Anda di halaman 1dari 36

HANDOUT

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA KELAS AWAL

( Asri Susetyo Rukmi dan Sri Hariani )

A. TUJUAN

Setelah mempelajari handout ini, mahasiswa

1. Memahami tahap perkembangan bahasa anak.

2. Memahami berbagai pendekatan dan metode pembelajaran bahasa di kelas awal SD

3. Menguasai cakupan materi pengajaran bahasa Indonesia di kelas Awal SD.

4. Menguasai berbagai metode pembelajaran bahasa Indonesia di kelas Awal SD.

5. Mampu merancang pembelajaran bahasa di kelas Awal SD dengan model


pembelajaran yang inovatif.

6. Mampu melaksanakan pembelajaran bahasa Indonesia di kelas Awal dalam bentuk


simulasi.

7. Mampu melaksanakan evaluasi pembelajaran bahasa yang mencakup empat


keterampilan berbahasa.

B. MATERI BIDANG STUDI BAHASA INDONESIA DI SD

1. Perkembangan Bahasa Anak

Hak i kat perkembangan bahasa anak dan tahap-tahap perkembangan


bahasa anak sangat penting bagi pelaksanaan pembelajaran
bahasa. Oleh karena itu, guru SD perlu menguasai berbagai konsep yang
terkait dengan perkembangan bahasa anak. Kemajuan kemampuan
berbahasa mereka berjalan seiring dengan perkembangan fisik, mental,
intelektual, dan sosialnya. Ada beberapa faktor penunjang yang
merupakan penjabaran dari kedua hal di atas yang dapat memengaruhi
tingkat kemampuan bahasa yang diperoleh anak. Faktor- faktor yang
dimaksud adalah: faktor biologis; faktor lingkungan sosial; faktor intelegensi;
dan d. faktor motivasi.

Tahap-tahap Perkembangan Bahasa

a. Tahap Pralingustik (0–12 bulan)


Sebelum mampu mengucapkan suatu kata, bayi mulai
memperoleh bahasa ketika berumur kurang dari satu tahun.
Namun pada tahap ini, bunyi-bunyi

14
bahasa yang dihasilkan anak belumlah bermakna. Bunyi-bunyi itu
berupa vokal atau konsonan tertentu, tetapi tidak mengacu pada
kata atau makna tertentu. Untuk itulah perkembangan bahasa
anak pada masa ini dis ebut tahap pralinguistik (Tari gan
dkk ., 1998: hlm.). Bahkan pada awalnya, bayi hanya mampu
mengeluarkan suara, yaitu tangisan. Pada umumnya orang
mengatakan bahwa bila bayi yang baru lahir menangis,
menandakan bahwa bayi tersebut merasa lapar, takut, atau
bosan. Sebenarnya tidak hanya itu saja terjadi. Para peneliti
perkembangan mengatakan bahwa lingkungan memberikan mereka
halangan tentang apa yang dirasakan oleh bayi, bahkan
tangisan itu sudah mempunyai nilai komunikatif.
Bayi yang berusia 4 – 7 bulan biasanya sudah mulai
mengahasilkan bany ak suara baru y ang m eny ebabk an
m as a ini dis ebut m as a eks pansi (Dworetzky, 1990: hlm
). Suara-suara baru itu meliputi: bisikan, menggeram, dan memekik.
Setelah memasuki usia 7–12 bulan, ocehan bayi meningkat pesat.
Sebagian bayi mulai mengucapkan suku kata dan menggandakan
rangkaian kata seperti “papapa” atau “mamama”. Ini dikenal dengan
masa conical.

b. Tahap Satu-Kata (12–18 bulan)


Pada masa ini, anak sudah mulai belajar menggunakan satu
kata yang memiliki arti yang mewakili keseluruhan idenya. Satu-
kata mewakili satu atau bahkan lebih frase atau kalimat.
Kata-kata pertama yang lazim diucapkan berhubungan
dengan objek-objek nyata atau perbuatan. Kata-kata yang sering
diucapkan orang tua sewaktu mengajak bayinya berbicara
berpotensi lebih besar menjadi kata pertama yang diucapkan si
bayi. Selain itu, kata tersebut mudah bagi si anak. Kata-kata
yang mengandung konsonan bilabial (b,p,m) merupakan kata-kata
yang mudah diucapkan anak-anak. Misalnya kata mama, mimik,
papa, dsb. Selain itu, kata- kata tersebut mengandung fonem

1
/a/ yang secara artikulasi juga mudah diucapkan (tinggal
membuka mulut saja)
c. Tahap dua-kata (18–24 bulan)
Pada masa ini, kebanyakan anak sudah mulai mencapai
tahap kombinasi d u a k a t a . Kata-kata yang diucap
kan ketika masih tahap s a t u - k a t a dikombinasikan
dalam ucapan-ucapan pendek tanpa kata penunjuk, kata depan,
atau bentuk-bentuk lain yang seharusnya digunakan. Anak mulai
dapat mengucapkan, “Ma, maem”, maksudnya, “Mama, saya mau
makan.” Pada tahap dua-kata ini anak mulai mengenal berbagai
makna kata, tetapi belum dapat menggunakan bentuk bahasa
yang menunjukkan jumlah, jenis kelamin, dan waktu terj adi ny a
peris tiwa.
d. Tahap banyak-kata (3–5 tahun)
Tompkins dan Hoskisson dalam Tarigan dkk. (1998: hlm.)
menyatakan bahwa pada usia 3–4 tahun, tuturan anak mulai lebih
panjang dan tatabahasanya lebih teratur. Dia tidak lagi
menggunakan hanya dua kata, tetapi tiga atau lebih. Pada umur 5–
6 tahun, bahasa anak telah menyerupai bahasa orang dewasa.
Sebagian besar aturan gramatika telah dikuasainya dan pola bahasa
serta panjang tuturannya semakin bervariasi. Anak telah
mampu menggunkan bahasa dalam berbagai cara untuk berbagai
keperluan, termasuk bercanda atau menghibur.
Selanjutnya, tidak berbeda jauh dengan tahapan perkembangan
bahasa anak seperti yang telah diuraikan,
Selanjutnya Piaget membagi tahap perkembangan bahasa sebagai
berikut
1) usia 0,0 – 0,5 Tahap meraban (pralinguistikI).
2) usia 0,5–1,0. Tahap meraban (pralinguistikII) kata nonsense.
3) usia 1,0–2,0. Tahap linguistik I: holofrastik, kalimat satu
kata.
4) usia 2,0 – 3,0 Tahap linguistik II: kalimat dua kata, pada

3
e) Tahap linguistik III: pengembangan tata bahasa, pada usia
3,0 – 4,0. f) Tahap linguistik IV: tatabahasa pradewasa, pada
usia 4,0 – 5,0.
g) Tahap lingistik V: kompetensi penuh, pada
usia 5,0.

2. Keterampilan Berbahasa

Sebagaimana yang tertuang di dalam Kurikulum 2013, ruang lingkup


bidang studi Bahasa Indonesia meliputi aspek kebahasaan, empat
keterampilan berbahasa Indonesia (yang terdiri atas keterampilan menyimak,
berbicara, membaca,dan menulis), dan kemampuan bersastra.

Kebahasaan (Pengenalan Bunyi/huruf, Lafal, Intonasi, Kata, Kalimat)

Materi kebahasaan yang merupakan dasar-dasar bagi siswa untuk dapat


menggunakan bahasa dengan baik dan benar, meliputi bunyi atau huruf, lafal,
intonasi, kata (bentuk dan kosa kata), kalimat, dan makna. Kompetensi dasar
dalam KTSP untuk pembelajaran berbahasa di kelas I SD yang di dalamnya
memuat aspek kebahasaan, yang meliputi pengenalan bunyi, lafal, intonasi,
kata (bentuk dan kosa kata), kalimat sederhana dapat diperiksa sebagai
berikut.

C. PENDEKATAN PENGAJARAN BAHASA

Salah satu faktor keberhasilan suatu pembelajaran ditentukan oleh pen-


dekatan dan metode yang digunakan oleh seorang guru. Banyak pendekatan dan
metode pembelajaran yang dapat digunakan. Dalam kaitan ini guru harus cermat
dalam memilih pendekatan dan metode mana yang cocok digunakan untuk
lingkungannya.

Adapun pendekatan pembelajaran yang dianjurkan dalam kurikulum 20013


adalah pendekatan scientict

1. Pengertian Pendekatan

Pada umumnya kata approach diartikan pendekatan. Dalam pengajaran,


kata ini lebih tepat diartikan a way of beginning something. Jadi, kalau
diterjemahkan, approach adalah cara memulai sesuatu. Dalam hal ini, yaitu cara

4
memulai pengajaran bahasa. Lebih luas lagi, approach adalah seperangkat
asumsi tentang hakikat bahasa, pengajaran bahasa dan proses belajar bahasa.

