Anda di halaman 1dari 10

Materi Mata Kuliah Filsafat Ilmu dan Logika

“TENTANG PENGETAHUAN DAN ILMU”


Dosen: Andri Azis Putra
Email: andriazisputra@gmail.com

Filsafat Ilmu tentu saja berkaitan dengan Ilmu, dengan demikian maka tentu saja juga
akan selalu bersinggungan dengan pengetahuan. Bagi sebagian orang, istilah ilmu dan
pengetahuan adalah sama, baik secara makna maupun definisi. Padahal, berdasarkan
penggunaannya serta fungsi-fungsi yang dibawa oleh masing-masing ilmu dan pengetahuan
akan terlihat bahwa keduanya adalah dua hal yang berbeda. Kesalahan ini diterima sebagai
sebuah kelumrahan di tengah masyarakat dengan argumentasi bahwa tidak semua orang
membutuhkan pengetahuan mendasar tentang segala sesuatu, termasuk dua istilah di atas.
Meskipun pada ha kikatnya, pengetahuan dasar atau mendasar tentang apa saja akan selalu
dibutuhkan untuk menentukan fungsi dan kegunaan dalam keseharian. Bahkan dalam hal yang
lebih penting, pemahaman yang benar atas segala sesuatu tentu saja akan mengantarkan
manusia pada titik lebih dekat dari kebenaran.
Sebagai langkah awal, kesalahpahaman mengenai kesamaan atau ketidaksamaan dari
dua istilah—ilmu dan pengetahuan—ini bisa ditelusuri pada akar penggunaan keduanya,
khususnya dari akar penggunaan kata yaitu kata “ilmu” dan kata “pengetahuan”. Istilah “ilmu”
berasal dari bahasa Arab,( ‫ ) ﻋﻠﻢ‬yang memiliki arti memahami atau mengerti. Sementara itu
pengetahuan berasal dari bahasa Melayu yaitu tahu yang bermakna mendapatkan kabar tentang
sesuatu. Penjelasan ringkas mengenai akar kata Ilmu dan Pengetahuan ini semestinya telah
memberikan wacana bahwa pengetahuan lebih umum daripada ilmu. Dengan demikian, maka
kata pengetahuan akan dipakai pada sesuatu yang umum dalam hal mengetahui. Sementara itu
ilmu adalah bagian dari pengetahuan yang lebih jauh, mendalam, dan spesifik tentang sesuatu.
Secara sederhana, skema pengetahuan itu adalah seperti ketika seseorang mengatakan
bahwa “dia mengetahui ada ikan Paus terdampar di pantai”. Apa yang dia ungkapkan itu adalah
pengetahuan tentang adanya seekor Paus yang terdampar di pantai. Seseorang itu tidak
membutuhkan satu pengetahuan khusus tentang bagaimana Paus itu terdampar, dari mana Paus
itu berasal, apa jenis Paus itu; apakah Paus biru atau Paus hijau, dan sebagainya. Sementara itu
Ilmu adalah sesuatu yang lebih khusus, lebih detail dan membawa ragam penjelasan yang lebih
mengerucut. Seperti halnya pembahasan mengenai ilmu Psikologi, ilmu Ekonomi, ilmu Politik,
dan sebagainya. Seseorang tidak bisa mengatakan bahwa dia mengetahui ilmu Ekonomi namun

