو ِل هللا‬ ٍ َ‫َع ْن َأبِي َح ْم َزةَ َأن‬
ِ ‫س ب ِْن َمالِ ٍك َر‬
ِ َ‫ ” الَ يُْؤ ِمنُ َأ َح ُد ُك ْم َحتَّى يُ ِحبَّ َأِل ِخ ْي ِه َما يُ ِحبُّ لِنَ ْف ِس ِه ” َر َواهُ البُخ‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل‬
‫اريُّ َو ُم ْسلِ ٌم‬ َ ‫النَّبِ ِّي‬
Dari Abu Hamzah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, pembantu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salah seorang di
antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai saudaranya
sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
[HR. Bukhari, no. 13 dan Muslim, no. 45]

Hadits di atas semakna dengan hadits dari Abdullah bin ‘Amr bin
Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam  bersabda,

‫ْؤ تَى‬t ُ‫اس الَّ ِذى يُ ِحبُّ َأ ْن ي‬ ِ ‫اآلخ ِر َو ْليَْأ‬


ِ َّ‫ت ِإلَى الن‬ ِ ‫ار َويَ ْد ُخ َل ْال َجنَّةَ فَ ْلتَْأتِ ِه َمنِيَّتُهُ َوهُ َو يُْؤ ِمنُ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم‬
ِ َّ‫فَ َم ْن َأ َحبَّ َأ ْن يُ َزحْ َز َح َع ِن الن‬
‫ِإلَ ْي ِه‬
“Barangsiapa ingin dijauhkan dari neraka dan masuk ke dalam surga, hendaknya ketika ia
mati dalam keadaan beriman kepada Allah, dan hendaknya ia berperilaku kepada orang lain
sebagaimana ia senang diperlakukan oleh orang lain.”  (HR. Muslim, no. 1844).

Mencintai bisa jadi berkaitan dengan urusan diin (agama), bisa jadi berkaitan dengan
urusan dunia. Rinciannya sebagai berikut.
1. Sangat suka jika dirinya mendapatkan kenikmatan dalam hal agama, maka
wajib baginya mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.
Jika seseorang suka melakukan perkara wajib ataukah sunnah, maka ia
suka saudaranya pun bisa melakukan semisal itu. Begitu pula dalam hal
meninggalkan yang haram. Jika ia suka dirinya meninggalkan yang haram,
maka ia suka pada saudaranya demikian. Jika ia tidak menyukai saudaranya
seperti itu, maka ternafikan kesempurnaan iman yang wajib. Termasuk dalam
hal pertama ini adalah suka saudaranya mendapatkan hidayah, memahami
akidah, dijauhkan dari kebid’ahan,
2. Sangat suka jika dirinya memperoleh dunia, maka ia suka saudaranya
mendapatkan hal itu pula. Namun untuk kecintaan kedua ini dihukumi sunnah.
Misalnya, suka jika saudaranya diberi keluasan rezeki sebagaimana ia pun suka
dirinya demikian, maka dihukumi sunnah. Begitu juga suka saudaranya
mendapatkan harta, kedudukan, dan kenikmatan dunia lainnya, hal seperti ini
dihukumisunnah.

Cinta pada Muslim Sesuai Kadar Iman


 
Kita diperintahkan untuk mencintai sesama muslim. Allah Ta’ala  berfirman,

‫ْال ُم ْن َك ِر‬ ‫ُوف َويَ ْنهَ ْو َن َع ِن‬ َ ‫ْض يَْأ ُمر‬


ِ ‫ُون بِ ْال َم ْعر‬ ٍ ‫ضهُ ْم َأ ْولِيَا ُء بَع‬ ُ َ‫ون َو ْال ُمْؤ ِمن‬
ُ ‫ات بَ ْع‬ َ ُ‫َو ْال ُمْؤ ِمن‬
َ ‫ِإ َّن هَّللا‬ ُ ‫ك َسيَرْ َح ُمهُ ُم هَّللا‬َ ‫ُون هَّللا َ َو َرسُولَهُ ُأولَِئ‬
َ ‫ون ال َّز َكاةَ َوي ُِطيع‬ َ ُ‫صاَل ةَ َويُْؤ ت‬ َّ ‫ون ال‬ َ ‫َويُقِي ُم‬
‫َع ِزي ٌز َح ِكي ٌم‬
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong
bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang
munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu
akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-
Taubah: 71).

