Anda di halaman 1dari 17

PENINGKATAN KOMUNIKASI SOSIAL KODIM GUNA PENCEGAHAN KONFLIK

SOSIAL DI WILAYAH DALAM RANGKA MEWUJUDKAN


STABILITAS KEAMANAN

Keanekaragaman suku, agama, ras dan ragam budaya yang berbeda


satusama lain bersifat multietnik telah menjadikan Negara dan bangsa Indonesia
sebagai Negara majemuk dan menempatkannya pada situasi yang cukup rawan
terhadap terjadinya berbagai benturan/konflik dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Demikian halnya yang terjadi di daerah Kabupaten
Tanahgrogot yang menjadi wilayah Kodim 0904/Tanahgrogot yang memiliki
keanegaragaman suku, adat, budaya dan agama. Di daerah ini juga terjadi
permasalahan ketidakadilan sosial diantaranya pengolahan hasil kekayaan alam,
kurangnya pelayanan kesehatan, pendidikan, isu pelanggaran HAM, masalah
Otonomi khusus yang belum selesai, dan situasi Politik khususnya yang berkaitan
dengan Pemilukada yaitu ketidakpuasan atas hasil Pemilu, ketidakpercayaan
masyarakat terhadap penegakan dan supremasi hukum dan budaya kesukuan yang
sangat kental sehingga memicu terjadinya beberapa konflik di Tanahgrogot berupa
sengketa lahan, konflik antar suku dan kekerasan lainnya yang sering
mengakibatkan korban-korban sia-sia.

Konflik masih menjadi ancaman potensial dan aktual yang perlu mendapatkan
perhatian dari pemerintah baik Pusat maupun daerah termasuk bagi TNI AD
terutama Satuan Kodim 0904/Tanahgrogot sebagai Pembina, penganyom dan
pengaman masyarakat yang dislokasi satuannya berada dekat dengan masyarakat
di daerah dalam kerangka melaksanakan tugas Operasi Militer Selain Perang
(OMSP) sebagaimana diatur dalam pasal 7 Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun
2004 tentang TNI mengenai tugas penanganan konflik sosial sebagai wujud tugas
bantuan TNI kepada Polri dalam penegakkan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Peranserta Kodim 0904/Tanahgrogot sesuai dengan kapasitas tugasnya dalam
penyelenggaraan Binter melalui penerapan metode Binter Komunikasi sosial dapat
dimaksimalkan untuk melaksanakan langkah pencegahan konflik sosial di wilayah.
Permasalahannya bagaimana penyelenggaraan komunikasi sosial yang harus
dilaksanakan oleh Kodim guna pencegahan konflik sosial di wilayah ?

TERBATAS
2

Berkaitan dengan hal tersebut, melalui tulisan ini akan mencoba memberikan
gambaran tentang peran dan usaha-usaha Komunikasi sosial yang dapat dilakukan
oleh Kodim dalam membantu Pemda maupun Polri guna pencegahan konflik sosial
di wilayah. Konsep-konsep pemecahan masalah yang tercantum dalam
pembahasan tulisan ini diharapkan dapat memberikan nilai guna dan manfaat untuk
dijadikan sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi Kodim dalam
menjalankan peran Komunikasi sosial guna pencegahan konflik sosial dalam
rangka mewujudkan stabilitas keamanan.

Konflik sosial yang terjadi yang mengarah pada terjadinya gangguan


keamanan dan ketertiban dalam masyarakat sebagaimana terjadi di wilayah Kodim
0904/Tanahgrogot seperti kasus sengketa lahan, pertikaian etnis, dan kekisruhan
dalam Pelaksanaan Pemilukada kecenderungan ke depan semakin meningkat dan
penyelesaiannya segera diselesaikan agar tidak membawa dampak yang fatal
terhadap bangsa dan negara Indonesia. Upaya pencegahan perlu dilakukan dalam
rangka mengeliminir berbagai dampak yang ditimbulkan berupa kerugian materiil
maupun non materiil. Berkaitan dengan hal tersebut maka keberadaan dan
eksistensi dari Kodim, Koramil sampai dengan Babinsa yang tergelar di seluruh
wilayah Tanahgrogot melalui kegiatan pembinaan teritorial khususnya komunikasi
sosial yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya sangat menentukan dalam
menunjang keberhasilan pencegahan konflik sosial di wilayah dengan mengacu
pada berbagai aturan perundang-undangan seperti Pancasila Sila-2 Kemanusiaan
yang adil dan beradab, Sila-3 Persatuan Indonesia, Undang-undang Dasar 1945
sebagai landasan konstitusional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, Wawasan Nusantara, Ketahanan Nasional, Undang-Undang RI No.34
Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia pasal 5 mengatur tentang Peran
TNI, Undang-Undang RI No.7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. UU
No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (PKS) yang sangat jelas
mengatur tentang Perbantuan TNI kepada Pemerintah Daerah yang kemudian
ditindaklanjuti oleh Inpres RI No 2 Tahun 2013 dan Nota Kesepahaman Kapolri dan
Panglima TNI tentang tugas perbantuan TN kepada Polri dalan penanganan
kamtibmas, Doktrin Kartika Eka Paksi yang memuat fungsi organik militer dibidang
teritorial yaitu menyelenggarakan komunikasi dengan berbagai komponen
masyarakat dan aparat pemerintah terkait, dalam rangka pembinaan teritorial untuk
3