1
kemudian tidak bisa menjelaskan secara spesifik apa itu ilmu Ekonomi. Ilmu membutuhkan
penjelasan yang rigid atau bahkan rumit tentang satu jenis pengetahuan secara khusus.
A. Apa Itu Pengetahuan?
Sebagai sebuah pembahasan filosofis, maka perlu untuk membedah secara mendasar
terminologi “pengetahuan”. Sebagaimana yang telah diungkapkan di atas, pengetahuan berasal
dari kata “tahu” yang berarti mendapatkan kabar atau informasi tentang sesuatu dan biasanya
itu diterima oleh manusia dalam keadaan sadar. Arti ini sangat penting untuk membatasi apa
saja yang bsia dianggap sebagai pengetahuan dan apa saja yang tidak bisa dianggap sebagai
pengetahuan. Sebagai sebuah aktivitas mendapatkan kabar atau informasi, maka pengetahuan
bersifat sangat umum; bisa dikatakan bahwa sumber pengetahuan itu tak terbatas, terbuka, serta
menyeluruh. Apa saja yang bisa memberikan, diambil, dipertukarkan, menyebar, bisa
dipastikan sebagai sumber pengetahuan. Kemudian dalam kaitannya dengan manusia, maka
pengetahuan tidak akan mungkin didapatkan oleh binatang, dan tumbuhan. Hal ini sangat
populer di dalam kajian biologi, bahwa binatang dan tumbuhan pada level tercerdas mereka
tetap tidak menggunakan rasio namun insting. Meskipun terdapat beberapa tokoh yang
menyatakan bahwa insting binatang pada dasarnya adalah rasio pada mereka. Akan tetapi,
untuk saat ini pandangan tersebut dikesampingkan dahulu. Kemudian kesadaran makin
menunjukkan bahwa pengetahuan haruslah didapatkan oleh manusia secara sadar dan
mengerti. Potensi ini sekali lagi hanya dimiliki oleh manusia dan sangat sulit untuk dipaksakan
untuk dimiliki oleh makhluk selain manusia.
Pengetahuan dengan demikian berkaitan dengan sumber informasi yang bisa diakses
atau terakses dan berkaitan dengan kesadaran yang dimiliki oleh manusia. Dalam kajian
epistemologi, manusia mengetahui segala sesuatu selalu berkaitan dengan sebuah objek yang
kemudian ditangkap oleh rasio manusia. Rasio dan objek menjadi dua pembahasan kunci
sehingga menyebabkan terbelahnya mazhab epistemologis menjadi rasionalisme dan
empirisisme. Kita akan ulas sedikit mengenai dua mazhab ini, orang-orang rasionalis meyakini
bahwa rasio manusialah yang menentukan bagaiman keberadaan, fungsi, atau kedudukan
sebuah objek. Sederhananya, rasio manusia mampu menentukan bagaimana hal ihwal segala
sesuatu. Bahwa pengetahuan itu berasal karena rasio manusia yang menyinari sebuah objek
dan kemudian selanjutnya mendefinisikan objek tersebut. Dengan demikian, maka ada sesuatu
yang disebut sebagai innate idea: atau bisa disebut dengan ide bawaan. Rasionalisme kemudian
terasa sangat dekat dengan idealisme seperti yang diperkenalkan oleh Plato. Bahwa skema
tentang segala sesuatu telah ada di alam ide untuk kemudian menemukan bentuk konkritnya
dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu kaum empirisis dari mazhab empirisisme meyakini
2
sebaliknya; bahwa objek atau bendalah yang menentukan apa dan bagaimana hal ihwal mereka
sendiri. Tanpa adanya rasio, benda-benda tersebut tetap mampu eksis dan valuenya telah
melakat begitu saja di dalam benda tersebut. Sederhananya, benda-benda yang ada
mengungkapkan diri mereka baru kemudian rasio menyadari segala sesuatu tentang hal benda
tersebut. Dalam hal ini, kebenaran seakan terpancar dari benda-benda yang ada tanpa
memerlukan kondisi seperti innate idea.
Mazhab rasionalisme dan empirisisme pada dasarnya bukanlah sesuatu yang mesti
diperdebatkan pada saat ini. Terutama setelah munculynya mazhab jalan tengah yang
menawarkan solusi berupa kemungkinan adanya kerja sama antara rasio dan objek dalam
mengungkap kebenaran tentang eksistensi mereka. Mazhab jalan tengah ini disebut dengan
mazhab inter-relasionisme; bahwa apa yang terjadi adalah potensi yang dimiliki oleh rasio
bersambungan begitu saja dengan potensi yang ada pada objek. Mazhab ini tidak membahas
