Anda di halaman 1dari 41

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Masalah ibadah cukup menjadi bahan pemikiran dari awal hingga

tujuan akhir yang sangat di cita-citakan oleh para penganutnya, yakni

muslimin. Ternyata merupakan perjalanan yang amat sulit, penuh liku-liku,

banyak halangan dan rintangan yang harus dilalui, banyak musuh serta sedikit

kawan dan orang yang mau menolong. Dalam hal ini perlunya bertaubat dari

maksiat yang telah dijalankan, karena bertaubat merupakan dasar untuk

diterimanya ibadah juga membersihkan diri dari perbuatan maksiat dan

menunjukkan rasa penyesalan atas segala dosa. Kemudian akan berkhidmat

dan berusaha mendekatkan diri kepada Allah.

Ditambah lagi dengan kenyataan, bahwa manusia adalah makhluk

lemah, sedang zaman sulit, urusan agama mundur, kesempatan kurang,

manusia disibukkan dengan urusan dunia dan umur yang relatif pendek.

Sedang penguji sangat teliti, kematian semakin dekat, perjalanan yang harus

ditempuh sangat panjang. Maka satu-satunya bekal adalah taat. Bahkan di

zaman yang semakin moderen ini tidak sedikit orang yang bertaubat tapi

hanya sekedr di lisan saja, sementara hatinya masih digeluti dengan berbagai

urusan Dunia. Tidak jarang orang yang sudah bertaubat dari dosennya

kembali melakukan maksiat tersebut. Oleh karena itu, tidak mengherankan

jika seseorang selalu berbuat maksiat, tidak akan mendapatkan taufiq,


2

sehingga anggota badannya merasa berat untuk menjalankan ibadah kepada

Allah. Sebagaimana Firman Allah:

       


       
....    

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kamu kepada Allah

dengan taubat yang sungguh-sungguh, semoga tuhanmu melbur kejahatanmu

dan memasukkan kamu ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya beberapa

sungai.” (Q.S. At-Tahrim : 8)

Karena masalah tersebut, penulis termotivasi untuk memecahkan

masalah yang dituangkan ke dalam karya tulis yang berjudul “TAUBAT

SEBAGAI DASAR UNTUK DITERIMANYA IBADAH”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka penulis

merumuskan masalah dalam karya tulis ilmiah ini sebagai berikut:

1. Mengapa taubat menjadi dasar sebagai diterimanya ibadah?

2. Bagaimana jika taubat tersebut ditunda-tunda?

3. Apakah dosa yang banyak cukup dengan melakukan taubat satu kali?

1.3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah diungkapkan di atas, maka

tujuan dari penelitian ini adalah:


3

1. Untuk mengetahui dasar-dasar sebagai diterimanya ibadah.

2. Untuk memberi penjelasan mengenai taubat yang ditunda-tunda.

3. Untuk mengetahui taubat yang sah dan dapat diterima oleh Allah SWT.

1.4. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah; pertama, untuk memberi

pengetahuan bahwasanya dalam beribadah perlu bertaubat terlebih dahulu

agar ibadah yang dikerjakan diterima oleh Allah SWT serta tidak lagi

melakukan perbautan dosa tersebut dan inilah taubat yang paling sempurna.

Kedua, untuk mengingatkan kepada masyarakat bahwasanya

penyesalan merupakan hal yang tidak mampu dilakukan sang hamba dengan

sendirinya karena penyesalan atas dosa itu berarti taubat. Penyesalan itu dapat

memotivasi untuk meninggalkan dosa-dosa. Dengan memahami semua itu,

Insya Allah akan mendapat taufiq dari Allah.

1.5. Langkah-Langkah Penelitian

Langkah-langkah penelitian dalam karya tulis ini mencakup 2 hal.

1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode studi buku tentang tanggal ke-2

Taubat yang dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali sebagai rujukan utama

dan juga buku-buku yang lain yang berkaitan dan dapat menunjang

penelitian ini dalam menemukan cara bertaubat sebagai dasar untuk

diterimanya ibadah.
4

Sedangkan waktu penelitian direncanakan dapat selesai dalam

jangka waktu 1 bulan, yaitu dari tanggal 1 April 2016 sampai dengan 31

April 2016. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat di tabel 1.

April
No Kegiatan Minggu ke-1 Minggu ke-2 Minggu ke-3 Minggu ke-4
1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7

Persiapan:
1 Pengajuan judul
Revisi judul
Pelaksanaan:
Studi buku
2 Bimbingan
Penyusunan
penelitian
Pelaporan:
Pengetikan
3
Finishing
Laporan penelitian

2. Metode Penelitian

Dalam penyusunan karya tulis ini, metode yang dignakan oleh

penulis adalah metode content analisys, dengan menggunakan sumber

utama dari Terjemah Minhajul Abidin yang berjudul “Tahapan Kedua

Menuju Surga dengan Taubat” serta buku-buku lain yang bisa

mendukung memecahkan masalah dan mencari sumber dari internet.

BAB II
5

LANDASAN TEORITIS DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Landasan Teoritis

a. Pengertian Taubat

Jika ditinjau secara etimologi, Taubat adalah bentuk masdar dari kata

dasar ً‫َاب – يَتُوْ بُ – تَوْ بَة‬


َ ‫ ت‬yang memiliki arti asal ‫( الرجوع‬kembali). [Abi al-

Husain Ahmad Ibn Faris ibn Zakariyya Mujam al-Maqayis fiy al-Lugah

(bairut: Dar al-Fikr, 1994), h. 175].

Secara terminologi adalah kembali kepada Allah yang Maha

Pengampun dan Maha Penyayang, menyerah diri pada-Nya dengan hati

penuh penyesalan yang sungguh-sungguh serta menjadikan anggota-

anggota lahir seperti mata, teling, kepala, kaki, tangan, kemaluan tunduk

dan patuh dengan syari'at yang telah Allah tetapkan dan berjanji tidak akan

mengulangi lagi perbuatan-perbuatan itu kembali.

Sementara menurut Al-Ashfahany, taubat merupakan upaya

meninggalkan perbuatan dosa dengan cara yang baik dan taubat adalah

cara penyesalan yang terbaik. [Abi al-Qosim al-Husain ibn Muhammad al-

Ma'ruf al-Ragib al-Asfhaniy al-Mufradat fiy Garib al-Qur'an (Bairut: Dar

al-Ma'rifat, t.th), h.76]

Di dalam kitab Minhajul Abidin, “Taubat adalah salah satu pekerjaan

hati”. Menurut para ulama bahwa cara menghasilkannya adalah

membersihkan dosa-dosa yang melekat di hati.


6

Abu Bakr al-Warraq menguraikan tentang taubat bahwa batasan

taubat adalah bertekad untuk tidak mengulang dosa yang telah lalu dengan

tidak melakukan dosa yang sama yang pernah dilakukannya karena

mengagungkan Allah dan takut akan siksa-Nya.

Mencermati beberapa pengertian taubat yang telah dikemukakan di

atas, bahasa yang berbeda namun secara subtantif para ulama bersepakat

bahwa ma'na asal taubat adalah kembali. Yang dimaksud kembali di sini

adalah kembali kepada Allah dengan keta'atan dan ketundukan,

mengerjakan apa yang diperintahkan Allah serta meninggalkan perbuatan

yang di larang-Nya. Menyesali semua perbuatan dosanya serta mencabut

segala kekhilafan masa lalunya dan bertekad untuk tidak mengulangi lagi

perbuatan kelam yang dilarang oleh Allah dengan penuh kesungguhan.

