Anda di halaman 1dari 23

Jawaban UTS Program Pasca Sarjana/S2 PAI Smt 1

Nama : MINDANIGSIH

NPM : 2010632030026

Jawaban Soal 1 :

1. Pengertian Filsafat pendidikan Islam

Filsafat pendidikan Islam secara singkat dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan yang
berdasarkan ajaran Islam atau filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam, jadi ia
bukan filsafat yang bercorak liberal, bebas, tanpa batas etika sebagaimana dijumpai dalam
pemikiran filsafat pada umumnya.

Kegunaan Filsafat Pendidikan Islam

Prof. Mohammad Athiyah Abrosyi dalam kajiannya tentang pendidikan Islam telah
menyimpulkan 5 tujuan yang asasi bagi pendidikan Islam yang diuraikan dalam “ At
Tarbiyah Al Islamiyah Wa Falsafatuha “ yaitu :

1. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. Islam menetapkan bahwa pendidikan
akhlak adalah jiwa pendidikan Islam.
2. Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Pendidikan Islam tidak hanya
menaruh perhatian pada segi keagamaan saja dan tidak hanya dari segi keduniaan saja, tetapi
dia menaruh perhatian kepada keduanya sekaligus.
3. Menumbuhkan ruh ilmiah pada pelajaran dan memuaskan untuk mengetahui dan
memungkinkan ia mengkaji ilmu bukan sekedar sebagai ilmu. Dan juga agar menumbuhkan
minat pada sains, sastra, kesenian, dalam berbagai jenisnya.
4. Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis, dan perusahaan supaya ia dapat mengusai
profesi tertentu, teknis tertentu dan perusahaan tertentu, supaya dapat ia mencari rezeki dalam
hidup dengan mulia di samping memelihara dari segi kerohanian dan keagamaan.
5. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. Pendidikan Islam
tidaklah semuanya bersifat agama atau akhlak, atau sprituil semata-mata, tetapi menaruh
perhatian pada segi-segi kemanfaatan pada tujuan-tujuan, kurikulum, dan aktivitasnya. Tidak
lah tercapai kesempurnaan manusia tanpa memadukan antara agama dan ilmu pengetahuan.

 
Jawaban Soal 2 :

Dalam dunia keislaman, ajaran filsafat pendidikan Islam lah yang berperan sebagai pondasi
atau dasar proses pembelajaran yang akan di aplikasikan. Jika pendidikan menjadi dasar
pelaksanaan tercapainya suatu tujuan, maka fungsi dari filsafat pendidikan Islam pedoman
atau acuan untuk pembelajaran itu sendiri. 
Ilmu Filsafat berfungsi mengarahkan teori pendidikan yang telah dikembangkan oleh ahlinya,
menurut pandangan yang mempunyai hubungan dengan kehidupan nyata. Artinya
mengarahkan teori yang telah dikembangkan para ahli, agar bisa terealisasikan pada praktik
pendidikan sesuai dengan kebutuhan yang sedang berkembang dalam masyarakat. Perlu
diketahui bahwa baik ilmu filsafat maupun filsafat pendidikan, pasti bertujuan memberi
petunjuk dalam pengembangan teori pendidikan menjadi ilmu pendidikan. Praktek
pendidikan yang dilandaskan pendidikan filsafat tertentu, akan menghasilkan bentuk
pendidikan tertentu pula.

Jika ada hubungan, pasti terdapat perbedaan antara Filsafat Pendidikan, Teori, dan Praktek
Pendidikan. Perbedaan tersebut ada karena metode, objek, sistematika Filsafat Pendidikan
dan Teori Pendidikan berbeda. Dapat disimpulkan bahwa sesuatu tetap akan memiliki
perbedaan meskipun hubungan nya begitu erat.

Jawaban Soal 3 :

Tujuan Hidup Manusia Menurut Islam


Jika kita diciptakan oleh Pencipta, maka pastilah Pencipta itu pasti memiliki alasan, tujuan,
dalam menciptakan kita. Karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui tujuan Tuhan bagi
keberadaan kita.

Islam adalah respons terhadap pencarian manusia akan makna. Tujuan penciptaan bagi semua
pria dan wanita selama ini adalah: untuk mengenal dan menyembah Tuhan.

Al-Quran mengajarkan kita bahwa setiap manusia dilahirkan sadar akan Tuhan:

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka
dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman),

"Bukankah Aku ini Tuhan kalian?” Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi.”(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kalian tidak
mengatakan, "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(kekuasaan Tuhan), atau agar kalian tidak mengatakan, 'Sesungguhnya orang tua-orang tua
kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedangkan kami ini adalah anak-anak
keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami
karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu'?” (Quran 7: 172-173)
Nabi Islam mengajarkan kepada kita bahwa Tuhan menciptakan kebutuhan primordial ini
dalam kodrat manusia pada saat Adam diciptakan. Tuhan mengambil perjanjian dari Adam
ketika Dia menciptakannya.

Tuhan mengekstraksi semua keturunan Adam yang belum dilahirkan, generasi demi generasi,
menyebarkan mereka, dan mengambil perjanjian dari mereka.
Dia berbicara langsung kepada jiwa mereka, membuat mereka bersaksi bahwa Dia adalah
Tuhan mereka. Karena Tuhan membuat semua manusia bersumpah demi Tuhan ketika Dia
menciptakan Adam, sumpah ini tercetak pada jiwa manusia bahkan sebelum ia memasuki
janin, sehingga seorang anak dilahirkan dengan keyakinan alamiah tentang Keesaan Tuhan.

Tujuan Hidup Manusia


Tentang tujuan hidup manusia, al-Quran al-Karim telah memaparkannya dengan sangat jelas.
Allah Taala berfirman:

“Dan mereka tidaklah disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat serta menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. al-
Bayyinah: 5)
Menurut Ibrahim Bafadhol, dalam konteks hubungan dengan Rabb-nya manusia adalah
hamba Allah. Sedangkan dalam konteks hubungan dengan alam semesta (kaun) ia adalah
khalifah.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan hidup manusia adalah menunaikan
penghambaan dan pengabdian –dalam makna yang luas- kepada Allah Ta'ala. Sedangkan
perannya di muka bumi adalah sebagai khalifah (pemimpin) di alam semesta ini.

Manusia diciptakan Allah untuk suatu tujuan yang besar dan misi yang penting yaitu
beribadah kepada Allah Ta'ala semata.

Pengertian ibadah sangatlah luas dan tidak hanya terbatas pada ritual-ritual khusus semata.
Semua aktivitas manusia yang dilakukan dalam rangka mewujudkan ketaatan kepada Allah
Ta'ala dan sejalan dengan ridha Allah maka ia termasuk ibadah.

Ibadah dijelaskan sebagai segala sesuatu dalam Islam yang dilakukan seseorang untuk cinta
dan kesenangan Allah. Ini sama sekali tergantung pada tindakan yang benar atau tidak benar
dari seseorang yang mencakup poin-poin kekuatan berikut:

 Keyakinan agama

 Kegiatan sosial

 Kontribusi untuk kesejahteraan masyarakat dan sesama manusia.


