LAPORAN PENDAHULUAN
Oleh:
ZALFIANA SYANIA
2212501010010
Oleh:
ZALFIANA SYANIA
2212501010010
A. Pengertian
Halusinasi merupakan keadaan seseorang yang mengalami perubahan pola dan
jumlah rangsangan yang dimulai secara internal atau eksternal di sekitarnya dengan
pengurangan, pembesaran, distorsi, atau ketidaknormalan respon terhadap setiap
rangsangan (Pardede, 2020). Faktor-faktor yang mampu mempengaruhi kekambuhan
penderita skizofrenia dengan halusinasi meliputi ekspresi emosi keluarga yang
tinggi, pengetahuan keluarga yang kurang, ketersediaan pelayanan kesehatan,
penghasilan keluarga dan kepatuhan minum obat pasien skizofrenia (Pardede, 2020).
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami
perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan, parabaan atau penghiduan. Klien merasakan stimulus yang sebenarnya
tidak ada (Damaiyanti, 2014).
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana pasien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca
indra tanda ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi
melaluipanca indra tanpa stimullus eksteren : persepsi palsu (Prabowo, 2014).
D. Jenis-jenis Halusinasi
Menurut Pardede et all (2021) jenis halusinasi antara lain :
1. Halusinasi pendengaran (auditorik) 70 % Karakteristik ditandai dengan
mendengar suara, teruatama suara – suara orang, biasanya klien mendengar suara
orang yang sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan
memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
2. Halusinasi penglihatan (visual) 20 % Karakteristik dengan adanya stimulus
penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya, gambaran geometrik, gambar
kartun dan / atau panorama yang luas dan kompleks. Penglihatan bisa
menyenangkan atau menakutkan.
3. Halusinasi penghidu (olfactory) Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk,
amis dan bau yang menjijikkan seperti: darah, urine atau feses. Kadang – kadang
terhidu bauharum.Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan
dementia.
4. Halusinasi peraba (tactile) Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau
tidak enak tanpa stimulus yang terlihat. Contoh : merasakan sensasi listrik
datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
5. Halusinasi pengecap (gustatory) Karakteristik ditandai dengan merasakan
sesuatu yang busuk, amis dan menjijikkan, merasa mengecap rasa seperti rasa
darah, urin atau feses.
6. Halusinasi cenesthetik Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh
seperti darah mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau
pembentukan urine.
7. Halusinasi kinesthetic Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak
E. Klasifikasi Halusinasi
F. Tahap Halusinasi
1. Tahap I :
Halusinasi bersifat menyenangkan, tingkat ansietas pasien sedang. Pada
tahap ini halusinasi secara umum menyenangkan (Prabowo, 2014)
Karakteristik :
Karakteristik tahap ini ditandai dengan adanya perasaan bersalah dalam diri
pasien dan timbul perasaan takut. Pada tahap ini pasien mencoba menenangkan
pikiran untuk mengurangi ansietas. Individu mengetahui bahwa pikiran dan
sensori yang dialaminya dapat dikendalikan dan bisa diatasi (non psikotik).
Menurut Stuart dan Laraia (2001) membagi fase halusinasi dalam 4 fase berdasarkan
tingkat ansietasnya yang dialami dan kemampuan klien mengendalikan dirinya
1. Fase 1: Comforting: Ansietas Sedang: halusinasi menyenangkan.
Karakteristik: Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasah
bersalah, takut, dan mencoba untuk berfokus pada pikiran menyenangkan untuk meredakan
ansietas. Individu mengenali bahwa pikiran-pikiran dan pengalaman sensori berada dalam
kendali kesadaran jika ansietas dapat ditangani.
Perilaku klien:
a. Tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai
b. Menggerakkan bibir tanpa suara.
c. Pergerakan mata yang cepat.
d. Respon verbal yang lambat jika sedang asyik.
e. Diam dan asyik sendiri.
2. Fase II: Condemning: Ansietas Berat: Halusinasi menjadi menjijikkan.
Karakteristik: Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas
kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang
dipersepsikan. Klien mungkin mengalami dipermalukan oleh pengalaman sensori dan
menarik diri dari orang lain.
Perilaku Klien:
a. Meningkatnya tanda-tanda sistem syaraf otonom akibat ansietas otonom akibat
ansietas seperti peningkatan denyut jantung, pernafasan, dan tekanan darah.
b. Rentang perhatian menyempit.
c. Asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan membedakan
halusinasi dan realita.
3. Fase III: Controlling: Ansietas berat: Pengalaman sensori menjadi berkuasa
Karakteristik: Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan
menyerah pada halusinasi tersebut. Isi halusinasi menjadi menarik. Klien mungkin
mengalami pengalaman kesepian jika sensori halusinasi berhenti.
Perilaku Klien:
a. Kemauan yang dikendalikan halusinasi akan lebih diikuti.
b. Kesukaran berhubungan dengan orang lain.
c. Rentang perhatian hanya beberapa detik atau menit.
d. Adanya tanda-tanda fisik ansietas berat: berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi
perintah.
4. Fase IV: Conquering: Panik: Umumnya menjadi melebur dalam halusinasi.
Karakteristik: pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah
halusinasi. Halusinasi berakhir dari beberapa jam atau hari jika tidak ada intervensi
terapeutik.
Perilaku Klien:
a. Perilaku teror akibat panik.
b. Potensi kuat suicide (bunuh diri) atau homicide (membunuh orang lain)
c. Aktivitas fisik merefleksikan isi halusinasi seperti perilaku kekerasan, agitasi, menarik
diri, atau katatonia.
d. Tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks.
e. Tidak mampu berespon lebih dari satu orang.
G. Rentang Respon Halusinasi
Faktor predisposisi
Faktor presipitasi
Sumber koping
Mekanisme koping
Respon marah
Adaptif Maladaptif
H. Penatalaksaan Medis
Penatalaksanaan medis pada Halusinasi Penatalaksanaan pasien skizofrenia adalah
dengan pemberian obat-obatan dan tindakan lain, yaitu:
1. Psikofarmakologis Obat-obatan yang lazim digunakan pada gejala halusinasi
pendengaran yang merupakan gejala psikosis pada pasien skizofrenia adalah
obatobatan anti-psikosis.
2. Terapi kejang listrik atau Elektro Compulcive Therapy (ECT)
3. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
I. Proses Keperawatan
a. Mengkaji Jenis Halusinasi
- Mengkaji Isi Halusinasi
- Mengkaji Waktu, Frekuensi, dan Situasi Munculnya Halusinasi
- Mengkaji Respon Terhadap Halusinasi
b. Strategi pelaksanaan pada pasien dengan halusinasi :
SP 1 pasien : membantu pasien mengenal halusinasi, menjelaskan cara-cara
mengontrol halusinasi, mengajarkan pasien mengontrol halusinasi dengan cara
pertama : menghardik halusinasi
SP 2 pasien : melatih pasien menggunakan obat secara teratur
SP 3 pasien : melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara ketiga:
bercakap-cakap dengan orang lain
SP 4 pasien : melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara keempat:
melaksanakan aktivitas terjadwal
c. Strategi pelaksanaan untuk keluarga pasien dengan halusinasi :
SP 1 Keluarga : Mengidentifikasi masalah yang dirasakan dalam merawat klien
halusinasi dan melatih keluarga cara membimbing pasien mengontrol halusinasi
dengan menghardik.
SP 2 Keluarga : Melatih keluarga cara membimbing pasien minum obat secara
teratur menggunakan prinsip 6 benar.