Jika melihat dari penjelasan yang telah diuraikan di atas maka dapat

disimpulkan bahwa kata taubat selalu dikaitkan dengan kata dosa dan

ma'siat, seakan perbuatan bertaubat merupakan satu konsekuensi yang

dilakukan hanya untuk hamba yang melakukan perbuatan dosa dengan

meninggalkan Allah dan melanggar perintah-Nya karena telah melakukan

perbuatan ma'siat dan dosa.

b. Faktor-Faktor yang Mewajibkan Taubat

Wajib melakukan taubat bagi orang-orang yang menjalankan ibadah.

Adapun faktor-faktor yang mewajibkan bertaubat adalah:

1. Taubat dapat mempermudah keta'atan

Mengepa demikian? Sebab perbuatan dosa akan menghalangi


7

datangnya perbuatan taat dan selalu diikuti kehinaan (tidak dapat

mendekatkan diri kepada Allah). Jeratan dosa akan menghalangi

perjalanan ibadah bersegera melayani Allah, karena dosa yang berat

akan memperberat hati melakukan kebaikan dan menghilangkan gairah

untuk berbakti kepada-Nya.

2. Dengan taubat, ibadah yang kerjakan diterima di sisi Allah

Sebab taubat merupakan bagian awal untuk menyucikan diri,

membersihkan jiwa, bathin dan hati dari segala kerak noda dosa yang

melekat di tubuh.

c. Syarat-Syarat Taubat

Diantara syarat-syarat taubat ialah:

1. Meninggalkan dosa dengan sepenuh hati dan berniat tidak akan

mengulang.

2. Berhenti dari dosa yang pernah dikerjakan.

3. Perbuatan taubat yang dilakukannya harus setimpal atau seimbang

dengan dosa yang dilakukannya sekarang.

4. Meninggalkannya semata-mata untuk mengagungkan Allah SWT serta

menyesali dosanya.

Keempat hal yang telah diuraikan tersebut adalah syarat dan rukun

bertaubat. Jika berhasil menyempurnakan syarat dan rukun tersebut, berarti

itulah yang dinamakan taubatan nasuha (taubat yang sebenarnya).

d. Hal-hal yang dilakukan sebelum Taubat

1. Mengingat keburukan dosa


8

2. Mengingat sakit dan pedihnya siksa serta kemurkaan Allah yang tidak

kuasa di pikul

3. Mengingat kelemahan dan sedikitnya kemampuan pada diri manusia

dala menghadapi siksaan Allah

4. Keyakinan akan tantangan taubat dan beratnya, dll.

e. Pengertian Ibadah

Ibadah menurt bahasa berasal dari kata yang berarti; menyembah,

mengabdi dan menghinakan diri. Sebagaimana dalam firman-Nya:

       


   

Artinya:

“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan

orang-orang sebelummu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah [2] : 21)

f. Dasar-dasar Ibadah

Ibadah harus dibangun atas 3 dasar:

1. Cinta kepada Allah dan Rasulnya dengan mendahulukan kehendak,

perintah dan menjauhi larangannya.

2. Tidak merasa takut sedikit pun kepada segala bentuk dan jenis makhluk

selain kepada Allah.

3. Harapan untuk memperoleh apa yang ada di sisi Allah tanpa pernah

merasa putus asa.

[M. Quraisy Syihab, M. Quraisy Syihab Menjawab 1001 Soal Kei-

Islaman yang Patut Anda Ketahui. (Jakarta: Lentera hati, 2008), cet.

Ke-1, Hal. 3]
9

g. Hakikat dan tujuan Ibadah

Hakikat Ibadah menurut Imam Ibnu Taimiyah adalah sebuah

terminologi integral yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan

diridhai Allah baik berupa perbuatan maupun ucapan yang tampak

maupun yang tersembunyi.

Dari devinisi tersebut dapat disimpulkan bahwa cakupan ibadah

sangat luas, setiap aktivitas di Dunia ini tidak boleh terlepas dari

permahaman akan balasan Allah kelak.

Allah SWT menjelaskan hal ini dalam firman-Nya.

         
   

Artinya:

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah niscaya ia

akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan

sebesar zarrah, dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Al-Zalzalah [99]

: 7-8)

Adapun tujuan dari Ibadah adalah menghadapkan diri kepada Allah

swt dan menunggalkan-Nya. [Abdul Al-Manar, IBADAH DAN

SYARI'AH. (Surabaya: PT. Pamator, 1999), Cet. Ke-1, Hal. 32]

2.2. Kerangka Pemikiran

Karya tulis yang berjudul “TAUBAT SEBAGAI DASAR UNTUK

DITERIMANYA IBADAH”.
10

Taubat merupakan peran utama sebagai dasar diterimanya ibadah dan

awal untuk menyucikan diri membersihkan jiwa, bathin dan hati dari semua

dosa yang melekat di hati. Karenanya bertaubat merupakan suatu kemstian

yang harus dikerjakan oleh setiap manusia setelah melakukan dosa dan

maksiat. Sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:

       


         
   
Artinya:

“Sesungguhnya bertaubat kepada Allah itu hanya (pantas) bagi meraka

yang melakukan kajahatan karena tidak mengerti, kemudian segera bertaubat.

Taubat mereka itulah yang diterima Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha

Bijaksana.” (QS. An-Nisa [4] : 17)

Memang, manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Namun manusia

yang terbaik adalah manusia yang ketika dia berbuat kesalahan, dia langsung

bertaubat kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya taubat. Bukan sekedar

taubat sesaat yang diiringin niat hati untuk mengulangi dosa kembali. Seperti

yang dijelaskan dalam kitab Minhajul Abidin karangan Imam Al-Ghazali

bahwasanya taubat yang sebenarnya (taubatan nasuha) adalah jika orang

tersebut telah memenuhi syarat-syarat taubat.

Akan tetapi tidak sedikit orang pada dewasa ini menyadari bahwa apa

yang dilakukannya adalah dosa. Mereka selalu menganggap apa yang

dikerjakannya adalah benar, namun pada kenyataannya adalah dosa. Dan

kebanyakan orang yang bertaubat hanya sekedar di bibir saja, sementara


11

hatinya tidak sungguh-sungguh untuk bertaubat. Oleh karena itu, jalan satu-

satunya agar taubat tersebut diterima oleh Allah SWT adalah dengan cara taat

akan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya serta tanamkan dalam

hati niat untuk bertaubat dengan sungguh-sungguh berjanji tidak akan

mengulanginya lagi.

Dari realita yang telah diungkapkan di atas, maka penulis berkeinginan

membahas mengenai cara supaya taubat diterima oleh Allah SWT. Dengan

harapan dapat menemukan cara tersebut agar mereka dapat memahami arti

taubat yang sesungguhnya, sehingga mereka dapat mengetahui bahkan

mengamalkannya dalam kehidupan. Meskipun pada kenyataannya sangatlah

sulit melakukan taubat yang sungguh-sungguh kecuali dengan hati ikhlas

karena Allah. Karena Allah tidak akan menerima taubat seseorang kecuali

taubat yang sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi

Maha Penyayang.