membangun kesadaran pertahanan aspek darat, guna kepentingan pembinaan dan


penggunaan kekuatan TNI-AD, Buku Petunjuk Induk tentang Teritorial
berdasarkan surat keputusan Kasad Nomor : Skep / 384 / X / 2002 tanggal 31
Oktober 2002, serta Teori Komunikasi sosial TNI dan Teori Manajemen Konflik
yang merupakan upaya untuk mengelola konflik. Berbeda dengan resolusi yang
bertujuan untuk memadamkan konflik, manajemen konflik berupaya untuk
mengelolanya. Manajemen konflik bertujuan untuk membatasi dan menghindari
kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku yang positif dari pihak yang
terlibat, maka konflik tidak dapat dihilangkan, perlu menatanya atau
mengendalikannya. Ada beberapa konsep prapengkondisian konflik yaitu :
Akomodasi, konflik direndam/ditata dengan cara mengakomodir berbagai macam
kepentingan dari orang-orang yang berkonflik, sehingga setiap pihak merasa sama-
sama diuntungkan; Kolaborasi, konflik diasumsikan akan semakin berkurang apabila
ada kerja sama antar masing-masing kelompok yang konflik, dengan cara
menyepakati kepentingan bersama; Avodiance (menghindari), konflik ditata atau
dikendalikan agar tidak saling bentrok satu sama lainnya, agar tidak semakin lebih
meluas; Kompetisi. Artinya, konflik tidak terjadi dalam konteks terbuka dan tanpa
aturan, tetapi aturan mainnya, yakni dalam sistem kompetisi. Peran tokoh
masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
majelis kode etik dan sebagainya, memiliki kemampuan untuk meredam terjadinya
konflik.
4

Konflik sosial merupakan potret buram dari wajah pluralitas masyarakat


Indonesia, karena itu, perlunya kohesifitas melalui pengajaran sikap toleransi di
antara warga masyarakat yang dibangun di atas banyak perbedaan. Trend
kekerasan horizontal dan konflik sosial pada tahun-tahun belakangan ini cenderung
meluas lantaran tidak lagi didominasi oleh ‘area-area merah’ yang dikenal memiliki
sumbu konflik yang khas, seperti Aceh, Papua, Poso dan Ambon. Peta persebaran
daerah konflik merambat pada wilayah-wilayah yang memiliki banyak sumber daya
alam ataupun tingkat perpaduan migrasi dan struktur sosial yang berbeda.
(…http://www.lazuardibirru.org/berita/news/wilayah-konflik-komunal-meluas/,Wilayah Konflik Komunal
Meluas, 10 Desember 2012, diakses pada 8 Nopember 2013). Di wilayah Tanahgrogot sendiri
memiliki kecenderungan terjadinya konflik sosial yang cukup tinggi dan disebabkan
oleh permasalahan kesenjangan ekonomi, sengketa lahan hak ulayat rakyat, dan lain
sebagainya yang pada kondisi tertentu eskalasinya semakin meningkat, sehingga
langkah tindakan pencegahan sebagai tindakan antisipasi dari aparat keamanan
termasuk satuan TNI perlu dilakukan secara maksimal. Disini, peran Kodim
0904/Tanahgrogot sampai dengan Babinsa yang tersebar di seluruh wilayah melalui
tugas dan fungsi Binternya khususnya Komunikasi sosial selama ini sangat penting
untuk ditingkatkan guna melaksanakan langkah-langkah pencegahan konflik sosial
tersebut. Pada kondisi saat ini, masih banyak ditemukan permasalahan yang
menyangkut penyelenggaraan Komunikasi sosial Kodim 0904/Tanahgrogot dalam
melakukan langkah-langkah pencegahan konflik sosial di wilayah baik intensitas
kegiatan komunikasi sosial yang dilakukan, kuantitas dan kualitas SDM, Prosedur
dan mekanisme penanganan konflik komunal maupun sinergitas dan keterpaduan
pencegahan Konflik Satuan Kowil dengan Instansi terkait. Belum lagi mengingat
secara Geografis Tanahgrogot memiliki luas wilayah yang cukup besar dan memiliki
daerah-daerah yang sulit dijangkau karena sangat minimnya sarana dan prasarana
yang ada.
Pertama, Intensitas kegiatan komunikasi sosial. Kegiatan komunikasi
sosial yang dilaksanakan oleh Kodim baik dalam hubungan organisasi maupun
individu masih sangat kurang intensitasnya baik dalam acara-acara formil maupun
non formal antara lain : (1) Komunikasi dengan aparatur pemerintah. Dalam
melaksanakan hubungan komunikasi dengan aparatur pemerintah dalam hal ini para
anggota/pejabat Muspida di daerah dilakukan secara selektif sehingga hanya
5

terbatas pada unsur pejabat atau pejabat yang berwenang sesuai dengan fungsinya.
Komunikasi sosial yang dilaksanakan aparat Kodim dengan aparatur pemerintah
saat ini dirasakan kurang efektif, hal ini dikarenakan dengan terbatasnya komunikasi
yang dibangun sehingga pesan yang disampaikan kepada aparatur pemerintah
berkaitan dengan pelaksanaan Binter sangat sedikit untuk diserap dan diketahui oleh
aparatur pemerintah daerah, sehingga pemahaman tentang pertahanan dilingkungan
aparat juga terbatas. Selain itu penyelenggaraan komunikasi sosial yang dibangun
pada umumnya komunikasi tatap muka sedangkan bentuk lainnya yang dapat
memberikan pemahaman yang lebih dalam seperti dialog atau diskusi
pelaksanaannya sangat terbatas; (2) Komunikasi dengan komponen masyarakat.
Selama ini aparat Kodim dari mulai unsur pimpinan sampai dengan para
Babinsanya di lapangan sebagai komunikator hanya mengandalkan pada
pendekatan kekeluargaan atau jadwal kegiatan yang telah diprogramkan melalui
kegiatan satuan dalam melaksanakan pembinaan teritorial dengan komponen
masyarakat. Sementara itu kegiatan yang dikhususkan untuk membicarakan tentang
partisipasi masyarakat guna mengatasi konflik sosial kurang dapat dilaksanakan
dengan baik; (3) Komunikasi dengan keluarga besar TNI. Intensitas atau frekwensi
komunikasi yang dijalin oleh aparatur Kodim dengan Keluarga Besar TNI terutama
para pensiunan TNI yang ada di daerah masih kurang optimal baik komunikasi yang
dilaksanakan secara formal seperti rapat dan acara tatap muka untuk membahas
sesuatu hal yang terkait dengan konflik sosial atau untuk saling tukar informasi serta
komunikasi yang dilaksanakan secara informal seperti olahraga bersama dan acara
seni budaya dalam rangka memperkokoh hubungan emosional, sehingga seringkali
satuan Kodim kesulitan dalam menemukan solusi yang tepat dalam mengatasi
konflik sosial yang terjadi di daerah.
Kita tahu bahwa komunikasi sosial bagi Kodim merupakan suatu upaya untuk
memelihara dan meningkatkan keeratan hubungan antara satuan dengan seluruh
komponen bangsa agar terwujud saling pengertian dan kebersamaan yang
mendalam serta timbulnya partisipasi masyarakat dalam pemberdayaan wilayah
pertahanan. Dalam konteks terjadinya konflik sosial di daerah, Komunikasi sosial
dapat dijadikan sarana bagi Kodim baik secara organisasi maupun individu tiap
aparat Kodim untuk dapat melakukan serangkaian upaya pendekatan secara
persuasif kepada pihak-pihak yang terlibat konflik untuk dapat menyelesaikan akar
6

persoalan yang menjadi sumber konflik dengan sebaik-baiknya hingga tercapai


kesepakatan perdamaian dikedua belah pihak. Berbagai pendekatan komunikasi
sosial, satuan Kodim dapat berperanserta secara langsung maupun tidak langsung
untuk menciptakan suasana hubungan yang harmonis ditengah-tengah masyarakat,
serta dapat menjalin koordinasi sebaik-baik dengan seluruh komponen bangsa di
daerah baik terhadap aparatur pemerintah, Polri, Tokoh-tokoh masyarakat, tokoh
agama, tokoh adat, kalangan LSM dan lain sebagainya untuk data merumuskan
berbagai langkah yang diperlukan agar permasalahan konflik sosial di daerah dapat
diatasi dan tidak terjadi lagi di masa-masa yang akan datang. Untuk itu, diharapkan
Kodim intensitas penyelenggaraan komunikasi sosial yang dilaksanakan oleh
Kodim,Koramil dan Babinsa jajarannya dapat lebih ditingkatkan di masa yang akan
datang melalui berbagai kegiatan sebagai berikut : (1) Komunikasi dengan aparatur
pemerintah. Untuk memperlancar kegiatan ini maka hal yang perlu dilakukan yaitu
: (a) Pemenuhan kebutuhan sarana prasarana yang dibutuhkan oleh Kodim dalam
menyelenggarakan Komunikasi sosialnya terutama terkait dengan penyediaan
ruangan/aula untuk mengadakan Rapat-rapat koordinasi yang memadai dan
dilengkapi meja dan kursi termasuk dekorasinya, sound sistem lengkap termasuk
alat multimedia, penyebaran surat-surat undangan serta asistensi teknis kepada
Satuan Kodim pada setiap acara formil maupun non formil yang digelar di satuan
yang dilaksanakan bersama-sama dengan aparatur Pemerintah Daerah; (c)
Mengikuti setiap program rapat-rapat teknis maupun acara formal maupn non formal
yang dilaksanakan oleh satuan Kodim dengan aparatur pemerintah; (d) Memberikan
penekanan kepada seluruh Koramil dan Babinsa untuk mengoptimalkan komunikasi
sosial dengan aparatur pemerintah melalui kegiatan formal misalnya rapat,
ceramah, dialog dan kunjungan kerja sesuai dengan tugas dan kewenangannya
untuk menyamakan visi, misi dan persepsi dalam pengelolaan potensi nasional
menjadi kekuatan pertahanan dan kesejahteraan rakyat; (e) Menghadiri atau
ikutserta secara langsung pada setiap kegiatan informal yang dilakukan satuan
dengan aparatur Pemda seperti kegiatan olahraga dan seni budaya guna
membangun hubungan emosional yang positif. Dandim,Danramil dan para Babinda
dapat mendatangi secara langsung unsur Pemda terkait khususnya kepala daerah
setempat (Bupati/Walikota) dimana Dandim juga merupakan salah satu unsur
Muspida di wilayah tersebut, diharapkan dengan adanya komunikasi yang baik ini
7

