Gambar 2.1
Anatomi Sistem Respirasi
a. Hidung
Hidung merupakan pintu masuk pertama pada system respirasi bagi
udara yang akan masuk ke paru-paru. Hidung terbagi menjadi 2 bagian
yaitu bagian eksternal dan internal. Hidung bagian eksternal merupakan
bagian hidung yang terlihat di wajah yang terdiri dari tulang, tulang
5
6
rawan hialin yang dilapisi otot serta kulit. Sedangkan hidung bagian
dalam terdiri dari septum nasi, rongga hidung, concha nasi, serta
choana. Pada system respirasi, hidung memiliki beberapa fungsi yaitu
sebagai penghangat, pelembab, dan penyaring udara yang akan masuk
serta sebagai indera penciuman yang dilakukan oleh nervus olfaktorius.
(Selvakumari & Selvakumari, 2018).
b. Faring
Faring merupakan bagian dari system respirasi yang berbentuk funnel-
shaped tube yang panjangnya sekitar 13 cm yang dimulai dari choana
sampai kartilago cricoid. Secara anatomis, faring terletak dibawah
rongga hidung dan diatas laring. Faring dibagi menjadi 3 bagian secara
anatomis yaitu nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Dinding dari
faring tersusun oleh otot rangka yang dilapisi oleh membrane mukosa.
Faring memiliki beberapa fungsi dalam system respirasi yaitu sebagai
lorong untuk udara dan makanan, memberikan resonansi untuk suara
manusia serta sebagai tempat melekatnya tonsila palatina, tonsila
faringea dan tonsila lingualis. (Selvakumari & Selvakumari, 2018).
c. Laring
Laring atau yang biasa disebut voice box ialah bagian dari system
respirasi yang menghubungkan antara laringofaring dengan trakea.
Laring disebut voice box karena disinilah letak pita suara manusia yang
menyebabkan manusia bisa menghasilkan suara. Dinding dari laring
terdiri dari 9 kartilago yang mana terdiri dari 3 kartilago tunggal
(kartilago tiroid, epiglottis, dan kartilago cricoid) serta 3 kartilago yang
berpasangan (arytenoid, cuneiform, dan kartilago corniculate). Selain
sebagai penghasil suara, laring juga memiliki fungsi untuk mencegah
masuknya makanan dan minuman ke dalam trakea melalui mekanisme
dari epiglottis. (Selvakumari & Selvakumari, 2018).
7
d. Trakea
Trakea merupakan lanjutan dari saluran napas yang memiliki panjang
sekitar 12 cm dan diameter sekitar 2,5 cm. Secara anatomis trakea
terletak di depan esophagus. Susunan dinding trakea dari profundus
hingga superficial yaitu terdiri dari mucosa, submucosa, tulang rawan
hyaline, dan adventitia. Selain berfungsi sebagai saluran bagi udara
yang akan masuk ke paru-paru, trakea memiliki fungsi yang lain yaitu
sebagai penyaring dan pelindung saluran napas dari benda asing yang
masuk bersama udara yang dihirup manusia. (Selvakumari &
Selvakumari, 2018).
e. Bronkus
Bronkus merupakan salah satu penyusun dalam traktus trakeobronkial,
yaitu suatu struktur dalam tubuh manusia yang dimulai dari trakea dan
berlanjut ke bronkus hingga bronkiolus. Fungsi dari bronkus dan traktus
trakeobronkial ialah untuk mengalirkan udara pernapasan dari dan ke
alveoli. Bronkus dibagi menjadi 2 bagian yaitu bronkus kanan dan
bronkus kiri. Percabangan dari kedua bronkus tersebut dinamakan
karina. (Paramita & Juniati, 2016). Bronkus utama kanan memiliki
panjang sekitar 2 cm, sedangkan untuk bronkus utama kiri panjangnya
2 kali panjang bronkus utama kanan. Bronkus utama kanan akan
bercabang lagi menjadi 3 lobus, yaitu lobus kanan atas atau yang biasa
disebut eparterial bronchus, lobus kanan tengah atau yang biasa disebut
bronchus intermedius, dan lobus kanan bawah. Dari 3 lobus tersebut
akan terbentuk lagi 10 segmen yang nantinya akan bermuara menjadi
bronkiolus. Sedangkan bronkus utama kiri akan bercabang lagi menjadi
2 lobus, yaitu lobus kiri atas dan lobus kiri bawah. Dari 2 lobus tersebut
akan terbentuk 8 segmen yang nantinya akan bermuara menjadi
bronkiolus. Untuk system vaskularisasinya, bronkus kanan akan
mendapat vaskularisasi dari arteri pulmonalis dextra dan di atasnya
terdapat vena Azygos, sedangkan bronkus kiri mendapat vaskularisasi
dari arteri pulmonalis sinistra. (Mehran, 2018). Dalam system respirasi,
8
Gambar 2.2
Anatomi Bronkus Manusia
f. Bronkiolus
Segmen dari bronkus akan bercabang lagi dan membentuk bronkiolus.