Adapun skema dari kerangka pemikiran dalam penyusunan makalah ini

adalah sebagai berikut:

Taubat Ibadah

Definisi Taubat
Pengertian Ibadah
Faktor-faktor yang mewajibkan Taubat
Dasar-dasar Ibadah
Syarat-syarat Taubat
Hakikat dan tujuan Ibadah
Hal-hal yang dilakukan sebelum Taubat

TAUBAT SEBAGAI DASAR


UNTUK DITERIMANYA IBADAH
12

BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Taubat sebagai Dasar Diterimanya Ibadah

Taubat adalah persinggahan pertama, pertengahan dan terakhir. Hamba

yang sedang meniti jalan kepada Allah tidak pernah meninggalkan taubat

hingga ajal datang menjemputnya. Jika ia beralih menuju persinggahan yang

lain, ia akan membawanya, menyertakannya dan singgah bersamanya.

Dengan demikian taubat adalah permulaan dan penghujung jalan. Allah

berfirman:

        ...


 
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah hai orang orang

beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nur [24] : 31)

Ayat ini tercantum di dalam surat Madaniyyah. Melalui ayat tersebut,

Allah berbicara kepada orang-orang yang beriman dan makhluk pilihan-Nya

agar bertaubat kepada-Nya. Setelah mereka beriman, bersabar, berhijrah dan

berjuang. Dia kemudian mengaitkan keberuntungan dengan taubat dan

menggunakan kata “La'alla” (supaya), sebagai indikasi bahwa jika kalian

bertaubat, berarti kalian telah berharap akan keberuntungan. Karena hanya

orang-orang yang bertaubat saja yang mengharap keberuntungan. Allah juga

berfirman:

        ...


Artinya:
13

“Barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang

yang dzalim.” (QS. Al-Hujurat [49] : 11)

Berdasarkan ayat di atas, manusia terbagi menjadi dua, yaitu hamba

yang bertaubat dan yang dzalim. Tidak ada kelompok hamba yang ketiga.

Sedangkan sebutan dzalim disematkan kepada siapa saja yang tidak

bertaubat, karena kebodohannya kepada Rabb-Nya, tidak tahu cela dirinya

dan kerusakan amalnya. Nabi SAW bersabda:

َ ‫هللا َايِّن ْ اَل تُ ْو ُب ِالَيْ ِه يِف الْ َي ْو ِم اَ ْكرَث ُ ِم ْن َس ْب ِعنْي‬ ِ ‫َايهُّي َ ا النَّ ُاس ت ُْوبُ ْوا ِاىَل‬
ِ ‫هللا فَ َو‬
‫َم َّر ًة‬
“Wahai sekalian manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah. Demi

Allah, sesungguhnya dalam satu hari aku bertaubat kepada-Nya lebih dari

tujuh puluh kali.”

Itulah Rasulullah SAW, padahal beliau adalah makhluk yang paling

mengetahui Allah.

Dengan bertaubat, ibadahyang dikerjakan akan diterima di sisi Allah.

Karena taubat merupakan inti dasar untuk diterimanya ibadah dan kedudukan

ibadah seolah-olah hanya sebagai tambahan. Ibarat orang yang memberikan

pinjaman, ia tidak akan menerima bunganya jika pokoknya tidak dipenuhi.

Jadi, bagaimana mungkin kebaikan akan diterima jika pokoknya tidak

dikerjakan. Bagaimana akan menjadi baik bila meninggalkan yang halal dan

mengubah yang mubah, serta tidak henti-hentinya mengerjakan yang haram.

Bagaimana akan menjadi baik jika bermunajat dan berdo'a serta memuji
14

Allah. Sedangkan Allah murka kepada kita dikarenakan kita selalu

mengerjakan sesuatu yang menjadikan Allah murka. Demikianlah keadaan

orang yang enggan meninggalkan perbuatan maksiat.

Adapun solusi untuk dapat keluar dan terbebas dari dosa, maka

perlunya mengetahui bahwasanya secara global, dosa tersebut terbagi menjadi

3 macam:

1. Dosa meninggalkan hal yang diwajibkan Allah kepada makhluknya,

seperti shalat, puasa, zakat, membayar kafarat atau kewajiban yang lain.

Jika kewajiban tersebut ditinggalkan, maka solusinya adalah secara

berangsur-angsur membayarnya sebanyak dan sekuat mungkin dari yang

telah ditinggalkan.

2. Dosa antara makhluk dan Allah, seperti minum khamar, meniup seruling,

makan riba dan yang sejenisnya. Solusinya adalah setelah melakukannya,

kemudian menyesali dan berniat dengan sungguh-sungguh untuk tidak

mengulangi kembali. Kemudian mengerjakan kebaikan yang setimpal

dengan dosa-dosa yang telah diperbuat, sebagaimana sabda Rasulullah

SAW yang artinya:

“Bertaqwalah kamu dalam keadaan bagaimanapun. Dan iringilah

kejahatan itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapusnya

dan gaulilah manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Turmudzi)

Firman Allah dalam al-Qur'an:

         ...



15

“...Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan

(dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk..” (QS. Hud [11] : 114)

3. Dosa antar sesama hamba. Jenis dosa ini adalah dosa yang paling berat dan

sulit dihindari. Dosa antar sesama hamba Allah terkadang berhubungan

dengan harta, jiwa, harga diri, kehormatan dan agama.

Adapun tindakan yang dapat membebaskan diri dari dosa yang

berkaitan dengan harta, maka cara yang terbaik adalah mengembalikan harta

tersebut kepada pemiliknya jika mampu. Bila tidak mampu mengembalikan

karena harta tersebut sudah hilang atau karena miskin, maka harus meminta

kerelaannya jika hal itu tidak mungkin dilakukan karena pemiliknya pergi

atau sudah mati dan mampu bershadaqah, maka yang terbaik adalah

memperbanyak kebaikn dan merendahkan diri dihadapan Allah sambil

memohon dihadapan Allah agar kelak pada hari kiamat Allah meridhai.

Sedangkan tindakan yang dapat membebaskan diri dari dosa yang

berhubungan dengan jiwa, maka harus menyerahkan diri agar dibalas dengan

hukuman yang setimpal atau meminta kerelaannya. Jika tidak mampu

melakukannya, maka kembalilah kepada Allah SWT serta rendahkan diri

dihadapan-Nya. Selanjutnya memohon agar kelak pada hari Kiamat Allah

merekan.

Sementara dosa yang berkaitan dengan harga diri, seperti mengunjing,

menipu atau mencaci, maka hendak menghapusnya dengan cara memberi

tahu kepada orang yang bersangkutan bahwa apa yang telah dikatakan itu

sebenarnya kebohongan, lalu meminta kerelaan kepada-Nya.


16

Berbeda dengan solusi ketiga dosa di atas, dosa yang menyangkut

kehormatan, seperti berkhianat kepada seseorang tentang istri, anak atau yang

sejenisnya. Maka dosa seperti ini tidak bisa ditebus dengan hanya meminta

kerelaan orang tersebut, sebab hal itu bisa menimbulkan kemarahannya.