SP 3 Keluarga : Melatih keluarga membimbing klien mengontrol halusinasi
dengan cara bercakap-cakap
SP 4 Keluarga : Melatih keluarga cara membimbing pasien mengontrol
halusinasi dengan kegiatan harian dan menjelaskan cara follow up ke RSJ/PKM,
mengevaluasi tanda kambuh dan cara melakukan rujukan ke RSJ/PKM
Referensi
Keliat B. A, dkk. 2014. Proses Keperawatan Jiwa Edisi II. Jakarta: EGC.
Pardede, J. A., Hamid, A. Y. S., & Putri, Y. S. E. (2020). Application of Social Skill
Training using Hildegard Peplau Theory Approach to Reducing Symptoms and
the Capability of Social Isolation Patients. Jurnal Keperawatan, 12(3), 327-
340. https://doi.org/10.32583/keperawatan.v12i3.782
Pardede, J.A., Irwan, F., Hulu, E. O., Manalu. W., Sitanggang, R., & Waruwu, J. F. A. P.,
(2021, February 4). Asuhan Keperawatan Jiwa Dengan Masalah Halusinasi.
https://doi.org/10.31219/osf.io/fdqzn
Stuart, G. W., Laraia, M. T. (2001). Prinsip dan Praktik Keperawatan Psikiatrik. Jakarta.
EGC
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN
WAHAM DI RUMAH SAKIT JIWA ACEH
Oleh:
ZALFIANA SYANIA
2212501010010
G. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Perawat melakukan perkenalan dan kontrak dengan klien mengenai: Nama klien,
nama perawat, tujuan, waktu pertemuan, topik pembicaraan
b. Keluhan utama/alasan masuk
Menanyakan pada keluarga/klien penyebab klien dan keluarga datang ke rumah sakit
c. Tanyakan pada klien/keluarga
Menanyakan pada klien/keluarga pernah mengalami ganggaun jiwa sebelumnya dan
mengalami/pernah melakukan penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari
lingkungan, kekerasan dalam keluarga serta tindakan kriminal. Mengkaji faktor yang
menjadi penyebab terjadinya gangguan seperti faktor psikologis: keluarga dan
lingkungan yang mempengaruhi respon lingkungan klien; faktor biologis: gangguan
perkembangan dan fungsi otak atau SSP serta pertumbuhan dan perkembangan pada
masa prenatal, neonatus, dan anak-anak; dan faktor budaya: kemiskinan, konflik
sosial budaya, dan kehidupan terolisasi serta stress.
d. Aspek fisik/biologis
Mengukur dan mengobservasi tanda-tanda vital (TD, HR, RR, Suhu) dan
antropometri (tinggi badan, berat badan)
e. Aspek psikososial
Membuat genogram paling sedikit tiga generasi untuk menggambarkan hubungan
klien dan keluarga, konsep diri: citra tubuh, identitas diri, peran, ideal diri, dan harga
diri, hubungan sosial dengan orang lain dan spritual mengenai nilai, keyakinan, dan
kegiatan ibadah
f. Status mental
Nilai penampilan rapi atau tidak, amati pembicaraan klien, aktivitas motoris klien,
alam perasaan klien (sedih, takut, khawatir), afek klien, interaksi selama wawancara,
persepsi klien, proses pikir, isi pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat konsentrasi
dan berhitung, kemampuan penilaian, dan daya tilik diri.
g. Proses pikir
Cara klien menjawab tidak sesuai dengan topik dan masih ada hubungan yang tidak
logis dan tidak sampai pada tujuan (flight ofides) dan kadang-kadang menulang
pembicaraan yang sama (persevere)
h. Isi pikir
Contoh isi pikir klien saat diwawancara: klien mengatakan bahwa dirinya mempunyai
banyak pacar dan pacarnya orang kaya
i. Kebutuhan persiapan pulang
1) Kemampuan makan, mampu menyiapkan, dan membersihkan alat makan oleh
klien
2) Klien mampu melakukan BAK/BAB, menggunakan dan membersihkan toilet
serta mampu membersihkan dan merapikan pakaian
3) Klien mampu mandi dengan cara berpakaian, dan oberservasi tubuh klien
4) Klien istirahat dan tidur serta aktivitas diluar rumah
5) Pantau penggunaan obat dan menanyakan reaksi yang dirasakan setelah minum
obat.
j. Masalah psikososial dan lingkungan
Dari data keluarga klien mengenai masalah klien alami
k. Pengetahuan
Data diperoleh dari wawancara dengan klien kemudian tiap bagian yang dimiliki
klien disimpulkan dalam masalah.
l. Aspek medik
Klien mendapat terapi berupa ECT seperti terapi psikomotor, terapi tingkah laku,
terapi keluarga, terapi spiritual, terapi okupasi, terapi lingkungan dan rehabilitas
bertujuan untuk refungsional dan perkembangan klien supaya klien dapat melakukan
sosialiasi secara wajar dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurut Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia/SDKI (2016) bahwa hasil pengkajian
pasien dapat diperoleh dari data subjektif dan data objektif.
a. Data subjektif
Mayor: mengungkapkan isi waham
Minor: merasa sulit berkonsentrasi dan merasa khawatir
b. Data objektif
Mayor: Menunjukan perilaku sesuai isi waham, isi pikir tidak sesuai realitas, isi
pembicaraan sulit dimengerti
Minor: curiga berlebihan, waspada berlebihan, bicara berlebihan, sikap menentang,
wajah tegang, pola tidur berubah, tidak mampu mengambil keputusan, flight of idea,
produktifitas kerja menurun, tidak mampu merawat diri, dan menarik diri.
2. Diagnosa
Waham, gangguan komunikasi verbal, dan resiko perilaku kekerasan
3. Strategi pelaksanaan
Adapun strategi pelaksanaa waham menurut Rosyad (2020), yaitu:
4. Evaluasi
Kemampuan pasien dan keluarga
Referensi
Ade Herman Surya Direja, 2011, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa, Yogyakarta: Nuha
Medika
Aziz R, dkk. Pedoman asuhan keperawatan jiwa. Semarang: RSJD Dr. Amino Gondoutomo.
2003
Eriawan, A. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Tn “O” Yang Mengalami Bipolar Dengan
Masalah Keperawatan Waham Paranoid Di Ruangan Palm Rumah Sakit Khusus Daerah
Dadi Provinsi Sulawesi Selatan Yogyakarta: Nuha Medika
Keliat, B. A., Hamid, A. Y. S., Putri, Y. S. E., Daulima, N. H. C., dkk. (2019). Asuhan
Keperawatan Jiwa. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Rosyad, Y. S. (2020). Modul Praktik Laboratorium Keperawatan Jiwa 2. Bandung: Media Sains
Indonesia
Stuart, G.W., Keliat, B.A., & Pasarbi, J. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan
Jiwa Edisi Indonesia. Singapura: Elsevier
Videbeck, S. L. (2011). Psychiatric-Mental Health Nursing (Fifth Edit). Wolters Kluwer Health |
Lippincott Williams & Wilkins.
Wicaksono, Y. I. (2021). Gejala Gangguan Jiwa dan Pemeriksaan Psikiatri Dalam Praktek
Klinis. Malang: Media Nusa Creative
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI DI RUMAH SAKIT JIWA ACEH
Oleh:
ZALFIANA SYANIA
2212501010010
C. Etiologi
Menurut Depkes (2014), penyebab kurang perawatan diri adalah:
1. Faktor predisposisi
a. Perkembangan : Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu.
b. Biologis : Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
c. Kemampuan realitas turun : Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas
yang kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk
perawatan diri.
d. Sosial : Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya.
Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan diri.
2. Faktor Presipitasi
Kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang
dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan perawatan
diri.