Bronkiolus pun akan bercabang lagi menjadi bronkiolus terminal.
Bronkiolus terminal akan bercabang lagi dan membentuk bronkiolus
respiratory yang mana terdapat beberapa alveoli di dindingnya.
Bronkiolus sendiri memiliki fungsi yang hampir sama seperti bronkus
yaitu sebagai penyalur udara dari dan ke alveoli. (Selvakumari &
Selvakumari, 2018).
g. Alveolus
Bagian terakhir dari system respirasi pada manusia ialah alveolus.
Alveolus berbentuk seperti kantong yang mana pada satu kantong
alveolus memiliki banyak kantung lagi di dalamnya yang dinamakan
alveoli. Di alveoli inilah terjadi pertukaran antara oksigen dan
9
dilapisi oleh epitel kolumnar bersilia berlapis semu. Selain dilapisi oleh
lapisan epitel, di lapisan mukosa juga terdapat sel epitel yang berfungsi
sebagai pertahanan tubuh terhadap partikel asing yang masuk melalui
saluran pernapasan, menjalankan transport mukosiliar, memproduksi
mukus, dan sebagai sel inflamatori. Sel epitel yang berperan pada
fungsi diatas meliputi sel bersilia, sel goblet, sel serous, sel Clara, brush
cell, dan sel basal. Bergerak ke arah yang lebih superficial dari lapisan
mukosa, terdapat lapisan submucosa. Di lapisan ini terdapat banyak
pembuluh darah, kelenjar limfe, saraf, dan kelenjar penghasil mukus.
Selanjutnya terdapat lapisan tulang rawan dan otot yang memiliki
fungsi untuk mendukung dan mencegah terjadinya kolaps dinding
bronkus. Bagian proksimal bronkus akan terdapat lebih banyak lapisan
tulang rawan dibandingkan pada bagian distal bronkus. Sebaliknya
jumlah otot polos pada bagian distal bronkus akan lebih banyak
daripada bagian proksimal. Lapisan terakhir yang menyusun bronkus
ialah lapisan adventisia. Lapisan ini terdiri dari jaringan ikat longgar
yang terdapat pembuluh darah, saraf, dan sel lemak pada lapisan
tersebut.(Fitriah et al., 2010) (Paramita & Juniati, 2016).
(Mescher, 2012).
Gambar 2. 3
Gambar Histologi Bronkus. Gambar A : perbesaran 140x, lapisan epitel
bronkus(E), lamina propria (LP), otot polos (SM), kartilago (C), pembuluh darah
(V), jaringan saraf (N), jaringan paru-paru (LT). Gambar B : perbesaran 400x,
silia di epitel bronkus (S), otot polos (SM), kelenjar serous (G), kartilago (C).
11
f. Bronkiolus
Bronkiolus respiratory pada bagian proksimal dilapisi oleh epitel simple
cuboidal dan semakin ke distal berubah menjadi epitel simple
squamous. (Selvakumari & Selvakumari, 2018).
g. Alveolus
Alveolus dilapisi oleh epitel simple squamous. Selain itu, jika dilihat
secara mikroskopis dapat ditemukan sel alveolus tipe I dan tipe II yang
mana sel alveolus tipe I ditemukan lebih banyak daripada sel aveolus
tipe II. (Selvakumari & Selvakumari, 2018).
2.2. Hipersensitivitas
akan berdiferensiasi menjadi sel yang mirip dengan sel dendritic klasik
dan menjalankan peran dalam mempresentasikan antigen kepada
Limfosit T spesifik virus. (Abbas et all, 2015).
Gambar 2. 6
Mekanisme Inflamasi pada asma. Dimulai dari ditangkapnya allergen
oleh TLSP (Thymic Stromal Lymphopoetin) dan dipresentasikan menuju sel T
oleh APC (Antigen Presenting Cell). Hal tersebut menyebabkan diferensiasi sel T
menjadi Th2 dan Th17 yang akan menyebabkan terbentuknya IgE dan munculnya
reaksi inflamasi akibat sitokin yang terproduksi.
Gambar 2. 7
Perbedaan histologis bronkiolus normal dan bronkiolus pada asma. Tanda
panah menunjukkan perubahan pada sel : a) Gambaran otot polos, b) Gambaran
epitel bronkiolus, c) Gambaran fibrosis subepitelial, d) Gambaran sel goblet yang
memiliki vakuol
19
akan meningkat dan lumen saluran napas akan menyempit. (Widodo &
Djajalaksana, 2012).
e. Peningkatan massa otot polos saluran napas
Hiperplasi dan hipertrofi sel-sel otot polos saluran napas merupakan
penyebab dari meningkatnya massa otot polos saluran napas. Selain itu,
pada pasien asma juga dapat ditemukan migrasi sel-sel otot polos ke area
subepitelial. Migrasi dari sel-sel otot polos ini yang merupakan gambaran
dari airway remodeling. (Widodo & Djajalaksana, 2012).
2.3. Agen Pencetus Asma
Asma dapat dicetuskan oleh adanya paparan dari hal yang bersifat
alergenik maupun non-alergenik ke tubuh manusia. Faktor pencetus asma yang
bersifat alergenik meliputi tungau rumah, jamur, bulu hewan peliharaan, kecoa,
tikus, serbuk sari bunga, serta alergi makanan. Sedangkan faktor pencetus asma
yang bersifat non-alergic meliputi virus, perokok aktif maupun pasif, polusi,
udara dingin, serta stress.(Gautier & Charpin, 2017). Beberapa makanan yang
menimbulkan alergi pada seseorang dapat menjadi factor pencetus asma pada
orang tersebut. Contoh makanan yang bersifat alergenik diantaranya ikan, susu,
udang, kacang tanah, serta telur ayam. (Foong et al., 2017). Telur ayam dapat
menyebabkan alergi pada seseorang karena pada putih telur ayam terkandung
suatu zat yang bersifat alergen yaitu ovalbumin. (Duan et al., 2017).
Ovalbumin (OVA) merupakan salah satu jenis protein yang dapat
ditemukan pada putih telur yang banyak digunakan dalam pembuatan suatu
makanan baik produksi untuk diri sendiri maupun untuk industry. Ovalbumin
merupakan glikoprotein monomeric dengan titik isoelektrik 4,7. (Sang et al.,
2018). Ovalbumin sendiri merupakan salah satu sumber alergen terbesar yang
terdapat pada putih telur. Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa pada
putih telur mengandung 54% albumin yang dapat menjadi allergen.(Duan et
al., 2017). Ovalbumin sendiri sering digunakan untuk menginduksi inflamasi
pada saluran napas yang diujicobakan pada tikus. Pemberian Ovalbumin pada
tikus diharapkan dapat memicu proses inflamasi pada saluran nafas lewat
sensitisasi pada Th-2. (Debeuf et al., 2016).
21
Gambar 2. 8
Buah Mangga (Mangifera Indica L.)
Salah satu fungsi dari Flavonoid ialah dapat digunakan sebagai anti
inflamasi. Mekanisme kerja Flavonoid sebagai anti inflamasi yaitu dengan
mengurangi pelepasan mediator inflamasi seperti prostaglandin,
thromboxane, leukotrienes, dan mediator lainnya dengan menginhibisi
25
enzim PLA2, COX, dan LOX yang mana enzim tersebut merupakan enzim
yang memiliki peran dalam pembentukan mediator inflamasi. (Maleki et al.,
2019). Dalam sumber yang lain disebutkan bahwa, flavonoid juga dapat
menginhibisi pelepasan mediator kimia yang selanjutnya dapat menekan
sintesis IL-4 dan IL-13 yang diproduksi sel Th2 sehingga flavonoid bisa
disebut memiliki efek anti inflamasi. (Mlcek et al., 2016).
2.4.5. Aktifitas Farmakologi
Salah satu manfaat dari buah mangga ialah dapat digunakan sebagai
anti-diabetes. Diabetes merupakan sebuah penyakit gangguan metabolik
yang mana kadar glukosa dalam darah terlalu tinggi (hiperglikemia) yang
diakibatkan oleh insulin yang dihasilkan oleh pancreas tidak cukup untuk
memetabolisme glukosa. Akibatnya kadar glukosa dalam darah akan naik
atau sering disebut dengan Hiperglikemia. Mekanisme ekstrak mangga
sebagai anti-diabetes yaitu dengan inhibisi DPP-IV. Selain itu, dalam
penelitian yang lain disebutkan juga ekstrak mangga berfungsi sebagai anti-
diabetes melalui inhibisi α-amilase dan α-glukosidase. Dengan inhibisi
kedua enzim ini mengakibatkan berkurangnya kadar glukosa karena
penghambatan proses hidrolisis dan penyerapan karbohidrat di usus.
Selain sebagai anti-diabetic, ekstrak buah mangga juga berfungsi
sebagai anti-diare. Mekanisme ekstrak buah mangga sebagai anti-diare yaitu
dengan menghambat motilitas dari usus melalui proses simpatomimetik.
(Luqyana Z. T. M & Husni, 2019).
Ekstrak buah mangga juga memiliki manfaat lain yaitu sebagai
antioksidan. Peran ekstrak buah mangga sebagai antioxidant yaitu melalui
senyawa fenol, vitamin, dan pigmen yang berperan dalam pembersihan
radikal bebas didalam tubuh akibat reaktifitas moiety fenol dan melalui
donasi hydrogen atau elektron. Selain itu, peran system antioksidan berbasis
enzim seperti katalase, superoksida dismutase, dan regulator Nrf2 juga ikut
dalam memodulasi peran antioksidan dari ekstrak buah mangga.
Manfaat terakhir dari ekstrak buah mangga ialah dapat digunakan
sebagai anti inflamasi. Efek anti inflamasi buah mangga berasal dari
26
aktifitas senyawa polifenol dan flavonoid yang ada pada buah mangga.
Mekanisme senyawa polifenol dan flavonoid sebagai anti inflamasi yaitu
dengan mengurangi tingkat ekspresi iNOS, COX-2, TNF-α, dan TNFR-2
yang mengakibatkan berkurangnya mediator inflamasi seperti IL-6 dan
TNF-α. Selain itu, flavonoid juga dapat menekan sintesis IL-4 dan IL-13
yang diproduksi oleh sel Th2. Dengan mekanisme seperti itu, maka
inflamasi yang terjadi akan mereda dan hilang. (Lauricella et al., 2017;
Mlcek et al., 2016).
Efek antiinflamasi yang dihasilkan oleh kulit mangga merupakan
manifestasi dari turunan senyawa flavonoid yang terkandung dalam kulit
mangga. Kaempferol merupakan turunan dari flavonoid memiliki efek
antiinflamasi yaitu dengan menginhibisi proliferasi dari sel Limfosit T
sehingga inflamasi terhambat. (Wang et al., 2018). Pada penelitian yang lain
disebutkan bahwa, Kaempferol memiliki efek antiinflamasi dengan
mekanisme yang lain, yaitu Kaempferol dapat menginhibisi degranulasi dari
sel mast sehingga tidak terjadi pelepasan dari prostaglandin, histamine,
leukotrienes, dan sitokin yang dapat menyebabkan inflamasi. (Shin et al.,
2015). Senyawa turunan flavonoid lain yang terkandung dalam kulit
mangga yaitu epicatechin gallate juga memiliki efek antiinflamasi. Efek
antiinflamasi yang diberikan oleh epicathecin gallate yaitu melalui
penghambatan pada pelepasan histamine yang mana histamine merupakan
salah satu mediator inflamasi. (Mari et al., 2012). Senyawa lain yang juga
turunan dari flavonoid yang terkandung pada kulit buah mangga dan
memiliki efek antiinflamasi ialah Quercetin. Quercetin merupakan salah
satu jenis flavonoid yang terkandung di kulit buah mangga, yang juga
memiliki aktivitas anti inflamasi, yaitu sebagai mast cell stabilizer yang
dapat mencegah terjadinya degranulasi sel mast sehingga tidak terjadi
pelepasan mediator yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi.
(Hermawan et al., 2019). Pada penelitian yang lain juga dipaparkan bahwa
efek antiinflamasi dari quercetin bisa berasal dari mekanisme yang lain
seperti pemberian quercetin pada tikus yang diinduksi ovalbumin
27
Subordo : Sciurognathi
Familia : Muridae
Genus : Rattus
Species : Rattus Norvegicus (Fitria, 2014).
(Koolhaas, 2010)
Gambar 2. 9
Tikus Putih (Rattus Norvegicus)
Gambar 2. 10
Struktur Paru-Paru Manusia dan Tikus
30
Jika dilihat dari segi histologi, trakea dan bagian proksimal saluran
napas antara manusia dan tikus sama sama dilapisi oleh epitel pseudostratified
columnar, dan pada saluran napas yang perifer dilapisi oleh epitel kuboid. Pada
paru-paru manusia, bagian yang lebih proksimal, bronkus intrapulmonal, dan
bronkus yang menyerupai trakea dilapisi oleh epitel pseudostratified columnar
yang tinggi yang terdiri dari sel basal, sel bersilia, serous, mucus, sel
neuroendokrin dan menunjukkan adanya kelenjar submucosa. Sedangkan pada
tikus, saluran pernapasan yang berada di bagian proksimal dilapisi oleh epitel
pseudostratified columnar rendah yang terdiri dari sel bersilia dan sel klub
dengan kelompok sel neuroendokrin yang sebagian besar terletak di
percabangan jalan napas. (Pan et al., 2019).
Gambar 2. 11
Histologi bronkus tikus. Gambar A merupakan histologi bronkus tikus dengan
perbesaran 140x. Gambar B merupakan histologi bronkus tikus dengan perbesaran
400x dengan keterangan : 1) Epitel, 2) Sel Goblet, 3) Silia, 4) Jaringan
Submucosa, 5) Membrana basalis.
31
Pseudostratified Pseudostratified
Epitel Bronkus
Columnar Columnar