Dalam konteks ini, yang efektif dan efisien adalah jika merendahkan diri

sambil memohon kepada Allah agar Dia memberikan kebaikan yang banyak

sebagai imbalannya. Namun jika tidak khawatir timbul fitnah, meski itu

jarang terjadi, maka meminta kerelaannya adalah tindakan yang terbaik.

Adapun dosa yang berkaitan dengan masalah agama, seperti

mengkafirkan atau menuduh orang lain berbuat bid'ah dan sesat, maka ini

adalah hal yang sulit dihapus. Hanya saja yang dibutuhkan adalah

menyatakan bahwa apa yang dibicarakan di depan lawan bicara adalah

bohong dan meminta maaf kepada pihak yang bersangkutan dengan catatan

jika hal itu memungkinkan untuk dilakukan. Namun jika tidak, maka harus

benar-benar merendahkan diri kepada Allah serta memohon agar Dia

meridhai.

Artinya secara global bahwa apa saja yang memungkinkan untuk

dikerjakan sebagai penebus dosa yang telah diperbuat, seperti meminta maaf

kepada musuh, maka kerjakanlah. Jika tidak mungkin, maka kembalikanlah

semuanya kepada Allah dengan merendahkan diri serta memohon kepada-

Nya dan bershodaqah. Semuanya terserah kehendak Allah kelak pada hari

kiamat hanya saja harus berharap agar Allah memberikan anugerah dan

karunia-Nya yang agung. Bila Allah mengetahui ketulusan hati sang hamba,
17

maka Allah akan menjadikan musuhnya rela kepada hamba tersebut dengan

limpahan krunia-Nya dan tidak ada lagi hukuman baginya (pembuat dosa).

3.1.1. Jalan agar Ibadah dapat Diterima oleh Allah

Ibadah dalam arti sebenarnya adalah takut dan tunduk sesuai

dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh Agama. Seseorang belum

sempurna ibadahnya kalau hanya dilakukan lewat perbuatan sja,

sedangkan perasaan tunduk dan berhina diri itu belum bangkit dari

hati. Bila ibadah yang dikerjakan bukan karena Allah, hanya karena

maksud lain. Misalnya saja hanya ingin dilihat orang dan

mendapatkan pujian, berarti ia telah mempersekkutukan Allah dan

ibadah yang dikerjakannya akan ditolak oleh Allah. Agar ibadah dapat

diterima oleh Allah, maka harus memiliki sikap berikut:

1. Ikhlas, artinya hendaklah ibadah yang dikerjakan itu bukan karena

mengharap pemberian dari Allah, tetapi semata-mata karena

perintah dan ridha-Nya. Dan juga bukan karena mengharapkan

surga dan jangan pula karena takut kepada neraka. Karena Surga

dan Neraka tidak dapat menyenangkan atau menyiksa tanpa seizin

Allah SWT.

2. Meninggalkan riya, artinya beribadah bukan karena malu kepada

manusia dan supaya dilihat oleh orang lain.

3. Bermuragabah, artinya yakin bahwa Allah itu melihat dan selalu

ada disamping makhluknya sehinga makhluk tersebut bisa bersikap

sopan kepada-Nya.
18

4. Jangan keluar dari waktunya, artinya mengerjakan ibadah dalam

waktu tertentu, sedapat mungkin dikerjakan di awal waktu. (Ibnu

Mas'ud, Zainal Abidin S., Fiqh Madzhab Syafi'i, 2007, Bandung:

Pustaka Setia, Hal.20)

Adapun ibadah bisa jadi tidak diterima oleh Allah jika terjadi

kekeliruan dalam taubat. Diantara kesalahan-kesalahan saat bertaubat

ialah:

a. Lemahnya tekad, kecenderungan hati pada dosa dari waktu ke

waktu dan ingat akan manisnya terjerumus dalam lembah dosa.

b. Perasaan tenang dan percaya diri bahwa ia telah bertaubat,

sehingga seolah-olah taubat tersebut telah memberi jaminan

keamanan kepadanya. Ini termasuk tanda-tanda kesalahan dalam

bertaubat.

c. Tidak menangis, selalu lalai dan tidak memperbaharuinya dengan

amal-amal kebaikan yang belum pernah dilaksankan sebelum

berbuat salah.

3.1.2. Tanda-Tanda Sahnya Taubat

Diantara tanda-tanda sahnya taubat seorang hamba ialah:

1) Setelah bertaubat menjadi lebih baik dari pada sebelumnya.

2) Selalu diikuti perasaan takut dan tidak merasa aman dari makar

Allah walaupun sekejap. Rasa takutnya terus mengikutinya sampai

ia mendengar perkataan malaikat saat mencabut nyawanya.


19

        ...


 
“Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih dan

gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah

kepadamu.” (QS. Fushshilat [41] : 30)

3) Hati menjadi rusak dan hancur karena menyesal dan takut. Hal ini

sesuai dengan tingkatan besar kecilnya perbuatan dosa. Berikut

interpretasi Ibnu 'Uyainah tentang firman Allah SWT:

       


        

“Bangunan-bangunan yang mereka dirikan itu senantiasa

menjadi pangkal keraguan dalam hati mereka, kecuali bila hati

mereka itu telah hancur.” (QS. At-Taubah [9] : 110)

Ia menjelaskan, “Hatinya hancur yang berujung taubat tak

diragukan lagi bahwa ketakutan yang amat sangat pada siksa yang

pedih akan menyebabkan hati inilah rusak dan takut. Inilah yang

disebut hancurnya hati dan inilah hakikat taubat”.

Sebab hatinya hancur karena menyesal atas kelalaiannya dan

takut akan akibat buruknya. Karena itu, barangsiapa yang hatinya

tidak hancur di Dunia karena kelalainnya, maka ia akan hancur di

Akhirat.

4) Keretakan yang menimpa hati tidak bisa dianalogikan dengan

apapun. Hal itu tidak akan terjadi pada orang yang tidak berbuat

dosa. Hal itu tidak terjadi hanya karena lapar, olahraga atau cinta
20

semata. Tapi itu semua adalah buah yang ada dibalik semua ini.

Inilah beberapa indikasi taubat yang diterima. Barangsiapa yang

tidak mendapati semua itu dalam hatinya, hendaklah ia menganggap

salah taubatnya dan segera meluruskannya. Alangkah sulitnya taubat

yang benar secara hakikat dan alangkah mudahnya ia secara lisan.

3.2. Larangan Menunda-nunda Taubat

Diantara manusia terdapat segolongan orang yang mengetahui

kesalahannya dan mengetahui keharaman perbuatan yang dilakukannya.

Namun masih saja menunda-nunda taubat dan selalu mengucapkan “Nanti

dulu”.

Diantara mereka ada yang menundanya sampai menikah, lulus sekolah,

bahkan sampai menginjak usia senja dan karena berbagai alasan penundaan

lainya. Ini merupakan kesalahan besar sebab bertaubat wajib dilakukan secara

langsung. Pasalnya, semua perintah Allah dan Rasul-Nya menyatakan bahwa

bertaubat itu wajib dilaksanakan secara langsung, selama tidak ada dalil yang

menunjukkan kebolehan menunda pelaksanaannya. Bahkan, menunda taubat

merupakan salah satu dosa yang wajib dimohonkan ampunan kepada Allah

Azza wa Jalla.