apa yang mendominasi apa, atau terbelahnya antara potensi rasio dan potensi objek muncul
pada poin apa, namun mazhab ini lebih kepada keyakinan entah bagaimana, entah seberapa,
entah pada bagian apa, kebenaran tentang sesuatu hanya akan muncul jika rasio dan objek
bersambungan dengan baik. Baik mazhab rasionalisme, empirisisme, dan inter-relasionisme
dalam kondisi paling dasarnya menegaskan tentang hubungan atau yang juga disebut dengan
istilah relasi. Bisa disimpulkan, bahwa relasi adalah satu-satunya kata yang bisa digunakan
untuk menjelaskan bagaimana sebuah pengetahuan itu menjadi mungkin. Dengan kata lain,
pertanyaan, “Bagaimana manusia bisa tahu tentang segala sesuatu?” bisa dijawab dengan kata,
“relasi”.
Pengetahuan dengan demikian tidak lebih dari kondisi dimana manusia menggunakan
kemampuannya untuk menghubungkan segala sesuatu dengan baik. Jika unsur relasi dihapus,
manusia tidak akan bisa mengetahui apapun. Sebagai contoh, manusia yang memiliki masalah
dengan salah satu fungsi pada otaknya akan sulit menjelaskan apa saja yang dilihatnya. Orang
ini akan sulit menjelaskan apa yang sedang dilihatnya itu adalah ikan Paus atau manusia atau
cuma onggokan daging. Untuk kemudian orang ini juga tidak akan bisa menjelaskan apa yang
dimaksud dengan, “Ikan Paus terdampar di pantai”. Dengan demikian, maka kemampuan
“menghubungkan” segala sesuatu merupakan hal kunci di dalam perkembangan pengetahuan
manusia. Kemampuan “menghubungkan” ini adalah kemampuan paling mendasar dalam
aktivitas rasio manusia, oleh karenanya hampir semua manusia tidak menyadari
keberadaannya. Ketidaksadaran ini seperti halnya, seseorang yang tidak buta warna bingung
ketika ia ditanya mengapa dia tahu bahwa warna Apel di tangannya adalah merah, dan
kemudian ditanya lagi, bagaimana ia bisa membedakan antara warna merah dan warna hijau.
3
Secara mendasar, pengetahuan persis dengan hal ini, bahwa kita mengetahui segala sesuatu
seperti halnya kita menghirup udara untuk bernafas, terjadi begitu saja.
Kondisi terberi mengenai pengetahuan inilah yang kemudian membuat pengetahuan
mau tidak mau harus lebih luas daripada ilmu. Keluasan ini akan lebih tampak pada sumber-
sumber pengetahuan yang berbeda secara kuantitas dengan sumber-sumber ilmu. Untuk
menjelaskan perbedaan ini, pengetahuan menjadi sesuatu yang lebih luas dan sekaligus tidak
selalu penting untuk diungkapkan. Kondisi lainnya, pengetahuan berada sebagai jenang-
jenjang awal yang kemudian dikenal dengan data-data dalam penyelidikan ilmiah.
Pengetahuan yang berupa data ini, bisa jadi akan dipakai jika dianggap relevan atau malah
dibuang jika dianggap tidak relevan dengan topik atau kajian dari sebuah ilmu. Tentu
penggolongan ini bukan mengenai value pengetahuan atau malah dikaitkan dengan etika
terhadap satu produk pengetahuan, namun lebih kepada kepentingan yang dimiliki oleh
pengetahuan dan ilmu dalam hal-hal yang praktis.
Abbas Hamami membagi kebenaran pengetahuan mejadi beberapa macam jika
didasarkan kepada kualita pengetahuan tersebut,
1. Pengetahuan Biasa/ common sense
Common sense atau pengetahuan biasa adalah pengetahuan yang bersifat sangat
subjektif. Sifat lain dari pengetahuan ini adalah selalu benar karena sangat
berhubungan dengan subjek yang mengenal. Pengetahuan biasa ini juga sering
disebut dengan pengetahuan jalanan karena tidak mengenal penyelidikan lebih
lanjut. Sebagai contoh ketika seseorang memberikan informasi yang pada dasarnya
adalah guyonan mengenai seorang perempuan yang menikah pada bulan enam dan
melahirkan pada bulan sembilan. Orang yang hanya mengandalkan pengetahuan
biasa akan melihat hal ini sebagai pelanggaran susila dan kemudian menghukum si
perempuan dengan kesinisan. Walaupuan pada hal ihwalnya si perempuan menika
dan melahirkan pada tahun yang berbeda.