Jawaban Soal 4:

Berpikir
Filsafat, bukan sekedar merupakan mata kuliah. Filsafat adalah suatu tindakan, suatu
aktivitas. Filsafat adalah aktivitas untuk berpikir secara mendalam tentang pertanyaan-
pertanyaan besar dalam hidup manusia (apa tujuan hidup, apakah Tuhan ada, bagaimana
menata organisasi dan masyarakat, serta bagaimana hidup yang baik), dan mencoba
menjawabnya secara rasional, kritis, dan sistematis.

Untuk catatan, filsafat sudah ada lebih dari 2000 tahun, dan belum bisa (tidak akan pernah
bisa) memberikan jawaban yang pasti dan mutlak, karena filsafat tidak memberikan jawaban
mutlak, melainkan menawarkan alternatif cara berpikir.

Ketika belajar filsafat, anda akan berjumpa dengan pemikiran para filsuf besar sepanjang
sejarah manusia. Sebut saja nama-nama pemikir besar itu, seperti Plato, Aristoteles,
Immanuel Kant, Thomas Aquinas, dan Jacques Derrida. Pemikiran mereka telah membentuk
dunia, sebagaimana kita pahami sekarang ini.

Beberapa mata kuliah yang diajarkan adalah filsafat moral, filsafat ilmu pengetahuan, filsafat
budaya, filsafat politik, filsafat sejarah, logika, eksistensialisme, dan sebagainya. Anda juga
akan diajak memikirkan soal keadilan global, teori-teori demokrasi, dan etika biomedis.
Untuk para profesional, filsafat juga amat berguna untuk memperluas wawasan berpikir.

Kemampuan-kemampuan Penting
Dengan belajar filsafat, mendapatkan beberapa ketrampilan berikut; memikirkan suatu
masalah secara mendalam dan kritis, membentuk argumen dalam bentuk lisan maupun tulisan
secara sistematis dan kritis, mengkomunikasikan ide secara efektif, dan mampu berpikir
secara logis dalam menangani masalah-masalah kehidupan yang selalu tak terduga.

            Dengan belajar filsafat,dilatih menjadi manusia yang utuh, yakni yang mampu
berpikir mendalam, rasional, komunikatif. Apapun profesi anda, kemampuan-kemampuan ini
amat dibutuhkan. Di sisi lain, dengan belajar filsafat, anda juga akan memiliki pengetahuan
yang luas, yang merentang lebih dari 2000 tahun sejarah manusia.
Kemampuan berpikir logis dan abstrak, kemampuan untuk membentuk argumen secara
rasional dan kritis, serta kemampuan untuk menyampaikan ide secara efektif, kritis, dan
rasional, akan membuat anda mampu berkarya di berbagai bidang, mulai dari bidang
informasi-komunikasi, jurnalistik, penerbitan, konsultan, pendidikan, agamawan, ataupun
menjadi wirausaha.

Para pengacara, praktisi hukum, praktisi pendidikan, pemuka agama, maupun praktisi bisnis
akan mendapatkan wawasan yang amat luas, yang amat berguna untuk mengembangkan diri
dan profesi mereka. Jika anda sungguh ingin mendalami filsafat, anda bisa melanjutkan studi
sampai pada level master dan doktoral, dan kemudian mengajar di bidang filsafat.
Kemampuan-kemampuan Khusus
Dengan belajar filsafat, akan mampu melihat masalah dari berbagai sisi, berpikir kreatif,
kritis, dan independen, mampu mengatur waktu dan diri, serta mampu berpikir fleksibel di
dalam menata hidup yang terus berubah.

Filsafat mengajak untuk memahami dan mempertanyakan ide-ide tentang kehidupan, tentang
nilai-nilai hidup, dan tentang pengalaman kita sebagai manusia. Berbagai konsep yang akrab
dengan hidup kita, seperti tentang kebenaran, akal budi, dan keberadaan kita sebagai
manusia, juga dibahas dengan kritis, rasional, serta mendalam.

Filsafat itu bersifat terbuka. Sekali lagi, filsafat tidak memberikan jawaban mutlak yang
berlaku sepanjang masa. Filsafat menggugat, mempertanyakan, dan mengubah dirinya
sendiri. Ini semua sesuai dengan semangat pendidikan yang sejati.

Filsafat mengajarkan kita untuk melakukan analisis, dan mengemukakan ide dengan jelas
serta rasional. Filsafat mengajarkan kita untuk mengembangkan serta mempertahankan
pendapat secara sehat, bukan dengan kekuatan otot, atau kekuatan otoritas politik semata.

Filsafat adalah komponen penting kepemimpinan. Dengan belajar berpikir secara logis,
seimbang, kritis, sistematis, dan komunikatif, anda akan menjadi seorang pemimpin ideal,
yang amat dibutuhkan oleh berbagai bidang di Indonesia sekarang ini

Jawaban Soal 5 :

      A.    ALIRAN FILSAFAT IDEALISME


1.      Defenisi Aliran Filsafat Idealisme
Idealisme termasuk aliran filsafat pada abad modern. Idealisme berasal dari bahasa
Inggris yaitu Idealism dan kadang juga dipakai istilahnya mentalism atau imaterialisme.
Istilah ini pertama kali digunakan secara filosofis oleh Leibnez pada mula awal abad ke-
18. Idealisme diambil dari kata ide yakni sesuatu yang hadir dalam jiwa. Idealisme dapat
diartikan sebagai suatu paham atau aliran yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya
dapat dipahami dalam kaitannya dengan jiwa dan roh.
Beberapa pengertian Idealisme :
a.         Adanya suatu teori bahwa alam semesta beserta isinya adalah suatu   penjelmaan pikiran. 
b.         Untuk menyakan eksistensi realitas, tergantung pada suatu pikiran dan aktivitas-aktivitas
pikiran.
c.        Realitas dijelaskan berkenaan dengan gejala-gejala psikis seperti pikiran-pikiran, diri, roh,
ide-ide, pemikiran mutlak dan lain sebagainya dan bukan berkenaan dengan materi.
d.        Seluruh realitas sangat bersifat mental (spiritual, psikis). Materi dalam bentuk  fisik tidak
ada.
e.      Hanya ada aktivitas berjenis pikiran dan isi pikiran yang ada. Dunia eksternal tidak bersifat
fisik.
Inti dari Idealisme adalah suatu penekanan pada realitas ide gagasan, pemikiran, akal-
pikir atau kedirian daripada sebagai suatu penekanan pada objek-objek dan daya-daya
material. Idealisme menekankan akal pikir sebagai hal dasar atau lebih dulu ada bagi materi
dan bahkan menganggap bahwa akal pikir adalah sesuatu yang nyata, sedangkan materi
adalah akibat yang ditimbulkan oleh akal-pikir atau jiwa (mind). Hal itu sangat berlawanan
dengan materialisme yang berpendapat bahwa materi adalah nyata ada,  sedangkan akal-pikir
(mind) adalah sebuah fenomena pengiring.
Filsafat idealisme memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi, bukan
fisik. Pengetahuan yang diperoleh melaui panca indera adalah tidak pasti dan tidak lengkap.
Aliran ini memandang nilai adalah tetap dan tidak berubah, seperti apa yang dikatakan baik,
benar, cantik, buruk secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Pada
hakikatnya nilai itu tetap. Nilai tidak diciptakan manusia, melainkan merupakan bagian dari
alam semesta.
2.      Implikasi Aliran Filsafat Idealisme
Implikasi filsafat idealisme dalam pendidikan adalah sebagai berikut :
a.         Tujuan, untuk membentuk karakter, mengembangkan bakat atau kemampuan dasar, serta
kebaikan sosial.
b.         Kurikulum, pendidikan liberal untuk pengembangan kemampuan dan pendidikan praktis
untuk memperoleh pekerjaan.
c.         Metode, diutamakan metode dialektika (saling mengaitkan ilmu yang satu dengan yang
lain), tetapi metode lain yang efektif dapat dimanfaatkan.
d.        Peserta didik bebas untuk mengembangkan kepribadian, bakat dan kemampuan dasarnya.
e.         Pendidik bertanggungjawab dalam menciptakan lingkungan pendidikan melalui kerja
sama dengan alam.