Al-Ghazali rahimahullah berkata, “Tidak ada keraguan mengenai

kewajiban bertaubat secara langsung. Sebab mengenali berbagai

kemaksiatan sebagai sesuatu yang membinasakan merupakan sebagian dari

iman, maka itu wajib dilakukan dengan segera.”.


21

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Bertaubat dengan segera

merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan dan tidak boleh ditunda.

Setiap kali seorang hamba menunda taubat, berarti ia telah berbuat maksiat

kepada Allah dan apabila ia sudah bertaubat dari dosa yang dilakukannya,

maka tinggal kewajiban untuk bertaubat dari perbuatan menunda pelaksanaan

taubat.”

Jarang sekali hal ini terlintas dalam pikiran orang yang bertaubat,

bahkan menurutnya apabila sudah bertaubat dari dosa yang dilakukan, berarti

tidak ada lagi kewajiban lain yang harus ia laksanakan, yaitu bertaubat dari

perbuatan menunda-nundanya.

Dalam kitab Qisharul Amal, Ibnu Abid Dunya rahimahullah

menyebutkan, dari Ikrimah rahimahullah, dalam firman Allah Azza wa Jalla.

       ...

“...Dan mereka menduga-duga tentang yang ghaib dari tempat yang

Jauh.” (QS. Saba' [34] : 53)

Ia berkata, “Apabila dikatakan kepada mereka; "Bertaubatlah", maka

mereka menjawab; "Nanti dulu". Seharusnya seorang hamba segera bertaubat

sebab ini memang kewajiban baginya. Tujuannya agar dosa-dosanya tidak

menjadi pembungkus hatinya. Sehingga sulit dihapus atau tidak didahului

oleh angan-angan yang selalu mengiringi dosanya.

Oleh karena itu, cepat-cepatlah bertaubat atau kembali kepada Allah,

bila sedang mengerjakan maksiat. Jangan sampai menunda-nunda nanti kalau

sudah tua, atau nanti kalau sudah puas nafsunya. Orang yang demikian ini
22

adalah sebodoh-bodoh orang. Sebab dia tidak tahu kapan datangnya maut dan

dimana berada.

Sebagaimana firman Allah:

      


        
        


“Dan taubat itu tidaklah (diterima Allah) dari mereka yang melakukan

kejahatan hingga apabila datang ajal kepada seorang diantara mereka,

(barulah) dia mengatakan, "saya benar-benar bertaubat sekarang". Dan tidak

(pula diterima tobat) dari orang-orang yang meninggal sedang mereka di

dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah kami sediakan azab yang pedih.”

(QS. An-Nisa [4] : 18)

Banyak diantara manusia yang sudah merasa berdosa tetapi malah

menunda-nunda untuk bertaubat dengan alasan-alasan antara lain:

1. Masih menggantungi perbuatan dosa tersebut, bahkan merasa nyaman,

enak dan bangga dengannya.

2. Menganggap kecil perbuatan dosa.

3. Khawatir jika sudah bertaubat pun akan terjebak dalam dosa yang sama,

jadi taubatnya nanti saja kalau merasa benar-benar sudah mampu

meninggalkannya 100%, dll.

3.2.1. Bahanya Menunda Taubat


23

Seringkali orang menunda-nunda taubat itu hingga datang waktu

tidak diterimanya taubat, dan Allah SWT sudah tidak menerinya, yaitu

ketika manusia telah kehilangan kesempatan untuk memilih. Dan saat

itu taubatnya adalah taubat orang yang terpaksa. Seperti taubat Fir'aun

ketika ia sudah hampir tenggelam. Ia berkata; “Aku beriman bahwa

tidak ada Tuhan selain Tuhan yang diimani oleh Bani Israil dan aku

adalah bagian dari kaum muslimin”. Maka jawaban Allah adalah;

“Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya

kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang

yang berbuat kerusakan”. (Q.S. Yunus [10] : 91)

Jika taubat adalah wajib bagi seluruh kaum mu'minin, maka

melaksanakannya secepatnya adalah kewajiban yang lain. Sehingga

tidak boleh ditunda pelaksanaannya. Karena itu akan berbahaya bagi

hati orang yang beragama. Dan jika tidak cepat-cepat membersihkan

dirinya dari dosa, ditakutkan pengaruh dosa itu akan bertumpuk dalam

hatinya, satu perstu hingga hati itu menghitam atau membusuk.

Seperti disebutkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah

r.a. dari Nabi SAW.

“Sesungguhnya seorang manusia, jika ia melakukan dosa maka

dihatinya akan tercoreng warna hitam dan jika ia menginggalkan

perbuatan dosa itu serta bertaubat darinya, maka hatinya kembali

bersih. Dan jika ia kembali melakukan dosanya itu, maka hitamnya itu

akan di tambah hingga menutupi seluruh hatinya, itulah tutupan yang


24

disebutkan Allah SWT dalam firman-Nya; “Sama sekali tidak

(demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup

hati mereka.”

Ibnu Qoyyim berkata; “segera bertaubat dari dosa adalah

kewajiban yang harus dilakukan segera dan tidak boleh ditunda.

Ketika ia menundanya maka ia bertambah dosa dengan penundaannya

itu. Dan jika telah bertaubat dari dosa, maka masih ada dosa yang

harus dipintakan ampunannya, yaitu dosa menunda bertaubat!

Tentang ini sedikit sekali dipikirkan oleh oran gyang telah bertaubat.

Malah menyangka jika telah bertaubat dari dosanya maka ia tidak

memiliki dosa lagi selain itu, padahal ia tetap memiliki dosa, yaitu

menunda taubatnya.

3.2.2. Keutamaan Menyegerakan Tauabat

        ...

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan

menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (Q.S. Al-Baqarah [2] :

222)

Manusia merupakan makhluk Allah yang bahkan disebutkan

sebagai tempat salah dan lupa. Tidak ada manusia yang tidak pernah

melakukan kesalahan, dan karenanya Allah menyediakan sarana

taubat. Rasulullah SAW bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di

tangan-Nya, seandainya kalian tidak pernah berbuat dosa, Allah akan


25

menggantikan kalian dengan mendatangkan kaum yang mereka

berbuat dosa kemudian memohon ampun kepada Allah. Maka Allah

pun mengampuni mereka.” (H.R. Muslim)

Allah SWT menyeru untuk hamba-Nya bertaubat.

...        

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah

dengan taubatan nasuha.” (Q.S. At-Tahrim [66] : 8)

Yang dimaksud dengan An-Nasuha dalam bertaubat adalah

memurnikannya dari tipu daya, kekurangan dan kerusakan.

Al-Hasan Al-Bashri menuturkan, “Taubat yang murni ialah

seorang hamba harus menyesali perbuatan dosanya yang telah lalu

sembari bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.”

Al-Kalbi berkata, “Taubat yang murni ialah seorang hamba

harus memohon ampun dengan lisan, menyesal dengan hati dan

menahan dengan anggota tubuhnya.

Sa'id bin Al-Musayyab mengatakan, “Taubat yang semurni-

murninya”. Artinya dengan taubat itu kalian harus menasihati diri

kalian sendiri.

