Anda di halaman 1dari 3

1.

Studi Kasus: Menggambar Cepat


tidak seperti teman-teman sekelasnya yang lebih berorientasi sosial. Anya adalah
murid pendiam yang biasanya lebih memilih sendirian. Jika dia memiliki waktu senggang di
kelas, dia akan mengambil beberapa kertas dan sebuah pensil lalu mulai menggambar.
Kecintaanya pada menggambar tampak selama pelajaran dan tugas yang diberikan.
Misalnya, dia mendesain selebaran dengan berbagai coretan rumit, menghias esai dan
cerita-cerita pendek dengan ilustrasi, serta terkadang menggambar lukisan kata-kata di
daftar ejaan mingguan.
Tidak mengejutkan, Anya selalu tidak sabaran menantikan kelas seninya. Ketika
hari itu tiba, ia sangat memperhatikan ketika guru seninya menjelaskan atau menunjukkan
teknik menggambar yang baru. Dia hanyut dalam setiap tugas menggambar yang diberikan
kepadanya, dan seperti tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Guru seni Anya
mencatat dengan bangga betapa keterampilan seni Anya telah meningkat selama tahun
ajaran berlangsung.
Anya mengatakan terus terang tentang minatnya tersebut. “Ketika aku dewasa nanti,
aku ingin menjadi seniman profesional,” ujarnya dengan sungguh-sungguh. “Sementara itu,
aku akan berlatih, berlatih, dan berlatih.”
● Manakah perilaku Anya yang mencerminkan minatnya dalam seni?
Apakah perilaku-perilaku itu cenderung meningkatkan performannya di kelas seni?
jika ya, bagaimana?

2. Ketika Bilang “Sempurna” Saja Tidak Cukup


Murid kelas dua Bu Ana baru saja mulai belajar bagaimana menulis huruf miring
(cursive letters). Setiap hari Bu Ana memperkenalkan huruf miring yang baru dan
menunjukkan kepada para siswanya bagaimana menulisnya secara benar. Dia juga
menunjukkan kepada mereka beberapa kesalahan yang umumnya dalam menulis huruf
tersebut–misalnya, menyatakan bahwa dia akan membuat f yang sempurna namun
kemudian menuliskan terlalu pendek dan menyilang garis vertikal di tempat yang salah–dan
anak-anak senang menemukan kesalahannya. Setelah kelas mempelajari setiap bentuk
huruf. Bu Ana meminta siswanya untuk mempraktikkannya, pertama-tama dengan
menuliskannya berkali-kali di kertas bergaris.
Sementara itu, Bu Ana memutuskan untuk membandingkan pengaruh dua jenis
pujian yang berbeda terhadap performa anak-anak. Dia meletakkan sebuah stiker kecil di
setiap meja anak-anak untuk menunjukkan keanggotaan di salah satu kelompok dari dua
yang ada. Ketika anak-anak di kelompok 1 menulis sebuah huruf dengan bentuk yang
bagus, dia memberi mereka lambang wajah tersenyum dan mengatakan sesuatu seperti
“Hebat” atau “Sempurna”: cara lainnya adalah tersenyum ke arah mereka atau memberi
tepukan di punggung. Ketika anak-anak di kelompok 2 menulis sebuah huruf dengan bentuk
yang bagus sekurang-kurangnya sekali, dia memberikan lambang wajah tersenyum dan
mengatakan “Kalian pasti telah berusaha keras,” “Kalian dapat menulis huruf miring dengan
indah,” atau “Anda memang berbakat dalam soal ini.” Ketika anak-anak di dari dua
kelompok ini gagal memenuhi standar penulisan miring, dia memberikan umpan balik
korektif yang mereka butuhkan.
Dengan demikian, satu-satunya cara Bu Ana memperlakukan kedua kelompok
secara berbeda dalam apa yang dia katakan kepada murid ketika mereka mengerjakan
tugasnya dengan bagus, entah dengan memberi mereka umpan balik yang agak sama-
sama (untuk kelompok 1) ataupun dengan memberitahu mereka bahwa mereka telah
berusaha keras atau memiliki kemampuan yang tinggi (untuk kelompok 2). Walaupun ada
perbedaan kecil, Bu Ana mendapati bahwa anak-anak di kelompok 2 lebih menyukai
menulis miring, dan mereka lebih sering menggunakannya di ujian ejaan serta ujian-ujian
menulis lainnya. Anehnya, anak-anak kelompok 1 sering tampak kecewa ketika mereka
menerima umpan balik positif. Misalnya pada suatu kesempatan, seorang gadis yang
menulis dengan indah namun sayangnya termasuk dalam kelompok 1 bertanya, “Apakah
aku berbakat dalam soal ini?” Meskipun gadis tersebut selalu mendapat nilai “+” untuk
tulisan miringnya, dia tidak pernah menulis miring secara sukarela sepanjang tiga minggu
percobaan Bu Ana.
● Mengapa dari salah satu observasi di bawah ini yang paling mendukung kesimpulan
bahwa anak-anak di kelompok 2 memiliki motivasi intrinsik yang lebih besar
dibandingkan anak-anak di kelompok 1 ?
a. Anak-anak di kelompok 2 mendapat umpan balik yang lebih detail.
b. Anak-anak di kelompok 2 tampaknya lebih senang ketika Bu Ana memberi
penguatan kepadaa mereka.
c. Anak-anak di kelompok 1 tampak kecewa dengan umpan balik yang mereka peroleh.
d. Anak-anak di kelompok 1 menggunakan tulisan miring lebih sering di tugas-tugas
lain.
● Mengapa umpan balik seperti “Kalian pasti telah berusaha keras” atau “Kalian dapat
menulis huruf miring dengan indah” lebih efektif dibandingkan umpan balik seperti
“Hebat” atau “Sempurna” ? Gunakan apa yang telah anda pelajari tentang motivasi
untuk menebak jawabannya.
● Mungkinkah umpan balik yang diberikan kepada kelompok 1 ( Kalian “Hebat,”
“Sempurna,”) lebih efektif apabila Bu Ana menggunakannya untuk semua siswanya,
bukan hanya kepada kelompok 1 ? Jelaskan jawaban anda (Untuk membantu
menjawab pertanyaan ini, kembalilah ke bagian “Faktor-faktor yang mempengaruhi
perasaan diri” BAB 3

3. Studi Kasus : Tono


Pada usianya yang ke-17, Tono tampak sebagai seorang pemuda yang pendiam dan
menjaga jarak. Dia bukanlah pribadi yang mudah bergaul dan dia memang jarang
bergabung dalam organisasi bahkan dalam tim olahraga. Meskin begitu, Dia memiliki
beberapa kawan karib yang berteman dengannya.
Ketika Tono duduk di bangku sekolah dasar, nilai-nilainya cukup lumayan meskipun
memiliki kesulitan memahami bacaan. selain itu, dia seringkali kedapatan melamun di kelas
selama pelajaran berlangusng, walau secara umum perilakunya cukup sopan. Dari evaluasi
yang dilakukan kepadanya di kelas tiga, tidak ditemukan adanya gangguan kognitif ataupun
gangguan fisik yang membuat dirinya perlu dimasukkan dalam layanan pendidikan khusus.
Di sekolah menengah, nilai-nilai Tono mulai menurun. Para guru mengeluhkan
“tatapan matanya yang menerawang” dan kebiasaannya melamun. Tono mengalami
kesulitan menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Kehidupannya juga sangat tidak teratur
sehingga dia jarang menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Bertolak belakang dengan
meningkatnya harapan guru akan kemandiriannya di beberapa tahun ke depan, prestasi
sekolah Tono justru kian menurun. Dia tidak lulus dalam sejumlah mata pelajaran di kelas IX
dan kelas X, sehingga harus mengulang berbagai mata pelajaran tersebut di waktu akhir
semester.
Sekarang, di pertengahan semester kelas XI, ibu Tono mengajaknya menjalani
evaluasi psikologis mendalam di klinik diagnostik Universitas. Hasil tes IQ memperlihatkan
skor 96, yang mencerminkan inteligensi rata-rata; hasil pengukuran penyesuaian sosial dan
emosional juga memperlihatkan rentang normal; namun hasil pengukuran atensi tampak
lemah. Tono menjelaskan kepada staf klinik bahwa dia mengalami kesulitan mengabaikan
distraksi dan harus berada di tempat yang sangat tenang agar dapat menyelesaikan
pekerjaan rumahnya. Selain itu, dia mengakui seringkali harus membaca sesuatu berulang
kali sebelum dapat memahami maknanya.
● Pada bab sebelumnya kita telah membahas lima kategori umum kebutuhan khusus,
yaitu (1) Hambatan kognitif dan akademik yang spesifik, (2) masalah sosial dan
perilaku, (3) hambatan umum dalam fungsi kognitif dan sosial, (4) hambatan fisik dan
sensori, (5) perkembangan kognitif yang tinggi.
● Tono termasuk dalam kategori yang mana ? dapatkah anda menduga diagnosis khusus
yang dicapai oleh para staf klink ?
● Sebagai seorang guru, strategi-strategi apa saja yang dapat anda gunakan untuk
mengakomondasi kebutuhan Tono yang unik ?

Anda mungkin juga menyukai