tidak seperti teman-teman sekelasnya yang lebih berorientasi sosial. Anya adalah murid pendiam yang biasanya lebih memilih sendirian. Jika dia memiliki waktu senggang di kelas, dia akan mengambil beberapa kertas dan sebuah pensil lalu mulai menggambar. Kecintaanya pada menggambar tampak selama pelajaran dan tugas yang diberikan. Misalnya, dia mendesain selebaran dengan berbagai coretan rumit, menghias esai dan cerita-cerita pendek dengan ilustrasi, serta terkadang menggambar lukisan kata-kata di daftar ejaan mingguan. Tidak mengejutkan, Anya selalu tidak sabaran menantikan kelas seninya. Ketika hari itu tiba, ia sangat memperhatikan ketika guru seninya menjelaskan atau menunjukkan teknik menggambar yang baru. Dia hanyut dalam setiap tugas menggambar yang diberikan kepadanya, dan seperti tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Guru seni Anya mencatat dengan bangga betapa keterampilan seni Anya telah meningkat selama tahun ajaran berlangsung. Anya mengatakan terus terang tentang minatnya tersebut. “Ketika aku dewasa nanti, aku ingin menjadi seniman profesional,” ujarnya dengan sungguh-sungguh. “Sementara itu, aku akan berlatih, berlatih, dan berlatih.” ● Manakah perilaku Anya yang mencerminkan minatnya dalam seni? Apakah perilaku-perilaku itu cenderung meningkatkan performannya di kelas seni? jika ya, bagaimana?
2. Ketika Bilang “Sempurna” Saja Tidak Cukup
Murid kelas dua Bu Ana baru saja mulai belajar bagaimana menulis huruf miring (cursive letters). Setiap hari Bu Ana memperkenalkan huruf miring yang baru dan menunjukkan kepada para siswanya bagaimana menulisnya secara benar. Dia juga menunjukkan kepada mereka beberapa kesalahan yang umumnya dalam menulis huruf tersebut–misalnya, menyatakan bahwa dia akan membuat f yang sempurna namun kemudian menuliskan terlalu pendek dan menyilang garis vertikal di tempat yang salah–dan anak-anak senang menemukan kesalahannya. Setelah kelas mempelajari setiap bentuk huruf. Bu Ana meminta siswanya untuk mempraktikkannya, pertama-tama dengan menuliskannya berkali-kali di kertas bergaris. Sementara itu, Bu Ana memutuskan untuk membandingkan pengaruh dua jenis pujian yang berbeda terhadap performa anak-anak. Dia meletakkan sebuah stiker kecil di setiap meja anak-anak untuk menunjukkan keanggotaan di salah satu kelompok dari dua yang ada. Ketika anak-anak di kelompok 1 menulis sebuah huruf dengan bentuk yang bagus, dia memberi mereka lambang wajah tersenyum dan mengatakan sesuatu seperti “Hebat” atau “Sempurna”: cara lainnya adalah tersenyum ke arah mereka atau memberi tepukan di punggung. Ketika anak-anak di kelompok 2 menulis sebuah huruf dengan bentuk yang bagus sekurang-kurangnya sekali, dia memberikan lambang wajah tersenyum dan mengatakan “Kalian pasti telah berusaha keras,” “Kalian dapat menulis huruf miring dengan indah,” atau “Anda memang berbakat dalam soal ini.” Ketika anak-anak di dari dua kelompok ini gagal memenuhi standar penulisan miring, dia memberikan umpan balik korektif yang mereka butuhkan. Dengan demikian, satu-satunya cara Bu Ana memperlakukan kedua kelompok secara berbeda dalam apa yang dia katakan kepada murid ketika mereka mengerjakan tugasnya dengan bagus, entah dengan memberi mereka umpan balik yang agak sama- sama (untuk kelompok 1) ataupun dengan memberitahu mereka bahwa mereka telah berusaha keras atau memiliki kemampuan yang tinggi (untuk kelompok 2). Walaupun ada perbedaan kecil, Bu Ana mendapati bahwa anak-anak di kelompok 2 lebih menyukai menulis miring, dan mereka lebih sering menggunakannya di ujian ejaan serta ujian-ujian menulis lainnya. Anehnya, anak-anak kelompok 1 sering tampak kecewa ketika mereka menerima umpan balik positif. Misalnya pada suatu kesempatan, seorang gadis yang menulis dengan indah namun sayangnya termasuk dalam kelompok 1 bertanya, “Apakah aku berbakat dalam soal ini?” Meskipun gadis tersebut selalu mendapat nilai “+” untuk tulisan miringnya, dia tidak pernah menulis miring secara sukarela sepanjang tiga minggu percobaan Bu Ana. ● Mengapa dari salah satu observasi di bawah ini yang paling mendukung kesimpulan bahwa anak-anak di kelompok 2 memiliki motivasi intrinsik yang lebih besar dibandingkan anak-anak di kelompok 1 ? a. Anak-anak di kelompok 2 mendapat umpan balik yang lebih detail. b. Anak-anak di kelompok 2 tampaknya lebih senang ketika Bu Ana memberi penguatan kepadaa mereka. c. Anak-anak di kelompok 1 tampak kecewa dengan umpan balik yang mereka peroleh. d. Anak-anak di kelompok 1 menggunakan tulisan miring lebih sering di tugas-tugas lain. ● Mengapa umpan balik seperti “Kalian pasti telah berusaha keras” atau “Kalian dapat menulis huruf miring dengan indah” lebih efektif dibandingkan umpan balik seperti “Hebat” atau “Sempurna” ? Gunakan apa yang telah anda pelajari tentang motivasi untuk menebak jawabannya. ● Mungkinkah umpan balik yang diberikan kepada kelompok 1 ( Kalian “Hebat,” “Sempurna,”) lebih efektif apabila Bu Ana menggunakannya untuk semua siswanya, bukan hanya kepada kelompok 1 ? Jelaskan jawaban anda (Untuk membantu menjawab pertanyaan ini, kembalilah ke bagian “Faktor-faktor yang mempengaruhi perasaan diri” BAB 3
3. Studi Kasus : Tono
Pada usianya yang ke-17, Tono tampak sebagai seorang pemuda yang pendiam dan menjaga jarak. Dia bukanlah pribadi yang mudah bergaul dan dia memang jarang bergabung dalam organisasi bahkan dalam tim olahraga. Meskin begitu, Dia memiliki beberapa kawan karib yang berteman dengannya. Ketika Tono duduk di bangku sekolah dasar, nilai-nilainya cukup lumayan meskipun memiliki kesulitan memahami bacaan. selain itu, dia seringkali kedapatan melamun di kelas selama pelajaran berlangusng, walau secara umum perilakunya cukup sopan. Dari evaluasi yang dilakukan kepadanya di kelas tiga, tidak ditemukan adanya gangguan kognitif ataupun gangguan fisik yang membuat dirinya perlu dimasukkan dalam layanan pendidikan khusus. Di sekolah menengah, nilai-nilai Tono mulai menurun. Para guru mengeluhkan “tatapan matanya yang menerawang” dan kebiasaannya melamun. Tono mengalami kesulitan menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Kehidupannya juga sangat tidak teratur sehingga dia jarang menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Bertolak belakang dengan meningkatnya harapan guru akan kemandiriannya di beberapa tahun ke depan, prestasi sekolah Tono justru kian menurun. Dia tidak lulus dalam sejumlah mata pelajaran di kelas IX dan kelas X, sehingga harus mengulang berbagai mata pelajaran tersebut di waktu akhir semester. Sekarang, di pertengahan semester kelas XI, ibu Tono mengajaknya menjalani evaluasi psikologis mendalam di klinik diagnostik Universitas. Hasil tes IQ memperlihatkan skor 96, yang mencerminkan inteligensi rata-rata; hasil pengukuran penyesuaian sosial dan emosional juga memperlihatkan rentang normal; namun hasil pengukuran atensi tampak lemah. Tono menjelaskan kepada staf klinik bahwa dia mengalami kesulitan mengabaikan distraksi dan harus berada di tempat yang sangat tenang agar dapat menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Selain itu, dia mengakui seringkali harus membaca sesuatu berulang kali sebelum dapat memahami maknanya. ● Pada bab sebelumnya kita telah membahas lima kategori umum kebutuhan khusus, yaitu (1) Hambatan kognitif dan akademik yang spesifik, (2) masalah sosial dan perilaku, (3) hambatan umum dalam fungsi kognitif dan sosial, (4) hambatan fisik dan sensori, (5) perkembangan kognitif yang tinggi. ● Tono termasuk dalam kategori yang mana ? dapatkah anda menduga diagnosis khusus yang dicapai oleh para staf klink ? ● Sebagai seorang guru, strategi-strategi apa saja yang dapat anda gunakan untuk mengakomondasi kebutuhan Tono yang unik ?