3.      Hubungan Aliran Filsafat Idealisme dalam Pendidikan


Aliran idealisme terbukti cukup banyak  berpengaruh dalam dunia pendidikan.
William T. Harris adalah salah satu tokoh aliran pendidikan idealisme yang sangat
berpengaruh di Amerika Serikat. Idealisme terpusat tentang keberadaan sekolah. Aliran inilah
satu-satunya yang melakukan oposisi secara fundamental terhadap naturalisme.
Pendidikan harus terus eksis sebagai lembaga untuk proses pemasyarakatan manusia sebagai
kebutuhan spiritual, dan tidak sekedar kebutuhan alam semata.
Bagi aliran idealisme, peserta didik merupakan pribadi tersendiri, sebagai makhluk
spiritual. Guru yang menganut paham idealisme biasanya berkeyakinan bahwa spiritual
merupakan suatu kenyataan, mereka tidak melihat murid sebagai apa adanya, tanpa adanya
spiritual.
Sejak idealisme sebagai aliran filsafat pendidikan menjadi keyakinan bahwa realitas
adalah pribadi, maka mulai saat itu dipahami tentang perlunya pengajaran secara individual.
Pola pendidikan yang diajarkan filsafat idealisme berpusat dari idealisme. Pengajaran tidak
sepenuhnya berpusat dari anak atau materi pelajaran, juga bukan masyarakat tapi idealisme.
Maka tujuan pendidikan menurut aliran idealisme terbagi atas tiga hal, tujuan untuk
individual, masyarakat, dan campuran antara keduanya.
Pendidikan idealisme untuk individual antara lain bertujuan agar anak didik bisa
menjadi kaya dan memiliki kehidupan yang bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis,
dan pada akhirnya diharapkan mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik.
Sedangkan tujuan pendidikan idealisme bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan
antar manusia. Sedangkan tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara tujuan
individual dengan sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang berkaitan
dengan Tuhan.
Guru dalam sistem pengajaran menurut aliran idealisme berfungsi sebagai :
a.       Guru adalah personifikasi dari kenyataan anak didik. Artinya, guru merupakan wahana
atau fasilitator yang akan mengantarkan anak didik dalam mengenal dunianya lewat materi-
materi dalam aktifitas pembelajaran. Untuk itu, penting bagi guru memahami kondisi peserta
didik dari berbagai sudut, baik mental, fisik, tingkat kecerdasan dan lain sebagainya.
b.      Guru harus seorang spesialis dalam suatu ilmu pengetahuan dari siswa. Artinya, seorang
guru itu harus mempunyai pengetahuan yang lebih dari pada anak didik.
c.       Guru haruslah menguasai teknik mengajar secara baik. Artinya, seorang guru harus
mempunyai potensi pedagogik yaitu kemampuan untuk mengembangkan suatu model
pembelajaran, baik dari segi materi dan yang lainnya.
d.      Guru haruslah menjadi pribadi yang baik, sehingga disegani oleh murid. Artinya, seorang
guru harus mempunyai potensi kepribadian yaitu karakter dan kewibawaan yang berbeda
dengan guru yang lain.
e.       Guru menjadi teman dari para muridnya. Artinya, seorang guru harus mempunyai potensi
sosial yaitu kemampuan dalam hal berinteraksi dengan anak didik.
f.       Kurikulum yang digunakan dalam pendidikan yang beraliran idealisme harus lebih
memfokuskan pada isi yang objektif. Pengalaman haruslah lebih banyak daripada pengajaran
yang textbook. Agar pengetahuan dan pengalamannya aktual.

B.     ALIRAN FILSAFAT REALISME


1.      Defenisi Aliran Filsafat Realisme
Memasuki abad ke-20, realisme muncul. Real berarti yang aktual atau yang ada, kata
tersebut menunjuk kepada benda-benda atau kejadian-kejadian yang sungguh-sungguh,
artinya yang bukan sekadar khayalan atau apa yang ada dalam pikiran. Real menunjukkan
apa yang ada. Pada dasarnya realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara
dualitis. Realisme berbeda dengan materialisme dan idealisme yang bersifat monistis.
Realisme berpendapat bahwa hakikat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia rahani.
Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subyek yang menyadari dan
mengetahui disatu pihak, dan dipihak lainnya adalah adanya realita diluar manusia, yang
dapat dijadikan sebagai objek pengetahuan manusia. Implikasinya Realisme dalam
pendidikan adalah kebutuhan dasar dan hak yang mendasar bagi manusia dan kewajiban
penting bagi semua masyarakat untuk memastikan bahwa semua anak-anak dilahirkan
dengan pendidikan yang baik.
Sebagai aliran filsafat, realisme berpendirian bahwa yang ada yang ditangkap
pancaindra dan yang konsepnya ada dalam budi itu memang nyata ada. Contoh : Batu yang
tersandung di jalan yang baru dialami memang ada. Bunga mawar yang bau harumnya
merangsang hidung sungguh-sungguh nyata ada bertengger pada ranting pohonnya di taman
bunga. Kucing yang dilihat mencuri lauk di atas meja makan betul-betul ada dan hidup dalam
rumah keluarga itu.
Adanya benda tetumbuhan, makhluk hidup, dan manusia itu lengkap. Mereka tidak
hanya ada dalam bayangan dan budi sebagai esensia atau hakikat yang abstrak, tetapi lengkap
dengan eksistensia atau keberadaan mereka masing-masing. Contoh : Batu yang tersandung
waktu orang melintas di jalan bukan hanya bayangan dan konsep ”kebatuan”, tetapi memang
ada, dapat disentuh, menyembul keluar di badan jalan. Kucing yang mencuri lauk bukan
hanya bayangan dan konsep ”kekucingan”, tetapi betul-betul ada dan bila dipegang memang
mencakar
Jadi, yang ada dan dialami oleh pancaindra dan dimengerti oleh budi itu tak dapat
diragukan memang ada; dengan lingkup dan esensia dan eksistensianya, dengan hakikat dan
keberadaannya, dan merupakan makhluk yang ada dan hidup. Karena hanya bila berupa
bayangan, konsep, esensianya saja, bagaimana batu dapat disandungi, bunga mawar dapat
dicium baunya, kucing dapat kelihatan waktu mencuri lauk?

