Anda di halaman 1dari 84

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA

DI RUMAH SAKIT JIWA ACEH

LAPORAN PENDAHULUAN

Diajukan Sebagai Syarat Praktik Stase Keperawatan Jiwa


Pada Program Studi Profesi Ners

Oleh:

ZALFIANA SYANIA
2212501010010

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM - BANDA ACEH
TAHUN 2022
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA
DENGAN HALUSINASI DI RUMAH SAKIT JIWA ACEH

Oleh:

ZALFIANA SYANIA
2212501010010

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM - BANDA ACEH
TAHUN 2022
LAPORAN PEDAHULUAN
HALUSINASI

A. Pengertian
Halusinasi merupakan keadaan seseorang yang mengalami perubahan pola dan
jumlah rangsangan yang dimulai secara internal atau eksternal di sekitarnya dengan
pengurangan, pembesaran, distorsi, atau ketidaknormalan respon terhadap setiap
rangsangan (Pardede, 2020). Faktor-faktor yang mampu mempengaruhi kekambuhan
penderita skizofrenia dengan halusinasi meliputi ekspresi emosi keluarga yang
tinggi, pengetahuan keluarga yang kurang, ketersediaan pelayanan kesehatan,
penghasilan keluarga dan kepatuhan minum obat pasien skizofrenia (Pardede, 2020).
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami
perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan, parabaan atau penghiduan. Klien merasakan stimulus yang sebenarnya
tidak ada (Damaiyanti, 2014).
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana pasien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca
indra tanda ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi
melaluipanca indra tanpa stimullus eksteren : persepsi palsu (Prabowo, 2014).

B. Proses terjadinya Halusinasi


Proses terjadinya halusinasi dijelaskan dengan menggunakan konsep stress
adaptasi Stuart yang meliputi stressor dari faktor predisposisi dan presipitasi (Prabowo,
2014).
a. Faktor Predisposisi
1) Faktor Biologis :
Adanya riwayat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
(herediter), riwayat penyakit atau trauma kepala, dan riwayat penggunaan
narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain (NAPZA).
2) Faktor Psikologis
Memiliki riwayat kegagalan yang berulang.Menjadi korban, pelaku
maupun saksi dari perilaku kekerasan serta kurangnya kasih sayang dari orang-
orang disekitar atau overprotektif.
3) Sosiobudaya dan lingkungan
Sebagian besar pasien halusinasi berasal dari keluarga dengan sosial
ekonomi rendah, selain itu pasien memiliki riwayat penolakan dari
lingkungan pada usia perkembangan anak, pasien halusinasi seringkali memiliki
tingkat pendidikan yang rendah serta pernah mengalami kegagalan dalam
hubungan sosial (perceraian, hidup sendiri), serta tidak bekerja.
b. Faktor Presipitasi
Stressor presipitasi pasien gangguan persepsi sensori halusinasi ditemukan
adanya riwayat penyakit infeksi, penyakit kronis atau kelainan struktur otak, adanya
riwayat kekerasan dalam keluarga, atau adanya kegagalan-kegagalan dalam hidup,
kemiskinan, adanya aturan atau tuntutan di keluarga atau masyarakat yang sering
tidak sesuai dengan pasien serta konflik antar masyarakat.
c. Stress Lingkungan
Ambang toleransi terhadap tress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan
untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
d. Sumber Koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stress
(Prabowo, 2014).
e. Perilaku
Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak
aman, gelisah, dan bingung, perilaku menarik diri, kurang perhatian, tidak mampu
mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan nyata dan tidak.
f. Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang
luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol
dan kesulitan untuk tidur dalamwaktu yang lama.
g. Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi
merupakan penyebab halusianasi itu terjadi, isi dari halusinasi dapat berupa peritah
memaksa dan menakutkan.Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut
hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
h. Dimensi intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi
akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi
merupakan usha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun
merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil
seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengotrol semua perilaku klien.
i. Dimensi social
Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan comforting,
klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi dialam nyata sangat
membahayakan. Klien asyik dengan dengan halusinasinya, seolah-olah ia
merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan
harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan kontrol
oleh individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasiberupa ancaman, dirinya atau
orang lain individu cenderung keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses
interkasi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta
mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan
lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.
j. Dimensi spiritual
Secara spiritualklien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas, tidak
bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk
menyucikan diri, irama sirkardiannya terganggu (Damaiyanti, 2014).

C. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala halusinasi dinilai dari hasil observasi terhadap pasien serta
ungkapan pasien. Tanda dan gejala pasien halusinasi adalah sebagai berikut: (Keliat,
2014)
a. Data Objektif
1) Bicara atau tertawa sendiri
2) Marah-marah tanpa sebab
3) Memalingkan muka ke arah telinga seperti mendengar sesuatu
4) Menutup telinga
5) Menunjuk-nunjuk ke arah tertentu
6) Ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas
7) Mencium sesuatu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu
8) Menutup hidung
9) Sering meludah
10) Muntah
11) Menggaruk-garuk permukaan kulit
b. Data subjektif
1) Mendengar suara-suara atau kegaduhan
2) Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap
3) Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya
4) Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartun, melihat hantu atau
monster
5) Mencium bau-bauan seperti bau darah, urin, feses, kadang-kadang bau itu
menyenangkan
6) Merasakan rasa seperti darah, urin atau feses
7) Merasa takut atau senang dengan halusinanya
8) Mengatakan sering mengikuti isi perintah halusinasi

D. Jenis-jenis Halusinasi
Menurut Pardede et all (2021) jenis halusinasi antara lain :
1. Halusinasi pendengaran (auditorik) 70 % Karakteristik ditandai dengan
mendengar suara, teruatama suara – suara orang, biasanya klien mendengar suara
orang yang sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan
memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
2. Halusinasi penglihatan (visual) 20 % Karakteristik dengan adanya stimulus
penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya, gambaran geometrik, gambar
kartun dan / atau panorama yang luas dan kompleks. Penglihatan bisa
menyenangkan atau menakutkan.
3. Halusinasi penghidu (olfactory) Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk,
amis dan bau yang menjijikkan seperti: darah, urine atau feses. Kadang – kadang
terhidu bauharum.Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan
dementia.
4. Halusinasi peraba (tactile) Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau
tidak enak tanpa stimulus yang terlihat. Contoh : merasakan sensasi listrik
datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
5. Halusinasi pengecap (gustatory) Karakteristik ditandai dengan merasakan
sesuatu yang busuk, amis dan menjijikkan, merasa mengecap rasa seperti rasa
darah, urin atau feses.
6. Halusinasi cenesthetik Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh
seperti darah mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau
pembentukan urine.
7. Halusinasi kinesthetic Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak

E. Klasifikasi Halusinasi

Klasifikasi halusinasi Data subyektif Data obyektif


Halusinasi - Mendengarkan suara- - Bicara atau
dengar/suara suara atau kegaduhan tertawa sendiri
- Mendengar suara - Marah-marah
yang mengajak tanpa sebab
bercakap-cakap - Mengarahkan
- Mendengar suara telinga ke
menyuruh melakukan arah tertentu
sesuatu yang Menutup telingga
berbahaya
Halusinasi - Melihat bayangan, - Menunjuk-
penglihatan sinar, bentuk nunjuk kea rah
geometris, bentuk tertentu
kartun, melihat hantu - Ketakutan pada
atau monster sesuatu yang tidak
jelas
Halusiansi - Membaui bau-bauan - Mencium seperti
penciuman seperti bau darah, sedang
urine, feses dan membauibau- bauan
kadang-kadang bau itu tertentu
menyenangkan - Menutup hidung
Halusinasi - Merasakan seperti - Sering meludah
pengecapan darah, urine, atau feses - Muntah
Halusinasi perabaan - Mengatakan ada - Menggaruk-
serangga di garuk
permukaan kulit permukaan
- Merasa seperti tersengat kulit
listrik

F. Tahap Halusinasi
1. Tahap I :
Halusinasi bersifat menyenangkan, tingkat ansietas pasien sedang. Pada
tahap ini halusinasi secara umum menyenangkan (Prabowo, 2014)

Karakteristik :

Karakteristik tahap ini ditandai dengan adanya perasaan bersalah dalam diri
pasien dan timbul perasaan takut. Pada tahap ini pasien mencoba menenangkan
pikiran untuk mengurangi ansietas. Individu mengetahui bahwa pikiran dan
sensori yang dialaminya dapat dikendalikan dan bisa diatasi (non psikotik).

Perilaku yang teramati:


- Menyeringai / tertawa yang tidak sesuai
- Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara
- Respon verbal yang lambat
- Diam dan dipenuhi oleh sesuatu yang mengasyikan
2. Tahap II:
Halusinasi bersifat menyalahkan, pasien mengalami ansietas tingkat berat
dan halusinasi bersifat menjijikkan untuk pasien.
Karakteristik :
Pengalaman sensori yang dialami pasien bersifat menjijikkan dan menakutkan,
pasien yang mengalami halusinasi mulai merasa kehilangan kendali, pasien
berusaha untuk menjauhkan dirinya dari sumber yang dipersepsikan, pasien
merasa malu karena pengalaman sensorinya dan menarik diri dari orang lain
(nonpsikotik).
Perilaku yang teramati :
- Peningkatan kerja susunan saraf otonom yang menunjukkan timbulnya ansietas
seperti peningkatan nadi, tekanan darah dan pernafasan
- Kemampuan kosentrasi menyempit.
- Dipenuhi dengan pengalaman sensori, mungkin kehilangan kemampuan untuk
membedakan antara halusinasi dan realita
3. Tahap III :
Pada tahap ini halusinasi mulai mengendalikan perilaku pasien, pasien berada
pada tingkat ansietas berat. Pengalaman sensori menjadi menguasai pasien.
Karakteristik :
Pasien yang berhalusinasi pada tahap ini menyerah untuk melawan
pengalaman halusinasi dan membiarkan halusinasi menguasai dirinya. Isi
halusinasi dapat berupa permohonan, individu mungkin mengalami kesepian jika
pengalaman tersebut berakhir (Psikotik).
Perilaku yang teramati :
- Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh halusinasinya dari
pada menolak.
- Kesulitan berhubungan dengan orang lain.
- Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik, gejala fisik dari ansietas
berat seperti : berkeringat, tremor, ketidakmampuan mengikuti petunjuk.
4. Tahap IV :
Halusinasi pada saat ini, sudah sangat menaklukkan dan tingkat ansietas
berada pada tingkat panik. Secara umum halusinasi menjadi lebih rumit dan saling
terkait dengan delusi.
Karakteristik :
Pengalaman sensori menakutkan jika individu tidak mengikuti perintah
halusinasinya. Halusinasi bisa berlangsung dalam beberapa jam atau hari apabila
tidak diintervensi (psikotik).
Perilaku yang teramati :
- Perilaku menyerang - teror seperti panik
- Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain
- Amuk, agitasi dan menarik diri.
- Tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang komplek
- Tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang

Menurut Stuart dan Laraia (2001) membagi fase halusinasi dalam 4 fase berdasarkan
tingkat ansietasnya yang dialami dan kemampuan klien mengendalikan dirinya
1. Fase 1: Comforting: Ansietas Sedang: halusinasi menyenangkan.
Karakteristik: Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasah
bersalah, takut, dan mencoba untuk berfokus pada pikiran menyenangkan untuk meredakan
ansietas. Individu mengenali bahwa pikiran-pikiran dan pengalaman sensori berada dalam
kendali kesadaran jika ansietas dapat ditangani.
Perilaku klien:     
a. Tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai
b. Menggerakkan bibir tanpa suara. 
c. Pergerakan mata yang cepat. 
d. Respon verbal yang lambat jika sedang asyik. 
e. Diam dan asyik sendiri. 
2. Fase II: Condemning: Ansietas Berat: Halusinasi menjadi menjijikkan.
Karakteristik: Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas
kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang
dipersepsikan. Klien mungkin mengalami dipermalukan oleh pengalaman sensori dan
menarik diri dari orang lain. 
Perilaku Klien: 
a. Meningkatnya tanda-tanda sistem syaraf otonom akibat ansietas otonom akibat
ansietas seperti peningkatan denyut jantung, pernafasan, dan tekanan darah. 
b. Rentang perhatian menyempit. 
c. Asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan membedakan   
halusinasi dan realita. 
3. Fase III: Controlling: Ansietas berat: Pengalaman sensori menjadi berkuasa
Karakteristik: Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan
menyerah pada halusinasi tersebut. Isi halusinasi menjadi menarik. Klien mungkin
mengalami pengalaman kesepian jika sensori halusinasi berhenti. 
Perilaku Klien: 
a. Kemauan yang dikendalikan halusinasi akan lebih diikuti.
b. Kesukaran berhubungan dengan orang lain.
c. Rentang perhatian hanya beberapa detik atau menit.
d. Adanya tanda-tanda fisik ansietas berat: berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi
perintah.
4. Fase IV: Conquering: Panik: Umumnya menjadi melebur dalam halusinasi.
Karakteristik: pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah
halusinasi. Halusinasi berakhir dari beberapa jam atau hari jika tidak ada intervensi
terapeutik.
Perilaku Klien:
a. Perilaku teror akibat panik.
b. Potensi kuat suicide (bunuh diri) atau homicide (membunuh orang lain)
c. Aktivitas fisik merefleksikan isi halusinasi seperti perilaku kekerasan, agitasi, menarik
diri, atau katatonia.
d. Tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks.
e. Tidak mampu berespon lebih dari satu orang.
G. Rentang Respon Halusinasi

