Anda di halaman 1dari 113

MEMBANGUN BUDAYA

SADAR RISIKO

Penulis:
Abdul Mongid
Saladin Ghalib
MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO

2022 I 00395

Penulis
Abdul Mongid I Saladin Ghalib

Editor
Dr. Abdul Rahman, H. M.T.,CT.,CHCP.,C.PI

ISBN: 978-623-457-051-9

Desain Sampul
Lukas Liani, S.Psi.

Layout
Asep Nugraha, S.Hum.

Cetakan Pertama Juli 2022


vi + 107 hlm ; 15.5x23 cm

Penerbit
Yayasan Pendidikan dan Sosial
Indonesia Maju (YPSIM) Banten
Kavling Aji Said – Muntil Permai
Blok A.12 Lingkungan Muntil
Kota Serang Provinsi Banten
E-mail: Ypsimbanten@gmail.com
Website : www.ypsimbanten.com
WhatsApp: 0815 9516 818
ANGGOTA IKAPI No. 039/BANTEN/2020
(IKATAN PENERBIT INDONESIA

Hak Cipta Dilindungi oleh Undang-undang Dilarang mengutip atau


memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk
apapun juga tanpa izin tertulis dari Penulis dan Penerbit
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
meridhoi ikhtiar kita semua dalam kehidupan ini. Allah
mengetahui apa yang kini dan yang akan terjadi dan atas berkat
rahmat Allah maka buku kecil ini setelah dapat kami selesaikan.
Shalawat dan salam untuk sang tauladan kita, junjungan kita
yang tercinta, Rasul Allah Muhammad Ibnu Abdullah, yang telah
membawa umat manusia keluar dari jaman kegelapan menuju
zaman yang penuh berkah yang bemafaskan nilai Islam.

Buku ini adalah sintesa dari penelitian yang kami lakukan


terutama terkait dengan bagaimana mengelola sebuah lembaga
keuangan dan usaha kecil. Kami menyadari bahwa budaya
secara tidak sadar telah mempengaruhi pengelolaan usaha
bisnis baik itu lembaga keuangan maupun UKM. Karena itu
sangat penting memiliki pemahaman sadar risiko bagi semua
yang terlibat dalam bisnis baik itu pemilik maupun pegawai dan
juga stakeholder yang lain.

Semua harus menyadari pentingnya mencapai tujuan


perusahaan. Kita perlu memiliki pemahaman yang sama bahwa
organisasi dan perusahaan memiliki tujuan yang mulia yaitu
menjadi sarana untuk mencapai kemaslahatan bersama. Saat
ini kita sepertinya kehilangan pandangan tujuan untuk
kemaslahatan bersama karena begitu kuatnya konsep kapitalis
tentang nilai perusahaan bagi pemilik saja. Banyak usaha
diarahkan hanya sekedar untuk mencari keuntungan dengan
mengeksploitasi konsumen dan pegawai. Akibatnya
pegawai juga melakukan pembalasan dengan korupsi dan lain
lain.

Buku ini bukan sesuatu yang luar biasa. Ini hanyalah sebuah
kontribusi kecil kami untuk dapat dimanfaatkan terutama oleh
para pemuda yang ingin membangun usaha baik itu pada
perusahaan kecil maupun perusahaan besar. Pegawai pada

ii MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


perusahaan perusahaan lembaga keuangan mungkin perlu
membaca buku ini untuk mendapatkan Insight pentingnya
menyadari akan budaya dalam kehidupan kita sehari-hari.
Budaya adalah suatu kenyataan yang hams dihitung pahami
dan itu sadar maupun tidak sadar telah mempengarnhi
kehidupan kita seharii hari.

Mohon maaf jika buku ini kurang sesuai harapan. Kritik dan
saran akan kami terima untuk perbaikan kedepan.
Terimakasih.

Penulis

Abdul Mongid & Saladin Ghalib


iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................. iv

BAB I DIREKSI DAN BUDAYA SADAR RISIKO ................... 1


Budaya Dalam Manajemen Risiko ........................................... 4
Kultur Dan Infastruktur Organisasi ........................................... 8

BAB II INTERNALISASI BUDAYA RISIKO ........................... 13


Sikap Individu Dan Budaya Sadar Risiko ................................ 17
Kontribusi Budaya Sadar Risiko .............................................. 20
Kepribadian Bangkir ................................................................. 24
Peran GCG ............................................................................... 28
Penilaian Pelaksanaan GCG ................................................... 29
Tugas Komite ........................................................................... 31

BAB III MANAJEMEN RISIKO................................................ 33


Pengertian Manajemen Risiko ................................................. 33
Risiko Pasar ............................................................................. 35
Risiko Operasional ................................................................... 36
Moral Hazard ............................................................................ 37
Risiko Likuiditas ........................................................................ 37
Risiko Pembayaran .................................................................. 39
Risiko Leverage ........................................................................ 40
Risiko Hukum ........................................................................... 41
Risiko Bisnis ............................................................................ 42
Risiko Reputasi ........................................................................ 42
Risiko Sistemik ......................................................................... 43

BAB IV KOMPLEKSITAS MANAJEMEN RISIKO ................. 51

BAB V MANAJEMEN RISIKO : DARI KAUNTITATIF KE


KUALITATIF ............................................................................ 56

BAB VI TATA KELOLA RISIKO ............................................. 61


iv MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO
Kategori Risiko ......................................................................... 64

BAB VII PELAJARAN DARI CABANG HR MUHAMMAD .... 66

BAB VIII MANAJEMEN RISIKO KREDIT............................... 71


Pelaksanaan Pemberian Kredit ............................................... 74
Unit Risiko Kredit ...................................................................... 76
Unit Administrasi Kredit ............................................................ 77
Kategori Risiko Kredit ............................................................... 78
Mendeteksi Tanda-Tanda Naiknya Risiko Kredit .................... 79
Tiga Pertahanan Untuk Risiko Kredit ....................................... 86

BAB IX TATA KELOLA PERUSAHAAN UNTUK UMKM ..... 91


Manajer Yang Cakap ............................................................... 94
Edukasi UMKM ......................................................................... 98

DAFTAR PUSTAKA ................................................................ 104

Abdul Mongid & Saladin Ghalib


v
BAB I
DIREKSI DAN BUDAYA SADAR RISIKO
Secara umum, budaya sadar risiko (risk culture) terbentuk
karena suatu proses sinergi dari seluruh anggota organisasi.
Seluruh anggota organisasi bekerja bersama-sama dengan nilai
yang melekat yang mengedepankan prestasi dan menyadari
bahaya risiko yang diambil untuk mewujudkan tujuan
perusahaan. Karena itu, pertanyaan penting yang perlu menjadi
perhatian kita adalah bagaimana budaya risiko dalam suatu
perusahaan itu seharusnya bekerja. Dalam berbagai literatur,
terkait dengan manajemen risiko maka aspek-aspek yang harus
diperhatikan jika ingin membangun budaya sadar risiko adalah
sebagai berikut:

Pertama yang sangat penting adalah adanya semangat dari atas


(tone from the top). Dalam hal ini, ada dua hal yang perlu menjadi
perhatian yaitu tentang bagaimana peran pimpinan (leader)
dalam mendorong penerapan budaya sadar risiko dan
manajemen risiko yang efektif, dan yang kedua adalah
kemampuan pimpinan untuk merespon jika terjadi hal yang tidak
diinginkan didalam organisasi. Komitmen pimpinan bukan saja
secara formal dan diatas kertas namun harus benar-benar total
untuk memperjuangkan terciptanya budaya sadar risiko di
perusahaan. Respon atas teradinya risiko yang signifikan juga
harus jelas. Apapun konsekuensinya, ketentuan harus
ditegakan.

Ciri suatu bank atau organisasi yang memiliki kepemimpinan


yang sadar risiko ditandai oleh jelasnya ekspektasi dan strategi
serta arahan dari manajemen puncak terhadap penerapan
manajemen risiko. Ada totalitas yang nampak dari sisi padunya
ucapan maupun tindakan yang dicerminkan dalam kebijakan dan
keputusan manajemen. Semua direksi dan manajemen senior
memiliki ekspektasi dan arahan yang sama dalam melihat
persoalan yang terjadi. Ketika pesan dari pimpinan tertinggi atau
manajemen puncak jelas, maka semua orang di level lebih
Abdul Mongid & Saladin Ghalib
1
bawah dalam organisasi akan memiliki pemahaman yang sama
dan memiliki ekspektasi yang sama tentang bagaimana
mengelola risiko dan konsekuensi atas kegagalan.

Sudah jelas bahwa setiap aktivitas yang berisiko tinggi adalah


sebagai tindakan yang tidak sepatutnya dilakukan (inappropriate
activities) . Tidak ada ruang untuk beralasan atau berdebat atas
sesuatu yang sifatnya berisiko tinggi sebagai tindakan sembrono
(careless). Pada industri perbankan sikap ini bisa dilihat dari
intoleransi manajemen terhadap kejadian penggelapan atau
risiko operasional lainya. Siapa yang terlibat dalam kejadian
penggelapan akan ditindak dengan tegas tanpa melihat siapa di
balik orang-orang tersebut. Karena itu, pesan dari atas tentang
penerapan manajemen risiko akan dipahami oleh seluruh
karyawan bahwa direksi tidak main-main dalam hal ini.

Semua direksi, manajer senior, dan komisaris memiliki satu


kesadaran bahwa mereka adalah model hidup (role player)
manajemen risiko di perusahaan. Cara berpikir para pimpinan
dan kesediaan mereka untuk sharing serta berdiskusi tentang
pentingnya manajemen risiko dan toleransi yang diperkenankan
di dalam pengelolaan risiko menjadi sinyal penting tentang
bagaimana sikap manajemen dalam pengelolaan risiko. Direksi
dan juga komisaris harus memiliki pemahaman yang sama
bahwa mereka menjalankan manajemen risiko itu bukan sekedar
untuk meningkatkan laba atau menstabilkan laba tetapi yang
lebih penting adalah bahwa manajemen risiko yang mereka
terapkan merupakan jalan untuk mencapai tujuan-tujuan
organisas. Terdapat suatu konsep nilai hidup yang ingin
dikomunikasikan didalamnya, diantaranya seperti kedisiplinan,
kerja keras, kepekaan, konsekuensi, dan sadar bahaya yang
ingin diterapkan. Tidak ada tujuan pribadi walaupun diakui atau
tidak, tujuan pribadi adalah konsekuensi rasional dari semua
tindakan. Artinya, walaupun ada tujuan pribadi, mengedepankan
perusahaan adalah mutlak atau hal utama. Karena itu, untuk
mendorong supaya moralitas dan semangat para pegawai di
bawah tetap konsisten untuk menjalankan apa yang seharusnya

2 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


mereka jalankan, pimpinan selalu memberikan contoh yang
secara jelas diimplementasikan dalam pengelolaan risiko sehari-
hari. Ini sangat penting karena pimpinan yang tidak konsisten
dalam memberikan pesan kepada manajer di bawah bisa
membawa dampak buruk . Konsistensi manajemen di dalam
memberikan informasi dan juga keputusan terkait dengan
pengelolaan risiko yang seharusnya dijalankan oleh semua
pegawai akan menjadi satu kekuatan lebih lanjut yang saling
memperkuat tentang manajemen risiko yang ada di perusahaan.
Karena itu sudah seharusnya konsistensi di dalam setiap
pengambilan keputusan oleh direksi atau manajemen harus
selalu ada (existed) untuk menjamin proses manajemen risiko
yang benar.

Selama ini yang sering menjadi kendala dalam penerapan


manajemen risiko adalah respon terhadap kejadian risiko di
perusahaan yang tidak konsisten. Manajemen senior harus
menyadari bahwa informasi tentang risiko yang sedang dihadapi
oleh perusahaan itu idealnya dapat mengalir dari satu unit ke unit
lain, dari atasan ke bawahan dan juga dari front office sampai
back office. Ini menjadi prasyarat penting karena jika proses ini
tidak berjalan maka tujuan atau semangat untuk mendorong
manajemen risiko sebagai pekerjaan semua orang (risk
management is everyone’s business) menjadi tidak relevan lagi.
Karena itu arus informasi risiko harus berjalan secara wajar tapi
cepat. Transparansi didalam menginformasikan risiko yang
terjadi akan menjadi modal penting didalam menciptakan budaya
transparan di perusahaan terutama perbankan.

Unit yang berusaha menyembunyikan informasi karena dapat


berpengaruh negatif terhadap unit itu sendiri atau individu itu
harus dihilangkan. Semua harus menginformasikan risiko yang
akan terjadi walaupun akan berdampak buruk pada
permulaannya. Ketika risiko itu berusaha ditutup-tutupi maka ada
konsekuensi yang berbahaya dan akan sangat mahal biayanya.
Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi dan keterbukaan
menjadi ide besar yang harus diimplementasikan.
Abdul Mongid & Saladin Ghalib
3
Manajemen perlu melakukan penilain yang independen. Apabila
kejadian risiko merupakan suatu peristiwa yang tidak disengaja
maka seharusnya mereka yang terlibat tidak boleh diberi stigma
negatif. Stigma negatif terhadap informasi risiko harus
dihindarkan karena hal ini akan mendorong orang untuk
menyembunyikan informasi risiko tersebut. Dan ketika
permasalahan itu disembunyikan maka di situlah awal dari
permasalahan lebih besar akan terjadi. Keterbukaan dan
kejujuran menjadi kunci untuk proses pertukaran informasi yang
benar, tanpa kejujuran maka komunikasi terkait risiko sulit untuk
dijalankan. Kemauan untuk melakukan sesuatu perubahan
dalam kondisi setelah perusahaan mengalami masalah risiko
menjadi sangta penting untuk diperhatikan. Manajemen tidak
boleh membiarkan adanya unit yang mengambil risiko
berlebihan tanpa pengelolaan risiko yang memadai. Karena itu,
semua pegawai harus memiliki pemahaman yang sama bahwa
risiko harus diinformasikan secara tepat waktu dan cepat karena
hal ini akan berdampak buruk terhadap perusahaan.

Budaya dalam Manajemen Risiko

Risiko atau kejadian buruk terjadi karena kita tidak mengetahui


konsekuensi apa yang kita lakukan. Karena itu pengetahuan dan
keahlian adalah kunci pengelolaan risiko yang berhasil. Mereka
yang tidak memahami risiko atau salah mengitung risiko akan
selalu menjadi korban oleh mereka yang memahami risiko.
Seperti kita ketahui selama beberapa puluh tahun terakhir ini,
manajemen risiko lebih berfokus pada model kuantitatif dan
kurang memperhatikan perilaku orang. Akibatnya kita
menemukan krisis keuangan global (GFC) 2008, model
kuantitatif gagal memprediksi krisis karena perilaku yang salah
yang dilakukan baik oleh staff maupun manajemen lembaga
keuangan besar seperti Lehman Brothers dan Citigroup tidak
dapat dimasukan dalam model kuantitatif.

Belajar dari krisis 2008, pengelola risiko dan otoritas saat ini
melakukan transformasi mendasar yaitu dengan merubah
tentang bagaimana seharusnya manajemen risiko yang baik.
4 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO
Dari sekedar pengelolaan risiko yang bersifat kuantitatif
matematik yang mekanistis menjadi sesuatu yang lebih melihat
unsur perilaku manusia. Ibararatnya dari orientasi matematis ke
orientasi budaya. Hal ini menunjukkan mulia adanya
pertimbangan aspek budaya dalam manajemen risiko.
Kesadaran akan pentingnya budaya dalam pengelolaan risiko
karena ternyata budaya menentukan kesadaran akan risiko atau
bahaya.

Budaya menyatukan kemauan yang sama sehingga menjadi


pondasi untuk pemahaman dan tindakan terkait pengelolaan
risiko dengan lebih baik. Pengelolaan people risk sangat penting
dan menjadi penentu dalam pengelolaan manajemen risiko di
masa yang akan datang. Kemampuan di dalam menyatukan dan
sekaligus menginspirasi para pegawai terutama bankir agar
memiliki perilaku yang mendukung sekaligus juga menciptakan
perilaku yang berusaha untuk menghindari risiko adalah dua hal
yang penting. Hal ini ibarat gas dan rem dalam kendaraan.
Budaya di satu sisi mendorong pegawai untuk berani mengambil
risiko tetapi di sisi lain juga menciptakan kondisi dimana orang
harus sadar akan risiko sehingga aktivitas tertentu tidak perlu
diambil.

Kelemahan manajemen risiko adalah terlalu melihat pengelolaan


risiko sebagai suatu proses yang berbasis pada prosedur.
Artinya seringkali manajemen puncak melihat manajemen risiko
sebagai sekedar kumpulan peraturan dan prosedur-prosedur
yang harus ditaati. Pemahaman manajemen risiko dalam
perspektif kepatuhan yang demikian bukan sesuatu yang salah
tetapi itu tidak cukup. Elemen manusia dan segala preferensinya
sering diasumsikan pasti menataati ketentuan dan prosedur.

Manajemen risiko harusnya dipandang sebagai aktivitas yang


menambah nilai. Karena itu sepatutnya penerapan manajemen
yang baik harus dipandang sebagai investasi sehingga bisa
dihitung return on invesment-nya. Perubahan terbesar yang
dibutuhkan di dalam organisasi adalah perlunya mengubah
perspektif pengelolaan risiko. Manajemen risiko saat ini ibarat
Abdul Mongid & Saladin Ghalib
5
berkendara atau risiko hanya dipandang dari spion. Akibatnya
kita sering ketinggalan atau salah antisipasi karena
permasalahan yang terjadi sebelumnya tidak selalu terulang di
kemudian hari.

Karena itu sudah sepatutnya manajemen risiko bisa melihat


kedepan dan mengkaitkan didalamnya budaya risiko yang efektif
sekaligus manajemen risiko yang proaktif. Idealnya manajemen
risiko lebih fokus dalam melakukan pencegahan dan juga
optimalisasi risiko yang sedang dihadapi bank. Hal ini tentu
bukan merupakan hal yang mudah karena semua indkator risiko
yang ditetapkan otoritas lebih melihat kebelakang daripada
kedepan. Oleh karena itu, kewajiban melakukan stress test dan
penilaian diri (self-assessment) harus dipandang sebagai
kesadaran baru otoritas yang perlu disambut baik oleh industri
dan untuk dikembangkan lebih lanjut.

Membangun budaya risiko bukan sesuatu yang mudah karena


memerlukan proses yang terus menerus dan selalu lebih bagus
dari waktu ke waktu (continuous improvement) . Dalam konteks
membangun budaya sadar risiko, semua perbaikan dan pihak
yang terlibat di dalam proses ini harus memberikan respon positif
dalam rangka pencegahan, pengendalian maupun optimalisasi
risiko yang pada akhirnya akan memberikan manfaat kepada
organisasi. Harus dihindari manajemen risiko yang hanya
sekedar menyenangkan otoritas (kepatuhan eksternal) dan
manajemen (kepatuhan proseural) tetapi tanpa memberi nilai
tambah bagi perusahaan.

Untuk proses transformasi demikian, maka satu-satunya yang


bisa memulai dan mengawal adalah manajemen puncak bank.
Semua direksi harus bersatu padu untuk merubah apa yang
dirasakan perlu (necessary) dalam rangka perubahan budaya
sadar risiko. Perubahan yang cepat diperlukan untuk merespon
kondisi lingkungan yang juga berkembang cepat. Bagi beberapa
bank ada beberapa kondisi yang perlu menjadi perhatian ketika
kejadian-kejadian di bawah ini terjadi. Artinya lebih cepat lebih

6 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


baik untuk berubah karena adanya indikasi bahwa organisasi
memiliki budaya risiko yang sangat buruk.

Pertama, Cara dalam melihat kejadian atau kerugian besar yang


dialami oleh bank dilakukan sebagai reaktif. Artinya ketika terjadi
kejadian risiko maka semua pihak baik dari direksi sampai kepala
seksi mengalami kebingungan dan ketidakpercayaan. Tidak
jelasnya manajemen risiko yang menyebabkan banyak sekali
respon yang sifatnya parsial sekaligus tanpa fokus yang jelas
untuk menangani kejadian itu. Hal ini menunjukkan adanya
permasalahan besar dalam budaya risiko di bank itu.

Kedua, Pemahaman risiko yang tidak merata. Ketika suatu


perusahaan melakukan penilaian, apakah semua pegawai
memiliki pemahaman risiko yang sama dan konsisten antar unit,
maka organisasi itu di katakan baik. Namun ketika situasinya
mengidikasikan masalah besar ketika sebagian besar memiliki
persepsi dan pemahaman yang berbeda terhadap risiko maka
hal ini menimbulkan potensi masalah besar di kemudian hari.

Ketiga, penilaian kinerja tanpa aspek risiko. Sebuah tanda tanya


besar jika ternyata suatu bank dalam mengukur kinerja staff tidak
dikaitkan dengan risiko. Prestasi hanya didasari pada berapa
keuntungan yang dibuat. Apabila hal ini terjadi maka perilaku
atau tindakan sadar risiko sebagaimana yang diharapkan tidak
akan dapat dicapai karena orientasi hanya pada hasil. Harus ada
upaya signifikan untuk mengaitkan kinerja dengan pelaksanaan
kesadaran akan risiko.

Keempat, Ketertutupan atas potensi risiko. Pada beberapa bank


ketika terjadi masalah seperti naiknya potensi kerugian besar
akibat kredit macet, informasi tersebut sering tidak
dikomunikasikan dengan baik karena berusaha ditutupi untuk
diselesaikan pada level cabang dulu. Tindakan ini membuat
informasi yang seharusnya masuk ke direksi lebih cepat
terhalang. Bahkan cenderung dibatasi akibatnya direksi salah
dalam megambil keputusan. Bahkan direksi terkadang juga ingin

Abdul Mongid & Saladin Ghalib


7
menutupi kejadian dengan melakukan penyelesaikan parsial
atau tambal sulam.

Kelima, infrastruktur risiko yang lemah. Pengetahuan, prosedur,


ataupun kebijakan risiko serta panduan-panduan tentang
bagaimana pengelolaan risiko relatif terbatas mengindikasikan
bahwa budaya sadar risiko dalam bank atau perusahaan
tersebut buruk. Karena dokumen ataupun pengetahuan
demikian ini harusnya ada dimana-mana.

Keadaan diperparah lagi jika ternyata manajemen risiko itu


hanya menjadi atensi beberapa orang atau beberapa unit saja
sementara yang lainnya tidak melihatnya sebagai kebutuhan.
Bahkan seringkali manajemen risiko dipandang sebagai
penghambat bisnis. Sikap maupun perliaku yang buruk juga
ditunjukkan ketika hasil temuan audit menunjukkan sebagai
sekedar hiasan. Temuan audit yang seharusnya ditindak lanjuti
itu seringkali diabaikan. Apabila hal ini terjadi maka indikasi yang
sangat berbahaya dan dapat mempengaruhi kelangsungan
hidup organisasi bank.

Manajemen puncak bank harus sadar bahwa jasa perbankan


yang mereka sediakan itu harus dapat diandalkan. Dalam
banyak hal, keandalan ini terjadi karena SDM berupa keahlian,
pengetahuan, dan sekaligus semangat para karyawan dalam
organisasi itu untuk selalu menjaga dan memperbaiki layanan
yang mereka sediakan. Karena itu, manajemen untuk budaya
sadar risiko juga sangat terkait dengan human capital. Perlu
menjadi perhatian bahwa human capital sebenarnya hanya akan
terjadi jika SDM-SDM yang bagus itu dijaga dan dilatih baik hard
skills maupun soft skills terutama konsep kerja sebagai ibadah.
Harus ada upaya untuk mempertahankan staff yang baik, karena
mereka adalah kunci suksesnya sebuah organisasi.

Kultur dan Infrastruktur Organisasi

Infrastruktur organisasi merupakan kumpulan dari berbagai


aspek fisik, non-fisik, perilaku, dan budaya dalam suatu

8 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


organisasi yang merupakan suatu kesatuan untuk meningkatkan
efisiensi dan produktivitas bagi peruahaan. Infrastruktur
merupakan salah satu penentu keberhasilan suatu organisasi.
Selain penting untuk efisiensi dan produktivitas, memahami
insfrastruktur organisasi juga penting dalam rangka
meningkatkan kinerja dalam pengelolaan resiko. Infrastruktur
organisasi juga sangat penting pada lembaga di mana aspek
kepercayaan, aspek risiko, dan aspek reputasi sangat penting
untuk keberlanjutan usaha. Oleh karena itu, studi yang terkait
dengan bagaimana suatu lembaga itu berkinerja dan apa yang
di belakangnya sangat banyak dilakukan pada perusahaan-
perusahaan otomotif, lembaga keuangan, perusahaan teknologi,
dan perusahaan penyedia jasa yang sangat terkait dengan
keselamatan seperti perusahaan penerbangan.

Kalau kita melihat organisasi suatu perusahaan, maka kita


melihat organisasi tersebut seperti sebuah gunung es. Yang
dapat dilihat dari sebuah gunung es adalah apa yang muncul di
permukaan. Sesuatu yang lebih besar tidak terlihat karena
tersembunyi di bawah air. Karena itu, dalam pembahasan ini
akan dijelaskan tahapan wujud orgnaisasi dari yang paling atas
sampai yang tidak terlihat yaitu aspek budaya. Dalam suatu
perusahaan maka aspek yang dapat dilihat adalah:

1. Aspek fisik perusahaan. Kalau kita melihat sebuah


perusahaan atau kantor perusahaan besar maka kita
akan melihat satu bangunan fisik yang terlihat dan bisa
dirasakan kehadirannya secara langsung. Hal ini dapat
dilihat dari bentuk bangunannya yang indah, tinggi, besar
atau tampilan gedung yang besar tetapi sangat tidak
teratur dan terlihat tidak dikelola dengan baik.
2. Aspek produksi. Dalam setiap perusahaan kita bisa
melihat bagaimana proses produksi itu ada. Untuk
perusahaan jasa, maka akan terlihat proses bisnis itu
dijalankan. Untuk perusahaan manufaktur kita bisa
melihat bagaimana peralatan dan berbagai hal terlihat.

Abdul Mongid & Saladin Ghalib


9
Aspek produksi hanya dapat dilihat dari dalam
perusahaan bukan tidak dari luar.
3. Aspek organisasi. Organisasi dalam perusahaan artinya
siapa yang memimpin dan bagaimana struktur organisasi
di dalam perusahaan itu terlihat. Aspek organisasi lebih
tersembunyi dibandingkan aspek produksi.
4. Aspek Infrastruktur. Dalam konteks ini termasuk di
dalamnya adalah sistem manajemen yang diterapkan
dalam perusahaan tersebut. Apakah di dalam
perusahaan tersebut telah dijalankan pengukuran kinerja
yang baik dan pemberian reward yang memadai
terhadap karyawannya dapat dilihat dari infrasruktur yang
ada.
5. Aspek Budaya. Aspek ini paling sulit dilihat karena
diwujudkan dalam perilaku (behavior) dan dipengaruhi
oleh sikap (attitude). Perilaku (behavior) dalam konteks
ini lebih banyak kepada aktivitas atau kegiatan.