Berbagai asumsi yang terdapat dalam bahasa yang dikemukakan Ramelan


(dalam Zuchdi 1996: 29) mengutip Anthony yang mengatakan bahwa pendekatan
ini mengacu pada seperangkat asumsi yang saling berkaitan, dan berhubungan
dengan sifat bahasa, serta pengajaran bahasa. Pendekatan merupakan dasar
teoretis untuk suatu metode. Asumsi tentang bahasa bermacam-macam, antara
lain asumsi yang menganggap bahasa sebagai kebiasaan; ada pula yang
menganggap bahasa sebagai suatu sistem komunikasi yang pada dasarnya
dilisankan; dan ada lagi yang menganggap bahasa sebagai seperangkat kaidah.

Asumsi-asumsi tersebut di atas menimbulkan pendekatan-pendekatan yang


berbeda, yakni:

a. pendekatan yang mendasari pendapat bahwa belajar berbahasa, berarti


berusaha membiasakan diri menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Te-
kanannya pada pembiasaan;

b. pendekatan yang mendasari pendapat bahwa belajar berbahasa, berarti


berusaha untuk memperoleh kemampuan berkomunikasi secara lisan. Tekanan
pembelajarannya pada pemerolehan kemampuan berbicara;

c. pendekatan yang mendasari pendapat bahwa pembelajaran bahasa, yang


harus diutamakan ialah pemahaman akan kaidah-kaidah yang mendasari
ujaran. Tekan pembelajarannya pada aspek kognitif bahasa, bukan pada
kemampuan menggunakan bahasa.

Berdasarkan asumsi-asumsi itulah muncul pendekatan pengajaran yang


dianggap cocok bagi asumsi-asumsi tersebut. Asumsi terhadap bahasa
sebagai alat komunikasi dan bahwa belajar bahasa yang terpenting adalah
melalui komunikasi, maka lahirlah pendekatan komunikatif

Asumsi yang berbeda, akan menimbulkan pendekatan yang berbeda. Dari


asumsi-asumsi pandangan behaviorisme misalnya, maka muncul pendekatan
struktural. Dari asumsi pandangan konstruktivisme, maka lahirlah pendekatan
konstruktivisme. Demikian pula dari asumsi-asumsi humanisme lahirlah
pendekatan komunikatif.

Penggunaan pendekatan dalam pengajaran bahasa menyikapi: (1) cara


pandang seseorang dalam menyikapi bahasa sebagai materi pelajaran, (2) isi
pembelajaran, (3) teknik dan proses pembelajaran, serta (4) perencanaan dan

5
pelaksanaan program pengajaran. Berikut ini akan disajikan beberapa metode
pembelajaran dalam bahasa Indoesia di SD.

1) Pendekatan Tujuan

Pendekatan tujuan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa dalam setiap


kegiatan belajar-mengajar yang harus dipikirkan dan ditetapkan lebih dahulu
ialah tujuan yang hendak dicapai. Dengan memperhatikan tujuan yang telah
ditetapkan itu dapat ditentukan metode mana yang akan digunakan dan teknik
pengajaran yang bagaimana yang diterapkan agar tujuan pembelajaran
tersebut dapat dicapai. Jadi, proses belajar-mengajar ditentukan oleh tujuan
yang telah ditetapkan, untuk mencapai tujuan itu sendiri.

Oleh karena orientasinya pada tujuan, maka pembelajarannya pun


penekanannya pada tercapainya tujuan. Misalnya contoh berikut ini. Untuk
pokok bahasan menulis, tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan ialah
“Siswa mampu membuat karangan/cerita berdasarkan pengalaman atau
informasi dari bacaan”. Dengan berdasar pada pendekatan tujuan, maka yang
penting ialah tercapainya tujuan, yakni siswa memiliki kemampuan mengarang.
Adapun mengenai bagaimana proses pembel-ajarannya, bagaimana
metodenya, bagaimana teknik pembelajaran tidak merupakan masalah yang
penting

Demikian pula kalau misalnya yang diajarkan pokok bahasan struktur


dengan tujuan “Siswa memiliki pemahaman mengenai bentuk-bentuk kata
bahasa Indonesia”. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui pembelajaran
morfologi bahasa Indonesia.

Penerapan pendekatan tujuan ini sering dikaitkan dengan “cara belajar


tuntas”. Dengan “cara belajar tuntas”, berarti suatu kegiatan belajar-mengajar
dianggap berhasil, apabila sedikit-dikitnya 85% dari jumlah siswa yang
mengikuti pelajaran itu menguasai minimal 75% dari bahan ajar yang diberikan
oleh guru. Penentuan keberhasilan itu didasarkan hasil tes sumatif; jika
sekurang-kurangnya 85% dari jumlah siswa dapat mengerjakan atau dapat
menjawab dengan betul minimal 75% dari soal yang diberikan guru maka
pembelajaran dapat dianggap berhasil.

2) Pendekatan Struktural

Pendekatan struktural merupakan salah satu pendekatan dalam


pembelajaran bahasa yang dilandasi oleh asumsi yang menganggap bahasa

6
sebagai kaidah. Atas dasar anggapan tersebut timbul pemikiran bahwa
pembelajaran bahasa harus mengutamakan penguasaan kaidah-kaidah bahasa
atau tata bahasa. Oleh sebab itu, pembelajaran bahasa perlu dititikberatkan pada
pengetahuan tentang struktur bahasa yang tercakup dalam fonologi, mofologi, dan
sintaksis. Dalam hal ini pengetahuan tentang pola-pola kalimat, pola kata, dan
suku kata menjadi sangat penting. Jelas, bahwa aspek kognitif bahasa
diutamakan.

Di samping kelemahan, pendekatan ini juga memiliki kelebihan. Dengan


struk-tural, siswa akan menjadi cermat dalam menyusun kalimat, karena mereka
memahami kaidah-kaidahnya. Misalnya saja, mereka mungkin tidak akan
membuat kesalahan seperti di bawah ini.

3) Pendekatan Komunikatif

Pendekatan komunikatif merupakan salah satu pendekatan dalam


pembelajaran bahasa yang dilandasi oleh asumsi yang menganggap bahwa
kemampuan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi merupakan tujuan
yang harus dicapai dalam pembelajaran bahasa. Dapat diketahui bahwa bahasa
tidak hanya dipandang sebagai suatu kaaidah, namun lebih luas lagi., yakni
sebgai sarana untuk berkomunikasi.

Atas dasar anggapan tersebut timbul pemikiran bahwa pembelajaran


bahasa harus mengutamakan sesuai dengan fungsinya, yaitu fungsi komunikatif.
Sehubungan dengan pendapat itu ada beberapa alternatif kegiatan yang dapat
diberikan kepada siswa, misalnya

a) Mengidentifikasi gambar:

dua orang siswa ditugasi mengadakan percakapan tentang benda-benda


yang terdapat dalam gambar yang disediakan oleh guru. Pertanyaan dapat
mengenai warna, jumlah, bentuk, dan sebagainya

b) Menemukan/ mencari pasangan yang cocok

Guru memberikan gambar kepada siswa yang masing-masing mendapat


sebuah gambar yang berbeda. Seorang siswa yang lain (di luar kelompok)
diberi duplikat gambar yang telah dibagikan. Siswa ini harus mengajukan
pertanyaan-pertanyaan kepada teman-temannya yang membawa gambar,
dengan tujuan untuk mengetahui identifikasi atau ciri-ciri gambar yang
mereka bawa. Dari hasil jawaban siswa itu, siswa (pembewa duplikat)

7
tersebut harus dapat menemukan siapa diantara teman-temnnyaa yang
membawa gambar yang cocok dengan duplikat yang dibwanya

c) Menemukan perbedaan

d) Menceritakan gambar

4) Pendekatan Keterampilan Proses dalam Pembelajaran Bahasa

Setiap manusia yang dilahirkan dibekali dengan kemampuan dasar. Kemam-


puan dasar ini tumbuh dan berkembang bila dibina dan dilatih. Sebaliknya,
kemampuan dasar itu dapat terpendam bila tidak dibina. Melalui CBSA, guru
mengembangkan kemampuan dasar siswa menjadi keterampilan intelektual, sosial,
dan fisik. Kepada siswa tidak hanya diberikan “apa yang harus dipelajari” tetapi yang
lebih penting lagi “bagaimana cara mempelajarinya”. Siswa diajari bagaimana cara
belajar yang baik atau belajar bagimana belajar

Dalam proses belajar atau belajar bagaimana belajar diperlukan keterampilan


intelektual, keterampilan sosial, dan keterampilan fisik. Ketiga keterampilan inilah yang
disebut keterampilan proses. Setiap keterampilan ini terdiri atas sejumlah
keterampilan. Dengan perkataan lain keterampilan proses terdiri atas sejumlah sub-
keterampilan proses.

