Anda di halaman 1dari 27

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistem Respirasi


2.1.1. Anatomi dan Fisiologi
Sistem respirasi manusia tersusun dari beberapa bagian yaitu
dimulai dari hidung, faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus, dan
alveolus. Selain itu, system respirasi manusia dapat dibagi menjadi 2
berdasarkan letak dan fungsinya, yaitu system respirasi atas dan bawah.
Sistem respirasi atas terdiri atas hidung dan faring, sedangkan untuk system
respirasi bawah terdiri dari laring, trakea, bronkus, bronkiolus, dan alveolus.
Sistem respirasi sendiri memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai media
pertukaran gas oksigen yang masuk ke tubuh dengan karbondioksida yang
akan dikeluarkan oleh tubuh, membantu pengaturan pH darah, sebagai
indera penciuman, penyaring udara yang masuk ke dalam tubuh,
penghangat suhu tubuh, serta untuk produksi suara oleh manusia.
(Selvakumari & Selvakumari, 2018).

(Selvakumari & Selvakumari, 2018)

Gambar 2.1
Anatomi Sistem Respirasi
a. Hidung
Hidung merupakan pintu masuk pertama pada system respirasi bagi
udara yang akan masuk ke paru-paru. Hidung terbagi menjadi 2 bagian
yaitu bagian eksternal dan internal. Hidung bagian eksternal merupakan
bagian hidung yang terlihat di wajah yang terdiri dari tulang, tulang

5
6

rawan hialin yang dilapisi otot serta kulit. Sedangkan hidung bagian
dalam terdiri dari septum nasi, rongga hidung, concha nasi, serta
choana. Pada system respirasi, hidung memiliki beberapa fungsi yaitu
sebagai penghangat, pelembab, dan penyaring udara yang akan masuk
serta sebagai indera penciuman yang dilakukan oleh nervus olfaktorius.
(Selvakumari & Selvakumari, 2018).
b. Faring
Faring merupakan bagian dari system respirasi yang berbentuk funnel-
shaped tube yang panjangnya sekitar 13 cm yang dimulai dari choana
sampai kartilago cricoid. Secara anatomis, faring terletak dibawah
rongga hidung dan diatas laring. Faring dibagi menjadi 3 bagian secara
anatomis yaitu nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Dinding dari
faring tersusun oleh otot rangka yang dilapisi oleh membrane mukosa.
Faring memiliki beberapa fungsi dalam system respirasi yaitu sebagai
lorong untuk udara dan makanan, memberikan resonansi untuk suara
manusia serta sebagai tempat melekatnya tonsila palatina, tonsila
faringea dan tonsila lingualis. (Selvakumari & Selvakumari, 2018).
c. Laring
Laring atau yang biasa disebut voice box ialah bagian dari system
respirasi yang menghubungkan antara laringofaring dengan trakea.
Laring disebut voice box karena disinilah letak pita suara manusia yang
menyebabkan manusia bisa menghasilkan suara. Dinding dari laring
terdiri dari 9 kartilago yang mana terdiri dari 3 kartilago tunggal
(kartilago tiroid, epiglottis, dan kartilago cricoid) serta 3 kartilago yang
berpasangan (arytenoid, cuneiform, dan kartilago corniculate). Selain
sebagai penghasil suara, laring juga memiliki fungsi untuk mencegah
masuknya makanan dan minuman ke dalam trakea melalui mekanisme
dari epiglottis. (Selvakumari & Selvakumari, 2018).
7

d. Trakea
Trakea merupakan lanjutan dari saluran napas yang memiliki panjang
sekitar 12 cm dan diameter sekitar 2,5 cm. Secara anatomis trakea
terletak di depan esophagus. Susunan dinding trakea dari profundus
hingga superficial yaitu terdiri dari mucosa, submucosa, tulang rawan
hyaline, dan adventitia. Selain berfungsi sebagai saluran bagi udara
yang akan masuk ke paru-paru, trakea memiliki fungsi yang lain yaitu
sebagai penyaring dan pelindung saluran napas dari benda asing yang
masuk bersama udara yang dihirup manusia. (Selvakumari &
Selvakumari, 2018).
e. Bronkus
Bronkus merupakan salah satu penyusun dalam traktus trakeobronkial,
yaitu suatu struktur dalam tubuh manusia yang dimulai dari trakea dan
berlanjut ke bronkus hingga bronkiolus. Fungsi dari bronkus dan traktus
trakeobronkial ialah untuk mengalirkan udara pernapasan dari dan ke
alveoli. Bronkus dibagi menjadi 2 bagian yaitu bronkus kanan dan
bronkus kiri. Percabangan dari kedua bronkus tersebut dinamakan
karina. (Paramita & Juniati, 2016). Bronkus utama kanan memiliki
panjang sekitar 2 cm, sedangkan untuk bronkus utama kiri panjangnya
2 kali panjang bronkus utama kanan. Bronkus utama kanan akan
bercabang lagi menjadi 3 lobus, yaitu lobus kanan atas atau yang biasa
disebut eparterial bronchus, lobus kanan tengah atau yang biasa disebut
bronchus intermedius, dan lobus kanan bawah. Dari 3 lobus tersebut
akan terbentuk lagi 10 segmen yang nantinya akan bermuara menjadi
bronkiolus. Sedangkan bronkus utama kiri akan bercabang lagi menjadi
2 lobus, yaitu lobus kiri atas dan lobus kiri bawah. Dari 2 lobus tersebut
akan terbentuk 8 segmen yang nantinya akan bermuara menjadi
bronkiolus. Untuk system vaskularisasinya, bronkus kanan akan
mendapat vaskularisasi dari arteri pulmonalis dextra dan di atasnya
terdapat vena Azygos, sedangkan bronkus kiri mendapat vaskularisasi
dari arteri pulmonalis sinistra. (Mehran, 2018). Dalam system respirasi,
8

bronkus memiliki beberapa fungsi diantaranya ialah sebagai saluran


untuk mengalirkan udara dari dan ke alveoli, sebagai penghangat dan
penyaring udara yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui epitel
kolumnar bersilia yang ada di bronkus. (Tu et al., 2013).

(Paulsen & Waschke, 2018).