Menurut ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, kemurnian dalam bertaubat

meliputi tiga hal;

Pertama, mencakup semua dosa yang pernah dilakukan dan

tidak ada satu pun dosa yang tertinggal.


26

Kedua, menguatkan tekad dan kemantapan secara total. Dengan

kata lain, tidak ada lagi keragu-raguan dan penangguhan. Bahkan, ia

menyatukan kehendak dan tekadnya seketika itu juga.

Ketiga, membersihkan taubat dari cela, penyakit-penyakit yang

menodai keikhlasan dan tujuannya yang murni karena takut kepada

Allah semata, cinta kepada apa yang Dia miliki dan mengharap apa

yang ada di sisi-Nya.

Diantara keutamaan menyegerakan taubat ialah:

1. Taubat adalah sebab untuk meraih kecintaan Allah SWT.

2. Taubat merupakan sebab keberuntungan.

3. Taubat menjadi sebab diterimanya amal-amal hamba dan turunya

ampunan atas kesalahan-kesalahan.

4. Taubat merupakan sebab masuk Surga dan keselamatan dari siksa

neraka.

5. Taubat adalah sebab mendapatkan ampunan dan rahmat.

6. Taubat merupakan sebab berbagai kejelekan diganti dengan

berbagai kebaikan.

7. Taubat menjadi sebab untuk meraih segala macam kebaikan.

Allah akan menghendaki hamba-Nya memperoleh ampunan dan

Surga.

Ada dua titik ekstrim bagi orang yang berdosa. Ekstrim pertama

adalah mereka yang merasa dosanya terlalu besar hingga putus asa

dari ampunan Allah. Maka, ia pun tidak kunjung bertaubat karena


27

kekhawatiran taubatnya tidak diterima. Ekstrim kedua adalah mereka

yang merasa dosa-dosa kecil, sehingga membuatnya berlarut-larut

dalam dosa demi dosa kalaupun bertaubat hanya melakukan taubat

sambal. Tidak pernah sungguh-sungguh melakukan taubatan Nasuha.

Untuk ekstrim pertama, lihatlah bagaimana seseorang yang telah

membunuh 99 nyawa. Saat ia bertanya kepada ahli agama apakah ada

kesempatan bertaubat, ternyata dijawab tidak bisa. Lalu ia pun

dibunuh sebagai orang ke-100 yang mati ditangannya. Niatnya

bertaubat tidak berhenti. Ketika bertemu seorang alim, ia pun

mengajukan pertanyaan yang sama. Oleh sang alim ini dijawab kalau

dosanya bisa diampuni. Dan sebagai upaya taubat Nasuha. Ia

dianjurkan hijrah ke suatu daerah yang kondusif bagi taubatnya. Di

tengah jalan ia meninggal. Hingga berdebatlah malaikat-malaikat

rahmat dan malaikat adzab. Orang ini menjadi urusan siapa?

Keduanya lalu mengadukan perselisihan ini kepada Allah SWT yang

berakhir dengan ampunan bagi pembunuh yang benar-benar berniat

bertaubat ini.

Adapun dosa kecil, seringali terjebak pada sikap merendahkan,

saat berhibah, bercanda yang sudah masuk kategori rafats (porno),

bahkan bergaul dengan lawan jenis yang tidak Islami, selalu

beralasan, “Itu kan dosa kecil, tidak apa-apa”. Padahal orang yang

meremehkan dosa ia tidak sadar sedang berhadapan dengan siapa.

Siapakah yang ia maksiati? Allah Azza wa Jalla, yang Maha besar dan
28

Maha Keras adzab-Nya. Jika memahami sesungghnya tidak ada dosa

kecil jika dilakukan terus menerus. Rasulullah SAW bersabda yang

artinya:

“Tidak ada dosa kecil selagi terus dikerjakan.” (H.R. Dailami)

Sudah menjadi keharusan bagi setiap insan yang beriman

apabila menyandang dosa cepat-cepatlah menghadap Allah dan

menyesali atas perbuatan-perbuatan yang telah dikerjakan itu.jangan

mempunyai anggapan (perasaan) putus asa dalam memohon ampunan

kepada Allah, bahwa dia tidak akan menerima taubat disebabkan dosa

itu sangat besar. Sifat yang demikian itu adalah dilarang oleh Allah.

Sebab berarti itu merupakan keburuk sangkaan kepada Allah.

Enggan bertaubat (menyesali) perbuatan yang maksiat karena

merasa dosa yang dilakukan itu sangat besar itu berarti putus asa dari

Rahmat Allah. Putus asa dari Rahmat Allah adalah perbautan orang

kafir.

3.3. Menyesali Berbagai Dosa dengan Melakukan Taubat Satu Kali

Tuan Izzudin bin Abdussalam berkata; “Kewajiban bertaubat

hendaknya dijalankan dan dianjurkan berkali-kali bila masih

mengulangi maksiat lagi. Dan akan berdosa, bila banyak kesempatan

bertaubat yang ditinggalkan. Oleh karena itu, dibutuhkan bertaubat

lagi lantaran ditunda-tunda taubatnya, sebagaimana dianjurkan

bertaubat lantaran dosa yang lalu”.


29

Seseorang diwajibakan memperbaharui taubat dari maksiat yang

telah dijalankan, bila disuatu saat mengingatnya, demikian menurut

pendapat Abu Bakar Al-Qilani. Dia melanjutkan perkataannya, “Bila

tidak mengulangi taubat diwaktu ingat dosa yang telah dilakukannya

maka termasuk bermaksiat”. Di saat itu orang harus bertaubat lagi.

Bila seseorang mengetahui dosa-dosa yang dilakukan secara

perinci, maka harus bertaubat satu persatu dari dosa itu dan tidak

cukup dengan sekali taubat. Sebab taubat sekali untuk seluruh dosa

dihukumi tidak sah. Imam Zarkasi berkata; “Hukum sedemikian ini

sudah jelas, tidak usah diterangkan lagi”. Ibnu Abdis Salim berkata;

“Dalam bertaubat, hendaknya seseorang mengingat dosa-dosa yang

telah lampau selama masih bisa diingat. Untuk dosa yang sudah

lenyap dari pikiran, tidak diharuskan mengingatnya, sebab Islam

tidak memerintahkan kecuali sejauh kemampuan.”

Al-Qadhi Abu Bakar berkata, bila seseorang tidak bisa

mengingat dosa yang telah lalu, maka hendaklah berkata, “Seandainya

aku mempunyai dosa yang tidak ku ketahui, maka sesungguhnya aku

telah bertaubat pada Allah”. Ketahuilah, sesungguhnya taubat adalah

perbuatan baik, taat pada Allah yang dijanjikan akan mendapat pahala.

Untuk terhindarnya siksa, maka terserah kepada Allah yang Maha

pengampun, penerima taubat lagi Maha belas kasih.


30

Jika siang dan malam selalu ingat dan membiasakan diri

mengingat dosa-dosa yang dikerjakan, maka yang demikian ini akan

memotivasi untuk benar-benar bertaubat dari dosa-dosa.

Jika dikatakan bahwa bukankah Nabi SAW pernah bersabda:

‫َالنَّدْ ُم ت َْوب َ ٌة‬


“Penyesalan atas dosa itu berarti taubat.”