Tampilan fisik yang terlihat akan memberikan ciri khusus pada


suatu perusahaan sehingga kita bisa melihat apakah
perusahaan itu baik atau tidak. Persepsi ini berasal dari tampilan
fisik perusahaan itu yang meliputi proses, peralatan, dan struktur
organisasi itu tersajikan ke publik. Namun demikian, melihat
tampilan fisik perusahaan saja tidak cukup untuk memberikan
gambaran bagaimana sebenarnya perusahaan itu beroperasi.
Insfrasruktur dalam tahap berikutnya adalah bagaimana
infrastruktur itu dibangun dalam perusahaan tersebut.

Infrastruktur ini sifatnya lebih sebagai software yang ada


diperusahaan yang membantu dan mengatur aspek-aspek fisik
perusahaan. Karena itu sistem manajemen yang ada di
perusahaan ini menjadi infrastruktur yang paling penting di
dalam pengelolaan perusahaan.

Infrastruktur sifatnya mengatur apa yang ada diseluruh


perusahaan. Karena itu memperhatikan infrastruktur akan
sangat diperlukan walaupun merupakan bagian tengah dari

10 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


organisasi namun akan menentukan banyak aspek terkait
pengelolaan perusahaan. Perilaku dalam perusahaan seperti
bagaimana orang melakukan satu tindakan, bagaimana orang
bersikap, bagaimana individu dan kelompok di dalam organisasi
merespon sesuatu dalam perilaku riil merupakan satu indikasi
kuat tentang bagaimana infrastruktur itu telah membentuk
perilaku pada para anggota organisasi.

Perilaku ini sangat dipengaruhi oleh yang namanya sikap


(attitude). Karena itu perilaku para pejabat, pegawai, dan seluruh
anggota organisasi menentukan kinerja secara keseluruhan dari
organisasi. Keberhasilan organisasi ditentukan oleh bagaimana
organisasi itu menuntut atau merespon perilaku para
pegawainya. Perilaku (behavior) dalam konteks ini lebih banyak
kepada kegiatan. Semua hal yang ada di atas tadi semuanya
berdasarkan atau pondasinya adalah bagaimana budaya yang
ada di dalam perusahaan itu tercipta. Budaya dalam konteks ini
merupakan nilai, kepercayaan, atau norma yang diikuti, ditaati,
dan dijaga oleh semua organisasi.

Semua anggota menjadikan budaya ini sebagai satu landasan


untuk bertindak baik sadar maupun tidak sadar. Karena itu
pondasi budaya dalam organisasi menjadi sangat penting
karena tanpa perbaikan budaya yang bagus, infrastruktur
fasilitas fisik tidak berjalan optimal karena perilaku para anggota
organisasi tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Dengan
melihat fenomena gunung es, infrastruktur organisasi melihat
betapa pentingnya budaya dalam suatu organisasi. Yang
menjadi permasalahan di dalam setiap organisasi adalah tidak
mudahnya untuk merubah budaya suatu organisasi. Berbeda
dengan aspek fisik yang mudah dirubah. Oleh karena itu dalam
melakukan perubahan, setiap organisasi perlu membangun
budaya untuk keperluan pencapaian tujuan jangka panjang.

Tampilan fisik dan infrastruktur yang baik tanpa diikuti dengan


perilaku yang baik menjadi tidak ada artinya. Dalam praktiknya,
90% budaya perusahaan tersembunyi dari pihak luar. Manajer
dengan mudah merubah pakaian seragam atau sebagainya
Abdul Mongid & Saladin Ghalib
11
namun bagaimana merubah perlakuan terhadap kinerja atau
prestasi dan hubungan antara atasan dan bawahan merupakan
sesuatu yang sulit untuk dirubah.

12 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


BAB II
INTERNALISASI BUDAYA RISIKO

Kita menyadari bahwa budaya risiko pada suatu perusahaan


memiliki keterkaitan dengan persepsi yang sama diantara para
pegawai tentang satu nilai-nilai yang mendukung pengelolaan
risiko yang bagus. Karena itu ketika berbicara tentang budaya
sadar risiko maka sebenarnya kita berbicara tentang sesuatu
yang dilaksanakan ataupun perilaku yang diharapkan, dimiliki,
atau dipegang oleh pegawai. Nilai-nilai tersebut sangat dihargai
dan selalu didukung untuk dikembangkan sehingga budaya
sadar risiko sebenarnya bukan dipandang sebagai sesuatu yang
tunggal dan menjadi penentu. Budaya sadar risiko adalah bagian
dari budaya organisasi atau perusahaan yang harus ada dalam
rangka mendukung tercapainya tujuan dari suatu perusahaan.

Karena itu, budaya sadar risiko masih perlu dilengkapi dengan


budaya lain seperti budaya tentang inovasi, budaya melayani
nasabah dengan benar, termasuk juga budaya memperhatikan
aspek keselamatan terkait dengan suatu pengelolaan usaha.
Budaya sadar risiko seharusnya juga menjadi bagian dari tata
kelola untuk melihat risiko secara keseluruhan yang dihadapi
oleh satu perusahaan. Oleh karena itu yang perlu dibedakan
adalah bahwa budaya sadar risiko berbeda dengan selera risiko
(risk appetite).

Kenapa berbeda? Kalau kita berbicara tentang budaya sadar


risiko, maka tidaklah harus berarti bahwa perusahaan atau bank
selalu meminimumkan risiko dan selera (appetite) dalam
pengambilan risiko. Budaya sadar risiko yang bagus seharusnya
tentang bagaimana staff yang ada di perusahaan memiliki
pemahaman yang jelas dan komprehensif tentang batasan-
batasan yang bisa diambil atau boleh dilakukan. Semua staff
tersebut memiliki komitmen yang sama untuk memastikan
bahwa batasan-batasan yang telah dibuat selalu ditaati.

Abdul Mongid & Saladin Ghalib


13
Dapat diartikan bahwa budaya sadar risiko sebenarnya
merupakan nilai internal yang ada pada pegawai dalam
memandang risiko. Karena itu, jika mendiskusikan tentang
budaya sadar risiko sebenarnya konsep ini dapat menjadi sarana
bagi organisasi, perusahaan, atau bank untuk menghindari
kejadian-kejadian yang sangat serius karena adanya kesalahan
perilaku yang dilakukan oleh pegawai didalam pengelolaan
risiko. Tentu dalam konteks ini tidak berarti bahwa tidak boleh
ada kerugian atau kejadian yang merugikan yang terkait dengan
pengelolaan perusahaan. Pandangan ini merupakan suatu
kesalahan.

Jelasnya hal ini perlu menjadi perhatian kita semua karena


budaya didalam suatu lembaga baik itu perusahaan manufaktur
maupun perusahaan jasa keuangan akan sangat menentukan
perilaku manusia didalam menghasilkan layanan. Mereka yang
berada di dalam suatu organisasi harus memahami bahwa
disitulah sebenarnya peran penting mereka untuk memastikan
bahwa norma dan budaya yang melekat pada organisasi bisa
ditaati. Tentu ini memiliki konsekuensi yang cukup luas karena
budaya sadar risiko juga terkait dengan aspek-aspek bagaimana
proses belajar dan merespon sesuatu yang terjadi di perusahaan
sesuai dengan harapan yang ingin dicapai.

Harapan yang ingin dicapai perusahaan tidak boleh sekedar


tentang apa yang ada di ketentuan tertulis saja. Perlu diingat
bahwa sebenarnya budaya sadar risiko itu di dalamnya juga
mencakup aspek-aspek yang bisa jadi tidak tertulis atau belum
tertulis namun sangat penting didalam penilaian sehingga tetap
harus ditaati. Karena itulah apabila kita berbicara tentang budaya
sadar risiko dalam kaitannya dengan pengaturan dan
pengawasan lembaga keuangan maka kita perlu memperhatikan
dua aspek, yaitu aspek organisasi dan aspek individual.

Dalam kaitannya dengan aspek organisasi, maka perusahaan


dituntut untuk selalu mengembangkan kemampuan para
karyawannya melalui pelatihan atau strategi pelatihan yang
mampu meningkatkan pemahaman staff yang ada di
14 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO
perusahaan tentang bagaimana berperilaku yang sesuai dengan
budaya sadar risiko. Tentu proses ini memerlukan satu penilaian
komprehensif tentang apa yang sudah terjadi dan apa yang ingin
dicapai dan bagaimana cara mencapainya. Hal lain yang juga
sangat penting adalah bagaimana mengapresiasi penilaian
kinerja melalui renumerasi yang layak terhadap seluruh lapisan
karyawan.

Kinerja yang dicapai dapat dinilai melalui indikator-indikator


tertentu. Indikator yang baik bisa menjadi sarana bagi
perusahaan untuk mengembangkan budaya sadar risiko karena
indikator ini dapat membuat staff memiliki perilaku yang melekat.
Selain itu, yang perlu menjadi perhatian adalah ketika Key
Performance Indicator (KPI) sudah memperhitungkan aspek
budaya risiko didalam penilaian, maka mereka yang berhasil
menjalankannya juga perlu memperoleh penghargaan yang
memadai. Penilaian yang dilakukan selama ini lebih
menekankan pada kinerja keuangan tanpa melihat bagaimana
sebuah risiko diambil sehingga penilaian menjadi tidak relevan
lagi.

Ini dapat menjadi sumber rongrongan dalam pegembangan


budaya sadar risiko. Kenapa? Karena ketika seseorang melihat
kinerja sebagai keuntungan belaka dan melihat bahwa risiko
adalah harga yang tidak diperhitungkan dalam penilaian kinerja,
maka orang akan mengoptimalkan keuntungan dengan
konsekuensi risiko atau potensi kerugian yang dihadapi menjadi
sangat besar. Tentu suatu organisasi juga perlu
mengembangkan manajemen risiko yang berkualitas.
Permasalahan yang sering terjadi pada beberapa perusahaan
saat ini adalah bahwa fokus (concern) dari manajemen terhadap
pengelolaan risiko lebih kepada aspek kepatuhan. Tentu ini
menjadi kendala yang sangat besar kalau nantinya arah
pengembangan manajemen risiko itu mengarah kepada
kebutuhan organisasi bukan sekedar memenuhi ketentuan
regulasi.

Abdul Mongid & Saladin Ghalib


15
Dalam kaitannya dengan membangun kualitas manajemen risiko
yang lebih baik, tentu harus diatas ketentuan kepatuhan yang
berasal dari otoritas. Kenapa dimikian? Karena ketika fokusnya
hanya kepada pemenuhan aspek kepatuhan atau tuntutan
regulasi, maka manajemen risiko sering kali menjadi tidak
memenuhi kebutuhan dari organisasi. Sementara ketika
berbicara tentang manajemen risiko maka yang menjadi fokus
adalah tentang pemenuhan kebutuhan organisasi sehingga
secara otomatis pemenuhan kebutuhan otoritas juga akan
tercapai.

Untuk mencapai hal-hal tersebut tentu yang paling berpengaruh


adalah kepemimpinan atau leadership. Leadership memiliki
pengaruh yang sangat penting didalam mengembangkan
budaya sadar risiko. Disinilah sebenarnya peran kepemimpinan
didalam membangun budaya akan tercapai melalui peran
mereka didalam melakukan perubahan terhadap nilai (value)
sekaligus sebagai contoh atau role model tentang bagaimana
perilaku sadar risiko harus dikembangkan. Kepemimpinan yang
memiliki semangat untuk membangun suatu budaya sadar risiko
biasanya ditandai oleh peran para direksi yang terlibat aktif
didalam membangun kesadaran dan sekaligus juga meyakinkan
kepada semua anggota organisasi tentang perlunya budaya
sadar risiko itu. Pemimpin sekaligus juga terlibat didalam
implementasi termasuk konsekuensi ketika menemui
pelanggaran-pelanggaran yang terkait dengan budaya sadar
risiko.

Pemimppin harus mampu menjadi motivator sekaligus role


model untuk pengembangan budaya sadar risiko. Dan tentu saja
untuk mendukung aspek-aspek tersebut dapat berjalan dalam
membangun budaya sadar risiko maka perlu dibangun suatu tata
kelola yang bagus dimana didalamnya mencakup tentang
bagaimana struktur organisasi yang bisa memberikan kekuatan
untuk implementasi manajemen risiko yang lebih bagus. Tentu
ini mudah untuk diucapkan tetapi sulit untuk diimplementasikan.
Oleh karena itu yang harus dilakukan pemimpin dalam konteks

16 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


ini adalah bagaimana membangun tata kelola yang bagus yang
memungkinkan aspek-aspek budaya sadar risiko itu ada dalam
setiap level organisasi dan juga pada level tingkat jabatan.

Sikap Individu Dan Budaya Sadar Risiko


Beberapa aspek yang terkait dengan sifat-sifat individu pegawai
harus menjadi atensi para pejabat bank terutama para atasan.
Para pimpinan harus punya pemahaman sekaligus sikap-sikap
yang mendukung budaya sadar resiko.

1. Akuntabilitas, yaitu selalu dapat


mempertanggungjawabkan sesuatu yang telah
dilakukan.
2. Komunikasi, artinya bahwa semesta selalu
mengkomunikasikan apa yang terjadi secara terbuka
tanpa menyembunyikan untuk kepentingannya sendiri
atau kelompok. Komunikasi yang terbuka ini akan
memberikan manfaat kepada organisasi atau kepada
pimpinan bahwa tidak ada yang disembunyikan.
3. Komitmen sebagai pemimpin, adalah semua yang ada
dalam organisasi baik staff maupun pimpinan harus
menyadari bahwa mereka adalah pemimpin, pemimpin
yang akan menjadi panutan pihak lain, karena itu
komitmen sebagai pemimpin yang selalu berbuat lebih
baik menjadi tuntutan atau syarat terciptanya budaya
kerja.
4. Keyakinan diri yang tinggi, maksudnya adalah bahwa
semua staff harus memiliki keyakinan yang tinggi bahwa
mereka telah berbuat baik, berbuat yang cukup untuk
memastikan bahwa tugas, fungsi, dan tanggung jawab
mereka telah dilakukan dengan benar.

Abdul Mongid & Saladin Ghalib


17
Akuntab
ilitas

Keyakinann Diri Respon Cepat

Perhor
matan

5. Keterbukaan terhadap pertanyaan dan pemeriksaan,


merupakan nilai yang harus dijnjung tinggi. Keterbukaan
terhadap pertanyaan disini diartikan setiap pertanyaan
harus mempunyai jawaban yang jujur dan menyeluruh
tanpa ada yang disembunyikan. Ini tentu menjadi isu
penting di dalam budaya sadar resiko karena menjawab
pertanyaan yang tidak jujur berarti telah
menyembunyikan sesuatu yang potensial menjadi
masalah di kemudian hari.
6. Organisasi terdiri dari berbagai fungsi. Fungsi
pengawasan adalah mitra untuk pencapaian tujuan
organisasi. Harus dibangun budaya penghormatan yang
tinggi terhadap staff di bagian manajemen risiko atau
pengawasan. Semua staff atau pimpinan terutama yang
di bagian bisnis, harus memiliki pemahaman bahwa
rekan yang ada dalam bagian manajemen risiko itu bukan
lawan tetapi partner dalam mencapai tujuan perusahaan.

18 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


Karena itu satu sikap yang penting dan perlu menjadi
poin penting yaitu penghormatan terhadap teman yang
berfungsi sebagai unit independen yang mengawasi
risiko. Mereka bukan lawan tetapi mereka adalah mitra
yang perlu memperoleh penghormatan yang layak dan
tidak sekedar dipandang sebagai penghambat.
7. Penghormatan terhadap sistem dan prosedur. Semua
staff terutama yang ada di unit bisnis atau komersiil (risk
taking unit) perlu menyadari bahwa apa yang terjadi
dengan sistem dan prosedur yang ada itu adalah sesuatu
yang wajib diikuti dan dijalankan tanpa ada upaya
mengakali sistem dan prosedur yang ada. Tentu hal ini
menjadi hal yang penting karena staff memiliki
kemampuan berpikir jika sistem dan aturan bisa diakali.
Peryataan aturan dibuat untuk dilanggar adalah sesuatu
yang sangat bertentangan dengan prinsip budaya risiko.
Sistem dan prosedur dibuat untuk mengamankan
kepentingan perusahaan, karyawan, dan juga nasabah.
8. Sifat kedelapan yang sangat penting adalah respon yang
cepat atau tanggap, sifat tanggap dalam pengertian ini
adalah setiap ada informasi ataupun pengetahuan atau
segala sesuatu yang menunjukkan ada potensi risiko
yang meningkat maka semua staff atau pimpinan dalam
semua unit harus bergerak dan melihat sekaligus
melakukan mitigasi pada level dimana mereka memang
memiliki tanggung jawab untuk itu. Yang terpenting
adalah kemauan dan kemampuan untuk melaporkan
pada pihak yang lebih berwenang sebagai tindakan
mitigasi. Responsif juga berarti kemauan untuk bekerja
lebih keras dalam rangka memastikan bahwa risiko yang
dihadapi oleh bank itu selalu dalam posisi yang
terkendali.

Kedelapan aspek diatas sangat penting dalam organisasi


khususnya lembaga keuangan. Keyakinan diri yang akan
selalu berbuat yang benar (righteous) menjadi isu sentral
karena ini merupakan peryaratan dasar seorang yang
Abdul Mongid & Saladin Ghalib
19
bekerja di lembaga keuangan. Konsep berbuat yang benar
dalam hal ini memiliki tiga perspektif. Ketiga perspektif ini
adalah benar dalam perspektif regulasi, benar dalam konteks
ketentuan internal, dan benar dalam arti sosial
kemasyarakatan. Kejujuran, kerja keras, sampai sikap
melayani. Sifat dan sikap demikian yang harus dijunjung
tinggi sebagai pegawai yang baik dan anti terhadap
pelanggaran.

Apapun yang terjadi, baik itu pelanggaran yang bersifat kecil


ataupun besar, semua orang harus meyakini bahwa semua
kesalahan yang terjadi adalah salah. Tidak ada toleransi
apapun untuk pelanggaran yang terjaidi karena itu sikap
yang zero tollerance terhadap kesalahan atau pelanggaran
ketentuan harus menjadi ciri seorang staff atau pimpinan
yang menjunjung tinggi budaya sadar risiko. Walaupun
demikian, tidak semua kesalahan selalu berakhir dengan
sanksi. Perlu dilakukan penilaian derajat kesalahan dan
frekuensi. Dalam akademis harus dibedakan antara
kekeliruan (error) dan kesalahan (mistake).

Kontribusi Budaya Sadar Risiko

Di berbagai negara termasuk Indonesia, terdapat persepsi yang


salah terutama persepsi para pimpinan atau direksi perusahaan
lembaga keuangan seperti perbankan tentang penerapan
manajemen risiko. Mereka merasa bahwa sistem dan prosedur
pada perusahaan yang dipimpin sudah sangat maju sehingga
sering menganggap bahwa manajemen budaya risiko tidak
diperlukan. Bahkan banyak yang mengatakan, karena budaya
sadar risiko sifatnya lebih ke pendekatan kualitatif sehingga tidak
cocok untuk lembaga yang bisnisnya terkait dengan uang. Maka
budaya sadar risiko sering dianggap sebagai sesuatu yang
sifatnya teoritis dan tanpa memberi nilai (value) atau kontribusi
terhadap pengembangan atau pengelolaan bank sehari-hari.

Pandangan yang demikian menunjukkan bahwa terdapat alasan


yang sangat kuat bagi kita semua untuk mengembangkan
20 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO
budaya sadar risiko dalam pengelolaan risiko suatu perusahaan.
Dasarnya adalah sangat sederhana, pengalaman krisis
keuangan global tahun 2008-2009 membuktikan bahwa apa
yang selama ini dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting
yaitu budaya ternyata memberi konribusi yang sangat besar dan
menetukan apakah suatu perusahaan dapat bertahan di era
krisis atau tidak. Fakta-fakta dari lapangan menunjukkan bahwa
kerugian yang sangat besar yang dialami oleh bank-bank besar
disaat krisis keuangan global terjadi lebih disebabkan karena
mereka menjalankan budaya atau sifat yang sembrono dan
mengabaikan segala hal yang sifatnya membatasi.

Beberapa bank yang berhasil dalam menghadapi risiko saat


krisis ternyata memiliki budaya risiko yang berbeda. Didalam
pengelolaan risiko mereka ternyata sudah tertanam nilai budaya
sadar risiko yang kuat. Inilah yang ternyata memberikan
kontribusi besar sehingga perusahaan bertahan dalam
menghadapi risiko besar saat krisis.

Pertanyaan selanjutnya adalah kenapa kita menekankan pada


aspek budaya. Ternyata kajian-kajian yang dilakukan oleh
peneliti yang dilakukan oleh International Institute Auditing (IIA),
membuktikan bahwa budaya manajemen risiko yang efektif,
ternyata memberi kontribusi keuntungan finansial yang cukup
signifikan. Keuntungan ini ternyata terjadi karena budaya sadar
risiko yang tertanam dalam pengelolaan risiko membuat orang
menyadari bahwa tindakan yang sifatnya sangat ekspansif
sekaligus mengambil risiko berlebihan akan relatif terhindari.

Jika diperhatikan, ciri-ciri dari penerapan budaya sadar risiko


dalam suatu perusahaan ternyata lebih banyak memberikan
kontribusi positif, diantaranya membantu menciptakan tata kelola
yang lebih efisien. Hal ini menunjukkan bahwa tata kelola yang
baik akan sangat terbantu ketika budaya sadar risiko sudah ada
di perusahan dan telah berkembang. Seperti diketahui bahwa
tata kelola itu tidak memiliki roh ketika orang-orang di dalamnya
tidak memiliki kemauan utuk membatasi diri karena pemahaman
tentang budaya sadar risiko rendah.
Abdul Mongid & Saladin Ghalib
21
Yang kedua adalah, budaya sadar risiko yang kuat biasanya
ditandai oleh jelasnya peran dan tanggung jawab dari
manajemen senior. Kejelasan ini penting karena disitulah
sebenarnya semua orang akan bermain dalam wilayah dimana
dia mempunya peran dan tanggung jawab. Disanalah juga
akhirnya orang akan mau membatasi dirinya dalam melakukan
tindakan-tindakan yang dapat merugikan dirinya sendiri. Yang
ketiga ini terkait dengan upaya untuk selalu memperbaiki diri. Hal
ini penting terutama ketika kita berbicara tentang perlunya untuk
selalu menyempurnakan keahlian yang sifatnya teknikal maupun
kejiwaan seperti kesabaran, rendah hati, hingga keimanan
kepada Allah.

Budaya sadar risiko yang tertanam dalam setiap individu,


mendorong mereka untuk selalu mencari perbaikan-perbaikan
terutama terkait dengan pengelolaan risiko, pengambilan posisi
yang berisiko, dan kejujuran. Inilah yang sebenarnya menjadi
intisari dari praktik manajemen yang baik. Yang keempat adalah
bahwa budaya sadar resiko yang tertanam dengan baik pada
suatu perusahaan itu akan mendorong terjadinya transparansi
dalam proses pengelolaan risiko secara tepat waktu.

Hal ini tentu penting untuk menjadi perhatian karena manajemen


risiko yang tidak transparan dan tidak tersedia ketika diperlukan,
akan menimbulkan masalah ketidaktransparanan informasi yang
akibatnya risiko baru akan muncul dan disadari ketika semuanya
sudah terlambat. Kaitannya dengan tepat waktu bahwa respon
atas segala sesuatu itu harus dilakukan sedini mungkin (early
intervention). Ketika kita berbicara tentang kepemimpinan dan
arahan yang diberikan oleh manajemen, maka keberadaan
budaya risiko yang bagus di perusahaan akan mendorong
terjadiya sikap tanggung jawab yang kuat diantara para manajer
atau ketua kelompok atau ketua regu dan kesediaan mereka
untuk selalu memberi pengarahan dan nasihat kepada
anggotanya.

Kuncinya disini tentu terletak pada bagaimana seorang


pemimpin itu menjadi role model sekaligus menjadi pengarah
22 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO
bagi anggotanya. Dan tentu hal ini akan menjadi lebih bagus lagi
ketika perusahaan mampu menciptakan seorang pemimpin yang
juga menjadi sumber (resources) belajar sekaligus mendorong
anggotanya untuk selalu berusaha belajar dari berbagai
kesalahan baik itu yang dilakukan oleh unit lain, organisasi lain,
atau bahkan pesaing lain. Dukungan terhadap anggota untuk
selalu belajar agar lebih baik memberikan kontribusi yang besar
pada perbaikan risiko perusahaan secara keseluruhan. Jika hal-
hal tersebut sudah ada di dalam suatu perusahaan, bank, dan
lembaga lainnya, maka organisasi itu sebenarnya telah
membangun sistem manajemen risiko yang handal karena
intinya adalah selalu mengatasi permasalahan sebelum
masalahnya menjadi sangat besar dan terlambat. Organisasi
yang demikian ini disebut dengan organisasi yang antisipatif.
Organisasi yang antisipatif itu akan selalu berada pada posisi
lebih depan dari pesaing-pesaingnya.

Ketika budaya sadar risiko ada dalam pengelolaan risiko serta


menjadi satu kesatuan dalam perilaku semua organisasi, maka
perusahaan akan mampu melakukan perbaikan-perbaikan nyata
di dalam pengelolaan risiko atau perbaikan pada faktor-faktor
risiko terkait dengan bagaimana mengelola orang. Yang perlu
diperhatikan dan digarisbawahi terkait budaya adalah
manajemen risiko sebaik sistem, sebaik prosedur, atau sebaik
model yang canggih dan komprehensif, semuanya tidak ada
artinya ketika dilakukan oleh mereka-mereka atau orang-orang
yang tidak memiliki kesadaran diri bahwa risiko berdampak buruk
kepada perusahaan. Orang-orang yang memiliki pandangan
bahwa keuntungan saat ini adalah tujuan utama maka dalam
jangka panjang orang orang yang demikian akan
menghancurkan perusahaan.

Abdul Mongid & Saladin Ghalib


23
Kepribadian Bankir

Memperhatikan karakteristik personal orang-orang yang berkerja


diindustri perbankan, kita akan memiliki persepsi yang seragam
yaitu mereka adalah orang yang sangat berhati-hati,
bertanggungjawab, dan memiliki integritas yang tinggi. Bahkan
ada keyakinan bahwa apa yang dikatakan oleh seorang bankir
akan dipenuhi ”My word is my bond”. Namun demikian, dalam
perkembangan beberapa tahun terakhir ini persepsi seorang
bankir telah banyak berubah seiring dengan terjadinya banyak
kejadian buruk yang melibatkan bankir. Kasus penggelapan
dana nasabah, mengatur persaingan dan harga, serta korupsi
mulai banyak terbuka di publik dan secara perlahan membuat
reputasi profesi bankir menurun.

Saat ini dirasakan perlunya otoritas perbankan, industri


perbankan, dan lembaga keuangan serupa dengan bank
mengatur agar praktik atau perilaku para pegawai dan pejabat
tidak bertentangan dengan prinsip umum seorang bankir.
Bahkan ada pemikiran supaya para bankir yang sembrono
(rough bankers) dapat dikeluarkan dari industri dan dicegah
untuk masuk kembali ke dunia perbankan.

Namun demikian, ada pandangan lain bahwa mengatur bankir


yang demikian ini tidak akan efektif. Bahkan yang ditakutkan
adalah regulasi ini terlalu ringan sehingga tidak dapat menyentuh
permasalahan yang sebenarnya atau sebaliknya terlalu keras
sehingga mematikan inisiatif-inisiatif untuk menciptakan model
bisnis bank yang lebih bagus. Karena itu, sebagai bagian dari
upaya untuk mencegah jangan sampai para bankir yang
sembrono tersebut melakukan aksinya, maka saat ini industri
perbankan dituntut untuk melihat kedalam organisasi masing-
masing tentang budaya kerja dan budaya sadar risiko.

Seperti diketahui budaya adalah hasil interaksi diantara orang-


orang di dalam organisasi. Karena itu semua profesi seperti
pendidik, konsultan pajak, ataupun arsitek, pedagang, dan
24 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO
bahkan politisi pun memiliki budaya sendiri sendiri. Budaya
merupakan hasil dari proses panjang sehingga tiap-tiap profesi
memiliki karakteristik budaya yang berbeda dengan profesi yang
lainnya. Kasus-kasus besar yang terjadi pada industri perbankan
seperti kasus yang menimpa Sociaty Generale Bank (SGS) yang
dilakukan oleh Jan Kiviet ataupun bankrutnya Bank Barring
karena Nick Lesson sedapat mungkin dihindari. Di Indonesia
kasus valas Bank Duta yang melibatkan Dicky Iskandardinata
juga merupakan salah satu contoh bagaimana bankir sukses
ternyata telah membuat bencana bencana bagi bank ketika
mereka tidak berhati-hati telah mengelola dana bank. Bahkan
kesanya seperti menggunakan uang bank untuk berjudi.

Saat ini ada pemikiran dari kalangan profesi psikologi untuk


mencoba memetakan kepribadian orang-orang yang memiliki
peran penting di dalam menghancurkan sebuah bank. Mereka
adalah orang-orang yang ternyata memiliki personality yang
extreme atau kepribadian ekstrim yang cirinya adalah karirnya di
industri sangat sukses. Mereka boleh dibilang anak emas karena
member kontribusi laba yang sangat besar. Namun
kesuksesannya itu menyebabkan terjandinya disfungsi
pengawasan maupun pengendalian intern yang ada dibank.
Terkadang hal ini terjadi karena pesan direksi untuk tidak
“menyentuh” anak emas ini. Karena orang ini memiliki
kemampuan dan prestasi hebat untuk mempengaruhi dan
membuat orang lain selalu berpikir bahwa yang dilakukan selalu
benar. Karena itu, fokus untuk melihat kepribadian individu dan
relevansinya didalam lembaga keuangan seperti bank, menjadi
diskusi yang sangat menarik.

Psikolog Geoff Trickey (2010), Director Psychology Consultan


Limited telah mengidentifikasi delapan kepribadian yang ditemui
pada semua profesi khususnya profesi di perbankan. Kedelapan
tipe kepribadian itu adalah:

1. Kepribadian spontan (spontanius type). Pribadi dengan


type ini memiliki kepribadian spontan dan cenderung
Abdul Mongid & Saladin Ghalib
25
inklusif dan sangat menyenangkan dan biasanya sangat
menikmati sesuatu yang spontan dan tanpa
perencanaan. Tipe pribadi yang demikian dalam
mengambil keputusan biasanya tanpa direncanakan
tetapi mengalir mengikuti arus. Kepribadian yang
demikian ini biasanya cenderung menimbulkan risiko
yang besar karena apa yang dilakukan tanpa direncana
dan kalau salah memiliki implikasi yang berat.
Kepribadian demikian biasanya memiliki semangat yang
menggebu-gemu dan tidak berhati-hati sehingga
kesenangan atau kehebatan atau semangat mereka itu
menjadi tak dapat diramalkan.
2. Kepribadian serius (intens type). Kepribadian demikian
ini biasanya ditunjukkan dengan sikap yang sangat
tegang, selalu khawatir dan sangat waspada terhadap
segala sesuatu yang berisiko dan dalam banyak hal
ketakutannya berlebihan terhadap setiap ancaman yang
dianggap mengganggu kestabilan. Orang tipe demikian
ini menghabiskan banyak waktu untuk karyawan atau
project dan sangat takut jika terjadi kegagalan. Dan
mereka akan menjadi sangat menyalahkan diri sendiri
apabila segala sesuatunya tidak berjalan dengan benar.
3. Kepribadian Khawatir (wary personality). Tipe ini yang
ada adalah tipe orang dengan perasaan selalu khawatir.
Umumnya orang dengan tipe kepribadian ini sangat
disiplin dan takut untuk melakukan sesuatu yang
mengandung risiko. Dalam kesehariannya sangat
terorganisir. Namun mereka tidak ada kemauan untuk
selalu mencoba hal baru. Fokusnya menjadikan masalah
keselamatan atau keamanan sebagai prioritas utama.
Kelemahan lain pribadi serius adalah kadang-kadang
memiliki ketidakyakinan pada masa depan sehingga
menjadi terlalu khawatir tetapi tidak melakukan langkah-
langkah untuk menyiapkan diri. Selalu ada ketakutan
bahwa apa yang disiapkan mungkin tidak memadai atau
mungkin menjadi salah.

26 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


4. Kepribadian yang berhati-hati (prudent type) orang
dengan kepribadian demikian biasanya memiliki
pengendalian diri yang sangat bagus dan sangat detail
dalam melakukan perencanaan. Secara umum mereka
adalah orang yang sangat terorganisir, berpikir
sistematis, konservatif, dan selalu mencari kesamaan
atau keseragaman. Dalam melakukan kegiatan
umumnya sangat konvensional dan mereka lebih
menyukai aktivitas yang monoton dan terus menerus
daripada aktivitas yang beragam. Biasanya mereka
sangat tertarik atau senang untuk menggeluti apa yang
dia rasa sebagai keahliannya.
5. Kepribadian dengan pertimbangan matang (deliberate
type). Individu dengan tipe kepribadian demikian memiliki
ciri yaitu keyakinan diri yang kuat, selalu berpikir
sistematik dan mentaati aturan. Dalam banyak hal
kepribadian ini biasanya sangat kalem sekali atau juga
sangat optimis. Melakukan segala sesuatu dengan
rancangan yang matang dan optimis sekaligus jarang
khawatir dalam menghadapi sesuatu yang tidak pasti.
Dalam banyak hal ketika melakukan sesuatu kurang
memiliki emosional yang tinggi. Dalam banyak hal jarang
melakukan sesuatu aktivitas yang betul-betul tanpa
perencanaan matang.
6. Kepribadian yang teratur (composed type). Individu
dengan kepribadian ini biasanya sangat kalem, sangat
tenang dalam pembawaan, tapi dalam banyak hal sangat
berhati-hati untuk melakukan sesuatu yang sifatnya
untuk pencegahan walaupun dengan konsekuensi sering
tidak memperhatikan kepentingan orang lain. Mereka
melakukan segala sesuatunya dengan yakin dan dalam
banyak hal memiliki kemampuan dalam mengelola stress
yang sangat baik.
7. Kepribadian petualangan (adventure type). Individu
dengan kepribadian ini biasanya memiliki sikap impulsif
dan tanpa rasa takut. Dalam banyak hal mereka sering
Abdul Mongid & Saladin Ghalib
27
memiliki sikap-sikap yang sering melanggar tradisi atau
kebiasaan yang sudah berlaku kalau dirasakan itu tidak
sesuai dengan pandangan yang bersangkutan.
Kepribadian petualangan sering memiliki sikap yang
cenderung tidak mudah marah namun kurang
memperhatikan risiko.
8. Kepribadian merdeka (carefree type) orang dengan
kepribadian demikian biasanya impulsive dan sangat
senang dengan petualangan, selalu mencari sesuatu
yang menantang dan dalam banyak hal juga sangat
sembrono. Dalam beberapa hal mereka sangat buruk
didalam menyelesaikan sesuatu yang sifatnya detail dan
cenderung tidak melakukan persiapan untuk sesuatu
yang akan dikerjakan. Mereka cenderung sangat terbuka
didalam mengungkapkan isi hati atau harapannya,
namun demikian mereka cenderung juga tidak sabar dan
impulsive sehingga mereka dalam melakukan keputusan
cenderung cepat dan mengabaikan kehati-hatian.

Tentu saja uraian diatas bukan sesuatu yang pasti karena


kepribadain adalah sangat personal dan sangat
beragam. Generalisasi yang dillakukan merupakan hasil
penelitian kepribadian yang panjang. Diharapkan dalam
melakukan recruitment, tugas, dan kepribadian
diupayakan sesuai sehingga membawa hasil yang baik.
Namun hubungan antara risiko dan kepribadian adalah
sesuatu yang perlu terus digali.

Peran GCG

Pelaksanaan GCG di bank umum secara khusus dapat


meningkatkan nilai atau memberi manfaat bagi semua pihak
yang berkepentingan (stakeholders). Manfaat itu meliputi:

28 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


1. Meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan kesinambungan
suatu organisasi. Artinya GCG mendorong pencapaian
tujuan perusahaan sebagai going concern entity.
2. Meningkatkan manajemen bank yang dikelola dengan
terbuka, adil, dan dapat dipertanggungjawabkan.
3. Mengakui dan melindungi hak dan kewajiban para
stakeholders khususnya minority shareholder,
masyarakat dan pekerja.
4. Mengendalikan konflik kepentingan diantara stakeholder
diantaranya manajemen dan pemilik, debitur dan
manajemen, pegawai dan manajemen.
5. Memimalkan biaya modal (cost of capital) dengan
memberikan sinyal
positif untuk para penabung dan investor bahwa ank
dikelola dengan baik dan aman.

Penilaian pelaskanaan GCG

Dalampraktek, penilaian sendiri (self assessment) pelaksanaan


GCG disesuaikan dengan periode penilaian Tingkat Kesehatan
Bank Umum, yaitu paling kurang setiap semester untuk posisi
akhir bulan Juni dan akhir bulan Desember. Dalam evaluasi diri
ini (self assessment) pelaksanaan GCG dilakukan dengan
mengintegrasikan tiga aspek governance,
yaitu struktur, proses, dan Hasil. Penilai ini untuk memastikan
penerapan 5 (lima) prinsip dasar GCG yaitu Trasparansi,
akuntabilitas, responsibilitas, independensi dan fairness.
Penilaian tiu meliputi:

1. Penilaian governance structure: Pada asepk ini bank


menilai kecukupan atau kelayakan struktur dan
infrastruktur tata kelola Bank. Struktur penting karena ini
akan membantu proses implementasi GCG berjalan baik
sehingga menghasilkan outcome sesuai dengan
harapan-harapan stakeholders Bank. Pada spek ini

Abdul Mongid & Saladin Ghalib


29
maka yang dinilai meliputi komisaris, direksi dan komite
komite baik yang dibawah direksi maupun yang dibawah
komisaris.

2. Penilaian governance process: Pada aspek ini bank


menilai efektivitas proses pelaksanaan GCG. Ini meliputi
bgamana konflik kepentinan diatur, fungsi fungsi terkait
kepatuhan, audit intern dan ektern sampai dengan
penerapan manajemen risiko. Proses penilaian atas
kelayakan pemberian kredit kepada pihak terkait dan
debitu besar juga menjadi perhatian penting.
3. Penilaian governance outcome: Pada aspek ini bank
menilai kualitas outcome yang memenuhi
harapan stakeholders Bank. Contoh penilaian penting
adalah transparansi kondisi keuangan, pelaksanaan
GCG sampai pengawasan internal. Selain itu bagaimana
rencana stratedus bank disusun dan dilaporkan menjadi
bukti outcome pelaksanaan GCG yang
penting. Penilaian dilakukan baik dari aspek kualitatif
dan kuantitatif, antara lain perlindungan konsumen
sampai kinerja Bank seperti rentabilitas, efisiensi dan
permodalan.

Setiap tahun manajemen bank melakukan evaluasi diri


(self assessment) penerapan gcg. Penilaian ini meliputi 11 aspek
yaitu:

1. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab dewan


komisaris;
2. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab direksi;
3. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite;
4. Penanganan benturan kepentingan;
5. Penerapan fungsi kepatuhan;
6. Penerapan fungsi audit intern;
7. Penerapan fungsi audit ekstern;

30 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


8. Penerapan manajemen risiko termasuk sistem
pengendalian intern;
9. Penyediaan dana kepada pihak terkait (related party) dan
penyediaan dana besar (large exposures);
10. Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan bank,
laporan pelaksanaan gcg, dan pelaporan internal; dan
11. Rencana strategis bank.

Tugas Komite

1. Komite Audit
Komite Audit bertugas mereview dan pemantauan :
a) Pelaksanaan tugas SKAI (Satuan Kerja Audit Intern)
b) Kesesuaian pelaksanaan audit laporan keuangan
oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) dengan standar yang
berlaku,
c) Pelaksanaan tindak lanjut atas hasil temuan dari SKAI,
KAP dan OJK.

Dalam aktifitas sehari hari, Komite Audit merekomendasikan


agar Bank memperhatikan temuan berulang yang
menunjukkan perlunya dicari penyebabnya seperti
kelemahan dalam bidang sumber daya manusia, kecukupan
kebijakan dan prosedur, pengawasan

2. Komite Pemantau Risiko


Komite Pemantau Risiko diketuai oleh Komisaris Independen
dengan anggota dari seorang Pihak Independen ahli dibidang
keuangan dan manajemen risiko. Tugas Komite Pemantau
Risiko mencakup :
a. Evaluasi atas konsistensi antara kebijakan manajemen
risiko dengan pelaksanaannya.
b. Melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan
tugas Komite Manajemen Risiko dan Satuan Kerja
Manajemen Risiko.

Abdul Mongid & Saladin Ghalib


31
c. Memberikan oenilaian risiko spesifik yang dihadapi bank
seperti risiko kredit, operasional dan risiko lain yang
dinilai membahayakan bank.

3. Komite Remunerasi dan Nominasi


Komite Remunerasi dan Nominasi diketuai oleh Komisaris
Independen dan anggotanya adalah Komisaris Utama
dan seorang perwakilan karyawan.Tugas dari Komite
Remunerasi dan Nominasi:
1. Memberikan evaluasi terhadap penilaian kinerja
karyawan (performance appraisal) tahunan.
2. Memberikan rekomendasi dan usulan calon
anggota Komisaris Independen dan Direksi.

32 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


BAB III
MANAJEMEN RISIKO

Pengertian manajemen risiko

Manajemen risiko adalah aktivitas yang diarahkan untuk


mengendalikan kegiatan organisasi dengan memperhatikan
Resiko yang dihadapi. Sebagai suatu aktivitas yang
terkoordinasi maka manajemen risiko memiliki pertimbangan,
mekanisme dan struktur yang jelas. Sebelumnya disebutkan
bahwa pencapaian tujuan perusahaan dapat terganggu karena
kegagalan dalam mengelola risiko. Artinya manajemen risiko
yang berhasil akan membuat pencapaian tujuan perusahaan
makin mudah. Secara tradisional tujuan perusahaan baik itu
bank maupun yang lain adalah untuk memberi manfaat atau
menciptakan manfaat bagi pemegang saham. Dalam konteks ini
adalah bagaimana perusahaan mencapai laba yang maksimum
sehingga dapat menghasilkan kekayaan bagi para pemegang
saham.

Namun demikian mengingat stakeholder bank itu tidak hanya


pemegang saham maka aspek-aspek lain yang terkait dengan
kepentingan stakeholder juga harus diperhatikan. Stakeholder
Bank selain pemegang saham yang patut diperhatikan adalah:

1. Deposan. Deposan adalah stakeholder paling penting


bagi bank Karena Mereka menyediakan dana bagi
bank. Nasabah penting untuk diperhatikan karena ketika
mereka kehilangan kepercayaan dan melakukan
penarikan dana besar-besaran berakibat kepada
kebangkrutan bank. Dalam rangka menjaga
kepercayaan dari para deposan inilah maka bank
dipaksa oleh otoritas untuk melakukan pengelolaan bank
yang berhati-hati (Prudential).

2. Regulator. Regulator atau otoritas adalah stakeholder


yang penting karena mereka memiliki peran yang
menentukan untuk kelangsungan hidup bank. Bank
Abdul Mongid & Saladin Ghalib
33
sentral memiliki peran ketika bank mengalami kesulitan
likuiditas jangka pendek, otoritas bank sentral dapat
memberikan bantuan likuiditas dengan cepat ketika yakin
bahwa bank dikelola benar. Sementara pengawas bank
dalam hal ini OJK punya peran yang penting karena
ketika bank dinilai tidak melaksanakan ketentuan yang
ditetapkan oleh otoritas, bank dianggap tidak
sehat. Ketika bank dinyatakan tidak sehat maka
bisnisnya akan terganggu karena masyarakat akan
menilai bahwa bank tersebut dikelola dengan
buruk. Kegagalan dalam pemenuhan ketentuan yang
ditetapkan oleh otoritas akan menyebabkan
keberlanjutan usaha bank dalam berbahaya. Otoritas
dapat mencabut izin usaha Bank sehingga bank akan
ditutup.

3. Pegawai. Pegawai adalah juga salah satu aset penting


dari bank karena itu kepentingan pegawai harus
diperhatikan juga. Apalagi kita mengetahui bahwa
mereka adalah stakeholder yang paling tergantung
kehidupannya pada bank. Ketika bank dinyatakan
bangkrut maka mereka adalah korban pertama yang
akan menanggung akibatnya karena mereka akan
kehilangan pekerjaan. Kegagalan operasional bank
dalam bentuk terjadinya kerugian sudah jelas akan
merugikan pegawai karena mereka akan mengalami
penurunan gaji atau juga kehilangan pendapatan yang
biasa mereka peroleh seperti bagian dari keuntungan
bank / bonus.

4. Masyarakat umum. Masyarakat umum adalah pembayar


pajak. Ketika bank beroperasi dengan baik dan
resikonya rendah maka masyarakat akan dapat
memperoleh jasa yang disediakan oleh bank dengan
baik. Contohnya untuk melakukan kiriman uang atau
memperoleh kredit. Masyarakat umum mendapat
manfaat dalam bentuk adanya jasa yang tersedia di

34 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


hingga memudahkan kehidupan masyarakat. Namun
demikian ketika bank dikelola dengan buruk dan terjadi
kebangkrutan pada akhirnya masyarakat atau pembayar
pajak lah yang akan menanggung akibat dari ulah para
bankir. Kebijakan pemerintah untuk memberikan
suntikan modal yang dikenal dengan istilah bail-out
merupakan beban bagi masyarakat sebagai pembayar
pajak. Mereka menanggung beban rekapitalisasi
perbankan sehingga mereka terpaksa harus membayar
pajak yang lebih tinggi. Bisa jadi fasilitas kemasyarakatan
yang bisa mereka nikmati akan berkurang karena
sebagian dana pajak digunakan untuk menopang
keuangan bank.

Sering dikatakan bahwa keuntungan adalah imbalan karena


seseorang mengambil atau menanggung risiko. Peribahasa itu
sangat tepat untuk menggambarkan model bisnis di industri
perbankan. Bank secara umum disebut berbisnis risiko karena
bank menghadapi berbagai jenis risiko. Seorang bankir yang
sukses adalah bankir yang dapat mengurangi risiko ini dan
menciptakan keuntungan yang signifikan bagi pemegang
saham. Dan ini berlangsung terus menerus. Dalam menejen
risiko dilakukan mitigasi risiko yang dimulai dengan terlebih
dahulu mengidentifikasi risiko dengan benar, mengapa risiko itu
muncul dan dampak / kerugian apa yang dapat ditimbulkannya.

Risiko Pasar

Rsiko pasar adalah risiko kerugian karena perubahan harga


dipasar sehingga nilai asset yang dimiliki bank menurun atau
kewajiban bank naik. Risiko pasar berasal dari perubahan suku
bunga, nilai tukar, harga saham maupun harga komoditas yang
sewaktu waktu naik dan turun. Beberapa surat berharga yang
dimiliki bank sebenanrya untuk tujuan untuk memarkir uang
untuk jangka pendek. Namun, banyak surat berharga juga
dijadikan jaminan kepada bank untuk pinjaman. Nilai surat
berharga bias naik bias turun. Bank menghadapi risiko pasar
dalam berbagai bentuk. Misalnya jika mereka memegang ekuitas
Abdul Mongid & Saladin Ghalib
35
dalam jumlah besar maka mereka terkena risiko ekuitas.
Penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko komoditas dan
Risiko ekuitas wajib diterapkan oleh Bank yang melakukan
konsolidasi dengan Perusahaan Anak (subsidiary) yang memiliki
aktifitas perdagangan komoditas. Risiko komoditas adalah
timbula karena posisi trading book dan banking book yang
disebabkan oleh perubahan harga komoditas. Sementara itu
risiko ekuitas adalah karena aposisi kepemilikan atau kewajiban
ekuitas yang disebabkan oleh perubahan harga saham

Untuk dapat memitigasi risiko pasar tersebut, bank dapat


menggunakan kontrak lindung nilai. Mereka dapat menggunakan
instrument derivatif keuangan. Dengan menggunakan kontrak
seperti forward, opsi dan swap, bank hampir dapat
menghilangkan risiko pasar dari neraca mereka. Namun
seringkali resiko sisa (residual risk) relative sulit dihapuskan
namun secara umum kerugian dapat dikurangi dengan
instrument derivative. Namun demikian di Indonesia instrument
derivative tidak mudah didapat dan biayanya cenderung mahal
karena skala aktifitasnya kecl.

Risiko Operasional

Risiko Operasional adalah Risiko kerugian yang berasal dari


kegagalan proses internal, kesalahan manusia, kegagalan
sistem, dan/atau adanya kejadian eksternal yang
mempengaruhi operasional Bank.Sebenanrya risiko operasional
umumnya berasal dari keharusnan bank untuk beroperasi dalam
skala besar agar menguntungkan yang dikenal karena
keuntungan skala ekonomi (economies of scale).
Mempertahankan proses internal yang konsisten dalam skala
besar adalah tugas yang sangat sulit.

Risiko operasional terjadi sebagai akibat dari kegagalan proses


bisnis sehari-hari. Contoh risiko operasional akan mencakup
pembayaran yang dikreditkan ke akun yang salah atau
mengeksekusi pesanan yang salah saat bertransaksi di pasar.
Tak satu pun dari departemen di bank yang kebal dari risiko
36 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO
operasional. Risiko operasional muncul terutama karena
mempekerjakan orang yang salah atau bisa juga terjadi jika
terjadi gangguan pada sistem teknologi informasi.

Moral hazarD

Pada saat krisis pemerintah mendanai bank agar pulih dengan


berbagai nama seperti rekapitalisasi atau Bailout. Kucuran dana
pemerintah telah menciptakan jenis risiko baru yang disebut
moral hazard. Risiko ini tidak dihadapi oleh bank atau pemegang
sahamnya. Sebaliknya, risiko ini dihadapi oleh pembayar pajak
di negara tempat bank beroperasi yang mengalami krisis.

Bank sudah terbiasa mengambil risiko berlebihan. Jika risiko


mereka terbayar, mereka dapat mempertahankan
pengembaliannya. Namun jika risikonya menjadi boomerang
sehingga rugi besar dan modalnya sampai negatif, maka
kerugian ini terpaksa ditanggung oleh wajib pajak dalam bentuk
dana talangan. Contohnya adalah BLBI (Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia) maupun obligasi rekapitasi bank pada saat krisis
1997/1998. Penyebab praktek ini adalah prinsip Too Big to fail ini
menyebabkan bank menjadi gegabah dalam mengejar
keuntungan. Meskipun otoritas bank menggunakan system
pengawasan dan audit yang ketat untuk memastikan bahwa
praktik bisnis yang aman diikuti, namun bank selalu melakukan
bisnis yang berisiko saat mereka tidak sedang diawasi. Mereka
melakukan secara sembunyi sembunyi.

Risiko likuiditas

Risiko likuiditas adalah risiko yang paling ditakuti oleh para


bankir. Resiko likuiditas didefinisikan sebagai tidak cukupnya
likuiditas atau kas untuk operasional normal bank sehari
hari. Seperti diketahui bank adalah penyedia likuiditas yang
handal bagi nasabah. Karena itu bank harus mampu membayar
kewajibannya yang jatuh tempo. Namun demikian dalam
prakteknya seringkali terjadi kesulitan likuiditas yang dihadapi
oleh bank. Kesulitan likuiditas itu berasal dari satu kurangnya
alat liquid yang ada di bank karena bank fokus untuk
Abdul Mongid & Saladin Ghalib
37
menginvestasikan dananya pada investasi jangka panjang
seperti untuk kredit. Kesulitan likuiditas terjadi karena kegagalan
bank mendapatkan aset likuid di pasar uang antar bank. Seperti
diketahui pada operasional perbankan saling meminjam dana
untuk keperluan likuiditas jangka pendek adalah hal yang
biasa. Namun demikian pada saat tertentu bank mungkin akan
gagal mendapatkan pinjaman likuiditas dari pihak
lain. Kegagalan ini dikenal dengan istilah resiko pendanaan atau
pan di inggris yaitu ketidakmampuan bank dalam memperoleh
pendanaan di pasar.

Risiko likuiditas adalah jenis risiko lain yang melekat dalam bisnis
perbankan. Ini satu satunya risiko yang secara instan membuat
bank bangkrut. Risiko likuiditas adalah risiko bahwa bank tidak
akan dapat memenuhi kewajibannya jika deposan datang untuk
menarik uangnya. Risiko ini melekat pada sistem perbankan
modern karena hanya sebagian kecil dana nasabah yang
disimpan dalam kas. Istilahnya adalah system perbankan
dengan cadangan fraksional (fractional reserves). Oleh karena
itu, dalam sistem ini, hanya sebagian dari simpanan yang
diterima yang disimpan sebagai cadangan, sisanya digunakan
untuk membuat pinjaman. Oleh karena itu, jika semua deposan
lembaga datang untuk menarik uang mereka sekaligus, bank
tidak akan memiliki cukup uang. Situasi ini disebut bank run.

Mengingat likuiditas adalah layanan penting bank dan nasabah


sangat meyakini kemampuan ini maka risiko likuiditas seringkali
dianggap sebagai risiko yang paling berbahaya dan dapat
membuat bank mengalami kesulitan dalam waktu
cepat. Nasabah harus yakin dan selalu diyakinkan akan
kemampuan ini. Jika keyakinan nasabah atas kemampuan
bank menyediakan likuiditas ini hilang maka bisnis bank akan
hilang dalam sekejap. Kegagalan ini menimbulkan yang
namanya penarikan dana secara besar-besaran (bank rush) oleh
nasabah lain. Jika ini terjadi maka bank akan mengalami
kerugian dan dapat mengalami insolvabilitas dalam waktu cepat.

38 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


Untuk mengurangi risiko likuiditas ini maka bank seharusnya
menerapkan prinsip yang dikenal dengan keseimbangan
maturitas dana (maturity matching). Bank hanya
menginvestasikan dana jangka pendek untuk membiayai aset
jangka pendek dan dana jangka panjang untuk investasi jangka
panjang. Namun dalam prakteknya, sulit untuk yang demikian
ini dilaksanakan karena adanya preferensi nasabah yang
berbeda di dalam menempatkan dana dan meminjam
dana. Umumnya nasabah penyimpan dana menginginkan
menempatkan dana dalam jangka pendek sementara para
debitur menginginkan pinjaman jangka panjang.

Saat ini bank cenderung tidak terlalu peduli dengan risiko


likuiditas. Ini karena mereka mendapat dukungan dari bank
sentral. Dukungan ini dikenal sebagai lender of the last resort.
Jika terjadi pelarian dana atau penarikan dana besara besaran
pada bank tertentu, bank sentral mengalihkan semua sumber
dayanya ke bank yang terkena dampak. Oleh karena itu,
deposan dapat dibayar kembali ketika mereka menarik
simpanan mereka. Tidakan ini merupakan tugas bank sentral
untuk mengembalikan kepercayaan deposan dan pelarian dana
dapat dihindari. Ini merupakan upaya mencapai stabilitas sistem
keuangan. Makanya saat ini otoritas bank meminta bank
mengelola likuiditas dengan baik pasca krisis keuangan global.

Risiko Pembayaran

Risiko pembayaran (payment risk) atau disebut risiko


penyelesaian (settlement risk) terjadi ketika satu pihak (bank)
sudah melakukan pembayaran kepada pihak lain (bank)
sebelum pihak lain melakukan pembayaran. Risiko ini juga
dikenal sebagai Herstatt Risk karena mengacu pada sebuah
bank di Jerman, yaitu Hesrtatt bank yang mengalami
kebangkrutan pada tahun 1974. Saat itu transaksi Valuta asing
antar bank memerlukan waktu penyelesaian dua hari. Pada saat
transaksi dilaksanakan bank-bank di Amerika telah mengirim
dananya ke rekening herstatt bank di Nostro Account di
Abdul Mongid & Saladin Ghalib
39
Amerika. Pada saat bank dinyatakan bangkrut pada hari itu di
Jerman, karena ada perbedaan waktu, maka banyak bank di
Amerika yang gagal menerima pembayaran karena setelah
dinyatakan ditutup maka bank tidak boleh melakukan transaksi.

Risiko pembayaran sangat besar di pasar antar bank karena


volume transaksinya sangat besar. Pada saat ini volume
transaksi pasar valuta asing dunia nilai transaksinya dalam
sehari sudah setara dengan GDP dunia. Karena itu jika satu
bank Global mengalami masalah pasti memunculkan masalah
lain bagi bank yang terlibat dalam transaksi dengan bank
tersebut.

Untuk mengurangi risiko pembayaran ini maka beberapa bank di


wilayah tertentu membentuk sistim keliring sendiri. Di Eropa
pada tahun 1994 mereka membentuk ECHO (The European
Clearing House Organization) untuk mengurangi risiko
pembayaran. ECHO didirikan dengan biaya GBP 21 juta yang
didanai oleh peserta yang dipimpin oleh bank Inggris seperti
Bank Barclays dan Midland. Kelompok pendiri ECHO termasuk
ABN Amro, Banca Nazionale del Lavoro and Banque. Pada saat
yang sama bank-bank di Amerika Utara membentuk sistem
penyelesaian pembayaran sendiri yang dikenal dengan
Multinet. Di Indonesia bank-bank dapat memanfaatkan sistem
pembayaran yang mengurangi risiko pembayaran yaitu dengan
menggunakan sistem Real Time Gross Settlement (RTGS).

Resiko Leverage

Risiko leverage adalah risiko yang dihadapi oleh bank karena


keterbatasan modal yang dimiliki. Seperti diketahui bank adalah
bisnis dengan leverage yang tinggi. Artinya modal bank
dibandingkan dengan hutang dan asetnya jauh lebih kecil. Rasio
modal bank dengan hutang sangat kecil dibandingkan dengan
perusahaan yang lain. Bank dapat mempertahankan bisnis
dengan leverage yang tinggi karena bank memiliki reputasi yang
baik sehingga dipercaya. Secara umum bisnis bank juga akan

40 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


stabil selama deposan memiliki keyakinan bahwa bank tersebut
aman.

Bank yang memiliki leverage / Gearing rasio yang tinggi tentu


membatasi bank untuk ekspansi atu mengambil posisi yang
beriko tinggi. Jika Bank membatasi rasio modal atau asetnya 8%
tentu bank memiliki batas maksimum 12,5 kali. Kalau ini terjadi
di berarti Bank Tidak mungkin diperkenankan untuk menambah
asetnya. Ini berbeda dengan perusahaan yang lain yang
umumnya hanya sampai 2 kali dari modal. Solusi untuk ini adalah
harus menambah modal.

Risiko Hukum

Risiko Hukum adalah risiko kerugian yang timbul dari kegagalan


yang tidak disengaja atau kelalaian untuk memenuhi kewajiban
profesional (hukum) kepada klien tertentu atau dari sifat atau
desain suatu produk. Contoh dari risiko hokum berasal dari
kegagalan dalam memenuhi, kegagalan dalam pengungkapan
sampai pelanggaran pedoman. Kegagalan dalam penerapan
dan pengungkan prinsip mengenal nasabah (KYC). Bahkan
pasca berlakunya ketentuan data privasi, Pelanggaran privasi
dan Penyalahgunaan informasi rahasia masuk sebagai risiko
hukum.

Jenis risiko hukum bervariasi menurut lini bisnis. Untuk Lini


Bisnis Umum contohnya adalah Pelanggaran peraturan,
Informasi pelanggan yang dibagi ke pihak lain maupun
Pelanggaran fidusia. Untuk lini bisnis Perbankan Ritel: Salah
Jual produk, Ketidaksesuaian penjualan ke nasabah. Sementara
untuk Perbankan Komersial contohnya adalah Ketidakpatuhan
dengan peraturan anti pencucuian uanga (AML)

Risiko Hukum harus dikelola dan dimitigasi dengan cara


pengendalian internal yang kuat dan didukung oleh budaya risiko
perusahaan yang tertanam dalam diri karyawan. Seperti dengan
risiko operasional, bank akan sulit untuk memperoleh ukuran
objektif dari risiko hokum actual.

Abdul Mongid & Saladin Ghalib


41
Resiko bisnis

Industri perbankan saat ini sangat maju dan terdiversifikasi. Bank


saat ini memiliki berbagai macam strategi yang harus mereka
pilih untuk bertahan dan berkembangan di tengah persaingan
yang ketat. Setelah strategi tersebut dipilih, bank perlu
memfokuskan sumber daya mereka untuk mencapai tujuan
strategis mereka dalam jangka panjang.

Oleh karena itu, selalu ada risiko bahwa bank memilih strategi
yang salah. Akibat salah pilih ini, bank bisa merugi dan akhirnya
diakuisisi atau malah kolaps. Contohnya adalah HSBC yang
membuka bisnis microbanking di Indonesia. Kalau di negara
ASEAN lain sukses, tidak untuk di Indonesia. Strategi mereka
adalah menjadi pemberi pinjaman pilihan bagi orang-orang yang
memiliki nilai kredit kurang sempurna dan informasi keuangan
yang tidak akurat. Seluruh bisnis ini akhirnya ditutup.

Risiko Reputasi

Risiko reputasi di bidang perbankan dan jasa keuangan terkait


dengan hilangnya kepercayaan konsumen atau pemangku
kepentingan pada institusi. Ini adalah risiko bahwa konsumen
dan pemangku kepentingan memiliki persepsi negatif tentang
bank atau cabang tertentu atau seluruh produk bank tersebut
setelah peristiwa tertentu. Banyak kejadian yang membuat
menurunnya tingkat kepercayaan pemangku kepentingan
(stakeholder) yang bersumber dari persepsi negatif terhadap
Bank. Risiko Reputasi timbul antara lain karena adanya
pemberitaan media dan/atau rumor mengenai bank yang bersifat
negatif, serta adanya strategi komunikasi bank yang kurang
efektif. Reputasi merupakan aset tidak berwujud yang sangat
penting dalam bisnis perbankan.

Sumber risiko reputasi adalah karena kegagalan bank dalam


melayani pelanggan. Salah satu risiko utama berasal masalah
tidak amanya layanan perbankan online. Konsumen
mengharapkan dukungan 24/7 dalam hal akses dan bantuan

42 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


dengan perbankan online namun ternyata bank tidak
menyediakan. Berita buruk tentang penipuan dan korupsi di bank
akan menghancurkan reputasi bank. Kasus deposito yang dicuri
pegawai pada Bank Mega merupakan saah satu contoh.

Pada level global, Citibank dituduh memanipulasi kurs Forex


dengan melakukan perdagangan palsu dengan mitra dagangnya
sendiri. Ketika regulator mengetahui tentang praktek kotor
seperti predator yang dilakukan Citibank, mereka mengenakan
denda besar pada bank ini. Selain denda, Citibank juga
kehilangan reputasi sebagai bank yang mengikuti praktik
perdagangan yang baik. Ketika nasabah mengetahui bahwa
Citibank melakukan manipulasi pasar, banyak calon nasabah
mengalihkan bisnisnya dari Citibank sebagai akibat dari skandal
ini dan ini yang menyebabkan kerugian akibat hilangnya
reputasi. Kasus meinggalnya pemegang Kartu Kredit di Kantor
Citibank di Jakarta merupakan contoh lain praktek intimidasi
yang merugikan reputasi bank.

Bank dapat menjaga reputasinya dengan memastikan bahwa


bank tidak pernah berpartisipasi dalam praktik bisnis yang
curang atau manipulatif. Selain itu, bank perlu terus memastikan
bahwa upaya humas mereka mempromosikan sebagai bank
yang ramah dan jujur. Bank perlu selalu mengidentifikasi sumber
Risiko reputasi yang berasal dari aktivitas ketenagakerjaan;
masalah produk atau pelanggan; tata kelola; dan risiko lain.

Risiko Sistemik

Menurut Muharam dan Erwin (2017) Risiko sistemik adalah risiko


jatuhnya sistem keuangan yang akan menyebabkan sistem
keuangan tidak berfungsi dengan baik. Pengukuran risiko
sistemik di lembaga keuangan terutama bank sangat penting,
karena bank sangat rentan terhadap krisis keuangan. Risiko
sistemik muncul karena fakta bahwa sistem keuangan adalah
satu jaringan kelembagaan keuangan yang rumit dan saling
terhubung. Oleh karena itu, kegagalan satu bank memiliki
kemungkinan menyebabkan kegagalan banyak bank lain juga.
Abdul Mongid & Saladin Ghalib
43
Hal ini karena bank merupakan counterparty satu sama lain
dalam banyak transaksi. Oleh karena itu, jika satu bank gagal,
peristiwa risiko kredit untuk bank lain menjadi kenyataan.

Risiko sistemik adalah risiko ketidakstabilan yang dihadapi oleh


institusi individu yang memicu ketidakstabilan di lembaga
keuangan lain, sistem keuangan atau bahkan ekonomi secara
keseluruhan karena interaksi antar institusi. Fokus utama dari
risiko sistemik adalah bahwa ketika sebuah institusi dalam
kesulitan maka akan menciptakan kepanikan di sistem
keuangan dan menyebabkan lembaga lain gagal, yang pada
akhirnya dapat menyebabkan ke krisis keuangan. Distress di
satu bank dapat merambat dan menyusahkan bank lain karena
risiko sistemik mempengaruhi setiap sistem yang masing masing
komponennya saling berhubungan. Menurut Aini dan
Koesrindartoto (2020) ada beberapa paradigma dalam
pembahasan risiko sistemik, antara lain too-big-to fail (TBTF)
dan too-interconnected-to-fail (TITF). Sifat sistem perbankan
yang saling terkait membuat bank rentan terhadap risiko
sistemik. Risiko sistemik tidak mempengaruhi bank individu
melainkan mempengaruhi keseluruhan sistem. Oleh karena itu,
sangat sedikit yang dapat dilakukan oleh bank individu untuk
melindungi dirinya sendiri jika risiko seperti itu terjadi. Dengan
demikian, pengelolaan bisnis bank membutuhkan banyak
keterampilan karena berbagai jenis risiko perlu dimitigasi.

Perkembangan ekonomi nasional maupun internasional


menyebabkan kondisi ekonomi secara umum semakin rawan
krisis. Keadaan ini berdampak pada semakin tingginya risiko
bank. Risiko yang dihadapi juga semakin kompleks seiring
dengan perkembangan ekonomi dan perkembangan produk
yang terjadi. Karena itu, sebagai respon atas kondisi eksternal
perekonomian dan inovasi produk-produk yang ditawarkan bank
maka diperlukan pengelolaan yang semakin baik. Selain itu,
44 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO
kompleksitas bisnis bank yang meningkat dari hari ke hari
membutuhkan praktik pengelolaan risiko yang lebih bagus.

Termasuk di dalamnya adalah bagaimana bank melakukan


identifikasi terhadap risiko yang dihadapi, melakukan penilaian
terhadap risiko-risiko yang memerlukan pengelolaan yang baik,
serta melakukan pengukuran terhadap risiko tersebut. Hal utama
dalam pengukuran ini adalah untuk menghitung kemungkinan
yang terjadi dan bagaimana dampaknya. Setelah melakukan
pengukuran maka langkah selanjutnya adalah melakukan
pemantauan yang komprehensif yang pada akhirnya dilakukan
pengendalian atas risiko tersebut. Proses manajemen risiko
tersebut tentu tidak sederhana, mengingat perkembangan risiko
saat ini yang semakin meningkat drastis.

Menurut Oldfield dan Santomero (1997), sebenarnya dalam


perspektif manajemen, risiko yang dihadapi lembaga keuangan
dapat dikategorikan kedalam tiga kelompok yaitu;

1. Risiko yang bisa dihilangkan dengan cara sederhana


(risks that can be eliminated or avoided by simple
business practices).
2. Risiko yang dapat dialihkan ke pihak lain (risks that can
be transferred to other participants)
3. Risiko yang harus dikelola sendiri oleh bank (risks that
must actively managed at the firm level).

Tentu saja dalam praktiknya, pengelolaan risiko tidak


sesederhana hal diatas karena risiko bersifat dinamis, saling
terkait, dan tidak selalu dapat dipahami sebelum terjadi. Artinya
bahwa manajemen risiko tidak bisa dijalankan dengan
sederhana dan apa adanya.

Otoritas perbankan indonesia, baik itu Bank Indonesia maupun


Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebenarnya secara implisit sudah
mengaharapkan supaya pengelolaan seluruh risiko yang
dilakukan bank, bukan pengeolaan individual risiko dalam silo-
silo bisnis tertentu, tetapi menjadi pengelolaan risiko yang

Abdul Mongid & Saladin Ghalib


45
terintegrasi dalam suatu sistem pengelolaan risiko yang
komprehensif sekaligus juga bersifat forward looking. Menurut
ketentuan Bank Indonesia, melalui PBI No. 5/8 /PBI tahun 2003
tentang penerapan manajemen risiko bagi bank umum, jelas
disitu dijelaskan bahwa bank wajib melakukan pengeloaan risiko
melalui perbaikan dalam hal infrastruktur pengelolaan risiko
maupun juga persiapan terhadap personil-personil yang akan
melakuakn pengelolaan risiko bank.

Pada saat yang hampir bersamaan, Bank Indonesia


mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang terkait
dengan kewajiban untuk melakukan sertifikasi manajemen risiko
terhadap pejabat bank pada semua level. Bank sebagai lembaga
keuangan yang aktifitas bisnisnya banyak terlibat dengan
berbagai risiko perlu menerapkan manajemen risiko yang efektif.
Menurut ketentuan penerapan manajemen risiko itu paling tidak
mencakup beberapa aspek yaitu:

Peran aktif komisaris dan direksi dalam pengeolaan risiko sangat


diperlukan. Aktif dalam hal ini adalah bahwa mereka harus selalu
berada pada gerbang depan untuk memastikan bahwa semua
unit pada bank yang mereka pimpin menjalankan pengelolaan
risiko yang bagus. Untuk dapat menjalankan itu, komisaris dan
direksi diharuskan membangun sistem dan kebijaan serta
prosedur yang cukup untuk mengidentifikasi sekaligus
mengelola risiko yang dihadapi bank. Dalam konteks
pembatasan risiko (risk limit), maka penetapan limit risiko harus
dilakukan pada setiap unit dan setiap level bisnis bank. Limit
harus selalu dimonitor dan dievaluasi agar tujuan penetapan limit
dapat diperoleh.

Manajemen risiko sebenarnya seperti manajemen yang lainnya,


selalu diawali dengan proses identifikasi. Proses identifikasi ini
artinya bahwa bank harus memeriksa secara komprehensif
risiko-risiko yang dihadapi dan menetapkan risiko mana yang
sekiranya harus dikelola terkait dengan bisnis yang dilakukan.
Setelah dilakukan indentifikasi maka dilakukan pengukuran.
Pengukuran dalam hal ini artinya memastikan berapa
46 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO
kemungkina risiko yang akan terjadi dan berapa kerugian yang
mungkin akan dihadapi. Dalam konteks ini pengukuran risiko
penting dilakukan untuk memastikan bahwa risiko yang
kemungkinan terjadinya tinggi dan dampaknya sangat tinggi
diperlakukan secara khusus. Bahkan jika dirasakan merugikan
lini bisnis tersebut maka harus diberhentikan (terminate).

Setelah risiko diukur, maka harus dilakukan monitoring oleh unit


bisnis maupun unit pemantau risiko. Inti dari monitoring adalah
agar perkembangan posisi risiko selalu terpantau dari waktu ke
waktu sehingga dapat diketahui apakah risiko meningkat atau
menurun. Tahap ini dikenal sebagai pemantauan (monitoring).

Pengendalian adalah tahap yang paling penting dalam


manajemen risiko. Inilah tahap yang sebenarnya paling penting
yaitu tahap dimana diperlukannya melakukan aksi dalam rangka
meminimumkan risiko bank. Pengendalian risiko bank ini
sebaiknya mengikuti prinsip-prinsip yang proaktif dan sekaligus
reaktif. Proaktif berarti sebelum kejadian maka sudah dilakukan
perbaikan. Sementara reaktif berarti melakukan perbaikan
setelah adanya kejadian. Untuk menjalankan semua proses itu
dengan baik maka bank atau perusahaan dituntut untuk memiliki
sistem informasi manajemen risiko yang komprehensif dan
selalu memberi informasi secara tepat waktu.

Tahapan manajemen risiko diatas membutuhkan dukungan


sistem pengendalian intern yang menyeluruh. Di sinilah
sebenarnya evaluasi yang sifatnya khusus itu dijalankan. Seperti
diketahui bahwa terdapat delapan risiko yang wajib dikelola oleh
bank, yaitu risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko
operasional, risiko hukum, risiko reputasi, risiko strategik, dan
risiko kepatuhan. Semua risiko tersebut secara umum wajib
dikelola oleh semua bank yang skala bisnisnya besar dan
kompleksitas usahanya tinggi. Tentu saja bank yang
kompleksitas usahanya tidak terlalu tinggi yang wajib dikelola
hanyalah risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, dan risiko
operasional.

Abdul Mongid & Saladin Ghalib


47
Kejelasan wewenang dan tanggung jawab dalam pengelolaan
risiko bank, kewenangan dan tanggung jawab direksi serta
komisaris sudah jelas diatur dalam ketentuan Bank Indonesia.
Komisaris memiliki kewenangan dan tanggung jawab terutama
terhadap persetujuan dan penilaian kebijakan manajemen risiko
yang di dalamnya menyetujui bahwa sistem manajemen
risikonya sudah memadai. Pada sisi lain sebagai proses
perbaikan (improvement), komisaris wajib selalu melakukan
evaluasi dan perbaikan-perbaikan untuk mendorong
pengelolaan risiko di bank semakin baik. Komisaris juga memiliki
tugas untuk mengevaluasi apakah direksi telah melaksanakan
semua kebijakan manajemen risiko serta mengevaluasi atau
memutuskan permohonan direksi yang berkaitan dengan
transaksi yang membutuhkan persetujuan komisaris. Evaluasi
dan keputusan dari komisaris terkait dengan permintaan tersebut
tidak menghilangkan tanggung jawab direksi. Karena itu,
persetujuan komisaris dipandang sebagai informasi untuk risiko
besar yang diambil oleh manajemen.

Direksi sebagai pengendali utama bisnis bank memiliki


bertanggung jawab paling tinggi dalam pengelolaan risiko bank.
Oleh karena itu, wewenang dan tanggung jawab direksi semakin
luas. Diantaranya adalah menyusun kebijakan dan strategi
kebijakan risiko secara tertulis dan komprehensif serta
menetapkan strategi manajemen risiko serta kebijakan yang
terkait dengan ketentuan atau panduan yang harus ditaati oleh
semua jajaran bank. Karena itulah dalam proses penyusunan
kebijakan dan strategi manajemen risiko, direksi perlu
melakukan kajian yang mendalam sebelum menetapkan strategi
dan kebijakan manajemen risiko.

Sebagai pengelola bank, tentu yang bertanggung jawab atas apa


yang terjadi di lapangan atau implementasi kebijakan adalah
direksi. Karena itu direksi harus memastikan pelaksanaan
kebijakan manajemen risiko dan eksposur risiko selalu dalam
persetujuannya dan mendapat pantauan memadai dari direksi.
Direksi juga bertanggung jawab dalam rangka mengembangkan

48 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


budaya manajemen risiko dalam seluruh jenjang organisasi. Ini
berarti selain menetapkan kebijakan dan strategi, direksi juga
mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan budaya
semua pegawai tentang pengelolaan risiko yang baik. Direksi
harus memberi arahan sekaligus contoh tentang bagaimana
menyikapi risiko saat ini dan risiko yang akan datang.

Budaya manajemen risiko memerlukan komitmen direksi agar


berjalan dengan baik. Karena itu, sudah sewajarnya bahwa
pengembangan budaya risko juga menjadi tugas direksi yang
sifatnya strategic. Direksi harus dapat memastikan bahwa
mereka yang terlibat di dalam pengelolaan risiko dan semua unit
bisnis yang ada di bank memperoleh peningkatan keahlian
terkait dengan pengelolaan risiko yang menjadi bagianya.
Termasuk untuk memastikan bahwa semua orang telah
mempunyai sertifikat manajemen risiko sebagian unsur
kepatuhan.

Tugas direksi yang strategis dan penting adalah membangun


budaya manajemen risiko yang benar. Mengingat fungsi
manajemen risiko adalah fungsi kontrol, maka direksi juga harus
memastikan bahwa unit pengedalian dan audit memiliki sumber
daya yang cukup dan dapat beroperasi secara independen.
Direksi juga perlu mengkaji ulang secara berkala untuk
memastikan bahwa metode pengelolaan risiko yang meliputi
penilaian sampai mitigasi, tetap selalu up to date dan terkendali
dalam sistem yang bagus.

Informasi manajemen risiko yang diterapkan harus selalu dibuat


up to date untuk menjamin agar risiko yang dihadapi bank tidak
tercakup dalam sistem informasi tersebut atau informasinya
terlambat. Mengingat perkembangan bisnis bank selalu berubah
dari waktu ke waktu dan model bisnisnya juga selalu berubah,
maka perbaikan dalam hal kebijakan, prosedur, dan penetapan
limit risiko pada masing-masing unit bisnis juga perlu dilakukan
evaluasi dan perbaikan.

Abdul Mongid & Saladin Ghalib


49
Mengingat manajemen risiko adalah sesuatu yang sangat
komprehensif sifatnya, maka kebijakan manajemen risiko yang
ada di bank juga harus mampu memperhitungkan risiko yang
berkaitan dengan semua produk bank, penetapan metodologi
untuk pengukuran risiko, penetapan limit sampai pembentukan
peringkat risiko. Semua proses di atas idealnya bersifat proaktif
sebelum kejadian. Sebelum terjadi maka bank juga harus
membentuk rencana darurat (contingency pan) dalam bentuk
kondisi yang terburuk (worse case scenario). Contingency plan
ini dimaskudkan untuk memastikan bahwa bank masih tetap
beroperasi ketika terjadi sesuatu yang sangat buruk seperti
bencana alam.

Kebijakan manajemen risiko sebagai suatu sistem juga perlu


dilakukan penilaian. Disinilah peran penting sistem pengendalian
intern dalam penerapan manajemen risiko. Tujuan pengendalian
intern adalah untuk memastikan bahwa segala ketentuan,
sistem, dan prosedur ditaati. Pengendalian intern juga penting
untuk mengidentifikasi kelemahan-kelemahan yang bisa jadi
terjadi dalam pelaksanaan manajemen risiko. Karena itu direksi
harus menanamkan nilai dan pemahaman bahwa sistem
pengendalian intern itu dimaksudkan sebagai upaya untuk
perbaikan, bukan untuk menghambat proses manajemen risiko.

50 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


BAB IV
KOMPLEKSITAS MANAJEMEN RISIKO

Manajemen risiko merupakan suatu praktik untuk meramalkan


potensi risiko yang akan dihadapi bank. Dengan melakukan
analisis dan evaluasi terhadap risiko-risiko tersebut maka bank
dapat melakukan tindakan koreksi untuk mengurangi atau
meminimumkan risiko tersebut. Setiap membuat keputusan
pembiayaan ke nasabah, maka sebenarnya bank secara
langsung telah melakukan satu kegiatan yang mengandung
banyak risiko di dalamnya.

Dengan demikian untuk mengurangi risiko tersebut, manajer


pembiayaan menerapkan sebuah manajemen risiko.
Manajemen risiko saat ini sangat penting terutama dalam dunia
perbankan untuk menjaga keberlanjutan usaha bank
(sustainability) dan kepentingan pemegang saham. Sebelumnya
manajemen risiko bukan dianggap sesuatu yang serius karena
dahulu lingkungan ekonomi cenderung stabil. Saat itu bank
beroperasi dalam situasi yang diatur ketat sehingga tanpa
melakukan manajemen risiko maka bank masih dalam kondisi
stabil asalkan menaati ketentuan yang ada. Namun dalam
perkembangan situasi lingkungan yang berubah pesat, terutama
dengan semakin ketatnya persaingan dan perkembangan
ekonomi makro yang semakin tidak stabil maka bank saat ini
menghadapi lebih banyak risiko yaitu risiko keuangan maupun
risiko non-keuangan.

Fungsi dan proses manajemen risiko merupakan sesuatu yang


kompleks dan banyak hal yang sebenarnya tidak bisa kita amati
dengan sangat jelas. Karena itu, ketika membicarakan
manajemen risiko suatu bank, maka sangat sulit untuk diungkap
100%. Karena itu jika diperhatikan, bank dapat menggunakan
menajemen risiko yang sederhana atau model manajemen risiko
yang canggih untuk meneliti dan mengevaluasi risiko. Tidak ada
yang canggih dan sederhana dalam manajemen risiko.
Sederhana dan canggihnya suatu manajemen risiko tidaklah
Abdul Mongid & Saladin Ghalib
51
penting namun semuanya harus sesuai dengan karakteristik
bisnis dari suatu bank. Maka dari itu bank seharusnya memiliki
keahlian dan kemampuan dalam menghadapi risiko-risiko yang
mana bank itu terlibat di dalam bisnis tersebut.

Dalam rangka mengelola risiko, bank yang besar seharusnya


mengembangkan manajemen risiko internalnya sesuai dengan
bagaimana bisnis yang dilakukan. Demikian juga dengan
pegawai bank, semakin tinggi level jabatan seseorang di bank
maka seharusnya orang tersebut memiliki keahlian lebih didalam
melakukan analisa risiko. Risiko-risiko yang dihadapi bank
terutama adalah risiko kredit, risiko pasar, dan risiko operasional.

Risiko kredit merupakan risiko terkait dengan masalah


peminjam, masalah industri, dan juga masalaah komposisi
portopolio bank. Risiko kredit dikenal juga sebagai risiko
kemacetan atau default risk, yang berarti suatu kondisi dimana
debitur atau pihak lawan transaksi tidak mampu memenuhi
komitmen yang sudah disepakati dalam hal membayar
kewajiban.

Dalam analisa kredit, faktor eksternal dan internal


mempengaruhi risiko kredit baik individual maupun portopolio
bank. Bank melakukan pengelolaan atas risiko kredit dengan
melakukan manajemen risiko kredit. Proses ini menyangkut
beberapa tahap, pertama, pembuatan ketentuan atau kebijakan
yang bagus dimana manajemen risiko proses perkreditan
disusun dengan jelas. Yang kedua melalui pemeringkatan kredit
(credit scoring) terhadap tingkat risiko debitur. Yang ketiga
melakukan kuantifikasi untuk meramalkan kerugian yang dialami
bank seperti perhitungan probability default (PD), Loss Given
Default (LGD), Exposure at Default (EAD) dan perhitungan
Expected Loss (EL).

Peneapan suku kredit pada mayoritas bank juga


memperhitungkan risiko (risk based pricing). Semakin tinggi
risiko maka semakin tinggi harga yang harus dibayarkan oleh
nasabah. Konsep ini sering dianggap tepat dalam manajemen
52 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO
bank karena paradigma yang dipakai adalah paradigm kapitalis
dimana akumulasi modal melalui keuntungan yang tinggi terus
didorong. Namun untuk pendekatan bank sebagai agent of
development maka hal ini menjadi kurang tepat karena debitur
kecil kelas mikro harus memabayar bunga lebih tinggi karena
dianggap beresiko. Faktanya debitur kecil memiliki risiko yang
rendah karena efek granularity.

Risiko pasar semakin hari semakin terasa penting untuk


diperhatikan karena dominasi ekonomi pasar kapitalis dalam
mencekeram perekonomian perbankan nasional.
Perkembangan saat ini mengharuskan bank untuk melakukan
pengelolaan risiko pasar karena perubahan harga, nilai tukar di
pasar, dan variabel ekonomi moneter semakin hari semakin
mudah bergejolak. Demikian juga dengan harga komoditas dan
harga saham yang semakin berfluktuasi sehingga bank yang
terlibat dalam transaksi saham, komoditas, ataupun nilai tukar,
cenderung semakin beresiko. Market risk sebenarnya juga
termasuk di dalam risiko likuiditas, tetapi di dalam
perkembangannya risiko likuiditas sering dianggap sebagai
risiko yang tersendiri karena sifat dan karakteristiknya sangat
berbeda dari risiko lain.

Dalam melakukan manajemen risiko pasar, bank menerapkan


dan membentuk suatu kebijakan pengelolaan risiko pasar,
melakukan mekanisme review terhadap kebijakan yang ada,
melakukan audit dan membuat sistim pelaporan risiko pasar
yang komprehensif. Dalam banyak kasus, bank membentuk
namanya Komite Asset Dan Liability (ALCO) yang tugas
utamanya adalah menjaga dan mengelola keseimbangan dalam
neraca antara risiko dan kinerja yang diharapkan. Dalam rangka
melakukan pengelolaan risiko pasar dan menjamin independensi
di dalam pengelolaan risiko pasar ini, bank membentuk unit
middle office yang berfungsi untuk membuat dan mengatur
ketentuan terkait dengan pengelolaan risiko pasar. Middle office
ini terdiri dari para ahli di dalam menganalisa pasar seperti ahli
ekonomi, ahli statistik, dan bankir berpengalaman. Anggota atau
Abdul Mongid & Saladin Ghalib
53
unit middle office ini terpisah dengan bagian treasury yang
melakukan aktifitas perdagangan (front office) sehari-hari. Dari
sisi laporan transaksi dan kinerjanya dicatat dan dilaporkan oleh
unit akuntansi dan pelaporan (back office) yang harus
independen dengan unit perdagangan (front office).

Risiko operasional merupakan risiko yang sangat luas. Risiko


operasioanl terus meningkat karena modernisasi operasional
bank dan pasar keuangan yang semakin kompleks. Risiko
operasional secara umum disebabkan karena terjadinya
kegagalan proses internal, gangguan sistem, manusia, dan
kejadian eksternal. Saat ini risiko operasional menjadi sumber
masalah utama bank. Lingkungan bisnis perbankan sudah
berubah pesat dimana terjadi perubahan struktural yang sangat
besar dalam hal transaksi serta sistem yang terlibat di dalamnya.
Perubahan yang sangat signifikan ini semakin menyebabkan
bank tergantung pada sistem informasi.

Secara umum risiko operasional yang sering terjadi adalah


seperti berhentinya aktivitas bisnis karena masalah teknologi
dan sistem. Kesalahan analisa atau keputusan terkait dengan
kegagalan proses internal dalam melakukan fungsinya juga
sering terjadi. Namun risiko operasional yang disebabkan oleh
perilaku manusia yang ada di bank umumnya menyebakan
kerugian yang sangat besar. Manajemen risiko operasional juga
dipersiapkan untuk meng-cover kemungkinan-kemungkinan
yang disebabkan oleh faktor eksternal seperti adanya terorisme,
bencana alam, dan lain-lain. Karena risiko operasional itu sangat
luas, dan banyak terkait dengan aktifitas bisnis bank, maka
kejadian risiko operasional sering menjadi penyebab risiko kredit
dan risiko pasar. Artinya hubungan antara risiko operasional
dengan risiko kredit dan risiko pasar memiliki keterkaitan yang
erat.

Dalam melakukan pengelolaan risiko operasional, bank


membuat ketentuan-ketentuan intern yang harus ditaati.
Ketentuan ini intinya adalah mengatur perilaku yang harus
dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh staff bank. Dalam
54 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO
pengelolaan risiko operasional bank, pengaturan diarahkan unuk
memastikan bahwa sistem dan prosedur yang ada di jalankan
dan ditaati sepenuhnya. Bank juga perlu membuat estimasi
tentang kemungkinan kejadian risiko operasional dan skala
kerugian yang mungkin akan dihadapi. Dalam rangka
memastikan up to date- nya pengelolaan risiko operasional di
suatu bank, maka penilaian dan review reguler perlu dilakuakan.

Abdul Mongid & Saladin Ghalib


55
BAB V
MANAJEMEN RISIKO: DARI KUANTITATIF KE
KUALITATIF

Manajemen risiko bank itu sebenarnya harus dipandang tidak


sekedar sebagai suatu kebijakan yang formal, ketentuan, serta
prosedur yang harus ditaati oleh seluruh karyawan. Manajemen
risiko sebenaranya juga mengandung suatu nilai yang
memungkinkan yang menjadi kesatuan dalam cara pandang
semua organisasi. Karena itu, manajemen risiko yang berhasil
itu seharusnya juga bisa mengelola atau memasukkan nilai-nilai
tentang kehidupan yang hakiki.

Karena itulah saat ini dikembangkan satu konsep yang dikenal


dengan budaya sadar risiko (risk culture) yang di dalamnya
mencakup nilai-nilai (values) yang harus ditaati dan dipedomani
oleh semua staff dalam perusahaan. Budaya sadar risiko
melekat pada orang atau sekelompok orang pada unit suatu
organisasi. Staff dengan budaya sadar risiko memahami dengan
baik apa peran mereka serta memahami apa yang benar untuk
dilakukan pada waktu yang tepat. Karena itu, budaya sadar risiko
dalam konteks manajemen risiko adalah sebagai sikap yang
melekat untuk upaya pencegahan, ketaatan dan pengendalian
risiko yang dihadapi. Sikap ini memberi kontribusi pada
pengendalian aspek-aspek kuantitatif seperti kemungkinan
terjadi (probability) dan berapa kerugian (impact) sehingga risiko
perusahaan dalam situasi terkendali.

Sekarang ini atensi pada aspek budaya dalam manajemen risiko


semakin tinggi karena kontribusinya lebih menentukan dari
ketentuan formal yang ada pada bank atau perusahaan. Pada
budaya sadar risiko ada nilai-nilai mendasar seperti motivasi,
dukungan serta kesadaran diri dari para anggota organisaasi
yang melandasi kenapa mereka perlu melakukan sesuatu yang
diharapkan oleh manajemen risiko. Ketika orang-orang di dalam
organisasi memiliki satu prinsip atau pemahaman yag sama
untuk mentaati ketentuan, maka manajemen risiko menjadi alat
56 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO
yang lebih efektif. Untuk bisa menjadi semakin efektif maka
kontribusi SDM sebagai pelaksana menentukan lebih dari 90%
keberhasilan.

Dengan perspektif ini, budaya risiko membutuhkan peran dan


tanggung jawab pemimpin perusahaan. Membangun budaya
risiko selalu memerlukan komunikasi yang efektif. Komunikasi
menjadi prasyarat untuk terjadinya transfer informasi baik antar
unit maupun antara atasan dan juga bawahan. Kommunikasi
yang efektif sangat ditentukan oleh bagaimana pemimpin
perusahaan menjalankan perannya. Jika kita memperhatikan
syarat sukses membangun budaya risiko, maka mayoritas atau
sebagian besar bertumpu kepada sumber daya manusia yang
berkualitas, kepemimpinan yang handal, komunikasi, dan
manajemen sumber daya manusia yang baik. Dalam konteks
manajemen sumber daya manusia itu berarti orang yang baik
akan dipertahankan dan diberi penghargaan yang seoptimal
mungkin untuk keberhasilan merealisasikan tujuan-tujuan
perusahaan.

Industri perbankan sedang menghadapi transisi yang sangat


cepat terkait dengan model bisnis yang berubah pesat. Industri
perbankan dituntut untuk memenuhi harapan dari otoritas di
dalam pengelolaan risiko mereka. Efektifitas pengelolaan risiko
banyak ditentukan oleh bagaimana kepemimpinan bank mampu
menciptakan budaya sadar risiko. Apalagi kedepan fokus
pengelolaan risiko bukan lagi pada mitigasi saja tetapi lebih
kepada bagaimana melaporkan risiko dan proses pengambilan
keputusan terkait dengan pengelolaan risiko.

Budaya dan Manajemen Risiko

Perhatian serius terhadap pentingnya budaya sadar risiko telah


menjadi topik penelitian yang menarik. Salah satu penelitian
yang cukup substansial dalam beberapa waktu terakhir ini
adalah penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth Zheedy dan
kawan-kawan dari Macquary University Australia. Para peneliti
menyadari bahwa budaya dalam level unit bisnis ternyata sangat
Abdul Mongid & Saladin Ghalib
57
penting dalam membangun suatu perbankan atau usaha
keuangan yang sehat. Kesimpulan yang menarik dari penelitian
mereka adalah bahwa ternyata budaya itu sangat menentukan
perilaku orang-orang didalam organisasi. Bahkan dikatakan
bahwa pada satu unit bisnis atau bahkan pada lini bisnis tertentu
ternyata mereka bisa memiliki nilai budaya sadar risiko yang
sangat berbeda.

Karena itulah membangun budaya sadar risiko yang


komprehensif dari awal menjadi sangat penting sehingga semua
staff memiliki sikap yang sama. Karena itulah sangat benar jika
dikatakan bahwa budaya sadar risiko sekarang memiliki
momentum yang sangat besar dan telah menjadi bagian atau
perhatian penting para pengawas bank diberbagai negara.
Bahkan ada sebuah pemikiran yang menyatakan bahwa
pengembangan budaya risiko perlu diatur secara lebih spesifik
didalam pengaturan perbankan internasional seperti yang ada di
Committe on Banking Supervision (Basel Committee).

Kasus yang dapat ditunjukkan sebagai contoh betapa sangat


berbahayanya budaya sadar risiko adalah kasus yang terjadi
dengan Commonwealth Bank di Australia. Bank ini menderita
kerugian yang sangat besar karena adanya skandal ketika
beberapa orang yang bekerja di bagian unit bisnis perencanaan
keuangan (financial planning Unit) melakukan perampokan
secara sistematis dan besar-besaran terhadap para klien
dengan aktivitas-aktivitas yang sebenarnya tidak layak
dilakukan. Kenapa disebut tidak layak? Karena mereka telah
melakukan aktivitas “penipuan atau investasi bodong” sekaligus
secara sengaja menempatkan dana investasi para nasabah
pada aset-aset yang sebenarnya tidak tepat dan cenderung
bermasalah.

Akibatnya bank terpaksa harus menanggung kerugian karena


adanya tuntutan hukum dari nasabah. Kejadian ini sebenarnya
mengindikasikan bahwa budaya sadar risiko seharusnya juga
merupakan intisari dari para profesional yang seharusnya sudah
memiliki sertifikasi tetapi ternyata perilakunya tidak
58 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO
mencerminkan perilaku professional yang tersertifikasi.
Australia and New Zealand Bank juga mengalami nasib yang
sama ketika para pegawainya terlibat didalam pengelolaan dana
investasi dengan sebuah perusahaan manajemen investasi yang
tidak bonafid. Mereka melakukan tindakan yang sebenarnya
sangat tidak layak dilakukan. Para pegawai bank dan yang
mewakili bank membantu perusahaan investasi tersebut untuk
menyembunyikan transaksi-transaksi yang sangat tidak
seharusnya dilakukan. Penelitian dan investigasi internal ANZ
Bank juga menemukan fakta bahwa walaupun sebagian besar
praktik-praktik kecurangan dan pengambilan risiko yang sangat
berlebihan itu dilakukan oleh mereka yang berada pada level
operation. Manajemen senior selalu memiliki kontribusi atas
terjadinya masalah tersebut. Mereka memiliki kontribusi yang
signifikan dalam membangun budaya yang sadar risiko sehingga
dapat mempengaruhi perilaku anak buahnya.

Yang berbahaya adalah bahwa ketika para manajemen senior


yang ada di bank melakukan kampanye right image. Ini suatu
upaya membangun citra sempurna (right image) bahwa apa
yang mereka persepsikan dan apa yang mereka lakukan selalu
benar. Ini sangat berbahaya ketika judgement yang mereka
berikan itu ditiru oleh anak buahnya. Bahkan banyak sekali
manager yang sebenarnya tidak mengetahui proses bisnis yang
terjadi di bisnis mereka. Tentu ini sangat ironi karena walaupun
pada sebuah bank yang besar ternyata karena inovasi yang
sangat cepat, para pimpinan senior ternyata tidak memiliki
gambaran risiko yang tepat.

Namun demikian yang paling berbahaya dan ini menunjukkan


satu perilaku yang harusnya dihindari adalah kecenderungan
para anak buah untuk menyimpan atau menyembunyikan risiko
yang sedang mereka hadapi dan tidak bersedia untuk
melakukan atau menginformasikan kepada para atasan mereka
atau pimpinan grup mereka. Dan ini adalah masalah yang paling
serius didalam hasil penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti
dari Macquarie University. Sehingga sumber permasalahan yang
Abdul Mongid & Saladin Ghalib
59
terjadi adalah ketidakterbukaan. Karena itu secara umum saran
yang perlu dilakukan oleh manajemen senior adalah tidak selalu
berasumsi bahwa segalanya berjalan lancar.

Mereka perlu melakukan penilaian secara independen tentang


budaya risiko yang ada di unit bisnis yang dipimpinnya. Hal ini
penting untuk menghindari sesuatu yang terlihat bagus namun
sejatinya menyimpan masalah serius. Bahkan tanpa disadari
sebuah unit bisnis sudah dalam kondisi krisis. Ketika penilaian
independen dilakukan dengan baik dipastikan bahwa akan lebih
sedikit terjadinya skandal-skandal yang sangat merugikan bank
baik dari sisi financial maupun reputasi karena perbaikan budaya
yang telah dilakukan. Namun perlu diingatkan bahwa perubahan
budaya dan perilaku bukan suatu pekerjaan yang bisa
diselesaikan dalam satu atau dua hari.

Para manajer senior harus bekerja lebih keras dan meluangkan


lebih banyak waktu karena kegagalan mereka didalam
mengawasi perilaku anak buah akan membuat mereka
mengalami kehancuran reputasi. Nama baik akan hancur dan
akan dikenang sebagai pemimpin yang tidak kompeten. Aksi
nyata diperlukan ketika mengetahui ada ketidakberesan.
Semakin cepat suatu tindakan pencegahan dan perbaikan
dilakukan maka hasil akhirnya akan lebih baik. Namun ketika
manajer tidak melakukan sesuatu yang harus dilakukan untuk
memperbaiki keadan maka daftar hitam atau black list menunggu
mereka.

60 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


BAB VI
TATA KELOLA RISIKO

Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance) sebenarnya


konsep yang memiliki banyak dimensi. Karena itu sangat sulit
mendefinisikan yang lengkap tentang apa yang dimaksud
dengan tata kelola yang baik. Salah satu topik yang penting dan
dibahas dalam tata kelola dan harus ada adalah konsep
akuntabilitas. Tata kelola perusahaan sebenarnya berasal dari
bahasa Inggris yaitu corporate governance. Secara harfiah
diartikan sebagai suatu rangkaian proses baik itu kebiasaan,
kebijakan atau aturan yang ada dalam satu istitusi yang
mempengaruhi pengelolaan dan pengendalian perusahaan.
Karena itu tata kelola dalam manajemen risiko adalah tentang
bagaimana risiko itu diambil dan dipertanggungjawabkan oleh
setiap unit bisnis yang ada di perusahaan.

Dalam konteks manajemen risiko, tata kelola juga berarti adanya


suatu sistem yang memungkinkan masing-masing unit untuk
saling melakukan pengawasan. Tata kelola risiko (risk
governance) di dalam manajemen risiko berarti
pertanggungjawaban pengelolaan risiko bisnis harus dijalankan
dan diatur secara jelas. Pengaturan yang jelas memungkinkan
siapa yang mengambil risiko dan siapa yang bertanggung jawab
bisa diruntut secara jelas (traceable) . Selain untuk uji
kompetensi, proses ini juga untuk melihat kelemahan serta
kekuatan dari masing-masing unit bisnis.

Siapa yang mengambil tanggung jawab dalam setiap keputusan


risiko harus jelas. Hal ini diatur secara komprehensif di dalam
setiap ketentuan intern masing-masing bank. Yang perlu menjadi
perhatian adalah pertanggungjawaban dalam pengelolaan risiko
itu melekat dengan pertanggungjawaban unit-unit bisnis yang
melakukan proses sekaligus melakukan aktivitas bisnis.
Pertanggungjawaban harus diyakinkan sebagai upaya untuk
memastikan pencapaian tujuan perusahaan. Karena itu

Abdul Mongid & Saladin Ghalib


61
akuntabilitas dalam pengelolaan risiko menjadi tanggungjawab
masing-masing unit bisnis itu.

Namun demikian, sebagian dari proses check and balance,


setiap pertanggung jawaban unit bisnis harus diikuti dengan
pertangungjawaban unit lain yang melakukan fungsi
pengawasan. Penilaian independen penting dilakukan untuk
memastikan bahwa akuntabilitas dalam pengelolaan risiko
dilakukan secara benar. Tata kelola perusahaan atau tata kelola
risiko sebagai bagian penting didalam mengawal pencapaian
tujuan perusahaan. Tata kelola risiko memiliki peran yang aktif
didalam memastikan bahwa informasi risiko yang terjadi di dalam
perusahaan dapat di komunikasikan dan dikelola dengan baik.
Hal ini menunjukkan bahwa tata kelola yang baik berasal dari
komunikasi risiko yang bagus dan tepat waktu.

Semua yang terkait dengan tata kelola bukan hanya terkait


dengan ketentuan tertulis saja tetapi juga terkait dengan masing-
masing pegawai. Tata kelola harus dapat memastikan bahwa
individu yang ada dalam pengelolaan risiko memahami fungsi-
fungsinya. Akuntabilitas dalam pengelolaan risiko sebagai
bagian dari fungsi dan tanggung jawab yang harus dijalankan
oleh masing-masing manajer atau kepala unit bisnis. Mereka itu
adalah key person dalam pengelolaan risiko. Karena itu mereka
juga diberi kewenangan-kewenangan yang melekat karena
fungsi tersebut. Kewenangan yang melekat itulah yang harus
dipertanggungjawabkan dan dinilai keberhasilannya.

Sebagai bagian dari upaya untuk mendorong kinerja


pengeloalaan risiko yang lebih baik, maka penilaian kinerja
ataupun target-target masing-masing unit harus seiring dengan
target atau strategi besar dari pengelolaan risiko bank atau
perusahaan.

Bagian integral dari pengelolaan risiko yang berikutnya adalah


transparansi. Transparansi dalam pengertian ini adalah semua
risiko baik yang sudah diketahui maupun yang baru sebagian
diketahui perlu diinformasikan secara lengkap kepada pimpinan.
62 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO
Informasi risiko yang menyeluruh harus diinformasikan tepat
waktu kepada semua anggota organisasi yang berkepentingan.
Seluruh pejabat penting dalam bank perlu memiliki akses yang
memadai terhadap informasi risiko karena risiko itu saling terkait.
Ketika divisi kredit mengalami masalah berupa kredit macet yang
tidak dapat dikendalikan, maka otomatis bagian treasury atau
bagian likuiditas perlu maemahami risiko ini. Demikian juga
bagian layanan dan pemasaran kredit. Membataasi ekspansi
karena banyaknya kredit bermasalah perlu menjadi
pertimbangan bagian kredit ketika risiko yang mereka hadapi
meningkat.

Informasi risiko yang baik akan memberikan informasi untuk


kebijakan yang lebih tepat. Trend kenaikan kredit bermasalah
dapat menjadi semacam pengerem untuk melakukan ekspansi
kredit. Dalam melakukan komunikasi risiko yang dihadapi
seharusnya semua unit memberikan informasi yang akurat dan
mudah dipahami oleh para pimpinan lain. Karena itu indikator-
indikator yang sifatnya kuantitatif juga perlu diberikan definisi
tentang apa implikasi kalau suatu ukuran itu sudah melebihi
ambang batas. Informasi yang bagus seharusnya dapat
dipahami oleh para pimpinan dan pengambil keputusan. Mereka
dapat mengambil keputusan lebih tepat dengan informasi
tersebut.

Sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan pengetahuan


semua organisasi atau learning process, maka setiap
keberhasilan atau setiap kegagalan yang sifatnya signifikan
perlu dikomunikasikan kepada unit lain yang relevan untuk
dipakai sebagai informasi dan pengetahuan. Tujuannya adalah
sebagai proses belajar. Namun demikian mengingat informasi
kegagalan atau keberhasilan suatu unit bisnis atau individu
sangat sensitif maka untuk kegagalan sebaiknya cara
komunikasinya tidak terlalu berlebihan sehingga tidak
menjatuhkan mental rekan-rekan dalam organisasi yang
kebetulan terlibat langsung. Hal ini dapat menurunkan motivasi
kerja dan moral kerja.
Abdul Mongid & Saladin Ghalib
63
Kategori risiko

Risiko dapat dikategorikan ke dalam dua kelompk yaitu risiko


spekulatif (Speculative risk) dan risiko murni (pure risk). Risiko
spekulatif adalah risiko yang dihadapi perusahaan dan bank
pada khususnya dimana ketika mengambil suatu posisi akang
dapat memberikan keuntungan dan juga akan dapat
memberikan kerugian. Ini risiko umum dalam bisnis dimana
selalu ada potensi hasil yang positif dan hasil negative alias rugi.
Risiko spekulatif dikenal sebagai risiko bisnis(business risk).
Artinya ini murni sebagai akibat dari keputusan bisnis. Jika
menginvestasikan dananya maka ada dua kemungkinan hasil.
Kemungkinan pertama investasinya menguntungkan karena
harganya naik. Namun saat harga turun, aka investasinya akan
merugikan.

Risiko murni (pure risk) adalah sesuatu yang hanya dapat


berakibat merugikan. Rsisiko muni tidak mungkin
menguntungkan. Contohnya adalah risiko kebakaran. Apabila
terjadi kebakaran pabrik, maka perusahaan tersebut akan
menderita kerugian. Dengan demikian, kebakaran hanya
menimbulkan kerugian, bukan menimbulkan keuntungan,
kecuali ada kesengajaan untuk membakar dengan maksud-
maksud tertentu seperti kejahatan asuransi. Risiko murni
memiliki sifat kemungkinan kecil namun dampak kerugian besar.
Untuk meminimumkan kerugian, risiko kerugian dapat diaihkan
sehingga risiko ini dapat diasuransikan ( insurable risk ).

Risiko harus dikelola dengan baik karena kejadian Resiko yang


merugikan perusahaan membuat tujuan perusahaan itu tidak
tercapai. Jika perusahaan itu bertujuan untuk menciptakan nilai
atau manfaat bagi pemegang saham dalam bentuk keuntungan
maka kejadian risiko bukan membuat keuntungan bagi
pemegang saham Tetapi malah menjadi beban bagi pemilik
perusahaan. Mereka terpaksa harus menyediakan dana yang
lebih banyak untuk menutup kerugian yang terjadi. Itu karena
itu perusahaan harus mengelola risiko agar tujuan perusahaan

64 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


didirikan itu dapat tercapai. Berikut merupakan akibat kejadian
risiko yang menghambat tujuan bisnis:

1. Biaya operasional meningkat karena sumber daya


menjadi langka sehingga menekan keuntungan.
2. Mempertahankan SDM dengan talenta terbaik menjadi
sulit jika perusahaan gagal mengelola sumber daya
manusianya dengan baik.
3. Merek dan reputasi perusahaan jatuh karena penarikan
produk besar-besaran karena ada kesalahan dalam
perencanaan mupun produksi.
4. Investasi baru atau peluncuran produk seperti internat
banking yang tergesa gesa membuat masalah keamanan
dana sehingga merusak nama baik bank.
5. Peringkat kredit perusahaan menurun karena
konsentarsi kredit yang berlebihan pada bidang ekonomi
tertentu.
6. Kegagalan untuk mematuhi ketentuan Know Your
Customer (KYC) sehingga bank menjadi sarana bandar
narkoba untuk melakukan pencucian uang (money
Laundry).
7. Teknologi baru berupa Fintech Lending mengakibatkan
perubahan mendadak dalam produk dan layanan bagi
pelanggan karena proses kredit kita terlalu lambat.

Abdul Mongid & Saladin Ghalib


65
BAB VII
PELAJARAN DARI CABANG HR MUHAMMAD

Kejadian risiko yang melibatkan pelanggaran budaya sadar


risiko (risk culture) sering terjadi di perbankan nasional. Kasus
letter of credit (LC) fiktif di Bank BNI yang merugikan bank
sampai 1,2 triliun merupakan contoh klasik yang sering dipakai
untuk referensi. Kasus yang melibatkan PT Gramarindo Group
pada 2006 merupakan contoh rendahnya budaya sadar risiko.
Modus yang dilakukan adalah dengan melakukan negosiasi L/C
ekspor tanpa melakukan penilaian risiko yang sebenarnya. Staff
dan Pimpinan Divisi Internasional BNI sepertinya sengaja
membiarkan transaksi berjalan walaupun potensi risiko sangat
tinggi. Bahkan proses penjaminan mutu atas transaksi ini tidak
berjalan sebagaimana mestinya.

Peristiwa lain yang banyak diberitakan adalah kasus


penggelapan kredit di Bank Jatim Cabang HR Muhammad yang
melibatkan Tersangka Yudi Setiawan. Kasus ini menarik untuk
dikaji karena adanya bumbu politik didalamnya. Adanya
pengakuan dari Yudi Setiawan bahwa kredit fiktif ini adalah
bagian dari proyek Partai Keadilan Sosial (PKS) untuk
mengumpulkan dana sebesar 2 triliun (Wartalima, 7 Juni 2014).
Yudi Setiawan menyebutkan keterlibatan kader PKS Annis Matta
walaupun kabar tersebut sudah diklarifikasi oleh yang
bersangkutan.

Kejadian risiko operasional di Bank Jatim cabang HR


Muhammad Surabaya Patut menjadi pelajaran. Kasus ini
menarik untuk diperhatikan karena beberapa hal.

Pertama, kasus ini menyita banyak perhatia karena adanya


keterkaitan tersangka dengan para politisi PKS terkait dengan
upaya untuk memperoleh dana 2 triliun dalam rangka
pemenangan kader PKS dalam pemilu.

66 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


Kedua, kasus ini merugikan Bank Jatim dalam satu kejadian
senilai 52 milyar. Kasus ini menjadi kasus tunggal yang cukup
merugikan.

Ketiga, dalam perspektif manajemen risiko, kejadian ini


membuktikan bahwa kesadaran untuk berhati – hati dan
mempertimbangkan ketentuan intern secara komprehensif
ternyata dilkalahkan oleh keinginan beprestasi yang berlebihan.

Kalau melihat kronologi kasus, kita bisa menyimpulkan bahwa


kejadian ini seharusnya tidak terjadi apabila standar check and
recheck dilakukan. Sangat jelas bahwa dalam kejadian ini, unsur
kesengajaan dan unsur merekayasa sangat jelas. Suatu
pernyataan yang menyatakan bahwa tidak mungkin seseorang
akan melakukan kecurangan terhadap bank tanpa adanya
keterlibatan orang dalam memang benar adanya. Motivasi para
pelaku yang terlibat dalam kasus ini sudah jelas, yaitu untuk
memperoleh pendapatan yang melebihi yang seharusnya.
Selain itu, adanya tuntutan untuk berprestasi memang sangat
kuat diantara para pelaku sehingga mereka lupa bahwa setiap
pemberian kredit itu harus dijalankan dengan mematuhi
ketentuan intern sekaligus memenuhi unsur kepatutan.

Dalam perspektif “teori dialektika” dimana setiap regulasi selalu


dilawan dengan mencari kelemahan oleh para pelaku yang
selajutnya akan dibuat regulasi yang baru memang benar
adanya. Kejadian kredit fiktif pada cabang HR Muhammad
mengindikasikan adanya semacam upaya untuk mengakali
ketentutan intern. Teori dialektika mengatakan bahwa ketika ada
suatu kejadian merugikan maka akan ada upaya untuk
mengatur. Setiap pengaturan akan direspon oleh pihak lain
dengan melakukan upaya untuk melakukan tindakan mengakali
peraturan itu sendiri dan ketika upaya mengakali ini diketahui
maka akan dilakukan regulasi ulang.

Suatu kredit yang dalam jumlah besar mengharuskan adanya


persetujuan kantor pusat. Untuk menghindari hal tersebut, maka
pihak tidak bertanggung jawab memecah kredit agar masih
Abdul Mongid & Saladin Ghalib
67
dalam wewenang cabang. Hal ini merupakan rekayasa untuk
mengakali ketentuan dengan memecah nilai kredit. Dengan
demikian para pelaku yang ada di cabang lebih leluasa untuk
mengatur sekaligus merekayasa. Pelanggaran terhadap
ketentuan atau pedoman pemberian kredit jelas merupakan
sesuatu yang sangat fatal karena itulah sebernya benteng untuk
mempertahankan kepentingan bank. Dengan melakukan
pelanggaran itu maka benteng itu secara otomatis telah
dirobohkan oleh mereka yang seharusnya menjaganya.

Karena motivasi tertentu yang ada di benak para pelaku maka


prinsip – prinsip dasar di dalam pemeriksaan dan persetujuan
kredit yang seharusnya dilakukan tidak dilakukan sebagaimana
semestinya. Kalau setiap persetujuan kredit itu mensyaratkan
perlunya keyakinan bahwa surat keputusan Bupati yang menjadi
dasar pemberian kredit sepatutnya dilakukan pengujian, tetapi
nyatanya tidak. Bahkan jika diteliti dengan sangat sederhana
saja jelas kontrak atau sumber pembiayaan antara bank dengan
debitur ternyata tidak jelas. Perubahan–perubahan terkait
dengan perjanjian kredit itu sebenarnya mengindikasikan bahwa
ada upaya untuk menutupi yang sebenarnya terjadi. Apalagi
kalau diperhatikan dari berbagai penjelasan selama ini sumber
pelunasan kredit itu juga belum jelas karena dari Bank BTN juga
belum cair.

Namun, karena termakan oleh janji sekaligus juga omongan Yudi


Setiawan yang sangat meyakinkan maka manajer cabang
akhirnya tidak sensitif terhadap potensi risiko itu. Budaya sadar
risiko hilang karena kepentingan pribadi. Apalagi apabila
diperhatikan terkait masalah setoran jaminan yang tidak
memenuhi ketentuan yang seharusnya paling tidak di atas 20%.
Bahkan prosedur standar kredit yang dijamin dengan deposito,
proses pemblokiran deposito pun tidak dilakukan.

Dengan melihat kondisi itu maka sangat jelas bahwa ada unsur
kesengajaan dari beberapa pihak untuk melakukan upaya
memudahkan agar Yudi Setiawan dapat memperoleh kredit
dengan mudah. Apabila memperhatikan apa yang terjadi dengan
68 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO
Bank Jatim cabang HR Muhammad sudah jelas bahwa pimpinan
cabang sebagai bagaian komite kredit termasuk analis terlibat
dalam proses mempermudah Yudi Setiawan untuk memperoleh
pembiayaan dari bank. Keterlibatan mereka secara otomatis
membuat fungsi jabatan mereka yang dimaksudkan untuk
menjaga atau menjadi benteng kepentingan bank telah berbalik
menjadi bagian dari pencuri.

Dalam perspektif manajemen risiko maka kejadian ini sudah


sangat jelas sangat fatal. Artinya sulit untuk dibahas dalam
perspektif manajemen risiko. Kejadian ini juga memberi
pelajaran kepada kita bahwa kondisi pribadi menentukan sikap
karyawan. Gaya hidup yang sangat mewah dari para pihak yang
terlibat ini meyakinkan kita bahwa seorang pejabat bank
harusnya selalu hidup dalam kapasitas yang wajar menurut
kemampuan.

Pelaku cenderung tidak terbuka untuk memberikan informasi


sebenarnya kepada menejemen sehingga apa yang sebenarnya
terjadi cenderung ditutup – tutupi. Mereka tidak menghormati
ketentuan intern yang seharunya mereka pertahankan untuk
melindungi kepentingan bank. Tidak ada keinginan untuk
menjalankan fungsi itu dengan sebaik – baiknya dan hal ini tentu
menjadi perhatian kita semua bahwa dalam pengelolaan cabang
bank, seorang Kepala Cabang harus memiliki sikap yang
menghargai dan mentaati ketentuan intern yang ada.

Namun demikian, dalam perspektif budaya risiko apa yang


terjadi juga mencerminkan masalah yang lebih serius lagi. Yaitu
rendahnya komunikasi sekaligus akuntabilitas dari para pejabat
itu untuk bertindak sebagai wakil Direksi. Manajemen tampakya
masih harus menciptakan budaya yang baik dalam pengelolaan
risiko. Manajemen terlalu menekankan kepada upaya untuk
meningkatkan prestasi dengan memberikan kredit yang cukup
besar, tetapi manajemen gagal dalam memberikan masukan
ataupun pemahaman bahwa kredit itu harus diproses secara
benar.

Abdul Mongid & Saladin Ghalib


69
Akibatnya ada kecenderungan bersaing untuk melakukan
pemberian kredit dengan jumlah cukup besar sebagai indikasi
bahwa cabang tersebut telah berkerja maksimal.
Mengimplementasikan budaya dalam keseharian pengelolaan
cabang memang bukan hal yang mudah. Motivasi untuk
memperoleh prestasi sekaligus insentif keuangan sering kali
menimbulkan moral hazard. Orang akhirnya menjadi kurang
peduli di dalam menilai potensi risiko dalam pemberian kredit
demi meningkatkan eksposur kredit. Mereka akhirnya terjebak
kepada tujuan untuk memperoleh prestasi dan reward daripada
mencegah proses yang dapat merugikan bank.

70 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


BAB VIII
MANAJEMEN RISIKO KREDIT

Risiko kredit merupakan risiko yang timbul karena kegagalan


debitur atau juga pihak lawan transaksi dalam memenuhi
kewajiban kepada bank sesuai dengan yang dijanjikan.
Mengingat kegagalan debitur atau pihak lawan transaksi itu
memiliki pengertian yang luas, maka pengertian risiko kredit itu
tidak terbatas pada risiko yang berasal dari pemberian kredit
atau ketika bank melakukan transaksi dengan pihak lain saja,
namun risiko kredit juga termasuk risiko ketika bank menghadapi
risiko karena kegagalan dalam penyelesaian pembayaran antar
bank atau dikenal dengan istilah settlement risk.

Mengingat risiko kredit adalah risiko yang paling banyak dihadapi


oleh bank, maka pengelolaan risiko kredit memerlukan kebijakan
yang menyeluruh atau yang dikenal dengan Organsation Wide
Policy. Pengelolaan risiko kredit idealnya tidak terpecah-pecah
dalam segmen-segmen usaha atau bisnis bank. Hal ini berarti
pendekatan pengelolaan risiko kredit yang lebih mengarah
kepada enterprise risk management menjadi sesuatu yang
sangat dibutuhkan. Pendekatan enterprise risk management
berarti pengelolaan risiko kredit berdasarkan pada segmen atau
kelompok bisnis harus ditinggalkan.

Aspek lain tentang risiko kredit dikenal dengan istilah risiko


konsentrasi (concentration risk). Dalam konteks ini, risiko kredit
terkait dengan risiko konsentrasi adalah bagaimana bank
memberikan kredit atau juga melakukan investasi terhadap surat
berharga, Bank harus memperhitungkan aspek dispersifikasi
atau pemecahan sehingga tidak terkonsentrasi. Risiko
konsentrasi sebenarnya secara umum sudah diatur dengan
peraturan Bank Indonesia tentang batas maksimum pemberian
kredit (BMPK). Dimana untuk satu debitur tunggal, bank tidak
boleh memberikan kredit melebihi 20% dari modalnya.
Sementara, pemberian kredit kepada satu kelompok bisnis
dibatasi maksimum 25%. Dalam kaitannya mencegah terjadinya
Abdul Mongid & Saladin Ghalib
71
moral hazard, bagi pengurus bank batasannya menjadi lebih
rendah yaitu menjadi 10% dari modal bank.

Risiko konsentrasi sebenarnya tidak terkait dengan debitur saja,


tetapi juga terkait dengan faktor ekonomi. Walaupun tidak diatur
secara spesifik tentang batasan pada kegiatan ekonomi tertentu,
namun yang menjadi perhatian adalah secara intern bank perlu
memperhitungkan aspek konsentrasi kredit ini dalam aktifitas
manajemen risiko perkreditan sehari-hari. Konsentrasi pada
sektor ekonomi tertentu bisa berdampak buruk karena ketika
keadaan ekonomi atau situasi pada sektor ekonomi tertentu
mengalami masalah, maka aset atau portofolio bank yang juga
terbawa masalah semakin besar.

Risiko konsentrasi juga bisa berasal dilihat dari sisi lokasi. Lokasi
pemberian kredit perlu menjadi pertimbangan bank. Seperti
diketahui pada lokasi kegiatan ekonomi tertentu, yang potensi
rawan terjadinya bencana seperti gunung meletus, tsunami,
ataupun bencana yang lain, maka bank sebaiknya tidak terlalu
mengkonsentrasikan portofolionya pada lokasi-lokasi yang
memiliki potensi risiko tinggi. Praktik perbankan yang terjadi di
kota Padang, Sumatera Barat, dimana diramalkan akan
mengalami tsunami besar, saat ini perbankan mulai mengurangi
agunan bangunan dan tanah yang ada di tepi pantai kota
Padang. Wilayah geografis perlu menjadi perhatian karena
ekonomi sangat tergantung kepada kondisi atau karakteristik
wilayah, dimana kemampuan nasabah untuk memenuhi
kewajibannya dipengaruhi oleh kondisi ekonomi suatu daerah
tertentu.

Manajemen risiko kredit yang bagus memerlukan beberapa


syarat. Syarat pertama yaitu terciptanya lingkungan manajemen
risiko kredit yang bagus. Yang kedua, tersedianya sistem dan
prosedur pemberian kredit yang baik. Ketiga, menjaga sistem
administrasi kredit, pengukuran risiko kredit, serta monitoring
risiko kredit. Keempat, memastikan pengendalian yang memadai
terhadap risiko kredit yang dihadapi oleh bank.

72 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


Dalam kaitannya dengan pengembangan lingkungan yang
mendukung pengelolaan risiko kredit yang bagus, maka yang
pertama kali harus tersedia adalah kemauan direksi dan
komisaris untuk berperan aktif dalam pengelolaan risiko kredit.
Peran aktif itu dapat diwujudkan dalam pembuatan sistem dan
prosedur perkreditan yang disetujui oleh komisaris dan direksi
juga secara aktif melakukan review untuk memastikan bahwa
sistem prosedur yang ada mencukupi untuk mengantisipasi
masalah yang mungkin dihadapi bank.

Dalam hal penerapan ketentuan intern bank, yang perlu menjadi


fokus adalah manajemen senior yang di dalamnya terdiri dari
kepala direksi dan kepala cabang harus menjalankan strategi
pengelolaan risiko kredit yang sudah disetujui oleh komisaris.
Terkait dengan pemberian kredit, dimana tahap-tahapnya sudah
ditentukan oleh bank, maka ketentuan dan prosedur yang ada
harus ditaati dan dijalankan secara bertanggung jawab.

Tahap berikutnya yang sangat penting sebagai bagian dari peran


menciptakan lingkungan pengendalian (control environtment)
yaitu tentang bagaimana direksi dan pejabat senior membangun
kebijakan pengleloaan risiko kredit dan sistem administrasi kredit
yang bagus. Setelah itu manajemen secara terus menerus selalu
melakukan pengembangan terhadap staff-staff dalam rangka
meningkatkan keahlian sesuai dengan yang mereka perlukan.
Untuk membangun manajemen risiko kredit yang bagus dan
sukses juga diperlukan struktur organisasi yang sesuai dengan
karakteristik bisnis bank.

Di dalam struktur organisasi perkreditan diatur tentang tugas-


tugas khusus dan tanggung jawab yang mereka miliki dalam
kaitannya dengan pengelolaan risiko bank. Tugas dan tanggung
jawab semua staff yang ada di bagian kredit harus tertulis secara
lengkap dan sedapat mungkin menghindari ketidakjelasan
wewenang dan tanggung jawab. Ini untuk menjamin kepastian
siapa melakukan apa dan kapan melakukanya.

Abdul Mongid & Saladin Ghalib


73
Langkah atau tahapan berikutnya yang tampaknya paling
menentukan adalah aspek yang dikenal dengan pendisiplinan
semua level yang terlibat di dalam perkreditan. Tahapan ini
penting karena tanpa pendisiplinan maka semua sistem dan
prosedur yang dibuat tidak ada artinya. Pendisiplinan ini
merupakan upaya yang sangat serius dan harus terus menerus
dilakukan oleh direksi dan kepala divisi untuk secara aktif
memastikan bahwa sistem dan prosedur perkreditan ditaati oleh
semua staff secara disiplin. Setiap kegagalan (failure to comply)
dalam memenuhi persyaratan akan mendapatkan sanksi
indicipliner.

Pelaksanaan pemberian kredit.

Setelah semua ketentuan struktur organisasi, sistem, dan


prosedur disetujui oleh direksi dan komisaris, maka secara
otomatis ketentuan tersebut menjadi berlaku. Dan ketika berlaku
maka yang menjadi perhatian pokok atau tekanan adalah
ketentuan harus dilaksanakan secara benar. Dalam
pelaksanaan pengelolaan aktivitas perkreditan, secara umum
bank dapat membaginya menjadi tiga bagian yaitu:

Pertama unit bisnis, adalah garda terdepan didalam pengelolaan


risiko kredit di bank karena unit tersebut bertanggung jawab
untuk mencari calon debitur yang sesuai dengan target pasar
bank. Yang paling penting dipahami oleh unit bisnis adalah
mereka harus sudah mulai memahami bahwa calon debitur
harus memiliki kualitas yang bagus. Artinya dalam proses
mencari nasabah maka seorang staff di unit bisnis sudah harus
punya keyakinan bahwa dia calon nasabah memiliki kualitas
yang bagus.

Para staff pada unit bisnis ini harus memiliki jaringan (network)
yang luas untuk mengidentifikasi para debitur yang bermasalah
yang ingin mengalihkan masalahnya kepada bank. Kemampuan
untuk mendeteksi ini penting karena pasar kredit dipenuhi oleh
unsur yang dikenal dengan istilah asymmetric information yaitu
adanya kecenderungan bank salah dalam melakukan
74 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO
pengambilan keputusan. Harus dihindari yang namanya
kesalahan tipe 2, yaitu orang yang buruk diberi kredit yang pada
akhirnya kreditnya bermasalah. Ini terjadi ketika kemampuan
mendeteksi sumber masalah kurang dipahami. Walaupun
demikian staff perkeditan bank harus menyadari ada
kemungkinan kesalahan yang namanya kesalahan tipe 1.
Kesalahan tipe 1 yaitu orang yang baik di tolak didalam
pemberian kredit. Namun demikian yang perlu menjadi perhatian
utama adalah bahwa kesalahan tipe 2 lebih berbahaya daripada
kesalahan tipe 1. Kesalahan. tipe 1 hanya membuat kehilangan
kesempatan bisnis sementara kesalahan tipe 2 akan membuat
kesalahan kehilangan uang

REALITAS
Kategori Baik Buruk
KEPUTUSAN

Baik Benar Tipe 2


Salah

Buruk Tipe 2 Benar


Salah

Kesalahan Keputusan Kredit

Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan


pengambilan keputusan atau pilihan, maka para staff di unit
bisnis harus melakukan penelitian, verifikasi, serta pengumpulan
data dan informasi untuk memastikan bahwa calon debitur
berkualitas. Hal ini dilakukan dengan analisis, verifikasi, serta
diskusi yang komprehensif terutama dengan pihak-pihak yang
dapat memberi informasi tentang potensi bermasalahnya calon
debitur. Setelah semua dirasakan dapat dipertanggung
jawabkan maka unit bisnis ini akan melakukan pertemuan untuk
membuat keputusan pemberian kredit.

Begitu keputusan sudah diberikan, maka disitulah proses


perkreditan berikutnya akan dijalankan. Setelah keputusan
diberikan dan perjanjian dilaksanakan maka aktivitas unit bisnis
yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan monitoring
Abdul Mongid & Saladin Ghalib
75
terhadap debitur. Monitoring ini dilakukan terhadap kualitas
kredit serta aktivitas usaha yang dilakukan bank dan kehidupan
pribadi debitur. Terkait dengan kualitas kredit debitur maka yang
dimonitor adalah perkembangan kelancaran pembayaran
angsuran debitur. Sementara dari aktivitas usaha yang dimonitor
adalah bagaimana perkembangan usaha mungkin dari sisi
volume usaha, perkembangan pemasaran, kondisi ketenaga
kerjaan, dan aspek teknis dan pemasaran yang mungkin
dianggap memiliki korelasi dengan kualitas kredit.

Hal ini dapat dilakukan dengan selalu menjaga hubungan baik


dengan supplier dan juga pembeli dari debitur tersebut untuk
mengetahui bagaimana kondisi yang sedang dihadapi. Terkait
dengan kondisi kehidupan pribadi debitur, maka sudah
sewajarnya bank melakukan monitoring secara tidak langsung
untuk mengetahui bagaimana sikap dan perilaku kehidupan
debitur. Seperti diketahui kehidupan debitur yang tidak baik
seperti keterlibatan dalam aktivitas yang maksiat seperti
miniuman keras, dunia malam, dan obat-obatan terlarang
merupakan indikasi yang paling cepat bahwa debitur akan
mengalami permasalahan dalam waktu dekat. Unit bisnis boleh
dipandang sebagai garda depan didalam memastikan bahwa
bisnis perkreditan bank adalah unit yang sangat
menguntungkan.

Unit risiko kredit.

Unit independen ini sangat penting untuk memberikan kontrol


kepada unit bisnis di dalam proses perkreditan bank. Tugasnya
adalah memberikan penilaian apakah prinsip-prinsip pemberian
kredit yang sehat dan berhati-hati sudah dijalankan oleh unit
bisnis atau belum. Yang dilakukan oleh unit ini adalah untuk
melakukan kajian terhadap proposal kredit yang diajukan oleh
debitur dan unit bisnis. Penilaian terhadap risiko ini intinya adalah
memberi penilaian independen bahwa bisnis yang akan dibiayai
memiliki risiko yang bisa diterima.

76 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


Unit risiko kredit juga akan melakukan monitoring terhadap
kualitas kredit baik pada level portofolio maupun pada level
individual. Tujuannya adalah untuk memberikan peringatan dini
kepada unit bisnis tentang portofolio atau kredit-kredit yang
berpotensi menimbulkan masalah dikemudian hari. Selain itu,
monitoring juga dilakukan untuk menentukan tingkat kolektibilitas
dari masing-masing debitur sehingga bisa dilakukan
penanganan lebih lanjut oleh unit khusus yang akan melakukan
penanganan terhadap kredit bermasalah. Unit risiko kredit sering
disebut sebagai unit garda kedua untuk bisnis perkreditan yang
menguntungkan.

Unit administrasi kredit.

Unit admistrasi kredit dalam banyak praktik industri sering


dianggap sebagai unit yang tidak begitu penting. Namun, dalam
kenyataannya unit administrasi kredit adalah unit yang paling
berperan didalam menjaga kualitas bisnis perkreditan bank. Unit
ini memiliki tugas melakukan verifikasi atas persyaratan dalam
pemberian kredit dan mencatat semua administrasi termasuk
dokumen terkait dengan kredit, sehingga tidak boleh ada
kekurangan dalam hal administrasi dan persyaratan perkreditan.
Unit ini lebih disebut sebagai unit quality ansurance karena
untuk memastikan semua persyaratan yang ditentukan dipenuhi
atau tidak.

Unit administrasi kredit juga melakukan monitoring terhadap


ketaatan debitur dalam memenuhi persyaratan-persyaratan
yang ditetapkan dalam perjanjian kredit. Dalam banyak kejadian
kredit bermasalah, menang atau kalahnya bank dipengadilan
sangat ditentukan oleh bagiamana unit administrasi kredit itu
melakukan dokumentasi terhadap semua persyaratan yang
ditetapkan oleh bank. Unit ini juga melakukan administrasi
terhadap jaminan dan memberikan pelaporan secara
independen kepada direksi tentang perkembangan kualitas
kredit yang ada di bank.

Abdul Mongid & Saladin Ghalib


77
Kategori risiko kredit

Risiko kredit seperti dijelaskan diatas bersumber dari banyak


aktivitas yang dilakukan bank. Mengingat bahwa risiko kredit itu
sangat penting bagi perbankan, maka pengetahuan tentang
kategori risiko kredit itu menjadi sangat penting. Risiko kredit
bersumber dari berbagai aktivitas bank.

1. Risiko karena pemberian kredit (lending). Risiko yang


terjadi ketika bank memberikan kredit dan nasabahnya
tidak dapat membayar sesuai kontrak yang diperjanjikan.
2. Risiko kontingensi (contigency risk). Risiko kredit yang
timbul ketika bank memberikan jaminan kepada pihak
lain untuk membayar ketika pihak yang dijamin itu tidak
melakukan kewajibannya, contohnya adalah ketika
importir menerbitkan LC yang dijamin oeh bank, ketika
importir gagal membayar maka otomatis kewajiban
membayar menjadi tanggung jawab bank.
3. Risiko penerbit (issuer risk). Risiko kredit yang berasal
dari penerbit adalah risiko ketika bank memiliki surat
berharga yang diterbitkan oleh bank atau perusahaan
yang ternyata ketika jatuh tempo, penerbit tersebut gagal
untuk melakukan pembayaran. Umumnya ini terjadi pada
instrumen keuangan berupa obligasi.
4. Risiko pra penyelesaian (presettlement risk) . Ini risiko
yang terjadi terutama dalam sistem pembayaran, dimana
ketika bank telah membayar pihak lain, ternyata pihak
lain yang seharusnya memberi kompensasi gagal
melakukan pembayaran. Risiko kredit yang demikian
banyak terjadi pada sistem pembayaran.
5. Risiko negara (country risk). Risiko yang terjadi ketika
suatu negara mengalami permasalahan ekonomi
maupun politik, sehingga semua kewajiban
internasionalnya dibatalkan. Ketika suatu negara
mengumumkan membatalkan pembayaran atau
cicilannya kepada lembaga-lembaga di luar negeri yang
disebabkan karena pemerintah melihat jika dilakukan

78 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


pembayaran maka akan menyulitkan ekonomi
domestiknya. Risiko negara memiliki konsekuensi lebih
besar daripada sekedar risiko kredit.

Mendeteksi tanda-tanda naiknya risiko kredit.


Manajemen risiko seharusnya memberi kontribusi
dengan mencegah jangan sampai risiko kredit suatu
bank itu meningkat. Karena itu, manajemen risiko harus
mampu mendeteksi tanda-tanda awal ketika risiko kredit
suatu bank meningkat. Dalam perekonomian yang
semakin kompleks saat ini yang disertai margin bunga
yang semakin kecil, maka kesuksesan bank dalam
menjalankan bisnisnya sangat bergantung pada
kemampuan mereka di dalam mengelola risiko kredit.
Seperti diketahui, bahwa margin bunga perbankan di
Indonesia saat ini berkisar antara 5% sampai 10 %.
Artinya selisih antara biaya pendanaan dengan
pemberian kredit rata-rata adalah 5-10%. Dengan
mengasumsikan margin 10%, maka ketika bank
menghadapi gagal bayar dengan kerugian Rp. 1 juta,
maka untuk dapat menutup kerugian 1 juta tersebut,
maka bank harus mampu memberikan kredit sebanyak
Rp. 10 juta tanpa ada kredit macet. Artinya harus ada 10
kali jumlah kredit untuk menutup kerugian yang terjadi,
dengan asumsi biaya-biaya lain diabaikan.
Mengingat pentignya risiko kredit ini, maka manajemen
risiko harus mengembangkan teknik-teknik mendeteksi
risiko kredit sejak dini. Indikator yang umum dipakai untuk
mengindikasikan bahwa risiko kredit suatu bank itu terus
meningkat adalah dengan melihat beberapa aspek
sebagai berikut.
1. Komposisi kredit yag tidak sehat. Hal ini dapat dilihat
dari seberapa sebaran kredit pada sektor-sektor
ekonomi. Bank yang terlalu banyak memberikan
kredit pada sektor pertanian, berarti akan ada risiko
yang berat ketika sektor pertanian mengalami
Abdul Mongid & Saladin Ghalib
79
permasalahan. Karena itu, menjaga agar komposisi
kredit itu sesuai dengan kondisi ekonomi suatu
negara, merupakan salah satu cara untuk
mengurangi risiko kredit.
2. Pertumbuhan portofolio kredit yang terlalu cepat.
Bank yang memiliki pertumbuhan kredit yang sangat
cepat berpotensi mengalami risiko kredit yang sangat
tinggi karena biasanya analisa kredit yang diberikan
menjadi kurang akurat, karena sangat dimungkinkan
bank melakukan kesalahan di dalam memilih calon-
calon debiturnya.
3. Pemberian kredit pada sektor-sektor yang berisiko
tinggi. Bank yang terlalu banyak memberikan kredit
kepada sektor yang sering dianggap berisiko tinggi
akan menghadapi masalah berupa risiko kredit yang
tinggi. Hal ini terjadi karena sektor ekonomi tertentu
yang berisiko. Hal tersebut berpotensi menghasillkan
keuntungan yang besar dan juga kerugian yang
sebanding. Di Indonesia, sektor pertanian sering
dipandang sebagai sektor yang memiliki risiko yang
tinggi, akibatnya bank enggan memberikan kredit
terhadap sector tersebut .
4. Rasio kredit bermasalah yang tinggi (non performing
loan=NPL) Tingginya kredit yang bermasalah
mengindikasikan risiko kredit yang tinggi yang
dihadapi oleh bank, oleh karena itu, manajemen bank
biasanya menetapkan target maksimum NPL yang
bisa ditoleransi dalam operasional sehari-hari.

Manajemen risiko yang berhasil memerlukan tiga pengelolaan


yaitu Kebijakan, Proses dan Sumber Daya Manusia. Karena itu
sering disebut sebagai 3P yaitu Policy, Process, People. Pada
aspek ini yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa ketentuan
sistem dan prosedur yang terkait dengan pemberian kredit dibuat
sedemikian rupa sehingga menjadi panduan yang bagus dan
diterapkan dalam setiap proses perkreditan. Proses perkreditan
yang memberikan hasil optimal adalah proses perkreditan yang
80 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO
efisien dimana tahap-tahap yang dilakukan adalah rasional
tanpa menyebabkan terjadinya penundaan sekaligus biaya
ekstra.

Dalam tahapan proses ini, yang juga perlu menjadi perhatian


adalah proses persetujuannya harus seimbang antara
kebutuhan untuk proses permohonan kredit yang cepat dengan
prinsip kehati-hatian didalam proses perkreditan. Yang sangat
menentukan keberhasilan dalam pengelolaan risiko dalam bisnis
perkreditan adalah bagaimana bank menggunakan staff
perkreditan yang kompeten dan memiliki komitmen yang tinggi
dari sisi kejujuran dan profesionalisme. Staff yang baik dan
kompeten menjadi modal yang paling baik didalam pemberian
kredit.

Kebijakan atau prosedur yang dibuat oleh bank memberikan


panduan tentang bagaimana perkreditan itu dijalankan. Hal ini
akan memberikan gambaran kerangka kerja kepada semua staff
bagaimana aktivitas perkreditan bank dilakukan. Kebijakan yang
terkait dengan perkreditan ini juga didalamnya mencakup
beberapa ketentuan standar yang harus ditaati seperti komposisi
kredit, sistem pemberian kredit untuk kredit individual konsumsi,
dan juga untuk modal kerja, serta bagaimana bank dan staff bank
memastikan bahwa proses pemberian kredit dilakukan secara
adil dengan mengabaikan praktik yang tidak sehat seperti fokus
pada etnis tertentu. Penolakan kredit karena alasan etnis sering
terjadi dan kalau ini terungkap akan menjadi isu besar.
Pemberian kredit karena adanya unsur etnis agama akan
merusak reputasi.

Dalam kaitannya dengan kebijakan dan prosedur yang


ditetapkan ini maka yang paling penting dan harus menjadi
perhatian adalah bagaimana bank memastikan semua yang
diatur dalam kebijakan dan prosedur perkreditan itu ditaati. Dan
dalam praktiknya, ketentuan umum yang ada diperkreditan
diikuti oleh prosedur pemberian kredit yang lebih detail dengan
ketentuan dan prosedur yang lebih komprehensif. Dalam
kaitannya dengan proses, maka yang perlu menjadi perhatian
Abdul Mongid & Saladin Ghalib
81
adalah bahwa hal ini merupakan satu tahapan tentang
bagaimana pemberian kredit yang benar itu dijalankan.

Manajemen harus mengembangkan suatu proses kredit yang


standar di dalam setiap bank. Proses yang memerlukan tahap-
tahap didalam implemetasinya. Hal ini perlu diikuti dengan
menetapkan akuntabilitas dan tanggung jawab terhadap semua
pihak yang terlibat. Semua yang bertugas di suatu tahap proses
perkreditan harus memiliki kewenangan dan juga sekaligus
tanggung jawab untuk menjalankan kewenangan yang diberikan.

Dalam kaitannya dengan masalah kepatuhan maka harus


dilakukan pelatihan kepada semua staff bahwa segala sesuatu
yang terkait dengan perkreditan harus mengikuti prosedur yang
baku. Contohnya adalah bagaimana cara surat menyurat kepada
debitur serta administrasi yang terkait dengan proses
perkreditan.

People (orang) adalah staff yang menjalankan proses


perkreditan, staff perkreditan yang baik adalah mereka yang
memiliki kompetensi dan kejujuran yang tinggi sehingga mereka
menjadi personel yang kompeten dan profesional. Dalam
konteks dengan pengelolaan SDM maka yang paling penting
adalah bagaimana mereka memiliki tanggung jawab sekaligus
memiliki keahlian dan kewenangan yang cukup untuk
menjalankan fungsi-fungsi mereka. Staff juga menentukan
keberhasilan bisnis perkreditan bank. Competence Lending staff
merupakan persyaratan utama didalam pemberian kredit bank
karena mereka adalah orang yang menjalankan proses, mereka
harus kompeten karena mereka akan menentukan apakah satu
proses ini berjalan baik atau tidak.

Untuk dapat menciptakan orang atau SDM yang sangat


berkualitas dalam perkreditan maka harus dibangun suatu model
pembelajaran dan pelatihan sehingga pengetahuan dan keahlian
yang diperlukan untuk proses perkreditan itu tersedia. Dan selain
itu yang juga menentukan adalah perangkat yang digunakan

82 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


dalam pelaksanaan harus cukup memadai, sehingga bisa
dihasilkan kebijaksanaan keputusan kredit yang berkualitas.

Dengan menggabungkan 3P diatas yaitu Policy, Process, dan


People maka kita bisa menggambarkan suatu keterkaitan,
dimana kebijakan atau policy menyediakan kerangka kerja untuk
aktivitas perkreditan, dan hal ini menjadi landasan untuk proses
perkreditan dan orang-orang yang menjalankan proses yang ada
untuk dapat melakukan pemberian kredit yang berhasil. Perlu
menjadi perhatian, bahwa kualitas pemberian kredit sangat
bergantung kepada kualitas informasi yang disediakan oleh
nasabah dan yang dikumpulkan oleh staff bank. Keberhasilan
didalam mengumpulkan data dan informasi terkait dengan
permohonan kredit menjadi kunci untuk keberhasilan
pengelolaan risiko kredit di bank.

Untuk mendukung terkumpulnya informasi terkait dengan


perkreditan ini maka dikembangkan 5C untuk pengumpulan data
perkreditan.

1. Calibre. Maksudnya adalah bahwa pengumpulan data


yang dilakukan bank harus menghasilkan laporan
keuangan yang berkualitas. Laporan keuangan yang
dimaksud disini tentu memiliki perspektif yang luas tidak
hanya sekedar laba rugi dan neraca saja, namun juga
kualitas atas laporan keuangan yang telah diaudit,
dilakukan review, dan dilakukan analisis mendalam
tentang keyakinan bahwa laporan keuangan tersebut
benar.
2. Complete. Laporan atau informasi untuk pemberian
kredit harusnya merupakan laporan yang lengkap terkait
dengan segala hal yang terjadi dengan perusahaan yang
sedang mengajukan kredit. Informasi ini harus lengkap
dan disediakan tepat pada waktu yang dibutuhkan.
Sehingga harus tersedia sebelum proses pemberian
kredit diberikan. Idealnya bahwa semua kewajiban yang
dimiliki oleh calon debitur juga diinformasikan kepada
staff bank secara lengkap sehingga dapat dilakukan
Abdul Mongid & Saladin Ghalib
83
analisis kemampuan untuk melakukan pembayaran
pinjaman.
3. Consistent. Harus dipastikan bahwa informasi yang
dikumpulkan adalah informasi keuangan yang konsisten.
Artinya laporan keuangannya adalah laporan keuangan
yang memberikan gambaran secara ideal tentang kondisi
perusahaan. Dan konsistensi ini perlu ditunjukkan
dengan tersedianya laporan keuangan paling tidak satu
tahun sebelum aplikasi kredit diberikan. Perlu juga
dilaporkan tentang bagaimana laporan pembayaran
pajak yang dilakukan oleh calon debitur karena laporan
pembayaran pajak menjadi indikator yang bagus untuk
menilai kelayakan calon usaha.
4. Current. Maksudnya adalah data-data yang disediakan
oleh calon debitur adalah data-data terbaru terkait
dengan kondisi keuangan perusahaan. Data yang baru
akan memberikan sinyal yang lebih mendekati kenyataan
dibandingkan data yang sudah terlalu lama. Data-data
yang relatif baru juga mencerminkan kondisi terbaru yang
dihadapi perusahaan. Dalam konteks ini data time series
yang cukup panjang mungkin lebih bermanfaat untuk
memberikan perbandingan bagaimana kecenderungan
yang dialami perusahaan.
5. Conversation. Perlu dilakukan wawancara yang
komprehensif dengan calon debitur untuk menambahkan
informasi sekaligus juga untuk mengkonfirmasi informasi-
informasi yang sudah disediakan oleh calon debitur.
Melalui pembicaraan yang intensif dan komprehensif
juga dapat diketahui tentang kondisi perusahaan dari
waktu kewaktu serta akan didapatkan informasi tentang
penilaian bagaimana persepsi pengusaha tentang
kondisi bisnis yang dihadapi.

Bank akan selalu menghadapi risiko kredit karena peran mereka


sebagai intermediasi antara pihak yang memiliki dana atau
penabung dengan mereka yang membutuhkan dana atau
debitur. Karena itulah, sebenarnya manajemen risiko kredit itu
84 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO
selalu menjadi inti dasar dari manajemen risiko bank secara
keseluruhan. Dari awal, inilah risiko yang paling penting dan
selalu menjadi dasar dari manajemen risiko bank. Karena itu juga
manajemen risiko kredit sering dianggap sebagai isu yang paling
penting sejak awal tahun 1990- an. Bahkan, Bank for
International Settlement (BIS) menetapkan risiko kredit sebagai
risiko pertama yang perlu disediakan modal atau istilahnya
regulatory capital.

Hal ini dapat dilihat dari basel 1 yang menekankan risiko kredit
sebagai risiko yang harus dilindungi dengan permodalan. Dalam
perkreditan, sebenarnya ada dua jenis risiko kredit ketika kita
berbicara tentang portofolio atau posisi yag dimiliki bank yang
dikenal dengan risiko gagal bayar dan risiko margin bunga.
Risiko gagal bayar merupakan risiko ketika nasabah gagal
memenuhi kewajiban yang sudah dijanjikan. Hal ini biasanya
merupakan recovery rate. Artinya kerugian bank adalah jumlah
kredit yang diberikan dikurangi jumlah yag dapat ditarik kembali
baik melalui penjualan agunan atau penyitaan aset atau
simpanan yang ada di bank.

Besar kecilnya risiko gagal bayar didalam perkembangan terbaru


saat ini ditunjukkan dengan peringkat kredit suatu perusahaan.
Di negara-negara maju , peringkat kredit (credit rating) ini
dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat. Namun di negara
berkembang dimana lembaga pemeringkat belum banyak
berkembang maka bank membuat peringkatnya sendiri yang
dikenal dengan istilah peringkat kredit atau credit scoring.
Perbedaan pengertian yang mendasaar diantara peringkat kredit
dengan credit scoring adalah ketika berbicara tentang peringkat
kredit maka informasi yang diberikan adalah seberapa besar
risiko itu ketika bank akan memberikan kredit kepada nasabah.

Artinya akan ada peringkat yang sangat tinggi risikonya ataupun


sangat rendah risikonya. Keputusan manajemen atau staff
kreditlah yang menentukan persetujuan kredit tersebut.
Sementara dari credit scoring, sistem yang dihasilkan adalah
keputusan diterima atau ditolaknya permohonan pembiayaan.
Abdul Mongid & Saladin Ghalib
85
Ada beberapa teknik yang dapat dikembangkan oleh bank untuk
mengurangi risiko kredit. Machirachu (2008) menyebutkan
beberapa langkah untuk melakukan mitigasi risiko kredit yaitu:

1. meningkatkan standar kredit sehingga dapat menolak


permohonan yang dianggap berisiko
2. Mengharuskan adanya agunan dan jaminan atas
permohonan kredit
3. Memastikan bahwa nasabah selalu taat terhadap
perjanjian kredit yang disepakati
4. Menjual kredit kepada piha lain ketika dirasakan risikonya
meningkat atau potensi risikonya meningkat.
5. Melakukan diversifikasi kredit sehingga korelasi antara
debitur terutama yang skalanya besar semakin kecil atau
negatif.

Pada beberapa bank yang menggunakan manajemen modern,


bahkan ketika dirasakan calon debitur memiliki risiko yang cukup
tinggi, maka debitur tersebut dipaksa memberi kompensansi
atas resiko kerugian yang ada itu dengan membayar suku bunga
yang tinggi. Inilah yang dikenal dengan istilah penetapan suku
bunga berbasis risiko (risk based pricing). Penyebaran risiko
dilakukan dengan melakukan kerjasama dengan pihak lain,
melalui model kerjasama seperti sindikasi kredit atau partisipasi
maupun sekuritisasi.

Tiga Pertahanan untuk Risiko Kredit

Setelah 3P dan 5C saja tidak cukup, maka tahap berikutnya yang


sangat penting sebagai bagian manajemen risiko kredit adalah
peran dalam menciptakan lingkungan yang sehat dan kondusif.
Direksi dan pejabat senior bank harus membangun kebijakan
pengleloaan risiko kredit dan sistem administrasi kredit yang
bagus dan secara terus menerus melakukan pengembangan
terhadap staff-staff dalam rangka meningkatkan keahlian yang
sangat dibutuhkan. Untuk membangun manajemen risiko kredit

86 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


yang bagus maka juga diperlukan suatu struktur organisasi yang
sesuai dengan karakteristik bank.

Bank juga perlu mengatur tugas-tugas dan tanggung jawab


pegawai dalam kaitannya dengan pengelolaan risiko bank.
Tugas dan tanggung jawab semua staff yang ada di bagian kredit
harus tertulis secara lengkap dan sedapat mungkin dijelaskan.
Langkah berikutnya yang sangat penting adalah pendisiplinan
semua level pegawai yang terlibat di dalam perkreditan. Semua
hal diatas membutuhkan upaya yang sangat serius dan terus
menerus. Direksi dan kepala divisi kredit secara aktif harus
memastikan bahwa sistem dan prosedur perkreditan benar-
benar ditaati oleh semua staff. Sanksi indisipliner harus
diberikan jika staff gagal dalam memenuhi persyaratan ini.

Pelaksanaan pemberian kredit.

Setelah semua ketentuan struktur organisasi, dan sistem dan


prosedur disetujui oleh direksi dan komisaris, maka secara
otomatis ketentuan tersebut menjadi berlaku. Dan ketika berlaku
maka yang menjadi tekanan adalah ketentuan harus
dilaksanakan dengan benar. Dalam pelaksanaan pengelolaan
kredit secara umum, bank dapat membaginya menjadi tiga
bagian yaitu:

1. Unit Bisnis yaitu unit bisnis yang secara aktif


memasarkan kredit ke calon debitur. Unit bisnis inilah
yang sebenarnya menjadi garda terdepan (first line of
defense) didalam pengelolaan risiko kredit di bank
karena unit ini bertanggung jawab untuk mencari calon
debitur yang sesuai dengan pasar bank. Yang juga
penting adalah secara sederhana mereka harus sudah
mulai memahami bahwa calon debitur itu harus memiliki
kualitas yang bagus. Artinya dalam proses mencari
nasabah maka seorang staff di unit bisnis sudah harus
punya keyakinan bahwa calon nasabah memiliki kualitas
yang bagus. Pada unit bisnis ini harus memiliki network
yang luas untuk mengidentifikasi para debitur yang
Abdul Mongid & Saladin Ghalib
87
bermasalah yang ingin mengalihkan masalahnya kepada
bank. Kemampuan untuk mendeteksi ini penting karena
pasar kredit dipenuhi oleh unsur yang dikenal dengan
istilah asymmetric information, yaitu informai yang tidak
setara sehingga salah dalam melakukan pengambilan
keputusan. Hal yang harus dihindari adalah kesalahan
tipe 2 (Type II Error) yaitu debitur yang buruk diberi kredit
yang pada akhirnya kreditnya bermasalah. Walaupun
demikian staff bank harus menyadari ada kemungkinan
kesalahan tipe 1 (Type I Error) yaitu calon debitur baik
ditolak didalam pengajuan kredit. Yang perlu menjadi
perhatian adalah bahwa kesalahan tipe 2 lebih
berbahaya daripada kesalahan tipe 1.
Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan
pilihan ini tadi, maka para staff di unit bisnis harus
melakukan penelitian, dan verifikasi, pengumpulan data
dan informasi untuk memastikan bahwa calon debitur
adalah mereka yang berkualitas. Ini dilakukan dengan
analisis, verifikasi, dan diskusi yang komprehensif
terutama dengan pihak-pihak yang dapat memberi
informasi tentang potensi bermasalahnya calon debitur.
Setelah semua dirasakan dapat dipertanggung jawabkan
maka unit bisnis ini akan melakukan pertemuan untuk
membuat keputusan pemberian kredit. Begitu keputusan
sudah diberikan, disitulah proses perkreditan berikutnya
akan dijalankan.
Setelah keputusan diberikan dan perjanjian dilaksanakan
maka aktivitas unit bisnis yang tidak kalah pentingnya
adalah melakukan monitoring terhadap debitur.
Monitoring ini dilakukan terhadap kredit serta aktivitas
usaha yang dilakukan bank dan juga kehidupan pribadi
debitur. Terkait dengan kualitas kredit debitur maka yang
dimonitor adalah perkembangan dari kelancaran
pembayaran angsuran debitur. Sementara dari aktivitas
usaha yang dimonitor adalah bagaimana perkembangan
usaha seperti dari sisi volume usaha, perkembangan

88 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


pemasaran, kondisi ketenaga kerjaan, dan aspek teknis
serta pemasaran yang mungkin dianggap memiliki
korelasi dengan kualitas kredit. Hal ini dapat dilakukan
dengan selalu menjaga hubungan baik dengan suplier
dan juga pembeli dari debitur tersebut untuk mengetahui
bagaimana kondisi yang sedang dihadapi.
Terkait dengan kondisi kehidupan pribadi debitur, maka
sudah sewajarnya bank melakukan monitoring secara
tidak langsung untuk mengetahui bagaimana sikap dan
perilaku kehidupan debitur. Seperti diketahui kehidupan
debitur yang tidak baik seperti keterlibatan dalam
aktivitas yang maksiat seperti miniuman keras, dunia
malam dan obat-obatan terlarang merupakan indikasi
yang paling cepat bahwa debitur akan mengalami
permasalahan dalam waktu dekat.
Unit bisnis boleh dipandang sebagai garda depan
didalam memastikan bahwa bisnis perkreditan bank
adalah unit yang sangat menguntungkan.
2. Unit risiko kredit. Unit independen ini sangat penting
untuk memberikan kontrol kepada unit bisnis di dalam
proses perkreditan bank. Tugasnya adalah memberikan
penilaian apakah prinsip-prinsip pemberian kredit yang
sehat dan berhati-hati sudah dijalankan oleh unit bisnis
atau belum. Yang dilakukan oleh unit ini adalah untuk
melakukan kajian terhadap proposal kredit yang diajukan
oleh debitur dan unit bisnis. Penilaian terhadap risiko ini
intinya adalah memberi penilaian independen bahwa
bisnis yang akan dibiayai memiliki risiko yang dapat
diterima.
Selain itu, setelah kredit diberikan maka unit risiko kredit
juga akan melakukan monitoring terhadap kualitas kredit
baik pada level portofolio maupun pada level individual.
Tujuannya adalah untuk memberikan peringatan dini
kepada unit bisnis tentang portofolio atau kredit-kredit
yang potensi menimbulkan masalah dikemudian hari.

Abdul Mongid & Saladin Ghalib


89
Selain itu, monitoring juga dilakukan untuk menentukan
tingkat kolektibilitas dari masing-masing debitur sehingga
bisa dilakukan penanganan lebih lanjut oleh unit khusus
yang akan melakukan penanganan terhadap kredit
bermasalah. Unit risiko kredit sering disebut sebagai unit
garda kedua untuk bisnis perkreditan yang
menguntungkan.
3. Unit administrasi kredit. Unit ini dalam banyak praktik
sering dianggap sebagai unit yang tidak begitu penting.
Namun, dalam kenyataannya unit administrasi kredit
adalah unit yang paling berperan didalam menjaga
kualitas bisnis perkreditan bank. Unit ini memiliki tugas
melakukan verifikasi atas persyaratan dalam pemberian
kredit dan mencatat semua administrasi termasuk
dokumen terkait dengan kredit, sehingga tidak boleh ada
kekurangan dalam hal administrasi dan persyaratan
perkreditan. Unit ini lebih disebut sebagai unit kualitas
(quality ansurance) karena fungsinya untuk memastikan
semua persyaratan yang ditentukan dipenuhi atau tidak.
Unit administrasi kredit juga melakukan monitoring
terhadap ketaatan debitur dalam memenuhi persyaratan-
persyaratan yang ditetapkan dalam perjanjian kredit baik
itu yang diwajibkan (affirmative covenant) maupun
ketentuan yang dilarang (negative covenant). Dalam
banyak kejadian ketika kredit bermasalah, menang atau
kalahnya bank dipengadilan sangat ditentukan oleh
bagiamana unit administrasi kredit itu melakukan
dokumentasi terhadap semua persyaratan yang
ditetapkan oleh bank. Unit ini juga melakukan
administrasi terhadap jaminan dan memberikan
pelaporan secara independen kepada direksi tentang
perkembangan kualitas kredit yang ada di bank.

90 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


BAB IX

TATA KELOLA PERUSAHAAN UNTUK UKM

Krisis ekonomi dan moneter yang melanda negara-negara di


Asia Tenggara pada awal tahun 1998 sempat membuat panik
semua orang, terutama para pelaku bisnis dan pembuat
kebijakan publik yang bertanggung jawab terhadap masalah
tersebut. Betapa tidak, efek yang muncul dari kejadian ini
sangatlah meluas dan merembes kesegenap sektor kehidupan.

Khusus di Indonesia, mulai Agustus 1998, yang terjadi adalah


penurunan nilai mata uang rupiah yang pergerakannnya diluar
pakem normal. Pada Juni 1997, nilai tukar rupiah terhadap dolar
US masih sebesar Rp. 2.380 per US dollar dan pada Januari
1998 menjadi Rp.11.000/US dollar, kemudian pada Juli 1998
merosot lagi menjadi Rp.14.150/US dollar. Kepercayaan pasar
dan masyarakat pada umumnya mulai terlihat menurun dan
kesehatan presiden saat itu mulai memburuk. Hal ini kemudian
memunculkan ketidakpastian yang tinggi terkait dengan suksesi
kepemimpinan nasional. Faktor ini kemudian berjalin
berkelindan dengan besarnya utang luar negeri yang segera
jatuh tempo, situasi perdagangan internasional yang kurang
menguntungkan, dan makin menipisnya cadangan devisa yang
cuma bersisa 14,44 miliar dollar US. Kondisi seperti ini, makin
membuat rupiah terpuruk hingga pada level Rp. 17.000/dolar US
pada Januari 1998.

Bencana di sektor ekonomi dan moneter ini semakin parah.


Ratusan perusahaan dari skala kecil hingga besar mulai
bertumbangan. Lebih dari 70 persen perusahaan yang tercatat
di pasar modal menjadi bangkrut, yang tentu saja berujung pada
pemecatan tenaga kerja. Pengangguran pun melonjak ke level
yang tinggi, yakni sekitar 20 juta orang atau sekitar 20 persen
dari angkatan kerja sebagai akibat dari meningginya pemutusan
hubungan kerja dan melesatnya inflasi, jumlah penduduk yang
Abdul Mongid & Saladin Ghalib
91
berada di bawah garis kemiskinan pun menjadi bertambah.
Pendapatan per kapita dari masyarakat menurun dari yang
tadinya 1.155 dolar perkapita pada tahun 1996 menjadi 610
dolar perkapita pada tahun 1998.

Menghadapi kondisi buruk seperti ini, semua orang baru sadar


akan perlunya Good Corporate Governance (GCG). Berbagai
praktek yang baik (best practice) dari penerapan GCG mulai
digali dan dipelajari. Berbagai manfaat dari penerapan GCG juga
mulai diungkapkan oleh para pakar dan peneliti.

Secara definitif, Sjahdeini (2003) menyatakan bahwa GCG


merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan
perusahaan yang menciptakan nilai tambah (added value) untuk
semua stakeholder, baik primary stakeholder (investor,
karyawan, manajer, pemasok, rekanan bisnis), maupun
secondary stakeholder (pemerintah, institusi bisnis, kelompok
sosial kemasyarakatan, akademisi, dan pesaing).

Melalui penerapan 5 prinsip yang ada didalam GCG, seperti


yang diatur oleh Undang-Undang No.8 tahun 1995 dan
kemudian dijabarkan secara normatif dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8/14/PBI/2006, idealnya GCG akan dapat
meningkatkan nilai perusahaan di mata publik. Kelima prinsip itu
adalah: Transparency, Accountability, Responsibility,
Independence dan Fairness.

Transparency, mensyaratkan ketepatan waktu dan akurasi


informasi. Dalam hal ini perusahaan mempunyai kewajiban
untuk mengungkapkan informasi penting dalam laporan berkala
dan laporan peristiwa penting kepada pemegang saham,
instansi pemerintah, dan instansi yang terkait sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku secara tepat waktu, akurat,
jelas dan obyektif.

Accountability, diwujudkan melalui keterbukaan informasi dalam


bidang keuangan. Dalam hal ini direksi bertugas menjalankan
operasional perusahaan, sedangkan komisaris melakukan

92 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


pengawasan terhadap jalannya perusahaan yang dilakukan
direksi.

Responsibility, berhubungan dengan tanggung jawab


perusahaan sebagai anggota masyarakat, dalam bentuk
mengakomodasikan kepentingan pihak-pihak yang berkaitan
dengan perusahaan, seperti masyarakat, pemerintah, asosiasi
bisnis dan sbagainya

Independence, atau kemandirian dari perusahaan dalam


menjalankan operasional perusahaan. Fairness, yaitu adanya
perlakuan yang wajar terhadap semua pemegang saham,
termasuk pemegang saham minoritas dan asing. Pemegang
saham dilindungi dari penipuan, self dialing, insider trading yang
dilakukan oleh dewan komisaris, manajer, pemegang saham
utama, atau pihak lainnya yang memiliki akses informasi
perusahaan.

Bicksler (2013) mengemukakan bahwa keberadaan GCG dalam


sebuah perusahaan mendorong eksekutif untuk melakukan
tindakan yang berhubungan dengan pemenuhan keinginan dari
pemegang saham melalui formulasi dan implementasi kebijakan
serta taktik yang terbaik. Pernyataan dari Bicksler ini kemudian
diperluas oleh pakar lainnya, karena GCG sebenarnya bukan
hanya untuk memuaskan keinginan pemegang saham (owner),
tapi juga untuk pemenuhan aspirasi dari kalangan lainnya yang
terkait dengan keberadaan perusahaan.

Sun (2016) menyatakan bahwa GCG merupakan cara dan


kebijakan dalam perusahaan yang diberlakukan pada semua
jenjang organisasi, dan diharapkan bisa memberikan manfaat
kepada pemegang saham (shareholder), stakeholder, dan
bahkan dapat membantu memperbaiki ekonomi negara secara
menyeluruh. Lebih lanjut dinyatakan, bahwa implementasi GCG
yang baik akan dapat mencegah terjadinya skandal yang tidak
terpuji di dalam perusahaan dan dengan demikian akan dapat
meningkatkan citra dan nilai perusahaan di mata publik.
Perluasan manfaat dari GCG ini sebenarnya merupakan bentuk
Abdul Mongid & Saladin Ghalib
93
pertanggungjawaban manajemen perusahaan terhadap semua
pihak yang terkait dengan perusahaan, seperti karyawan,
pemasok, konsumen dan semua pedagang perantara yang ada
dalam mata rantai distribusi.

Untuk bisa memenuhi semua keinginan dan ekspektasi seperti


diatas, melalui penerapan GCG, perusahaan harus bisa
menciptakan manajemen yang tangguh (excellence
management), meningkatkan efisiensi operasi, mengendalikan
resiko, mengurangi praktek salah kelola dan mencegah
terjadinya skandal korupsi dalam perusahaan. Dengan
demikian, semua ekspektasi dari berbagai pihak yang terkait
akan dapat terpenuhi dan reputasi perusahaan dimata publik
juga akan menjadi lebih baik.

Penerapan GCG memang memunculkan permasalahan yang


dilematis, karena GCG berada di antara dua kutub ekspektasi
yang saling bertentangan antara satu dengan lainnya. Pada satu
sisi, ekspektasi pemegang saham (owner/ shareholder) dalam
bentuk maksimalisasi pembagian keuntungan dari saham yang
dimilikinya. Pada sisi lainnya, berbagai pihak yang merasa ikut
memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan perusahan
(stakeholder), juga memiliki ekspektasi terhadap manajemen
perusahaan.

Manajer yang Cakap

Untuk berhasil, manajer harus memiliki keahlian mumpuni.


Pertama, peran sebagai enterpreneur. Dalam peran ini manajer
harus cakap dalam membaca setiap kesempatan yang muncul
dalam lingkungan eksternal perusahaan, sebagai akibat dari
dinamika lingkungan, dan kemudian dapat merumuskan strategi
yang paling tepat untuk memanfaatkan kesempatan tersebut.
Selain itu, manajer juga harus mempunyai kepekaan yang tinggi
dalam menangkap perubahan lingkungan yang memberikan

94 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


ancaman bagi eksistensi perusahaan dan dapat memberikan
solusi yang baik untuk mengatasi ancaman tersebut.

Kedua, peran sebagai negosiator yang ulung, terutama jika


berhadapan dengan rekan bisnis perusahaan, seperti pembeli,
pemasok, pemerintah, asosiasi perdagangan, serikat pekerja
dan stakeholder lainnya. Peran ini diharapkan dapat meredam
munculnya berbagai masalah konflik kepentingan yang
mengganggu operasi perusahaan.

Ketiga, peran sebagai Liason, yakni peran sebagai penghubung


antara perusahaan dengan berbagai pihak yang ada di
lingkungan perusahaan, yang dimaksudkan untuk menjaga
jaringan kontak/ informasi dengan pihak-pihak tertentu di
lingkungan perusahaan. Dengan demikian, perusahaan selalu
mendapatkan informasi terbaru dari lingkungan perusahaan
untuk keperluan pengambilan keputusan strategis dan taktis
yang harus dilakukan secara cepat.

Keempat, peran sebagai disturbance handler, dengan peran ini


manajer secara reaktif dapat melaksanakan tindakan korektif
bagi setiap masalah yang dapat menggangu jalannya operasi
perusahaan dengan suatu gerakan yang tepat dan cepat.

Kelima, peran sebagai Resources Allocator, dalam hal ini


manajer berperan sebagai pembagi sumber daya pada berbagai
sektor yang ada didalam perusahaan, maupun kepada
stakeholder yang ada di lingkungan perusahaan.

Manajer yang memiliki kapabilitas dalam menjalankan semua


peran di atas akan dapat memacu peningkatan kinerja
perusahaan dan dengan demikian juga dapat memuaskan
kepentingan pemilik perusahaan. Kondisi seperti ini sekaligus
juga dapat menaikkan posisi tawar dari manajer terhadap pemilik
perusahaan. Selanjutnya, manajer yang kuat ini, akan lebih bisa
meyakinkan pemegang saham untuk memuaskan kepentingan
stakeholder.

Abdul Mongid & Saladin Ghalib


95
Model yang dikemukakan di atas secara ideal dapat menjamin
terlaksananya tata kelola perusahaan yang baik. Namun
demikian, pada tataran implementasinya, banyak perusahaan
yang memiliki implementasi GCG yang tergolong “lemah”.
Budiartini (2016), mengemukakan bahwa prinsip yang
kebanyakan dilanggar perusahaan adalah prinsip keterbukaan
(transparency) dan prinsip akuntabilitas (accountability), dan
bahkan sampai pada tindakan yang tergolong kriminal, seperti
perilaku illegal dalam penghindaran kewajiban membayar pajak
(tax avoidance).

Pembahasan tentang GCG sebenarnya tidak cuma menyangkut


tentang perusahaan dengan skala ekonomi yang besar. Kane
(2007) mengatakan bahwa GCG juga sebaiknya diterapkan
pada perusahaan dengan skala kecil dan menengah (Small and
Medium Enterprises/SME’s) yang banyak memiliki hubungan
saling ketergantungan dengan perusahaan skala besar.
Selanjutnya dinyatakan bahwa jika GCG tidak dikaitkan dengan
SME’s, implementasi GCG hanya akan menghasilkan “blunder”
yang merugikan. Pernyataan dari Kane tersebut juga didukung
oleh Maharaj (2011).

Keberadaan usaha kecil selayaknya mendapatkan perhatian


dari perusahaan besar yang menerapkan GCG. Melalui tata
hubungan yang baik perusahaan besar dapat menanamkan nilai
transparansi dan akuntabilitas bagi perusahaan kecil yang
memiliki hubungan bisnis. Dengan demikian, hubungan seperti
ini akan membantu peningkatan kinerja bisnis dari perusahaan
kecil dan menengah. Dengan kinerja yang tinggi tersebut
perusahaan kecil dan menengah akan memiliki kemampuan
yang tinggi dalam penyerapan tenaga karja, dan selanjutnya hal
ini akan menjadi sebuah solusi berkelanjutan bagi pengentasan
kemiskinan. Keskin and Senturk (2010) menyebut usaha kecil
dan menengah sebagai sumber dari pendapatan nasional dan
dapat merupakan sektor penting untuk pengembangan
kewirausahaan.

96 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


Berdasarkan data dari Kementerian Koperasi dan UKM, pada
akhir 2012 jumlah UKM di Indonesia mencapai 56.530.000 unit
usaha dan memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB) sebesar 59,08%. Dalam tahun yang sama 7%
diantaranya sudah dapat meningkatkan skala usahanya menjadi
usaha menengah. Berdasarkan data dari Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) pada tahun 2016 tercatat bahwa UKM
memberikan kontribusi sebesar 58,9% terhadap Produk
Domestik Bruto dan 97,3% dalam penyerapan tenaga kerja.

Dalam rentang waktu 2016-2017, jumlah UKM menjadi


62.922.617 dengan tingkat pertumbuhan sebesar 2,06% per
tahun. Bandingkan dengan perusahaan besar yang cuma
berjumlah 58.627 unit usaha dengan tingkat pertumbuhan
sebesar 1,67% per tahun. Dari sisi penyerapan tenaga kerja,
UKM dapat menampung sebanyak 116.673.416 tenaga kerja
dengan tingkat pertumbuhan sebesar 3,41% per tahun,
sedangkan perusahaan besar cuma menampung 3.546 tenaga
kerja dengan tingkat pertumbuhan sebesar 4,12% tahun. Dari
sisi sumbangsih terhadap PDB atas dasar harga konstan 2010,
sumbangsih dari UKM sebesar 57,8%, sedangkan usaha besar
cuma sebesar 42,92%. Jelas sekali bahwa keberadaan dan
pertumbuhan UKM merupakan sesuatu yang sangat penting
dalam pertumbuhan ekonomi nasional, terutama dalam hal
pengentasan ekonomi. UKM merupakan sebuah unit bisnis yang
memiliki kemampuan dalam menghadapi persaingan karena
sifat bisnisnya yang fleksibel, dinamis dan cukup inovatif.

Menyadari pentingnya UMKM tersebut pemerintah selayaknya


memberikan perhatian untuk menutup berbagai kelemahan yang
dimiliki oleh UKM, seperti ;

a) lemahnya akses untuk tambahan modal


b) kurangnya tenaga ahli
c) kurangnya akses informasi untuk memasuki dunia
persaingandipasar global

Abdul Mongid & Saladin Ghalib


97
d) Tidak adanya pemisahan yang jelas antara pemilik
usaha danmanajer dan bahkan pemilik usaha sekaligus
merangkap sebagai manajer

Edukasi UMKM

Bantuan yang sudah banyak diberikan pemerintah Indonesia


untuk pengembangan UKM tersebut antara lain adalah melalui
program pemberian kredit dengan tingkat bunga rendah,
pembinaan manajemen, bantuan promosi usaha ke pasar global
dan lain sebagainya. Namun demikian, hal yang lebih penting
adalah bagaimana agar UMKM tersebut dapat menerapkan
GCG demi pengembangan bisnisnya lebih lanjut. Corak (2016)
menyatakan beberapa alasan kenapa UKM harus
melaksanakan GCG, yaitu :

1) Perlunya perbaikan kinerja dan efisiensi


2) Perlunya peningkatan akses untuk mendapatkan
permodalan danmemperluas penjualan, dan
3) Perlunya membangun reputasi usaha di pasar dan
komunitas bisnis.
Partner (2010) menyatakan bahwa UKM melalui penerapan
GCG dapat menciptakan kerangka kerja perusahaan yang
berpusat pada perbaikan proses kerja dan sikap dari pekerja
yang akan memberikan nilai tambah dan reputasi bagi
perusahaan yang selanjutnya dapat menjamin kelangsungan
hidup perusahaan dalam jangka panjang. Perusahaan juga akan
lebih memiliki kemampuan dalam menghadapi dinamika dari
sistem ekonomi global.

Selanjutnya Partner merinci beberapa prinsip GCG yang


seharusnya diperhatikan dan dijalankan oleh UKM, yaitu:

1. Perusahaan harus memiliki kerangka tata kelola yang


baik. Untukperusahaan keluarga harus ada mekanisme

98 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


tata kelola keluarga yang mendorong munculnya
koordinasi diantara anggota keluarga.
2. Membentuk sebuah dewan yang bertanggung jawab
secarakolektif untuk kesuksesan usaha dalam jangka
panjang.
3. Adanya tanggung jawab yang jelas antara orang yang
bertanggungjawab dalam bidang manajemen dan
operasional.
4. Mendorong adanya suasana dialogis antara berbagai
pihak yangada dalam perusahaan.
5. Menggandeng stakeholder.
Penelitian yang dilakukan Sharif et.al (2018) terhadap
penerapan GCG pada UKM di Malaysia, dengan berdasar pada
persepsi dewan komisaris dan top manajemen, menyimpulkan
adanya 6 elemen yang harus diperhitungkan dan menentukan
terhadap pelaksanaan GCG pada UKM di Malaysia. Ke-enam
elemen tersebut adalah:

1. Masalah kepemilikan dan dewan komisaris.


2. Konflik kepentingan.
3. Perlakuan terhadap stakeholde.r
4. Praktek Pertanggungan jawab sosial.
5. Praktek Remunerasi.
6. Praktek transparansi.

Selanjutnya penelitian ini juga melaporkan bahwa keenam


aspek tersebut dapat dijalankan dengan cukup baik. Dube et.al
( 2011) mengemukakan beberapa aktivitas yang harus dilakukan
dan seharusnya ada dalam UKM yang melaksanakan GCG,
yaitu:

1. Penyiapan misi perusahaan.


2. Adanya kebijakan untuk mencapai pertumbuhan bisnis.
3. Adanya rencana suksesi di dalam perusahaan.

Abdul Mongid & Saladin Ghalib


99
4. Adanya struktur manajemen dan tingkat kualifikasi
profesional yangberhubungan dengan industri.
5. Adanya metode akunting dan keterbukaan pelaporan.
6. Hubungan yang harmonis dengan stakeholder dalam
bentukkesejahteraan dan kemakmuran.
7. Ketaatan pada hukum dan peraturan.
Hampir senada dengan Dube, Bundaleska. et.al (2011)
memberikan beberapa rekomendasi mengenai apa yang harus
ada pada UKM, yaitu: Pertama, manajer sebaiknya memiliki
gaya kepemimpinan yang reaktif terhadap berbagai tekanan
yang dihadapkan pada perusahaan dan sekaligus dapat
menularkan nilai kejujuran, integritas dan profesionalitas. Kedua,
memiliki kebijakan dan prosedur yang ketat, efisien dan
transparan. Ketiga, adanya manajemen yang baik, terutama
dalam hal rekruitmen, dan kebijakan renumerasi. Keempat,
memiliki departemen audit internal yang independen dan juga
external auditor yang independen. Kelima, memperhatikan
pentingnya transparansi dari semua aspek pekerjaan. Keenam,
perlunya mengembangkan sistem komunikasi, pelatihan dan
motivasi bagi semua anggota organisasi.

Semua pendapat yang dikemukakan di atas sebenarnya sudah


termuat di dalam 5 pilar GCG, yaitu: transparency,
accountability, responsibility, independence, dan fairness.
Banyak peneliti yang tertarik untuk meneliti tentang sejauh mana
kelima pilar atau prinsip dari GCG tersebut dapat diterapkan
pada UKM dan bagaimana pengaruhnya terhadap Kinerja
Usaha. Salah satu peneliti yang mempertanyakan hal tersebut
adalah Kurniawati et.al (2018) yang melakukan penelitian
terhadap UKM di Surabaya. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa prinsip akuntabilitas merupakan variabel yang paling
menentukan terhadap kinerja UKM, kemudian diikuti oleh
variabel responsibilitas, kemandirian dan keadilan.

Determinasi yang dominan dari variabel akuntabilitas tersebut


mengisyaratkan perlunya penerapan sistem kontrol di dalam

100 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


usaha, adanya kejelasan fungsi dan pembagian tugas dalam unit
usaha, adanya kejelasan dalam keamanan pekerja, renumerasi
pekerja (gaji) dan perhatian yang tinggi terhadap kualitas produk
yang dihasilkan. Hasil penelitian Kurniawaty ini sejajar dengan
penelitian yang dilakukan oleh Sucipto et. al (2014), tetapi
berbeda dengan temuan dari Hanifah (2015) yang menyatakan
bahwa masih banyak diperlukannya perbaikan dalam
pelaksanaan GCG pada UKM di Surabaya, seperti kurangnya
perhatian terhadap perkembangan peraturan, terutama yang
berhubungan dengan perdagangan bebas khususnya untuk
prinsip akuntabilitas dan transparansi masih terlihat sangat
lemah dan masih perlu dilakukan penguatan.

Ada beberapa hal yang perlu ada pada pemilik atau manajer dari
UKM, yaitu:

1. Adanya komitmen dari pemilik dan manajer UKM untuk


menerapkan prinsip dan nilai GCG (Commitment on
Governance).
Dalam hal ini peran dari pemerintah dalam melakukan
pembinaan terhadap pemilik dan manajer UKM sangat
diperlukan, sehingga mereka menjadi yakin akan perlunya GCG.
Selain pembinaan yang bersifat persuasif, pemerintah juga
dapat menggunakan regulasi untuk penerapan GCG pada
sektor UKM. Selain Pemerintah, usaha besar yang sudah
menerapkan GCG dengan baik seharusnya juga melakukan
pembinaan terhadap UKM yang memiliki hubungan bisnis
dengan perusahaannya. Perusahaan besar ini diharapkan dapat
melakukan penyebaran nilai-nilai GCG yang seharusnya dimiliki
oleh UKM, seperti penyebaran nilai dan etika standar yang harus
dimiliki oleh UKM dalam menjalankan bisnisnya. Sangat disadari
bahwa inisiasi nilai-nilai GCG pada UKM merupakan tantangan
yang sangat berat, karena karakteristik dari UKM yang sangat
sulit menerima hal-hal yang baru. Ini bersangkut paut dengan
tingkat pendidikan dari owner-manager yang masih belum
memadai dan masih lekatnya nilai-nilai tradisional dan sikap
Abdul Mongid & Saladin Ghalib
101
menolak terhadap perubahan (resistance to change) dari
sebagian besar pelaku UKM.

2. Adanya Tata-Perilaku Usaha (Code of Conduct)


Ini merupakan pedoman internal perusahaan yang berisikan
sistem nilai, etika bisnis, etika kerja, komitmen serta penegakan
peraturan perusahaan bagi setiap individu yang ada dalam
perusahaan dalam menjalankan aktivitas yang menjadi
tanggung jawabnya. Pedoman ini juga mengatur tentang
bagaimana setiap individu berinteraksi dengan stakeholder.
Pengelolaan perusahaan tidak dapat dilepaskan dari
aturanaturan main yang diterima dalam pergaulan sosial, baik
yang berhubungan dengan aturan hukum maupun aturan moral
dan etika.

Untuk tata perilaku usaha ini (Code of Conduct), diharapkan


peran dari perusahaan besar untuk melakukan pembinaan
terhadap UKM yang memiliki hubungan bisnis dengannya.
Penularan Code of Conduct yang dijalankan dalam perusahaan
besar hendaknya dapat ditularkan pada UKM yang memiliki
hubungan usaha dengan perusahaan besar.

3. Adanya Evaluasi terhadap tata perilaku yang telah


ditetapkan.Setiap pelanggaran yang dilakukan oleh
individu yang ada dalam struktur kewenangan haruslah
diberikan sanksi yang tegas dan tidak pandang bulu.
Selain itu perlu ditambahkan bahwa peran dari perusahaan
besar dalam membina UKM perlu didorong oleh pemerintah
secara regulatif, sebagai bagian dari tanggung jawab sosialnya
terhadap lingkungan sekitar.

Pemerintah seharusnya memberikan edukasi dan


pembinaanpembinaan kepada UKM agar mereka juga mau dan
mampu menerapkan GCG pada manajemen usahanya. Sebagai
rangsangan pemerintah juga sebaiknya memberikan insentif
bagi UKM yang sudah menerapkan GCG, misalnya kemudahan
102 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO
bagi UKM dalam mendapatkan pinjaman dengan bunga yang
rendah.

Begitu juga halnya dengan perusahaan besar, seharusnya juga


memberikan pembinaan dan insentif terhadap UKM yang
memiliki hubungan bisnis dengan perusahaannya, sehingga
UKM yang bersangkutan mau dan mampu menerapkan prinsip
GCG dalam usahanya.

Dengan penerapan prinsip GCG akan dapat mendorong


peningkatan kinerja UKM. Selanjutnya peningkatan kinerja UKM
tersebut akan memberikan pengaruh yang positif terhadap
variabel ekonomi makro seperti tingginya penyerapan tenaga
kerja, meningkatnya pendapatan nasional, makin meratanya
distribusi pendapatan dan tentu saja dapat mengurangi tingkat
kemiskinan yang ada di Indonesia.

Abdul Mongid & Saladin Ghalib


103
DAFTAR PUSTAKA

Geoff Trickey , 25 Nov 2010 , Recruitment is a risky


business: the eight types of risk takers, HRMAgazine

Aini, M., & Koesrindartoto, D. (2020). THE


DETERMINANTS OF SYSTEMIC RISK: EVIDENCE FROM
INDONESIAN COMMERCIAL BANKS. Buletin Ekonomi
Moneter Dan Perbankan, 23(1), 101 - 120.
https://doi.org/10.21098/bemp.v23i1.1084

Muharam, Harjum, and Erwin Erwin. "Measuring Systemic


Risk of Banking in Indonesia: Conditional Value at Risk Model
Application." Signifikan, vol. 6, no. 2, 2017, pp. 301-318.

Bicksler, J (2013) : The Value Of Good Corporate Governance<


retrieved from http://www,etf.com/publications/journal of
indexes/joi-articles/ 1546.html? no paging=1
Bundaleska, Dimitrova, Nikolovska (2011), Corporate
Governance and Small
& Medium Businesses, University American College,
Skopje, Macedonia, http://mpra.ub.uni-
muenchen.de/41971/MPRA paper
Byrd, M.J, Megginson (2009), Small Business Management; An
entrepreneur’s Guide Book, Mc-Graw Hill, Irwin
Corak, Kresimir (2016), Toward Better Corporate Governance In
Small and Medium Sized Enterprises, 14th International
Scientific Conference On Economies And Social
Development, Belgrade, Serbia.

Dube, I ( 2011), Corporate Governance Norms For SME, Journal


Of Public Administration And Governance, Vol.1, No.2
Hanifah 92015), The Implementation of Good Corporate
Governance In Efforts To Increase Profit in Small Medium
Enterprises (SME’s), International Journal Of Business,
EEconmicsAnd Law, Vol.7 (3).

104 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


Kane, D ((2007), The Real Value Of Corporate Governance,
Business Review.
Keskin and Senturk (2010), The Importance Of Small and
Medium sized Enterpises In Economies, SWOT Analysis
Of The SME Sectors In Turkey And Albania, Nigde
Universitise IBF, Dergisi.
Keyes, C (2014), Legal update: The Top 5 Corporate
Governance Best Practices That Benefit Every Company
, Retrieved From http://
www.mcinnescooper.com/publications/legal updatethe
top 5 Corporate Governance.
Kurniawaty, Purnama Sari, Kartika (2018), Development Of
Good SME Governance In Indonesia: An Empirical Study
Of Surabaya, International Journal Of Economics And
Management.
Maharaj, A (2011), Corporate Governance And Small Business,
Retrieved
From http://www.corporate
secretary.com/articles,/boradrooms/ 11483/corporate
governance-sm.
Partner, A.J 92010) ; Corporate Governance For Small To
Medium Enterprises, retrieved from
http;//www.swarb.com.an/publications/ corporate
Governance for SME’s.
Sarah, Redebe.M (2017), The Benefit of Good Corporate
Governance To Small And Medium Enterprises (SME’s)
In South Africa; A View On Top 20 And Bottom 20 JSE
Lited Companies, Business Perspectives.
Sun, L (2016), Wht Is Corporate Governance Important?,
Retrieved From http://www. business
dictionary.com/articles/618/why is corporate Governance
is important.
Sharif, Nurhzani Mohd (2018) , Corporate Governance Practice
For Tourism Small And Medium Sized Enterprises In
Malaysia, International
Abdul Mongid & Saladin Ghalib
105
Journal Of Advanced And Applied Sciences, 5(1)

106 MEMBANGUN BUDAYA SADAR RISIKO


PENULIS

Abdul Mongid saat ini Mengajar pada Universitas Hayam Wuruk


Perbanas Surabaya. Selain mengajar mahasiswa, kegiatan
beliau adalah trainer manajemen risiko dan narasumber pada
berbagai seminar ekonomi dan bisnis. Penelitian yang dilakukan
khususnya pada area perbankan dan manajemen usaha kecil.
Publikasinya tersebar di berbagai jurnal internasional. Saat ini
focus penelitiannya adalah manajemen risiko dan tata kelola
bank.

Saladin Ghalib adalah dosen pada Fakultas Ilmu Sosial dan


Ilmu Politik Universitas Lambung Mangkurat. Saat ini beliau
mengajar mata kuliah Pemodelan Bisnis, Good Corporate
Governance Dan Komunikasi Organisasi Bisnis. Beliau banyak
melakukan penelitian terkait dengan bisnis, GCG dan UMKM dan
mempublikasikan banyak Paper terkait dengan topik diatas pada
jurnal internasional. Selain mengajar mahasiswa, beliau juga
aktif memberikan ceramah bisnis kepada para pengusaha
maupun pejabat pemerintah terutama terkait dengan bagaimana
mendorong perkembangan UMKM yang maju dan sehat.

Abdul Mongid & Saladin Ghalib


107

Anda mungkin juga menyukai