Gambar 2.2
Anatomi Bronkus Manusia
f. Bronkiolus
Segmen dari bronkus akan bercabang lagi dan membentuk bronkiolus.
Bronkiolus pun akan bercabang lagi menjadi bronkiolus terminal.
Bronkiolus terminal akan bercabang lagi dan membentuk bronkiolus
respiratory yang mana terdapat beberapa alveoli di dindingnya.
Bronkiolus sendiri memiliki fungsi yang hampir sama seperti bronkus
yaitu sebagai penyalur udara dari dan ke alveoli. (Selvakumari &
Selvakumari, 2018).

g. Alveolus
Bagian terakhir dari system respirasi pada manusia ialah alveolus.
Alveolus berbentuk seperti kantong yang mana pada satu kantong
alveolus memiliki banyak kantung lagi di dalamnya yang dinamakan
alveoli. Di alveoli inilah terjadi pertukaran antara oksigen dan
9

karbondioksida melalui difusi melintasi dinding alveoli dan kapiler.


(Selvakumari & Selvakumari, 2018).
2.1.2. Histologi
a. Hidung
Hidung manusia terbagi menjadi 3 bagian yaitu bagian vestibulum nasi,
region respiratoria, dan region olfaktoria. Berdasarkan histologinya,
vestibulum nasi dilapisi oleh epitel nonkeratinized stratified squamous,
untuk region region respiratoria dilapisi oleh epitel pseudostratified
ciliated columnar dengan sel goblet, sedangkan pada region olfaktoria
dilapisi oleh olfactory epithelium dengan silia. (Selvakumari &
Selvakumari, 2018).
b. Faring
Faring manusia dibagi menjadi 3 bagian yaitu Nasofaring, Orofaring,
dan Laringofaring. Nasofaring dilapisi oleh epitel pseudostratified
ciliated columnar dengan sel goblet, sedangkan pada bagian orofaring
dan laringofaring dilapisi oleh epitel nonkeratinized stratified
squamous. (Selvakumari & Selvakumari, 2018).
c. Laring
Epitel yang melapisi laring terbagi menjadi 2 jenis epitel, yaitu epitel
nonkeratinized stratified squamous pada bagian atas dari vocal folds
dan epitel pseudostratified ciliated columnar dengan sel goblet pada
bagian bawah vocal folds. (Selvakumari & Selvakumari, 2018).
d. Trakea
Trakea manusia hanya dilapisi oleh 1 epitel yaitu epitel pseudostratified
ciliated columnar dengan sel goblet. (Selvakumari & Selvakumari,
2018).
e. Bronkus
Dilihat dari segi histologi, bronkus terdiri dari 4 lapisan yaitu lapisan
mukosa, submucosa, tulang rawan serta otot, dan lapisan adventisia.
Lapisan mukosa terdiri dari lapisan epitel dan lamina propria yang
mana dipisahkan oleh membrane basalis. Lapisan epitel bronkus
10

dilapisi oleh epitel kolumnar bersilia berlapis semu. Selain dilapisi oleh
lapisan epitel, di lapisan mukosa juga terdapat sel epitel yang berfungsi
sebagai pertahanan tubuh terhadap partikel asing yang masuk melalui
saluran pernapasan, menjalankan transport mukosiliar, memproduksi
mukus, dan sebagai sel inflamatori. Sel epitel yang berperan pada
fungsi diatas meliputi sel bersilia, sel goblet, sel serous, sel Clara, brush
cell, dan sel basal. Bergerak ke arah yang lebih superficial dari lapisan
mukosa, terdapat lapisan submucosa. Di lapisan ini terdapat banyak
pembuluh darah, kelenjar limfe, saraf, dan kelenjar penghasil mukus.
Selanjutnya terdapat lapisan tulang rawan dan otot yang memiliki
fungsi untuk mendukung dan mencegah terjadinya kolaps dinding
bronkus. Bagian proksimal bronkus akan terdapat lebih banyak lapisan
tulang rawan dibandingkan pada bagian distal bronkus. Sebaliknya
jumlah otot polos pada bagian distal bronkus akan lebih banyak
daripada bagian proksimal. Lapisan terakhir yang menyusun bronkus
ialah lapisan adventisia. Lapisan ini terdiri dari jaringan ikat longgar
yang terdapat pembuluh darah, saraf, dan sel lemak pada lapisan
tersebut.(Fitriah et al., 2010) (Paramita & Juniati, 2016).

(Mescher, 2012).

Gambar 2. 3
Gambar Histologi Bronkus. Gambar A : perbesaran 140x, lapisan epitel
bronkus(E), lamina propria (LP), otot polos (SM), kartilago (C), pembuluh darah
(V), jaringan saraf (N), jaringan paru-paru (LT). Gambar B : perbesaran 400x,
silia di epitel bronkus (S), otot polos (SM), kelenjar serous (G), kartilago (C).
11

Secara anatomi sendiri bronkus dibagi menjadi 2 bagian, yaitu


bronkus ekstrapulmoner, dan bronkus intrapulmoner. Bronkus
ekstrapulmoner meliputi bronkus primer yaitu bronkus principalis
dextra dan sinistra, sedangkan bronkus intrapulmoner meliputi bronkus
sekunder dan tersier yang mana merupakan cabang dari bronkus primer.
(Hamna Fitriah. 2010). Secara histologi, terdapat beberapa perbedaan
antara bronkus ekstrapulmoner dan intrapulmoner. Bronkus
ekstrapulmoner memiliki struktur histologi yang mirip dengan trakea,
sedangkan bronkus intrapulmoner memiliki struktur yang juga mirip
dengan bronkus ekstrapulmoner dan trakea namun ada beberapa hal
yang berbeda seperti pada trakea dan bronkus ekstrapulmoner dilapisi
oleh tulang rawan hialin yang berbentuk C-Shaped atau mengelilingi
lumen, sedangkan pada bronkus intrapulmoner dilapisi tulang rawan
hialin yang berbentuk seperti pelat. Namun, baik dari bronkus
ekstrapulmoner dan intrapulmoner sama-sama dilapisi oleh epitel
kolumnar bersilia berlapis semu. (Netter,2013; Difiore, 2013).