2. Pengetahuan Ilmiah
Pengetahuan ini adalah apa yang kemudian dikenal dengan ilmu pengetahuan, yaitu
sebuah usaha mengetahui dengan terlebih dahulu menetapkan objek yang khusus
dan pendekatan yang khusus pula. Pengetahuan ilmiah memiliki ciri khas bergerak
sesuai dengan kebutuhan zaman, sehingga tidak jarang terjadi semacam revisi di
dalam perkembangan satu keilmuan. Oleh karena itu, pengetahuan ilmiah sangat
berhubungan dengan kesepakatan antar sesama ilmuan.
4
3. Pengetahuan Filsafati
Pengetahuan filsafati ditandai dengan model pengetahuan yang bersifat mendasar
dan sekaligus menyeluruh. Pendekatan yang digunakan biasanya bersifat analitis,
kritis, dan spekulatif. Pengetahuan dengan tiga model pendekatan ini membuat
seseorang sangat hati-hati dalam mengemukakan segala sesuatu. Pendekatan
analitis adalah pendekatan yang melihat dan menelisik model-model bahasa atau
kata yang digunakan. Pendekatan kritis dimaksudkan dengan munculnya rasa tidak
percaya begitu saja terhadap satu jenis realitas yang ditawarkan. Sedangkan
pendekatan spekulatif berurusan dengan terbukanya banyak potensi atau pilihan-
pilihan yang mungkin dalam satu jenis realitas. Ketatnya pengetahuan filsafati ini
membuat jenis kebenarannya bertahan lama dan bahkan selamanya.

4. Pengetahuan Agama
Pengetahuan Agama adalah sesuatu yang sangat unik dalam bentuknya yaitu
dogmatis. Maksudnya adalah pengetahuan agama selalu dihampiri dengan
keyakinan yang sama dengan pengetahuan tersebut. Sebagai contoh, apa saja yang
tertulis di dalam kitab suci akan diyakini sebagaimana isi kitab suci itu diyakini.
Poin inilah yang kemudian menjadi kunci perbedaan antara pengetahuan agama dan
pengetahuan filsafati. Pengetahuan agam tidak muncul untuk dikritisi atau
dianalisis secara spekulatif, akan tetapi langsung diyakini sebagai sebuah
kebenaran. Pengetahuan semacam ini menggunakan skema sumber eksternal
namun diyakini seakan-akan muncul dari internal yang menggunakannya.

B. Apa Itu Ilmu?


Secara mendasar, definisi atau pengertian dari pengetahuan telah menunjukkan
keumumannya. Ilmu, dengan demikian menjadi sesuatu yang lebih khusus dari pengetahuan;
lebih khusus disini bukan berarti kemudian ilmu berarti lebih kecil atau masuk dalam
perbandingan-perbandingan nilai lainnya. Hal ini sesuai dengan pengertian atas Ilmu yang
diberikan oleh KBBI, yaitu Ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara
bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu
di bidang (pengetahuan) itu; atau pengetahuan atau kepandaian tentang soal duniawi, akhirat,
lahir, batin dan sebagainya. Apakah definisi KBBI ini cukup dan relevan dengan pengertian
ilmu? Bukankah KBBI tidak cukup laik dijadikan sebagai referensi kefilsafatan? Untuk
5
menjawab ini, KBBI tentu saja cukup laik untuk dijadikan sebagai referensi dari segala definisi
yang diberikan. Hal ini didukung fakta bahwa KBBI telah menjadi rujukan secara kultural
maupun struktural atas istilah-istilah yang digunakan di Indonesia.
Terlepas dari gugatan-gugatan terhadap sebuah definisi yang diberikan, apa yang
ditemukan pada KBBI merupakan gabungan dari beberapa pemikiran mendasar mengenai
ilmu. Singkatnya, apa yang didefinisikan oleh KBBI tentang ilmu adalah hasil persentuhan
beberapa pemikiran yang juga berasal dari pemikiran para tokoh. Sejenak perdebatan ini lebih
baik dipinggirkan dahulu, pemikiran-pemikiran para tokoh menunjukkan bahwa ilmu adalah
sesuatu yang lebih khusus dari pengetahuan, memiliki struktur khusus, dan bertujuan untuk
mengungkap hal-hal tertentu. Poin-poin ini penting untuk menjelaskan mengenai apa yang bisa
disebut dengan ilmu dan apa yang tidak bisa disebut dengan ilmu. Terutama untuk mendukung
usaha memisahkan antara pengetahuan dan ilmu sebagaimana yang telah kita bahas
sebelumnya. Pada titik ini, bisa dipastikan bahwa ilmu adalah sesuatu yang berbeda dengan
pengetahuan; ilmu lebih khusus daripada pengetahuan; dan ilmu memiliki tujuan-tujuan yang
spesifik di dalam kehidupan.
Setelah kita membahas mengenai perbedaan antara ilmu dan pengetahuan; ilmu juga
memiliki kondisi lain yaitu ketika beririsan dengan filsafat. Untuk mendapatkan sebuah
gambaran yang lebih jelas, penyelidikan historis diperlukan dalam membahas ilmu dan filsafat
ini. Sebagaimana yang telah jamak diketahui, filsafat disebut sebagai ibu atau induk dari ilmu
pengetahuan. Meskipun klaim ini memang memerlukan penjelasan dan dukungan banyak
referensi, akan tetapi secara historis klaim ini bia dibenarkan. Mengapa filsafat cocok disebut
sebagai induk ilmu pengetahuan? Jawabannya sederhana, karena dahulunya filsafat adalah
satu-satunya nama untuk menyebut apa yang kita kenal sekarang sebagai ilmu-ilmu. Ketika
apa yang menjadi pembahasan-pembahasan dalam filsafat itu telah menemukan corak-corak
tertentunya, kemudian memisahkan diri dari sebutan filsafat. Proses historis inilah yang
kemudian tepat dipandang sebagai kelahiran ilmu pengetahuan. Seperti halnya yang bia dilihat
dari perkembangan cabang filsafat yang dikenal dengan filsafat alam, atau philosophia
naturalis. Perkembangan corak dan detail yang sangat rigid di dalam filsafat alam kemudian
membawa para tokohnya kepada kesadaran baru yang dikenal pada saat ini dengan nama fisika.
Posisi Fisika sebelum berpisah masih sebagai bagian dari filsafat, untuk kemudian menemukan
jati dirinya sendiri, persis seperti melepas seorang anak menjalani kehidupan uniknya sendiri.
Munculnya kesadaran-kesadaran baru yang saat ini dikenal dengan cabang-cabang
ilmu, merupakan akumulasi dari beberapa sebab. Perpisahan dengan filsafat bagi ilmu-ilmu ini
menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan, karena telah ada perbedaan karakteristik yang
6
sangat besar antara keduanya. Pada masanya dahulu Filsafat masih mempertahankan metode
spekulatifnya dalam memandang segala sesuatu di dunia. Sedangkan ilmu-ilmu yang memilih
berpisah telah masuk dalam penerapan metode-metode empiris, eksperimental, dan juga
induktif. Bahkan hingga hari ini, pengembangan Filsafat tidak sepenuhnya meninggalkan
metode spekulatifnya dalam menjelaskan realitas, sementara itu ilmu-ilmu yang ada atau yang
sekarang dikenal dengan nama ilmu modern secara perlahan menjadi ilmu empiris. Kondisi ini
menjelaskan dengan sangat terang bahwa kepentingan yang dibawa oleh ilmu adalah kepenting
untuk mengungkap segala sesuatu dengan struktur yang terjelaskan secara menyeluruh. Secara
ringkas, filsafat tidak pernah melakukan generalisir atas satu realitas atua fenomena, selalu
akan didapati satu kondisi pengecualian yang bersifat bisa saja terjadi. Ilmu di sisi lain, akan
melakukan generalisasi atas satu fenomena berdasarkan eksperimen yang dilakukan dan data-
data yang disimpulkan.
Penjelasan-penjelasan di atas menunjukkan bahwa ilmu memiliki karakter yang spesial,
mengarah kepada kesimpulan dan bersifat general dalam menciptakan kesimpulan ilmiah.
Singkatnya, ilmu memiliki sumber-sumber yang tidak terbuka sepenuhnya seperti yang bisa
didapati pada pengetahuan. Tugas ilmu yang harus mengarah kepada kesimpulan-kesimpulan
khusus mengharuskan data juga bersifat khusus. Sebagai contoh, sumber-sumber yang bisa
digunakan untuk kajian ilmu Psikologi akan selalu berkutat tentang manusia atau hal-hal yang
secara langsung berhubungan dengan manusia. Hal ini berbeda dengan bumi, yang hanya akan
menerima hal-hal yang berkaitan dengan bumi serta yang bersinggungan dengannya. Dalam
praktiknya, memang bisa jadi ditemukan semacam irisan-irisan antara berbagai varian ilmu
pengetahuan. Seperti Ilmu Psikologi dan Ilmu Bumi akan beririsan pada persoalan manusia
dalam menyikapi bumi. Akan tetapi dalam pengambilan sampel data tentu saja akan terdapat
perbedaan pengelompokan data, atau mudahnya bia dilihat dari untuk apa data pada masing-
masing ilmu akan diarahkan dalam penelitian.
Ilmu Psikologi akan terfokus pada perilaku manusia kepada manusia lainnya dalam
tindakan yang berhubungan dengan kebumian, seperti usaha konservasi hutan dan lain-lain.
Akan tetapi, Ilmu Psikologi tidak akan membahas varian model konservasi hutan atau varian
pengrusakan yang terjadi sebelumnya. Ilmu Psikologi hanya akan melihat secara sedikit pada
hal itu, dan lebih memfokuskan penelitian pada sikap antar manusia, dan efek manusiawi yang
muncul kemudian. Sementara itu dari sudut pandang ilmu bumi, yang terjadi adalah hal
sebaliknya. Kekhususan pada ilmu dan keumuman pada pengetahuan, harus dijadikan kata
kunci sehingga kajian filsafat pengetahuan dan filsafat ilmu tidak lagi tercampur. Begitu juga

7
hal ini bisa menjernihkan kebingungan-kebingungan yang melanda para pelajara mata kuliah
filsafat ilmu.

C. Kedudukan dan Cakupan Filsafat Ilmu


Sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Wahyudi, pada dasarnya Filsafat Ilmu
memiliki dua ruang lingkup utama; pertama, membahas sifat pengetahuan ilmiah; kedua,
menelaah cara-cara mengusahakan pengetahuan ilmiah. Dua ruang lingkup ini menandakan
kedudukan filsafat ilmu itu sendiri, bahwa ketika digunakan untuk membahas sifat
pengetahuan ilmiah maka filsafat ilmu dekat sekali dengan pembahasan-pembahasan
epistemologi. Sementara itu jika beranjak pada lingkup kedua yaitu ketika filsafat ilmu
digunakan untuk menelusuri cara-cara mendapatkan pengetahuan ilmiah, maka filsafat ilmu
akan bersinggungan dengan logika dan metodologi (Wahyudi, 44). Dua lingkup yang dimiliki
oleh filsafat ilmu ini juga menunjukkan kekhususan dan keumuman dari filsafat ilmu. Filsafat
ilmu bisa saja secara umum menyelidiki relasi-relasi yang dimiliki oleh ilmu dengan realitas
kehidupan, namun pada saat yang sama filsafat ilmu juga bia menukik secara khusus pada
ilmu-ilmu bidang tertentu, seperti ilmu psikologi, ilmu ekonomi, dan ilmu politik. Kedudukan
filsafat ilmu berdasarkan penjelasan ini bisa mengarah pada hal yang umum maupun hal yang
khusus dalam ilmu itu sendiri.
Apa yang ditampilkan pada keumuman dan kekhususan filsafat ilmu bukanlah untuk
memperlihatkan sebuah spekulasi sebagai salah satu sifat dasar filsafat, akan tetapi untuk
menunjukkan bahwa tetap terdapat semacam usaha universalitas di dalam filsafat ilmu. hal ini
perlu untuk ditegaskan karena mengingat ilmu juga menunjukkan pada jenis umum dan jenis
khusus. Ketika seseorang mengungkapkan dirinya sebagai ilmuan misalnya, maka yang sedang
ditunjuk adalah identitas kelompok penggiat ilmu secara umum. Seseorang yang menyebut
diriny ilmuan atau yang dipanggil ilmuan harus melakukan segala sesuatu secara ilmiah dan
harus tehindar dari kesalahan pikir atau fallacy. Sementara itu ilmuan juga akan diminta secara
khusus ketika mulai melakukan pembahasan mengenai sebuah ilmu. Seorang ahli dalam ilmu
psikologi tidak akan dianggap relevan ketika mempresentasikan penelitiannya dalam ilmu
fisika, dan begitu juga sebaliknya.
Keumuman dan kekhususan yang dimiliki oleh filsafat ilmu dan juga ilmu itu sendiri
mengarahkan satu usaha menuju integrasi ilmu-ilmu. Umum dan khusus dalam persoalan ini
bukanlah dibahas sebagai hirarki dari penyelidikan-penyelidikan yang akan dilakukan. Akan
tetapi menunjukkan bahwa sifat umum dari filsafat ilmu merupakan representasi dari
ketersediaan atas bentuk universal dari filsafat. Hal ini ditandai dengan luasnya wilayah kajian
8
filsafat jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu. Sementara itu kekhususan yang dimiliki oleh
filsafat ilmu menunjukkan bahwa ada potensi dalam filsafat ilmu untuk menjaga ilmu-ilmu itu
secara mendalam dan metodis. Namun meski demikian, mengenai keumuman dan kekhususan
dari filsafat ilmu ini tetap harus dibatasi untuk tidak masuk ke dalam level-level spesifik. Poin
ini sangat penting untuk diperhatikan, agar penggiat filsafat ilmu tidak terjebak di dalam
kerumitan-kerumitan teknis dan metodis khas ilmu-ilmu. Seorang filsuf ilmu berada pada jalur
lingkar luar dari seluruh ilmu pengetahuan, dan di saat yang sama ia juga merupakan sendi-
sendi utama yang beririsan dalam perkara-perkara metodologis dari ilmu pengetahuan.
Filsafat Ilmu kemudian harus hadir dalam apa yang telah disahkan oleh August Comte
pada abad ke 18 lalu. Comte menyatakan bahwa cara berpikir manusia dimulai pada tahap
teologis, kemudian metafisis dan berakhir pada positivis. Cara pikir positif yang dimaksud oleh
Comte pada dasarnya memiliki muatan filosofis. Walaupun dengan mengatakan positif adalah
konkret, eksak, akurat, dan bermanfaat justru terasa janggal untuk disandingkan dengan
filsafat. Akan tetapi apa yang dimaksudkan Comte secara lebih luas adalah filsafat seharusnya
bisa membuat ilmu itu muncul dalam empat fungsi tadi. Setidaknya pada dekade yang sama,
Comte dan juga Francis Bacon berhasil diselamatkan oleh gagasan Immanuel Kant mengenai
kemampuan luar biasa yang dimiliki filsafat. Kant mengungkapkan bahwa filsafat bisa
menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia dengan tepat. Pengetahuan
yang dimaksud oleh Kant adalah pengetahuan umum sebagai sesuatu yang penting. Dalam hal
ini tentu saja pengetahuan yang disebut Kant ini bisa dimaknai sebagai ilmu pengetahuan.
Melalui penjelasan-penjelasan di atas, maka cakupan ilmu sudah semestinya diletakkan
pada satu struktur yang tepat. Prof. Koento Wibisono kemudian menyatakan bahwa ilmu
haruslah memiliki visi dan orientasi praksis yang harus diletakkan pada tiga sifat,
1. Sifat Teleologis
Sifat ini akan memastikan bahwa ilmu pengetahuan haruslah diarahkan kepada satu
tujuan, yaitu mendukung pembangunan.
2. Sifat Etis
Sifat ini memastikan bahwa ilmu pengetahuan haruslah diterapkan untuk meningkatkan
harkat dan martabat manusia. Keinginan etis pada ilmu pengetahuan akan membuat
manusia mampu mengarahkan ilmu sesuai dengan kebutuhan dan keinginan yang
manusiawi. Hal ini penting untuk digarisbawahi mengingat pada saat ini, apa yang
sedang terjadi justru menuju arah sebaliknya.
3. Sifat Integratif

9
Selain untuk meningkat harkat manusia, ilmu pengetahuan juga harus bisa memajukan
masyarakat baik secara kultural maupun kultural.

D. Kesimpulan
Ilmu dan Pengetahuan adalah dua hal yang tidak bisa diipisahkan dari kehidupan
manusia. Selama manusia masih hidup di dunia ini, maka pengetahuan akan selalu datang dan
ilmu akan selalu dipenuhi. Perbedaan-perbedaan yang ada antara ilmu dan pengetahuan
bukanlah sesuatu yang harus diperdebatkan, akan tetapi perbedaan tersebut berguna untuk
menjelaskan batas-batas dari bagaimana kebenaran bisa didekati. Hal ini sama dengan filsafat
ilmu, bahwa keumuman yang ada akan menunjukkan kekhususan yang juga ada meskipun pada
realitas atau objek yang sama. Pendekatan filosofis terhadap ilmu juga bisa digunakan sebagai
batas terluar dan sekaligus nadi pembagi metodologis di dalam sebuah moda keilmuan.
Sementara itu, ruang lingkup dari filsafat ilmu juga patut dipelajari dan dikuasai agar
bisa digunakan dalam segala kebutuhan lain. Uniknya, filsafat ilmu diharapkan tidak masuk
dalam detail ilmu-ilmu khusus yang menjadi rekanannya. Akan tetapi pada saat yang sama,
filsafat ilmu juga harus memastikan bahwa satu ilmu sesuai dengan batas-batas yang ada.
Filsafat ilmu harus memastikan bahwa ilmu-ilmu yang ada tetap setia dengan kesadarannya
masing-masing dan tidak terbawa untuk menjadi satu jenis filsafat yang baru. Oleh karena itu,
hal-hal yang bersifat praksis juga patut untuk diperjuangkan dalam pengembangan filsafat ilmu
dan ilmu pengetahuan itu sendiri.

10

Anda mungkin juga menyukai