Faktor predisposisi

Faktor presipitasi

Respon terhadap stressor

Sumber koping

Mekanisme koping

Respon marah

Adaptif Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk/PK

H. Penatalaksaan Medis
Penatalaksanaan medis pada Halusinasi Penatalaksanaan pasien skizofrenia adalah
dengan pemberian obat-obatan dan tindakan lain, yaitu:
1. Psikofarmakologis Obat-obatan yang lazim digunakan pada gejala halusinasi
pendengaran yang merupakan gejala psikosis pada pasien skizofrenia adalah
obatobatan anti-psikosis.
2. Terapi kejang listrik atau Elektro Compulcive Therapy (ECT)
3. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)

I. Proses Keperawatan
a. Mengkaji Jenis Halusinasi
- Mengkaji Isi Halusinasi
- Mengkaji Waktu, Frekuensi, dan Situasi Munculnya Halusinasi
- Mengkaji Respon Terhadap Halusinasi
b. Strategi pelaksanaan pada pasien dengan halusinasi :
 SP 1 pasien : membantu pasien mengenal halusinasi, menjelaskan cara-cara
mengontrol halusinasi, mengajarkan pasien mengontrol halusinasi dengan cara
pertama : menghardik halusinasi
 SP 2 pasien : melatih pasien menggunakan obat secara teratur
 SP 3 pasien : melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara ketiga:
bercakap-cakap dengan orang lain
 SP 4 pasien : melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara keempat:
melaksanakan aktivitas terjadwal
c. Strategi pelaksanaan untuk keluarga pasien dengan halusinasi :
 SP 1 Keluarga : Mengidentifikasi masalah yang dirasakan dalam merawat klien
halusinasi dan melatih keluarga cara membimbing pasien mengontrol halusinasi
dengan menghardik.
 SP 2 Keluarga : Melatih keluarga cara membimbing pasien minum obat secara
teratur menggunakan prinsip 6 benar.
 SP 3 Keluarga : Melatih keluarga membimbing klien mengontrol halusinasi
dengan cara bercakap-cakap
 SP 4 Keluarga : Melatih keluarga cara membimbing pasien mengontrol
halusinasi dengan kegiatan harian dan menjelaskan cara follow up ke RSJ/PKM,
mengevaluasi tanda kambuh dan cara melakukan rujukan ke RSJ/PKM
Referensi

Damaiyanti, Iskandar. 2014. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama.

Keliat B. A, dkk. 2014. Proses Keperawatan Jiwa Edisi II. Jakarta: EGC.

Pardede, J. A., Hamid, A. Y. S., & Putri, Y. S. E. (2020). Application of Social Skill
Training using Hildegard Peplau Theory Approach to Reducing Symptoms and
the Capability of Social Isolation Patients. Jurnal Keperawatan, 12(3), 327-
340. https://doi.org/10.32583/keperawatan.v12i3.782

Pardede, J.A., Irwan, F., Hulu, E. O., Manalu. W., Sitanggang, R., & Waruwu, J. F. A. P.,
(2021, February 4). Asuhan Keperawatan Jiwa Dengan Masalah Halusinasi.
https://doi.org/10.31219/osf.io/fdqzn

Stuart, G. W., Laraia, M. T. (2001). Prinsip dan Praktik Keperawatan Psikiatrik. Jakarta.
EGC
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN
WAHAM DI RUMAH SAKIT JIWA ACEH

Oleh:

ZALFIANA SYANIA
2212501010010

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM - BANDA ACEH
TAHUN 2022
LAPORAN PENDAHULUAN
WAHAM
A. Pengertian
Waham adalah keyakinan dimana dari salah satu keyakinan tersebut secara kokoh
dipertahankan walau yang lain tidak berkeyakinan sama dan kontradiksi dengan realita
sosial yang ada (stuart, 2016). Waham merupakan keyakinan yang salah yang didasarkan
oleh suatu kesimpulan yang salah mengenai realita eksternal dan dipertahankan dengan
kuat (Keliat,dkk, 2019). Waham adalah gangguan dimana penderita memiliki rasa realita
yang berkurang atau terdistrosi serta tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata
(Videbeck, 2011).
B. Etiologi
Menurut Herman, A (2011), etiologi waham terbagi 2 yaitu:
1. Faktor predisposisi
a. Faktor perkembangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal seseorang,
sehingga dapat memicu stress dan ansietas yang berakibat terjadi gangguan persepsi.
b. Faktor sosial budaya
Seseorang yang merasa dirinya diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan
timbulnya waham.
c. Faktor psikologis
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda bertentangan dapat menimbulkan
ansietas dan berakhir dengan pengingkaran terhadap kenyataan.
d. Faktor biologis
Waham diyakini terjadi karena adanya atrofi otak, pembesaran ventrikel di otak atau
perubahan pada sel kortikal dan limbik.
e. Faktor genetik
Faktor keturunan
2. Faktor presipitasi
a. Faktor sosial budaya
Waham dapat di picu karena terjadinya perpisahan dengan orang yang berarti atau di
asingkan dari kelompok.
b. Faktor biokimia
Dopamin, norepinepin, dan zat halusinogen lainnya juga diduga dapat menjadi
penyebab waham pada seseorang.
c. Faktor psikologis
Kecemasan yang memanjang dan terbatasan nya kemampuan untuk mengatasi
masalah sehingga pasien mengembangkan koping untuk menghindari kenyataan yang
menyenangkan.
C. Proses Terjadinya Waham
Menurut Eriawan (2019) proses terjadinya waham terbagi menjadi 6 yaitu:
1. Fase Lack of Human Need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhan-kebutuhan klien baik secara fisik
maupun psikis. secara fisik klien dengan waham dapat terjadi pada orang-orang
dengan status sosial dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya klien sangat miskin dan
menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mendorongnya untuk
melakukan kompensasi yang salah. Ada juga klien yang secara sosial dan ekonomi
terpenuhi tetapi kesenjangan antara reality dengan self ideal sangat tinggi. Misalnya
ia seorang sarjana tetapi menginginkan dipandang sebagai seorang dianggap sangat
cerdas, sangat berpengalaman dan diperhitungkan dalam kelompoknya. Waham
terjadi karena sangat pentingnya pengakuan bahwa ia eksis di dunia ini. Dapat
dipengaruhi juga oleh rendahnya penghargaan saat tumbuh kembang (life span
history).
2. Face Lack of Self Esteem
Tidak ada tanda pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara self
ideal dengan self reality (kenyataan dengan harapan) serta dorongan kebutuhan yang
tidak terpenuhi, sedangkan standar lingkungan sudah melampaui kemampuannya.
Misalnya, saat lingkungan sudah banyak yang kaya, menggunakan teknologi
komunikasi yang canggih, berpendidikan tinggi serta memiliki kekuasaan yang luas,
seseorang tetap memasang self ideal yang melebihi lingkungan tersebut. Padahal self
reality-nya sangat jauh. Dari aspek pendidikan, materi, pengalaman, pengaruh,
support system semuanya sangat rendah.

3. Fase Control Internal External


Klien mencoba berfikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa yang ia
katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan
kenyataan. Tetapi menghadapi kenyataan bagi klien adalah sesuatu yang sangat
berat, karena kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap penting dan
diterima lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya. Karena, kebutuhan tersebut
belum terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan sekitar klien mencoba
memberikan koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan klien itu tidak benar, tetapi hal
ini tidak dilakukan secara adekuat karena besarnya toleransi dan keinginan menjaga
perasaan. Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif
berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien tidak merugikan orang lain.
4. Fase Environment Support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya menyebabkan
klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap sesuatu yang dikatakan
tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya diulang-ulang. Dari sinilah mulai
terjadinya kerusakan kontrol diri dan tidak berfungsinya norma (Super Ego) yang
ditandai dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat berbohong.
5. Fase Comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta menganggap
bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan mendukungnya. Keyakinan
sering disertai halusinasi pada saat klien menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya
klien lebih sering menyendiri dan menghindar interaksi sosial (Isolasi sosial).
6. Fase Improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu keyakinan
yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul sering berkaitan
dengan traumatik masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi (rantai
yang hilang). Waham bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat
menimbulkan ancaman diri dan orang lain. Penting sekali untuk mengguncang
keyakinan klien dengan cara konfrontatif serta memperkaya keyakinan relegiusnya
bahwa apa-apa yang dilakukan menimbulkan dosa besar serta ada konsekuensi
sosial.
D. Rentang Respon Neurobiologi

E. Tanda dan Gejala Waham


Tanda dan gejala menurut Aziz (2003), yaitu:
1. Pasien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya (tentang agama, kebesaran, kecurigaan,
keadaan dirinya berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai kenyataan).
2. Pasien tampak tidak mempunyai orang lain
3. Curiga
4. Bermusuhan
5. Merusak (diri, orang lain, dan lingkungan)
6. Takut, sangat waspada
7. Tidak tepat menilai lingkungan/ realitas
8. Ekspresi wajah tegang
9. Mudah tersinggung
F. Klasifikasi waham
1. Waham kejaran: merasa bahwa dirinya sedang dimata-matai atau dikerjar-kejar yang
meyakini bahwa ada orang yang sedang mengganggunya
2. Waham somati: keyakinan tentang tubuhnya yang tidak benar seperti otaknya mencair
dan ususnya sudah busuk
3. Waham kebesaran: meyakini dirinya punya kekuatan dan kekayaan yang luar biasa
4. Waham keagamaan: waham dengan tema keagamaan
5. Waham dosa: merasa dirinya sudah berbuat dosa atau kesalahan yang besar dan tidak
akan diampuni
6. Waham pengaruh: meyakini bahwa pikirannya, emosi, dan perbuatanyya diawasi dan
dipengaruhi oleh orang lain
7. Waham sindiran: meyakini bahwa dirinya sedang dibicarakan oleh orang lain
8. Waham nihilistik: meyakini bahwa dunia sudah hancur atau meyakini dirinya sudah mati
9. Waham bizarre: keyakinan yang keliru dan mustahil dan aneh
10. Waham sistematik: keyakinan yang digabung dalam satu kejadian seperti orang yang
dikejar-kejar mafia
11. Waham cemburu: keyakinan yang keliru yang berasal dari cemburu tentang pasangan
yang tidak setia (Wicaksono, 2021)

G. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Perawat melakukan perkenalan dan kontrak dengan klien mengenai: Nama klien,
nama perawat, tujuan, waktu pertemuan, topik pembicaraan
b. Keluhan utama/alasan masuk
Menanyakan pada keluarga/klien penyebab klien dan keluarga datang ke rumah sakit
c. Tanyakan pada klien/keluarga
Menanyakan pada klien/keluarga pernah mengalami ganggaun jiwa sebelumnya dan
mengalami/pernah melakukan penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari
lingkungan, kekerasan dalam keluarga serta tindakan kriminal. Mengkaji faktor yang
menjadi penyebab terjadinya gangguan seperti faktor psikologis: keluarga dan
lingkungan yang mempengaruhi respon lingkungan klien; faktor biologis: gangguan
perkembangan dan fungsi otak atau SSP serta pertumbuhan dan perkembangan pada
masa prenatal, neonatus, dan anak-anak; dan faktor budaya: kemiskinan, konflik
sosial budaya, dan kehidupan terolisasi serta stress.
d. Aspek fisik/biologis
Mengukur dan mengobservasi tanda-tanda vital (TD, HR, RR, Suhu) dan
antropometri (tinggi badan, berat badan)
e. Aspek psikososial
Membuat genogram paling sedikit tiga generasi untuk menggambarkan hubungan
klien dan keluarga, konsep diri: citra tubuh, identitas diri, peran, ideal diri, dan harga
diri, hubungan sosial dengan orang lain dan spritual mengenai nilai, keyakinan, dan
kegiatan ibadah
f. Status mental
Nilai penampilan rapi atau tidak, amati pembicaraan klien, aktivitas motoris klien,
alam perasaan klien (sedih, takut, khawatir), afek klien, interaksi selama wawancara,
persepsi klien, proses pikir, isi pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat konsentrasi
dan berhitung, kemampuan penilaian, dan daya tilik diri.
g. Proses pikir
Cara klien menjawab tidak sesuai dengan topik dan masih ada hubungan yang tidak
logis dan tidak sampai pada tujuan (flight ofides) dan kadang-kadang menulang
pembicaraan yang sama (persevere)
h. Isi pikir
Contoh isi pikir klien saat diwawancara: klien mengatakan bahwa dirinya mempunyai
banyak pacar dan pacarnya orang kaya
i. Kebutuhan persiapan pulang
1) Kemampuan makan, mampu menyiapkan, dan membersihkan alat makan oleh
klien
2) Klien mampu melakukan BAK/BAB, menggunakan dan membersihkan toilet
serta mampu membersihkan dan merapikan pakaian
3) Klien mampu mandi dengan cara berpakaian, dan oberservasi tubuh klien
4) Klien istirahat dan tidur serta aktivitas diluar rumah
5) Pantau penggunaan obat dan menanyakan reaksi yang dirasakan setelah minum
obat.
j. Masalah psikososial dan lingkungan
Dari data keluarga klien mengenai masalah klien alami
k. Pengetahuan
Data diperoleh dari wawancara dengan klien kemudian tiap bagian yang dimiliki
klien disimpulkan dalam masalah.
l. Aspek medik
Klien mendapat terapi berupa ECT seperti terapi psikomotor, terapi tingkah laku,
terapi keluarga, terapi spiritual, terapi okupasi, terapi lingkungan dan rehabilitas
bertujuan untuk refungsional dan perkembangan klien supaya klien dapat melakukan
sosialiasi secara wajar dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurut Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia/SDKI (2016) bahwa hasil pengkajian
pasien dapat diperoleh dari data subjektif dan data objektif.
a. Data subjektif
Mayor: mengungkapkan isi waham
Minor: merasa sulit berkonsentrasi dan merasa khawatir
b. Data objektif
Mayor: Menunjukan perilaku sesuai isi waham, isi pikir tidak sesuai realitas, isi
pembicaraan sulit dimengerti
Minor: curiga berlebihan, waspada berlebihan, bicara berlebihan, sikap menentang,
wajah tegang, pola tidur berubah, tidak mampu mengambil keputusan, flight of idea,
produktifitas kerja menurun, tidak mampu merawat diri, dan menarik diri.