f. Bronkiolus
Bronkiolus respiratory pada bagian proksimal dilapisi oleh epitel simple
cuboidal dan semakin ke distal berubah menjadi epitel simple
squamous. (Selvakumari & Selvakumari, 2018).
g. Alveolus
Alveolus dilapisi oleh epitel simple squamous. Selain itu, jika dilihat
secara mikroskopis dapat ditemukan sel alveolus tipe I dan tipe II yang
mana sel alveolus tipe I ditemukan lebih banyak daripada sel aveolus
tipe II. (Selvakumari & Selvakumari, 2018).
2.2. Hipersensitivitas

Hipersensitivitas merupakan suatu respon imun yang terjadi secara


berlebihan pada seseorang ketika terdapat antigen atau allergen yang masuk ke
tubuhnya yang sebelumnya telah terjadi sensitisasi dengan antigen atau
12

allergen tertentu. Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dibagi


menjadi 4 tipe yaitu hipersensitivitas tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV.
(Riwayanti, 2015).
a. Tipe I : Hipersensitivitas tipe I atau biasa disebut dengan respon
anafilaksis merupakan suatu respon imun yang diperantarai oleh
antibody IgE yang diproduksi oleh system imun tubuh sebagai respon
terhadap adanya antigen atau allergen yang masuk ke tubuh seseorang.
Antibodi IgE memiliki ikatan yang kuat dengan sel mast dan basofil.
Ketika antibodi igE berikatan dengan sel mast atau basofil, maka akan
terjadi degranulasi sel mast yang mengakibatkan pelepasan histamine
dan mediator inflamasi lainnya yang menyebabkan terjadinya
inflamasi. Contoh dari reaksi hipersensitivitas tipe I dapat dilihat pada
kasus asma bronkial, rhinitis alergi, dermatitis alergi, alergi makanan,
dan shock anafilaksis.
b. Tipe II : Hipersensitivitas tipe II atau biasa disebut dengan reaksi
sitotoksik merupakan suatu respon imun yang melibatkan antibodi IgG
dan IgM dalam memperantarai terjadinya respon sitotoksik pada
permukaan sel dan protein matriks ekstraseluler. Peran IgG dan IgM
dalam proses sitotoksik atau kerusakan sel ialah dengan aktivasi system
komplemen maupun dengan fagositosis. Reaksi Hipersensitivitas tipe
II dapat dilihat pada kasus Trombositopenia imun, Neutropenia
autoimun, dan Hemolyticanemia autoimun.
c. Tipe III : Reaksi Hipersensitivitas tipe III ini juga diperantarai oleh
antibodi IgG, IgM dan terkadang juga oleh IgA yang bereaksi dengan
antigen dan membentuk kompleks antigen-antibodi. Dengan
terbentuknya kompleks antigen-antibodi tersebut, maka merangsang
aktivasi system komplemen dan mengakibatkan pelepasan
Polymorphonuclear Leukocytes (PMN) yang mengakibatkan terjadinya
inflamasi dan kerusakan jaringan seperti pada kasus vasculitis dan
glomerulonephritis.
13

d. Tipe IV : Reaksi hipersensitivitas tipe IV atau disebut juga dengan


reaksi imun seluler lambat karena reaksi ini diperantarai oleh Sel T
CD4+ dan CD8+. Mekanisme terjadinya hipersensitivitas tipe IV ialah
diawali oleh tersentisasinya Limfosit T oleh antigen yang
mengakibatkan pelepasan sitokin dan mediator lainnya atau sitotoksik
yang berakibat terjadinya inflamasi.
(Abbas et al., 2020; Riwayanti, 2015; Vaillant et al., 2006).

2.2.1. Mediator Alergi


Reaksi alergi dapat terjadi akibat peranan dari mediator –
mediator alergi seperti histamine, prostaglandin D2, dan leukotrienes
yang diproduksi oleh sel mast. Munculnya mediator tersebut ialah
akibat dari adanya cross-linking antara antibodi igE dengan reseptor
FcεRI di sel mast yang mengakibatkan degranulasi sel mast sehingga
terjadi pelepasan mediator alergi. Mediator histamine memiliki 4
reseptor di tubuh manusia yaitu reseptor H1R, H2R, H3R, dan H4R.
Salah satu reseptornya yaitu H1R banyak ditemukan pada sel otot polos,
sel epitel, dan sel leukosit. Ketika terjadi ikatan antara mediator
histamine dengan reseptor H1R, maka akan menimbulkan efek berupa
kontraksi otot polos, produksi lender dalam sel goblet, serta produksi
oksida nitrat. Mediator lainnya, yaitu Prostaglandin D2 memiliki peran
dalam reaksi alergi yaitu dengan menimbulkan efek bronkokonstriksi,
vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vascular, dan perekrutan
eosinofil. Mekanisme mediator Prostaglandin D2 dalam menimbulkan
efek tersebut ialah dengan meningkatkan eosinofil, limfosit, dan
makrofag serta ekspresi dari IL-4 dan IL-5. Mediator terakhir yang
berperan pada reaksi alergi ialah Leukotrienes. Sisteinil Leukotrienes
(LTC4, LTD4, dan LTE4) merupakan mediator inflamasi dengan
potensi yang besar yang reseptornya (Reseptor CysLT) dapat
ditemukan pada sel mast, eosinofil, B-Limfosit, dan makrofag. Ketika
terjadi ikatan antara Leukotrienes dengan reseptor CysLT, maka akan
menimbulan efek berupa bronkokonstriksi, peningkatan permeabilitas
14

vascular, aktivasi eosinofil, serta peningkatan sekresi lendir.(Hall &


Agrawal, 2014).
2.2.2. Patofisiologi Asma
Asma dimulai ketika terdapat allergen yang masuk ke tubuh
baik melalui mulut, hidung, dan sebagainya. Ketika allergen masuk ke
dalam tubuh melalui inhalasi, maka allergen tersebut akan ditangkap
oleh Sel Dendritik yang terletak di sel epitel saluran napas dan
submucosa yang mana sel dendritic bertugas dalam menangkap dan
mempresentasikan antigen yang masuk ke dalam tubuh ke Limfosit T.
Sel Dendritik sendiri banyak ditemukan dalam organ limfoid dan juga
organ yang berinteraksi dengan lingkungan luar seperti kulit dan organ
gastrointestinal. Terdapat 2 jenis Sel Dendritik yang saat ini dapat
teridentifikasi yaitu Sel Dendritik Klasik dan Sel Dendiritik
Plasmacytoid. Sel Dendritik Klasik (biasa disebut sel dendritic
konvensional) merupakan sel dendritic pertama yang diidentifikasi
morfologinya dan kekuatannya dalam menstimulasi respon limftosit T
dan juga merupakan sel dendritic yang paling banyak ditemukan di
organ limfoid. Ketika antigen yang masuk ke dalam tubuh manusia
berhasil ditangkap oleh dendritik sel klasik, maka dendritic sel akan
teraktivasi dan akan memproduksi sitokin inflamasi dan akan
bermigrasi dari jaringan perifer ke limfonodi untuk menstimulasi
diferensiasi limfosit T di limfonodi. Sedangkan, sel dendritic
Plasmacytoid memiliki kemiripan dengan sel plasma serta mirip dengan
morfologi dan fungsi dari sel dendritic setelah teraktivasi. Sel dendritic
plalsmacytoid ini banyak ditemukan di dalam darah dan sedikit
ditemukan di organ limfoid. Berbeda dengan sel dendritic klasik, sel
dendritic plasmacytoid merupakan organ fagositosis yang jelek dan
kurang dalam mempresentasikan antigen yang masuk ke dalam tubuh.
Fungsi terpenting dari sel dendritic plasmacytoid ini ialah bertugas
dalam mensekresi Interferon tipe 1 secara besar sebagai respon atas
infeksi virus. Pada saat terjadi infeksi virus, sel dendritic plasmacytoid
15

akan berdiferensiasi menjadi sel yang mirip dengan sel dendritic klasik
dan menjalankan peran dalam mempresentasikan antigen kepada
Limfosit T spesifik virus. (Abbas et all, 2015).

(Abbas et all, 2015)


Gambar 2. 4
Rute masuk antigen ke tubuh. Antigen yang masuk melalui kulit,
gastrointestinal, dan traktus respiratorius akan ditangkap oleh sel
dendritik dan dibawa ke limfonodi. Antigen yang masuk ke
peredaran darah akan ditangkap oleh sel dendritik di limpa.

Sel Dendritik yang telah menangkap antigen dan teraktivasi


akan bermigrasi ke limfonodi untuk mempresentasikan allergen melalui
MHC (Major Histocompability Complex) class II yang dihasilkan oleh
dendritic sel teraktivasi, yang mana MHC class II ini akan mengaktivasi
Limfosit T. Ketika Limfosit T yang teraktivasi berhasil
mengidentifikasi bahwa terdapat antigen yang masuk ke dalam tubuh,
maka akan terjadi diferensiasi Limfosit T menjadi sel Th2, dan sel TFH.
Sel Th2 akan memproduksi sitokin berupa IL-5, IL-13, dan IL-17,
sedangkan TFH memproduksi sitokin IL-4 dan IL-13. IL-4 yang
16

diproduksi oleh sel TFH akan menstimulasi Limfosit B untuk


menghasilkan antibodi IgE yang akan mengalir di pembuluh darah dan
berikatan dengan reseptor FcεRI di sel mast dan basofil. Sel mast akan
teraktivasi apabila terdapat ikatan antara antigen dengan antibodi IgE
yang telah berikatan dengan reseptor FcεRI di sel mast. Aktivasi dari
sel mast akan menyebabkan terjadinya 3 peristiwa yaitu degranulasi sel
mast, sintesis dan sekresi lipid mediators, serta sintesis dan sekresi
cytokines.

(Abbas et all, 2015)


Gambar 2. 5
Mekanisme hipersensitivitas tipe 1. Dimulai dari paparan dari
allergen hingga terjadinya degranulasi sel mast yang akan
menyebabkan pelepasan mediator yang mengakibatkan munculnya
reaksi alergi.
17

Degranulasi sel mast sendiri akan menyebabkan terjadinya


pelepasan mediator seperti histamine, prostaglandin, leukotrienes,
sitokin, dan chemokines yang menyebabkan terjadinya kontraksi sel
otot polos, peningkatan permeabilitas vascular, dan infiltrasi sel
inflamasi seperti eosinofil, makrofag, dan neutrophil yang nantinya
dapat menyebabkan terjadinya inflamasi kronis dan airway remodeling.
Sedangkan IL-5, IL-13, dan IL-17 yang dihasilkan oleh sel Th2
memiliki peran dalam respon inflamasi dan airway remodeling pada
kasus asma alergi dengan mestimulasi hiperplasi sel goblet sehingga
menyebabkan penebalan epitel bronkus. (Hall & Agrawal, 2014;
Setyowati & Aphridasari, 2016; Abbas et all, 2015).

(Setyowati & Aphridasari, 2016)

Gambar 2. 6
Mekanisme Inflamasi pada asma. Dimulai dari ditangkapnya allergen
oleh TLSP (Thymic Stromal Lymphopoetin) dan dipresentasikan menuju sel T
oleh APC (Antigen Presenting Cell). Hal tersebut menyebabkan diferensiasi sel T
menjadi Th2 dan Th17 yang akan menyebabkan terbentuknya IgE dan munculnya
reaksi inflamasi akibat sitokin yang terproduksi.

2.2.3. Airway Remodeling Pada Asma


Airway remodeling merupakan perubahan pada struktur saluran
napas normal yang terjadi secara menetap meliputi perubahan pada
organisasi, komposisi, dan fungsi dari sel-sel struktural. Perubahan yang
terjadi meliputi perubahan pada epitel saluran napas, fibrosis subepitelial,
18

peningkatan ketebalan membran basal, Hiperplasi kelenjar submukosa dan


sel goblet, serta peningkatan massa otot polos saluran napas. (Widodo &
Djajalaksana, 2012).

Kontrol (Non Asma) Perlakuan (Asma)

(Faturrachman et al., 2012).

Gambar 2. 7
Perbedaan histologis bronkiolus normal dan bronkiolus pada asma. Tanda
panah menunjukkan perubahan pada sel : a) Gambaran otot polos, b) Gambaran
epitel bronkiolus, c) Gambaran fibrosis subepitelial, d) Gambaran sel goblet yang
memiliki vakuol
19

a. Perubahan epitel saluran napas


Pada pasien asma, terjadi kerusakan dan pengelupasan epitel saluran
napas ketika dilakukan pemeriksaan histologis. Pada pemeriksaan biopsi
saluran napas pada pasien asma dapat ditemukan creola bodies
(sekelompok rontokan sel epitel) dalam sputum penderita asma, terdapat
peningkatan jumlah sel epitel pada cairan bronchoalveolar lavage
(BAL), serta dapat ditemukan hilangnya permukaan epitel pada spesimen
biopsi saluran napas. (Widodo & Djajalaksana, 2012).
b. Fibrosis Subepitelial
Fibrosis subepitelial merupakan penebalan ruang subepitel yang terletak
dibawah membrane basalis akibat deposisi dari matriks ekstraseluler
protein seperti kolagen di ruang subepitelial. Pada orang normal, ruang
sub epithelial diisi oleh jaringan fibril kolagen yang longgar, namun pada
penderita asma ruang subepitelial diisi oleh jaringan fibril kolagen yang
padat. (Halwani et al., 2010; Widodo & Djajalaksana, 2012).
c. Peningkatan ketebalan membrane basal
Peningkatan ketebalan membrane basal merupakan ciri khas airway
remodeling yang dapat ditemukan pada kasus asma kronik maupun akut.
Jika dilihat secara histologis, peningkatan ketebalan membrane basal
merupakan ciri utama pada kasus asma yang tidak dapat ditemukan pada
kasus PPOK, termasuk bronkitis kronik. (Widodo & Djajalaksana,
2012).
d. Hiperplasi kelenjar submucosa dan sel goblet
Hiperplasi kelenjar submukosa dan sel goblet dapat dilihat secara
histologis pada saluran napas pasien asma baik dewasa maupun anak-
anak. Efek yang ditimbulkan oleh adanya hiperplasi kelenjar submucosa
ialah terjadinya peningkatan sekresi mukus yang dapat menyebabkan
penyempitan lumen saluran napas, sedangkan dengan adanya hiperplasi
sel goblet dapat meningkatkan sekresi mukus serta peningkatan
ketebalan epitel saluran napas sehingga ketebalan dinding saluran napas
20

akan meningkat dan lumen saluran napas akan menyempit. (Widodo &
Djajalaksana, 2012).
e. Peningkatan massa otot polos saluran napas
Hiperplasi dan hipertrofi sel-sel otot polos saluran napas merupakan
penyebab dari meningkatnya massa otot polos saluran napas. Selain itu,
pada pasien asma juga dapat ditemukan migrasi sel-sel otot polos ke area
subepitelial. Migrasi dari sel-sel otot polos ini yang merupakan gambaran
dari airway remodeling. (Widodo & Djajalaksana, 2012).
2.3. Agen Pencetus Asma
Asma dapat dicetuskan oleh adanya paparan dari hal yang bersifat
alergenik maupun non-alergenik ke tubuh manusia. Faktor pencetus asma yang
bersifat alergenik meliputi tungau rumah, jamur, bulu hewan peliharaan, kecoa,
tikus, serbuk sari bunga, serta alergi makanan. Sedangkan faktor pencetus asma
yang bersifat non-alergic meliputi virus, perokok aktif maupun pasif, polusi,
udara dingin, serta stress.(Gautier & Charpin, 2017). Beberapa makanan yang
menimbulkan alergi pada seseorang dapat menjadi factor pencetus asma pada
orang tersebut. Contoh makanan yang bersifat alergenik diantaranya ikan, susu,
udang, kacang tanah, serta telur ayam. (Foong et al., 2017). Telur ayam dapat
menyebabkan alergi pada seseorang karena pada putih telur ayam terkandung
suatu zat yang bersifat alergen yaitu ovalbumin. (Duan et al., 2017).
Ovalbumin (OVA) merupakan salah satu jenis protein yang dapat
ditemukan pada putih telur yang banyak digunakan dalam pembuatan suatu
makanan baik produksi untuk diri sendiri maupun untuk industry. Ovalbumin
merupakan glikoprotein monomeric dengan titik isoelektrik 4,7. (Sang et al.,
2018). Ovalbumin sendiri merupakan salah satu sumber alergen terbesar yang
terdapat pada putih telur. Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa pada
putih telur mengandung 54% albumin yang dapat menjadi allergen.(Duan et
al., 2017). Ovalbumin sendiri sering digunakan untuk menginduksi inflamasi
pada saluran napas yang diujicobakan pada tikus. Pemberian Ovalbumin pada
tikus diharapkan dapat memicu proses inflamasi pada saluran nafas lewat
sensitisasi pada Th-2. (Debeuf et al., 2016).
21

Pada penelitian yang dilakukan oleh Ningrum, et all (2016) dengan


pemberian ovalbumin sebanyak 2 tahap pada hewan coba ditemukan bahwa
dengan adanya induksi ovalbumin secara peritoneal akan menimbulkan
terjadinya reaksi alergi sistemik akibat pergeseran respon imun ke arah Th2
dominan. Ketika sel Th2 teraktivasi, maka akan menstimulasi produksi dari
beberapa sitokin, diantaranya IL-4, IL-3, dan IL-5. IL-3 dan IL-4 akan
menstimulasi sel Limfosit B untuk menghasilkan antibodi IgE spesifik. Pada
pemberian ovalbumin tahap ke-2 yaitu diberikan secara inhalasi akan
mengakibatkan terjadinya inflamasi saluran pernapasan akibat stimulasi dari
IL-5 yang dihasilkan oleh Th2.(Ningrum et al., 2016). Pendapat ini diperkuat
oleh penelitian yang dilakukan Barlianto, (2009) bahwa pada penelitian
tersebut ditemukan adanya inflamasi saluran napas serta airway remodeling
pada saluran napas seperti penebalan epitel, hyperplasia sel goblet, serta
penebalan otot polos pada tikus yang diinduksi ovalbumin secara
intraperitoneal dan inhalasi. (Barlianto et al., 2009).
2.4. Mangga
2.4.1. Definisi Mangga
Mangifera Indica L. atau yang umum dikenal di masyarakat dengan
sebutan mangga merupakan salah satu buah tropis yang diyakini berasal dari
Asia. Terdapat beberapa negara yang menjadikan mangga sebagai budidaya
yang menguntungkan diantaranya Cina, Brazil, Thailand, Pakistan,
Meksiko, India, dan lain-lain. India merupakan negara dengan budidaya
tertinggi di dunia. Berdasarkan salah satu jurnal disebutkan bahwa terdapat
42 juta ton mangga yang diproduksi setiap tahunnya. Terdapat banyak
varietas Mangga yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Pada satu penelitian
disebutkan terdapat sekitar 1000 varietas mangga yang ditanam di seluruh
dunia. Dengan banyaknya varietas maka terdapat juga banyak penyebutan
mangga di seluruh penjuru dunia misalnya di Arab mangga dikenal dengan
nama Manja, di Yunani dikenal dengan nama Mannko, di Jerman dikenal
dengan nama Mangue, dan masih banyak lagi penyebutan mangga di setiap
negara. (Ediriweera et al., 2017).
22

Indonesia sendiri merupakan salah satu negara yang cukup besar


dalam budidaya mangga. Berdasarkan laporan dari FAO pada tahun 2004
bahwa terjadi peningkatan pesat pada luas panen mangga di Indonesia pada
tahun 1994 hingga 2004, yaitu dari 36.981 hektar menjadi 185.773 hektar
dengan angka produksi yang awalnya 826.824 ton meningkat menjadi
1.437.665 ton dari seluruh wilayah panen di Indonesia. Jawa Timur
merupakan wilayah dengan kontribusi tertinggi pada budidaya mangga
diikuti oleh Jawa Barat di posisi kedua. (Anugrah, 2009).

(Ediriweera et al., 2017).

Gambar 2. 8
Buah Mangga (Mangifera Indica L.)

2.4.2. Taksonomi Mangga


Mangga memiliki nama latin Mangifera Indica L. Kedudukan buah
mangga dalam klasifikasi taksonomi ialah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Tracheophyta
Klas : Mangnoliopsida
Ordo : Sapindales
Family : Anacardiaceae
Genus : Mangifera
23

Species : Mangifera Indica L.


(Luqyana Z. T. M & Husni, 2019).
2.4.3. Morfologi Mangga
Mangga memiliki pohon yang tegak, memiliki banyak cabang, dan
memiliki daun yang lebat sepanjang tahun. Pada umumnya, pohon mangga
dapat tumbuh mencapai 10 – 40 m. Pada satu pohon mangga sendiri
memiliki beberapa bagian meliputi akar, batang, daun, dan bunga. Bunga
inilah nanti yang akan menghasilkan buah dan bijinya akan menjadi pohon
mangga yang baru. Perwujudan batang pohon mangga yaitu memiliki kulit
batang yang tebal, kasar, dan seperti sisik-sisik yang dapat dikelupas. Warna
dari kulit batang pohon mangga biasanya coklat keabu-abuan bahkan
hampir hitam. Pada bagian akar, pohon mangga memiliki akar berupa akar
tunggang yang dapat tumbuh memanjang sampai 6 m. Daun buah mangga
berupa daun tunggal dengan letak yang menyebar dan berbentuk jorong
sampai lanset, berpangkal melancip dengan tepi daun yang bergelombang,
dan ujung yang meluncip dengan tulang daun sekunder sebanyak 12-30
buah. Pada saat masih muda, daun pohon mangga berwarna kemerahan,
kekuningan, ataupun keunguan; yang nantinya akan berubah menjadi warna
hijau mengkilat pada permukaan atas daun dan menjadi warna hijau muda
pada permukaan bawah daun. (Oktavianto et al., 2015).
Buah mangga masuk dalam jenis buah berbiji tunggal. Mangga
memiliki bentuk buah yang bervariasi, mulai berbentuk bulat, bulat telur,
hingga berbentuk lonjong dan panjang. Pada umumnya 1 buah mangga
memiliki berat kurang dari 50 gram hingga lebih dari 2 kg. Pada saat buah
mangga masih di pohonnya dan belum matang, kulit buah mangga akan
berwarna hijau tua. Seiring dengan semakin matangnya buah, maka kulit
buah juga berubah menjadi hijau muda bahkan menjadi kuning. Di dalam
kulit buah mangga terdapat bagian yang berdaging dan dapat dimakan yang
dinamakan mesokarp. Mesokarp umumnya memiliki rasa manis dan rasa
turpentine. Saat sudah matang, mesokarp akan berwarna kuning hingga
oranye dan memiliki tekstur yang halus hingga berserat. (Shah et all, 2010).
24

2.4.4. Kandungan Kulit Mangga


Kulit buah mangga mengandung banyak senyawa fenol di
dalamnya. Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Chotika Jirasuteeruk
and Chockchai Theerakulkait menyatakan bahwa pada 100 gram kulit
mangga kering mengandung total senyawa fenol sebesar 972 mg/100g.
(Jirasuteeruk & Theerakulkait, 2019). Pada penelitian yang lain dilakukan
oleh Hafiz A. R. Suleria, dkk menyatakan bahwa terdapat 27.51 ± 0.63 mg/g
total senyawa fenol pada 1 gram ekstrak kulit mangga. Pada penelitian
tersebut juga disebutkan bahwa kandungan senyawa fenol pada kulit buah
mangga merupakan yang tertinggi dari senyawa fenol pada buah lainnya.
Flavonoid merupakan salah satu bagian terbesar dari senyawa fenol
yang ada di tumbuhan. Penelitian yang dilakukan oleh Hafiz A. R. Suleria,
dkk menyatakan bahwa kulit mangga mengandung kadar flavonoid tertinggi
daripada buah lainnya yaitu sebesar 57.1±2.4 mg/g. Jenis Flavonoid yang
terkandung pada kulit buah mangga meliputi : Catechin, Epicatechin
Gallate, Quercetin-3-Galactoside, Quercetin-3-Glucuronide, Kaemprefol-
3-Glucoside, Quercetin, Kaempferol. (Suleria et al., 2020).

Tabel 2.1 Kandungan Kulit Buah Mangga

Flavonoid Jumlah Dalam mg/g


Catechin 7.1 ± 0.3
Epicatechin Gallate 3.2 ± 0.9
Quercetin-3-Galactoside 10.9 ± 0.1
Quercetin-3-Glucuronide 11.5 ± 0.7
Kaempferol-3-Glucoside 2.7 ± 0.4
Quercetin 11.9 ± 0.4
Kaempferol 9.8 ± 0.7

Salah satu fungsi dari Flavonoid ialah dapat digunakan sebagai anti
inflamasi. Mekanisme kerja Flavonoid sebagai anti inflamasi yaitu dengan
mengurangi pelepasan mediator inflamasi seperti prostaglandin,
thromboxane, leukotrienes, dan mediator lainnya dengan menginhibisi
25

enzim PLA2, COX, dan LOX yang mana enzim tersebut merupakan enzim
yang memiliki peran dalam pembentukan mediator inflamasi. (Maleki et al.,
2019). Dalam sumber yang lain disebutkan bahwa, flavonoid juga dapat
menginhibisi pelepasan mediator kimia yang selanjutnya dapat menekan
sintesis IL-4 dan IL-13 yang diproduksi sel Th2 sehingga flavonoid bisa
disebut memiliki efek anti inflamasi. (Mlcek et al., 2016).
2.4.5. Aktifitas Farmakologi
Salah satu manfaat dari buah mangga ialah dapat digunakan sebagai
anti-diabetes. Diabetes merupakan sebuah penyakit gangguan metabolik
yang mana kadar glukosa dalam darah terlalu tinggi (hiperglikemia) yang
diakibatkan oleh insulin yang dihasilkan oleh pancreas tidak cukup untuk
memetabolisme glukosa. Akibatnya kadar glukosa dalam darah akan naik
atau sering disebut dengan Hiperglikemia. Mekanisme ekstrak mangga
sebagai anti-diabetes yaitu dengan inhibisi DPP-IV. Selain itu, dalam
penelitian yang lain disebutkan juga ekstrak mangga berfungsi sebagai anti-
diabetes melalui inhibisi α-amilase dan α-glukosidase. Dengan inhibisi
kedua enzim ini mengakibatkan berkurangnya kadar glukosa karena
penghambatan proses hidrolisis dan penyerapan karbohidrat di usus.
Selain sebagai anti-diabetic, ekstrak buah mangga juga berfungsi
sebagai anti-diare. Mekanisme ekstrak buah mangga sebagai anti-diare yaitu
dengan menghambat motilitas dari usus melalui proses simpatomimetik.
(Luqyana Z. T. M & Husni, 2019).
Ekstrak buah mangga juga memiliki manfaat lain yaitu sebagai
antioksidan. Peran ekstrak buah mangga sebagai antioxidant yaitu melalui
senyawa fenol, vitamin, dan pigmen yang berperan dalam pembersihan
radikal bebas didalam tubuh akibat reaktifitas moiety fenol dan melalui
donasi hydrogen atau elektron. Selain itu, peran system antioksidan berbasis
enzim seperti katalase, superoksida dismutase, dan regulator Nrf2 juga ikut
dalam memodulasi peran antioksidan dari ekstrak buah mangga.
Manfaat terakhir dari ekstrak buah mangga ialah dapat digunakan
sebagai anti inflamasi. Efek anti inflamasi buah mangga berasal dari
26

aktifitas senyawa polifenol dan flavonoid yang ada pada buah mangga.
Mekanisme senyawa polifenol dan flavonoid sebagai anti inflamasi yaitu
dengan mengurangi tingkat ekspresi iNOS, COX-2, TNF-α, dan TNFR-2
yang mengakibatkan berkurangnya mediator inflamasi seperti IL-6 dan
TNF-α. Selain itu, flavonoid juga dapat menekan sintesis IL-4 dan IL-13
yang diproduksi oleh sel Th2. Dengan mekanisme seperti itu, maka
inflamasi yang terjadi akan mereda dan hilang. (Lauricella et al., 2017;
Mlcek et al., 2016).
Efek antiinflamasi yang dihasilkan oleh kulit mangga merupakan
manifestasi dari turunan senyawa flavonoid yang terkandung dalam kulit
mangga. Kaempferol merupakan turunan dari flavonoid memiliki efek
antiinflamasi yaitu dengan menginhibisi proliferasi dari sel Limfosit T
sehingga inflamasi terhambat. (Wang et al., 2018). Pada penelitian yang lain
disebutkan bahwa, Kaempferol memiliki efek antiinflamasi dengan
mekanisme yang lain, yaitu Kaempferol dapat menginhibisi degranulasi dari
sel mast sehingga tidak terjadi pelepasan dari prostaglandin, histamine,
leukotrienes, dan sitokin yang dapat menyebabkan inflamasi. (Shin et al.,
2015). Senyawa turunan flavonoid lain yang terkandung dalam kulit
mangga yaitu epicatechin gallate juga memiliki efek antiinflamasi. Efek
antiinflamasi yang diberikan oleh epicathecin gallate yaitu melalui
penghambatan pada pelepasan histamine yang mana histamine merupakan
salah satu mediator inflamasi. (Mari et al., 2012). Senyawa lain yang juga
turunan dari flavonoid yang terkandung pada kulit buah mangga dan
memiliki efek antiinflamasi ialah Quercetin. Quercetin merupakan salah
satu jenis flavonoid yang terkandung di kulit buah mangga, yang juga
memiliki aktivitas anti inflamasi, yaitu sebagai mast cell stabilizer yang
dapat mencegah terjadinya degranulasi sel mast sehingga tidak terjadi
pelepasan mediator yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi.
(Hermawan et al., 2019). Pada penelitian yang lain juga dipaparkan bahwa
efek antiinflamasi dari quercetin bisa berasal dari mekanisme yang lain
seperti pemberian quercetin pada tikus yang diinduksi ovalbumin
27

ditemukan bahwa dengan pemberian quercetin dapat dapat mengurangi


reaksi inflamasi dengan menghambat aktifitas dari eosinofil peroxidase
serta menghambat produksi dari IL-4 dan sitokin lain yang diproduksi Th2.
(Mlcek et al., 2016). Hal ini diperkuat oleh penelitian lain yang mana pada
penelitian tersebut disebutkan bahwa quercetin dapat digunakan sebagai
pengobatan pada alergi saluran napas seperti asma karena ditemukan bahwa
quercetin dapat menghambat diferensiasi sel Th2 sehingga tidak terjadi
produksi sitokin dan mediator inflamasi sehingga dapat menurunkan reaksi
inflamasi dan hipersensitivitas pada asma. (Jafarinia et al., 2020).
2.4.6. Perbedaan Ekstraksi Kulit Mangga (Mangifera indica L.) Dengan Pelarut
Metanol, Etanol, dan Air.
Proses ekstraksi pada kulit mangga (Mangifera indica L.) dapat
dilakukan dengan metode maserasi menggunakan bahan pelarut seperti
methanol, etanol, dan air. Penggunaan pelarut methanol, etanol, dan air
memiliki beberapa perbedaan dari sifat pelarutnya dan kandungan senyawa
fenolik yang didapatkan. Penggunaan etanol sebagai bahan pelarut dianggap
lebih efektif dalam melarutkan senyawa kimia pada proses ekstraksi karena
etanol memiliki beberapa kelebihan seperti jamur dan bakteri sulit hidup
dalam etanol 20% ke atas, tidak beracun, netral, memiliki absorbsi yang
baik, dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan, dan dapat
menggunakan suhu ruangan untuk memekatkan ekstrak. Namun, etanol
memiliki kekurangan seperti harganya yang mahal. Air dipertimbangkan
untuk digunakan sebagai bahan pelarut dalam proses ekstraksi ialah karena
harganya yang murah, mudah diperoleh, stabil, tidak beracun, tidak mudah
menguap, dan tidak mudah terbakar. Namun air memiliki beberapa
kekurangan seperti mudah terkontaminasi jamur dan bakteri serta kadar
senyawa kimia yang didapatkan lebih sedikit. (Sa’adah & Nurhasnawati,
2015). Sedangkan methanol dipertimbangkan sebagai pelarut pada proses
ekstraksi karena methanol merupakan pelarut yang bersifat universal
sehingga dapat menarik sebagian besar senyawa yang bersifat polar dan non
polar pada kulit mangga. Pada penelitian yang lain, methanol diketahui
28

dapat menarik senyawa flavonoid, saponin, tannin, dan terpenoid pada


tanaman. (Verdiana et al., 2018).
Pada penelitian yang dilakukan Muhammad Qosim et all (2016),
menyebutkan bahwa pelarut etanol dan methanol merupakan pelarut yang
paling efektif digunakan untuk melarutkan senyawa fitokimia pada proses
ekstraksi. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Eva
Dorta et all (2012), yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang cukup
signifikan pada kandungan senyawa fitokimia yang didapatkan antara kulit
mangga yang diekstraksi menggunakan pelarut methanol, etanol, dan air
yang akan ditunjukkan pada tabel berikut :

Tabel 2.2 Perbandingan Kandungan Senyawa Fitokimia Pada Kulit


Mangga Yang Diekstraksi Menggunakan Pelarut Methanol, Etanol, dan Air.
Kandungan Fitokimia (g/100g)
Pelarut
Total Flavonoid Tannin Proantocyanidins
Methanol 95% 0.7 9.4 0.58
Etanol 95% 0.5 6 0.32
Air 0.18 3.4 0.24
(Dorta et al., 2012)

2.5. Tikus Putih Galur Wistar (Rattus Norvegicus L.)


Tikus Putih Galur Wistar ( Rattus Norvegicus L. ) merupakan salah satu
jenis hewan yang sering digunakan sebagai hewan coba dalam penelitian.
Tikus jenis ini dinilai ideal dijadikan sebagai hewan coba penelitian sehingga
banyak dibiakkan. (Fitria, 2014). Alasan tikus ideal digunakan sebagai hewan
coba dalam penelitan ialah karena banyak kemiripan antara manusia dengan
tikus mulai dari anatomi, histologi, dan perkembangannya khusunya pada
bagian saluran pernapasan.
Klasifikasi tikus putih yang digunakan sebagai hewan percobaan dalam
taksonomi ialah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
29

Subordo : Sciurognathi
Familia : Muridae
Genus : Rattus
Species : Rattus Norvegicus (Fitria, 2014).

(Koolhaas, 2010)

Gambar 2. 9
Tikus Putih (Rattus Norvegicus)

Baik manusia dan tikus memiliki struktur paru-paru yang memiliki


beberapa lobus. Pada manusia terdiri dari 3 lobus di kanan dan 2 lobus dikiri,
sedangkan pada tikus memiliki 4 lobus di kanan dan 1 lobus di kiri. Pada lobus
paru manusia dibagi lagi menjadi bagian yang lebih kecil yaitu bronkus
intrapulmonary dan bronkus segmental yang disusun oleh kartilago dan
kelenjar submucosal, sedangkan lobus paru pada tikus tidak dibagi lagi menjadi
bagian yang lebih kecil.

(Pan et al., 2019)

Gambar 2. 10
Struktur Paru-Paru Manusia dan Tikus
30

Jika dilihat dari segi histologi, trakea dan bagian proksimal saluran
napas antara manusia dan tikus sama sama dilapisi oleh epitel pseudostratified
columnar, dan pada saluran napas yang perifer dilapisi oleh epitel kuboid. Pada
paru-paru manusia, bagian yang lebih proksimal, bronkus intrapulmonal, dan
bronkus yang menyerupai trakea dilapisi oleh epitel pseudostratified columnar
yang tinggi yang terdiri dari sel basal, sel bersilia, serous, mucus, sel
neuroendokrin dan menunjukkan adanya kelenjar submucosa. Sedangkan pada
tikus, saluran pernapasan yang berada di bagian proksimal dilapisi oleh epitel
pseudostratified columnar rendah yang terdiri dari sel bersilia dan sel klub
dengan kelompok sel neuroendokrin yang sebagian besar terletak di
percabangan jalan napas. (Pan et al., 2019).

(Treuting et al., 2012) (Sitilia et all, 2019)

Gambar 2. 11
Histologi bronkus tikus. Gambar A merupakan histologi bronkus tikus dengan
perbesaran 140x. Gambar B merupakan histologi bronkus tikus dengan perbesaran
400x dengan keterangan : 1) Epitel, 2) Sel Goblet, 3) Silia, 4) Jaringan
Submucosa, 5) Membrana basalis.
31

Tabel 2.3 Perbandingan Bronkus Manusia dan Tikus


Perbedaan Bronkus Manusia Tikus
Bronkus Utama 2 2
Cabang Bronkus utama 17-21 13-17
Tipe Percabangan Bronkus Dikotomus Monopodial

Diameter Bronkus Utama (mm) 10-15 1

Pseudostratified Pseudostratified
Epitel Bronkus
Columnar Columnar

Ketebalan epitel (μm) 40 – 50 8-17


Sel Silia (%) 37 28-36
Sel Clara (%) - 59-61
Sel Goblet (%) 10 <1
Sel Serous (%) 3 <1
Sel Basal (%) 32 <1

Anda mungkin juga menyukai