Dimana dalam hadist ini secara eksplisit dan tekstualis, beliau

sama sekali tidak menyebutkan adanya syarat-syarat dan hal-hal yang

berat seperti yang disebutkan di atas, maka jawabannya adalah

pertamakali yang harus diketahui bahwa pada dasarnya penyesalan

merupakan hal yang tidak mampu dilakukan sang hamba dengan

sendirinya.

Terkadang seseorang menyesal dalam hati dari berbagai hal,

tetapi ia tidak berkeinginan menyesalinya, padahal taubat merupakan

hal yang diperintahkan. Selanjutnya, jika seseorang menyesali dari

dosa hanya karena hal itu dapat menghilangkan kedudukannya dimata

masyarakat atau takut kehilangan mata pencahariannya, maka tidak

diragukan lagi bahwa penyesalan tersebut bukanlah taubat. Dengan

demikian, bahwa dalam hadist tersebutada makna secara inplisit yang

bisa diketahui dari lahirnya saja, yaitu penyesalan karena

mengagungkan Allah dan takut dari siksa-Nya termasuk hal yang

membangkitkan taubat yang sebenarnya, karena hal tersebut

merupakan sifat dan keadaan orang-orang yang bertaubat.


31

Jika seseorang mengingat 3 hal yang harus dikerjakan sebelum

mengerjakan taubat, maka otomatis dia akan menyesal. Penyesalan itu

dapat memotivasi untuk meninggalkan dosa-dosa. Pada akhirnya,

tinggal penyesalan yang ada dalam hati dan hal itu akan

memotivasinya untuk merendahkan diri dihadapan Allah, karena

penyesalan termasuk penyebab orang mau bertaubat dan sebagai sifat

orang yang bertaubat.

Oleh karenanya, Rasulullah SAW menamakan sikap penyesalan

dengan sebutan taubat hingga beliau bersabda; “Penyesalan adalah

taubat”. Dengan memahami semua itu, Insya Allah akan mendapat

taupiq dari Allah SWT.

An-Nawawi mengatakan, “seandainya seseorang berulangkali

melakukan dosa hingga 100 kali, 1000 kali atau lebh, lalu ia bertaubat

setiap melakukan dosa, maka pasti Allah akan meneriam taubatnya

setiap kali ia bertaubat, dosa-dosanya pun akan gugur, seandainya ia

bertaubat dengan sekali taubat saja setelah ia melakukan dosa tadi,

taubatnya pun tidak sah.” (Al Minhaj Syarh Sahih Muslim. 17/75.)

Taubat tidaklah ada tanpa didahului oleh penyesalan terhadap

dosa yang dikerjakan. Barang siapa yang tidak menyesal, maka

menunjukkan bahwa ia senang dengan perbuatan tersebut dan menjadi

indikasi bahwa ia akan terus menerus melakukannya. Akankah

percaya bahwa seseorang itu bertaubat sementara dia dengan ridha

masih terus melakukan perbuatan dosa tersebut? Hendaklah ia


32

membangun tekad yang kuat di atas keikhlasan, kesungguhan niat

serta tidak main-main. Bahkan ulama yang menambahkan syarat yang

ke empat, yaitu tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut. Sehingga

kapan saja seseorang mengulangi perbuatan dosanya, jelas bahwa

taubatnya tidak benar. Akan tetapi sebagian besar para ulama tidak

mensyaratkan hal ini.

3.3.1. Unsur-Unsur Taubat

a. Ilmu

Dengan menambah ilmu agama, maka akan semakin tahu

bahwa ternyata banyak hal yang telah dilanggar oleh manusia, baik

tahu atau tidak dan sadar atau tidak. Dengan ilmu bisa mengetahui

munculnya dosa-dosa dari setiap tingkah laku, terkait dengan hal

apa saja, jika muncul dosa maka sensor perasaan akan peka dan

dapat mendeteksi bahwa manusia telah atau sedang berdosa.

Sehingga ilmu merupakan unsur yang sangat penting dalam hal

taubat. Tanpa ilmu seseorang yang melakukan dosa besar pun juga

tak akan mampu menemukan bahwa diri sejatinya seorang

pendosa. Dan dengan ilmu pula seseorang akan sadar bahwa dosa

merupakan penghijab antara dirinya dan Allah SWT. Dan ini akan

menimbulkan kegelisahan diri. Semakin berilmu seseorang, maka

dosa kecil pun akan berakibat kegelisahan yang luar biasa baginya.

Demikian pula sebaliknya, jika bagi orang yang tidak berilmu maka
33

dosa besar yang ada pada dirinya tidak akan berefek pada stabilitas

dirinya terkait penjagaan hubungannya dengan Allah Ta'ala.

b. Penyesalan

Setelah seseorang itu memiliki ilmu maka akan terjadi proses

intropeksi di dalam dirinya secra terus menerus dan hati mulai

bekerja untuk segera menemukan jalan dan langkah penyelamatan

dari situasi penyesalan yang sangat membuat dia tidak nyaman.

Kondisi penyesalan ini mutlak ada dalam diri seseorang yang

benar-benar ingin bertaubat. Jika tidak ada rasa penyesalan pada

dirinya, maka mustahil jika seseorang benar-benar ingin bertaubat.

c. Amal

Taubat sering diartikan sebagai suatu penyesalan, selanjutnya

buah dari penyesalan itu adalah meninggalkan apa yang

membuatnya menyesal dan kemudian bergegas untuk

membersihkannya, yakni dengan mengganti hal-hal yang tidak

membuatnya menyesal dan gelisah. Yakni perbuatan-perbuatan

atau amal-amal yang diyakini adalah amal shalih yang dituntunkan

oleh Agama yang dapat membawa ketentraman pada dirinya dan

mendatangkan cinta Allah SWT.

3.3.2. Penghalang Taubat

Diantara hal-hal yang menghalangi taubat ialah:

1. Bid'ah dalam agama


34

Rasulullah SAW bersabda:

‫هللا َح َج َب التَّ ْوب َ َة َع ْن َصا ِح ِب لُك ِ ّ ِبدْ عَ ٍة‬


َ ‫ِا َّن‬
“Sesungguhnya Allah menutup Taubat dari semua ahli

bid'ah.” (Ash-Shahihah, no.1620)

2. Kecanduan minuman keras

Rasulullah SAW bersabda:

ِ ‫ْل َحقًّا عَىَل‬


‫هللا‬ ِ ‫َم ْن هَن َ ِر الْ َخ َي الِ ِقيْ َل َو َم ا هَن َ ُر الْ َخ َي الِ قَ ا َل َص ِديْدُ َاه‬
‫تَ َع اىل َا ْن ي َّْس ِق َي ُه َم ْن رَش ِ َب الْ َخم َْر ل َ ْم تُ ْق َب ْل هَل ُ َص اَل ٌة َا ْرب َ ِعنْي َ ل َ ْيةَل ً فَ ِا ْن‬
)‫ (رواه امحد‬.‫هللا عَلَ ْي ِه فَ ِا ْن عَا َد اَك َن النَّ ِار‬
ُ ‫اَت َب اَت َب‬
“Barangsiapa yang minum khamr (minuman keras), maka

shalatnya tidak diterima selama empat puluh malam, jika ia

bertaubat, maka Allah akan menerimanya. Namun, bila mengulangi

lagi, maka pantaslah bila Allah memberinya minuman dari sungai

khibaal. Ada yang bertanya; "Apa itu sungai Khibaal?". Beliau

menjawab, "Nanah penduduk neraka".” (HR. Ahmad [2/189] dan

dishahihkan Al-Albani dalam shahih Al-Jaami' Ash Shaghir,

no.6188) {http://almanhaj.or.id/content/2975/slash/0/taubat-

nashuha/}
35

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Dari uraian yang telah dijelaskan dalam tujuan penelitian dan

pembahasan, maka dapat disimpulkan:

1. Bahwa sebagai dasar diterimanya ibadah adalah dengan bertaubat.

Kewajiban bertaubat yaitu untuk orang-orang yang melakukan dosa dan

maksiat. Kategori taubat yang dapat diterima oleh Allah SWT dikerjakan

dengan hati yang ikhlas dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan dosa

itu lagi.

2. Allah SWT melarang kepada hamba-Nya untuk menunda-nunda

taubatnya, karena itu merupakan kesalahan besar dan bisa jadi dosa akibat

penundaan taubatnya. Bertaubat harus dilakukan dengan segera sebelum

waktu terlambat dan ajal menjemput. Allah akan menghendaki hamba-Nya

memperoleh ampunan dan Surga jika seseorang melaksanakan taubatnya

dengan segera dan tidak menunda-nundanya serta tidak pernah putus asa

atas rahmat dan ampunan Allah. Sesungguhnya Allah menyediakan waktu

taubat kepada hamba-Nya hingga sakaratul maut datang. Maka Allah

menyerukan kepada hamba-Nya agar cepatlah bertaubat sebelum

terlambat.

3. Tidak sah taubatnya jika dilakukan dengan sekali taubat untuk dosa yang

banyak, maka dari itu kewajiban bertaubat hendaknya dijalankan dan


36

dianjurkan berkali-kali bila masih mengulangi lagi. Penyesalan dari dosa

itu berarti taubat. Kecintaan Allah kepada seseorang itu menyebabkan

dosa-dosanya dapat diampuni dan kebencian Allah kepada seseorang itu

menyebabkan kebaikan-kebaikannya tidak diterima (ditolak). Maka dari

itu, sebagai hamba Allah carilah jalan bagaimana caranya dicintai Allah

dan mendapat kasih sayangnya. Tak lain dan tak bukan kuncinya adalah

taat dan patuh menjalankan akan semua perintah-perintahnya secara ikhlas

serta menjauhi semua larangan-larangan-Nya.

4.2. Saran

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan oleh penulis

memberikan saran untuk pembaca, diantaranya:

1. Kesempatan tidak akan datang dua kali, maka sebagai makhluk yang tak

pernah lepas dari dosa, dawamkanlah bertaubat agar ibadah yang

dikerjakan diterima oleh Allah SWT.

2. Tinggalkan segala sesuatu yang dapat menyebabkan dosa dan maksiat,

mulailah tuk jadi umat yang taat akan perintah Allah dan menjauhi

larangan-Nya.
37

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur'an dan terjemahnya.

Al-Hadist

Ghazali. ___. Minhajul 'Abidin. Bandung: PT. Irsyad Baitus Salam.

Atailah, Ahmad. ___. Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam. Surabaya: Mutiara

Ilmu.

Aziz, Zainuddin Ibnu Abdul. ___. Irsyadul 'Ibad. Surabaya: Mutiara Ilmu.

Farid, Ahmad. ___. Tazkiyatun Nafs Penyucian Jiwa dalam Islam. Jakarta

Timur: Ummul Qura.

http://almanhaj.or.id/content/2975/slash/0/taubat/nasuha/

http://www.muslim.or.id
38

LAMPIRAN TARKIBAN

        ...

1.  
Kedudukan kalimat : Amil nawasikh sugra dan isim lafadz َّ‫اِن‬

Keadaan kalimat : Nasab

Jenis kalimat : Isim Mufrod

Sighot kalimat : -

Lughat kalimat : Sesungguhnya Allah

2.  
Kedudukan kalimat : Fi'il Mudhori' dan Fa'il Isim dhomir

Keadaan kalimat : Rofa'

Jenis kalimat : Fi'il Mudhori' (Mufrad Mudzakar Ghoib)

Sighot kalimat : Fi'il Mudhori' (Tsulasi mujarod bab ke-2)

Sejumlahan Fi'il dan Fa'il jadi khabar lafadz َّ‫اِن‬

Lughat kalimat : Allah menyukai

3. 
Kedudukan kalimat : Maf'ul bih dari Fi'il lafadz ‫يحب‬

Keadaan kalimat : Nashob

Jenis kalimat : Jama' Mudzakar Salim

Sighot kalimat : Masdar (Tsulasi majid warna ke-1 bab ke-2)

Lughat kalimat : Kepada orang-orang yang Taubat

4. 
39

Kedudukan kalimat : Haraf 'ataf, Fi'il Mudhori' dan Fa'il isim dhomir

Keadaan kalimat : Rofa’

Jenis kalimat : Fi'il Mudhori' (Mufrad mudzakar ghaib)

Sighot kalimat : Fi'il Mudhori' (Tsulasi mujarod bab ke-2)

Lughat kalimat : Dan Allah menyukai

5. 
Kedudukan kalimat : Maf'ul bih dari Fi'il lafadz ‫ويحب‬

Keadaan kalimat : Nashob

Jenis kalimat : Jama' mudzakar salim

Sighot kalimat : Isim Fa'il (tsulasi mazid warna ke-1 bab ke-2)

Lughat kalimat : Kepada orang-orang yang mensucikan diri

RIWAYAT HIDUP
40

Penulis bernama SITI NUR'AENI, lahir di Majalengka, senin

24 Februari 1997. Penulis merupakan anak dari lima

bersaudara. Penulis terlahir dari buah cinta kasih pasangan

Bpk H. Muhammad Toto Siddiq dan Ibu Hj. Ocoh Siti

Masitoh. Penulis bertempat tingal di kampung Wanakerta

RT.03 RW. 04 Desa Rawa Kecamatan Cingambul Kabupaten Majalengka, Jawa

Barat, Indonesia. Dan Alhamdulillah dari mulai tahun 2014 penulis berdomisili di

Pondok Pesantren Miftahul Huda II Bayasari Kecamatan Jatinagara, Ciamis dan

sampai sekarang.

Jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis adalah sebagai

berikut:

a. Tahun 2005 penulis menempuh pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Negeri

Rawa 3 dan lulus pada tahun 2010.

b. Tahun 2010 penulis melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah (MTs) PUI

Kancana dan lulus pada tahun 2013.

c. Pada tahun 2013 penulis melanjutkan sekolah di SMK Miftahul Huda II dan

lulus pada tahun 2016.

Selain pendidikan Formal, penulis juga menempuh pendidikan non Formal

yaitu:

a. Pada tahun 2010 – 2013 penulis mondok di pesantren Nurul barokah Kancana

Cikijing Majalengka.

b. Pada tahun 2013 sampai sekarang penulis melanjutkan ke Pesantren Miftahul

Huda II Bayasari Jatinagara Ciamis.


41

Demikian riwayat hidup penulis. Riwayat ini dibuat dengan sebenar-

benarnya.

Anda mungkin juga menyukai