MAKALAH
KONSEP ASPEK LEGAL DAN ETIK KEPERAWATAN KRITIS
Dosen pengampu:
Ns. Fatimah S.Kep.,M.Kep
Disususn oleh:
Fitra 2010070170030
Al fikri 2010070170032
Sindy leonita 2010070170034
Aulia gustira mahdi 2010070170041
Famela mutiara tasri 2010070170042
Thessa fitriza 2010070170045
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaiakan tugas makalah ini. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi
tugas wajib mata kuliah Keperawatan Kritis dengan judul “Konsep Legal Etis
Keperawatan Kritis”.
Melalui tersusunnya makalah ini, diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi penulis dan pembacanya. Makalah ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
salah satu bahan bacaan atau gambaran guna menunjang penyelesaian tugas
perkuliahan yang relevan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah terlibat. Penulis
telah berusaha membuat makalah ini dengan sebaik-baiknya, namun tidak akan
luput dari kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran demi penulisan yang lebih baik. Akhir kata, semoga Allah SWT
senantiasa memberikan rahmat dan karunia-Nya bagi kita semua. Amiin Ya
Rabbal’Aalamiin.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iii
BAB I........................................................................................................................ 4
PENDAHULUAN...................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang.............................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................ 5
1.3 Tujuan Penulisan..........................................................................................5
BAB II....................................................................................................................... 6
TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................. 6
2.1 Konsep Etik Keperawatan Kritis................................................................... 6
2.2 Konsep Legal Keperawatan Kritis............................................................... 13
BAB III.................................................................................................................... 16
PENUTUP............................................................................................................... 16
3.1 Simpulan......................................................................................................... 16
3.2 Saran............................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 17
iii
BAB I
PENDAHULUAN
iv
namun memiliki kemampuan tidak berarti memiliki kewenangan. Seperti juga
kemampuan yang di dapat secara berjenjang, kewenangan yang diberikan juga
berjenjang. Kompetensi dalam keperawatan berarti kemampuan khusus
perawat dalam bidang tertentu yang dimiliki tingkat minimal yang harus
dilampaui.
Masalah etik keperawatan di Rumah sakit secara umum, tentang masalah
‘konflik’, sehingga menimbulkan ketegangan antara posisi etis kelompok
profesional, ketegangan antara hak pasien dan kepentingan pribadi serta
kesejahteraan perawat (‘Ethics and Values’, 1992). PPNI menyatakan konflik
sebagai ketidak sepahaman kepentingan tidak melibatkan klien (PPNI, 2018).
Sujiatun menyatakan masalah etik RS bisa terjadi konflik multidimensi. Jadi
konflik terjadi karena perbedaan kepentingan atau kewenangan yang
menimbulkan ketegangan merupakan masalah etika.
v
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
Dengan mengikuti prinsip autonomi berarti menghargai pasien
untuk mengambil keputusan sendiri berdasarkan keunikan individu
secaraholistik.
b. Non maleficence (tidak merugikan)
Yaitu keharusan untuk menghindari berbuat yang merugikan
pasien, setiap tindakan medis dan keperawatan tidak boleh
memperburuk keadaan pasien. Berarti tindakanyang dilakukan
tidak menyebabkan bahaya bagi pasien, bahaya disini dapat
berartidengan sengaja membahayakan, resiko membahayakan dan
bahaya yang tidak disengaja.
c. Beneficence ( kemurahan hati)
Yaitu keharusan untuk berbuat baik kepada pasien, setiap tindakan
medis dankeperawatan harus ditujukan untuk kebaikan pasien.
Berarti melakukan yang baikyaitu mengimplementasikan tindakan
yang menguntungkan pasien dan keluarga
d. Justice (perlakuan adil)
Yaitu sikap dan tindakan medis dan keperawatan harus bersifat adil,
dokter dan perawat harus menggunakan rasa keadilan apabila akan
melakukan tindakan kepada pasien
e. Fidelity (setia, menepati janji )
Berarti setia terhadap kesepakatan dan tanggung jawab yang
dimiliki olehseseorang. Kesetiaan berkaitan dengan kewajiban
untuk selalu setia pada kesepakatandan tanggung jawab yang telah
dibuat. Setiap tenaga keperawatan mempunyaitanggung jawab
asuhan keperawatan kepada individu, pemberi kerja, pemerintah
danmasyarakat.Apabila terdapat konflik diantara berbagai
tanggungjawab, maka diperlukan penentuan prioritas sesuai dengan
situasi dan kondisi yang ada.
f. Veracity (kebenaran, kejujuran)
Prinsip ini berkaitan dengan kewajiban perawat untuk mengatakan
suatu kebenaran,tidak berbohong atau menipu orang lain. Kejuj
uran adalah landasan untuk “informedconcent” yang baik. Perawat
7
harus dapat menyingkap semua informasi yang diperlukan oleh
pasien maupun keluarganya sebelum mereka membuat keputusan.
g. Confidenciality ( kerahasiahan )
Prinsip ini berkaitan dengan penghargaan perawat terhadap semua
informasi tentang pasien/klien yang dirawatnya. Pasien/klien harus
dapat menerima bahwa informasiyang diberikan kepada tenaga
profesional kesehatan akan dihargai dan tidakdisampaikan/
diberbagikan kepada pihak lain secara tidak tepat. Perlu dipahami
bahwa berbagi informasi tentang pasien/klien dengan anggota
kesehatan lain yangikut merawat pasien tersebut bukan merupakan
pembeberan rahasia selama informasitersebut relevan dengan kasus
yang ditangani.
h. Accountability (akuntabilitas)
Dalam menerapkan prinsip etik, apakah keputusan ini mencegah
konsekwensi bahaya,apakah tindakan ini bermanfaat, apakah
keputusan ini adil, karena dalam pelayanan kesehatan petugas
dalam hal ini dokter dan perawat tidak boleh membeda-bedakan
pasien dari status sosialnya, tetapi melihat dari penting atau
tidaknya pemberian tindakan tersebut pada pasien.
Hak-hak pasien haruslah dihargai dan dilindungi, hak-hak
tersebut menyangkut kehidupan, kebahagiaan, kebebasan, privacy, self
determination, perlakuan adil danintegritas diri. Dilema moral masih
mungkin terjadi apabila prinsip moral otonomi di hadapkan dengan
prinsip moral lainnya, atau apabila prinsip beneficence dihadapkan
dengan non maleficence, misalnya apabila keinginan pasien (otonomi)
ternyata bertentangan dengan dengan beneficence atau non
maleficence, atau bisa saja apabila sesuatu tindakan mengandung
beneficence dan non maleficence terjadi secara bersamaan sepeti
“ Rule of Double Effect (RDE) ” yaitu apabila suatu tindakan untuk
memberikan kenyamanan berdasarkan prinsip beneficence tetapi
sekaligus memiliki resiko terjadinya perburukan sehingga berlawanan
dengan prinsip non maleficence. Contoh: pemberian morphin sulfat
8
untuk mengendalikan rasa nyeri hebat yang terjadi pada pasien
penderita cancer stadium akhir yang beresiko akan memberikan efek
depresan yang dapat menekan pusat pernafasan pasien.
9
pasien harus diberikan informasi yang adekuat sehingga mampu
mengambil keputusan, dan pasien pada saat pengambilan keputusan
harus bebas dari ancaman atau paksaan. Namun, pada beberapa
keadaan, persetujuan tindakan tersebut tidak diperlukan. Sebagai
contoh keadaan darurat yang tidak membutuhkan persetujuan tindakan
dan pasien dapat melepaskan haknya untuk memberikan persetujuan
tindakan dengan menyatakan ia tidak menginginkan informasi
mengenai rencana terapi atau prosedur (Morton, 2009).
Informed consent harus meliputi :
1. Dokter harus menjelaskan pada pasien mengenai diagnosa,
tindakan, terapi dan penyakitnya
2. Pasien harus diberitahu tentang hasil terapi yang diharapkan dan
seberapa besarkemungkinan keberhasilannya
3. Pasien harus diberitahu mengenai beberapa alternatif yang ada dan
akibat apabila penyakit tidak diobati
4. Pasien harus diberitahu mengenai risiko apabila menerima atau
menolak terapi,disertai upaya antisipasi yang dilakukan untuk
menghindari resiko tersebut. Risikoyang harus disampaikan
meliputi efek samping yang mungkin terjadi dalam penggunaan
obat atau tindakan pemeriksaan dan operasi yang dilakukan.
5. Biaya yang menyangkut tindakan tersebut walaupun tidak selalu
diutamakan. Pasien juga berhak untuk mengetahui semua prognosa,
komplikasi, sekuele, ketidaknyamanan, kesulitan yang mungkin
dalami dengan adanya tindakan tersebut.
10
dipulangkan, tetapi secara medis belum cukup stabil untuk
menjalani perawatan dirumah.
b. Do Not Resuscitate (DNR) : Holding / With Drawal
With holding adalah menunda terapi atau bantuan hidup pada
pasien yang dianggap sudah tidak punya harapan hidup lagi,
sedangkan with drawal artinya menghentikan bantuan hidup pada
pasien yang biasanya terpasang alat bantu penunjang kehidupan
seperti ventilasi mekanik, alat pacu jantung, dll. Keputusan
melakukan ini harus dikomunikasikan dengan keluarga setelah tim
medis mendiskusikannya dengan team lain.
c. Euthanasia
Euthanasia dapat dilakukan pada kasus tertentu, misalnya pada
penderita penyakit mematikan yang tidak dapat disembuhkan atau
pada pasien yang merasa kesakitan dan kondisi medisnya tidak bisa
lagi diobati. Permintaan untuk euthanasia bisa dilakukan oleh
pasien sendiri atau keluarga pasien.
Kematian pada umumnya disepakati sebagai berhentinya
kehidupan, meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini
oleh ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak,
pernafasan dan atau denyut jantung seseorang telah berhenti.
Kematian sebenarnya bukanlah suatu titik waktu, melainkan
merupakan suatu tahapan waktu, dimulai dari kematian klinis,
kemudian kematian otak, kematian biologis dan akhirnya kematian
seluler.
Pada kematian klinis ditemukan berhentinya fungsi kardiovaskuler
dan pernapasan, yang kemudian akan diikuti oleh kematian otak,
kecuali apabila dilakukan resusitasi dan berhasil. Otak tidak dapat
hidup lagi dalam waktu 6 sampai 10 menit tanpa oksigen. Kematian
otak juga bertahap, biasanya dimulai pada korteks serebri,
kemudian disusul oleh serebelum (otak kecil) dan diakhiri dengan
kematian batang otak.
11
Apabila terjadi kematian korteks serebri tanpa kematian pusat
sirkulasi dan pernafasan, maka terjadilah keaadaan ketidak sadaran
yang permanen, tetapi kardiovaskuler dan pernapasan masih tetap
berfungsi (persisten vegetative state).
Setelah semua bagian otak berhenti bekerja maka terjadilah
kematian biologis, suatu kematian yang permanen. Selanjutnya
dimulailah kematian seluler, yang berbeda-beda waktunya bagi
masing masing jenis jaringan. Kapankan seseorang dapat
dinyatakan mati, apa kriterianya dan bagaimanakah prosedur
penentuannya. Ketika pasien belum dapat dinyatakan mati, dokter
melakukan tindakan secara aktif menghentikan kehidupannya,
maka ia dapat dinyatakan sebagai melakukan pembunuhan.
Sebaliknya apabila pasien sudah dapat dinyatakan mati, tetapi
dokter masih melakukan tindakan terapetik maka ia dapat
dinyatakan melanggar professi karena melakuka ntindakan medic
pada mayat.
Pengakuan atas hak otonomi pasien sedemikian kuat, sehingga
tidak hanya hak hidup, hak atas informasi dan hak memperoleh
layanan yang layak saja yang dituntut, melainkan juga hak untuk
mati secara bermatabat.
12
Maksud dan tujuannya adalah :
a. Memberikan kerangka untuk menentukan tindakan keperawatan
mana yang sesuaidengan hukum
b. Membedakan tanggung jawab perawat dengan profesi lain
c. Membantu menentukan batas-batas kewenangan tindakan
keperawatan mandirid.
d. Membantu mempertahankan standard praktik keperawatan dengan
meletakkan posisi perawat memiliki akuntabilitas dibawah hukum.
e. Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa seseorang, perawat
berwenangmelakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan
yang ditujukan untuk penyelamatan jiwa.
13
2. Menyelamatkan nyawa pasien darurat (Pasal 32)
3. Tidak boleh menolak pasien darurat dan memintauang muka :
(Pasal 32)
4. Tenaga Kesehatan Kualifikasi dan izin profesi (Pasal34)
5. Menerima atau menolak pertolongan kecuali tidaksadarkan diri
(Pasal 56)
6. Tuntutan ganti rugi oleh pasien kecuali untuktindakan
penyelamatan nyawa dan pencegahankecacatan (Pasal 58)7.
Ketentuan pidana terkait kedaruratan pasien (Pasal190)
b. Kepmenkes 1239/2001 Tentang Praktik Keperawatan pasal 15 dan 16
1. Melakukan asuhan keperawatan meliputi Pengkajian, penetapan
diagnosakeperawatan, perencanaan, melaksanakan tindakan dan
evaluasi.
2. Pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakukan atas permintaan
tertulis dokter
3. Dalam melaksanakan kewenangan perawat berkewajiban:
- Menghormati hak pasien
- Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani
- Menyimpan rahasia sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku
- Memberikan informasi
- Meminta persetujuan tindakan yang dilakukan
- Melakukan catatan perawatan dengan baik
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Perawat ruang intensif/kritis harus memberikan pelayanan keperawatan
yang mencerminkan pemahaman akan aspek etika dan legal keperawatan yang
mencerminkan pemahaman akan aspek etika dan legal kesehatan. Perawat ruang
kritis harus bekerja sesuai dengan aturan yang ada (standar rumah sakit/standar
pelayanan maupun asuhan keperawatan).
Perawat kritis harus tetap memantau informasiterbaru dan mengembangkan
kemampuan yangdimiliki untuk mengelola metode dan teknologi perawatan
terbaru. Seiring dengan perkembangan perawatan yang dilakukan padapasien
semakin kompleks dan banyaknya metode ataupun teknologi perawatan baru yang
diperkenalkan, perawat kritis dipandang perlu untuk selalu meningkatkan
pengetahuannya.
3.2 Saran
Diharapkan adanya makalah ini dapat memberikan manfaat dan informasi
terkait dengan aspek dan legal etis di area keperawatan kritis. Sehingga, dapat
menjadikan ingatan dan lebih memperhatikan hak-hak dan kewajiban bagi
perawat yang bekerja di bidang klinis kepereawatan kritis.
15
DAFTAR PUSTAKA
Morton, P.G., and Fontaine, D.K. (2009). Critical Care Nursing: A hoistic.
Approach. Philadelpia, PA: Lipincott, Williams & wilkins.
16