Adaptif Maladaptif
Pola perawatan diri Kadang perawatan diri, Tidak melakukan
seimbang kadang tidak perawatan saat stress
Keterangan:
a. Pola perawatan diri seimbang, saat klien mendapatkan stressor dan mampu untuk
berperilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan klien seimbang, klien masih
melakukan perawatan diri.
b. Kadang perawatan kadang tidak, saat klien mendapatkan stressor kadang-kadang klien
tidak memperhatikan perawatan dirinya.
c. Tidak melakukan perawatan diri, klien mengatakan dia tidak peduli dan tidak bisa
melakukan perawatan saat stressor.
I. Manifestasi Klinis
Menurut (Putra, 2019) manifestasi klinis defisit perawatan diri yakni:
1. Subyektif
a. Menyatakan tidak ingin mandi secara teratur
b. Perawatan diri harus dimotivasi
c. Menyatakan BAB/BAK di sembarangan tempat
d. Menyatakan tidak mampu menggunakan alat bantu makan
2. Obyektif
a. Tidak mampu membersihkan badan
b. Berpakaian secara benar
c. Tidak mampu melaksanakan kebersihan yang sesuai
d. Setelah melakukan toileting
e. Makan hanya beberapa suap darri piring/porsi tidak habis
J. Penatalaksanaan defisit perawatan diri
Klien dengan gangguan defisit perawatan diri tidak membutuhkan perawatan medis,
karena hanya mengalami gangguan jiwa, pasien lebih membutuhkan terapi kejiwaan melalui
komunikasi terapeutik atau dengan cara pemberian pendidikan kesehatan. Menurut NANDA
(2010) penatalaksanaan defisit perawatan diri yaitu:
1. Meningkatkan kesadaran dan kepercayaan diri.
2. Membimbing dan menolong klien merawat diri.
3. Berikan aktivitas rutin sehari-hari sesuai kemampuan.
4. Ciptakan lingkungan yang mendukung.
5. Ciptakan lingkungan yang mendukung.
K. Pengkajian defisit perawatan diri
Menurut Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia/SDKI (2016) hasil pengkajian yang
diperoleh dari pasien dengan defisit perawatan diri, yaitu:
1. Data subyektif :
Pasien tidak mampu melakukan atau menyelesaikan aktivitas perawatan diri serta pasien
menolak untuk melakukan perawatan diri.
2. Data Obyektif :
Pasien tidak mampu mandi, makan, berpakaian, berhias dan BAK/BAB secara mandiri
dan minat melakukan perawatan diri kurang.
Selain itu, menurut Yusuf (2015) untuk mengetahui pasien mengalami defisit perawatan
diri dapat diperoleh melalui tanda dan gejala sebagai berikut:
1. Data subyektif :
Klien mengatakan malas mandi, tidak mau menyisir rambut, tidak mau menggosok gigi,
tidak mampu memotong kuku, tidak mau berhias, tidak bisa menggunakan alat
mandi/kebersihan diri.
2. Data Obyektif :
Badan bau, pakaian kotor, rambut acak-acakan dan kotor, kulit berdaki, kuku panjang dan
kotor, makan berceceran, gigi kotor, baut mulut, penampilan tidak rapi, tidak bisa
menggunakan alat mandi.
L. Diagnosa Keperawatan
Menurut Williams (2015) diagnosa keperawatan yang mungkin muncul , yaitu:
1. Defisit perawatan diri : makan
2. Defisit perawatan diri : mandi
3. Defisit perawatan diri : berpakaian
4. Defisit perawatan diri : toileting (BAK/BAB)
5. Isolasi sosial
6. Harga diri rendah
M. Strategi Pelaksanaan
Strategi Pelaksanaan pada Pasien Strategi Pelaksanaan pada Keluarga
Oleh:
ZALFIANA SYANIA
2212501010010
ISOLASI SOSIAL
A. PENGERTIAN
Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh seseorang dan dipersepsikan
karena orang lain dianggap menyatakan sikap negatif dan mengancam bagi dirinya
(Towsend, 2014). Isolasi sosial merupakan kondisi dimana individu mengalami penurunan
atau ketidakmampuan berinterkasi dengan orang lain karena merasa ditolak, tidak diterima,
dan kegagalan membina hubungan dengan orang lain (Supiganto dkk, 2021). Klien dengan
isolasi sosial menghindari bersosialisasi dengan orang lain, merasa kehilangan hubungan
akrab dan tidak mempunyai kesempatan berbagi perasaan, pikiran, prestasi dan kegagalan.
Selain itu individu dengan isolasi sosial juga kesulitan untuk berhubungan secara spontan
dengan orang lain yang ditunjukkan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian, dan
tidak sanggup berbagi pengamatan dnegan orang lain (Widiyawati, 2020).
B. PENYEBAB
PPNI (2016) menyebutkan beberapa penyebab terjadinya isolasi sosial, antara lain:
1. Keterlambatan perkembangan
2. Ketidaksesuaian minat dengan tahap perkembangan
3. Ketidaksesuaian nilai-nilai dan norma
4. Ketidaksesuaian perilaku sosial dengan norma
5. Perubahan penampilan fisik
6. Perubahan status mental
7. Ketidakkuatan sumber daya personal (misal disfungsi berduka, pengendalian diri buruk)
Keliat dkk (2019) menjelaskan 5 penyebab utama terjadinya isolasi sosial, yaitu:
1. Sulit berhubungan/berinteraksi dengan orang lain
2. Tidak mampu berhubungan/berinteraksi yang memuaskan
3. Perasaan malu
4. Perasaan tidak berharga
5. Pengalaman ditolak, dikucilkan, dan dihina
Subjektif Objektif
a. Merasa ingin sendiri a. Menarik diri
b. Merasa tidak aman di tempat b. Tidak berminat/
umum menolak berinteraksi
c. Merasa ditolak dengan orang lain atau
lingkungan
2. Minor
Subjektif Objektif
a. Merasa berbeda dengan a. Afek datar
orang lain b. Afek sedih
b. Merasa asyik dnegan pikiran c. Riwayat ditolak
sendiri d. Menunjukkan permusuhan
c. Merasa tidak mempunyai e. Tidak mampu memenuhi
tujuan yang jelas harapan orang lain
f. Kondisi difabel
g. Tindakan tidak berarti
h. Tidak ada kontak mata
i. Perkembangan terlambat
j. Tidak bergairah atau lesu
A. PENGKAJIAN
1. Identitas klien
Identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
tanggal masuk, MRS, tanggal pengkajian, alamat, dan lain-lain.
2. Keluhan utama
Alasan pasien masuk dapat dilihat pada rekam medis atau ditanyakan pada
keluarga terkait penyebab keluarga datang ke rumah sakit, apa yang sudah dilakukan
untuk mengatasi masalahnya dan bagaimana hasilnya. Keluhan berupa menyendiri,
komunikasi tidak ada, tidak melakukan kegiatan sehari-hari, dan lainnya.
3. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi meliputi riwayat gangguan jiwa masa lalu serta pengobatan
yang pernah dilakukan. Biasanya disebabkan karena pasien pernah mengalami atau
menyaksikan penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan, KDRT, dan
tindakan kriminal. Selain itu juga karena ada riwayat anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa atau pengalaman yang kurang menyenangkan di masa lalu.
4. Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan pengkajian tanda-tanda vital, pemeriksaan
head to toe, dan pemeriksaan sistem organ sesuai keluhan.
5. Psikososial
a. Genogram
Menjelaskan apakah ada keluarga yang mengalamai gangguan jiwa, pola
komunikasi terganggu, pengambilan keputusan atau pola asuh. Genogram
menggambarkan 3 generasi sebelumnya.
b. Konsep diri
1) Citra tubuh
Persepsi pasien terhadap tubuhnya, bagian tubuh yang disukai dan tidak
disukai serta penerimaan atau penolakan terhadap perubahan tubuh yang terjadi.
2) Identitas diri
Penjelasan tentang status klien, keputusasaan klien sebagai laki-laki atau
perempuan dan kepuasan terhadap status dan posisi di kelompok, misalnya sukar
mengambil keputusan atau ketidakpastian memandang diri sendiri.
3) Peran diri
Kemampuan klien dalam melaksanakan tugas atau perannya, biasanya
mengalami krisis peran baik yang disebabkan oleh perubahan karena penyakit
maupun hal lain seperti putus sekolah.
4) Ideal diri
Mengungkapkan harapan klien terhadap kedaan tubuh yang ideal, tugas
atau peran dalam keluarga, dan lingkungan masyarakat.
5) Harga diri
Perasaan malu klien terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri
sendiri, gangguan hubungan sosial, merendahkan martabat, mencederai diri dan
kurang percaya diri.
6. Hubungan sosial
Klien apastis, tidak mempunyai orang terdekat dan sering dicemooh oleh
lingkungan sekitar.
7. Spiritual
Klien memiliki keyakinan, namun jarang melakukan ibadah karena kurang
menghiaukan manfaat spiritual beribadah.
8. Status mental
Status mental meliputi penampilan, cara bicara, aktivitas motorik, alam perasaan,
afek, interaksi dalam wawancara, persepsi, proses pikir, kesadaran, konsentrasi dan
berhitung, kemampuan penilaian, dan daya tiltik diri.
9. Kebutuhan persiapan pulang
Pengkajian kebutuhan perispan pulang klien meliputi makan, mandi, BAB/BAK,
berpakaian, istirahat, penggunaan obat, dan aktivitas dalam rumah.
10. Mekanisme koping
Pengkajian mekanisme koping meliputi adaptif, maladaptif, masalah psikososial
dan lingkungan, serta pengetahuan.
11. Aspek medik
Tindakan medik dalam memberikan asuhan keperawatan melalui terapi electro
convulsive therapy (ECT) dan obat-obatan seperti clopromazine (CPZ), Haloperidol
(HLP), dan Trihexpenidyl (THP).
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Pohon masalah
Menurut Prabowo (2016), diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien
dengan isolasi sosial antara lain:
1. Halusinasi
2. Isolasi sosial
3. Harga diri rendah
C. INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI
Tindakan pada
Tindakan pada
Tindakan pada klien keluarga atau Care
kelompok klien
Giver klien
Sp 1 1. Bantu klien dalam 1. Mengidentifikasi Sesi 1
mengidentifikasi dan masalah yang dialami Kemampuan
mengenal masalah keluarga saat merawat memperkenalkan
isolasi sosial (penyebab, klien diri
tanda dan gejala, 2. Edukasi tentang 1. Klien mampu
keuntungan penyebab, proses menyebutkan nama
bersosialisasi dan terjadinya, tanda dan lengkap, nama
kerugian tidak gejala, erta dampak panggilan, asal, dan
berinteraksi) dari isolasi sosial hobi
2. Latih klien berkenalan 3. Edukasi menciptakan 2. Klien mampu
dengan perawat dengan lingkungan yang menanyakan jati
cara yang baik kondusif diri anggota
(perawatan di rumah 4. Edukasi cara merawat kelompok lain:
sakit) klien untuk melatih nama lengkap,
3. Latih klien bercakap- klien bersosialisasi nama panggilan,
cakap dengan salah satu bertahap asal, dan hobi
anggota keluarga 5. Latih cara merawat
dengan baik ketika klien dengan cara Sesi 2
melakukan harian di bercakap-cakap saat Kemampuan
rumah (perawatan di melibatkannya dalam berkenalan dengan
rumah) kegiatan rumah tangga anggota kelompok
4. Beri pujian positif 6. Edukasi membantu terapi
setiap keberhasilan klien melaksanakan Klien mampu
latihan kemampuan jadwal latihan dalam memperkenalkan diri
yang dilakukan klien segala kegiatan harian dan menanyakan
5. Bantu klien menyusun 7. Edukasi tentang tanda anggota kelompok
jadwal kegiatan latihan dan gejala apabila lainnya (nama
bercakap-cakap terjadi kekambuhan lengkap, nama
untuk segera dirujuk panggilan, asal, dan
hobi)
D. EVALUASI
1. Evaluasi tindakan keperawatan pada klien dengan isolasi sosial
a. Kemampuan klien untuk mengatasi masalah isolasi sosial
b. Kemampuan klien bersosialisasi secara bertahap dengan baik di dalam keluarga atau
kelompok masyarakat
c. Kemampuan klien melatih diri berkomunikasi dengan baik
2. Evaluasi tindakan keperawatan pada keluarga klien dengan isolasi sosial
a. Kemampuan keluarga mengidentifikasi maslaah dalam merawat klien dengan isolasi
sosial
b. Kemampuan keluarga merawat pasien dengan isolasi sosial
c. Kemampuan keluarga mengenal tanda dan gejala kekambuhan serta melakukan
rujukan
d. Kemampuan keluarga melaukan follow up perawatan ke fasilitas pelayanan
kesehatan
e. Kemampuan keluarga melakukan manajemen stress dalam merawat klien dengan
isolasi sosial
Referensi
Keliat, B. A. et al. (2019). Asuhan keperawatan jiwa. Jakarta: EGC.
Prabowo, E. (2016). Konsep dan aplikasi asuhan keperawatan jiwa. Nuha Medika
Supiganto, A., Yani, A. L., Kuswanto., Darmawan., Paula, V., Marliana, T., Nasution, R. A.,
Mukarromah, I., Agustine, U., Florensa, M. V. A., Nompo, R. S., Mukhoirotin., Mawarti,
H., Jaya, M. A. (2021). Keperawatan jiwa dasar. Yayasan kita menulis
Townsend, M.C. (2014). Essentials of Psychiatric Mental Health Nursing Concepts of care in
Evidence-Based Practice. Sixth Edition. Philadelphia, F.A. Davis Company.
Widodo, D., Juairiah., Sumantrie, P., Siringoringo, S. N., Pragholapati, A., Purnawinadi, I, G.,
Manurung, A., Kadang, Y., Anggraini, N., Hardiyanti., Widiastuti, S. H., Sari, T. H.,
Nasution, R. A. (2022). Keperawatan Jiwa. Yayasan kita menulis
Oleh:
ZALFIANA SYANIA
2212501010010
A. Pengertian
Risiko bunuh diri adalah rentan terhadap menyakiti diri sendiri dan cedera yang
mengancam jiwa (NANDA I, 2018). Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak
diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan. Bunuh diri merupakan keputusan terakhir
dari individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Captain, 2008). Menurut
Sheidman dalam Videbeck (2008) mendefenisikan dua kategori bunuh diri, langsung dan
tidak langsung. Bunuh diri langsung adalah tindakan yang disadari dan disengaja untuk
mengakhiri hidup seperti membakar diri. Bunuh diri tidak langsung adalah keinginan
tersenbunyi yang tidak disadari untuk mati, yang ditandai dengan perilaku kronis
1. Suicidal Ideation
Sebuah metode yang digunakan tanpa melakukan aksi atau tindakan, bahkan klien
pada tahap ini tidak akan menungkapkan idenya apabila tidak di tekan.
2. Suicidal Intent
Pada tahap ini klien mulai berfikir dan sudah melakukan perencanaan yang
3. Suicidal Threat
Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan dan hasrat yang dalam
4. Suicidal Gesture
Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif yang diarahkan pada diri
sendiri yang bertujuan tidak hanya mengancam kehidupannya, tetapi sudah oada
5. Suicidal Attempt
Pada tahap ini perilaku destruktif klien mempunyai indikasi individu yang ingin
mati dan tidak mau diselamatkan.Misalnya, minum obat yang mematikan.
D. Tanda dan Gejala
Menurut Fitria (2009), tanda dan gejala dari resiko bunuh diri adalah :
mematikan).
mengasingkan diri).
9. Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang depresi,
10. Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronik atau terminal).
dalam karier).
14. Pekerjaan.
F. Rentang Respon
Adaptif Maladaptif
Keterangan:
1. Peningkatan diri: seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahan diri
secarawajar terhadap situasional yang membutuhkan pertahan diri.
2. Beresiko destruktif: seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko
mengalami perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap situasi yang
seharusnyadapat mempertahankan diri, seperti seseorang merasa patah semangat
bekerja ketika dirinya dianggap tidak loyal terhadap pimpinan padahal sudah
melakukan pekerjaan secara optimal.
3. Destruktif diri tidak langsung: seseorang telahmengambil sikap yang kurang tepat
terhadap situasi yangmembutuhkan dirinya untuk mempertahankan diri.
4. Pencederaan Diri: seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau pencederaan
diriakibat hilangnya harapan terhadapsituasi yang ada.
5. Bunuh diri: seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan
nyawanya hilang.
G. Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi nama klien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, tanggal
MRS (masuk rumah sakit), informan, tanggal pengkajian, No. Rumah Sakit dan
alamat klien.
2. Keluhan utama
Tanyakan pada keluarga/klien hal yang menyebabkan klien dan keluarga datang
ke rumah sakit. Yang telah dilakukan keluarga untuk mengatasi masalah, dan
perkembangan yang dicapai.
3. Faktor predisposisi
Tanyakan pada klien/keluarga, apakah klien pernah mengalami gangguan jiwa
pada masa lalu, pernah melakukan atau mengalami penganiayaan fisik, seksual,
penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam keluarga dan tindakan kriminal. Dan
pengkajiannya meliputi psikologis, biologis, dan sosial budaya.
4. Aspek fisik/biologis
Hasil pengukuran tanda-tanda vital (TD, Nadi, Suhu, Pernafasan, TB, BB) dan
keluhan fisik yang dialami oleh klien.
5. Aspek psikososial
a. Genogram yang menggambarkan tiga generasi
b. Konsep diri
c. Hubungan social dengan orang lain yang terdekat dalam kehidupan, kelompok,
yang diikuti dalam masyarakat
d. Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan ibadah
6. Status mental
Nilai klien rapi atau tidak, amati pembicaraan klien, aktivitas motorik klien, afek
klien, interaksi selama wawancara, persepsi, proses pikir, isi pikir, tingkat
kesadaran, memori, tingkat konsentrasi, dan berhitung.
7. Kebutuhan persiapan pulang
a. Kemampuan makan klien dan menyiapkan serta merapikan lat makan kembali.
b. Kemampuan BAB, BAK, menggunakan dan membersihkan WC serta
membersihkan dan merapikan pakaian.
c. Mandi dan cara berpakaian klien tampak rapi.
d. Istirahat tidur kilien, aktivitas didalam dan diluar rumah.
e. Pantau penggunaan obat dan tanyakan reaksinya setelah diminum.
8. Mekanisme koping
Malas beraktivitas, sulit percaya dengan orang lain dan asyik dengan stimulus
internal, menjelaskan suatu perubahan persepsi dengan mengalihkan tanggung
jawab kepada orang lain.
9. Masalah psikososial dan lingkungan
Masalah berkenaan dengan ekonomi, dukungan kelompok, lingkungan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, dan pelayanan kesehatan.
10. Pengetahuan
Didapat dengan wawancara klien dan disimpulkan dalam masalah.
11. Aspek medik
Diagnose medis yang telah dirumuskan dokter, therapy farmakologi, psikomotor,
okopasional, TAK dan rehabilitas.
12. Isyarat bunuh diri
Klien sudah memiliki ide untuk mengakhiri hidupnya, namun tidak disertai
dengan ancaman dan percobaan bunuh diri.
Data subjektif :
a. Tolong jaga anak-anak karena saya akan pergi jauh! “atau “Segala sesuatu akan
lebih baik tanpa saya.”
b. Mengungkapkan perasaan seperti rasa bersalah/ sedih/marah /putus asa/tidak
berdaya.
c. Mengungkapkan hal-hal negatif tentang diri sendiri yang menggambarkan
harga diri rendah.
Data Objektif :
a. Sedih, murung, marah, nangis, banyak diam, kontak mata kurang, emosi labil,
tidur kurang.
13. Ancaman bunuh diri
Data subjektif :
a. Ungkapan ingin mati diucapkan oleh pasien berisi keinginan untuk mati
b. Ungkapan rencana untuk mengakhiri kehidupan
c. Ungkupan dan tindakan menyiapkan alat untuk melaksanakan rencana tersebut.
Data objektif :
a. Banyak melamun, menyiapkan alat untuk rencana bunuh diri, gelisah, mudah
emosi, sedih, murung, menangis, jalan mondar-mandir.
14. Percobaan bunuh diri
Data subjektif :
a. Mau mati, jangan tolong saya, biarkan saya, saya tidak mau ditolong, emosi
labil.
Data objektif :
a. Klien aktif mencoba bunuh diri dengan cara gantung diri, minum racun,
memotong urat nadi, atau menjatuhkan diri dari tempat yang tinggi,
membenturkan kepala.
H. Diagnosa Keperawatan
PASIEN
a. SP I
1) Mengidentifikasi penyebab, tanda dan gejala, dan akibat resiko bunuh diri
2) Mengidentifikasi benda-benda yang dapat membahayakan pasien
3) Mengamankan benda-benda yang dapat membahayakan pasien
4) Melakukan kontrak treatment
5) Menganjarkan cara mengendalikan dorongan bunuh diri
6) Melatih cara mengendalikan dorongan bunuh diri
b. SP II
1) Evaluasi jadwal kegiatan harian pasien (kemampuan mengendalikan dorongan
bunuh diri).
2) Mengidentifikasi aspek positif pasien
3) Mendorong pasien untuk berfikir positif terhadap diri
4) Mendorong pasien untuk menghargai diri sebgai individu yang berharga
c. SP III
1) Evaluasi jadwal kegiatan harian pasien (kemampuan mengendalikan dorongan
bunuh diri dan aspek positif).
2) Mengidentifikasi pola koping yang biasa diterapkan pasien
3) Menilai pola koping yang biasa di lakukan
4) Mengidentifikasi pola koping yang kontruktif
5) Mendorong pasien memilih pola koping yang kontruktif
6) Menganjurkan pasien menerapkan pola koping konstruktif dalam kegiatan harian
d. SP IV
1) Evaluasi jadwal kegiatan harian pasien (kemampuan mengendalikan dorongan
bunuh diri dan aspek positif dan penerapan pola koping yang kontruktif).
2) Membuat rencana masa depan yang realita bersama pasien
3) Mengidentifikasi cara mencapai rencana masa depan yang realistis
4) Member dorongan pasien melakukan kegiatan dalam rangka meraih masa depan
yang realistis
KELUARGA
a. SP 1
1) Mendiskusikan masalah yang di rasakan keluarga dalam merawat pasien
2) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala, resiko bunuh diri, dan jenis perilaku
bunuh diri yang dialami pasien beserta proses terjadinya
3) Menjelaskan cara-cara merawat pasien resiko bunuh diri
b. SP II
1) Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan resiko bunuh diri
2) Melatih keluarga melakukan cara merawat lansung kepada pasien risiko bunuh diri
c. SP III
1) Menjelaskan tentang pemanfaatan lingkungan yang mendukung perawatan risiko
bunuh diri
d. SP IV
1) Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat
(discharge planning)
2) Menjelaskan follow up pasien setelah pulang.
Referensi
Fitria,Nita. (2009). Prinsip Dasar dan Aplikasi Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
Nanda-I. (2012). Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2018-2020. Jakarta:
EGC.
Stuart, W. Gail.(2016). Keperawatan Kesehatan Jiwa.Singapore: Elsevier
Oleh:
ZALFIANA SYANIA
2212501010010
PERILAKU KEKERASAN
A. Pengertian
Perilaku kekerasan, kemarahan, atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku
yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun verbal. Perilaku kekerasan
meningkat dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi yaitu diawali dari permusuhan di
tingkat rendah sampai melukai dan membahayakan pada tingkat tinggi (Keliat, 2012).
Menurut subu et al (2018) perilaku kekerasan terkait orang dengan gangguan jiwa
(ODGJ) yang paling banyak dilaporkan. Perilaku kekerasan merupakan keadaan disaat
seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan diri sendiri atau orang lain
secara fisik yang disertai dengan amuk, gelisah dan gaduh yang tak terkontrol. (Malfasari
et al, 2020). Sedangkan menurut PPNI (2016) risiko perilaku kekerasan adalah berisiko
membahayakan diri secara fisik, emosi dan/atau seksual pada diri sendiri dan orang lain
Menurut sudia (2021), perilaku kekerasan merupakan respon maladaptif ketika
seseorang mengalami kemarahan terhadap suatu stressor lingkungan yang tidak dapat di
atasi dan di lampiaskan dengan gerakan motorik yang tidak terkontrol. Dampak dan
perubahan yang sering terlihat orang dengan perilaku kekerasan yaitu perasaan tidak
sabar, cepat marah, berkata kasar, menarik diri dan agresif. (Shifa & Safitri, 2021).
B. Etiologi
Menurut Livina & Suerni (2019) penyebab terjadinya dapat dijelaskan dengan
menggunaan konsep Stuart yang meliputi:
1. Faktor predisposisi (faktor yang melatarbelakangi)
a. faktor genetik
1) adanya anggota keluarga yang sering memperlihatkan atau melakukan
perilaku kekerasan (mengalami kekerasan fisik)
2) riwayat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
3) pernah yang mengalami gangguan jiwa
4) adanya riwayat atau trauma kepala
5) riwayat penggunaan NAPZA.
b. Faktor Psikologis
1) salah satunya karena merasa kehilangan akan suatu hal seperti kehilangan
orang yang dicintai, barang maupun pekerjaan. (saputri, 2016).
2) Menurut stuart (2009) faktor yang mendukung terjadinya perilaku kekerasan
yaitu pribadi yang tertutup. Individu yang introvert lebih sering berkhayal,
merenung dan ragu-ragu dalam mencapai keputusan akhir.
3) Sulit mengunkapkan ide maupun memulai pembicaraan.
4) Jika ada permasalahan selalu dipendam.
5) Sering berpikir negatif
c. Faktor Sosial budaya
1) menurut teori lingkungan sosial menyatakan bahwa lingkungan sosial sangat
mempengaruhi sikap individu dalam mengekspresiasikan marah.
2) Putus sekolah atau berpendidikan rendah.
3) Kegagalan dalam pekerjaan.
4) Sosial ekonomi cukup atau kurang.
2. Faktor presipitasi (faktor yang memicu adanya masalah)
Menurut Muthith (2015) faktor presipitasi bersumber dari klien, lingkungan
dan interaksi dengan orang lain.
a. Klien: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kurang percaya diri.
b. Lingkungan: rebut, kehilangan orang atau objek yang berharga, konflik interaksi
sosila.
Adapun menurut (Kandar & Iswanti, 2019) terdapat beberapa factor pencetus
yang menyebabkan terjadinya perilaku kekerasan, adalah:
1) Faktor genetik, putus obat merupakan factor pencetus pasien mengalami perilaku
kekerasan
2) Faktor psikologis, yaitu konsep diri, tidak diterima dilingkungan sekitar
3) Faktor sosial budaya yaitu ketidakharmonisan lingkuangan tempat tinggal membuat
diri ingin marah dan berbicar kasar.
C. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala prilaku kekerasan berdasarkan asuhan keperawatan jiwa dengan
masalah risiki perilaku kekerasan (Keliat et al, 2019; Pardede, 2020):
Subjektif:
1. Mengungkapkan kekesalan atau marah
2. Mempunyai keinginan melukai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
3. Suka membentak orang lain.
Objektif
1. Mata melotot dengan pandangan tajam
2. Wajah memerah
3. Rahang mengatup dan menggepalkan tangan
4. Postur tubuh kaku
5. Mengancam dan mengumpat dengan kata-kata kasar
6. Suara keras
7. Berbicara kasar dan ketus
8. Suka menyerang orang lain dan melukai diri sendiri dan orang lain
9. Merusak lingkungan sekitar
10. Amuk dan agresif
D. Mekanisme koping
Mekanisme koping yang umum digunakan yaitu mekanisme koping ego (Yosep, 2011):
1. Displacement yaitu melepaskan perasaan tertekanyang biasanya bermusuhan pada
objek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada awalnya memunculkan emosi.
2. Proyeksi yaitu menyalahkan orang lain mengenai keinginan yang tidak terpenuhi.
3. Depresi yaitu menekankan perasaan orang lain yang menyakitkan atau konflik
ingatan yang cenderung memperluas mekanisme ego lainnya
4. Reaksi formasi yaitu pembentukan sikap kesadaran dan pola perilaku yang
berlawanan dengan apa yang benar-benar dilakukan oleh orang lain.
E. Rentang respon Marah
adaptif Maladaptif
Menurut keliat (2016) rentang respon perilaku kekerasan dapat di bagi menjadi:
1. Asertif: kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti diri sendiri, orang lain dan
lingkungan
2. Frustasi: perasaan gagal mencapai tujuan karena tidak realistis atau terlambat
3. Pasif: respon selanjutnya tidak dapat mengungkapkan perasaannya
4. Agresif: perilaku destruktif yang masih dapat dikontrol. Orang agresif biasanya tidak
mau mengetahui hak orang lain. Dia juga berpikir bahwa setiap orang harus
bertarung untuk mendapatkan kepentingan sendiri dan menginginkan perlakuan
sesuai yang diharapkan oleh dirinya dari orang lain
5. Kekerasan: perilaku destruktif dan tidak terkontrol, yaitu rasa marah dan bermusuhan
yang kuat diserta kehilangan kontrol akan dirinya. Pada keadaan ini individu dapat
merusak/melukai dirinya sendiri, orang lain dan lingkungan.
F. Pohon diagnosis
Proses terapis tidak efektif Gangguan harga diri rendah kronis Isolasi sosial
(Yosep, 2011)
G. Asuhan keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
Menurut Yusuf et al (2015) pengkajian pada pasien perilaku kekerasan/marah
secara umum dilakukan triase dengan rapid assessment dan screaning assessment.
Pengkajian meliputi nama, tangal lahir, nomor kartu identitas (KTP, SIM atau
paspor), alamat, nomor atau kontak yang bisa dihubungi, serta tanda-tand vital.
Adapun pengkajian keperawatan intensif pada pasien dengan perilaku kekerasan
atau marah meliputi empat aspek yaitu verbal, emosi, fisik, dan verbal. Adapun skala
penilaian sebagai berikut:
a. Skala GAF
1) Skor 11-20: kondisi yang menyebabkan diri sendiri dan orang lain seperti
bunuh diri (kekerasan, marah, amuk, manik, ketidakmampuan melakukan
perawatan diri yang sederhana seperti cebok setelah BAB, adanya hambatan
dalam berhubungan sosial atau berkomunikasi seperti pembicaraan yang
inkoheren dan membisu)
2) Skor 1-10: menunjukkan adanya perilaku yang membahayakan diri sendiri
dan orang lain yang menetap (perilaku kekerasan yang rekuren, agitasi,
ketidakmampuan melakukan kebersihan diri, melakukan tindakan bunuh diri
dan tidak ada harapan)
b. Skala RUFA
Pembagian skor nilai untuk skala RUFA:
Pengkajian keperawatan
a. Identitas klien: nama pasien, umur, tanggal lahir, jenis kelamin, status
perkawinan, agama, tanggal masuk rumah sakit, informan, tanggal pengkajian, No
hp atau kontak yang bisa dihubungi dan alamat pasien
b. Keluhan utama
c. Faktor predisposisi: tanyakan pada pasien apakah pasien pernah mengalami
gangguan jiwa sebelumnya, pernah atau mengalami penganiayaan fisik, seksual,
penolakan di lingkungan, kekerasan dalam rumah tangga dan tindakan kriminal
d. Aspek fisik/biologis: hasil pengukuran tanda-tanda vital (TD, nadi, suhu,
pernapasan, TB, BB) dan keluhan fisik yang dialami
e. Aspek psikososial: genogram tiga generasi, konsep diri, hubungan sosial dengan
orang lain, dan spiritual
f. Status mental: nilai keadaan pasien rapi atau tidak, amati cara berbicara, aktivitas
motorik, afek,interaksi selama wawancara, persepsi, proses pikir, isi pikir, tingkat
kesadaran, memori, tingkat konsentrasi, dan berhitung
g. Kebutuhan persiapan pulang
h. Mekanisme koping
i. Masalah osikososial dan lingkungan
j. Pengetahuan
k. Aspek medik: diagnosa medis yang sudah ditetapkan oleh dokter , terapi
farmakologis, psikomotor, TAK dan rehabilitasi.
Tindakan keperawatan
a. Menjelaskan penyebab, tanda gejala, serta akibat dari perilaku kekerasan
b. Membantu pasien mengidentifikasi rasa marah
c. Melatih pasien tentang cara komunikasi dan mengekspresikan marah
secara tepat
d. Mengajarkan pasien cara mengendalikan resiko perilaku kekerasan
dengan Tarik napas dalam, pukul bantal atau Kasur, senam dan jalan-
jalan di sekitar lingkungan rumah sakit
e. Menjelaskan dan melatih pasien minum obat dengan prinsip 6 benar,
manfaat dan kerugian tidak minum obat
f. Melatih cara verbal/bicara baik-baik serta mengungkapkan perasaan yang
dirasakan
g. Melatih cara mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual seperti
berzikir dan sholat (Untari & Kartina, 2020)
SP II SP II
1) Mengevaluasi jadwal 1) Melatih keluarga
kegiatan harian pasien mempraktikan cara
2) Melatih mengontrol merawat pasien dengan
perilaku kekerasan perilaku kekerasan
dengan cara minum obat 2) Melatih keluarga
3) Menganjurkan pasien melakukan cara
memasukkan jadwal merawat langsung
minum obat ke dalam kepada pasien PK
kegiatan harian
SP III SP III
1) Mengevaluasi jadwal 1) Menjelaskan tentang
harian pasien pemanfaatan
2) Melatih pasien lingkungan yang
mengontrol perilaku mendukung perawatan
kekerasan secara verbal pasien perilaku
3) Menganjurkan pasien kekerasan
memasukkan kegiatan
yang sudah diajarkan ke
dalam jadwal harian
pasien
SP IV SP IV
1) Mengavaluasi jadwal 1) Membantu keluarga
kegiatan harian pasien membuat jadwal
2) Melatih pasien aktivitas di rumah
mengontrol perilaku termasuk minum obat
kekerasan dengan cara (discharge palnning)
spiritual 2) Menjelaskan follow up
3) Menganjurkan pasien pasien setelah pulang
memasukkan kegiatan
tersebut ke dalam jadwal
kegiatan harian pasien
5. Implementasi Keperawatan
6. Evaluasi Keperawatan
Keliat, B.A. (2016). Marah Akibat Penyakit Yang Diderita. Jakarta: EGC
Livana, P.H., Suerni. T. (2019). Faktor Predisposisi pasien risiko perilaku kekerasan, Jurnal
ilmiah kesehatan jiwa volume 1 no 1, hal 27-38, Desember 2019.
Http://jurnal.rsamino.jatengprov.go.id/index.php/JIKJ/article/view/4
Malfasari, E., Febtrina, R., Maulinda, D., & Amimi, R. (2020). Analisis Tanda dan Gejala
Resiko Perilaku Kekerasan pada Pasien Skizofrenia. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 3(1), 65-
74.
Pardede, J. A., Simanjuntak, G. V., & Laia, R. (2020). The Symptoms of Risk of Violence
Behavior Decline after Given Prgressive Muscle Relaxation Therapy on Schizophrenia
Patients. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 3(2), 91-100.
http://dx.doi.org/10.32584/jikj.v3i2.534
Pardede, J. A. (2020). Standar Asuhan Keperawatan Jiwa Dengan Masalah Risiko Perilaku
Kekerasan. doi: 10.31219/osf.io/we7zm
Subu, M. A., Waluyo, I., Nurdin, A. E., Priscilla, V., & Aprina, T. (2018). Stigma, stigmatisasi,
perilaku kekerasan dan ketakutan diantara orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di
Indonesia: Penelitian constructivist grounded theory. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 30(1),
53-60.
Sudia, B. T. (2021). Aplikasi Terapi Relaksasi Nafas Dalam terhadap Pengontrolan Marah
dengan Pasien Gangguan Jiwa Resiko Perilaku Kekerasan di Wilayah Desa Maleber
Kabupaten Cianjur. Lentera: Jurnal Ilmiah Kesehatan dan Keperawatan, 4(1), 1-5.
Saputri, A. I. (2016). Analisis Faktor Predisposisi Dan Presisipitasi Gangguan Jiwa di Ruang
Instalasi Gawatdarurat RSJD Surakarta, NaskahPublikasi, 1-11. Di unduh
darihttp://eprints.ums.ac.id/44990/
Shifa, N.A., & Safitri, A. (2021). Studi KAsus ASuhan Keperawatan pada Orang dengan
Ganggua Jiwa dengan Perilaku Kekerasan. Journal of Nursing Education and Practice,
1(01).
Untari, S. N. Kartina. I. (2020). Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Pasien dengan Resiko Perilaku
Kekerasan. Jurnal Universitas Kusuma Husada
Yusuf, A., Fitriyasari, R., Nihayati, H. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakrta:
Salemba Medika
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN
HARGA DIRI RENDAH DI RUMAH SAKIT JIWA ACEH
Oleh:
ZALFIANA SYANIA
2212501010010
B. Etiologi
Menurut Yusuf (2015) Harga diri rendah sering disebabkan karena adanya koping
individu yang tidak efektif akibat adanya kurang umpan balik positif, kurangnya sistem
pendukung, kemunduran perkembangan ego, pengulangan umpan balik yang negatif,
disfungsi sistem keluarga serta terfiksasi pada tahap perkembangan awal.
Sedangkan menurut Stuart & Sundeen (2016) harga diri rendah disebabkan oleh beberapa
faktor.
1. Faktor Prediposisi meliputi:
a. Faktor biologis, adanya faktor herediter anggota keluarga yang mengalami gannguan
jiwa, riwayat penyakit atau trauma kepala
b. Faktor Psikologis, adanya pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan, seperti
penolakan dan harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan berulang, kurang
mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain, penilaian
negatif terhadap gambaran diri, krisis identitas, peran yang terganggu, ideal diri yang
tidak realistis dan pengaruh internal individu.
c. Pengaruh sosial budaya, adanya penilaian negatif dari lingkungan terhadap klien yang
mempengaruhi penilaian klien, sosial ekonomi rendah, riwayat penolakan lingkungan
pada tahap tumbuh kembang dan tingkat pendidikan rendah.
2. Faktor Prepitasi meliputi:
a. Trauma, seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan peristiwa
yang mengancam kehidupan
b. Ketegangan peran, berhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan dan
individu mengalaminya sebagai frustasi yang mana terdiri dari transisi peran
perkembangan, transisi peran situasi, dan transisi peran sehat-sakit.
E. Penatalaksaan
Penatalaksanan harga diri rendah menurut Prabowo (2014):
a. Psikofarmaka
Terdiri dari golongan typical (misalnya obat Chlorpromazine HCL, Haloperidol) dan
golongan atypical (misalnya obat Risperidone, Olanzapine, Aripiprazole).
b. Psikoterapi
Terapi kerja baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan orang lain,
penderita lainnya, perawat dan dokter. Maksudnya supaya ia tidak mengasingkan diri lagi
karena bila ia menarik diri ia dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik. Dianjurkan
untuk mengadakan permainan atau latihan bersama.
c. Terapi Modalitas
Terapi modalitas atau perilaku merupakan pengobatan untuk skizofrenia yang ditujukan
pada kemampuan dan kekurangan pasien. Teknik perilaku menggunakan latihan
keterampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial. Kemampuan memenuhi diri
sendiri dan latihan praktis dalam komunikasi interpersonal.
Yang paling relevan dilakukan pada individu dengan gangguan konsep diri harga diri
rendah adalah terapi aktivitas kelompok stimulasi dan terkait dengan pengalaman atau
kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok, hasil diskusi kelompok dapat berupa
kesepakatan persepsi atau alternatif penyelesaian masalah.
G. Pohon Masalah
Isolasi sosial
H. Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi nama klien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, tanggal MRS
(masuk rumah sakit), informan, tanggal pengkajian, No. Rumah Sakit dan alamat klien.
2. Keluhan utama
Tanyakan pada keluarga/klien hal yang menyebabkan klien dan keluarga datang ke
rumah sakit. Yang telah dilakukan keluarga untuk mengatasi masalah, dan perkembangan
yang dicapai.
3. Faktor predisposisi
4. Tanyakan pada klien/keluarga, apakah klien pernah mengalami gangguan jiwa pada masa
lalu, pernah melakukan atau mengalami penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari
lingkungan, kekerasan dalam keluarga dan tindakan kriminal. Dan pengkajiannya
meliputi psikologis, biologis, dan sosial budaya.
5. Aspek fisik/biologis
Hasil pengukuran tanda-tanda vital (TD, Nadi, Suhu, Pernafasan, TB, BB) dan keluhan
fisik yang dialami oleh klien.
6. Aspek psikososial
a. Genogram yang menggambarkan tiga generasi
b. Konsep diri
c. Hubungan sosial dengan orang lain yang terdekat dalam kehidupan, kelompok, yang
diikuti dalam masyarakat
d. Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan ibadah
7. Status mental
8. Nilai klien rapi atau tidak, amati pembicaraan klien, aktivitas motorik klien, afek klien,
interaksi selama wawancara, persepsi, proses pikir, isi pikir, tingkat kesadaran, memori,
tingkat konsentrasi, dan berhitung.
9. Kebutuhan persiapan pulang
a. Kemampuan makan klien dan menyiapkan serta merapikan lat makan kembali.
b. Kemampuan BAB, BAK, menggunakan dan membersihkan WC serta membersihkan
dan merapikan pakaian.
c. Mandi dan cara berpakaian klien tampak rapi.
d. Istirahat tidur kilien, aktivitas didalam dan diluar rumah.
e. Pantau penggunaan obat dan tanyakan reaksinya setelah diminum.
10. Mekanisme koping
Malas beraktivitas, sulit percaya dengan orang lain dan asyik dengan stimulus internal,
menjelaskan suatu perubahan persepsi dengan mengalihkan tanggung jawab kepada
orang lain.
11. Masalah psikososial dan lingkungan
Masalah berkenaan dengan ekonomi, dukungan kelompok, lingkungan, pendidikan,
pekerjaan, perumahan, dan pelayanan kesehatan.
12. Pengetahuan
Didapat dengan wawancara klien dan disimpulkan dalam masalah.
13. Aspek medik
Diagnose medis yang telah dirumuskan dokter, therapy farmakologi, psikomotor,
okopasional, TAK dan rehabilitas.
a. Data Subjektif:
1. Adanya ungkapan yang menegatifkan diri
2. Mengeluh tidak mampu dilakukan peran dan fungsi sebagai mestinya
3. Ungkapan yang mengkritik diri sendiri, mengejek dan menyalahkan
gunakan diri sendiri.
4. Ungkapan perannya saat ini yang tidak dapat dilaksanakan sebagai
mestinya.
b. Data objektif :
1. Kontak mata kurang, sering menunduk
2. Mudah marah dan tersinggunng
3. Menarik diri
4. Menghindari dari orang lain.
5. Adanya keluhan fisik
6. Perubahan dalam tanggung jawab
I. Diagnosa Keperawatan
1. Harga diri rendah kronik
2. Harga diri rendah situasional
3. Ketidakefektifan koping
4. Hambatan interaksi sosial
J. Strategi Pelaksaan (SP)
Pasien
1. SP I
a. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki pasien
b. Membantu pasien menilai kemampuan pasien yang masih dapat digunakan
c. Membantu pasien memilih kegiatan yang akan dilatih sesuai dengan kemampuan
pasien
d. Melatih pasien kegiatan yang dipilih sesuai kemampuan
e. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
2. SP II
a. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
b. Melatih kegiatan kedua (atau selanjutnya) yang dipilih sesuai kemampuan
c. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
3. SP III
a. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
b. Melatih kegiatan ketiga (atau selanjutnya) yang dipilih sesuai kemampuan
c. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
4. SP IV
a. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya
b. Melatih kemampuan kegiatan keempat yang dipilih
c. Latih kemampuan pertama hingga keempat masing-masing 2 x sehari.
Keluarga
1. SP 1
a. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
b. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala harga diri rendah yang dialami pasien
beserta proses terjadinya
c. Menjelaskan cara-cara merawat pasien harga diri rendah
2. SP II
a. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan harga diri rendah
b. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien harga diri rendah
3. SP III
a. Membantu keluarga membuat jadual aktivitas di rumah termasuk minum obat
(discharge planning)
b. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang.
4. SP IV
a. Melatih keluarga menciptakan suasana keluarga yang mendukung
b. Menjelaskan cara followup ke PSJ/PKM, mengevaluasi tanda kambuh dan melakukan
rujukan ke RSJ/PKM
Referensi
Carpenito-Moyet, L.J. 2013. Nursing Diagnosis Application to Clinical Practice. 14th Ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Eko Prabowo. 2014. Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.
Herdman, T.H. (2018). NANDA International Nursing Diagnoses: definitions and classification
2018-2020. Jakarta: EGC.
Keliat, Budi Anna. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN (Basic Course).
Jakarta. EGC
Stuart, G. W. (2013). Principle and practice of Psychiatric nursing, 10th Edition. St. Louis.
Canada: MOSBY ELSEVIER.
Stuart, G. W., & Sundeen, S. J. (2013). Buku Saku Ilmu Keperawatan jiwa (5th ed.). Jakarta:
EGC
Stuart, G. W., Keliat, B. A., & Pasaribu, J. (2016). Prinsip dan praktik keperawatan kesehatan
jiwa stuart. Edisi Indonesia (Buku 1). Singapura: Elsevier
Yosep, Iyus. (2010). Keperawatan Jiwa. Edisi revisi, cetakan III. Bandung: PT. Refika Refika
Aditama.
Yusuf, A., Fitriyasari, R., & Nihayati, H. E. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika.