DISUSN OLEH
Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini
merupakan salah satu tugas di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati
dengan judul ”Aplikasi Pencitraan Diagnostik dan Modalitas Pencitraan Sendi
Temporomandibular”.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu saran
dan kritik yang membangun, sangat kami harapkan demi perbaikan tugas serupa di waktu
berikutnya. Semoga tugas ini juga dapat memberi manfaat bagi pihak yang
berkepentingan.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.3 Tujuan 2
1.4 Manfaat 3
BAB II PEMBAHASAN 4
3.1 Kesimpulan 12
3.2 Saran 12
DAFTAR PUSTAKA 14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
(Bag 2014) Keluhan yang ditimbulkan dapat berupa nyeri saat buka - tutup
mulut, nyeri tekan pada otot mastikasi hingga keterbatasan gerakan sendi
temporomandibular. Hal ini akan mempengaruhi fungsional seseorang yang
berhubungan dengan fungsi mengunyah, bicara maupun menelan. Gejala ini
ditemukan sekitar 12% - 68% pada populasi dan insidensi paling banyak pada wanita
muda dengan rasio 4:1 dibandingkan laki - laki. Prevalensi menurut umur meningkat
pada usia dibawah 40 tahun dan menurun pada usia diatasnya. (Aiken, Bouloux, and
Hudgins 2012) Gejala klinik yang bervariasi menyebabkan penegakan diagnosa yang
tepat sering kali susah dilakukan. Tanda atau gejala seperti nyeri, nyeri tekan pada
1
otot mastikasi atau sendi temporomandibular dan suara selama pergerakan kondilus
mandibula (popping, suara klik atau krepitus pada rahang) serta keterbatasan
pergerakan mandibula ditemukan sekitar 12% - 68% pada populasi.Gejala paling
sering berupa suara klik pada sendi temporomandibular dengan prevalensi 8 -
50%.Gangguan temporomandibular adalah penyebab paling umum dari nyeri kepala
dan wajah setelah sakit gigi.
(Samara 2013; kraus 2017) The Research Diagnostic Criteria (RDC) diterima
secara luas sebagai alat klasifikasi diagnostik dan validitasnya sudah teruji beberapa
kali sehingga sekarang dianggap sebagai standar baku oleh komunitas peneliti,
namun tetap memiliki nilai subyektivitas pada penilaian tersebut. Sehingga
diperlukan modalitas lain yang dapat menilai struktur sendi temporomandibular
dengan jelas. Untuk menegakkan diagnosa gangguan sendi temporomandibular perlu
dilakukan evaluasi pada pasien yang meliputi anamnesa riwayat penyakit,
pemeriksaan klinis sendi temporomandibula, pemeriksaan klinis otot-otot
pengunyahan, pemeriksaan intraoral, analisa oklusi dan pemeriksaan radiologi.
1.3 Tujuan
2
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penulisan makalah ini ialah untuk menambah pengetahuan
serta wawasan para pembaca mengenai aplikasi pecnitraan diagnostik dan
modalitas pencitraan sendi temporomandibula. Selain itu, manfaat penelitian
ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pada pengembangan ilmu dan
teknologi kedokteran terutama di bidang diagnostik radiologi dan kedokteran
gigi.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Pencitraan TMJ tidak diindikasikan untuk suara sendi jika tidak ada gejala atau
tanda-tanda lainnya atau untuk anak-anak dan remaja tanpa gejala sebelum perawatan
ortodontik. Seringkali ada korelasi yang buruk antara keparahan temuan pada
pencitraan TMJ dan keparahan gejala atau disfungsi pasien. Contohnya, perubahan
degeneratif yang parah dapat dicatat pada studi pencitraan, tetapi pasien hanya
memiliki ketidaknyamanan ringan, atau sebaliknya. Dokter harus menghubungkan
informasi pencitraan dengan riwayat pasien dan temuan klinis untuk sampai pada
diagnosis akhir dan rencana pengelolaan proses penyakit yang mendasarinya.
Pilihan teknik pencitraan akan bergantung pada masalah klinis spesifik, apakah
jaringan keras atau lunak yang akan dicitrakan, dosis radiasi, biaya, ketersediaan
teknik pencitraan, dan jumlah informasi diagnostik yang disediakan oleh teknik
tersebut. Ada banyak kemajuan dalam teknologi pencitraan untuk mengurangi dosis
radiasi dan ketersediaan pencitraan terus meningkat. Biasanya jaringan keras
dicitrakan pertama kali untuk mengevaluasi kontur tulang, hubungan posisi fossa
kondilus dan glenoid, dan rentang gerak. Pencitraan jaringan lunak diindikasikan
ketika informasi tentang posisi diskus atau morfologi diperlukan atau untuk
menggambarkan kelainan pada otot atau jaringan lunak di sekitarnya. Gambar
struktur osseous sendi dapat diperoleh menggunakan radiografi panoramik, cone-
4
beam computed tomographic (CBCT) imaging, atau multidetector computed
tomographic (MDCT) imaging. Jaringan lunak sendi paling baik dicitrakan dengan
magnetic resonance imaging (MRI).
5
GAMBAR 10-2 Tampilan skema hubungan antara sumber sinar-X, pasien, kolimator sekunder,
dan film atau reseptor gambar penyimpanan fosfor. Saat kepala tabung sinar-X bergerak di
sekitar satu sisi pasien, rakitan reseptor bergerak di sisi yang berlawanan. Reseptor gambar
meluncur melewati kolimator secara berurutan menghasilkan gambar laten. Dengan reseptor
gambar perangkat berpasangan-muatan (CCD), terdapat larik linier CCD vertikal di belakang
kolimator yang terus menerus membaca pencahayaan untuk menghasilkan gambar.
6
7
Gambar Kerusakan kondil disebabkan tumor ganas (panah)
8
Gambar panoramik memperlihatkan hiperplasia kondilar kanan
9
2.3.2 Pencitraan Cone-Beam Computed Tomographic
10
lain. Panoramik dan reformat tiga dimensi juga dapat dibuat, yang
berguna untuk menilai skim asimetri atau kelainan bentuk tulang
lainnya. Pemindaian CBCT biasanya diperoleh dengan mulut pasien
pada posisi tertutup. Beberapa mesin memungkinkan pemindaian
resolusi rendah dilakukan pada mulut terbuka atau posisi lain untuk
mengevaluasi rentang gerak. Pencitraan CBCT memiliki keuntungan
berkurangnya dosis radiasi untuk pasien dibandingkan dengan MDCT.
Berkurangnya dosis ini membuat pencitraan CBCT ideal untuk
pencitraan perubahan tulang terkait dengan DJD. Pencitraan CBCT
juga berguna untuk menentukan adanya dan luasnya ankilosis dan
neoplasma, pencitraan fraktur, mengevaluasi komplikasi dari
penggunaan polytetrafluoroethylene atau implan lembaran silikon, dan
memeriksa heterotopik pertumbuhan tulang. CBCT tidak cocok untuk
pasien yang tidak mampu untuk tetap tidak bergerak selama
pemindaian. Kerugian dari teknik ini adalah volume averaging, yang
menghasilkan artefak yang dapat mensimulasikan erosi pada
permukaan tulang kortikal yang melengkung kecil.
11
osseous pada kasus-kasus yang jarang dimana dicurigai terdapat infeksi atau
neoplasma. Seperti halnya modalitas lainnya, pencitraan harus disarankan hanya
ketika hasil diharapkan dapat mempengaruhi rencana perawatan. Pencitraan MRI
merupakan modalitas dari pilihan untuk memvisualisasikan disk dan jaringan
lunak lain pada TMJ.
12
menunjukan komponen osseous dan disk (panah) superior terhadap
kondil.
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
14
Dengan semakin disadarinya kelainan sendi temporomandibula, dokter
gigi diharapkan memiliki pengetahuan yang cukup dalam merujuk pasien untuk
pemeriksaan TMJ yang sesuai. Kemajuan IPTEK pencitraan diagnostic modern
memungkinkan diperolehnya informasi diagnostic optimal untuk mendapatkan
gambaran osseous sendi dan jaringan lunak. Dengan memilih pencitraan
diagnostic yang tepat, tentunya akan meningkatkan penatalaksanaan TMJ. Selain
itu, gambaran yang diperoleh dapat dimanfaatkan untuk deteksi dini TMD.
15
DAFTAR PUSTAKA
https://www.oralhealthgroup.com/features/diagnostic-imaging-of-the-
temporomandibular-joint/.
Latief, Shofiyah. 2017. Peran Magnetic Resonance Imaging (MRI) Menggunakan Head
Coil dalam Menegakkan Diagnosa Dislokasi Diskus Sendi Temporomandibular.
http://digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/
ZjgxMmU4ZGU0ZTM5ZWY5ZGYwODQ4YzkwYzg1NzVlNTA5OTRlOTlhMQ==.pdf.
White, Stuart C. & Pharaoh, Michael J. 2014. Oral radiology principle and interpretation
edition 7. Elsevier.
16