Keterampilan proses berfungsi sebagai alat menemukan dan mengembangkan


konsep. Konsep yang telah ditemukan atau dikembangkan berfungsi pula sebagai
penunjang keterampilan proses. Interaksi antara pengembangan keterampilan proses
dengan pengembangan konsep dalam proses belajar-mengajar menghasilkan sikap
dan nilai dalam diri siswa. Tanda-tandanya terlihat pada diri siswa seperti, teliti, kreatif,
kritis, objektif, tenggang rasa, bertanggung jawab, jujur, terbuka, dapat bekerja sama ,
rajin, dan sebagainya.

Keterampilan proses dibangun oleh sejumlah keterampilan-keterampilan. Karena


itu pencapaian atau pengembangnya dilaksanakan dalam setiap proses belajar-
mengajar dalam semua mata palajaran. Tidak ada satu pelajaran pun yang dapat
mengembangkan keterampilan itu secara utuh. Karena itu pula, ada keteram-pilan
yang cocok dikembangkan oleh pelajaran tertentu dan kurang cocok dikembangkan
oleh mata pelajaran lainnya.

Setiap mata pelajaran mempunyai karakteristik sendiri. Karena itu penjabaran


keterampilan proses dapat berbeda pada setiap mata pelajaran. Perbedaan itu
sifatnnya tidak mendasar tetapi hanyalah variasi-variasi belaka. Sebagai contoh, mari

8
kita perhatikan bagaimana keterampilan proses dijabarkan dalam mata pelajaran
bahasa Indonesia. Penjabaran itu sudah memenuhi karakter bahasa Indonesia itu
sendiri. Penjabaran sebagai berikut.

9
 Mengamati

 Menatap: memperhatikan.

 Membaca: memahami suatu bacaan.

 Menyimak: memahami sesuatu yang dibicarakan orang lain.

2. Menggolongkan

Mencari persamaan, perbedaan atau penggolongan (dapat berupa wacana, kalimat,


dan kosa kata).

3. Menafsirkan

a. Menafsirkan: mencari atau menemukan arti, situasi, pola, kesimpulan dan


mengelompokkan suatu wacana.

b. Mencari dasar penggolongan: mengelompokkan sesuatu berdasarkan suatu


kaidah, dapat berupa kata dasar, kata bentukan, jenis kata, pola kalimat
ataupun wacana.

c. Memberi arti: mencari arti kata-kata atau mencari pengertian sesuatu wacana
kemudian mengutarakan kembali baik lisan maupun tertulis.

d. Mencari hubungan situasi: mencari atau menebak waktu kejadian dari suatu
wacana puisi. Menghubungkan antarsituasi yang satu dengan yang lain dari
beberapa wacana.

e. Menemukan pola: menentukan atau menebak suatu pola cerita yang berupa
prosa maupun pola kalimat.

f. Menarik kesimpulan: mengambil suatu kesimpulan dari suatu wacana secara


induktif maupun deduktif.

g. Menggeneralisasikan: mengambil kesimpulan secara induktif atau dari ruang


lingkup yang lebih luas daripada menarik kesimpulan.

h. Mengalisis: menganalisis suatu wacana berdasarkan paragraf, kalimat, dan


unsur-unsur.

4. Menerapkan

Menggunakan konsep: kaidah bahasa dalam menyusun dapat berupa


penulisan wacana, karangan, surat-menyurat, kalimat-kalimat, kata bentukan
dengan memperhatikan ejaan/kaidah bahasa.

10
5. Mengomunikasikan

a. Berdiskusi: melakukan diskusi dan tanya jawab dengan memakai argumen-


tasi/alasan-alasan dan bukti-bukti untuk memecahkan suatu masalah.

b. Mendeklamasikan: melakukan deklamasi suatu puisi dengan menjiwai sesuatu


yang dideklamasikan (dapat dengan menggerakkan anggota badan, kepala,
pandangan mata, atau perubahan air muka).

c. Dramatisasi: menirukan sesuatu perilaku dengan penjiwaan yang mendalam.

d. Bertanya: mengajukan berbagai jenis pertanyaan yang mengarah kepada:


pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, atau evaluasi.

e. Mengarang: menulis sesuatu dapat dengan melihat objeknya yang nyata dulu
dengan bantuan gambar atau tanpa bantuan apa-apa.

f. Mendramakan/bermain drama: memainkan sesuatu teks cerita persis seperti


apa yang tertera pada bacaan.

g. Mengungkapkan/melaporkan sesuatu dalam bentuk lisan dan tulisan:


melaporkan darmawisata, pertandingan, peninjauan ke lapangan, dan
sebagainya.

D. Keterampilan Menyimak di SD Kelas Awal

Menyimak merupakan kegiatan berbahasa yang dilakukan dalam bentuk


reseptif lisan. Menyimak dapat diartikan sebagai aktivitas penggunaan alat
pendengaran secara sengaja yang bertujuan untuk memperoleh pesan atau makna
dari apa yang disimak. Keterampilan menyimak merupakan salah satu keterampilan
berbahasa yang sangat krusial dalam menunjang keberhasilan belajar siswa. Coba
Saudara bayangkan, berapa persentase kegiatan menyimak yang dilakukan seorang
siswa dalam kehidupannya sehari-hari? Kemudian, apa pendapat Saudara tentang
efektivitas kegiatan menyimak siswa tersebut?

Dalam KTSP SD dirumuskan standar kompetensi lulusan untuk keterampilan


menyimak adalah memahami wacana lisan berbentuk perintah, penjelasan, petunjuk,
pesan, deskripsi benda di sekitar, serta karya sastra berbentuk dongeng, puisi, cerita,
drama.

1. Jenis-Jenis Menyimak Yang Dapat Dikembangkan Di Kelas Awal SD


adalah
a. Menyimak Informatif:

11
Menyimak atau mendengarkan informasi yaitu menyimak untuk
mengidentifikasi dan mengingat fakta-fakta, ide-ide dan hubungan-hubungan.
Beberapa kegiatan yang dapat direncanakan atau ditugaskan kepada anak.
b. Menyimak kritis:
Mendengarkan kritis lebih dari sekadar mengidentifikasi dan mengingat fakta,
ide, dan hubungan-hubungan, namun membutuhkan kemampuan untuk
menganalisis apa yang di dengar dan membuat sebuah keterangan tentang hal
tersebut dan membuat generalisasi berdasarkan apa yang didengar.
c. Menyimak apresiatif:
menyimak apresiatif adalah kemampuan untuk menikmati dan merasakan apa
yang di dengar. Penyimak dalam jenis menyimak ini larut dalam bahan yang
disimaknya. Secara imajinatif, penyimak seolah-olah ikut mengalami,
merasakan, melakukan karakter dari perilaku cerita yang dilisankan.

2. Pengembangan Keterampilan Menyimak di Kelas Awal


Secara lebih khusus metode-metode yang dapat digunakan untuk
mengembangkan kemampuan menyimak pada siswa kelas awal adalah sebagai
berikut :
a) Simak – Ulang Ucap
Metode simak ualng ucap biasanya digunakan dalam memperkenalkan bunyi-
bunyi tertentu seperti bunyi kendaraan suara binatang, bunyi pintu ditutup atau
juga bunyi bahasa. Bunyi bahasa atau huruf biasanya diperkenalkan pada saat
pertama anak belajar membaca atau mengenal bunyi-bunyi huruf.
b) Simak – Kerjakan
Model ucapan guru berisi kalimat perintah. Anak mereaksi atas perintah guru.
Reaksi anak dalam bentuk perbuatan, misalnya untuk mencapai hasil belajar,
anak mampu melaksanakan 2-3 perintah secara berurutan.
c) Simak – Terka
Guru menyiapkan benda-benda yang tidak diketahui atau tidak diperlihatkan
kepada anak. Lalu menyebutkan ciri-ciri benda tersebut dan anak ditugaskan
untuk menerka benda yang dimaksud.
d) Menjawab Pertanyaan
Guru menyiapkan bahan simakan berupa cerita. Sangat diharapkan taraf
kesukaran cerita baik dari segi isi maupun bahasanya disesuaikan dengan

12
kemampuan anak. Kemudian guru menyampaikan bahan tersebut secara lisan,
misal dengan menceritakan atau dengan membacakannya. Selanjutnya guru
mengajukan pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan cerita tersebut. Hal ini
bertujuan untuk membantu anak memahami isi cerita. Bentuk pertanyaan atau
bahasa yang digunakan dalam pertanyaan disesuaikan dengan kemampuan anak.
e) Parafrase
Guru mempersiapkan sebuah puisi yang cocok untuk anak. Guru membacakan
puisi tersebut. Anak menyimak dan kemudian ditugaskan menceritakan kembali
isi puisi tersebut dengan kata-kata sendiri.
f) Merangkum
Guru menyiapkan bahan simakan berupa cerita yang tidak terlalu panjang. Isi
dan bahasanya juga disesuaikan dengan kemampuan anak. Setelah guru
menceritakan anak ditugaskan untuk menceritakan isi cerita tersebut dengan
kalimat sendiri. Bagi anak kelas awal, kalau anak kesulitan dalam menemukan
isi cerita bisa dibantui dengan pertanyaan-pertanyaan oleh guru.
g) Bisik Berantai
Guru membisikkan suatu pesan kepada seorang anak. Pesan yang dibisikkan
bisa berupa tiga kata berurutan sesuai tema tertentu. Lalu anak yang pertama
membisikkan pesan atau kata-kata tersebut pada anak kedua. Anak tersebut
membisikkan pada anak ketiga dan begitu seterusnya. Anak terakhir
menyebutkan isi pesan itu dengan suara keras di depan kelas.

3. Hal-hal yang penting diperhatikan guru antara lain:

a) Upayakan kegiatan berbahasa yang dilakukan bersifat alamiah dan


kontekstual.

b) Pastikan pembelajaran menyimak dilakukan dalam bentuk aktivitas


berbahasa reseptif lisan oleh siswa. Pembelajaran menyimak di SD
ditujukan untuk melatih konsentrasi dan daya simak siswa, serta untuk
meningkatkan efektivitas kegiatan menyimak siswa. Untuk itu, evaluasi
menyimak upayakan dirancang oleh guru untuk mengetahui peningkatan
konsentrasi dan efektivitas menyimaknya.

c) Pastikan bahwa sebelum melakukan kegiatan penyimakan, siswa dalam


keadaan siap fisik dan mental untuk melakukan penyimakan.

13
d) Pastikan bahwa bunyi yang disimak siswa tidak banyak mendapat
gangguan, baik yang bersifat kebahasaaan maupun nonkebahasaan.
Upayakan semaksimal mungkin meminimalkan gangguan yang
menyebabkan kurang efektifnya proses penyimakan yang dilakukan siswa.

e) Untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman komprehensif,


pembelajaran menyimak disarankan dilakukan secara terpadu dengan
pembelajaran aspek keterampilan berbahasa yang lain, intra maupun
antarbidang studi.

E. Keterampilan Berbicara di SD Kelas Awal

Berbicara merupakan kegiatan berbahasa yang dilakukan dalam bentuk


produktif lisan. Keterampilan berbicara merupakan modal dasar yang sangat
penting bagi seorang pebelajar untuk melakukan kegiatan komunikasi lisan secara
santun dan efektif. Kurang terampilnya seseorang dalam berbicara dapat
menyebabkan kurang maksimalnya hubungan sosial yang dilakukannya.
Pembawaan diri seseorang yang salah satunya tampak dari keterampilannya
berbicara akan mempengaruhi hubungan komunikasi yang dilakukannya. Bahkan
ada pepatah Jawa yang penggalannya berbunyi “... ajining diri saka lathi....”
mengandung makna yang dalam, yakni dihargai atau tidaknya seseorang dapat
disebabkan oleh tuturannya.

Pembelajaran keterampilan berbicara di SD bertujuan agar siswa dapat


mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi sesuai dengan konteks peristiwa
tutur secara efektif dan santun. Pembelajaran keterampilan berbicara dimaksudkan
untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi yang bersifat
produktif lisan secara efektif, baik yang dilakukan di luar kelas maupun di dalam
kelas. Sebagaimana peningkatan keterampilan berbahasa yang lain, untuk
meningkatkan keterampilan berbicara siswa diperlukan proses yang panjang dan
terencana secara baik.

Dalam KTSP SD dirumuskan standar kompetensi lulusan untuk


keterampilan berbicara adalah menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan
pikiran, perasaan, dan informasi dalam kegiatan perkenalan, tegur sapa,
percakapan sederhana, percakapan telepon, deskripsi benda di sekitar,
deklamasi, cerita, berbagai karya sastra untuk anak berbentuk dongeng, drama,
dan puisi. Standar kompetensi lulusan tersebut dicapai melalui serangkaian

14
kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara berdasarkan standar kompetensi
mulai kelas I sampai dengan kelas III.

Dalam pembelajaran berbicara, hal-hal yang penting diperhatikan guru


antara lain:

a) Upayakan kegiatan berbahasa yang dilakukan bersifat alamiah dan


kontekstual.

b) Pastikan pembelajaran berbicara dilakukan dalam bentuk aktivitas berbicara


atau mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi secara lisan (kegiatan
berbahasa produktif lisan) oleh siswa.

c) Kegiatan berbicara mensyaratkan siswa untuk berani mengungkapkan pikiran,


perasaan, dan informasi secara lisan. Sebelum penugasan kegiatan berbicara,
pastikan bahwa siswa yang bersangkutan telah memiliki keberanian untuk
berbicara. Jika belum, guru dapat melatih keberanian berbicara dulu melalui
berbagai metode dan strategi pembelajaran. Coba diskusikan dengan teman di
samping Saudara tentang metode dan strategi pembelajaran yang dapat
dilakukan guru untuk membiasakan siswa berani berbicara.

d) Untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman komprehensif, pembelajaran


berbicara disarankan dilakukan secara terpadu dengan pembelajaran aspek
keterampilan berbahasa yang lain, intra maupun antarbidang studi.

F. Keterampilan Membaca di Kelas Awal SD

Dalam KTSP SD dirumuskan standar kompetensi lulusan untuk


keterampilan membaca adalah menggunakan berbagai jenis membaca untuk
memahami wacana berupa, teks pendek dan agak panjang, dan berbagai karya
sastra untuk anak berbentuk puisi, dongeng, dan cerita.

Jenis-jenis membaca yang dilatihkan di SD kelas awal tampak pada tabel


berikut.

Tabel 2. Jenis-Jenis Membaca

No. Jenis Membaca Kelas/ Keterangan


Semester

1. Membaca nyaring I/1-2 Suku kata,kata,kalimat sederhana

II/2 Teks (15-20 kalimat)

15
III/1 Teks (20-25 kalimat)

2. Membaca lancar I/2 Kalimat sederhana 3-5 kata

II/1 Teks pendek 10-15 kalimat

3 Membaca ekspresif I/2 Puisi 2-4 baris

II/1 Puisi

III/2 Puisi

III/1 Dongeng

6. Membaca pemahaman II/2 teks agak panjang (20-25 kalimat)

7. Membaca intensif III/1 Teks (100-150 kata)

III/2 teks agak panjang (150-200 kata)

1. Metode Pembelajaran Bahasa Indonesia Di Kelas Awal Sekolah Dasar

a) Pengertian Metode

Dalam dunia pengajaran, metode adalah rencana penyajian bahan yang menye-
luruh dengan urutan yang sistematis berdasarkan pendekatan tertentu. Jadi, metode
merupakan cara melaksanakan pekerjaan, sedangkan pendekatan bersifat
filosofis/aksioma. Karena itu, dari suatu pendekatan dapat tumbuh beberapa metode.
Misalnya dari aural-oral approach (mendengar berbicara) dapat tumbuh metode
mimikri-memorisasi, metode pattern-practice (pola-pola praktis), dan metode lainnya
yang mengutamakan kemampuan berbahasa, khususnya kemampuan berbicara
(bahasa lisan) melalui latihan intensif (drill). Cognitive cove learning theory melahirkan
metode grammatika-terjemahan yang mengutamakan penguasaan kaidah tata bahasa
dan pengetahuan tentang bahasa

Pada hakikatnya, metode terdiri atas empat langkah, yaitu seleksi, gradasi, pre-
sentasi, dan repetisi. Unsur seleksi dan gradasi materi pelajaran merupakan unsur
yang tak terpisahkan dengan unsur presentasi dan repitisi dalam membentuk suatu

16
metode mengajar (Mackey dalam Subana, 20). Metode pembelajaran bahasa di kelas
rendah akan diuraikan sebagai berikut.

17
1) Metode Eja

Pembelajaran MMP dengan metode eja memulai pengajarannya dengan mem-


perkenalkan huruf-huruf secara alpabetis. Huruf-huruf tersebut dihafalkan dan
dilafalkan murid sesuai dengan bunyinya menurut abjad. Sebagai contoh A a, B b, C c,
D d, E e, F f dan seterusnya, dilafalkan sebagai a, be, ce, de, e, ef, dan seterusnya.
Kegiatan ini diikuti dengan latihan menulis lambang tulisan, seperti a, b, c, d, dan
seterusnya atau dengan huruf rangkai, a, b, c, d, dan seterusnya.

Setelah melalui tahapan ini, para murid diajarkan untuk berkenalan dengan suku
kata dengan cara merangkaikan beberapa huruf yang sudah dikenalnya.

Misalnya : b, a 􀃆 ba (dibaca be. a 􀃆 ba)

d, u 􀃆 du (dibaca de. u 􀃆 du)

ba-du dilafalkan badu

b, u, k,u menjadi b,u 􀃆 bu (dibaca be, u 􀃆 bu)

k,u 􀃆 ku (dibaca ka,u 􀃆 ku)

Proses ini sama dengan menulis permulaan, setelah murid-murid dapat menulis
huruf-huruf lepas, kemudian dilanjutkan dengan belajar menulis rangkai huruf yang
berupa suku kata. Sebagai contoh, ambillah kata “badu” tadi. Selanjutnya, murid
diminta menulis seperti ini: ba – du 􀃆 badu.

Dalam pembelajaran membaca, hal-hal yang penting diperhatikan guru


antara lain:

1. Upayakan pembelajaran membaca nyaring berakhir pada saat siswa memasuki


kelas III semester 1. Jika membaca pemahaman yang dilakukan secara
membaca nyaring masih dilakukan ketika siswa sudah memasuki kelas III,
maka akan dapat menghambat upaya peningkatan kemampuan dan
keterampilan membaca lanjut. Hambatan dalam keterampilan membaca lanjut
dapat berdampak pada terhambatnya siswa dalam mempelajari materi bidang
studi lain. Membaca nyaring di kelas III ke atas dilakukan jika ada tujuan
tertentu, misalnya membacakan puisi, membaca teks/naskah drama, atau
membaca nyaring untuk tujuan mengecek pelafalan dan intonasi siswa.

2. Perhatikan perkembangan keterampilan membaca siswa sesuai dengan


standar kompetensi minimal dalam kurikulum, agar perkembangannya dapat
berlangsung secara maksimal.

18
3. Untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman komprehensif, pembelajaran
membaca disarankan dilakukan secara terpadu dengan pembelajaran aspek
keterampilan berbahasa yang lain, intra maupun antarbidang studi.

G. Keterampilan Menulis di SD Kelas Awal

Selain membaca, ketika memasuki jenjang pendidikan SD siswa mulai


menuju kegiatan berbahasa tulis dalam bentuk menulis. Menulis merupakan
kegiatan berbahasa yang dilakukan dalam bentuk kegiatan produktif tulis. Menulis
dapat diartikan sebagai kegiatan mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi
dalam bentuk tulis. Selain keterampilan berbahasa yang lain, keterampilan menulis
juga memegang peranan penting bagi keberhasilan belajar siswa. Bisa
dibayangkan kerugian yang akan diderita siswa yang tidak terampil menulis, bisa
dipastikan dia akan mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pikiran dan
perasaannya, menjawab pertanyaan, menjelaskan, mendeskripsikan, dan
sebagainya secara tertulis, sehingga dapat dipastikan kemampuan siswa dalam
mata pelajaran lain menjadi terhambat. Sebaliknya, jika siswa terampil menulis,
banyak sekali keuntungan yang diperolehnya yang tidak hanya dalam menunjang
keberhasilan belajarnya di sekolah, namun juga dalam menunjang keberhasilan di
luar lingkungan sekolah. Hal itu dapat terjadi karena keterampilan menulis dapat
menembus batas ruang dan waktu. Bahkan tidak sedikit anak-anak yang
memperoleh keuntungan finansial dari keterampilannya menulis, misalnya menulis
puisi atau cerita anak, atau liputan wartawan cilik yang berhasil dimuat di media
massa maupun dicetak dalam bentuk buku. Nah, bagus sekali jika Saudara selama
ini telah melakukan proses pembelajaran yang memberi kesempatan siswa untuk
terampil menulis dan menyimpan portofolio hasil karya tulis mereka.

Dalam KTSP SD dirumuskan standar kompetensi lulusan untuk


keterampilan menulis adalah melakukan berbagai jenis kegiatan menulis untuk
mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam bentuk
gambar,lingkaran,bentuk huruf, deskripsi benda di sekitar.kalimat sederhana,
karangan sederhana, petunjuk, surat, pengumuman, dialog, formulir, teks pidato,
laporan, ringkasan, parafrase, serta berbagai karya sastra untuk anak berbentuk
cerita, puisi, dan pantun.

Dalam pembelajaran menulis, hal-hal yang penting diperhatikan guru antara


lain:

a) Menulis merupakan bentuk keterampilan berbahasa tulis yang tidak bisa dilakukan
secara instan. Untuk terampil menulis diperlukan proses yang panjang yang

19
menuntut siswa untuk selalu menulis dan menulis. Dalam hal ini, guru dapat
menyeimbangkan penggunaan pendekatan proses dan hasil, yang dalam
pembelajarannya siswa tidak dituntut untuk menulis sekali jadi, namun melalui
tahapan panjang, mulai dari tahap pramenulis, menulis draf, merevisi, mengedit,
sampai dengan mempublikasikan (keseimbangan antara proses dan hasil
menulis).

b) Untuk meningkatkan minat siswa dalam menulis, berilah mereka kesempatan


memilih topik atau materi tulisan yang mereka sukai. Mengekang minat siswa
dapat menjadi hambatan utama dan dapat menyebabkan minat siswa pupus di
tengah jalan. Namun, kebebasan sepenuhnya bagi siswa sering menyebabkan
kebingungan siswa untuk menentukan topik tulisan, terutama terjadi di kelas-kelas
awal. Untuk itu, guru dapat mengatasinya melalui teknik-teknik tertentu dalam
pembelajaran menulis, misalnya teknik menulis terbimbing. Teknik ini dapat
dilakukan melalui berbagai cara. Salah satunya adalah guru menyajikan beberapa
pilihan gambar yang dapat dipilih oleh siswa. Pilihan gambar yang digunakan guru
didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan, antara lain konteks gambar sudah
dikenal anak, kerumitan gambar disesuaikan dengan tingkat perkembangan atau
tingkatan kelas siswa, gambar menarik yang dapat memotivasi siswa untuk
menarik, dan pilihan gambar tersebut dapat mewadahi keberagaman minat siswa
pada topik tulisan.

c) Untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman komprehensif, pembelajaran


membaca disarankan dilakukan secara terpadu dengan pembelajaran aspek
keterampilan berbahasa yang lain, intra maupun antarbidang studi

Proses pembelajaran selanjutnya adalah pengenalan kalimat-kalimat sederhana.


Contoh-contoh perangkaian huruf menjadi suku kata, suku kata menjadi kata, dan kata
menjadi kalimat diupayakan mengikuti prinsip pendekatan spiral, pendekatan
komunikatif, dan pendekatan pengalaman berbahasa. Artinya, pemilihan bahan ajar
untuk pembelajaran MMP hendaknya dimulai dari hal-hal yang konkret menuju hal-hal
yang abstrak, dari hal-hal yang mudah, akrab, familiar dengan kehidupan murid
menuju hal-hal yang sulit dan mungkin merupakan sesuatu yang baru bagi murid.

20
Di samping hal tersebut, hal lain yang dipandang sebagai kelemahan dari
penggunaan metode ini adalah dalam pelafalan diftong dan fonem-fonem rangkap,
seperti ng , ny , kh, au, oi, dan sebagainya. Sebagai contoh fonem ng, murid-murid
mengenal huruf tersebut sebagai /en/ dan /ge/. Dengan demikian, mereka
berkesimpulan bahwa fonem itu jika dilafalkan akan menjadi /enge/ atau /neg/ atau
/nege/.

21
Kelemahan yang mendasar dari penggunaan metode eja ini meskipun murid
mengenal dan hafal abjad dengan baik, namun murid tetap mengalami kesulitan dalam
mengenal rangkaian-rangkaian huruf yang berupa suku kata atau kata. Anak yang
baru mulai belajar membaca, mungkin akan mengalami kesukaran dalam memahami
sistem pelafalan bunyi b dan a dilafalkan /a/. Mengapa kelompok huruf ba dilafalkan
/ba/, bukan /bea/, seperti tampak pada pelafalan awalnya? Hal ini, tentu akan
membingungkan murid. Penanaman konsep hafalan abjad dengan menirukan bunyi
pelafalannya secara mandiri, terlepas dari konteksnya, menyebab-kan murid
mengalami kebingungan manakala menghadapi bentukan-bentukan baru, seperti
bentuk kata dan bentuk kata tadi.

Bertolak dari kedua kelemahan tersebut, tampaknya proses pembelajaran


melalui sistem tubian dan hafalan akan mendominasi proses pembelajaran MMP
dengan metode ini. Pada hal, seperti yang Anda ketahui, pendekatan CBSA meru-
pakan ciri utama dari pelaksanaan Kurikulum SD yang saat ini berlaku. Prinsip
“menemukan sendiri” sebagai cerminan dari pendekatan CBSA dalam proses pem-
belajaran menjadi terabaikan bahkan terhapus dengan penggunaan metode ini.

2. Metode Suku Kata dan Metode Kata

Proses pembelajaran MMP dengan metode ini diawali dengan pengenalan suku
kata, seperti ba, bi, bu, be, bo, ca, ci, cu, ce, co, da, di, du, de, do, ka, ki, ku, ke, ko
dan seterusnya. Suku-suku kata tersebut kemudian dirangkaikan menjadi kata-kata
bermakna. Sebagai contoh, dari daftar suku kata tadi, guru dapat membuat berbagai
variasi paduan suku kata menjadi kata-kata bermakna, untuk bahan ajar MMP. Kata-
kata tadi misalnya:

ba - bi cu - ci da - da ka - ki

ba - bu ca - ci du - da ku - ku

bi - bi ci - ca da - du ka - ku

ba - ca ka - ca du - ka ku – da

Kegiatan ini dapat dilanjutkan dengan proses perangkaian kata menjadi kalimat
sederhana. Contoh perangkaian kata menjadi kalimat dimaksud, seperti tampak pada
pada contoh di bawah ini.

ka - ki ku - da

ba - ca bu - ku

22
cu - ci ka - ki (dan seterusnya)

Proses perangkaian suku kata menjadi kata, kata menjadi kalimat sederhana,
kemudian ditindaklanjuti dengan proses pengupasan atau penguraian bentuk-bentuk
tersebut menjadi satuan bahasa terkecil di bawahnya, yakni dari kalimat ke dalam kata
dan kata ke dalam suku-suku kata. Proses pembelajaran MMP yang melibatkan
kegiatan merangkai dan mengupas, kemudian dilahirkan istilah lain untuk metode ini,
yakni Metode Rangkai Kupas.

Pembelajaran Bahasa Indonesia Sekolah Dasar

23
Jika kita simpulkan, langkah-langkah pembelajaran MMP dengan metode suku
adalah:

a. tahap pertama, pengenalan suku-suku kata;

b. tahap kedua, perangkaian suku-suku kata menjadi kata;

c. tahap ketiga, perangkaian kata menjadi kalimat sederhana

d. tahap keempat, pengitegrasian kegiatan perangkaian dan pengupasan

(kalimat kata-kata suku-suku kata)

Metode suku kata/silaba, saat ini tampaknya sedang populer dalam


pembelajaran baca tulis Al-Quran. Dalam pembelajaran baca tulis Al-Quran, metode
ini dikenal dengan istilah “Metode Iqro”

Proses pembelajaran MMP seperti yang digambarkan dalam langkah-langkah di


atas dapat pula dimodifikasi dengan mengubah objek pengenalan awalnya. Sebagai
contoh, proses pembelajaran MMP diawali dengan pengenalan sebuah kata tertentu.
Kata ini, kemudian dijadikan lembaga sebagai dasar untuk pengenalan suku kata dan
huruf. Artinya kata dimaksud diuraikan (dikupas) menjadi suku kata, suku kata menjadi
huruf-huruf. Selanjutnya, dilakukan proses perangkaian huruf menjadi suku kata dan
suku kata menjadi kata. Dengan kata lain, hasil pengupasan tadi dikembalikan lagi ke
bentuk asalnya sebagai kata lembaga (kata semula).

Proses pembelajaran MMP dengan metode ini melibatkan serangkaian proses


“pengupasan” dan “perangkaian”. Oleh sebab itu, metode ini dikenal juga sebagai
“Metode Kupas Rangkai”. Sebagian orang menyebutnya “Metode Kata” atau “Metode
Kata lembaga”.

3. Metode Global

Sebagian orang mengistilahkan metode ini sebagai “Metode Kalimat”. Global


artinya secara utuh dan bulat. Dalam metode global yang disajikan pertama kali
kepada murid adalah kalimat seutuhnya. Kalimat tersebut dituliskan di bawah gambar
yang sesuai dengan isi kalimatnya. Gambar itu ditujukan untuk mengingat-kan murid
kepada kalimat yang ada di bawahnya. Setelah berkali-kali membaca, murid dapat
membaca kalimat-kalimat itu secara global tanpa gambar.

Sebagai contoh, di bawah ini dapat Anda lihat bahan ajar untuk MMP yang
menggunakan metode global.

a. Memperkenalkan gambar dan kalimat

24
b. Menguraikan salah satu kalimat menjadi kata; kata menjadi suku kata;suku

c. Kata menjadi huruf-huruf.

25
ini mama

ini mama

i-ni ma-ma

i-n-i m-a-m-a

4. Metode Struktural Analisis Sintesis (SAS)

Pada bagian ini, Anda akan mempelajari tentang pengertian metode SAS;
landasan metode SAS; peranan metode SAS; kebaikan dan kelemahan metode;
pemilihan bahan dan urutan pembelajaran dengan metode SAS; prinsip pengajaran
dengan metode SAS; teknik pembelajaran dengan metode SAS; dan prosedur
penggunaan metode SAS.

Pengertian

Metode SAS merupakan singkatan dari “Struktural Analitik Sintetik”. Metode SAS
merupakan salah satu jenis metode yang biasa digunakan untuk proses pembelajaran
MMP bagi siswa pemula. Pembelajaran MMP dengan metode ini mengawali
pembelajarannya dengan dua tahap, yakni menampilkan dan memper-kenalkan
sebuah kalimat utuh. Mula-mula anak disuguhi sebuah struktur yang memberi makna
lengkap, yakni struktur kalimat. Hal ini dimaksudkan untuk mem-banguan konsep-
konsep “kebermaknaan” pada diri anak. Akan lebih baik jika struktur kalimat yang
disajikan sebagai bahan pembelajaran MMP dengan metode ini adalah struktur kalimat
yang digali dari pengalaman berbahasa si pembelajar itu sendiri. Untuk itu, sebelum
kegiatan belajar-mengajar (KBM) MMP yang sesungguhnya dimulai, guru dapat
melakukan pra-KBM melalui berbagai cara. Sebagai contoh, guru dapat
memanfaatkan gambar, benda nyata, tanya jawab in-formal untuk menggali bahasa
siswa. Setelah ditemukan suatu struktur kalimat yang dianggap cocok untuk materi
MMP dimulai dengan pengenalan struktur kalimat.

Kemudian, melalui proses analitik, anak-anak diajak untuk mengenal konsep


kata. Kalimat utuh dijadikan tonggak dasar untuk pembelajaran membaca permulaan
ini diuraikan ke dalam satuan-satuan bahasa yang lebih kecil yang disebut kata.
Proses penganalisisan atau penguraian ini terus berlanjut hingga sampai pada wujud
satuan bahasa terkecil yang tidak bisa diuraikan lagi, yakni huruf-huruf. Dengan

26
demikian, proses penguraian/pengalisisan dalam pembelajaran MMP dengan metode
SAS, meliputi:

1. kalimat menjadi kata-kata;

kata menjadi suku-suku kata; dan

suku kata menjadi huruf-huruf.

Metode SAS ini bersumber dari ilmu jiwa Gestalt, suatu aliran dalam ilmu jiwa
totalitas yang timbul sebagai reaksi atas ilmu jiwa unsuri. Psikologi Gestalt
menganggap segala penginderaan dan kesadaran sebagai suatu keseluruhan. Artinya,
keseluruhan lebih tinggi nilainya daripada jumlah bagian masing-masing. Jadi,
pengamatan pertama atau penglihatan orang-orang atas sesuatu bersifat menyeluruh
atau global.

Landasan Metode SAS

Pengembangan metode SAS dilandasi oleh filsafat strukturalisme, psikologi


Gestalt, landasan pedagogik, dan landasan kebahasaan (Subana, tanpa tahun : 178-
180)

1. Landasan Filsafat Strukturalisme

Filsafat strukturalisme merumuskan bahwa segala sesuatu yan ada di dumia


merupakan suatu struktur yang terdiri atas berbagai kompomnen yag terorganisasikan
secara teratur. Setiap komponen terdiri atas bagian yang kecil, yang satu dan lainnya
saling berkaitan. Karena merupakan suatu sistem yang berstruktur, maka bahasa
sesuai dengan pandangan dan prinsip strukturalisme.

2. Landasan Psikologi Gestalt

Psikologi Gestalt merumuskan bahwa menulis adalah mengenal sesuatu di luar dirinya
melalui bentuk keseluruhan (totalitas). Penganggapan manusia terhadap sesuatu yang
berada di luar dirinya mula-mula secara global, kemudian mengenali bagian-
bagiannya, makin sering seseorang mengamati suatu bentuk, makin tampak pula
dengan jelas bagian-bagiannya. Penyandaran manusia atas bagian-bagain dari
totalitas bentuk itu merupakan proses analisis-sintesis. Jadi, proses analisis-sintesis
dalam diri manusia adalah proses yang wajar karena manusia memiliki sifat melek
(ingin tahu).

27
3. Landasan Pedagogis

Landasan pedagogis meliputi: (1) mendidik adalah membantu siswa untuk me-
ngembangkan potensi yang ada dalam dirinya serta pengalamannya. Artinya, dalam
membelajarkan murid, guru harus mampu membimbing siswa untuk mengembangkan
kedua potensi itu, khususnya dalam aspek bahasa dan kebahasaan; (2) membimbing
murid untuk menemukan jawaban dalam memecahkan masalah. Hal ini sejalan
dengan prinsip metode SAS yang mengemukakan bahwa mendidik pada dasarnya
mengorganisasikan potensi dan pengalaman siswa.

4. Landasan Linguistik

Secara totalitas, bahasa adalah tuturan dan bukan tulisan. Fungsi bahasa adalah
alat komunikasi maka selayaknya bila bahasa itu berbentuk percakapan. Bahasa
Indonesia mempunyai struktur tersendiri. Unsur bahasa dalam metode ini adalah
kalimat. Karena sebagiain besar penutur bahasa adalah penutur dua bahasa, yaitu
bahasa ibu dan bahasa Indonesia, penggunaaan metode SAS dalam membaca dan
menulis permulaaan sangat tepat digunakan. Pembelajaran yang dianjurkan adalah
analisis secara normatif, artinya murid diajak untuk membedakan penggunaan bahasa
yang salah dan yang benar, serta membedakan bahasa baku dan bahasa nonbaku.

Peranan Metode SAS

Prinsip-prinsip yang terkandung dalam metode SAS pada hakikatnya sesuai


dengan prinsip cara berpikir manusia. Berpikir secara analisis-sintesis dapat mem-
berikan arah pada pemikiran yang tepat sehingga murid dapat mengetahui kedudukan
dirinya dalam hubungannya dengan masyarakat dalan alam sekitarnya.

Kebaikan Metode SAS

Melihat prosesnya, tampaknya metode SAS merupakan campuran dari metode-


metode MMP seperti yang telah kita bicarakan di atas. Oleh karena itu, penggunaan
metode SAS dalam pengajaran MMP pada sekolah-sekolah kita di tingkat SD pernah
dianjurkan, bahkan diwajibkan pemakaiannya oleh pemerintah.

Beberapa manfaat yang dianggap sebagai kelebihan dari metode ini, di


antaranya sebagai berikut. (1) Metode ini sejalan dengan prinsip linguistik (ilmu
bahasa) yang memandang satuan bahasa terkecil yang bermakna untuk
berkomunikasi adalah kalimat. Kalimat dibentuk oleh satuan-satuan bahasa di
bawahnya, yakni kata, suku kata, kata, dan akhirnya fonem (huruf-huruf). (2)

Pembelajaran Bahasa Indonesia Sekolah Dasar 2-31

28
Menyajikan bahan pelajaran yang sesuai dengan perkembangan dan
pengalaman bahasa siswa yang selaras dengan situasi lingkungannya. (3) Metode ini
sesuai dengan prinsip inkuiri. Murid mengenal dan memahami sesuatu berdasarkan
hasil temuannya sendiri. Dengan begini, murid akan merasa lebih percaya diri atas
kemampuannya sendiri, sikap seperti ini akan membantu murid dalam mencapai
keberhasilan belajar.

Pemilihan Bahan dan Urutan Pembelajaran

Sesuai dengan kandungan Kurikulum Pendidikan dasar bahwa proses pem-


belajaran dilaksanakan secara tematis dan kontekstual, pemilihan bahasan
pembelajaran bahwa Indonesia dengan menggunakan metode SAS ini disandarkan
pada konteks kehidupan sehari-hari.Hal ini dilakukan dengan memilih tema yang
sesuai. Selain itu, perlu juga dipertimbangkan urutan perkembangan murid dalam
mempelajari bahasa, yaitu dengan menyajikan urutan menyimak atau mendengarkan,
memahami, menirukan, dan menggunakan bahasa sesuai dengan lingkungannya.

Pemilihan bahan ajar tersebut harus memenuhi kaidah-kaidah: (1) taraf per-
kembangan jiwa; (2) fungsinya sebagai alat komunikasi; dan (3) minat murid agar
terangsang untuk menggunakan bahasa.

Urutan pembelajaran, baik secara lisan maupun tulisan, disandarkan pada aspek
keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, wicara, membaca, dan menulis.

Prinsip Pengajaran dengan Metode SAS

Ada beberapa prinsip-prinsip dalam pembelajaran menggunakan metode SAS.


Prinsip tersebut adalah : (1) kalimat adalah unsur bahasa terkecil sehingga pengajaran
dengan menggunakan metode ini harus dimulai dengan menampilkan kalimat secara
utuh dan lengkap berupa pola-pola kalimat dasar; (2) struktur kalimat yang ditampilkan
harus menimbulkan konsep yang jelas dalam pikiran/pemikiran murid. Hal ini dapat
dilakukan dengan menampilkannya secara berulang-ulang sehingga merangsang
murid untuk mengetahui bagian-bagiannya; (3) adakan analisis terhadap struktur
kalimat tersebut untuk unsur-unsur struktur kalimat yang ditampilakan; (4) unsur-unsur
yang ditemukan tersebut kemudian dikembalikan pada bentuk semula (sintesis). Pada
taraf ini, murid harus mampu menemukan fungsi setiap unsur serta hubungannya satu
dan lain sehingga kembali terbentuk unsur semula; (5) struktur yang dipelajari
hendaknya merupakan pengalaman bahasa murid

29
sehingga mereka mudah memahami serta mampu menggunakannya dalam
berbagai situasi.

Teknik pembelajaran dengan Metode SAS

Teknik pelaksanaan metode SAS ialah keterampilan memilih kartu huruf, kartu
kata, kartu suku kata, dan kartu kalimat. Sementara sebagaian murid mencari huruf,
suku kata, kata, guru dan sebagian murid lainnya menempelkan kata-kata yang
tersusun sehingga menjadi kalimat yang berarti. Demikian seterusnya sehingga
seluruh murid memperoleh giliran untuk menyusun kalimat, membacanya, dan
mengutipnya sebagai pelajaran keterampilan menulis.

Prosedur Penggunaan Metode SAS

Pembelajaran membaca permulaan bagi siswa kelas 1 SD dapat dibedakan ke


dalam dua tahapan, yakni belajar membaca tanpa buku dan belajar membaca dengan
menggunakan buku. Mengenai hal itu Momo dalam Zuchdi (1997: 55) mengemukakan
beberapa cara.

Langkah-langkah pembelajaran Membaca Permulaan Tanpa Buku

1. Merekam bahasa murid

Bahasa yang digunakan di dalam percakapan mereka direkam untuk digunakan


sebagai bahan bacaan. Karena bahasa yang digunakan sebagai bacaan adalah
ba-hasa murid sendiri maka murid tidak akan mengalami kesulitan.

2. Menampilkan gambar sambil bercerita

Dalam hal ini, guru memperlihatkan gambar kepada murid, sambil bercerita sesuai
dengan gambar tersebut. Kalimat-kalimat yang digunakan guru dalam bercerita itu
digunakan sebagai pola dasar bahan membaca.

Contoh : Guru memperlihatkan gambar seorang anak yang sedang menulis, sambil
bercerita,

Ini Adi

Adi duduk di kursi

Ia sedang menulis surat. dan seterusnya.

30
Kalimat-kalimat guru tersebut ditulis di papan tulis dan digunakan sebagai bahan
bacaan.

3. Membaca gambar

Contoh: Guru memperlihat gambar seorang ibu yang sedang memegang sapu, sambil
mengucapkan kalimat “ini ibu”. Murid melanjutkan membaca gambar tersebut
dengan bimbingan guru.

4. Membaca gambar dengan kartu kalimat

Setelah murid dapat membaca gambar dengan lancar, guru menempatkan kartu
kalimat di bawah gambar. Untuk memudahkan pelaksanaanya dapat digunakan
media berupa papan selip atau papan flanel, kartu kalimat, kartu kata, dan kartu
gambar. Dengan menggunakan kartu-kartu dan papan selip atau papan flannel,
maka pada saat menguraikan dan menggabungkan kembali kartu-kartu tersebut
akan lebih mudah.

5. Membuat kalimat secara struktural (S)

Setelah murid mulai dapat membaca tulisan di bawah gambar, sedikit demi sedikit
gambar dikurangi sehingga mereka dapat membaca tanpa dibantu gambar. Dalam
kegiatan ini media yang digunakan adalah kartu-kartu kalimat serta papan selip
atau papan flannel. Dengan dihilangkannya gambar maka yang dibaca murid
adalah kalimat:

Misalnya:

ini bola adi

ini bola ali

ini bola tuti

6. Proses analitik (A)

Sesudah murid dapat membaca kalimat, mulailah murid menganalisis kalimat itu
menjadi kata, kata menjadi suku kata, suku kata menjadi huruf

Misalnya:

ini bola

ini bola

i - ni bo - la

i n i b o l a.

31
8. Proses sistetik (S)

Setelah murid mengenal huruf-huruf dalam kalimat yang diuraikan, huruf-huruf itu
dirangkaikan lagi menjadi suku kata, suku kata menjadi kata, dan kata menjadi kalimat
semula.

Misalnya

i n i b o la

i - ni bo - la

ini bola

ini bola
Secara utuh, proses SAS tersebut sebagai berikut:

ini bola

ini bola

i ni bo la

inibola

i ni bo la

ini bola

ini bola

Langkah-langkah Pembelajaran Membaca Permulaan

1. Menggunakan Buku

Setelah Anda memastikan diri bahwa murid-murid Anda mengenal huruf-huruf


dengan baik melalui pembelajaran membaca tanpa buku, langkah selanjutnya
adalah murid Anda mulai diperkenalkan dengan lambang-lambang tulisan yang
tertulis dalam buku. Langkah awal yang paling penting di dalam pembelajaran
membaca permulaan dengan buku adalah bagaimana menarik minat dan perhatian
siswa agar mereka merasa tertarik dengan buku (bacaan) dan mau belajar dengan
keinginnannya sendiri, tanpa merasa terpaksa untuk melakukannya.

Ada beberapa tawaran alternatif langkah pembelajaran membaca permulaan


dengan buku, antara lain sebagai berikut.

32
a. Murid diberi buku (paket) yang sama dan diberi kesempatan untuk melihat-lihat isi
buku tersebut. Mereka mungkin membuka-buka dan membolak-balik halaman demi
halaman dari buku tersebut hanya sekedar untuk melihat-lihat gambarnya saja.

b. Murid diberi penjelasan singkat mengenai buku tersebut, tentang warna, jilid,
tulisan/judul luar, dan sebagainya.

33
c. Murid diberi penjelasan dan petunjuk tentang bagaimana cara membuka halaman-
halaman buku agar buku tetap terpelihara dan tidak cepat rusak.

d. Murid diberi penjelasan tentang mengenai fungsi dan kegunaan angka-angka yang
menunjukkan halaman-halaman buku.

e. Murid diajak untuk memusatkan perhatian pada salah satu teks/bacaan yang
terdapat pada halaman tertentu.

f. Jika bacaan itu disertai gambar, sebaiknya terlebih dahulu guru bercerita tentang
gambar dimaksud.

g. Selanjutnya, barulah pembelajaran membaca dimulai. Guru dapat mengawali


pembelajaran ini dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang mengawalinya dengan
pemberian contoh (membaca pola kalimat yang tersedia dengan lafal dan intonasi
yang baik dan benar), ada yang langsung meminta contoh dari salah seorang murid
yang dianggap sudah mampu membaca dengan baik, atau cara lainnya.

Pembelajaran membaca selanjutnya dapat dilakukan seperti contoh-contoh


model pembelajaran membaca tanpa buku. Perbedaanya terletak pada alat
ajarnya. Membaca tanpa buku dilakukan dengan memanfaatkan gambar-gambar,
kartu-kartu, dan lain-lain, sedangkan membaca dengan buku memanfaatkan buku
sebagai alat dan sumber belajar.

Hal lain yang perlu Anda perhatikan dalam pembelajaran MMP adalah
penetapan prinsip dan hakikat pembelajaran bahasa (dalam hal ini bahasa
Indonesia). Salah satu prinsip pengajaran bahasa dimaksud adalah bahwa
pembelajaran bahasa harus dikembalikan kepada fungsi utamanya sebagai alat
komunikasi. Oleh karena itu, model pembelajaran bahasa harus didasarkan pada
pendekatan komunikatif-integratif. Artinya, di samping mengajarkan membaca,
guru juga harus pandai menggali potensi murid dalam melakukan aktivitas
berbahasa, seperti menyimak, berbicara, menulis, apresiasi satra, dan

a. Apresiasi Sastra Indonesia

Pembelajaran sastra di SD ditekankan pada apresiasi sastra Indonesia,


khususnya pada apresiasi sastra anak. Yang dimaksud dengan sastra anak adalah
karya sastra untuk konsumsi anak, yang dapat ditulis oleh orang dewasa maupun
oleh anak. Seperti halnya karya sastra secara umum, sastra anak juga meliputi
puisi anak, cerita anak, dan drama anak.

34
Sastra anak yang digunakan sebagai bahan apresiasi sastra di SD
merupakan karya sastra yang memiliki karakteristik tertentu sehingga layak
dikomsumsi oleh siswa SD. Karakteristik karya sastra anak untuk konsumsi siswa
SD antara lain (1) sesuai dengan perkembangan bahasa siswa SD, (2) dapat
mengembangkan daya imajinatif siswa SD, (3) dapat menjadi media pendidikan
bagi anak, (4) bernilai estetis, sehingga dapat membangkitkan nilai estetis siswa
dalam berbahasa, (5) tokoh ceritanya tidak harus tokoh manusia, namun bisa
berupa hewan atau tumbuhan, bahkan benda-benda mati yang dikisahkan dapat
berbicara dan berperilaku seperti halnya manusia.

Menurut Sarumpaet (dalam Santosa, dkk., 2007:8.4-8.5), ada tiga ciri yang
menandai sastra anak yang berbeda dengan sastra orang dewasa, yaitu (1) unsur
pantangan, (2) penyajian dengan gaya secara langsung, dan (3) fungsi terapan.
Unsur pantangan merupakan unsur yang secara khusus berkenaan dengan tema
dan amanat. Secara umum, dapat dikatakan bahwa sastra anak menghindari atau
berpantangan terhadap persoalan-persoalan yang menyangkut masalah seks,
cinta yang erotis, dendam yang menimbulkan kebencian, kekejaman, prasangka
buruk, kecurangan yang jahat, dan masalah kematian. Apabila ada hal-hal buruk
dalam kehidupan itu diangkat dalam sastra anak, maka diamanatkan untuk lebih
diperhalus dan disederhanakan dengan akhir cerita berupa kebahagiaan atau
keindahan.

Ciri penyajian dengan gaya langsung merupakan ciri dalam penceritaan


sastra anak yang dilakukan dalam bentuk deskripsi secara singkat dan langsung
menuju sasarannya, mengetengahkan gerak yang dinamis, dan jelas sebab-
sebabnya. Deskripsi itu diiringi dengan dialog yang wajar, organis, dan hidup.
Melalui pengisahan dan dialog itu terwujud suasana yang tersaji perilaku tokoh-
tokohnya amat jelas, baik sifat, peran, maupun fungsinya dalam cerita. Biasanya
lebih cenderung digambarkan sifat tokoh yang hitam putih. Artinya, setiap tokoh
yang dihadirkan hnya mengemban satu sifat utama, yaitu tokoh baik atau tokoh
buruk.

Fungsi terapan adalah sajian cerita harus bersifat informatif dan


mengandung unsur-unsur yang bermanfaat, baik pengetahuan umum,
keterampilan khusus, maupun untuk pertumbuhan anak. Misalnya, melalui cerita
berjudul Abunawas, siswa akan dapat memperoleh pengetahuan umum tentang
seorang tokoh cerita asing dari negeri Bagdad (Irak).

35
Pembelajaran sastra anak tidak hanya berfungsi meningkatkan daya
apresiasi anak terhadap karya sastra, namun juga memiliki fungsi lain yang penting
bagi perkembangan anak. Fungsi sastra anak tersebut antara lain (1) bernilai
estetis, (2) bernilai pendidikan, (3) meningkatkan kepekaan batin dan sosial anak,
(4) menambah pengetahuan dan wawasan anak, (5) pengembangan jiwa
kemanusiaan. Bagi siswa di kelas awal SD, karya sastra dapat dipakai sebagai
media pembelajaran berbahasa dan dapat membangkitkan motivasi membaca
siswa. Menurut Saudara, bagaimanakah pembelajaran sastra yang Saudara
lakukan selama ini terkait dengan fungsi sastra? Coba Saudara diskusikan dengan
teman-teman Saudara, apakah dapat dikembangkan instrumen untuk
mengontrolnya?

Pembelajaran apresiasi sastra anak dapat dilakukan melalui kegiatan


apresiasi sastra secara langsung maupun tidak langsung. Apresiasi sastra secara
langsung dilakukan dengan cara menghadapkan langsung para siswa dengan
karya sastra. Kegiatan secara langsung tersebut dapat dilakukan dalam bentuk
kegiatan menyimak, membaca, berbicara, maupun menulis karya sastra. Menurut
Santosa, dkk. (2007:8.19), kegiatan membaca, mendengarkan, dan menonton
merupakan cara paling utama dalam kegiatan apresiasi sastra anak. Kegiatan
apresiasi tak langsung adalah suatu kegiatan apresiasi yang menunjang
pemahaman terhadap karya sastra anak. Kegiatan ini meliputi mempelajari teori
sastra, kritik sastra dan esai sastra, serta mempelajari sejarah sastra. Untuk itu,
pembelajaran sastra di SD perlu lebih banyak dilakukan dalam bentuk apresiasi
sastra secara langsung, agar dia dapat memperoleh secara langsung pengalaman
estetis, kepekaan batin dan sosial, memperoleh pengetahuan dan informasi terkait
dengan materi karya sastra, menambah wawasan, meningkatkan kemampuan
diversifikasi berpikir, meningkatkan kemampuan membaca, dan sebagainya.
Adapun kegiatan apresiasi tak langsung dapat dilakukan hanya sekadar untuk
menunjang pemahaman siswa terhadap karya sastra.

36

Anda mungkin juga menyukai