 Ibnu Rajab Al-Hambali berkata mengenai hadits di atas, “Di antara tanda iman yang
wajib adalah seseorang mencintai saudaranya yang beriman lebih sebagaimana ia
mencintai dirinya sendiri. Ia pun tidak ingin sesuatu ada pada saudaranya sebagaimana
ia tidak suka hal itu ada padanya. Jika cinta semacam ini lepas, maka berkuranglah
imannya.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:305).
Sikap yang dilakukan oleh seorang muslim ketika melihat saudaranya yang
melakukan kesalahan adalah menasihatinya. Ibnu Rajab Al-Hambali berkata, “Jika
seseorang melihat pada saudaranya kekurangan dalam agama, maka ia berusaha
untuk menasihatinya (membuat saudaranya jadi baik).” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam,
1:308).
 Adapun jika muslim tersebut pelaku dosa besar seperti pemakan riba (rentenir) dan
suka mengghibah (menggunjing), maka orang tersebut dicintai sekadar dengan
ketaatan yang ada padanya dan dibenci karena maksiat yang ia terus lakukan.
Ibnu Taimiyah rahimahullah  berkata, “Jika ada dalam diri seseorang kebaikan
dan kejelekan, dosa dan ketaatan, maksiat, sunnah dan bid’ah, maka kecintaan
padanya tergantung pada kebaikan yang ia miliki. Ia pantas untuk dibenci karena
kejelekan yang ada padanya. Bisa jadi ada dalam diri seseorang kemuliaan dan
kehinaan, bersatu di dalamnya seperti itu. Contohnya, ada pencuri yang miskin. Ia
berhak dihukumi potong tangan. Di samping itu ia juga berhak mendapat harta dari
Baitul Mal untuk memenuhi kebutuhannya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28:209).

Faedah Hadist

1. Seorang mu’min dengan mu’min yang lainnya bagaikan satu jiwa, jika
dia mencintai saudaranya maka seakan-akan dia mencintai dirinya
sendiri.
2. Menjauhkan perbuatan hasad (dengki) dan bahwa hal tersebut
bertentangan dengan kesempurnaan iman.
3. Iman dapat bertambah dan berkurang, bertambah dengan ketaatan dan
berkurang dengan kemaksiatan.

Sedangkan pengertian hasad menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yaitu,

‫ْال َح َس َد هُ َو ْالبُ ْغضُ َو ْال َك َراهَةُ لِ َما يَ َراهُ ِم ْن ُحس ِْن َحا ِل ْال َمحْ سُو ِد‬
“Hasad adalah membenci dan tidak suka terhadap keadaan baik yang ada pada orang yang
dihasad.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:111).

Tingkatan Hasad
 
1- Berkeinginan nikmat yang ada pada orang lain hilang meski tidak berpindah padanya.
Orang yang hasad lebih punya keinginan besar nikmat orang lain itu hilang, bukan
bermaksud nikmat tersebut berpindah padanya.
2- Berkeinginan nikmat yang ada pada orang lain hilang lalu berkeinginan nikmat tersebut
berpindah padanya. Misalnya, ada wanita cantik yang sudah menjadi istri orang lain, ia punya
hasad seandainya suaminya mati atau ia ditalak, lalu ingin menikahinya. Atau bisa jadi pula
ada yang punya kekuasaan atau pemerintahan yang besar, ia sangat berharap seandainya raja
atau penguasa tersebut mati saja biar kekuasaan tersebut berpindah padanya.
Tingkatan hasad kedua ini sama haramnya namun lebih ringan dari yang pertama.
3- Tidak punya maksud pada nikmat orang lain, namun ia ingin orang lain tetap dalam
keadaannya yang miskin dan bodoh. Hasad seperti ini membuat seseorang akan mudah
merendahkan dan meremehkan orang lain.
4- Tidak menginginkan nikmat orang lain hilang, namun ia ingin orang lain tetap sama
dengannya. Jika keadaan orang lain lebih dari dirinya, barulah ia hasad dengan menginginkan
nikmat orang lain hilang sehingga tetap sama dengannya. Yang tercela adalah keadaan kedua
ketika menginginkan nikmat saudaranya itu hilang.
5- Menginginkan sama dengan orang lain tanpa menginginkan nikmat orang lain hilang.
Inilah yang disebut dengan ghibthoh sebagaimana terdapat dalam hadits berikut.

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi


wa sallam  bersabda,

ِّ ‫الَ َح َس َد ِإالَّ فِى ْاثنَتَي ِْن َر ُج ٌل آتَاهُ هَّللا ُ َماالً فَ ُسلِّطَ َعلَى هَلَ َكتِ ِه فِى ْال َح‬
ُ ‫ َو َر ُج ٌل آتَاهُ هَّللا‬، ‫ق‬
ِ ‫ فَ ْه َو يَ ْق‬، َ‫ْال ِح ْك َمة‬
‫ضى بِهَا َويُ َعلِّ ُمهَا‬
“Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya
harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al Qur’an dan As
Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari, no. 73 dan Muslim, no. 816)
Inilah maksud berlomba-lomba dalam kebaikan seperti dalam ayat,

َ ‫س ْال ُمتَنَافِس‬
‫ُون‬ ِ َ‫ك فَ ْليَتَنَاف‬
َ ِ‫َوفِي َذل‬
“Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (QS. Al-Muthaffifin: 26)

Hasad akan menolak nikmat dari Allah.

 Hal yang dapat menghindari hasad:


1. Melihat orang lain dari keta'atan Allah (karena dimata Allah semua manusia itu
sama)
2. Meyakini bahwa semua nikmat datangnya dari Allah dan Allah bagikan secara adil
3. Memfisualisasikan Akhirat (Syurga)
B. Hadist ke 14

‫ْث الرَّابِ ُع َع َش َر‬ ُ ‫ل َح ِدي‬


‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم الَ يَ ِحلُّ َد ُّم‬ َ ِ‫ قَا َل َرس ُْو ُل هللا‬:‫ض َي هللاُ َع ْنهُ قَا َل‬ ِ ‫َع ِن اب ِْن َم ْسع ُْو ٍد َر‬
ُ ‫ار‬
‫ق‬ ِ َ‫ك لِ ِد ْينِ ِه ال ُمف‬ ِ َّ‫ َوالت‬،‫س‬
ُ ‫ار‬ ِ ‫ َوالنَّ ْفسُ بِالنَّ ْف‬،‫ الثَّيِّبُ ال َّزانِي‬:‫ث‬ ٍ َ‫ا ْم ِرٍئ ُم ْسلِ ٍم ِإالَّ بِِإحْ َدى ثَال‬
‫لِ ْل َج َما َع ِة‬
.‫اريُّ َو ُم ْسلِ ٌم‬ِ ‫َر َواهُ البُ َخ‬
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
‘Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga sebab: (1) orang yang telah
menikah yang berzina, (2) jiwa dengan jiwa (membunuh), (3) orang yang meninggalkan agamanya
(murtad), lagi memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin.” (HR. Bukhari dan Muslim)  (HR. Bukhari
dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 6878 dan Muslim, no. 1676]

Hadits ini menunjukkan bahwa asalnya darah seorang muslim yang bertauhid itu terjaga
(haram) ditumpahkan ketika ia bersyahadat laa ilaha illallah dan Muhammad adalah utusan Allah,
mengerjakan shalat, dan menunaikan zakat sebagaimana disebutkan dalam hadits nomor delapan
sebelumnya dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Dan menumpahkan darah seorang muslim adalah
haram dan termasuk dosa besar.

Haramnya darah seorang muslim disebutkan pula dalam hadits lainnya,

َ ‫فَِإ َّن ِد َما َء ُك ْم َوَأ ْم َوالَ ُك ْم َوَأ ْع َرا‬


‫ فِ ْي َشه ِْر ُك ْم‬،‫ض ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم َح َرا ٌم َعلَ ْي ُك ْم َكحُرْ َم ِة يَ ْو ِم ُك ْم هَ َذا‬
‫ فِ ْي بَلَ ِد ُك ْم هَ َذا‬،‫هَ َذا‬
“Sesungguhnya darah kalian, harta benda kalian, kehormatan kalian, haram atas kalian seperti
terlarangnya di hari ini, bulan ini dan negeri ini.” (HR. Bukhari, no. 67, 105, 1741 dan Muslim, no. 30,
dari sahabat Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu)
Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

ِ ‫قَ ْت ُل ْال ُمْؤ ِم ِن َأ ْعظَ ُم ِع ْن َد هللاِ ِم ْن َز َو‬


.‫ال ال ُّد ْنيَا‬
“Dosa membunuh seorang mukmin lebih besar daripada hancurnya dunia.” (HR. An-Nasa’i, 7?83.
Dikatakan shahiholeh Syaikh Al-Albani dalam Ghayah Al-Maram fii Takhrij Ahadits Al-Halal wa Al-
Haram, no. 439)
Faedah Hadits
 
Pertama: Terhormatnya darah seorang muslim.
Kedua: Halalnya darah seorang muslim karena tiga sebab sebagaimana disebutkan dalam hadits ini:

 Yang sudah menikah lantas berzina dihukumi rajam sampai mati.


 Jika seorang muslim membunuh muslim lainnya dan telah terpenuhi syarat qishash.
 Murtad keluar dari Islam.
Ketiga: Para ulama berselisih pendapat mengenai hukuman bagi pezina yang sudah menikah apakah
dihukum dengan cambuk terlebih dahulu lalu rajam ataukah rajam saja. Kebanyakan ulama memilih
hanya dikenakan hukuman rajam saja.
Keempat: Ats-tsayyib az-zaani  dikenakan hukuman rajam jika terbukti dengan empat orang saksi
atau ia mengakuinya sendiri.
Kelima: hadist diatas menunjukan pentingnya menjaga kehormatan dan kesucian.

Kisah Wanita Juhainah dan Ma’iz yang Menjalani


Hukuman Rajam
 
Dari Abu Nujaid ‘Imran bin Al-Hushain Al-Khuza’i, ia berkata,
‫ت يَا‬ ْ َ‫الزنَى فَقَال‬ ِّ ‫ َو ِه َى ُح ْبلَى ِم َن‬- ‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ى هَّللا‬ َّ ِ‫ت نَب‬ْ َ‫َأ َّن ا ْم َرَأةً ِم ْن ُجهَ ْينَةَ َأت‬
‫ َولِيَّهَا فَقَا َل « َأحْ ِس ْن‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ى فَ َد َعا نَبِ ُّى هَّللا‬ َّ َ‫ْت َح ًّدا فََأقِ ْمهُ َعل‬ َ ‫ى هَّللا ِ َأ‬
ُ ‫صب‬ َّ ِ‫نَب‬
‫ت‬ ْ ‫فَ ُش َّك‬- ‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ فَفَ َع َل فََأ َم َر ِبهَا نَبِ ُّى هَّللا‬.» ‫ت فَاْئتِنِى بِهَا‬ ْ ‫ض َع‬ َ ‫ِإلَ ْيهَا فَِإ َذا َو‬
ِ ‫ى هَّللا‬
َّ ِ‫صلِّى َعلَ ْيهَا يَا نَب‬ َ ُ‫صلَّى َعلَ ْيهَا فَقَا َل لَهُ ُع َم ُر ت‬ َ ‫ت ثُ َّم‬ ْ ‫ُج َم‬ ِ ‫َعلَ ْيهَا ثِيَابُهَا ثُ َّم َأ َم َر بِهَا فَر‬
ْ‫ين ِم ْن َأ ْه ِل ْال َم ِدينَ ِة لَ َو ِس َع ْتهُ ْم َوهَل‬ ْ ‫ت تَ ْوبَةً لَ ْو قُ ِس َم‬
َ ‫ت بَي َْن َس ْب ِع‬ ْ َ‫ت فَقَا َل « لَقَ ْد تَاب‬ ْ َ‫َوقَ ْد َزن‬
»‫ت بِنَ ْف ِسهَا هَّلِل ِ تَ َعالَى‬ْ ‫ض َل ِم ْن َأ ْن َجا َد‬َ ‫ت تَ ْوبَةً َأ ْف‬ َ ‫َو َج ْد‬
“Ada seorang wanita dari Bani Juhainah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam  sedangkan ia dalam keadaan hamil karena zina. Wanita ini lalu berkata kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya Rasulullah, aku telah melakukan sesuatu yang
perbuatan tersebut layak mendapatkan hukuman rajam. Laksanakanlah hukuman hadd atas
diriku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas memanggil wali wanita tersebut, lalu beliau
berkata pada walinya, “Berbuat baiklah pada wanita ini dan apabila ia telah melahirkan
(kandungannya), maka datanglah padaku (dengan membawa dirinya).” Wanita tersebut pun
menjalani apa yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu,
beliau meminta wanita tersebut dipanggil, lalu diikat pakaiannya dengan erat (agar tidak
terbuka auratnya ketika menjalani hukuman rajam, Kemudian saat itu diperintah untuk
dilaksanakan hukuman rajam. Wanita itu pun meninggal dunia, lantas beliau pun
menyolatkannya. Ketika itu ‘Umar berkomentar pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Engkau menyolatkan dirinya, wahai Nabi Allah, padahal dia telah berbuat zina?” Beliau
bersabda, “Wanita ini telah bertaubat dengan taubat yang seandainya taubatnya tersebut
dibagi kepada 70 orang dari penduduk Madinah maka itu bisa mencukupi mereka. Apakah
engkau dapati taubat yang lebih baik dari seseorang mengorbankan jiwanya karena
Allah Ta’ala?” (HR. Muslim, no. 1696).

 Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan hak Islam. Di antara hak-hak Islam
adalah tiga perkara yang disebutan di dalam hadits ini.

1. Berzina dalam keadaan sudah pernah menikah.


Jika seseorang berzina sementara dia sudah pernah menikah (muhshan), maka
hukumannya adalah dirajam hingga mati. Wajib bagi pemerintah (waliyyul
amr) untuk menegakkan hukuman ini. Dan wewenang untuk menegakkan
hukuman ini hanya dimiliki oleh pemerintahan yang sah. Tidak boleh bagi
umat Islam untuk main hakim sendiri. Sedangkan jika yang berzina adalah
seorang lajang (belum menikah), maka hukumannya adalah dihukum cambuk
100 kali.
2. Membunuh sesama muslim dengan sengaja dan dengan alat yang mematikan.
Dalam hal ini, berlaku hukum qishash. Jiwa dibalas dengan jiwa. Namun jika
ahli waris memaafkan pelaku pembunuhan, hukum qishash bisa diganti dengan
membayar diyat. Adapun jika secara tidak sengaja membunuh orang lain, maka
tidak berlaku hukum qishash.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman ;

َ ‫َو َكتَ ْبنَا َعلَ ْي ِه ْم فِيهَا َأ َّن النَّ ْف‬


ِ ‫س بِالنَّ ْف‬
‫س‬
“Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan
nyawa, …” QS. Al Maidah [5] : 45

Hukum qishash pada asalnya adalah hukum yang Allah Subhanahu wa


Ta’ala syariatkan pada masa Nabi Musa ‘alaihissalam dan dikuatkan lagi oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala pada zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Wewenang untuk menegakkan hukuman ini juga hanya dimiliki oleh pemerintahan
yang sah. Tidak boleh bagi umat Islam untuk main hakim sendiri.

3. Meninggalkan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala (agama Islam) dan berlepas


diri dari jama’ah umat Islam (murtad).

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda ;

ُ‫َم ْن بَ َّد َل ِد ْينَهُ فَا ْقتُلُوْ ه‬


“Barangsiapa menukar agamanya, maka bunuhlah ia.” HR. Bukhari, Ahmad, Abu Dawud,
dan lainnya
DAFTAR PUSTAKA

https://rumaysho.com/18775-hadits-arbain-13-mencintainya-seperti-mencintai-diri-
sendiri.html

 Fiqh Al-Hasad. Cetakan pertama, tahun 1415 H. Syaikh Musthafa Al-Adawi. Penerbit
Darus Sunnah.
 Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H. Ibnu Rajab Al-
Hambali. Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan Ibrahim Bajis. Penerbit Muassasah Ar-
Risalah.
 Majmu’ah Al-Fatawa. Cetakan keempat, Tahun 1432 H. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Penerbit Darul Wafa’ dan Ibnu Hazm.
 Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Tsuraya.
Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh Shalih bin ‘Abdul
‘Aziz bin Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh. Penerbit Darul ‘Ashimah.

https://rumaysho.com/18954-hadits-arbain-14-tidak-halal-darah-seorang-muslim.html
https://www.ngaji.id/hadits-arbain-ke-14-tidak-halalnya-darah-seorang-muslim/

Anda mungkin juga menyukai