2. Diagnosa
Waham, gangguan komunikasi verbal, dan resiko perilaku kekerasan
3. Strategi pelaksanaan
Adapun strategi pelaksanaa waham menurut Rosyad (2020), yaitu:
4. Evaluasi
Kemampuan pasien dan keluarga
Referensi
Ade Herman Surya Direja, 2011, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa, Yogyakarta: Nuha
Medika
Aziz R, dkk. Pedoman asuhan keperawatan jiwa. Semarang: RSJD Dr. Amino Gondoutomo.
2003
Eriawan, A. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Tn “O” Yang Mengalami Bipolar Dengan
Masalah Keperawatan Waham Paranoid Di Ruangan Palm Rumah Sakit Khusus Daerah
Dadi Provinsi Sulawesi Selatan Yogyakarta: Nuha Medika
Keliat, B. A., Hamid, A. Y. S., Putri, Y. S. E., Daulima, N. H. C., dkk. (2019). Asuhan
Keperawatan Jiwa. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Rosyad, Y. S. (2020). Modul Praktik Laboratorium Keperawatan Jiwa 2. Bandung: Media Sains
Indonesia
Stuart, G.W., Keliat, B.A., & Pasarbi, J. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan
Jiwa Edisi Indonesia. Singapura: Elsevier
Videbeck, S. L. (2011). Psychiatric-Mental Health Nursing (Fifth Edit). Wolters Kluwer Health |
Lippincott Williams & Wilkins.

Wicaksono, Y. I. (2021). Gejala Gangguan Jiwa dan Pemeriksaan Psikiatri Dalam Praktek
Klinis. Malang: Media Nusa Creative
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI DI RUMAH SAKIT JIWA ACEH

Oleh:

ZALFIANA SYANIA
2212501010010

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM - BANDA ACEH
TAHUN 2022
LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI
A. Pengertian
Perawatan diri merupakan salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi
kebutuhannya guna mempertahankan kehidupannya, kesehatan dan kesejahteraan sesuai
dengan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan terganggu keperawatan dirinya jika tidak
dapat melakukan perawatan diri (Depkes 2014).
Menurut Potter Perry (2005) Personal hygine adalah suatu tindakan untuk memelihara
kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik, dan psikis, kurang perawatan
diri adalah kondisin dimana seseorang tidak mampu melakukan perawatan kebersihan untuk
dirinya. Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas
perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting) (Nurjannah, 2014).
Defisit perawatan diri adalah ketidakmampuan dalam kebersihan diri, makan,
berpakaian, berhias diri, makan sendiri, buang air besar dan kecil sendiri (toileting) (Keliat,
2011). Defisit perawatan diri merupakan salah satu masalah yang timbul pada pasien
gangguan jiwa. Pasien gangguan jiwa kronis sering mengalami ketidakmampuan merawat
diri. Keadaan ini merupakan gejala perilaku negatif dan menyebabkan pasien dikucilkan
baik dalam keluarga maupun masyararkat (Yusuf, 2015).

B. Jenis-jenis Defisit Perawatan Diri


Menurut NANDA 2018) Defisit perawatan diri terdiri dari:
1. Defisit perawatan diri : mandi, berpakaian, eliminasi, makan
2. Ketidakmampuan melakukan pembersihan diri secara seksama.
3. Ketidakmampuan untuk mengenakan atau melepas pakaian secara mandiri
4. Ketidakmampuan untuk melakukan secara mandiri tugas yang berkaitan dengan
eliminasi fekal dan urine.

C. Etiologi
Menurut Depkes (2014), penyebab kurang perawatan diri adalah:
1. Faktor predisposisi
a. Perkembangan : Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu.
b. Biologis : Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
c. Kemampuan realitas turun : Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas
yang kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk
perawatan diri.
d. Sosial : Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya.
Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan diri.
2. Faktor Presipitasi
Kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang
dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan perawatan
diri.

D. Tanda dan Gejala


Menurut Depkes (2014) Tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan diri adalah:
1. Fisik:
a. Badan bau, pakaian kotor
b. Rambut dan kulit kotor
c. Kuku panjang dan kotor
d. Gigi kotor disertai mulut bau
e. Penampilan tidak rapi.
2. Psikologis
a. Malas, tidak ada inisiatif
b. Menarik diri, isolasi diri
c. Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.
3. Sosial
a. Interaksi kurang
b. Kegiatan kurang
c. Tidak mampu berperilaku sesuai norma
d. Cara makan tidak teratur
e. BAK dan BAB di sembarang tempat, gosok gigi dan mandi tidak mampu mandiri.
E. Proses Terjadinya defisit perawatan diri
Menurut (Hastuti, 2018) proses terjadinya deficit perawatan diri ditemukan berdasarkan
data sebagai berikut :
1. Data Subjektif (Keluhan Klien)
a. Klien merasa lemah
b. Malas untuk beraktivitas
c. Merasa tidak berdaya
2. Data Objektif (Data hasil Observasi)
a. Rambut kotor, acak-acakan
b. Badan dan pakaian kotor dan bau
c. Mulut dan gigi bau
d. Kulit kusan dan kotor
e. Kuku panjang dan tidak terawat
Kurangnya perawatan diri pada pasien dengan gangguan jiwa terjadi akibat adanya
perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan aktivitas perawatan diri
menurun. Kurang perawatan diri tampak dari ketidakmampuan merawat kebersihan diri,
makan secara mandiri, berhias secara mandiri dan toileting (BAB/BAK) secara mandiri
(Yusuf, Fitryasari & Nihayati, 2015).

F. Rentang Respon Kognitif


Menurut Keliat (2014), rentang respon perawatan diri pada klien adalah sebagai berikut :
Gambar 1 : Rentang Respon Kognitif

Adaptif Maladaptif
Pola perawatan diri Kadang perawatan diri, Tidak melakukan
seimbang kadang tidak perawatan saat stress

Keterangan:
a. Pola perawatan diri seimbang, saat klien mendapatkan stressor dan mampu untuk
berperilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan klien seimbang, klien masih
melakukan perawatan diri.
b. Kadang perawatan kadang tidak, saat klien mendapatkan stressor kadang-kadang klien
tidak memperhatikan perawatan dirinya.
c. Tidak melakukan perawatan diri, klien mengatakan dia tidak peduli dan tidak bisa
melakukan perawatan saat stressor.

G. Dampak Defisit Perawatan Diri


Menurut Dermawan (2013) dampak yang sering timbul pada masalah defisit perawatan
diri yakni:
1. Dampak fisik
Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak terpeliharanya
kebersihan perorangan dengan baik, gangguan fisik yang sering terjadi adalah gangguan
integritas kulit, gangguan membran mukosa mulut, infeksi pada mata dan telinga dan
gangguan fisik pada kuku.
2. Dampak psikososial
Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene adalah gangguan kebutuhan
rasa nyaman , kebutuhan dicintai dan mencintai, kebutuhan harga diri, aktualisasi diri dan
gangguan interaksi sosial.
H. Mekanisme Koping
Menurut (Sutria, 2020), mekanisme koping berdasarkan penggolongan di bagi menjadi 2
yaitu :
1. Mekanisme koping adaptif
Mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi pertumbuhan belajar dan mencapi
tujuan. Kategori ini adalah klien bisa memenuhi kebutuhan perawatan diri secara
mandiri.
2. Mekanisme koping maladaptive
Mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan,
menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah tidak
ingin merawat diri.
Sedangkan menurut (Dermawan, 2013; Yusuf, Fitryasari & Nihayati, 2015) Mekanisme
koping pada pasien dengan defisit perawatan diri yaitu:
1. Regresi, menghindari stress, kecemasan dan menampilkan perilaku kembali, seperti pada
perilaku perkembangan anak atau berhubungan dengan masalah proses informasi dan
upaya untuk mengulangi ansietas.
2. Penyangkalan (Denial), melindungi diri terhadap kenyataan yang tak menyenangkan
dengan menolak menghadapi hal itu, yang sering dilakukan dengan cara melarikan diri
seperti menjadi “sakit” atau kesibukan lain serta tidak berani melihat dan mengakui
kenyataan yang menakutkan.
3. Menarik diri, reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun psikologis, reaksi
fisk yaitu individu pergi atau lari menghindar sumber stresor, misalnya: menjauhi,
sumber infeksi, gas beracun dan lain-lain. Reaksi psikologis individu menunjukkan
perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak berminat, sering disertai rasa takut dan
bermusuhan.
4. Intelektualisasi, suatu bentuk penyekatan emosional karena beban emosi dalam suatu
keadaan yang menyakitkan, diputuskan, atau diubah (distorsi) misalnya rasa sedih karena
kematian orang dekat, maka mengatakan “sudah nasibnya” atau “sekarang ia sudah tidak
menderita lagi”.

I. Manifestasi Klinis
Menurut (Putra, 2019) manifestasi klinis defisit perawatan diri yakni:
1. Subyektif
a. Menyatakan tidak ingin mandi secara teratur
b. Perawatan diri harus dimotivasi
c. Menyatakan BAB/BAK di sembarangan tempat
d. Menyatakan tidak mampu menggunakan alat bantu makan
2. Obyektif
a. Tidak mampu membersihkan badan
b. Berpakaian secara benar
c. Tidak mampu melaksanakan kebersihan yang sesuai
d. Setelah melakukan toileting
e. Makan hanya beberapa suap darri piring/porsi tidak habis
J. Penatalaksanaan defisit perawatan diri
Klien dengan gangguan defisit perawatan diri tidak membutuhkan perawatan medis,
karena hanya mengalami gangguan jiwa, pasien lebih membutuhkan terapi kejiwaan melalui
komunikasi terapeutik atau dengan cara pemberian pendidikan kesehatan. Menurut NANDA
(2010) penatalaksanaan defisit perawatan diri yaitu:
1. Meningkatkan kesadaran dan kepercayaan diri.
2. Membimbing dan menolong klien merawat diri.
3. Berikan aktivitas rutin sehari-hari sesuai kemampuan.
4. Ciptakan lingkungan yang mendukung.
5. Ciptakan lingkungan yang mendukung.
K. Pengkajian defisit perawatan diri
Menurut Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia/SDKI (2016) hasil pengkajian yang
diperoleh dari pasien dengan defisit perawatan diri, yaitu:
1. Data subyektif :
Pasien tidak mampu melakukan atau menyelesaikan aktivitas perawatan diri serta pasien
menolak untuk melakukan perawatan diri.
2. Data Obyektif :
Pasien tidak mampu mandi, makan, berpakaian, berhias dan BAK/BAB secara mandiri
dan minat melakukan perawatan diri kurang.

Selain itu, menurut Yusuf (2015) untuk mengetahui pasien mengalami defisit perawatan
diri dapat diperoleh melalui tanda dan gejala sebagai berikut:

1. Data subyektif :
Klien mengatakan malas mandi, tidak mau menyisir rambut, tidak mau menggosok gigi,
tidak mampu memotong kuku, tidak mau berhias, tidak bisa menggunakan alat
mandi/kebersihan diri.

2. Data Obyektif :
Badan bau, pakaian kotor, rambut acak-acakan dan kotor, kulit berdaki, kuku panjang dan
kotor, makan berceceran, gigi kotor, baut mulut, penampilan tidak rapi, tidak bisa
menggunakan alat mandi.
L. Diagnosa Keperawatan
Menurut Williams (2015) diagnosa keperawatan yang mungkin muncul , yaitu:
1. Defisit perawatan diri : makan
2. Defisit perawatan diri : mandi
3. Defisit perawatan diri : berpakaian
4. Defisit perawatan diri : toileting (BAK/BAB)
5. Isolasi sosial
6. Harga diri rendah
M. Strategi Pelaksanaan
Strategi Pelaksanaan pada Pasien Strategi Pelaksanaan pada Keluarga

SP 1 : Mendiskusikan pentingnya SP 1 : Mengidentifikasi masalah keluarga


kebersihan diri, cara-cara merawat diri dan dalam merawat klien defisit perawatan diri
melatih pasien tentang cara perawatan dan membimbing keluarga untuk melatih
kebersihan diri. perawatan diri klien : Mandi

SP 2 : Melatih pasien berdandan/berhias SP 2 : Membimbing keluarga cara melatih


a Pasien laki-laki latihan meliputi : anggota keluarga perawatan diri :
Berpakaian, menyisir rambut dan Berdandan
bercukur.
b Pasien perempuan latihan meliputi:
berpakaian, menyisir rambut dan
berhias.

SP 3 : Melatih pasien makan secara SP 3 : Membimbing keluarga cara melatih


mandiri anggota keluarga perawatan diri:
a Menjelaskan cara mempersiapkan makan/minum
makan
b Menjelaskan cara makan yang tertib
c Menjelaskan cara merapikan peralatan
makan setelah makan
d Praktek makan sesuai dengan tahapan
makan yang baik

SP 4 : Mengajarkan pasien melakukan SP 4: Membimbing keluarga cara melatih


BAK/BAB secara mandiri anggota keluarga perawatan diri :
a Menjelaskan tempat BAK/BAB yang makan/minum
sesuai
b Menjelaskan cara membersihkan diri
setelah BAK/BAB
c Menjelaskan cara membersihkan tempat
BAK/BAB
Referensi
Edisi 1. Jakarta. Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Dermawan, Deden & Rusdi. (2013). Konsep dan Kerangka Kerja Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: Gosyan Publishing.
Hastuti, R. Y., & Rohmat, B. (2018). Pengaruh pelaksanaan jadwal harian perawatan diri
terhadap tingkat kemandirian merawat diri pada pasien skizofrenia di Rsjd Dr. Rm
Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah. Gaster, 16(2),177-190.
Keliat, B. (2014). Terapi aktivitas kelompok. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Keliat, BA, et al. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas : CHMN (Basic Course).
Jakarta : EGC
NANDA. (2010). Nursing diagnosis: Definitions and classification. Amerika Serikat:
Philadelphia
Nurjannah, I. (2001). Pedoman Penanganan pada Gangguan Jiwa. Yogyakarta: Momedia.
Potter, P.A, Perry, A.G.Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan
Praktik.Edisi 4.Volume 2.Alih Bahasa : Renata Komalasari,dkk.Jakarta:EGC.2005.
Putra, R. S., & Hardiana, S. (2019). Komunikasi terapeutik perawat pada pasien dengan masalah
defisit perawatan diri. In Prosiding Seminar Nasional (pp.152-156).
SDKI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator Diagnostik.
Yusuf Ahmad, Fitriyasari Riski, Nihayati. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa. Jakarta : Salemba Medika.
Sutria, E. (2020). Intervention of nurse deficit selfcare in the skizofrenia patient: systematic
Review. Journal Of Nursing Practice, 3(2), 244-252.
Williams, A. P. (2015). Basic Geriatric Nursing. Elsevier. 6
Yusuf, Ah., Fitryasari, R., & Nihayati, H. E. (2015). Buku ajar keperawatan kesehatan jiwa.
Jakarta: Salemba Medika.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN
ISOLASI SOSIAL DI RUMAH SAKIT JIWA ACEH

Oleh:

ZALFIANA SYANIA
2212501010010

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM - BANDA ACEH
TAHUN 2022
LAPORAN PENDAHULUAN

ISOLASI SOSIAL

A. PENGERTIAN
Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh seseorang dan dipersepsikan
karena orang lain dianggap menyatakan sikap negatif dan mengancam bagi dirinya
(Towsend, 2014). Isolasi sosial merupakan kondisi dimana individu mengalami penurunan
atau ketidakmampuan berinterkasi dengan orang lain karena merasa ditolak, tidak diterima,
dan kegagalan membina hubungan dengan orang lain (Supiganto dkk, 2021). Klien dengan
isolasi sosial menghindari bersosialisasi dengan orang lain, merasa kehilangan hubungan
akrab dan tidak mempunyai kesempatan berbagi perasaan, pikiran, prestasi dan kegagalan.
Selain itu individu dengan isolasi sosial juga kesulitan untuk berhubungan secara spontan
dengan orang lain yang ditunjukkan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian, dan
tidak sanggup berbagi pengamatan dnegan orang lain (Widiyawati, 2020).

B. PENYEBAB
PPNI (2016) menyebutkan beberapa penyebab terjadinya isolasi sosial, antara lain:
1. Keterlambatan perkembangan
2. Ketidaksesuaian minat dengan tahap perkembangan
3. Ketidaksesuaian nilai-nilai dan norma
4. Ketidaksesuaian perilaku sosial dengan norma
5. Perubahan penampilan fisik
6. Perubahan status mental
7. Ketidakkuatan sumber daya personal (misal disfungsi berduka, pengendalian diri buruk)
Keliat dkk (2019) menjelaskan 5 penyebab utama terjadinya isolasi sosial, yaitu:
1. Sulit berhubungan/berinteraksi dengan orang lain
2. Tidak mampu berhubungan/berinteraksi yang memuaskan
3. Perasaan malu
4. Perasaan tidak berharga
5. Pengalaman ditolak, dikucilkan, dan dihina

C. TANDA DAN GEJALA


1. Mayor

Subjektif Objektif
a. Merasa ingin sendiri a. Menarik diri
b. Merasa tidak aman di tempat b. Tidak berminat/
umum menolak berinteraksi
c. Merasa ditolak dengan orang lain atau
lingkungan

2. Minor

Subjektif Objektif
a. Merasa berbeda dengan a. Afek datar
orang lain b. Afek sedih
b. Merasa asyik dnegan pikiran c. Riwayat ditolak
sendiri d. Menunjukkan permusuhan
c. Merasa tidak mempunyai e. Tidak mampu memenuhi
tujuan yang jelas harapan orang lain
f. Kondisi difabel
g. Tindakan tidak berarti
h. Tidak ada kontak mata
i. Perkembangan terlambat
j. Tidak bergairah atau lesu

D. RENTANG RESPON SOSIAL


Menyendiri (solitude) Menyendiri (loneliness) Manipulasi
Otonomi Menarik Diri Impulsif
Kebersamaan Tergantung Narsisme
Saling Tergantung

Respon Adaptif Respon Maladaptif


Respon adaptif:
1. Menyendiri (solitude): kemampuan individu memikirkan dan mengevaluasi diri apa
yang terjadi dan setelah melakukan kegiatan untuk kemudian menentukan langkah
berikutnya
2. Otonomi: kemampuan individu untuk memikirkan dan menyampaikan ide, pikiran,
perasaan dalam hubungan sosial untuk menetapkan setting diri dan saling
ketergantungan
3. Kebersamaan: hubungan interpersonal yang saling menguntungkan (memberi dan
menerima)
4. Saling tergantung: kondisi saling bergantung antara satu individu dengan individu
lainnya
Titik tengah:
1. Kesendirian (loneliness): kondisi yang dapat diartikan sebagai kesepian, merasa sedih,
dan menganggap dirinya sendirian dalam mengahdapi masalah, cenderung pemalu, tidak
percaya diri, dan kurang bergaul
2. Menarik diri: individu mengalami kesulitan dalam membina hubungan sosial secara
terbuka untuk mencari ketenangan jangka pendek
3. Tergantung: individu mengalami kegagalan dalam mengembangkan rasa percaya diri
atau kemampuan yang dimiliki
Respon maladaptif:
1. Manipulasi: individu memperlakukan orang lain sebagai objek, hubungan berorientasi
pada tujuan tertentu
2. Impulsif: individu tidak mampu merencanakan suatu hal, tidak mampu belajar dari
pengalaman, memiliki penilaian buruk dan cenderung memaksa kehendak
3. Narsisme: individu yang memiliki sikap iri hati, harga diri rapuh, egosentris, berusaha
konstan mencari pujian dan penghargaan, serta marah saat tidak memperoleh dukungan.

E. KONDISI YANG TERKAIT


1. Penyakit/ kondisi fisik (mis. Obesitas, Kanker, Tuberculosis, AIDS, Hepatitis,
Alzheimer)
2. Kondisi yang menyebabkan gangguan mobilisasi (misal akibat kecelakaan atau
bencana, cacat akibat amputasi atau radang sendi)
3. Gangguan psikiatri (misal ansietas ekstrem, paranoid, depresi, psikotik akut,
skizofrenia, fobia, gangguan afektif bipolar, gangguan identitas)

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN ISOLASI SOSIAL

A. PENGKAJIAN
1. Identitas klien
Identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
tanggal masuk, MRS, tanggal pengkajian, alamat, dan lain-lain.
2. Keluhan utama
Alasan pasien masuk dapat dilihat pada rekam medis atau ditanyakan pada
keluarga terkait penyebab keluarga datang ke rumah sakit, apa yang sudah dilakukan
untuk mengatasi masalahnya dan bagaimana hasilnya. Keluhan berupa menyendiri,
komunikasi tidak ada, tidak melakukan kegiatan sehari-hari, dan lainnya.
3. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi meliputi riwayat gangguan jiwa masa lalu serta pengobatan
yang pernah dilakukan. Biasanya disebabkan karena pasien pernah mengalami atau
menyaksikan penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan, KDRT, dan
tindakan kriminal. Selain itu juga karena ada riwayat anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa atau pengalaman yang kurang menyenangkan di masa lalu.
4. Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan pengkajian tanda-tanda vital, pemeriksaan
head to toe, dan pemeriksaan sistem organ sesuai keluhan.
5. Psikososial
a. Genogram
Menjelaskan apakah ada keluarga yang mengalamai gangguan jiwa, pola
komunikasi terganggu, pengambilan keputusan atau pola asuh. Genogram
menggambarkan 3 generasi sebelumnya.
b. Konsep diri
1) Citra tubuh
Persepsi pasien terhadap tubuhnya, bagian tubuh yang disukai dan tidak
disukai serta penerimaan atau penolakan terhadap perubahan tubuh yang terjadi.
2) Identitas diri
Penjelasan tentang status klien, keputusasaan klien sebagai laki-laki atau
perempuan dan kepuasan terhadap status dan posisi di kelompok, misalnya sukar
mengambil keputusan atau ketidakpastian memandang diri sendiri.
3) Peran diri
Kemampuan klien dalam melaksanakan tugas atau perannya, biasanya
mengalami krisis peran baik yang disebabkan oleh perubahan karena penyakit
maupun hal lain seperti putus sekolah.
4) Ideal diri
Mengungkapkan harapan klien terhadap kedaan tubuh yang ideal, tugas
atau peran dalam keluarga, dan lingkungan masyarakat.
5) Harga diri
Perasaan malu klien terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri
sendiri, gangguan hubungan sosial, merendahkan martabat, mencederai diri dan
kurang percaya diri.
6. Hubungan sosial
Klien apastis, tidak mempunyai orang terdekat dan sering dicemooh oleh
lingkungan sekitar.
7. Spiritual
Klien memiliki keyakinan, namun jarang melakukan ibadah karena kurang
menghiaukan manfaat spiritual beribadah.
8. Status mental
Status mental meliputi penampilan, cara bicara, aktivitas motorik, alam perasaan,
afek, interaksi dalam wawancara, persepsi, proses pikir, kesadaran, konsentrasi dan
berhitung, kemampuan penilaian, dan daya tiltik diri.
9. Kebutuhan persiapan pulang
Pengkajian kebutuhan perispan pulang klien meliputi makan, mandi, BAB/BAK,
berpakaian, istirahat, penggunaan obat, dan aktivitas dalam rumah.
10. Mekanisme koping
Pengkajian mekanisme koping meliputi adaptif, maladaptif, masalah psikososial
dan lingkungan, serta pengetahuan.
11. Aspek medik
Tindakan medik dalam memberikan asuhan keperawatan melalui terapi electro
convulsive therapy (ECT) dan obat-obatan seperti clopromazine (CPZ), Haloperidol
(HLP), dan Trihexpenidyl (THP).

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Pohon masalah

Menurut Prabowo (2016), diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien
dengan isolasi sosial antara lain:
1. Halusinasi
2. Isolasi sosial
3. Harga diri rendah
C. INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI

Tindakan pada
Tindakan pada
Tindakan pada klien keluarga atau Care
kelompok klien
Giver klien
Sp 1 1. Bantu klien dalam 1. Mengidentifikasi Sesi 1
mengidentifikasi dan masalah yang dialami Kemampuan
mengenal masalah keluarga saat merawat memperkenalkan
isolasi sosial (penyebab, klien diri
tanda dan gejala, 2. Edukasi tentang 1. Klien mampu
keuntungan penyebab, proses menyebutkan nama
bersosialisasi dan terjadinya, tanda dan lengkap, nama
kerugian tidak gejala, erta dampak panggilan, asal, dan
berinteraksi) dari isolasi sosial hobi
2. Latih klien berkenalan 3. Edukasi menciptakan 2. Klien mampu
dengan perawat dengan lingkungan yang menanyakan jati
cara yang baik kondusif diri anggota
(perawatan di rumah 4. Edukasi cara merawat kelompok lain:
sakit) klien untuk melatih nama lengkap,
3. Latih klien bercakap- klien bersosialisasi nama panggilan,
cakap dengan salah satu bertahap asal, dan hobi
anggota keluarga 5. Latih cara merawat
dengan baik ketika klien dengan cara Sesi 2
melakukan harian di bercakap-cakap saat Kemampuan
rumah (perawatan di melibatkannya dalam berkenalan dengan
rumah) kegiatan rumah tangga anggota kelompok
4. Beri pujian positif 6. Edukasi membantu terapi
setiap keberhasilan klien melaksanakan Klien mampu
latihan kemampuan jadwal latihan dalam memperkenalkan diri
yang dilakukan klien segala kegiatan harian dan menanyakan
5. Bantu klien menyusun 7. Edukasi tentang tanda anggota kelompok
jadwal kegiatan latihan dan gejala apabila lainnya (nama
bercakap-cakap terjadi kekambuhan lengkap, nama
untuk segera dirujuk panggilan, asal, dan
hobi)

Sp 2 1. Evaluasi jadwal dan 1. Evaluasi kegiatan sp 1 Sesi 3


kemampuan klien dan beri pujian untuk Kemampuan
latihan sp 1 dan beri setiap keberhasilan bercakap-cakap
pujian setiap kali klien 2. Latih keluarga dengan anggota
berhasil melakukannya membantu klien kelompok terapi
2. Latih klien berinteraksi bercakap-cakap dalam tentang topik umum
dengan 2 orang/anggota keterlibatan kegiatan1. Klien mampu
keluarga lain secara rumah tangga mengajukan
bertahap/ketika 3. Edukasi untuk pertanyaan tentang
melakukan kegiatan membantu klien kehidupan pribadi
harian di rumah melaksanakan jadwal kepada satu orang
3. Beri pujian positif kegiatan harian daam kelompok
setiap keberhasilan 4. Edukasi tentang tanda2. Klien mampu
latihan kemampuan dan gejala apabila menjawab
yang dilakukan klien terjadi kekambuhan pertanyaan tentang
4. Bantu klien menyusun untuk segera dirujuk kehidupan pribadi
jadwal kegiatan latihan Sesi 4
bercaka-cakap kedalam Kemampuan
kegiatan latihan bercakap-cakap
bersosialisasi dengan anggota
kelompok terapi
tentang topik
percakapan
1. Klien mampu
menceritakan topik
yang ingin
disampaikan
2. Klien mampu
memilih topik yang
ingin disampaikan
Klien mampu
memberi pendapat
tentang topik yang
ingin disampaikan
Sp 3 1. Evaluasi jadwal dan 1. Evaluasi kegiatan sp Sesi 5
kemampuan klien 1 dan sp 2, serta Kemampuan
latihan sp 1 dan sp 2, berikan pujian untuk bercakap-cakap
serta beri beri pujian keberhasilan dengan anggota
setiap klien berhasil 2. Latih keluarga untuk kelompok terapi
melakukannya memberikan tentang topik
2. Latih klien berinteraksi kesempatan pada masalah pribadi
dengan 3-4 orang lain klien melakukan dengan orang lain
secara bertahap/ketika kegiatan rumah 1. Klien mampu
melakukan kegiatan tangga yang menyampaikan
harian di rumah melibatkan orang masalah pribadi
3. Beri pujian positif lain seperti 2. Klien mampu
setiap keberhasilan berbelanja ke warung memilih satu
latihan kemampuan 3. Edukasi untuk masalah pribadi
yang dilakukan klien membantu klien yang ingin
4. Bantu klien menyusun melaksanakan jadwal didiskusikan
jadwal kegiatan latihan kegiatan harian 3. Klien mampu
bercakap-cakap 4. Edukasi tentang memberi pendapat
kegiatan latihan tanda dan gejala tentang topik yang
bersosialisasi terjadi kekambuhan dipilih
untuk segera dirujuk
Sp 4 1. Evaluasi jadwal dan 1. Evaluasi kegiatan sp Sesi 6
kemampuan klien 1, sp2, dan sp 3, serta Kemampuan bekerja
latihan sp 1, sp 2, dan berikan pujian untuk sama dalam
sp 3 serta beri pujian setiap keberhasilan permainan sosialisasi
setiap klien berhasil 2. Latih keluarga untuk kelompok
melakukannya membantu klien 1. Klien mampu
2. Latih klien terlibat bersosialisasi dengan bertanya dan
dalam kegiatan masyarakat secara meminta sesuai
kelompok seperti terapi berkelompok seperti kebutuhan anggota
aktivitas kelompok, kerja bakti atau kelompok lain
posyandu kesehatan pengajian 2. Klien mampu
jiwa, dan kegiatan 3. Beri dukungan menjawab dan
masyarakat seperti kerja positif setiap memberi sesuai
bakti atau pengajian keberhasilan latihan dengan permintaan
3. Beri dukungan positif kemampuan Sesi 7
setiap keberhasilan yangdilakukan Evaluasi kemampuan
latihan kemampuan keluarga klien bersosialisasi dengan
yang dilakukan klien 4. Edukasi tentang cara menyampaikan
tanda dan gejala pendapat tentang
kekambuhan agar manfaat kegiatan
dapat segera dirujuk TAKS yang telah
dilakukan
Klien mampu
menyampaikan
manfaat kegiatan
TAKS

D. EVALUASI
1. Evaluasi tindakan keperawatan pada klien dengan isolasi sosial
a. Kemampuan klien untuk mengatasi masalah isolasi sosial
b. Kemampuan klien bersosialisasi secara bertahap dengan baik di dalam keluarga atau
kelompok masyarakat
c. Kemampuan klien melatih diri berkomunikasi dengan baik
2. Evaluasi tindakan keperawatan pada keluarga klien dengan isolasi sosial
a. Kemampuan keluarga mengidentifikasi maslaah dalam merawat klien dengan isolasi
sosial
b. Kemampuan keluarga merawat pasien dengan isolasi sosial
c. Kemampuan keluarga mengenal tanda dan gejala kekambuhan serta melakukan
rujukan
d. Kemampuan keluarga melaukan follow up perawatan ke fasilitas pelayanan
kesehatan
e. Kemampuan keluarga melakukan manajemen stress dalam merawat klien dengan
isolasi sosial
Referensi
Keliat, B. A. et al. (2019). Asuhan keperawatan jiwa. Jakarta: EGC.

PPNI. (2016). Standar diagnosis keperawatan indonesia. DPP PPNI.

Prabowo, E. (2016). Konsep dan aplikasi asuhan keperawatan jiwa. Nuha Medika

Supiganto, A., Yani, A. L., Kuswanto., Darmawan., Paula, V., Marliana, T., Nasution, R. A.,
Mukarromah, I., Agustine, U., Florensa, M. V. A., Nompo, R. S., Mukhoirotin., Mawarti,
H., Jaya, M. A. (2021). Keperawatan jiwa dasar. Yayasan kita menulis
Townsend, M.C. (2014). Essentials of Psychiatric Mental Health Nursing Concepts of care in
Evidence-Based Practice. Sixth Edition. Philadelphia, F.A. Davis Company.
Widodo, D., Juairiah., Sumantrie, P., Siringoringo, S. N., Pragholapati, A., Purnawinadi, I, G.,
Manurung, A., Kadang, Y., Anggraini, N., Hardiyanti., Widiastuti, S. H., Sari, T. H.,
Nasution, R. A. (2022). Keperawatan Jiwa. Yayasan kita menulis

Widyawati, W. (2020). Keperawatan Jiwa. Malang: Literasi Nusantara


ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN
RESIKO BUNUH DIRI DI RUMAH SAKIT JIWA ACEH

Oleh:

ZALFIANA SYANIA
2212501010010

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM - BANDA ACEH
TAHUN 2022
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO BUNUH DIRI

A. Pengertian

Risiko bunuh diri adalah rentan terhadap menyakiti diri sendiri dan cedera yang

mengancam jiwa (NANDA I, 2018). Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak

diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan. Bunuh diri merupakan keputusan terakhir

dari individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Captain, 2008). Menurut

Sheidman dalam Videbeck (2008) mendefenisikan dua kategori bunuh diri, langsung dan

tidak langsung. Bunuh diri langsung adalah tindakan yang disadari dan disengaja untuk

mengakhiri hidup seperti membakar diri. Bunuh diri tidak langsung adalah keinginan

tersenbunyi yang tidak disadari untuk mati, yang ditandai dengan perilaku kronis

beresiko seperti penyalahgunaan zat, makanan berlebihan dan sebagainya.

B. Jenis-Jenis Bunuh Diri

Menurut Durkheim, bunuh diri dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:


1. Bunuh diri egoistic (faktor dalam diri seseorang)
Individu tidak mampu berinteraksi dengan masyarakat, ini disebabkan oleh
kondisikebudayaan atau karena masyarakat yang menjadikan individu itu seolah-olah
tidak berkepribadian.Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat menerangkan
mengapa merekatidak menikah lebih rentan untuk melakukan percobaan bunuh diri
dibandingkan merekayang menikah.
2. Bunuh diri altruistic (terkait kehormatan seseorang)
Individu terkait pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk bunuh diri
karenaindentifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa kelompok tersebut
sangatmengharapkannya.
3. Bunuh diri anomik (faktor lingkungan dan tekanan)
Hal ini terjadi bila terdapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu dan
masyarakat,sehingga individu tersebut meninggalkan norma-norma kelakuan yang
biasa. Individukehilangan pegangan dan tujuan.Masyarakat atau kelompoknya tidak
memberikan kepuasan padanya karena tidak ada pengaturan atau pengawasan
terhadap kebutuhan-kebutuhannya.
Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh klien untuk mengakhiri
kehidupannya. Berdasarkan besarnya kemungkinan klien melakukan bunuh diri, ada tiga
macam perilaku bunuh diri yang perlu diperhatikan yaitu:
1) Isyarat bunuh diri
Isyarat bunuh diri ditunjukkan dengan berperilaku secara tidak langsung ingin bunuh
diri, misalnya dengan mengatakan: ”Tolong jaga anak- anak karena saya akan pergi
jauh!” atau“Segala sesuatu akan lebih baik tanpa saya.” Pada kondisi ini
klien mungkin sudah memiliki ide untuk mengakhiri hidupnya, namun tidakdisertai
dengan ancaman dan percobaan bunuh diri. Klien umumnya
mengungkapkan perasaan seperti rasa bersalah/ sedih/ marah/ putus asa/ tidak
berdaya. Klien jugamengungkapkan hal-hal negatif tentang diri sendiri yang
menggambarkan harga diri rendah.
2) Ancaman bunuh diri
Ancaman bunuh diri umumnya diucapkan oleh klien, berisi keinginan untuk mati
disertai dengan rencana untuk mengakhiri kehidupan dan persiapan alat untuk
melaksanakan rencana tersebut.Secara aktif klien telah memikirkan rencana bunuh
diri, namun tidak disertai dengan percobaan bunuh diri.Walaupun dalam kondisi ini
klien belum pernah mencoba bunuh diri, pengawasan ketat harus
dilaksanakan.Kesempatan sedikit saja dapat dimanfaatkan klien untuk melaksanakan
rencana bunuh dirinya.
3) Percobaan bunuh diri
Percobaan bunuh diri merupakan tindakan klien mencederai atau melukai diri
untukmengakhiri kehidupannya. Pada kondisi ini, klien aktif mencoba bunuh diri
dengan caragantung diri, minum racun, memotong urat nadi, atau menjatuhkan diri
dari tempat tinggi.

C. Tahap-Tahap Resiko Bunuh Diri

1. Suicidal Ideation

Sebuah metode yang digunakan tanpa melakukan aksi atau tindakan, bahkan klien

pada tahap ini tidak akan menungkapkan idenya apabila tidak di tekan.

2. Suicidal Intent

Pada tahap ini klien mulai berfikir dan sudah melakukan perencanaan yang

konkrit untuk melakukan bunuh diri

3. Suicidal Threat

Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan dan hasrat yang dalam

bahkan ancaman untuk mengakhiri hidupnya.

4. Suicidal Gesture

Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif yang diarahkan pada diri

sendiri yang bertujuan tidak hanya mengancam kehidupannya, tetapi sudah oada

percobaan untuk melakukan bunuh diri.

5. Suicidal Attempt
Pada tahap ini perilaku destruktif klien mempunyai indikasi individu yang ingin
mati dan tidak mau diselamatkan.Misalnya, minum obat yang mematikan.
D. Tanda dan Gejala

Menurut Fitria (2009), tanda dan gejala dari resiko bunuh diri adalah :

1. Mempunyai ide untuk bunuh diri.

2. Mengungkapkan keinginan untuk mati.

3. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan.


4. Impulsif.

5. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh).

6. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri.

7. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obat dosis

mematikan).

8. Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panic, marah dan

mengasingkan diri).

9. Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang depresi,

psikosis dan menyalahgunakan alcohol).

10. Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronik atau terminal).

11. Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami kegagalan

dalam karier).

12. Umur 15-19 tahun atau diatas 45 tahun.

13. Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).

14. Pekerjaan.

15. Konflik interpersonal.

16. Latar belakang keluarga.

17. Orientasi seksual.

18. Sumber-sumber personal.

19. Sumber-sumber sosial

20. Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.


E. Etiologi
 Predisposisi
1. Teori genetic
a. Genetik
Prilaku bunuh diri menurut shadock (2011) serta Varcarolis dan Hitler (2010)
merupakan sesuatu yang di turunkan dalam keluarga kembar monozigot memiliki
reriko dalam melakukan bunuh diri stuard (2016).
b. Hubungan neurokimia
Nourotransmiter adalah zat kimia dalam otak dari sel ke saraf , peningkatan dan
penurunan neuro transmiter mengakibatkan perubahan pada prilaku.
Neurotrasmiter yg yang di kaitkan dengan prilaku bunuh diri adalah dopamine,
neuroepineprin, asetilkolin, asam amino dan gaba (Stuard, 2016).
c. Diagnosis psikiatri
Lebih dari 90 % orang dewasa yg mengahiri hidupnya dengan bunuh diri
mengalami gangguan jiwa.
Gangguan jiwa yang beriko menimbulkan individu untuk bunuh diri adalah
gangguan modd , penyalah gunaan zat , skizofrenia , dan gangguan kecemasan
(Stuard, 2016).
2. Faktor psikologi
a. Kebencian terhadap diri sendiri
Bunuh diri merupakan hasil dari bentuk penyerangan ataw kemarahan terhaapp
orang lain yang tidsk di trima dan di mannifestasikan atau di tunjuksn pada diri
sendiri (Videbeck, 2011).
b. Ciri kepribadian
Keempat aspek kepribadian yg terkait dengan peningkatan resiko bunuh diri
adalah permusuhan, impulsive, depresi dan putus asa (Stuard, 2016).
c. Teori psikodinamika
Menyatakan bahwa depresi kaarna kehilangan suatu yang di cintai, rasa
keputusasaan, kesepian dan kehilangan harga diri (Shadock, 2011).
 Presipitasi
Faktor pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh diri adalah:
1. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan
interpersonal/gagal melakukan hubungan yang berarti.
2. Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stres.
3. Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri
sendiri.
4. Cara untuk mengakhiri keputusan.

F. Rentang Respon

Adaptif Maladaptif

Peningkatan Berisiko Perilaku Pencederaan Bunuh diri


diri destruktif destruktif diri
diri tidak
langsung

Keterangan:
1. Peningkatan diri: seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahan diri
secarawajar terhadap situasional yang membutuhkan pertahan diri.
2. Beresiko destruktif: seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko
mengalami perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap situasi yang 
seharusnyadapat mempertahankan diri, seperti seseorang merasa patah semangat
bekerja ketika dirinya dianggap tidak loyal terhadap pimpinan padahal sudah
melakukan pekerjaan secara optimal.
3. Destruktif diri tidak langsung: seseorang telahmengambil sikap yang kurang tepat
terhadap situasi yangmembutuhkan dirinya untuk mempertahankan diri.
4. Pencederaan Diri: seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau pencederaan
diriakibat hilangnya harapan terhadapsituasi yang ada.
5. Bunuh diri: seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan
nyawanya hilang.
G. Pengkajian

1. Identitas klien
Meliputi nama klien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, tanggal
MRS (masuk rumah sakit), informan, tanggal pengkajian, No. Rumah Sakit dan
alamat klien.
2. Keluhan utama
Tanyakan pada keluarga/klien hal yang menyebabkan klien dan keluarga datang
ke rumah sakit. Yang telah dilakukan keluarga untuk mengatasi masalah, dan
perkembangan yang dicapai.
3. Faktor predisposisi
Tanyakan pada klien/keluarga, apakah klien pernah mengalami gangguan jiwa
pada masa lalu, pernah melakukan atau mengalami penganiayaan fisik, seksual,
penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam keluarga dan tindakan kriminal. Dan
pengkajiannya meliputi psikologis, biologis, dan sosial budaya.
4. Aspek fisik/biologis
Hasil pengukuran tanda-tanda vital (TD, Nadi, Suhu, Pernafasan, TB, BB) dan
keluhan fisik yang dialami oleh klien.
5. Aspek psikososial
a. Genogram yang menggambarkan tiga generasi
b. Konsep diri
c. Hubungan social dengan orang lain yang terdekat dalam kehidupan, kelompok,
yang diikuti dalam masyarakat
d. Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan ibadah
6. Status mental
Nilai klien rapi atau tidak, amati pembicaraan klien, aktivitas motorik klien, afek
klien, interaksi selama wawancara, persepsi, proses pikir, isi pikir, tingkat
kesadaran, memori, tingkat konsentrasi, dan berhitung.
7. Kebutuhan persiapan pulang
a. Kemampuan makan klien dan menyiapkan serta merapikan lat makan kembali.
b. Kemampuan BAB, BAK, menggunakan dan membersihkan WC serta
membersihkan dan merapikan pakaian.
c. Mandi dan cara berpakaian klien tampak rapi.
d. Istirahat tidur kilien, aktivitas didalam dan diluar rumah.
e. Pantau penggunaan obat dan tanyakan reaksinya setelah diminum.
8. Mekanisme koping
Malas beraktivitas, sulit percaya dengan orang lain dan asyik dengan stimulus
internal, menjelaskan suatu perubahan persepsi dengan mengalihkan tanggung
jawab kepada orang lain.
9. Masalah psikososial dan lingkungan
Masalah berkenaan dengan ekonomi, dukungan kelompok, lingkungan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, dan pelayanan kesehatan.
10. Pengetahuan
Didapat dengan wawancara klien dan disimpulkan dalam masalah.
11. Aspek medik
Diagnose medis yang telah dirumuskan dokter, therapy farmakologi, psikomotor,
okopasional, TAK dan rehabilitas.
12. Isyarat bunuh diri
Klien sudah memiliki ide untuk mengakhiri hidupnya, namun tidak disertai
dengan ancaman dan percobaan bunuh diri.
Data subjektif :
a. Tolong jaga anak-anak karena saya akan pergi jauh! “atau “Segala sesuatu akan
lebih baik tanpa saya.”
b. Mengungkapkan perasaan seperti rasa bersalah/ sedih/marah /putus asa/tidak
berdaya.
c. Mengungkapkan hal-hal negatif tentang diri sendiri yang menggambarkan
harga diri rendah.
Data Objektif :
a. Sedih, murung, marah, nangis, banyak diam, kontak mata kurang, emosi labil,
tidur kurang.
13. Ancaman bunuh diri
Data subjektif :
a. Ungkapan ingin mati diucapkan oleh pasien berisi keinginan untuk mati
b. Ungkapan rencana untuk mengakhiri kehidupan
c. Ungkupan dan tindakan menyiapkan alat untuk melaksanakan rencana tersebut.
Data objektif :
a. Banyak melamun, menyiapkan alat untuk rencana bunuh diri, gelisah, mudah
emosi, sedih, murung, menangis, jalan mondar-mandir.
14. Percobaan bunuh diri
Data subjektif :
a. Mau mati, jangan tolong saya, biarkan saya, saya tidak mau ditolong, emosi
labil.
Data objektif :
a. Klien aktif mencoba bunuh diri dengan cara gantung diri, minum racun,
memotong urat nadi, atau menjatuhkan diri dari tempat yang tinggi,
membenturkan kepala.
H. Diagnosa Keperawatan

Resiko Bunuh Diri

I. Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan

PASIEN
a. SP I
1) Mengidentifikasi penyebab, tanda dan gejala, dan akibat resiko bunuh diri
2) Mengidentifikasi benda-benda yang dapat membahayakan pasien
3) Mengamankan benda-benda yang dapat membahayakan pasien
4) Melakukan kontrak treatment
5) Menganjarkan cara mengendalikan dorongan bunuh diri
6) Melatih cara mengendalikan dorongan bunuh diri
b. SP II
1) Evaluasi jadwal kegiatan harian pasien (kemampuan mengendalikan dorongan
bunuh diri).
2) Mengidentifikasi aspek positif pasien
3) Mendorong pasien untuk berfikir positif terhadap diri
4) Mendorong pasien untuk menghargai diri sebgai individu yang berharga
c. SP III
1) Evaluasi jadwal kegiatan harian pasien (kemampuan mengendalikan dorongan
bunuh diri dan aspek positif).
2) Mengidentifikasi pola koping yang biasa diterapkan pasien
3) Menilai pola koping yang biasa di lakukan
4) Mengidentifikasi pola koping yang kontruktif
5) Mendorong pasien memilih pola koping yang kontruktif
6) Menganjurkan pasien menerapkan pola koping konstruktif dalam kegiatan harian
d. SP IV
1) Evaluasi jadwal kegiatan harian pasien (kemampuan mengendalikan dorongan
bunuh diri dan aspek positif dan penerapan pola koping yang kontruktif).
2) Membuat rencana masa depan yang realita bersama pasien
3) Mengidentifikasi cara mencapai rencana masa depan yang realistis
4) Member dorongan pasien melakukan kegiatan dalam rangka meraih masa depan
yang realistis

KELUARGA
a. SP 1
1) Mendiskusikan masalah yang di rasakan keluarga dalam merawat pasien
2) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala, resiko bunuh diri, dan jenis perilaku
bunuh diri yang dialami pasien beserta proses terjadinya
3) Menjelaskan cara-cara merawat pasien resiko bunuh diri
b. SP II
1) Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan resiko bunuh diri
2) Melatih keluarga melakukan cara merawat lansung kepada pasien risiko bunuh diri
c. SP III
1) Menjelaskan tentang pemanfaatan lingkungan yang mendukung perawatan risiko
bunuh diri
d. SP IV
1) Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat
(discharge planning)
2) Menjelaskan follow up pasien setelah pulang.
Referensi

Fitria,Nita. (2009). Prinsip Dasar dan Aplikasi Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
Nanda-I. (2012). Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2018-2020. Jakarta:
EGC.
Stuart, W. Gail.(2016). Keperawatan Kesehatan Jiwa.Singapore: Elsevier

Videbeck, S.L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC


ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN
PERILAKU KEKERASAN DI RUMAH SAKIT JIWA ACEH

Oleh:

ZALFIANA SYANIA
2212501010010

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM - BANDA ACEH
TAHUN 2022
LAPORAN PENDAHULUAN

PERILAKU KEKERASAN

A. Pengertian
Perilaku kekerasan, kemarahan, atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku
yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun verbal. Perilaku kekerasan
meningkat dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi yaitu diawali dari permusuhan di
tingkat rendah sampai melukai dan membahayakan pada tingkat tinggi (Keliat, 2012).
Menurut subu et al (2018) perilaku kekerasan terkait orang dengan gangguan jiwa
(ODGJ) yang paling banyak dilaporkan. Perilaku kekerasan merupakan keadaan disaat
seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan diri sendiri atau orang lain
secara fisik yang disertai dengan amuk, gelisah dan gaduh yang tak terkontrol. (Malfasari
et al, 2020). Sedangkan menurut PPNI (2016) risiko perilaku kekerasan adalah berisiko
membahayakan diri secara fisik, emosi dan/atau seksual pada diri sendiri dan orang lain
Menurut sudia (2021), perilaku kekerasan merupakan respon maladaptif ketika
seseorang mengalami kemarahan terhadap suatu stressor lingkungan yang tidak dapat di
atasi dan di lampiaskan dengan gerakan motorik yang tidak terkontrol. Dampak dan
perubahan yang sering terlihat orang dengan perilaku kekerasan yaitu perasaan tidak
sabar, cepat marah, berkata kasar, menarik diri dan agresif. (Shifa & Safitri, 2021).

B. Etiologi
Menurut Livina & Suerni (2019) penyebab terjadinya dapat dijelaskan dengan
menggunaan konsep Stuart yang meliputi:
1. Faktor predisposisi (faktor yang melatarbelakangi)
a. faktor genetik
1) adanya anggota keluarga yang sering memperlihatkan atau melakukan
perilaku kekerasan (mengalami kekerasan fisik)
2) riwayat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
3) pernah yang mengalami gangguan jiwa
4) adanya riwayat atau trauma kepala
5) riwayat penggunaan NAPZA.
b. Faktor Psikologis
1) salah satunya karena merasa kehilangan akan suatu hal seperti kehilangan
orang yang dicintai, barang maupun pekerjaan. (saputri, 2016).
2) Menurut stuart (2009) faktor yang mendukung terjadinya perilaku kekerasan
yaitu pribadi yang tertutup. Individu yang introvert lebih sering berkhayal,
merenung dan ragu-ragu dalam mencapai keputusan akhir.
3) Sulit mengunkapkan ide maupun memulai pembicaraan.
4) Jika ada permasalahan selalu dipendam.
5) Sering berpikir negatif
c. Faktor Sosial budaya
1) menurut teori lingkungan sosial menyatakan bahwa lingkungan sosial sangat
mempengaruhi sikap individu dalam mengekspresiasikan marah.
2) Putus sekolah atau berpendidikan rendah.
3) Kegagalan dalam pekerjaan.
4) Sosial ekonomi cukup atau kurang.
2. Faktor presipitasi (faktor yang memicu adanya masalah)
Menurut Muthith (2015) faktor presipitasi bersumber dari klien, lingkungan
dan interaksi dengan orang lain.
a. Klien: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kurang percaya diri.
b. Lingkungan: rebut, kehilangan orang atau objek yang berharga, konflik interaksi
sosila.

Adapun menurut (Kandar & Iswanti, 2019) terdapat beberapa factor pencetus
yang menyebabkan terjadinya perilaku kekerasan, adalah:

1) Faktor genetik, putus obat merupakan factor pencetus pasien mengalami perilaku
kekerasan
2) Faktor psikologis, yaitu konsep diri, tidak diterima dilingkungan sekitar
3) Faktor sosial budaya yaitu ketidakharmonisan lingkuangan tempat tinggal membuat
diri ingin marah dan berbicar kasar.
C. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala prilaku kekerasan berdasarkan asuhan keperawatan jiwa dengan
masalah risiki perilaku kekerasan (Keliat et al, 2019; Pardede, 2020):
Subjektif:
1. Mengungkapkan kekesalan atau marah
2. Mempunyai keinginan melukai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
3. Suka membentak orang lain.