akan timbul suatu kesamaan visi dan persepsi tentang kegiatan pembinaan teritorial
yang dilaksanakan Kodim khususnya dalam penyusunan RUTR Wilayah Pertahanan
yang akan dimasukkan dalam program kerja dan anggaran Pemda. Disamping itu
kegiatan informal seperti olahraga bersama antara Kodim dengan unsur Pemda
setempat yang dilaksanakan secara bergantian akan dapat mengoptimalkan
komunikasi sosial antara kedua belah pihak; (2) Komunikasi dengan komponen
masyarakat dengan jalan : (a) Mengintensifkan kegiatan dialog, ceramah, seminar
dan kegiatan-kegiatan lain yang bersentuhan dengan masyarakat. Adapun
komponen masyarakat yang dimaksud antara lain; tokoh agama, tokoh masyarakat,
tokoh pemuda, ormas dan komponen bangsa lainnya dengan tujuan tumbuhnya
kesadaran masyarakat dalam upaya bela negara, dan terciptanya kemanunggalan
TNI-Rakyat yang kokoh dan kuat serta dapat menangkal segala bentuk gejala
disintegrasi bangsa; (b) Melaksanakan kegiatan anjangsana dan sering terjun ke
tengah-tengah masyarakat untuk mengetahui situasi yang berkembang di tengah
masyarakat. Dalam kegiatan anjangsana, seluruh komponen masyarakat diajak
berkomunikasi secara akrab dalam suasana yang tidak terlalu formal; (c)
Pendekatan yang lebih bersifat persuasif terhadap tokoh agama, tokoh masyarakat
tokoh pemuda. Dalam hal ini aparat Kodim dari mulai unsur pimpinan/Dandim,
Danramil sampai dengan para Babinsa daerah perlu secara rutin mengadakan
kegiatan anjang sana dengan bertamu ke masyarakat di lingkungan sekitarnya.
Kegiatan ini disamping sebagai wahana bagi aparat Kodim untuk mererat
keharmonisan hubungannya dengan masyarakat, juga diperlukan sebagai sarana
untuk menjaring informasi dan keluhan yang dihadapi masyarakat; (d) Meningkatkan
ketanggapan aparat Kodim dalam merespon aspirasi masyarakat, sehingga aparat
Kowil dapat dijadikan sebagai sarana penyalur aspirasi masyarakat didaerah. Dalam
hal ini setiap aparat Kodim perlu menindaklanjuti apa yang menjadi aspirasi
masyarakat kepada pihak terkait baik Pemda maupun DPRD; (e) Kegiatan Olah-
raga bersama. Pada hari-hari tertentu seperti hari Jum’at dan Minggu, Kodim
mengadakan kegiatan olahraga bersama baik dilakukan di satuan maupun aparat
Kodim sendiri mengikuti kegiatan olah-raga yang diadakan di lingkungan
masyarakat; (f) Melibatkan masyarakat dalam HUT Satuan. Dalam kegiatan
memperingati Hati Ulang Tahun satuan, berbagai kegiatan hiburan dan tradisi satuan
perlu dilakukan dengan menggikutsertakan masyarakat untuk ambil bagian dalam
8

kegiatan ini. Sehingga masyarakat merasa dibutuhkan dan merasa memiliki TNI;.
(3) Komunikasi dengan Keluarga Besar TNI dilakukan dengan jalan : (a) Pembinaan
organisasi purnawirawan TNI AD sebagai salah satu wujud penghargaan terhadap
jasa para sesepuh TNI AD, disamping itu akan timbul suatu sumbangan pikiran dari
seluruh komponen KB TNI terhadap kelancaran pelaksanaan tugas pembinaan
teritorial yang dilaksanakan oleh Kodim, di sisi lain para prajurit aktif harus dapat
menerima dengan jiwa besar segala kritikan dan saran yang mungkin timbul dari KB
TNI terhadap kinerja aparat Kodim sebagai salah satu upaya koreksi khususnya
dalam memulihkan citra TNI AD di tengah-tengah masyarakat. Oleh karenanya
Dandim selaku pimpinan Kowil harus dapat merangkul seluruh organisasi KBT yang
ada di wilayahnya antara lain; Legiun Veteran, Warakawuri, Persit, Purnawirawan
TNI dan FKPPI. Kegiatan ini bisa dilaksanakan secara formal melalui acara dialog,
tatap muka dan rapat untuk membahas sesuatu hal yang terkait dengan negara dan
bangsa khususnya masalah wawasan kebangsaan dan semangat kejuangan serta
sebagai wadah untuk saling tukar menukar informasi. Komunikasi juga dapat
dilaksanakan secara informal melalui kegiatan olahraga bersama dan acara seni
budaya dalam rangka mempererat hubungan silaturahmi dan memperkokoh ikatan
emosional antara anggota Kodim dengan KBT.

Kedua, Kuantitas dan kualitas Sumber Daya Manusia. Secara


kuantitas,aparat Kodim, Koramil dan Babinsa yang menjadi tulang punggung
pelaksana Komunikasi sosial di wilayah masih kurang dihadapkan dengan luas
wilayah tanggung jawabnya. Karakteristik medan yang luas demikian menuntut
adanya persebaran aparat Kodim, Koramil dan Babinsa di wilayah yang dapat
menjangkau seluruh daerah sehingga diharapkan satuan Kodim dalam menguasai
seluruh wilayah tanggung jawab. Namun kenyataannya, ditinjau dari jumlah Babinsa
yang ada saat ini dihadaokan pada jumlah Kecamatan dan desa yang menjadi
tanggung jawab Kodim dirasakan masih banyak kekurangan, karena sampai dengan
saat ini masih ada Kodim yang memiliki wilayah tannggung jawab lebih dari satu
Kabupaten, begitupun dengan Koramil dan Babinsa yang seharusnya bertanggung
jawab pada satu wilayah kenyataannya harus mengcover dua wilayah yang
terpencar dislokasinya. Kondisi ini mengakibatkan penguasan wilayah oleh satuan
Kowil kurang maksimal, apalagi dihadapkan dengan konflik komunal yang terjadi
secara bersamaan di dua wilayah tidak dapat dicegah maupun diatasi secara
9

maksimal karena aparat Kowil yang terbatas tersebut harus terbagi kedalam dua
wilayah yang berbeda dan berjauhan dislokasinya. Hal tersebut mempengaruhi
kegiatan komunikasi sosial yang dilaksanakan oleh Kodim0904/Tanahgrogot dalam
rangka pencegahan konflik sosial. Sedangkan secara kualitas, pengetahuan yang
dimiliki SDM aparat Kodim tentang manajemen Konflik maupun disiplin ilmu
komunikasi sosial sendiri masih sangat terbatas, karena sebagian besar aparat
Kodim belum memahami aplikasi teknik penanganan konflik berupa Kolaborasi,
Kompetensi, Akomodatif, Tindakan menghindari serta teknik kompromi yang perlu
diterapkan dalam mengatasi konflik sosial yang terjadi, Perilaku manajemen konflik
belum dapat dikuasai, sehingga yang seharusnya dapat diperlihatkan saat terjadinya
konflik, sehingga dalam menghadapi setiap konflik yang terjadi di daerahnya tidak
ada ketenangan dalam sikap. Serta disiplin ilmu komuniksi massa baik secara lisan
maupun verbal masih terbatas dan kurang memahami adat masyarakat setempat
Keterbatasan pengetahuan yang dimiliki oleh SDM aparat Kodim sebagaimana
tersebut diatas, lebih disebabkan oleh aktifitas kegiatan rutin yang dilakukan oleh
aparat Kodim selama ini terpaku pada usaha untuk melaksanakan program-program
kerja satuan menyangkut pelaksanaan pembinaan teritorial secara umum.
Sementara untuk pencegahan konflik sendiri, Satuan Kodim belum menyusun
program secara tersendiri menyangkut pembinaan terhadap aparatnya baik melalui
penataran, pendidikan dalam satuan maupun latihan-latihan yang masih sangat
terbatas dalam penanganan konflik sosial.
Oleh karenanya dalam menunjang penyelenggaraan Komunikasi sosial Kodim
guna pencegahan konflik sosial, maka diperlukan adanya peningkatan kuantitas
aparat Kodim, Koramil dan Babinsa, dimana Kasad Cq.Spersad, Danpusterad
maupun Pangdam Jaya untuk menginventarisir dan memenuhi kebutuhan personel
masing-masing satuan Koramil dan Babinsa di jajaran Kowil Papua, serta diperlukan
adanya penambahan Koramil dan Babinsa baru untuk mengakomodir wilayah
Kecamatan yang selama ini dibina atau menjadi daerah tanggung jawab dari 1 (satu)
Koramil, sehingga 1 Koramil memiliki wilayah tanggung jawab 1 Kecamatan dan 1
Babinsa memiliki wilayah tanggung jawab 1 Kelurahan/Desa. Sementara dalam
Peningkatan Wawasan Pengetahuan Manajemen Konflik dan Komunikasi sosial
maka diperlukan upaya-upaya antara lain : (1) Mengadakan program pembekalan
pengetahuan manajemen konflik termasuk pembekalan kemampuan dan
10

ketrampilan penanggulangan konflik untuk dilaksanakan Satuan Kodim melalui


kegiatan pendidikan, penataran maupun latihan dalam bentuk pemberian alokasi
pendidikan bagi Staf Kodim, Koramil dan Babinsa untuk memperdalam pengetahuan
manajemen konflik dan komunikas massa di Perguruan Tinggi Negeri maupun
swasta, mengadakan penataran secara terpusat di Makodam yang mengangkat
permasalahan manajemen konflik dengan mendatangkan para pakar yang
berkompeten sebagai pembicara/narasumber, mengadakan diskusi panel yang
mengangkat masalah manajemen konflik di wilayah Tanahgrogot dengan peserta
perwakilan Satuan Kodim dan mengundang para pakar manajemen, pakar sosiologi,
aparatur Pemda, serta tokoh-tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama dan tokoh
pemuda Papua untuk menyatukan visi, misi dan persepsi menyangkut perumusan
langkah-langkah manajemen konflik menghadapi konflik sosial yang terjadi di
wilayah; (2) Meningkatkan daya nalar dan analisis dikalangan aparat Kodim, Koramil
dan Babinsa terhadap dinamika konflik sosial yang terjadi ditengah-tengah
masyarakat melalui : (a) Pemberian studi kasus konflik untuk dipecahkan melalui
pendekatan konflik yang senantiasa terjadi dan dihadapi di wilayah. Pemecahan
masalah yang dihasilkan dari masukan aparat Kodim, Koramil dab Babinsa
selanjutnya dihimpun dan dijadikan sebagai konsep pemecahan masalah konflik
sosial yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk diterapkan saat terjadi konflik
sosial di daerah; (b) Pemberian penugasan kepada seluruh aparat Kowil untuk
mengumpulkan berita-berita tentang konflik sosial yang terjadi maupun di luar
daerah dalam bentuk kliping-kliping koran termasuk pendapat dan analisis para
pakar yang ada dalam berita, sebagai media untuk pembelajaran bagi mereka dalam
meningkatkan daya nalar dan analisisnya terhadap permasalahan konflik sosial;
(c)Pemberian penugasan kepada seluruh aparat Kowil untuk menyusun konsep
pemecahan konflik sosial dalam bentuk tulisan telaahan staf maupun tulisan-tulisan
militer lainnya, sesuai dengan kondisi permasalahan konflik yang seringkali terjadi
dan dihadapi di daerah tanggung jawabnya; (4) Melaksanakan kegiatan
pembinaan mental dan latihan penanggulangan konflik bersifat simulasi 2 (dua)
pihak untuk membentuk ketenangan sikap, pengendalian emosi dan kematangan
dalam mengambil suatu tindakan ketika konflik komunal berlangsung di daerah
masing-masing belum sepenuhnya dimiliki aparat dari mulai aparat Kodim Koramil
dan Babinsa sebagai berikut : (a)Memprogramkan kegiatan pembinaan mental bagi
11

seluruh aparat Kowil di daerah secara rutin dan bergiliran baik terpusat di Bintal
Kotama maupun secara langsung di satuan-satuan guna meningkatkan ketahanan
mental bagi aparat Kodim apabila di daerahnya terjadi konflik sosial yang
membutuhkan adanya keteangan dan bersikap; (b) Memprogramkan kegiatan
pelatihan penanggulangan konflik secara rutin, mandiri maupun gabungan dengan
unsur Pemda, Kepolisian di daerah melalui metode Geladi Posko I maupun Geladi
Lapang yang bersifat simulasi/pendekatan situasi konflik yang nyata dan
berlangsung 2 (dua) pihak; (c) Mengadakan pemutaran video rekaman kasus
konflik sosial melalui multimedia dihadapan seluruh aparat Kodim selanjutnya
diberikan penugasan di tempat, tentang bagaimana sikap dan tindakan yang harus
dilakukan setiap aparat Kodim menghadapi situasi konflik yang terjadi sesuai
tayangan yang ada dalam video tersebut;
Ketiga,. Prosedur dan mekanisme penanganan konflik komunal. Dalam
penanganan konflik sosial di daerah, selama ini Satkowil ditempatkan pada posisi
menunggu adanya permintaan dari Pemda maupun unsur Kepolisian di daerah.
Kewenangan yang dimiliki Satkowil dalam penanganan konflik komunal masih
sangat dibatasi, sehingga tidak dapat secara langsung untuk terjun melakukan
langkah-langkah antisipasi atau pencegahan konflik komunal di daerah. Aturan
perundang-undangan TNI maupun Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial
sampai dengan saat ini belum dijabarkan lebih lanjut dengan mengatur secara rinci
bagaimana tugas, peran dan fungsi Kodim dalam pencegahan konflik komunal di
daerah sebagai berikut : (1) Prosedur dan mekanisme penanganan konflik
komunal belum tersusun dalam perundang-undang yang berlaku termasuk dengan
Pemerintah daerah setempat belum memiliki Standard Operations Prosedure (SOP)
penanganan konflik yang sifatnya baku dan terpadu; (2) Koordinasi Lintas
Sektoral antara Kodim dengan Pemerintah daerah, Aparat Kepolisian masih
mengalami hambatan mengingat Peran dan Fungsi Muspida, Muspika dan Tripika,
Pola penanganan konflik sosial; (3) Dukungan Peranti Lunak berupa aturan
perundang-undangan, peraturan pemerintah maupun Bujuk-Bujuk dan Protap
Penanggulanan Konflik sebagai pedoman Kodim untuk melaksanakan tugasnya
dalam rangka mempercepat respon dalam mengatasi setiap gejala konflik yang
terjadi belum tersusun.
12

Prosedur dan mekanisme penanganan konflik yang dilakukan oleh Kodim


walaupun Satuan Kodim langsung terjun ke daerah konflik ketika terjadi konflik,
namun masih banyak kekurangan antara lain menyangkut aturan perundang-
undangan yang kurang dapat mengakomodir peran Satkowil dalam penanganan
konflik, belum adanya SOP yang jelas, lemahnya koordinasi lintas sektoral yang
dilaksanakan, serta belum dipedomaninya mempedomani Bujuk-bujuk maupun
Protap yang berlaku dalam penanganan konflik sosial yang terjadi di daerah. Kondisi
ini baik langsung maupun tidak langsung apabila dibiarkan terus berlarut akan
memunculkan sikap keragu-raguan dikalangan aparat untuk dapat terjun mengatasi
konflik yang terjadi, serta sangat rawan pada terjadinya berbagai penyimpangan
dalam tugas sehingga dapat menimbulkan penentangan dikalangan masyarakat.
Untuk menghindari hal tersebut maka diperlukan adanya berbagai upaya dan
kegiatan sebagai berikut : (1) Mengadakan peninjauan kembali aturan
perundang-undangan mengenai perbantuan TNI kepada Polri dan Pemda dalam
mengastasi konflik sosial dengan mempertegas hal-hal yang berkaitan dengan :
Status Konsep perbantuan TNI kepada POLRI yang berada dibawah kendali
operasi/dibawah komando operasi, termasuk kewenangan pengerahannya yang
selama ini berada ditangan Panglima TNI atau Polri perlu lebih dipertegas; (b)
Dalam UU No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konfilk Sosial pada Pasal 33
tentang Perbantuan Penggunaan Kekuatan TNI berstatus dikoordinasikan oleh
POLRI sehingga Komando tetap berada pada Komandan Satuan unsur TNI
setempat dan seterusnya secara berjenjang sesuai Hierarki sehingga konsep
perbantuan ini sesuai dengan UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI perlu dicantumkan
dalam penjelasannya yang berkaitan dengan kewenangan Kodim dan Kepolisian di
daerah termasuk tatacara dan konsep perbantuan TNI kepada POLRI yang perlu
dilaksanakan; (2) Mengusulkan kepada pemerintah untuk mengeluarkan PP
maupun Inpres yang mengatur tentang pelibatan satuan Kodim mengatasi konflik
sosial di daerah; (3) Menyarankan kepada Pemerintah daerah ditingkat Provinsi dan
Kabupaten/kota untuk mengeluarkan Peraturan Pemda yang mengatur tentang
pelibatan satuan Kodim mengatasi konflik sosial di daerah dengan berpedoman pada
UU RI No.34 tahun 2004 maupun Undang-undang RI No. 7 Tahun 2012 tentang
Penanganan Konfilk Sosial, serta Inpres RI No 2 Tahun 2013; (4) Merumuskan
Nota Kesepahaman dengan Kapolda maupun Kapolres sebagai tindak lanjut dari
13

Nota Kesepahaman yang telah dirumuskan oleh Kapolri dan Panglima TNI
menyangkut status dibawah kendali operasi atau dibawah komando operasi; (5)
Memfasilitasi Kodim jajaran untuk dapat merumuskan Nota Kesepakatan Kerjasama
dibidang pendidikan, latihan penyelenggaraan komunikasi sosial termasuk dalam
penanganan konflik sosial yang terjadi di daerah. Dengan adanya Nota
kesepahaman dan kerjasama antara satuan Kodim dengan instansi sipil/Polri
berkaitan dengan perencanaan, persiapan, pelaksanaan/pengendalian sampai
dengan pengakhiran mengatasi konflik sosial tidak saja dilakukan pada level
pimpinan yakni antara Pimpinan TNI dengan Pimpinan Polri di Pusat, namun dapat
diwujudkan pada level Angkatan termasuk satuan operasional ditingkat Kodim.
Dengan adanya kesepakatan yang ditandatangani secara bersama antara satuan
Kodim, Pemda maupun unsur Kepolisan dalam mengatasi konflik sosial di daerah
akan dapat menjamin adanya keterpaduan dan kekompakan antara TNI dan Polri
dalam setiap penanganan konflik.
Keempat, Sinergitas dan keterpaduan pencegahan Konflik Satuan Kowil
dengan Instansi terkait. Konflik sosial yang terjadi di wilayah pada dasarnya
dalam penanganannya merupakan tugas dan tanggung jawab dari aparat Kepolisian
selaku penegak keamanan dan ketertiban dalam masyarakat, namun demikian
adakalanya aparat Kepolisian tidak dapat mengatasi konflik komunal skala besar,
apalagi terjadi di dua tempat yang bersamaan. Dalam penegakkan keamanan dan
ketertiban dalam masyarakat, Kepolisian yang tersebar di wilayah Tanahgrogot dan
sekitarnya menggelar Babinkamtibmas sebagai mitra dari Babinsa. Namun dalam
pencegahan konflik sosial melalui komunikasi sosial, antara kedua institusi selama
ini belum memiliki aturan atau pedoman baku maupun rencana yang jelas, bahkan
ada kecenderungan unsur Polri merasa institusinya yang paling bertanggung jawab
mengatasi konflik sosial sehingga enggan untuk melibatkan unsur Satuan Kodim
sebagai berikut : (1) Masih mengemukanya perbedaan visi, misi dan persepsi
mengenai konsep keamanan dan ketertiban dalam masyarakat yang masih difahami
sebagai tanggung jawab dari institusi Polri. Sementara bagi Satuan Kowil masih
ditempatkan pada unsur bantuan yang berada pada posisi menunggu permintaan
dari unsur Pemda maupun Kepolisian; (2) PP maupun Inpres dan Peraturan
Pemda yang mengatur tentang pelibatan satuan Kodim dalam mengatasi konflik
komunal seperti konflik sosial terkait dengan aturan yang mengatur tentang tugas
14

perbantuan TNI dalam mengatasi konflik sebagaimana tercantum dalam UU RI


No.34 tahun 2004 maupun Undang-undang RI No. 7 Tahun 2012 tentang
Penanganan Konfilk Sosial yang kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya
Inpres RI No 2 Tahun 2013 dan Nota Kesepahaman Kapolri dan Panglima TNI
dalam implementasinya merupakan konsep yang sangat berbeda. Dalam Inpres No
2 Tahun 2013 dan Nota Kesepahaman menegaskan bahwa TNI membantu POLRI
dalam penanganan kamtibmas dengan status dibawah kendali operasi atau dibawah
komando operasi sedangkan dalam UU No 7 Tahun 2012 tentang PKS menegaskan
bahwa TNI membantu Pemda dalam mengatasi kamtibmas atas permintaan Kepala
Daerah sesuai stratanya dengan status dikoordinasikan oleh POLRI. Hal tersebut
disamping masih menimbulkan polemik juga belum dapat dijabarkan ke dalam
bentuk Peraturan pemerintah daerah yang menegaskan sejauhmana dan
bagaimana bentuk pelibatan serta kerangka tugas-tugas yang harus dilaksanakan
oleh satuan Kodim dalam mengatasi konflik sosial yang terjadi di daerah; (3) Nota
kesepahaman dan kerjasama antara satuan Kodim dengan instansi sipil/Polri
berkaitan dengan perencanaan, persiapan, pelaksanaan/pengendalian sampai
dengan pengakhiran mengatasi konflik komunal sampai dengan saat ini masih
dilakukan pada level pimpinan yakni antara Pimpinan TNI dengan Pimpinan Polri di
Pusat, sementara untuk level Angkatan termasuk satuan operasional ditingkat Kodim
belum dapat tersusun materi kesepakatan tersebut. Dengan belum adanya
kesepakatan yang ditandatangani secara bersama antara satuan Kodim, Pemda
maupun unsur Kepolisan dalam mengatasi konflik sosial di daerah seringkali banyak
timbul kesalahfahaman dalam penanganan setiap konflik sehingga kehadiran TNI
maupun Polri bukan menjadi penyelesai masalah namun menjadi masalah itu sendiri
pada prakteknya di lapangan; (4) Kodal penanganan konflik sosial antara Satuan
Kodim dengan unsur Kepolisian di daerah masih belum dapat dilaksanakan secara
terpadu, dimana selama ini kendali tanggung jawab penanganan dengan mengacu
pada aturan perundang-undangan yang berlaku masih berada di tangan unsur Polri
di daerah dan juga pemerintah daerah, sehingga Kodim sebagai unsur perbantuan
dalam prakteknya dilapangan seringkali dihadapkan pada kebingungan kendali mana
yang harus diikuti, sehingga ada tumpang tindih dalam pelaksanaannya yang
menghambat kelancaran satuan Kodim dalam mengatasi konflik sosiak yang terjadi
di daerah.
15

Hal tersebut terjadinya karena keterbukaan dalam penanganan konflik


komunal di daerah belum sepenuhnya dapat diwujudkan antara Kodim, unsur
Pemda dengan unsur Kepolisian di daerah. Sikap egoisme sektoral diantara
masing-masing institusi masih seringkali menghambat kelancaran penanganan
konflik komunal di daerah. Dalam setiap konflik komunal yang terjadi di daerah,
koordinasi antara Aparat Pemerintah daerah, Kepolisan dan Kodim belum dapat
dilaksanakan dengan lancar. Disamping itu, pemahaman UU RI No.34 tahun 2004
maupun Undang-undang RI No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konfilk Sosial
yang kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Inpres RI No 2 Tahun 2013
dan Nota Kesepahaman Kapolri dan Panglima TNI belum sama antara Polri,
Satkowil dengan Pemda. Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu dilakukan
berbagai upaya sebagai berikut : (1) Menyederhanakan proses pengambilan
keputusan dalam pengerahan kekuatan satuan kowil dalam mengatasi konflik sosial
dengan jalan : (a) Merumuskan kebijaksanaan khusus penanganan konflik sosial
yang bersifat darurat yang didasarkan pada kriteria-kriteria tertentu dimana Kasad
maupun Pangdam dapat secara langsung untuk mengerahkan kekuatan satuan
Kodim untuk segera terjun ke daerah konflik; (b) Mengeluarkan instruksi khusus saat
ada gejala peningkatan eskalasi konflik di suatu daerah kepada Kasad maupun
Pangdam untuk segera menggerakan seluruh personel, alat peralatan dan sumber
daya lainnya untuk melaksanakan langkah-langkah penanganan konflik; (b)
Mempersiapkan konsep pengerahan kekuatan kedaruratan bagi satuan Kodim
jajarannya yang akan diterjunkan ke daerah konflik, pembenahan mekanisme
koordinasi dengan unsur Polri dan Pemda yang terlibat dalam penanggulangan
konflik di daerah, membangun pusat informasi dan data sebagai sarana informasi
dan komunikasi darurat di daerah konflik yang tergelar secara on line di seluruh
komputer Kodim, Pemda, Polri di daerah; (2) Mengoptimalkan sistim Komando
Pengendalian yang berbasis teknologI untuk kelancaran dan keberhasilan Kodim
dalam mengatasi konflik komunal didukung oleh keterpaduan komunikasi yang
tersedia di masing – masing unsur – unsur yang terlibat dalam penanganan konflik
komunal di daerah;
Dari uraian-uraian sebagaimana tersebut diatas dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa Tanahgroghot merupakan daerah rawan konflik yang
dilatarbelakangi dan menyentuh permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial
16

budaya dan Hankam. Oleh karenanya untuk mencegah terjadinya konflik sosial
diperlukan adanya upaya komprehensif dari pemerintah didukung oleh Kodim
0904/Tanahgrogot. Keberadaan Kodim dengan Koramil dan Babinsa yang tersebar
di seluruh daerah sangat efektif untuk mendukung penyelenggaran komunikasi
sosial TNI di daerah terutama dalam mewujudkan Kemanunggalan TNI – Rakyat.
Komunikasi sosial yang berhasil oleh satuan Kodim juga dapat dimaksimalkan
perannya guna mengatasi konflik sosial khususnya dalam mengadakan berbagai
pendekatan dengan aparatur Pemda, Kepolisian di daerah, komponen masyarakat
serta KB TNI dalam mencari mencari solusi pemecahan permasalahan akar konflik
sosial di daerah. Disamping itu, dalam pencegahan konflik sosial di wilayah juga
dapat diwujudkan apabila wawasan pengetahuan aparat Kodim tentang manajemen
konflik dan komunikasi massa termasuk ketrampilan penanggulangan konflik dapat
meningkat, didukung oleh intensifnya kegiatan intelijen teritorial guna pencegahan
konflik, adanya Prosedur dan Mekanisme Penanganan Konflik yang dapat
mengakomodir peran dan tugas Kodim serta sinergitas dan keterpaduan
pencegahan Konflik Kodim dengan Instansi terkait dapat diwujudkan apabila antara
Kodim, unsur Pemda dengan unsur Kepolisian di daerah memiliki pemahaman dan
cara pandang yang sama terhadap berbagai aturan perundangan yang mengatur
tentang peran TNI dan Polri, adanya sikap keterbukaan untuk saling bekerjasama
satu sama lain.

Guna mewujudkan hal tersebut maka disarankan beberapa hal yaitu sebagai
berikut : Pertama, Kasad perlu merumuskan pokok-pokok kebijakan dan program khusus
komunikasi sosial bagi seluruh satuan Kodim jajaran yang diarahkan pada usaha untuk
mengatasi konflik sosial di daerah; Kedua, Kasad perlu menambah alokasi pendidikan
spesialisasi territorial, manajemen komunikasi sosial dan manajemen konflik sosial di
Pusdikter bagi seluruh aparat Kodim, Koramil maupun Babinsa; Ketiga, Perlunya
Pemerintah mengadakan sinkronisasi pasal tugas perbantuan TNI dalam
penanganan konflik dalam UU RI No.34 tahun 2004 dengan Undang-undang RI No.
7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konfilk Sosial dan Inpres RI No 2 Tahun 2013;
Keempat, Perlunya unsur pimpinan untuk menyusun Mekanisme Kodal Terpadu
yang menggabungkan unsur Kodim , Pemerintah daerah dan unsur Polri di daerah
dalam rangka pengendalian konflik sosial di wilayah.
17

Demikian tulisan ini disusun semoga bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai
sumbang pemikiran dan saran bagi unsur pimpinan TNI AD dalam merumuskan
kebijakan pembinaan kemampuan dan penggunaan kekuatan Kodim dalam
pencegahan konflik sosial di wilayah.

Sumber Referensi :

1. http://www.lazuardibirru.org, Artikel berita tentang Wilayah Konflik Komunal


meluas, 10 Desember 2012, Jakarta, 2012.

2. Mabesad, DOKTRIN TNI AD ”Kartika Eka Paksi”, jakarta, 2007

3. Mabesad, Bujuklap tentang Organisasi dan Tugas Kodim.

4. Mabesad, Buku Petunjuk tentang Pembinaan Teritorial.

5. Mabesad, Buku Petunjuk tentang Komunikasi Sosial.

6. Nurudin M.SI. Pengantar komunikasi massa, PT. Rajagrafindo Persada,


Jakarta, 2007.

7. Pemerintah RI, Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan


Negara, Penerbit PT.Fokusmedia, Bandung, 2004.

8. Pemerintah RI, Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara


Nasional Indonesia, Penerbit PT.Fokusmedia, Bandung, 2004.

9. Pemerintah RI, Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 2012 tentang penanganan


konfilk sosial, Jakarta, 2012.

Anda mungkin juga menyukai