2.       Implikasi Aliran Filsafat Realisme


Power (1982) mengemukakan implikasi pendidikan realisme sebagai berikut :
a.    Tujuan Pendidikan, untuk Penyesuaian hidup dan tanggung jawab sosial
b.    Kedudukan siswa        , Dalam hal pelajaran, menguasai pengetahuan yang handal, dapat
dipercaya. Dalam hal disiplin, peraturan yang baik adalah esensial untuk belajar. Disiplin
mental dan moral dibutuhkan untuk memperoleh hasil yang baik.
c.    Peranan guru, Menguasai pengetahuan, terampil dalam teknik mengajar, dan dengan keras
menuntut prestasi dari siswa
d.   Kurikulum, Kurikulum komprehensif mencakup semua pengetahuan yang berguna.
Berisikan pengetahuan liberal dan pengetahuan praktis.
e.    Metode, Belajar tergantung pada pengalaman, baik langsung atau tidak langsung. Metode
penyampaian harus logis dan psikologis. Metode Conditioning (SR) merupakan metode
utama bagi realisme sebagai pengikut behaviorisme.
3.       Hubungan Aliran  Realisme dan Pendidikan
Pendidikan dalam realisme memiliki keterkaitan erat dengan pandangan john locke
bahwa akal-pikiran jiwa manusia tidak lain adalah tabularasa, ruang kosong tak ubahnya
kertas putih kemudian menerima impresi dari lingkungan. Oleh karena itu, pendidikan
dipandang dibutuhkan karena untuk membentuk setiap individu agar mereka menjadi sesuai
dengan apa yang dipandang baik. Dengan demikian, pendidikan dalam realisme kerap
diidentikkan sebagai  sebagi upaya pelaksanaan psikologi behaviorisme ke dalam ruang
pengajaran.
Murid adalah sosok yang mengalami inferiorisasi secara berlebih sebab ia dipandang
sama sekali tidak mengetahui apapun kecuali apa-apa yang telah pendidikan berikan. Di sini
dalam pengajaran setiap siswa akan subjek didik tak berbeda dengan robot. Ia mesti tunduk
dan takluk sepatuh-patunya untuk diprogram dan mengerti materi-materi yang telah
ditetapkan sedemikian rupa.
Pada ujung pendidikan, realisme memiliki proyeksi ketika manusia akan dibentuk
untuk hidup dalam nilai-nilai yang telah menjadi common sense sehingga mereka mampu
beradaptasi dengan lingkungan-lingkungan yang ada. Sisi buruk pendidikan model ini
kemudian cenderung lebih banyak dikendalikan skeptisisme positivistik, ketika mereka dalam
hal apa pun akan meminta bukti dalam bentuk-bentuk yang bisa didemonstrasikan secara
indrawi.
Realisme memiliki pula jasa bagi perkembangan dunia pendidikan. Salah satunya
adalah dengan temuan gagasan Crezh, salah seorang pendidik di Mosenius pada abad ke-17
dengan karya Orbic Pictus-nya. Pada periode itu, temuan Orbic Pictus sempat mengejutkan
dunia pendidikan dan dipandang sebagai gagasan baru. Ini disebabkan oleh paling tidak ada
periode tersebut belum ada satupun yang memiliki pemikiran untuk memasukkan alat bantu
visual separti gambar-gambar perlu digunakan dalam pengjaran anak, terutama dalam
mempelajari bahasa.
Diabad selanjutnya, yaitu ke-18 menjelang abad 19, gagasan Moravi ini menginspirasi
seorang pestalozzi. Ia menghadirkan objek-objek peraga fisik dalam ruang pengajaran di
dalam kelas.
Corak lain pendidikan realisme adalah tekanan-tekanan hidup yang terarah kedalam
pengaturan-pengaturan serta keteraturan yang bersifat mekanistik. Meskipun tidak semua
pengaturan yang bersifat mekanistik buruk, apa yang diterapkan realisme dalam ruang
pendidikan melahirkan berbagai hal yang kemudian menuai banyak kecaman sebab telah
menjadi penyebab berbagai dehumanisasi.

Jawaban Soal 6 :

RELASI FILSAFAT, ILMU DAN AGAMA

Antara Filsafat, Ilmu dan Agama

Antara filsafat dan ilmu memiliki tujuan yang sama, yaitu mencari kebenaran. Dari aspek
sumber, filsafat dan ilmu memiliki sumber yang sama, yaitu akal atau rasio. Karena akal
manusia terbatas, yang tak mampu menjelajah wilayah yang metafisik, maka kebenaran
filsafat dan ilmu dianggap relatif, nisbi. Sementara agama bersumber dari wahyu, yang
kebenarannya dianggap absolut, mutlak·. Dari aspek objek, filsafat memiliki objek kajian
yang lebih luas dari ilmu. Jika ilmu hanya menjangkau wilayah fisik (alam dan manusia),
maka filsafat menjangkau wilayah bail fisik maupun yang metafisik (Tuhan, alam dan
manusia). Tetapi jangkauan wilayah metafisik filsafat (sesuai wataknya yang rasional-
spikulatif)  membuatnya tidak bisa disebut absolut kebenarannya. Sementara agama (baca:
agama wahyu) dengan ajaran-ajarannya yang terkandung dalam kitab suci Tuhan,  diyakini
sebagai memiliki kebenaran mutlak. Agama dimulai dari percaya (iman), sementara filsafat
dan ilmu dimulai dari keraguan. Ilmu, filsafat dan agama memiliki keterkaitan dan saling
menunjang bagi manusia. Keterkaitan itu terletak pada tiga potensi utama yang diberikan
oleh Tuhan kepada manusia, yaitu akal, budi dan rasa serta keyakinan. Melalui ketiga potensi
tersebut manusia akan memperoleh kebahagiaan yang sebenarnya. Dalam konteks studi
agama, manusia perlu menggunakan pendekatan secara utuh dan komperehensif.
Ada dua pendekatan dalam studi agama secara komperehensif tersebut,
yaitu: Pertama, pendekatan rasional-spikulatif. Pendekatan ini adalah pendekata filsafat
(philosophical approach), misalnya pendekatan studi agama terhadap teks-teks yang terkait
dengan masalah eskatologis-metafisik, epistemologi, etika dan
estetika; kedua, pendekatan rasional-empirik. Pendekatan ini adalah pendekatan ilmu
(scientific approach), misalnya pendekatan studi agama terhadap teks-teks yang terkait
dengan sunnatullah (ayat-ayat kauniyah), teks-teks hukum yang bersifat perintah dan
larangan dan sejarah masa lampau umat manusia. Agama memerintahkan manusia untuk
mempelajari alam, menggali hukum-hukumnya agar manusia hidup secara alamiah sesuai
dengan tujuan dan asas moral  yang diridhai  Tuhan. Ilmu sebagai alat harus diarahkan oleh
agama, supaya memperoleh kebaikan dan kebahagiaan, sebaliknya ilmu tanpa agama, maka
akan membawa bencana dan kesengsaraan. Maka benar kata Einstein, science without
religion is blind, religion without science is lame. Secara rinci Franz Magnis Suseso
(1991:20) menjelaskan, bahwa filsafat membantu agama dalam empat hal: pertama, filsafat
dapat menginterpretasikan teks-teks sucinya secara objektif;  kedua, filsafat membantu
memberikan metode-metode pemikiran bagi teologi; ketiga, filsafat membantu agama dalam
menghadapi problema dan tantangan zaman, misalnya soal hubungan IPTEK dengan
agama; keempat, filsafat membantu agama dalam menghadapi tantangan ideologi-ideologi
baru.  