Objektif
1. Mata melotot dengan pandangan tajam
2. Wajah memerah
3. Rahang mengatup dan menggepalkan tangan
4. Postur tubuh kaku
5. Mengancam dan mengumpat dengan kata-kata kasar
6. Suara keras
7. Berbicara kasar dan ketus
8. Suka menyerang orang lain dan melukai diri sendiri dan orang lain
9. Merusak lingkungan sekitar
10. Amuk dan agresif

D. Mekanisme koping
Mekanisme koping yang umum digunakan yaitu mekanisme koping ego (Yosep, 2011):
1. Displacement yaitu melepaskan perasaan tertekanyang biasanya bermusuhan pada
objek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada awalnya memunculkan emosi.
2. Proyeksi yaitu menyalahkan orang lain mengenai keinginan yang tidak terpenuhi.
3. Depresi yaitu menekankan perasaan orang lain yang menyakitkan atau konflik
ingatan yang cenderung memperluas mekanisme ego lainnya
4. Reaksi formasi yaitu pembentukan sikap kesadaran dan pola perilaku yang
berlawanan dengan apa yang benar-benar dilakukan oleh orang lain.
E. Rentang respon Marah

adaptif Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan

Menurut keliat (2016) rentang respon perilaku kekerasan dapat di bagi menjadi:

1. Asertif: kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti diri sendiri, orang lain dan
lingkungan
2. Frustasi: perasaan gagal mencapai tujuan karena tidak realistis atau terlambat
3. Pasif: respon selanjutnya tidak dapat mengungkapkan perasaannya
4. Agresif: perilaku destruktif yang masih dapat dikontrol. Orang agresif biasanya tidak
mau mengetahui hak orang lain. Dia juga berpikir bahwa setiap orang harus
bertarung untuk mendapatkan kepentingan sendiri dan menginginkan perlakuan
sesuai yang diharapkan oleh dirinya dari orang lain
5. Kekerasan: perilaku destruktif dan tidak terkontrol, yaitu rasa marah dan bermusuhan
yang kuat diserta kehilangan kontrol akan dirinya. Pada keadaan ini individu dapat
merusak/melukai dirinya sendiri, orang lain dan lingkungan.
F. Pohon diagnosis

Resiko tinggi mencederai orang lain

Perubahan persepsi sensori:


Perilaku kekerasan halusinasi

Proses terapis tidak efektif Gangguan harga diri rendah kronis Isolasi sosial

Koping keluarga tidak efektif Berduka disfungsional

(Yosep, 2011)
G. Asuhan keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
Menurut Yusuf et al (2015) pengkajian pada pasien perilaku kekerasan/marah
secara umum dilakukan triase dengan rapid assessment dan screaning assessment.
Pengkajian meliputi nama, tangal lahir, nomor kartu identitas (KTP, SIM atau
paspor), alamat, nomor atau kontak yang bisa dihubungi, serta tanda-tand vital.
Adapun pengkajian keperawatan intensif pada pasien dengan perilaku kekerasan
atau marah meliputi empat aspek yaitu verbal, emosi, fisik, dan verbal. Adapun skala
penilaian sebagai berikut:
a. Skala GAF
1) Skor 11-20: kondisi yang menyebabkan diri sendiri dan orang lain seperti
bunuh diri (kekerasan, marah, amuk, manik, ketidakmampuan melakukan
perawatan diri yang sederhana seperti cebok setelah BAB, adanya hambatan
dalam berhubungan sosial atau berkomunikasi seperti pembicaraan yang
inkoheren dan membisu)
2) Skor 1-10: menunjukkan adanya perilaku yang membahayakan diri sendiri
dan orang lain yang menetap (perilaku kekerasan yang rekuren, agitasi,
ketidakmampuan melakukan kebersihan diri, melakukan tindakan bunuh diri
dan tidak ada harapan)
b. Skala RUFA
Pembagian skor nilai untuk skala RUFA:

no Nilai / skor Ruang Waktu


1 1-10 Intensif I 24 jam pertama
2 11-20 Intensif II 24-72 jam pertama
3 21-30 Intensif III 72 jam – 10 hari
Adapun pengkajian keperawatan pada klien dengan masalah perilaku
kekerasan/marah dengan skala RUFA adalah sebagai berikut:

Aspek Verbal Emosi Fisik Perilaku


Intensif I/24 Nada bicara Labil, ekpresi Wajah terlihat Mencederai
jam/skor 1-10 tinggi, berkata wajah tegang, memerah, diri sendiri,
kasar, cepat sorotan mata orang lain dan
mengucapkan tersinggung, tajam, lingkungan
kata-kata mendendam, melotot, nafas sekitar,
menghina, maraha-marah pendek, menunjukkan
berdebat dan dan merasa berkeringat, perilaku
menuntut tidak aman tekanan darah amuk,
meningkat bersikap
menentang,
mata terlihat
melotot
Intensif II/24- Nada bicara Labil, ekspresi Sorotan mata Mata terlihat
72 jam/11-20 sedang, wajah tegang, tajam, tekanan melotot, suka
berkata kasar, cepat darah mengancam
mengucapkan tersinggung, meningkat dan menetang
kata-kata memiliki rasa
menghina, mendemdam,
berdebat dan merasa diri
menuntut tidak aman
Intensif III/72 Nada bicara Labil, ekspresi Sorotan mata menetang
jam – 10 hari/ sedang, wajah terlihat tajam, tekanan
21-30 mengucapkan tegang, darah mulai
kata-kata gampang menuru
menghina, tersinggung,
berdebat merasa diri
tidak aman

Pengkajian keperawatan
a. Identitas klien: nama pasien, umur, tanggal lahir, jenis kelamin, status
perkawinan, agama, tanggal masuk rumah sakit, informan, tanggal pengkajian, No
hp atau kontak yang bisa dihubungi dan alamat pasien
b. Keluhan utama
c. Faktor predisposisi: tanyakan pada pasien apakah pasien pernah mengalami
gangguan jiwa sebelumnya, pernah atau mengalami penganiayaan fisik, seksual,
penolakan di lingkungan, kekerasan dalam rumah tangga dan tindakan kriminal
d. Aspek fisik/biologis: hasil pengukuran tanda-tanda vital (TD, nadi, suhu,
pernapasan, TB, BB) dan keluhan fisik yang dialami
e. Aspek psikososial: genogram tiga generasi, konsep diri, hubungan sosial dengan
orang lain, dan spiritual
f. Status mental: nilai keadaan pasien rapi atau tidak, amati cara berbicara, aktivitas
motorik, afek,interaksi selama wawancara, persepsi, proses pikir, isi pikir, tingkat
kesadaran, memori, tingkat konsentrasi, dan berhitung
g. Kebutuhan persiapan pulang
h. Mekanisme koping
i. Masalah osikososial dan lingkungan
j. Pengetahuan
k. Aspek medik: diagnosa medis yang sudah ditetapkan oleh dokter , terapi
farmakologis, psikomotor, TAK dan rehabilitasi.

2. Diagnosa Keperawatan (PPNI, 2016)


a. Risiko perilaku kekerasan (D.0146)
b. Risiko mencederai diri sendiri dan orang lain dan lingkungan
c. Gangguan konsep diri: harga diri rendah
d. Isolasi sosial
e. Perubahan persepsi sensori: halusinasi
f. Inefektif proses terapi
g. Koping keluarga inefektif

3. Rencana tindakan keperawatan


Tujuan:
a. Pasien mampu mengidentifikasi penyebab, tanda gejala, serta akibat dari
perilaku kekerasan
b. Mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik 1 tarik napas dalam dan
cara fisik 2 pukul bantal/Kasur
c. Pasien mampu mengontrol perilaku kekerasan dengan cara minum obat
secara teratur
d. Pasien mampu mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal/bicara
baik-baik
e. Pasien mampu mengontrol perilaku kekerasan dengan cara spiritual

Tindakan keperawatan
a. Menjelaskan penyebab, tanda gejala, serta akibat dari perilaku kekerasan
b. Membantu pasien mengidentifikasi rasa marah
c. Melatih pasien tentang cara komunikasi dan mengekspresikan marah
secara tepat
d. Mengajarkan pasien cara mengendalikan resiko perilaku kekerasan
dengan Tarik napas dalam, pukul bantal atau Kasur, senam dan jalan-
jalan di sekitar lingkungan rumah sakit
e. Menjelaskan dan melatih pasien minum obat dengan prinsip 6 benar,
manfaat dan kerugian tidak minum obat
f. Melatih cara verbal/bicara baik-baik serta mengungkapkan perasaan yang
dirasakan
g. Melatih cara mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual seperti
berzikir dan sholat (Untari & Kartina, 2020)

4. Strategi pelaksanaan tindakan keperawatan

Strategi penatalaksanaan pada Strategi penatalaksanaan


pasien pada keluarga
SP I SP I
1) Mengidentifikasi 1) Mendiskusikan masalah
penyebab perilaku yang dirasakan keluarga
kekerasan pasien dalam merawat
2) Mengidentifikasi tanda pasien
dan gejala perilaku 2) Menjelaskan
kekerasan pengertian, tanda dan
3) Mengidentifikasi perilaku gejala perilaku
kekerasan yang dilakukan kekerasan, dan beserta
4) Mengidentifikasi akibat proses terjadinya
perilaku kekerasan 3) Menjelaskan cara-cara
5) Menyebutkan cara merawat pasien
mengontrol perilaku perilaku kekerasan
kekerasan dengan fisik 1
dan fisik 2
6) Membantu pasien
mempraktikkan latihan
cara mengontrol fisik 1
dan fisik 2
7) Menganjurkan pasien
memasukkan latihan fisik
1 dan fisik 2 dalam
kegiatan sehari-hari

SP II SP II
1) Mengevaluasi jadwal 1) Melatih keluarga
kegiatan harian pasien mempraktikan cara
2) Melatih mengontrol merawat pasien dengan
perilaku kekerasan perilaku kekerasan
dengan cara minum obat 2) Melatih keluarga
3) Menganjurkan pasien melakukan cara
memasukkan jadwal merawat langsung
minum obat ke dalam kepada pasien PK
kegiatan harian

SP III SP III
1) Mengevaluasi jadwal 1) Menjelaskan tentang
harian pasien pemanfaatan
2) Melatih pasien lingkungan yang
mengontrol perilaku mendukung perawatan
kekerasan secara verbal pasien perilaku
3) Menganjurkan pasien kekerasan
memasukkan kegiatan
yang sudah diajarkan ke
dalam jadwal harian
pasien

SP IV SP IV
1) Mengavaluasi jadwal 1) Membantu keluarga
kegiatan harian pasien membuat jadwal
2) Melatih pasien aktivitas di rumah
mengontrol perilaku termasuk minum obat
kekerasan dengan cara (discharge palnning)
spiritual 2) Menjelaskan follow up
3) Menganjurkan pasien pasien setelah pulang
memasukkan kegiatan
tersebut ke dalam jadwal
kegiatan harian pasien

5. Implementasi Keperawatan

Tindakan keperawatan dilakukan dengan mengacu pada rencana


tindakan/intervensi keperawatan yang telah ditetapkan/dibuat.

6. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi keperawatan dilakukan untuk menilai apakah masalah keperawatan


telah teratasi, tidak teratasi atau teratasi sebagian dengan mengacu pada kriteria
hasil yang di targetkan pada intervensi keperawatan. Evaluasi menggunakan
SOAP.
Referensi
Kandar, I., Iswanti, D.I (2019). Factor predispitasi pasien risiko perilaku kekerasan. Ilmu
Keperawatan Jiwa. 2(3), 149. http://doi.org/10.32584/jikj.v2i3.226

Keliat, B.A. (2016). Marah Akibat Penyakit Yang Diderita. Jakarta: EGC

Keliat, A. B.(2012). Kesehatan Jiwa Stuart. Jakarta:Salemba Medika.

Keliat, B.A. et al. (2019). Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Livana, P.H., Suerni. T. (2019). Faktor Predisposisi pasien risiko perilaku kekerasan, Jurnal
ilmiah kesehatan jiwa volume 1 no 1, hal 27-38, Desember 2019.
Http://jurnal.rsamino.jatengprov.go.id/index.php/JIKJ/article/view/4

Malfasari, E., Febtrina, R., Maulinda, D., & Amimi, R. (2020). Analisis Tanda dan Gejala
Resiko Perilaku Kekerasan pada Pasien Skizofrenia. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 3(1), 65-
74.

Muthit, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa (Teri dan Aplikasi). Yogyakarta:


Penertbit Andi

Pardede, J. A., Simanjuntak, G. V., & Laia, R. (2020). The Symptoms of Risk of Violence
Behavior Decline after Given Prgressive Muscle Relaxation Therapy on Schizophrenia
Patients. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 3(2), 91-100.
http://dx.doi.org/10.32584/jikj.v3i2.534

Pardede, J. A. (2020). Standar Asuhan Keperawatan Jiwa Dengan Masalah Risiko Perilaku
Kekerasan. doi: 10.31219/osf.io/we7zm

PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. DPP PPNI.

Subu, M. A., Waluyo, I., Nurdin, A. E., Priscilla, V., & Aprina, T. (2018). Stigma, stigmatisasi,
perilaku kekerasan dan ketakutan diantara orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di
Indonesia: Penelitian constructivist grounded theory. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 30(1),
53-60.
Sudia, B. T. (2021). Aplikasi Terapi Relaksasi Nafas Dalam terhadap Pengontrolan Marah
dengan Pasien Gangguan Jiwa Resiko Perilaku Kekerasan di Wilayah Desa Maleber
Kabupaten Cianjur. Lentera: Jurnal Ilmiah Kesehatan dan Keperawatan, 4(1), 1-5.

Saputri, A. I. (2016). Analisis Faktor Predisposisi Dan Presisipitasi Gangguan Jiwa di Ruang
Instalasi Gawatdarurat RSJD Surakarta, NaskahPublikasi, 1-11. Di unduh
darihttp://eprints.ums.ac.id/44990/

Shifa, N.A., & Safitri, A. (2021). Studi KAsus ASuhan Keperawatan pada Orang dengan
Ganggua Jiwa dengan Perilaku Kekerasan. Journal of Nursing Education and Practice,
1(01).

Untari, S. N. Kartina. I. (2020). Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Pasien dengan Resiko Perilaku
Kekerasan. Jurnal Universitas Kusuma Husada

Yosep, Iyus. (2011). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Yusuf, A., Fitriyasari, R., Nihayati, H. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakrta:
Salemba Medika
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN
HARGA DIRI RENDAH DI RUMAH SAKIT JIWA ACEH

Oleh:

ZALFIANA SYANIA
2212501010010

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM - BANDA ACEH
TAHUN 2022
LAPORAN PENDAHULUAN
HARGA DIRI RENDAH
A. Pengertian
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang
berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadap diri sendiri atau kemampuan diri.
Adanya perasaan hilang kepercayaan diri, merasa gagal karena tidak mampu mencapai
keinginan sesuai ideal diri (Yosep, 2010).
Harga diri rendah adalah kondisi dimana seseorang menilai keberadaan dirinya lebih
rendah dibandingkan orang lain yang berpikir hal negatif diri sendiri sebagai individu yang
gagal, tidak mampu, dan tidak berprestasi serta melihat lingkungannya dengan cara negatif
dan mengganggap sebagai ancaman (Keliat, 2011). Gangguan harga diri rendah digambarkan
sebagai perasaan yang negatif terhadap diri sendiri, termasuk hilangnya kepercayaan diri dan
harga diri serta merasa gagal mencapai keinginan (Stuart & Sundeen, 2016).

B. Etiologi
Menurut Yusuf (2015) Harga diri rendah sering disebabkan karena adanya koping
individu yang tidak efektif akibat adanya kurang umpan balik positif, kurangnya sistem
pendukung, kemunduran perkembangan ego, pengulangan umpan balik yang negatif,
disfungsi sistem keluarga serta terfiksasi pada tahap perkembangan awal.
Sedangkan menurut Stuart & Sundeen (2016) harga diri rendah disebabkan oleh beberapa
faktor.
1. Faktor Prediposisi meliputi:
a. Faktor biologis, adanya faktor herediter anggota keluarga yang mengalami gannguan
jiwa, riwayat penyakit atau trauma kepala
b. Faktor Psikologis, adanya pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan, seperti
penolakan dan harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan berulang, kurang
mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain, penilaian
negatif terhadap gambaran diri, krisis identitas, peran yang terganggu, ideal diri yang
tidak realistis dan pengaruh internal individu.
c. Pengaruh sosial budaya, adanya penilaian negatif dari lingkungan terhadap klien yang
mempengaruhi penilaian klien, sosial ekonomi rendah, riwayat penolakan lingkungan
pada tahap tumbuh kembang dan tingkat pendidikan rendah.
2. Faktor Prepitasi meliputi:
a. Trauma, seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan peristiwa
yang mengancam kehidupan
b. Ketegangan peran, berhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan dan
individu mengalaminya sebagai frustasi yang mana terdiri dari transisi peran
perkembangan, transisi peran situasi, dan transisi peran sehat-sakit.

C. Tanda dan Gejala


Menurut Stuart (2013) tanda dan gejala klien dengan harga diri rendah yaitu:
1. Perasaan malu terhadap diri sendiri adalah akibat penyakit dan akibat tindakan terhadap
penyakit
2. Rasa bersalah terhadap diri sendiri
3. Merendahkan martabat
4. Gangguan hubungan sosial seperti menarik diri
5. Kurang percaya diri
6. Mencederai diri
Sedangkan menurut Carpernito (2013) adalah:
1. Mengkritik diri sendiri
2. Menarik diri dari hubungan sosial
3. Pandangan hidup yang pesimis
4. Perasaan lemah dan takut
5. Penolakan terhadap kemampuan diri sendiri
6. Hidup yang berpolarisasi
7. Pengurangan diri/ mengejek diri sendiri
8. Ketidakmampuan dalam menentukan tujuan
9. Merasionalisasi penolakan
10. Ekspresi wajah malu dan sering merasa bersalah
11. Menunjukkan tanda depresi (sulit tidur dan tidak selera makan)
12. Mengungkapkan tidak berdaya

D. Klasifikasi Harga Diri Rendah


1. Harga diri rendah situasional merupakan trauma yang terjadi tiba-tiba, misalnya harus
dioperasi, kecelakakaan, dicederai, putus hubungan kerja atau ada perasaan malu karena
sesuatu terjadi (pelecehan seksual) (Keliat, 2011).
Harga diri rendah situasional yaitu beresiko mengalami evaluasi atau perasaan negatif
terhadap diri sendiri atau kemampuan klien sebagai respon terhadap situasi saat ini
(SDKI, 2017).
2. Harga diri rendah kronik merupakan perasaan negative terhadap diri yang telah
berlangsung lama, yaitu sebelum sakit atau dirawat klien mempunyai cara berpikir
negatif, kejadian sakit dan rawat akan menambah persepsi negatif terhadap dirinya
(Keliat, 2011). Harga diri rendah kronik adalah evaluasi diri/perasaan negatif tentang diri
sendiri atau kemampuan diri yang berlangsung dalam waktu lama dan terus menerus
minimal tiga bulan (Nanda-I, 2018).

E. Penatalaksaan
Penatalaksanan harga diri rendah menurut Prabowo (2014):
a. Psikofarmaka
Terdiri dari golongan typical (misalnya obat Chlorpromazine HCL, Haloperidol) dan
golongan atypical (misalnya obat Risperidone, Olanzapine, Aripiprazole).
b. Psikoterapi
Terapi kerja baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan orang lain,
penderita lainnya, perawat dan dokter. Maksudnya supaya ia tidak mengasingkan diri lagi
karena bila ia menarik diri ia dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik. Dianjurkan
untuk mengadakan permainan atau latihan bersama.
c. Terapi Modalitas
Terapi modalitas atau perilaku merupakan pengobatan untuk skizofrenia yang ditujukan
pada kemampuan dan kekurangan pasien. Teknik perilaku menggunakan latihan
keterampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial. Kemampuan memenuhi diri
sendiri dan latihan praktis dalam komunikasi interpersonal.
Yang paling relevan dilakukan pada individu dengan gangguan konsep diri harga diri
rendah adalah terapi aktivitas kelompok stimulasi dan terkait dengan pengalaman atau
kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok, hasil diskusi kelompok dapat berupa
kesepakatan persepsi atau alternatif penyelesaian masalah.

F. Rentang Respon Konsep Diri


Menurut Stuart dan Sundeen (2013) respon individu terhadap konsep dirinya sepanjang
rentang konsep diri yaitu adaptif dan maladaptif.
Respon adaptif Respon maladaptif

Aktualisasi Konsep diri Harga diri Kerancuan Depersonalisasi


diri positif rendah identitas

G. Pohon Masalah

Risiko perilaku kekerasan

Perubahan persepsi sensori: Halusinasi

Isolasi sosial

Harga diri rendah

Koping individu tidak efektif Traumatik tumbuh kembang

H. Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi nama klien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, tanggal MRS
(masuk rumah sakit), informan, tanggal pengkajian, No. Rumah Sakit dan alamat klien.
2. Keluhan utama
Tanyakan pada keluarga/klien hal yang menyebabkan klien dan keluarga datang ke
rumah sakit. Yang telah dilakukan keluarga untuk mengatasi masalah, dan perkembangan
yang dicapai.
3. Faktor predisposisi
4. Tanyakan pada klien/keluarga, apakah klien pernah mengalami gangguan jiwa pada masa
lalu, pernah melakukan atau mengalami penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari
lingkungan, kekerasan dalam keluarga dan tindakan kriminal. Dan pengkajiannya
meliputi psikologis, biologis, dan sosial budaya.
5. Aspek fisik/biologis
Hasil pengukuran tanda-tanda vital (TD, Nadi, Suhu, Pernafasan, TB, BB) dan keluhan
fisik yang dialami oleh klien.
6. Aspek psikososial
a. Genogram yang menggambarkan tiga generasi
b. Konsep diri
c. Hubungan sosial dengan orang lain yang terdekat dalam kehidupan, kelompok, yang
diikuti dalam masyarakat
d. Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan ibadah
7. Status mental
8. Nilai klien rapi atau tidak, amati pembicaraan klien, aktivitas motorik klien, afek klien,
interaksi selama wawancara, persepsi, proses pikir, isi pikir, tingkat kesadaran, memori,
tingkat konsentrasi, dan berhitung.
9. Kebutuhan persiapan pulang
a. Kemampuan makan klien dan menyiapkan serta merapikan lat makan kembali.
b. Kemampuan BAB, BAK, menggunakan dan membersihkan WC serta membersihkan
dan merapikan pakaian.
c. Mandi dan cara berpakaian klien tampak rapi.
d. Istirahat tidur kilien, aktivitas didalam dan diluar rumah.
e. Pantau penggunaan obat dan tanyakan reaksinya setelah diminum.
10. Mekanisme koping
Malas beraktivitas, sulit percaya dengan orang lain dan asyik dengan stimulus internal,
menjelaskan suatu perubahan persepsi dengan mengalihkan tanggung jawab kepada
orang lain.
11. Masalah psikososial dan lingkungan
Masalah berkenaan dengan ekonomi, dukungan kelompok, lingkungan, pendidikan,
pekerjaan, perumahan, dan pelayanan kesehatan.
12. Pengetahuan
Didapat dengan wawancara klien dan disimpulkan dalam masalah.
13. Aspek medik
Diagnose medis yang telah dirumuskan dokter, therapy farmakologi, psikomotor,
okopasional, TAK dan rehabilitas.

a. Data Subjektif:
1. Adanya ungkapan yang menegatifkan diri
2. Mengeluh tidak mampu dilakukan peran dan fungsi sebagai mestinya
3. Ungkapan yang mengkritik diri sendiri, mengejek dan menyalahkan
gunakan diri sendiri.
4. Ungkapan perannya saat ini yang tidak dapat dilaksanakan sebagai
mestinya.
b. Data objektif :
1. Kontak mata kurang, sering menunduk
2. Mudah marah dan tersinggunng
3. Menarik diri
4. Menghindari dari orang lain.
5. Adanya keluhan fisik
6. Perubahan dalam tanggung jawab

I. Diagnosa Keperawatan
1. Harga diri rendah kronik
2. Harga diri rendah situasional
3. Ketidakefektifan koping
4. Hambatan interaksi sosial
J. Strategi Pelaksaan (SP)
Pasien
1. SP I
a. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki pasien
b. Membantu pasien menilai kemampuan pasien yang masih dapat digunakan
c. Membantu pasien memilih kegiatan yang akan dilatih sesuai dengan kemampuan
pasien
d. Melatih pasien kegiatan yang dipilih sesuai kemampuan
e. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
2. SP II
a. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
b. Melatih kegiatan kedua (atau selanjutnya) yang dipilih sesuai kemampuan
c. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
3. SP III
a. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
b. Melatih kegiatan ketiga (atau selanjutnya) yang dipilih sesuai kemampuan
c. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
4. SP IV
a. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya
b. Melatih kemampuan kegiatan keempat yang dipilih
c. Latih kemampuan pertama hingga keempat masing-masing 2 x sehari.
Keluarga
1. SP 1
a. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
b. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala harga diri rendah yang dialami pasien
beserta proses terjadinya
c. Menjelaskan cara-cara merawat pasien harga diri rendah
2. SP II
a. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan harga diri rendah
b. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien harga diri rendah
3. SP III
a. Membantu keluarga membuat jadual aktivitas di rumah termasuk minum obat
(discharge planning)
b. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang.
4. SP IV
a. Melatih keluarga menciptakan suasana keluarga yang mendukung
b. Menjelaskan cara followup ke PSJ/PKM, mengevaluasi tanda kambuh dan melakukan
rujukan ke RSJ/PKM

Referensi
Carpenito-Moyet, L.J. 2013. Nursing Diagnosis Application to Clinical Practice. 14th Ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Eko Prabowo. 2014. Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.
Herdman, T.H. (2018). NANDA International Nursing Diagnoses: definitions and classification
2018-2020. Jakarta: EGC.
Keliat, Budi Anna. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN (Basic Course).
Jakarta. EGC
Stuart, G. W. (2013). Principle and practice of Psychiatric nursing, 10th Edition. St. Louis.
Canada: MOSBY ELSEVIER.
Stuart, G. W., & Sundeen, S. J. (2013). Buku Saku Ilmu Keperawatan jiwa (5th ed.). Jakarta:
EGC
Stuart, G. W., Keliat, B. A., & Pasaribu, J. (2016). Prinsip dan praktik keperawatan kesehatan
jiwa stuart. Edisi Indonesia (Buku 1). Singapura: Elsevier
Yosep, Iyus. (2010). Keperawatan Jiwa. Edisi revisi, cetakan III. Bandung: PT. Refika Refika
Aditama.
Yusuf, A., Fitriyasari, R., & Nihayati, H. E. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai