Anda di halaman 1dari 20

Hubungan Air Dan Tanah Dengan Tanaman Kedelai (Glycine max [L.

] Merill

Nama : Atika Indriani

Nim : D1A021001

Kelas : A

Prodi : Agroekoteknologi

Dosen Pengampu :

Dr. Ir. Aryunis, M.P

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS JAMABI

2022

1
Keragaman Spasial Kesuburan Tanah Dan Hubungannya Dengan Potensi Fisiologis
Benih Di Suatu Areal Produksi Kedelai

ABSTRAK – Korelasi kesuburan tanah dan potensi fisiologis benih sangat penting dalam
bidang teknologi benih tetapi hasil yang dipublikasikan dengan tema tersebut bertentangan.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hubungan antara sifat kimia tanah
dengan potensi fisiologis benih kedelai. Pada titik-titik georeferensi, baik tanah dan benih
diambil sampelnya untuk analisis kesuburan tanah dan potensi fisiologis benih. Data dinilai
dengan analisis berikut: statistik deskriptif; korelasi linier Pearson; dan geostatistik. Parameter
semivariogram yang disesuaikan digunakan untuk menghasilkan peta distribusi spasial untuk
setiap variabel. Kandungan bahan organik, Mn dan Cu berpengaruh nyata terhadap
perkecambahan biji. Sebagian besar variabel yang diteliti menunjukkan ketergantungan spasial
sedang hingga tinggi. Perkecambahan dan percepatan penuaan benih, dan P, Ca, Mg, Mn, Cu
dan Zn menunjukkan kecocokan yang lebih baik pada semivariogram sferis: bahan organik,
pH dan K memiliki kecocokan yang lebih baik dengan model Gaussian; dan V% dan Fe
menunjukkan kecocokan yang lebih baik dengan model linier. Nilai rentang ketergantungan
spasial bervariasi dari 89,9 m untuk P sampai 651,4 m untuk Fe. Nilai-nilai ini harus
dipertimbangkan ketika sampel baru dikumpulkan untuk menilai kesuburan tanah di area
produksi ini.

2
Pendahuluan

Pertanian presisi adalah sistem manajemen atau pengelolaan produksi pertanian yang terdiri
dari teknologi dan prosedur yang digunakan untuk perbaikan lahan tanaman dan sistem
produksi. Hal ini bertujuan untuk menggunakan sumber daya produksi yang efisien,
meminimalkan efek yang tidak diinginkan terhadap lingkungan dan untuk meningkatkan
produktivitas, memiliki elemen kunci pengelolaan variabilitas spasial produksi dan faktor-
faktor terkait. Variabilitas produktivitas pada tanaman tertentu dapat melekat pada tanah atau
iklim atau disebabkan oleh manajemen tanaman yang berinteraksi dengan genotipe tanaman.
Di antara perubahan sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang disebabkan oleh praktik
pengelolaan adalah: pemadatan tanah oleh lalu lintas mesin pertanian; keragaman tegakan
tanaman di lapangan; dan kandungan unsur hara dalam tanah, akibat distribusi benih, pupuk,
atau korektif yang tidak seragam (Runge dan Hons, 1998; Plant et al., 1999).

Berbagai penelitian telah dilakukan dengan tujuan untuk membangun korelasi antara
produktivitas tanaman dan sifat fisikokimia atau karakteristik relief tanah serta variabel
lainnya, sehingga menetapkan faktor pengaruh utama (Khakural et al., 1999; Kravchenko dan
Bullock, 2000). Selain itu, ada faktor lain yang menyebabkan variabilitas dan yang
memerlukan studi lebih lanjut berdasarkan kemungkinan pemilahan produk ke dalam kelas
kualitas yang berbeda dan yang membawa keuntungan ekonomis untuk pasar yang menuntut
dalam kaitannya dengan kualitas produk (McBratney et al., 2006) . Kriteria kualitas sangat
penting untuk tanaman bernilai ekonomis tinggi. Dalam konteks ini, area produksi benih
melibatkan kebutuhan sistem yang dioptimalkan dan sangat produktif serta produk berkualitas
tinggi. Untuk mencapai tujuan ini, tanah yang subur secara alami lebih disukai. Namun,
ketersediaan lahan dengan karakteristik seperti itu tidak selalu terjadi, sehingga kebutuhan
pemanfaatan tanah bervariasi dari median hingga kesuburan rendah (Carvalho dan Nakagawa,
2000)

Menurut Delouche (1980), untuk mendapatkan benih yang berkualitas tinggi, pemupukan
mineral yang cukup sangat diperlukan Tanaman yang ternutrisi dengan baik memberikan
kondisi yang lebih baik untuk menghasilkan benih dengan kuantitas dan kualitas yang baik,
sehingga memberikan nutrisi untuk pembentukan sumbu embrio dan organ penyimpanan,
akibatnya mempengaruhi kapasitas benih untuk menghasilkan bibit normal. Namun, hanya
beberapa penelitian yang telah dilakukan yang menghubungkan pemupukan dan nutrisi
tanaman dengan potensi fisiologis benih dan, selain itu, hasil langka yang dilaporkan tidak

3
selalu bulat (Carvalho dan Nakagawa, 2000). Crusciol dkk. (2003) mengamati segera setelah
panen bahwa penerapan dosis N yang berbeda tidak memberikan hasil yang konsisten pada
kualitas fisiologis benih, dan melaporkan bahwa tidak ada pengaruh pemupukan nitrogen pada
perkecambahan dan kekuatan kacang biasa (Phaseolus vulgaris L.) biji. Sebaliknya, Farinelli
et al. (2006) mengamati bahwa pemupukan dengan nitrogen pada kacangkacangan biasa
menunjukkan peningkatan fungsi, memberikan peningkatan linier pada perkecambahan biji
ketika dosis N ditingkatkan. Oleh karena itu, variabilitas spasial kesuburan tanah di daerah
produksi benih dan kemungkinan korelasinya dengan kualitas benih ini perlu mendapat
perhatian khusus. Dalam penelitian ini, korelasi antara atribut kimia tanah dan potensi
fisiologis benih kedelai dinilai melalui teknik spasial serta variabilitas spasial atribut tersebut
melalui teknik geostatistik.

4
Hasil

Dibandingkan dengan batas yang ditetapkan untuk tingkat kesuburan tanah untuk
tanaman kedelai di Negara Bagian São Paulo (Raij et al., 1996), nilai rata-rata atribut kimia
adalah rendah untuk K dan MO dan sedang untuk pH dan V% (Tabel 1) . Rata-rata kandungan
mikronutrien sedang untuk B, Fe, Mn, dan cukup untuk Cu dan Zn. Secara umum, meskipun
rata-rata untuk nilai atribut tetap dalam kisaran rata-rata kesuburan, nilai memiliki amplitudo
yang besar di dalam wilayah yang diteliti, dengan titik-titik dengan tingkat kesuburan yang
rendah. Untuk Corá et al. (2004) amplitudo nilai yang besar menunjukkan masalah yang dapat
terjadi ketika nilai ratarata atribut digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan untuk
melakukan pengelolaan kimia tanah, yaitu,

Melalui klasifikasi CV yang dikemukakan oleh Wilding e Drees (1983), diketahui


bahwa pH, Ca, dan V% memiliki variabilitas yang rendah, yaitu CV < 15%; Mn menyajikan
variabilitas tinggi (CV = 82,42%); dan atribut yang tersisa diurutkan sebagai variabilitas
sedang (15% < CV < 35%). Bertentangan dengan apa yang telah diamati dalam penelitian ini,
beberapa penulis telah melaporkan bahwa kandungan K yang tersedia untuk tanaman
memberikan nilai tinggi untuk CV, sedangkan nilai untuk P tersedia biasanya tinggi, tetap
dalam kisaran 40% hingga 80%. (Johnson et al., 2002; Silva et al., 2007; Ward dan Cox, 2000).
Hasil gabah dan potensi fisiologis benih disajikan CV rendah, apa yang sesuai dengan apa yang
diamati oleh penulis lain, yang diperoleh di beberapa tempat, dosis pupuk atau korektif yang
direkomendasikan akan diremehkan; di tempat lain akan memadai; namun di tempat lain,
aplikasi pupuk atau korektif yang diberikan secara berlebihan dapat terjadi. Keadaan tersebut
mengakibatkan kerugian ekonomi baik karena aplikasi yang tidak perlu atau sebagai akibat
dari ketidakseimbangan antara jumlah nutrisi yang akan tersedia untuk tanaman Nilai CV
bervariasi dari 8% hingga 29% (Pierce et al., 1995; Ping e Green, 2000). Meskipun nilai CV
dari rendah hingga sedang telah terjadi, parameter ini sendiri bukanlah indikator yang sesuai
untuk variabilitas spasial atribut tanah, setelah beberapa titik dapat terjadi di lapangan dengan
nilai yang sangat tinggi atau rendah (Wollenhaupt et al., 1997). Fe, Mn, dan cukup untuk Cu
dan Zn. Secara umum, meskipun rata-rata untuk nilai atribut tetap dalam kisaran rata-rata
kesuburan, nilai memiliki amplitudo yang besar di dalam wilayah yang diteliti, dengan titik-
titik dengan tingkat kesuburan yang rendah. Untuk Corá et al. (2004) amplitudo nilai yang
besar menunjukkan masalah yang dapat terjadi ketika nilai ratarata atribut digunakan sebagai
dasar pengambilan keputusan untuk melakukan pengelolaan kimia tanah, yaitu, Analisis
korelasi linier Pearson telah menunjukkan bahwa korelasi yang rendah antara atribut kimia

5
tanah di beberapa tempat, dosis pupuk atau korektif yang direkomendasikan akan diremehkan;
di tempat lain akan memadai; namun di tempat lain, aplikasi pupuk atau korektif yang diberikan
secara berlebihan dapat terjadi. Keadaan tersebut mengakibatkan kerugian ekonomi baik
karena aplikasi yang tidak perlu atau sebagai akibat dari ketidakseimbangan antara jumlah
nutrisi yang akan tersedia untuk tanaman Melalui klasifikasi CV yang dikemukakan oleh
Wilding e Drees (1983), diketahui bahwa pH, Ca, dan V% memiliki variabilitas yang rendah,
yaitu CV < 15%; Mn menyajikan variabilitas tinggi (CV = 82,42%); dan atribut yang tersisa
diurutkan sebagai variabilitas sedang (15% < CV < 35%). Bertentangan dengan apa yang telah
diamati dalam penelitian ini, beberapa penulis telah melaporkan bahwa kandungan K yang
tersedia untuk tanaman memberikan nilai tinggi untuk CV, sedangkan nilai untuk P tersedia
biasanya tinggi, tetap dalam kisaran 40% hingga 80%. (Johnson et al., 2002; Silva et al., 2007;
Ward dan Cox, 2000). Hasil gabah dan potensi fisiologis benih disajikan CV rendah, apa yang
sesuai dengan apa yang diamati oleh penulis lain, yang diperoleh dan potensi fisiologis benih
benar-benar terjadi (Tabel 2). Pada gilirannya, kandungan bahan organik tanah berkorelasi
positif dengan perkecambahan biji. Fakta ini mungkin terkait dengan retensi air yang lebih
tinggi dan ketersediaannya untuk tanaman yang dipromosikan oleh bahan organik, karena
defisit hidrat mempengaruhi metabolisme dan mengganggu pertumbuhan tanaman. Ada juga
pengurangan luas daun dan laju fotosintesis, yang menyebabkan Mn terkait dengan
pembentukan lignin yang, pada gilirannya, merupakan salah satu zat yang ada di dinding sel,
memberikan impermeabilitas untuk itu (McDougall et al., 1996), cara ini memberikan efek
yang signifikan pada kapasitas dan kecepatan penyerapan air melalui kulit.

Panobianco dkk. (1999) menemukan nilai konduktivitas listrik yang lebih tinggi pada
biji kedelai dengan kandungan lignin yang rendah di dalam tegumen karena jumlah zat lixiviate
yang lebih tinggi pada air di mana biji tersebut berada. telah terbenam. Informasi ini dapat
menjelaskan terjadinya hubungan yang bermakna antara kandungan unsur tersebut dengan
potensi fisiologis benih.

Terkait dengan unsur hara mikro, diamati bahwa hasil biji dipengaruhi secara positif
oleh kandungan Mn sedangkan perkecambahan memiliki perilaku yang berlawanan, yaitu
korelasinya negatif. Man dkk. (2002) mengamati bahwa aplikasi Mn pada tanaman kedelai
meningkatkan hasil gabah dan perkecambahan biji. Melarat et al. (2002).

Namun, diamati bahwa aplikasi Mn memiliki pengaruh positif pada massa benih dan
kondisi nutrisi tanaman kedelai tanpa mempengaruhifisisologi benih yang di hasilkan. Analisis

6
geostatistik (Tabel 3) mengungkapkan bahwa kandungan B dalam tanah, massa 1.000 biji, dan
hitungan pertama perkecambahan tidak menunjukkan ketergantungan (Efek Nugget) dalam
rentang pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini. Data untuk variabel-
variabel: P, Ca, Mg, Mn, Cu, dan Zn dalam tanah, perkecambahan dan percepatan penuaan
benih, cocok dengan semivariogram sferis; dan variabel Mo, pH dan K lebih cocok dengan
model Gaussian. Data untuk variabel V% dan Fe sesuai dengan model linier, yaitu ambang
semivarians tidak tercapai dalam wilayah yang diteliti dan akan terus berlanjut.

Pada penelitian ini diamati bahwa untuk variabel P, K, V%, Cu, dan Zn serta massa
1.000 biji (MTS) mempresentasikan DSD dari sedang hingga tinggi untuk Mo, pH, Ca, Mg,
dan Mn di dalam tanah dan untuk AA benih. Menurut Cambardella et al. (1994), atribut yang
menunjukkan ketergantungan yang kuat lebih dipengaruhi oleh sifat intrinsik tanah seperti
tekstur dan mineralogi; sedangkan mereka yang ketergantungannya lebih lemah lebih banyak
dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti pemupukan dan tanah. Ketika ketergantungan spasial
terjadi, parameter semivariogram digunakan untuk menggambar peta distribusi spasial untuk
variabel. Melalui peta-peta ini dimungkinkan untuk memverifikasi distribusi spasial
kandungan nutrisi dan kualitas benih. Dengan menganalisis variabel 'hasil gabah', yang
memiliki variabilitas hasil yang besar dan tersebar di semua area, tidak mungkin untuk
mengidentifikasi dengan jelas zona hasil gabah yang ditentukan (Gambar 2a). Bila nilai
perkecambahan biji dianalisis, pada prakteknya di seluruh areal nilai persentase
perkecambahan berada di atas nilai standar perkecambahan minimum yang diperlukan untuk
komersialisasi benih kedelai, yang ditetapkan pada persiapan dan budidaya, yaitu dengan
pengelolaan tanah. Pada analisis semivariogram, terlihat amplitudo yang besar pada rentang
nilai variabel yang dianalisis, yang bervariasi dari 89,9 m untuk P sampai 651,4 m untuk Fe.
Nilai rentang juga merupakan alat penting dalam menentukan skema pengambilan sampel;
dalam hal ini pengambilan sampel harus dilakukan dalam nilai kisaran terendah. 80 (Embrapa,
2006) (Gambar 2b). Dengan mempertimbangkan aspek-aspek tersebut, meskipun variabilitas
unsur hara dalam tanah, dan selain kandungan kritis yang diasumsikan beberapa unsur di
beberapa titik di dalam areal tersebut, hanya terdapat sedikit gangguan pada potensi fisiologis
benih, terutama yang berkaitan dengan perkecambahan. Delouche (1980) telah menekankan
bahwa respon khas tanaman, dibudidayakan di tanah kesuburan rendah, adalah pengurangan
kuantitas benih yang dihasilkan dan bukan pada kualitas mereka. Terutama tanaman yang
mengalami cekaman hidrik, yang mengatur translokasi fotosintatnya ke biji, dalam upaya
menjamin kelangsungan spesies.

7
Kesimpulan

• Kandungan bahan organik, Mn dan Cu dalam tanah memiliki pengaruh nyata terhadap
perkecambahan biji kedelai.
• Ketergantungan special diantara variable-variabel yang di teliti ada dan, Sebagian
besar, tinggi, dan sedang.
• Kisaran nilai ketergantungan spasial bervariasi dari 89,9 m untuk P sampai 651,4 untuk
Fe dan nilai akan di pertimbangkan dalam menentukan skema pengambilan sampel
tanah untuk penilaian kesuburan.

8
Pengaruh Dosis Pupuk NPK Majemuk Susulan Saat Awal Berbunga (R1) pada
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kedelai (Glycine max [L.] Merill)

Kedelai (Glycine max [L.] Merill) merupakan salah satu komoditas penting di
Indonesia setelah padi dan merupakan sumber protein nabati. Kebutuhan kedelai
semakin meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan pertambahan penduduk dan
kesadaran masyarakat terhadap makanan berprotein nabati. Namun demikian, produksi
kedelai di Indonesia mengalami penurunan dari 2012 sebesar 843,15 ribu ton biji (BPS,
2012) menjadi 780,16 ribu ton pada 2013 (BPS, 2013). Dalam rangka meningkatkan
kemandirian kedelai nasional, upaya peningkatan produksi sangat penting. Upaya
meningkatkan produksi kedelai dapat dilakukan melalui program intensifikasi dan
ekstensifikasi. Program ekstensifikasi dapat ditingkatkan melalui perluasan areal panen
kedelai sedangkan program intensifikasi dapat dilakukan antara lain melalui
penggunaan varietas unggul dan pemupukan. Penggunaan varietas unggul bertujuan
untuk mengurangi resiko gagal panen karena faktor kekeringan yang dapat dilakukan
melalui penggunaan varietas kedelai tahan kekeringan, salah satunya adalah varietas
Dering 1.
Varietas Dering 1 dirilis bulan September 2012, merupakan salah satu varietas
yang cocok dibudidayakan di lahan kering (Badan Litbang Pertanian, 2012). Selain
menggunakan varietas kedelai tahan kekeringan peningkatan hasil kedelai harus
diimbangi dengan pemupukan. Kedelai sangat membutuhkan unsur hara N, P, dan K
untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan, pembentukan bunga dan pengisian polong.
Aplikasi pupuk susulan harus dilakukan dengan tepat cara, tepat dosis, tepat waktu,
tepat jenis, dan tepat lokasi agar unsur hara yang dibutuhkan tanaman dapat diserap
tanaman dengan efektif dan tanaman menyerap unsur hara dengan optimum. Pupuk
susulan bagi tanaman kedelai dapat diaplikasikan pada waktu tanaman memasuki
stadium awal berbunga (R1).
Pemberian pupuk NPK majemuk mutiara (16:16:16) susulan dilakukan pada
saat stadium awal berbunga (R1) yaitu pada saat muncul bunga pertama di buku
manapun pada batang utama. Pada fase ini kondisi akar tanaman kedelai mencapai
pertumbuhan maksimum dan bakteri rhizobium kurang aktif untuk menambat N
sehingga sangat membutuhkan unsur hara untuk memenuhi kebutuhan produksi
tanaman. Menurut Suryanti (2009) waktu terbaik saat aplikasi pemupukan N yaitu pada
saat tiga minggu setelah tanam dan awal berbunga adalah waktu terbaik untuk hasil

9
kedelai varietas Kipas Putih. Menurut Watanabe dan nakano (1982 dalam Suryanti
2009) pemberian pupuk N sampai dosis 100 kg/ha pada saat awal berbunga dapat
meningkatkan hasil kedelai sebesar 10%. Hasil penelitian Nurmanda (2010)
menunjukkan bahwa pada taraf dosis pupuk 0 kg/ha, 20 kg/ha, 40 kg/ha, 60 kg/ha, dan
80 kg/ha NPK majemuk susulan saat awal berbunga (R1) mampu meningkatkan bobot
kering berangkasan, umur berbunga, dan hasil benih per hektar secara linier pada
kedelai Varietas Grobogan. Pemberian dosis pupuk NPK majemuk susulan
ditingkatkan sampai 100 kg/ha; dari penambahan tersebut diharapkan dapat mencapai
dosis optimum untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai. Penelitian
bertujuan untuk mengetahui dosis NPK susulan yang optimum pada pemberian awal
berbunga (R1)

10
Hasil Dan Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemupukan NPK majemuk susulan saat awal
berbunga (R1) pada tanaman kedelai berpengaruh terhadap hasil kedelai (t/ha) dan efisiensi
pemupukan NPK majemuk tetapi tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman, bobot kering
tanaman, jumlah cabang total, jumlah cabang produktif, jumlah polong total, jumlah polong
isi, bobot 100 butir biji kedelai. Hasil uji lanjut polinomial ortogonal pengaruh dosis
pemupukan NPK majemuk (16:16:16) yang diaplikasikan saat awal berbunga R1 pada hasil
tanaman kedelai menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap variabel hasil
kedelai (t/ha) dan efisiensi pemupukan. NPK susulan saat R1 tidak berpengaruh pada
komponen pertumbuhan seperti tinggi tanaman, bobot kering tanaman, jumlah cabang total,
jumlah cabang produktif, jumlah polong total, jumlah polong isi, bobot 100 butir biji kedelai,
ini didukung dengan uji korelasi antarkomponen (Tabel 2), bahwa variabel hasil (t/ha) tidak
berkorelasi positif dengan semua komponen tersebut. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
Suryana (2012), setiap peningkatan 1 kg pupuk NPK mutiara akan meningkatkan hasil kedelai
sebesar 0,002 t/ha secara linear. Dosis pupuk yang diberikan belum mencapai dosis optimum
dalam mendapatkan hasil kedelai (t/ha) yang maksimum karena grafik pada variabel hasil
menunjukkan linear.
Pada tabel korelasi antar variabel menunjukkan bahwa variabel hasil kedelai t/ha tidak
berkorelasi dengan variabel pengamatan tinggi tanaman, bobot kering tanaman, jumlah cabang
total, jumlah cabang produktif, jumlah polong total, jumlah polong isi, bobot 100 butir biji
kedelai (Tabel 2). Menurut Ferguson et.al., 2000 dalam Heenihatherly dan Elmore, 2004),
kebutuhan untuk menghasilkan biji kedelai sebesar 3,4 t/ha dibutuhkan N sebesar 353kg/ha,
P2O5 sebesar 83 kg/ha, dan K2O sebesar 720 kg/ha, sedangkan dalam penelitian ini pupuk
dasar 50 kg urea/ha, KCl 100 kg/ha, dan SP-36 100 kg/ha, dengan dosis NPK susulan sebesar
100 kg/ha, maka pupuk yang diberikan hanya 49 kg/ha N, 52 kg P2O5/ha, dan 76 kg K20/ha.
Sehingga dapat dikatakan pupuk yang diberikan dalam penelitian ini masih rendah, ini terlihat
pada Gambar 1 dimana hubungan hasil dengan dosis NPK masih menunjukkan respon yang
gemaris. Hal ini juga diikuti dengan hasil analisis tanah yang menunjukkan bahwa lahan yang
digunakan adalah yang yang kurang subur. Hasil analisis tanah sebelum pemupukan
menunjukkan bahwa pH 5,58, kandungan N-total yang terkandung yaitu 0,11 % masuk dalam
kualitas tanah rendah , P-tersedia 4,23 ppm masuk dalam kualitas tanah sangat rendah, dan K-
dd (0,46 me/100 gr) masuk dalam kualitas tanah sedang (Tabel 3). Berdasarkan hasil analisis
tanah sebelum penanaman dan setelah panen, terjadi peningkatan kandungan unsur hara N

11
sedangkan unsur hara P dan K mengalami penurunan. Analisis tanah sebelum tanam,
kandungan nitrogen termasuk dalam kriteria rendah yaitu sebesar 0,11%; setelah panen
ternyata kandungan nitrogen mengalami peningkatan sebesar 0,132% namun masih masuk
dalam kriteria rendah (Tabel 3). Menurut Fageria dkk (1997), kandungan unsur N meningkat
karena nitrogen ini dapat diperoleh melalui tanah dan melalui udara dengan bantuan bintil-
bintil akar yang mengandung bakteri Rhizhobium.
Pada analisis tanah sebelum tanam, kandungan P masuk dalam kriteria sangat rendah
yaitu sebesar 4,23 ppm; setelah tanam, kandungan P mengalami penurunan yaitu 3,212 ppm.
Hal ini juga terjadi pada kandungan unsur K yang juga mengalami penurunan yaitu sebelumnya
0,46 (me/100gr) menjadi 0,392 (me/100gr). Dengan demikian pupuk yang diberikan pada
tanaman kedelai masih kurang dalam mencukupi kebutuhan tanaman kedelai. Aplikasi
pemupukan susulan dilakukan pada tanggal 27 dan 28 Maret 2015 pada saat umur tanaman 37
HST. Menurut data yang diperoleh dari stasiun klimatologi Politeknik Negeri Lampung, pada
saat aplikasi pemupukan tersebut terjadi hujan setelah aplikasi dengan intensitas curah hujan
yaitu 12,8 mm sedangkan dua hari sebelumnya tidak ada hujan dan tiga hari setelah aplikasi
juga tidak ada hujan. Menurut Taufiq dan Sundari (2011), kedelai membutuhkan air pada fase
pertumbuhan cepat sebesar 2,54-5,08 mm/hari, pada fase pembungaan hingga isi penuh sebesar
5,08-7,62 mm/hari, dan fase pemasakan polong hingga panen sebesar 1,27-5,08 mm/hari. Pada
penelitian ini menurut data yang diperoleh dari stasiun klimatologi Politeknik Negeri
Lampung, kondisi curah hujan pada fase pembungaan hingga isi penuh sebesar 8,9 mm/hari
dan fase pemasakan polong hingga panen sebesar 14,08 mm/hari. Meskipun distribusi hujan
harian sudah sesuai dengan kebutuhan air tanaman kedelai, tetapi pada saat aplikasi pupuk
NPK majemuk susulan terjadi hujan deras yaitu dengan intensitas 12,8 mm. Diduga hal ini
menyebabkan ketersediaan pupuk didalam tanah mengalami pengurangan karena terbawa oleh
air hujan sebelum tanaman menyerap pupuk secara maksimal. Dari deskripsi kedelai Varietas
Dering 1 menurut Badan Litbang Pertanian (2012), yaitu jumlah cabang total 2-6 cabang,
jumlah polong 38 per tanaman, rata-rata hasil 1,38-1,95 t/ha. Hasil penelitian ini diperoleh
jumlah cabang total 3-5 cabang, jumlah polong rata-rata 26,8 per tanaman, hasil kedelai 1,302
t/ha. Jumlah polong pada penelitian ini masih di bawah deskripsi kedelai Varietas Dering 1,
sedangkan jumlah cabang sudah sesuai dengan deskripsi. Hal ini diduga, kondisi saat
pemupukan susulan yang hujan deras, sehingga pupuk NPK susulan yang diberikan menjadi
tidak optimal dalam tanah.
Aplikasi pupuk NPK majemuk susulan saat awal berbunga (R1) mempengaruhi
Efisiensi pupuk secara Agronomis, yang ingin mengetahui ada peningkatan hasil yang besar
12
untuk tiap kilogram pupuk yang diberikan (Bank Pengetahuan Padi Indonesia, 2008). Efisiensi
pupuk NPK majemuk susulan saat awal berbunga (R1) dengan taraf dosis 25 kg/ha, 50 kg/ha,
75 kg/ha, dan 100 kg/ha yaitu 5,6-10,5 (Gambar 2). Menurut Salvagiotti dkk., (2008), hasil
penelitian aplikasi pupuk NPK majemuk pada fase R1 taraf dosis 0, 35, 56 kg/ha menghasilkan
efisiensi pemupukan sebesar 4,0-17,5 dan hasil kedelai 1,49-3,00 t/ha sedangkan faktor yang
mempengaruhinya yaitu waktu pemupukan, genotipe, dan lokasi tanam. Perbedaan efisiensi
pupuk pada dua penelitian diatas, karena keduanya beda kondisi iklim dan tanah pada lokasi
tanamnya.

Menurut Zapata dkk. (1987 dalam Salvagiotti dkk., 2008), fiksasi N2 maksimum terjadi
antara R3 dan R5. Ketidakseimbangan antara kebutuhan N tanaman dan pasokan N dari fiksasi
N2 harus dipenuhi oleh serapan dari sumber lain. Jika pasokan N keseluruhan tidak memenuhi
kebutuhan kedelai, tanaman tidak akan memindahkan N terakumulasi dari daun ke polong;
kemudian mengurangi kapasitas fotosintesis pada daun sehingga membatasi potensi hasil.
Hasil penelitian Salvagiotti, dkk (2008) KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa Aplikasi pupuk NPK meningkatkan hasil biji (t/ha) dan efisiensi pupuk NPK secara
agronomis, tetapi tidak berpengaruh pada tinggi tanaman, bobot kering tanaman, jumlah
cabang total, jumlah cabang produktif, jumlah polong total, jumlah polong isi, dan bobot 100
butir biji kedelai

13
Identifikasi Karakteristik Tanaman Kedelai Yang Menunjukkan Waktunya dari stress
kekeringan

Abstrak : Teknik berbasis fenotipe berbiaya rendah diperlukan untuk membantu pemulia
tanaman menginterpretasikan interaksi lingkungan genotipe 3 . Tujuan kami adalah untuk
menentukan bagaimana cekaman kekeringan yang dikenakan pada kedelai [Glycine max (L.)
Merr.] pada berbagai tahap pertumbuhan mempengaruhi karakteristik tanaman terpilih.
Kultivar kedelai determinate (Spot) dan indeterminate (Weber) ditanam di bawah kondisi
rumah kaca dan mengalami dua tingkat cekaman kekeringan (30 dan 50% air yang tersedia
untuk tanaman) selama vegetatif (V4–R1), berbunga (R1–R3) , tahap pemanjangan polong
(R3– R5), atau pengisian biji (R5). Rata-rata panjang ruas merupakan faktor yang paling peka
terhadap kekeringan selama fase vegetatif dan berbunga.

Perbedaan ketinggian yang signifikan untuk kultivar tertentu secara akurat dibedakan antara
periode stres, dengan tanaman yang lebih pendek dikaitkan dengan stres vegetative. Jumlah
polong per unit bahan kering vegetatif dipengaruhi secara nyata oleh cekaman selama
pemanjangan polong. Cekaman awal selama pengisian biji mengurangi jumlah biji per polong,
sedangkan cekaman akhir (setelah tahap batas pengguguran) menurunkan bobot biji. Hasil ini
menunjukkan bahwa periode cekaman kekeringan yang tepat dapat ditentukan dengan
mengukur a posteriori beberapa faktor morfologi dan komponen hasil genotipe kedelai
determinate dan indeterminate pada kematangan fisiologis. Sebagian besar penelitian
mengukur dampak kekeringan pada kedelai telah difokuskan terutama pada komponen hasil
genotipe yang berbeda (Sionit dan Kramer, 1977;

Namun, beberapa telah melaporkan efek dari intensitas kekeringan yang berbeda pada
determinate dan kedelai tak tentu selama berbagai pertumbuhan tahapan. Desclaux dan Roumet
(1996) dan lain-lain memiliki laporan bahwa stress kekeringan tampaknya memicu awal
beralih dari perkembangan vegetative ke reproduksi. Tergantung pada saat stress terjadi
perubahan fenologik yang berbeda. Mucul node dimulai selama stress tertunda sehingga lebih
kecil jumlah buku yang di hasilkan, sedangkan bunga dan polong penampil di percepat.
Pengisisan benih dan benih akhir tahap absorsi du mulai lebih awal dan secara keseluruhan
setiap fase reproduksi lebih pendek di bawah tekanan.

14
Perawatan dan Desain Eksperimental

Untuk setiap kultivar, 200 pot dibagi menjadi lima kelompok. Satu kelompok 40
disiram setiap hari sebagai perlakuan control. Empat kelompok lainnya mengalami cekaman
kekeringan selama salah satu tahap perkembangan berikut: (i) cekaman vegetatif (VS)
diterapkan ketika tanaman memiliki empat daun yang mengembang penuh (berusia 20 hari)
dan berakhir saat pembungaan dimulai (R1: Fehr dan Caviness). , 1977); (ii) cekaman
pembungaan (FS) yang terjadi dari awal periode pembungaan (R1) hingga munculnya polong
pertama (R3); (iii) tegangan pemanjangan polong (PLS) diterapkan saat pertama muncul
polong (R3) dan berakhir pada awal pengisian polong (R5); dan (iv) tegangan pengisian benih
(SFS) yang airnya ditahan selama 15 hari dari R5. Kecuali bila mengalami cekaman
kekeringan, tanaman disiram setiap hari dengan larutan nutrisi (Matsumoto et al., 1975) untuk
mempertahankan air tanah pada kapasitas pot.

Untuk setiap perlakuan kekeringan, air ditahan sampai pot mencapai tingkat stres 50%
atau 30% dari air tersedia tanaman (PAW). Batas PAW atas ditentukan dengan menimbang
tanah dari lima pot 2 hari setelah disiram. Tingkat PAW yang lebih rendah ditentukan dengan
menimbang pot di mana tanaman dibiarkan mati setelah mentranspirasikan semua air yang
tersedia. Tingkat stres untuk penelitian ini dilambangkan dengan angka 1 (50%) atau 2 (30%)
yang mengindeks periode stress Dalam semua kasus, air ditahan selama 4 sampai 5 hari untuk
mencapai berbagai intensitas tegangan. Setelah waktu itu, setiap pot ditimbang setiap hari dan
air ditambahkan jika perlu untuk menjaga tingkat stress.

15
Hasil

Waktu dan Intensitas Stres Perlakuan cekaman kekeringan diterapkan pada tahap
pertumbuhan yang berbeda yang dicirikan oleh skala Fehr dan Cavi-ness (1977), yang
didasarkan pada pengamatan dari empat simpul batang utama atas. Untuk genotipe tak tentu,
tumpang tindih tahapan berdasarkan node ditunjukkan pada Gambar. 1. Pembaca harus
mencatat bahwa selama perawatan seperti PLS (tegangan pemanjangan polong), bunga masih
ada pada node atas batang utama, sedangkan biji sudah terbentuk di node yang lebih rendah.
ntensitas stres divariasikan dengan membiarkan PAW menurun ke dua tingkat yang berbeda
dibandingkan dengan pot kontrol, yang dipertahankan pada 70 hingga 80% PAW. Pengukuran
potensi air tanha dengan tensiometer menunjukkan kpntrol dipertahanakan pada 20,05 MPa,
sedangkan selama stress potensi air tanah serendah 20,75 MPa. Ppotensi air daun menurun
secara signifikan pada tanaman yang diberi perlakuan.

• Respon morfologis

Stres kekeringan kecuali selama SFS berkurang mainstem ketinggian Weber dengan
mengurangi jumlah node dan/atau panjang ruas. Baik untuk perawatan maupun control
tanaman, munculnya simpul berakhir pada kronologis yang sama waktu . Ruas yang
menunjukkan tidak ada perubahan panjang karena stres (Gbr. 4) adalah yang memanjang
selama stres: Node 3 sampai 6 untuk FS dan 7 sampai 10 untuk PLS. Node-node ini semuanya
dimulai sebelum pengobatan spesifik diterapkan (Gbr. 3). Panjangnya berkurang hanya untuk
node yang dimulai selama stres dan muncul setelahnya (Node 7-9 untuk FS dan 0,10 untuk
PLS), dan oleh karena itu tampaknya menjadi variabel yang sangat berkorelasi dengan periode
stres. Karena pengukuran setiap panjang ruas sangat memakan waktu, kami mencoba untuk
menentukan apakah ruas ratarata panjang pada skala tanaman dapat digunakan sebagai variabel
khusus pengobatan. Dengan demikian, kultivar tertentu (Spot), yang menghentikan
pertumbuhan vegetatif ketika pembungaan dimulai, memungkinkan kami untuk membedakan
lebih lanjut antara perlakuan VS dan FS.

• Komponen Hasil

Hasil benih dibagi menjadi tiga komponen hasil: jumlah polong, biji per polong, dan bobot
individu biji. Untuk setiap komponen, kami mempelajari dampak stress periode dan intensitas
untuk menentukan mana yang memberikan diskriminasi terbaik di antara perlakuan.

• Jumlah Pod

16
Setiap perlakuan stres menurunkan jumlah polong dengan cara yang berbeda. Stres awal
(VS atau FS) mengurangi jumlah bunga yang dihasilkan. Memang, awal stress menghasilkan
hanya 45% bahan kering vegetatif yang dihasilkan oleh tanaman kontrol. Stres selama PLS
secara drastic meningkatkan tingkat absisi polong (0,95%) dibandingkan dengan control.

Oleh karena itu, kami memeriksa jumlah polong per unit rasio bahan kering (Gbr. 5).
Rasio ini berbeda nyata dengan kontrol hanya untuk tanaman yang mengalami cekaman
kekeringan selama PLS. Penurunan lebih besar pada tahun 1994 daripada 1993 karena, seperti
yang ditunjukkan pada Tabel 1 dan Gambar. 2, intensitas stres lebih tinggi pada tahun 1994.
Kurangnya perbedaan rasio antara stres awal (VS, FS) dan tanaman kontrol menegaskan bahwa
jumlah rendah polong, diamati pada tanaman Weber yang diserahkan ke VS atau FS pada
dasarnya disebabkan oleh defisiensi bahan kering vegetatif.

• Jumlah Benih per Polong

Rata-rata jumlah benih per polong dalam kondisi air yang baik adalah 2,25 untuk Weber.
Satu-satunya pengobatan yang secara signifikan menurunkan rasio ini adalah SFS (10% untuk
SFS1 pada tahun 1993 menjadi 35% untuk SFS2 pada tahun 1994). Selama stres, Node 9
hingga 11 Weber membawa benih yang belum mencapai tahap batas aborsi. Dengan demikian,
beberapa polong pada buku ini tidak mengandung biji meskipun panjangnya normal. Tanaman
yang mengalami cekaman kekeringan reproduktif awal memiliki jumlah biji per polong yang
lebih banyak daripada tanaman kontrol (110% untuk cekaman intensitas rendah).

➢ Pengaruh Stres Kekeringan yang Terjadi Selama Pemanjangan Polong

Stres kekeringan yang terjadi selama pemanjangan polong memiliki pengaruh terbesar pada
jumlah polong yang dihasilkan per unit bahan kering (Gbr. 8c), suatu respon yang telah dicatat
oleh beberapa penulis (Momen et al., 1979; Kadhem dkk., 1985; Son dkk., 1996). Koefisien
korelasi antara jumlah polong pada batang utama dengan hasil tanaman adalah 0,70. Penurunan
jumlah pod diamati pada semua node tetapi pada dasarnya karena untuk aborsi polong termuda.

➢ Pengaruh stress kekeringan sebelum berbunga

Untuk stres selama tahap vegetatif (VS), panjang ruas adalah satusatunya variabel yang
secara signifikan berbeda dari kontrol, terlepas dari tingkat intensitas (Gbr. 8a). Cekaman ini
menyebabkan nilai bahan kering sangat rendah karena penurunan tinggi batang dan diameter
batang terkait dengan terbatasnya ekspansi daun. Di bawah kondisi air yang baik, luas

17
permukaan daun adalah 250 cm2 saat berbunga dibandingkan dengan 120 cm2 untuk perlakuan
VS.

➢ Pengaruh Stres Kekeringan Diterapkan Selama Pengisian Benih

Fenotipe tanaman SFS ditandai dengan banyaknya polong pipih (tanpa biji) pada bagian
atas node batang utama. Polong datar ini adalah yang termuda yang belum mencapai tahap
batas aborsi Ketika stress dipaksakan. Pada kelenjar reproduksi pertama, cekaman kekeringan
menurunkan bobot benih dan menyebabkan beberapa aborsi benih dalam polong. Oleh karena
itu, penurunan berat benih yang diamati dapat disebabkan oleh periode pengisian yang lebih
pendek (hampir 7 hari dalam percobaan kami).

18
Kesimpulan

Studi rumah kaca dari fenotipe tanaman dewasa ini menyoroti hubungan yang
signifikan antara periode cekaman kekeringan dan karakteristik tanaman. Karakteristik tersebut
dinyatakan sebagai rasio antar variabel yang terjadi secara berurutan selama perkembangan
kedelai. Nilai komponen yang menunjukkan respons tanaman tidak hanya bergantung pada
kondisi lingkungan yang berlaku selama elaborasinya, tetapi juga pada nilai komponen
sebelumnya. Rasio tinggi/jumlah simpul (panjang ruas) berguna untuk mendiagnosis stres dini.
Stres awal mengurangi produksi biomassa vegetatif dan menurunkan rata-rata panjang ruas
tanpa mengubah efisiensi bahan kering untuk memproduksi dan mengisi polong dan biji. Untuk
membedakan stres sebelum berbunga dari yang terjadi selama bunga mekar, analisis ketinggian
kultivar tertentu berguna. Jumlah polong per satuan berat bahan kering merupakan indikator
efektif dari keterbatasan air selama pemanjangan polong, terutama untuk Weber. Spot bereaksi
lebih sedikit untuk karakter ini. Tanaman yang mengalami cekaman kekeringan setelah
berbunga tetapi sebelum tahap batas aborsi, lebih menyukai membawa benih pertama sehingga
merugikan mereka. Nomor

Hasil kami menunjukkan bahwa jumlah biji per polong dapat digunakan sebagai
penduga laju absisi biji, dengan asumsi bahwa, untuk suatu genotipe, jumlah ovula rata-rata
tidak berfluktuasi dan tergantung pada kondisi air sebelum tahap batas aborsi. Stres berat dapat
menyebabkan pengurangan penting dari rasio ini, karena dalam percobaan kami itu berkurang
35% dalam pengobatan stres relatif terhadap kontrol. Stres yang diterapkan setelah tahap batas
aborsi menurunkan durasi pengisian benih dan bobot benih. Respon dari keempat karakteristik
tanaman ini terhadap kekeringan dapat membantu peneliti dalam mengidentifikasi periode
selama perkembangan dimana cekaman mungkin terjadi.

19
DAFTAR PUSTAKA

CORÁ, J.E.; ARAUJO, A.V.; PEREIRA, G.T.; BERALDO, J.M.G. Assessment of spatial variability of soil
atributes as a basis for adoption of precision agriculture in sugarcane plantations. Revista
Brasileira de Ciência do Solo, v.28, p.1013-1021, 2004.
http://www.scielo.br/pdf/rbcs/v28n6/22923.pdf

DELOUCHE, J.C. Environmental effects on seed development and seed quality. HortScience, v.15,
p.775-780, 1980.

Desclaux, D., and P. Roumet. 1996. Impact of drought stress on the phenology of two soybean
cultivars. Field Crops Res. 46(1–3):61–70.

Fageria, N.K., V.C. Baligar, and C.A. Jones. 1997. Growth and Mineral Nutrition of Field Crop. Marcel
Dekker. Inc. New York. 176 hlm.

Giovanardi, R., P. Ceccon, T. Fasan. 1990. Agronomic and physiologi-cal response of soybeans (Glycine
max (L.) Merr.) to water stress at different development stages. II. Yield, yield components
and quality aspects. Rivista di Agronomia 24:2–3, 218–227.

Heatherly, Larry g. And R. W. Elmore. 2004. Managin Inputs for Peak Production. In Soybeans:
Improvement, Production, and Use. Co-editors: H. Roger Boerma and James E. Specht
Madison, Wiconsin, USA. 51-536.

Momen, N.N., R.E. Carlson, R.H. Shaw, and O. Arjmand. 1979. Mois- ture stress effects on the yield
components of two soybean cultivars. Agron. J. 71:86–90.

RUNGE, E.C.A.; HONS, F.M. Precision agriculture – development of a hierarchy of variables influencing
crop yields. In: INTERNATIONAL CONFERENCE ON PRECISION AGRICULTURE, 4. 1998, St
Paul. Proceedings…St Paul, ASA; CSSA; SSSA, 1998, p.143-158. 1CD-ROM

20

Anda mungkin juga menyukai