Filsafat Agama Atau Filsafat Ilmu Agama

Islam memiliki sistem ajaran. Sistem ajaran inilah yang kemudian menjadi sangat luas
cakupannya. Ada ajaran tentang akidah, ajaran tentang syari’ah dan ajaran tentang akhlak
(etika). Tiga aspek ajaran dalam Islam itu masing-masing memiliki perspektif bangunan
keilmuannya. Dari ajaran akidah memunculkan Ilmu Kalam, dari ajaran syari’ah
memunculkan Ilmu Fiqh dan dari ajaran akhlak memunculkan Ilmu Akhlak (Etika). Dari
sudut ini, maka jika term Filsafat Ilmu Agama ini dapat digunakan (sebagai sesuatu yang
lazim), maka yang dimaksud adalah Filsafat tentang Ilmu Agama, seperti  Filsafat
Teologi (Filsafat Kalam), Filsafat Hukum Islam (Fiqh), Filsafat Pendidikan Islam dan
seterusnya. Apa yang ditulis oleh Harun Nasution dalam karyanya, Falsafat Agama,* (Lihat,
Harun Nasution, Falsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1973), sesungguhnya juga
berisikan filsafat tentang Tuhan dan Manusia dalam perspektif Islam. Dalam konteks ini,
maka Filsafat Agama yang ditulis oleh Harun lebih tepat disebut dengan  Filsafat Teologi
Islam (Filsafat Kalam), atau Filsafat Islam.     Keilmuan Islami Bagaimana dengan
keilmuan islami? Keilmuan islami adalah, paradigma keilmuan yang dibangun atas landasan
Islam.. Filsafat islami dengan demikian adalah, filsafat yang berorientasi pada penyelidikan
alam melalui pemikiran rasional untuk menemukan kebenaran Ilahi. Atau, cara berpikir
rasional-radikal terhadap ayat-ayat Allah, baik ayat-ayat yang
bersifat kauniyah maupun qauliyah. Sedangkan ilmu islami adalah, ilmu yang diorientasikan
pada penyelidikan alam melalui jalan inderawi dan eksperimen. Karena agama adalah
kebenaran, sementara filsafat dan ilmu adalah pencari kebenaran, maka keduanya (filsafat
dan ilmu) harus mencari kebenaran agama tersebut. Dalam pengertian lain, akal dan indera
harus menggali sedalam-dalamnya terhadap fenomena alam untuk menemukan kebenaran
Ilahi tersebut, karena Al-Haqqu min Rabbika fala takunanna min al-mumtarin. Dengan
demikian, paradigma keilmuan islami bertujuan mencetak manusia ulul albab  yang selalu
membenarkan penciptaan alam semesta yang diciptakan oleh Allah swt. (Rabbana ma
khalaqta haza bathila….). Inilah manusia yang mukmin sekaligus muslim (At-tashdiq bil-
qalbi wat-taqrir bil-lisan wal-amal bil-jawari) yang selalu mendapat hikmah (limpahan
kebaikan) dari Allah swt (Yu'til-hikmata man yasya' wa man yu'til-hikmata faqad utiya
khairan katsira).  

Jawaban Soal 7:

3.     Pemikiran Filsafat Al-Ghazali

a.         Metafisika

Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama


karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan
bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti
mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.

Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai
ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para
filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah
mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.

Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan
akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat
secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf.
Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para
filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang
hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat)
yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali tetap memberikan
kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan matematika.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran tentang filsafat metafisika
yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya para filosof
dinyatakan kafir. Hal ini akan lebih dijelaskan dalam bagian selanjutnya.

b.          Iradat Tuhan

Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari
iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah
yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak
merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang
masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah
yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.

Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan
itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam
pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi
kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala
kejadian.

Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan akibat
(hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu
peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan
dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak mesti
terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat
(kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena
kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi
Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali
dengan menghilangkan sifat membakar dari api ituatau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim
menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.

c.         Etika

Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya
dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori
tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan
tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf
Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh
kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan
sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.

Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif
berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam.
Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai
kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia,
dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.

Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana,
juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan
jangan berlebihan.

Bagi Al-Ghazali, taswuf bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri terpisah dari syari’at, hal ini
nampak dalam isi ajaran yang termuat dalam kitab Ihya’nya yang merupakan perpaduan
harmonis antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang berarti kewajiban agama haruslah
dilaksanakan guna mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam melaksanakan haruslah dengan
penuh rasa yakin dan pengertian tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya.

4.      Pandangan Al-Ghazali terhadap Filsafat

Mengenai pandangan al Ghazali, para ilmuwan berpendapat bahwa ia bukan seorang filosof,
karena ia menentang dan memerangi filsafat dan membuangnya. Tentangan yang di lontarkan
al-Ghazali ini tercermin dari bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah, yakni sebagai
berikut :

”...sumber kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau dengan nama-nama filsuf besar
seperti Socrates, Epicurus, Plato, Aristoteles dan lain-lainnya ..., mereka mendengar perilaku
pengikut filsuf dan kesesatannya dalam menjelaskan intelektualitas dan kebaikan prinsip-
prinsipnya, ketelitian ilmu para filsuf di bidang geometri, logika, ilmu alam, dan telogi ...,
mereka mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari semua syari’at dan agama, tidak
percaya pada dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf menyakini bahwa agama adalah
ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi keindahan ...”
Jikalau melihat ungkapan di atas, terlihat bahwa al-Ghazali lebih tepat digolongkan dalam
kelompok pembangunan agama yang jalan pemikirannya didasarkan pada sumber ajaran
Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Apabila memakai sumber lain dari Islam maka sumber-
sumber ini hanya dijadikan sebagai alat untuk maksud menghidupkan ajaran-ajaran agama
dan untuk membantu menerangi jalan menuju Allah SWT. Hal ini dikuatkan dengan kitabnya
Ihya’Ulum Ad-din. Dalam buku Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga diterangkan tentang
keremehan pemikiran-pemikiran filsafat. Sehingga apakah mungkin filsafat justru
menghukumi atas dirinya sendiri? Al-Ghazali dengan beberapa kali menyatakan, bahwa
tujuan penyusunan buku tersebut untuk menghancurkan filsafat dan menggoyahkan
kepercayaan orang terhadap filsafat. Dari sinilah, apakah tepat orang yang menetapkan
kegagalan filsafat disebut sebagai seorang filosof?.

Dalam bukunya pula yang berjudul Munqiz min al-Dhalal, al-Ghazali mengelompokkan
filsosof menjadi 3 (tiga) golongan:

1.    Filosof Materialis (Dhariyyun)

Mereka adalah para filosof yang menyangkal adanya Tuhan. Sementara itu, kosmos ini ada
dengan sendirinya.

2.    Filosof Naturalis (Thabi’iyyun)

Mereka adala para filosof yang melaksanakan berbagai penelitian di alam ini. Melalui
penyelidikan-penyelidikan tersebut mereka cukup banyak menyaksikan keajaiban-keajaiban
dan memaksa mereka untuk mengakui adanya Maha Pencipta di alam raya ini. Kendatipun
demikian, mereka tetap mengingkari Allah dan Rasul-Nya dan Hari berbangkit. Mereka tidak
mengenal pahala dan dosa sebab mereka hanya memuaskan nafsu seperti hewan.

3.    Filosof Ke-Tuhanan (Ilahiyun)

Mereka adalah filosof Yunani, sperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Aristoteles telah
menyanggah pemikiran filosof sebelumnya (Materialis dan Naturalis), namun ia sendiri tidak
dapat membebaskan diri dari sia-sia kekafiran dan keherodoksian. Oleh karena itu, ia sendiri
termasuk orang kafir dan begitu juga al-Farabi dan Ibnu Sina yang menyebarluaskan
pemikiran ini di dunia Islam.
Dalam bidang Ke-Tuhanan, al-Ghazali memandang para filosof sebagai ahl al-bid’at dan
kafir. Kesalahan para filosof tersebut diterangkan oleh al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-
Falasifah, dan ia membaginya menjadi 20 bahagian, antara lain:

1.         Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini azali,

2.         Membatalkan pendapat mereka bahwa akal ini kekal,

3.         Menjelaskan keragu-raguan mereka bahwa Allah Pencipta alam semesta dan
sesungguhnya alam ini diciptakan-Nya,

4.         Menjelaskan kelemahan mereka dalam membuktikan Yang Maha Pencipta,

5.         Menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahil adanya dua
Tuhan,

6.         Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mempunyai sifat,

7.         Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi ke dalam al-jins dan al-
fashl,

8.         Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah mempunyai substansi basith (simple)
dan tidak mempunyai mahiyah (hakikat),

9.         Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selain-Nya,

10.     Menjelaskan pernyataan mereka tentang al-dhar (kekal dalam arti tidak bermula dan
tidak berakhir),

11.     Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selain-Nya

12.     Menjelaskan kelemahan pendapat mereka dalam membuktikan bahwa Allah hanya
mengetahui zat-Nya,
13.     Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui juz’iyyat,

14.     Menjelaskan pendapat mereka bahwa planet-planet adalah hewan yang bergerak
dengan kemauan-Nya,

15.     Membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari planet-planet,

16.     Membatalkan pendapat mereka bahwa planet-planet mengetahui semua yang juz’iyyat,

17.     Membatalkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa mustahil terjadinya sesuatu di
luar hukum alam,

18.     Menjelaskan pendapat mereka bahwa roh manusia adalah jauhar (substansi) yang
berdiri sendiri tidak mempunyai tubuh,

19.     Menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan tentang mustahilnya fana (lenyap)
jiwa manusia,

20.     Membatalkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh tidak akan dibangkitkan
dan yang akan menerima kesenangan dalam surga dan kepedihan dalam nereka hanya roh.

Kemudian al-Ghazali menjelaskan lagi, dari 20 masalah tersebut ada tiga hal yang bisa
menyebabkan seorang filosof itu menjadi kafir, antara lain :

b.      Alam semesta dan semua substansi qadim.

Para filosof muslim di kala itu mengatakan bahwa alam ini qadim. Sebab qadimnya Tuhan
atas alam sama halnya dengan qadimnya illat atas ma’lulnya (ada sebab akibat), yakni dari
zat dan tingkatan, juga dari segi zaman. Alasan dari para filosof itu adalah tidak mungkin
wujud yang lebih dahulu, yaitu alam, keluar dari yang qadim (Tuhan), karena dengan
demikian berarti kita bisa membayangkan bahwa yang qadim itu sudah ada, sedangkan alam
belum ada.

Menurut al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim (tidak mempunyai permulaan atau tidak
pernah ada) maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi,
paham qadimnya alam membawa pada kesimpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya.
Tidak diciptakan Tuhan dan ini berarti bertentangan dengan ajaran al-Qur’an yang jelas
menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala
isinya). Bagi al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada,
sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam maka alam ada di samping
adanya Tuhan.

Al-Ghazali juga menjawab argumen filosof-filosof mulsim itu. Katanya; tidak ada halangan
apa pun bagi Allah menciptakan alam sejak azali dengan iradah-Nya yang qadim pada waktu
diadakan-Nya. Sementara itu, ketiadaan wujud alam sebelumnya karena memang belum
dikehendaki-Nya. Iradah menurut al-Ghazali adalah suatu sifat bagi Allah berfungsi
membedakan (memilih) sesuatu dari lainnya yang sama. Jika tidak demikian fungsinya, tentu
bagi Allah cukup saja dengan sifat qudrat. Akan tetapi, karena sifat qudrat antara mencipta
dan tidaknya sama kedudukannya, harus ada suat sifat khusus yang membedakannya, yaitu
sifat iradah. Andaikata para filosof Muslim menganggap sifat tersebut tidak tepat disebut
sebagai iradah, dapat diberi nama lain asal itu yang dimaksud atau dengan arti sama. Sekedar
istilah tidak perlu diperdebatkan, yang penting adalah isinya.

Apakah yang menjadi landasan berpikir al-Ghazali sehingga mengatakan bahwa alam itu
tidak qadim dan Tuhan yang qadim. Kerangka filosofis yang ia tawarkan adalah titik tolak
yang benar dan ortodoks harus diawali dengan mengakui Tuhan sebagai wujud tertinggi dan
kehendak unik yang bertindak secara aktual. ”Prinsip Pertama adalah Maha Mengetahui,
Maha Perkasa, dan Maha Berkehendak. Ia bertindak sekehendak-Nya dan menentukan
sesuatu yang ia kehendaki; ia menciptakan semua makhluk dan alam sebagaimana ia
kehendaki dan dalam bentuk yang Dia kehendaki”.

Sebenarnya perbedaan yang terjadi pada al-Ghazali dan tentang qadimnya alam hanya sebuah
perbedaan penafsiran antara teolog Muslim dan filosof Muslim. Memang filosof Muslim
berkeyakinan bahwa penciptaan dari tiada (nihil) adalah suatu kemustahilan. Dari nihil yang
kosong, tidak bisa timbul sesuatu. Hal yang terjadi ialah sesuatu yang diubah menjadi sesuatu
yang lain. Justru itu materi asal (al-hayula alula), yang darinya alam ini disusun, mesti qadim.
Materi asal ini diciptakan Allah secara emanasi sejak qadim dan tidak di batasi oleh zaman.
Oleh karena itu, apa yang diciptakan semenjak qidam dan azali tentu ia qidam dan azali.
Justru itu alam ini qidam pula. Interprestasi filosof Muslim ini sudah jelas lebih liberal dari
teolog Muslim dan juga dipengaruhi oleh ilmu alam, yakni antara sebab dan musabab tidak
ada perbedaan. Allah menciptakan alam semenjak azali, berarti materinya berasal dari energi
yang qadim. Sementara susunan materi yang menjadi alam adalah baru. Agaknya,
interprestasi ini sejalan dengan ilmu fisika modren.

Menurut ilmu fisika modren, antara energi dan materi tidak bisa lagi ditarik garis pemisah
yang tegas, energi dapat berubah menjadi materi dan materi dapat berubah menjadi energi.
Dengan kata lain, energi ialah materi yang direnggangkan, sedangkan materi adalah energi
yang dipadatkan.

c.       Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyat (hal-hal yang terperinci/kecil) yang terjadi di
alam.

Sebuah pemahaman bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat (hal-hal yang sifatnya
terperinci/kecil), bukanlah sebuah pemahaman yang dianut oleh para filosof Muslim.
Sedangkan pemahaman yang banyak digunakan filosof Muslim itu adalah pemahaman yang
dianut oleh Aristoteles. Menurut al-Ghazali para filosof Muslim itu mempunyai pemahaman
bahwa Allah sebagai Tuhan umat Muslim hanya mengetahui zat-Nya sendiri dan tidak bisa
mengetahui yang selain-Nya.

Pendapat para filosof Muslim ini di jawab oleh al-Ghazali. Al-Ghazali mengatakan bahwa
para filosof itu telah melakukan kesalahan fatal. Menurut al-Ghazali lebih lanjut adalah
sebuah perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu
berubah tidak membawa perubahan pada zat, dalam artian keadaan orang yang mempunyai
ilmu tidak berubah. Kemudian al-Ghazali memberikan sebuah ilustrasi, bila seseorang berada
di sebelah kanan Anda, lalu orang itu berpindah kesebelah kiri Anda, kemudian berpindah
lagi kedepan atau kebelakang, maka yang berubah adalah orang itu, bukanya Anda. Ia
mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang satu (Esa) semenjak azali dan tidak
berubah meskipun alam yang diketahui-Nya itu mengalami perubahan.

Untuk memperkuat argumennya, al-Ghazali mengeluarkan dalil-dalil al-Qur’an yang


menyatakan bahwa Allah Maha Tahu segalanya, baik yang besar atau yang kecil.

Dalil pertama:
Artinya: ”Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al
Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan kami menjadi saksi atasmu di
waktu kamu melakukannya. tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah
(atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar
dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”(Q.S. Yunus:
61)

Dalil kedua :

Artinya:”Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu,


padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu?"(Q.S. Al-Hujurat: 16).

Dalam ayat ini jelaslah bahwa Allah Maha Tahu atas segala sesuatu. berbeda dengan Ibnu
Rusyd yang mengatakan Tuhan hanya tahu yang universal, bukan perkara yang kecil
(partikular).  Tudingan al-Ghazali ini berbentuk sebuah ucapan seperti di bawah ini :

Yang menjadi persoalan adalah pernyataan mereka (para filsafat) ”Tuhan yang Mahamulia
mengetahui hal-hal yang bersifat universal, tetapi tidak hal-hal yang bersifat partikular”
pernyataan ini jelas-jelas telah menyelewengkan dalil-dalil di atas, ini menunjukkan
ketidakberimanannya mereka. Maka yang benar adalah ”tidak ada sebutir atom pun di langit
maupun di bumi yang luput dari pengetahuan-Nya.”

Kalau dilihat pendapat Ibnu Rusyd maka akan berlawanan, menurut Ibnu Rusyd;
pengetahuan Allah tidak dapat dikatakan juz’i (parsial) dan kully (umum). Juz’i adalah satuan
yang ada di alam yang berbentuk materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan
pancaindera. Kully, mencakup berbagai jenis (nu’). Kully bersifat abstrak, hanya dapat
diketahui melalui akal. Allah bersifat imateri (rohani), tentu saja pada zat-Nya tidak terdapat
pancaindera untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena itu, kata Ibnu Rusyd, tidak ada para
filosof muslim yang mengatakan ilmu Allah bersifat juz’i dan kully.

d.      Pembangkitan Jasmani Tidak Ada.

Banyak dari para filosof berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan nantinya di alam akhirat
adalah rohani semata, sedangkan jasmani (jasad) akan hancur. Maka dari itu, ketika di akhirat
nanti, tentang adanya kebahagiaan ataupun kepedihan di sana yang dapat merasakan adalah
rohani. Sedangkan jasmani (jasad) merasakan kebahgiaan dan kepedihan hanya saat di dunia
saja.

Kesesuaian suasana rohani maka ketika dibangkitkan nanti saat di akhirat bersifat rohani
pula. Akan tetapi, kebangkitan jasmani tidak sampai ke akhirat atau dikembalikan. Dalam
mengulas alasan-alasan, mereka mengemukakan bahwa pengembalian jasad memiliki tiga
kemungkinan. Pertama, manusia terdiri atas badan dan kehidupan, ini sama halnya seperti
dikatakan oleh sebagian ulama kalam, sedangkan jiwa berdiri dengan sendirinya dan yang
mengatur badan tidak ada wujudnya. Pengertian mati berarti terputus hidup, yakni Tuhan
tidak lagi menciptakan hidup, oleh karena itu hidup ini tidak ada, dan badan tidak ada pula.
Jadi, arti kebangkitan adalah bahwa Tuhan mengembalikan badan yang sudah tidak ada
karena mati kepada wujudnya, dan mengembalikan hidupnya yang sudah tidak ada. Dalam
perkataan lain, badan manusia setelah menjadi tanah dikumpulkan dan disusun kembali
menurut bentuk manusia dan diberikan hidup kepadanya. Kedua, atau dikatakan bahwa jiwa
(roh) manusia tetap wujud sesudah mati, tetapi badan yang pertama (yang terjadi di dunia ini)
nantinya dikembalikan lagi dengan anggota-anggota badannya sendiri dengan lengkap.
Ketiga, atau dikatakan, jiwa manusia dikembalikan kepada badan, baik badan dengan
anggota-anggotanya yang semula ataupun badan yang lain samasekali. Jadi, yang
dikembalikan ialah manusianya, sebab badannya (bendanya) tidak terpenting, sedangkan
manusia disebut karena jiwanya (rohnya), bukan karena bendanya (badannya).

Atas dasar ini, para filosof muslim ini berpendapat bahwa mustahil mengembalikan rohani
kepada jasad ketika keduanya telah berpisah. Menurut mereka, setelah berpisah antara roh
dengan jasad, berarti kehidupan  telah berakhir dan tubuh menjadi hancur. Penciptaan
kembali berarti penciptaan baru yang tidak sama dengan yang berlalu. Pengandaian hal ini
berarti mengimplikasikan qadimnya suatu hal dan baharunya hal yang lain. Akan tetapi, jika
diandaikan terjadi kebangkitan jasad, maka akan menempuh jalan yang sulit dan
membutuhkan pemikiran yang panjang, seperti adanya manusia pincang, manusia buta, dan
lainnya. Kalau ini yang terjadi maka di surga nantinya akan ada sidat kekurangan dan ada
pula satu jiwa dengan dua tubuh atau sebaliknya. Sesungguhnya di surga yang suci tidaklah
demikian. Jika demikian terjadilah proses  yang panjang, seperti panjangnya proses kapas
hingga menjadi kain.

Menurut al-Ghazali, berdasarkan gambaran al-Qur’an dan al-Hadits Nabi Muhammad SAW.
Tentang kehidupan di akhirat bukanlah mengacu pada kehidupan rohani saja. Tetapi pada
kehidupan rohani dan jasmani. Jasad dibangkitkan dan disatukan dengan jiwa-jiwa manusia
yang pernah hidup di dunia untuk merasakan nikmat surgawi yang bersifat rohani-jasmani.
Kehidupan di surga dan neraka yang bersifat rohani-jasmani itu, menurut al-Ghazali,
bukanlah kehidupan di surga dan neraka bersifat rohaniah saja, menurut al-Ghazali adalah
pemahaman yang mengingkari adanya kebangkitan jasad di hari akhirat. Pemahaman
demikian, menurutnya bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh al-Qur’an dan al-Hadits,
karena itu dikufurkannya. Al-Ghazali berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan itu
adalah jasmani. Ini terbukti dengan perkataannya :

”... adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan seorang Muslim, keyakinan mereka yang
mengatakan bahwa badan jasmani manusia tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat, tetapi
hanya jiwa yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau
hukuman itu pun akan bersifat spritual dan bukannya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya,
mereka itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman yang bersifat spritual
karena hal itu memang ada secara pasti; tetapi secara salah, mereka menolak adanya pahala
dan hukuman yang bersifat jasmaniah dan mereka dikutuk oleh hukum yang telah
diwahyukan dalam pandangan yang mereka nyatakan itu.”

Dalam bukunya Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga mengatakan; banyak hadits yang
mengatakan bahwa roh-roh manusia merasakan adanya kebaikan atu siksa kubur dan lainnya.
Semua ini sebagai indikasi adanya kekekalan jiwa. Sedangkan kebangkitan jasmani secara
eksplisit telah ditegaskan dalam syara’, yakni berarti jiwa dikembalikan pada tubuh, baik
tubuh semula maupun tubuh yang lain, atau tubuh yang baru dijadikan. Ini dikarenakan tubuh
manusia dapat berganti bentuk, seperti dari kecil menjadi besar, kurus menjadi gemuk, dan
seterusnya. Namun, hal yang terpenting ada satu tubuh berbentuk jasmani yang dapat
merasakan kepedihan dan kebahagiaan. Allah Mahakuasa menciptakan segala sesuatu. dan
dengan KeMahakuasaan-Nya tidak merasa sulit bagi-Nya  menjadikan setetes sperma
menjadi aneka macam organ tubuh, seperti tulang, daging, kulit, urat saraf, otoit, lemak, dan
sebagainya. Dari hasil ini detik berganti menit, menit berganti jam, dan jam berganti hari.
Akhirnya menjadi mata, gigi, perasaan yang berbeda antara setiap manusia. Justru itu, Allah
jauh lebih mudah mengembalikan rohani pada badan (jasmani) di akhirat ketimbang
penciptaan-Nya pertama kali.

Sungguh pertentangan antara al-Ghazali dengan filosof Muslim kalau di kaji secara
mendalam, maka pertentangan tersebut hanya sebuah perbedaan Interprestasi  karena
bedanya titik pijak. Al-Ghazali seorang teolog al-Asy’ari, ia aktif mengembangkan
Asy’arisme selama delapan tahun (1077-1085) pada Universitas Nizhamiyah Baghdad, tentu
saja pemikirannya dipengaruhi oleh aliran ini, yakni dengan kekuasaan kehendak mutlak
Tuhan dan interprestasinya tidak seliberal para filosof. Sementara itu, pemikiran para filosof
Muslim dipengarhui oleh pemikiran rasional, tentu saja interprestasi mereka lebih liberal dari
al-Ghazali. Namun, antara kedua pihak sependapat bahwa di akhirat nanti ada kebangkitan.

e.       Pandangannya terhadap Ilmu

Ilmu merupakan sumber kebutuhan bagi setiap manusia, karena tanpa ilmu manusia akan
bodoh dan tidak mengetahui arah hidup dalam prikehidupan. Sebagai seorang ilmuwan besar,
Al-Ghazali berupaya membuat sebuah karya-karya tulis yang bersifat memotivasi seseorang
untuk selalu menggali ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama. Di dalam karyanya al-
Ghazali yang berjudul Ihya Ulum Ad Din yang artinya menghidupkan ilmu-ilmu agama. Ini
merupakan sebuah karya al-Ghazali yang banyak dipakai oleh para ulama-ulama kalam
sebagai bahan kajian untuk amalan-amalan baik manusia. Karena di dalam buku itu banyak
menjelaskan tentang ilmu-ilmu keagamaan Islam, ke-Esaan Allah, dan ilmu-ilmu yang
bersangkutan dengan syari’at.

 Pada karyanya yang lain, dan juga terkenal di tengah masyarakat yang berjudul Al Munqiz
min Ad Dhalal Al-Ghazali berpendapat bahwa :

”ilmu hati merupakan konsekuensi logis bagi ilmu-ilmu manusia, karena ada dua alam, yakni
alam lahir dan alam bathin. Jika ilmu-ilmu (pengetahuan) menguasai ilmu lahir dengan
analisa dan keterangan, maka harus ada ilmu khusus untuk menjelaskan ilmu bathin.
Pengetahuan-pengetahuan itu sendiri ada dua, yaitu inderawi dan sufi (lahir dan bathin).
Sarana untuk mengenal pengetahuan-pengetahuan lahir adalah panca indera, sedang metoda
untuk mencapai pengetahuan-pengetahuan bathin harus kembali kepada mereka (kaum sufi)
yang mengatakan bahwa kesederhanaan, zuhud, dan amal-amal praktis seluruhnya adalah
jalan untuk mempersepsi berbagai realitas yang tersembunyi dan ilham yang melampaui
penglihatan dan pendengaran. Maka ma’rifat adalah tujuan yang luhur bagi tasawuf. Al-
Ghazali menentang kesatuan antara manusia dengan Tuhan (teori Al Ijtihad) karena
bertentangan dengan ajaran agama.
Di lain karyanya yang berjudul The Juwels of the Qur’an (mutiara al-Qur’an) dan Mizan Al-
Amal (timbangan amal), al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi empat bagian :

1.      Pembagian ilmu-ilmu menjadi bagian teoritis dan praktis.

2.      Pembagian pengetahuan menjadi pengetahuan yang dihadirkan (hudhuri) dan


pengetahuan yang dicapai (hushuli).

3.      Pembagian atas ilmu-ilmu religius (sya’iyyah) dan intelektual (aqliyah).

4.      Pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu fardhu’in (wajib atas setiap individu) dan fardhu
kifayah (wajib atas umat).

Di antara empat hal dari klasifikasi ilmu di atas yang telah diuraikannya, yang paling luas di
bahas olehnya dalam melakukan pengajaran/diskusi adalah pembagian ilmu menjadi ilmu-
ilmu intelektual dan religius. Namun menurutnya, yang jelas keempat sistem klasifikasi di
atas sangat absah, dan mempunyai derajat yang sama.

Kalau dilihat pemikiran dari al-Ghazali, maka akan terlihat pendapatnya yang banyak
menentang aliran-aliran filsafat. Menurutnya banyak orang-orang yang menyimpang dari
ajaran agama saat mempelajari filsafat, karena kebanyakan manusia di saat mempelajari
filsafat tanpa sebuah pegangan yang kuat atau dasar yang kuat. Filsafat menurutnya lebih
banyak mengedepankan akal daripada dalil untuk mencari sebuah kebenaran. Oleh sebab itu,
al-Ghazali banyak dikenal oleh para masyarakat seorang ahli tasawuf, akan tetapi ia tidak
melibatkan dirinya kedalam aliran tasawuf yang terkenal saat itu, yakni tasawuf inkarnasi dan
tasawuf pantheisme. Sedangkan pengetahuan yang dimiliki oleh al-Ghazali berdasarkan atas
rasa yang memancar dalam hati, bagaikan sumber air yang bersih/jernih, bukan dari
penyelidikan akal, dan tidak pula dari hasil argumen-argumen ilmu kalam.       

Anda mungkin juga menyukai