Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

SEJARAH EKONOMI SYARIAH MASA BANI UMAYYAH DAN DINASTI


ABBASIYAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah: Sejarah Ekonomi Syariah

Dosen Pengampu: Siswanto AR

Disusun Oleh:
1. Nurviana Ramadhani Kurnia (2002036022)
2. Rahmawati indah budiarti (2002036064)
3. Faiq misbahul Firdaus (2002036066)
4. Wulan Mustika Sari (2002036067)

HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2023

I
KATA PENGANTAR

Puji syukur bagi Allah SWT atas semua limpahan rahmat-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul Sejarah Ekonomi Syariah Masa Bani Umayyah dan
Dinasti Abbasiyah ini dengan tepat waktu. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari zaman kegelapan menuju
zaman terang benderang.
Harapan kami semoga makalah yang telah tersusun ini dapat bermanfaat bagi kita
semua serta dapat menjadi ilmu yang bermanfaat dan menambah wawasan dalam mata kuliah
Sejarah Ekonomi Syariah. Sekalipun telah diusahakan sebaik mungkin, namun makalah ini
tentunya masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik diharapkan bisa
untuk disampaikan demi perbaikan makalah ini.

Semarang, 14 Maret 2023


Penyusun

II
DAFTAR ISI
Cover ...................................................................................................................................... i
Kata Pengantar .................................................................................................................... ii
Daftar Isi .............................................................................................................................. iii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ........................................................................................................ 2
BAB II : PEMBAHASAN
A. Sistem Ekonomi Pada Masa Pemerintahan Bani Umayyah ...................................... 3
B. Kebijakan Fiskal Pemerintahan Bani Umayyah ........................................................ 5
C. Sistem Ekonomi Masa Pemerintahan Dinasti Abbasiyah .......................................... 8
D. Kebijakan Fiskal Pemerintahan Dinasti Abbasiyah ................................................. 11
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................................. 14
B. Kritik dan Saran ...................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA

III
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Apabila kita kembali menelisik sejarah akan peradaban Islam maka tak dapat
dipungkiri bilamana kita merasa terkagum dengan jejak-jejak dari masa keemasan
daulah-daulah Islam yang memerintah umat muslim sepeninggal Rasulullah SAW,
diantara daulah yang berhasil membawa Islam pada titik kejayaan yang mampu
menyaingi peradaban bangsa-bangsa barat adalah daulah bani Umayyah dan daulah
bani Abbasiyah, yang dengan kedua daulah ini pemerintahan Islam mampu
memperluas daerah kekuasaannya dari wilayah barat hingga wilayah timur.

Pada kedua daulah ini sistem pemerintahan dibangun dengan sangat epic, terdapat
ketentuan-ketentuan dan pengaturan baru yang tidak dapat ditemukan pada masa-
masa pemerintah Islam sebelumnya, hal ini dapat terjadi karena seiring dengan
perkembangan zaman yang ada serta perluasan wilayah kekuasaan pemerintahan
Islam yang terjadi sehingga menyebabkan percampuran kultur dan budaya antar
masyarakatnya, maka tidak heran bila corak pemerintahan yang ada mengalami
perbedaan pula jika dibandingkan dengan masa-masa pemerinthan Rasulullah
SAW dan masa pemerintahan Khulafaurrasyidin.

Dengan masa keemasan dan perluasan wilayah yang sedemikian rupa, peradaban
Islam mengalami perkembangan dengan sangat cepat mulai dari perkembangan di
bidang bahasa, Pendidikan, politik, hingga pada bidang perekonomian.

Dalam bidang perekonomian kedua belah daulah baik bani Umayyah maupun bani
Abbasiyah sama-sama mempraktekkan sistem perekonomian Islam, yang mana
dengan adanya perkembangan peradaban yang ada pada keduanya perekonomian
Islam mengalami perkembangan yang pesat pula, namun demikian terdapat
perbedaan corak atas perkembangan yang ada pada masa pemerintahan keduanya,
bani Umayyah lahir dengan corak pemerintahan yang bernuansa kerajaan dengan
sistem kepemimpinan yang diwariskan secara turun temurun, serta daulah bani
Abbasiyah yang bercorak campuran antara bangsa-bangsa Timur dan Barat,
manghasilkan kultur dan budaya Islam yang sangat jauh berbeda dengan kultur

1
budaya Islam sebelumnya. Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui
bagaimana corak-corak baru yang dibawa oleh kedua daulah tersebut
mempengaruhi sistem perekonomian Islam yang ada pada masa tersebut, untuk itu
dalam makalah ini akan dibahas mengenai sistem ekonomi serta kebijakan fiskal
yang ada pada masa pemerintahan kedua daulah tersebut, baik daulah Umayyah
maupun daulah Abbasiyah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sistem ekonomi pada masa pemerintahan Bani Umayyah?
2. Bagimana kebijakan fiscal pada masa pemerintahan Bani Umayyah?
3. Bagaimana sistem ekonomi pada masa pemerintahan Dinasti
Abbasiyah?
4. Bagaimana kebijakan fiskal pada masa Dinasti Abbasiyah?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memahami sistem ekonomi pada masa pemerintahan Bani
Umayyah.
2. Untuk mengetahui kebijakan fiskal pemerintahan Bani Umayyah.
3. Untuk memahami sistem ekonomi masa pemerintahan Dinasti
Abbasiyah.
4. Untuk mengetahui kebijakan fiskal pada masa pemerintahan Dinasti
Abbasiyah.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sistem Ekonomi Pada Masa Pemerintahan Bani Umayyah
Khilafah Bani Umayyah berumur 90 tahun yaitu dimulai pada masa
kekuasaan Muawiyah, dimana pemerintahan yang bersifat demokratos berubah
menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun), yang diperoleh melalui
kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara
terbanyak.(Chamid 2010, 106)
Pada masa pemerintahan bani Umayyah ekspansi perluasan wilayah
pemerintahan umat Islam yang sempat terhenti pada masa khalifah Utsman bin
Affan dan Ali bin Abi Thalib ra, dilanjutkan kembali oleh daulah ini hingga
ekspansi berhasil dilakukan ke beberapa daerah baik barat maupun timur.
Dengan keberhasilan ekspansi yang dilakukan oleh daulah ini, wilayah
kekuasaan Islam pada masa pemerintahan Bani Umayyah menjadi sangatlah
luas. Daerah-daerah tersebut meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina,
jazirah Arabia, Irak, Sebagian Asia kecil, Persia, Afghanistan, Uzbek, dan
Kirgiz di Asia Tengah termasuk juga Sofiet Rusia.
Keberhasilan yang dicapai oleh Bani Umayyah ini memberikan bentuk
pemikiran ekonomi yang berbeda pula, tepatnya ketika dunia Islam berada pada
masa awal kepemimpinan khalifah Bani Umayyah, kondisi Baitul Maal
berubah, Al-Maududi menyebutkan, jika pada masa sebelumnya Baitul Maal
dikelola dengan penuh kehati-hatian sebagai amanat Allah SWT dan amanat
rakyat, maka pada masa pemerintahan Umayyah, Baitul Maal sepenuhnya
dibawah kekuasaan Khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh
Islam.(Chamid 2010, 108)
Baitul Maal yang merupakan kantor pembendaharaan umat merupakan
salah satu institusi yang disalahgunakan. Pada masa ini Baitul Maal seperti
menjadi milik para Pangeran. Pada masa pemerintahan bani Umayyah inilah
Baitul Maal terbagi menjadi dua bagian; yakni umum dan khusus.(Chamid
2010, 108)

3
Pendapatan Baitul Maal umum diperuntukan bagi seluruh masyarakat
umum, sedangkan pendapatan Baitul Maal khusus diperuntukan bagi para
sultan dan keluarganya serta pejabat-pejabat pemerintahan. Namun dalam
praktiknya, tidak jarang ditemukan berbagai penyimpangan penyaluran harta
Baitul Maal tersebut. Dengan demikian telah terjadi disfungsi penggunaan
Baitul Maal pada awal masa pemerintahan daulah Umayyah. (Chamid 2010,
108)
Menanggapi berbagai hal tersebut, Sayyid Quthb menyatakan bahwa:
Kalau bukan karena kekuatan luar biasa yang dimiliki watak agama
ini, niscaya masa-masa pemerintahan bani Umayyah dapat dijadikan
jaminan bagi lenyapnya Islam dari muka bumi. Namun demikian
bukan berarti menafikan yang dihasilkan dinasti ini. selain
melakukan perluasan wilayah kekuasaan, beberapa khalifah Bani
Umayyah juga menaruh perhatian terhadap pembangunan ekonomi,
yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan umat Islam secara
keseluruhan. (Chamid 2010, 108)
Pada masa kemimpinan Dinasti Umayyah yang sedemikian rupa, baitul mal
sepenuhnya di bawah kekuasaan khalifah tanpa dapat dipertanyakan dan di
kritik oleh rakyat, yang mana keadaan tersebut berlangsung terus menerus
hingga datangnya khalifah ke-8 Dinasti Umayyah, yakni Umar bin Abdul Aziz
yang memerintah pada tahun 717-720.(Muflihin 2020, 60)
Dengan kondisi baitul mal pada masa-masa tersebut sudah parah, maka
memerlukan perhatian khusus, di masa Umar bin Abdul Aziz ini terjadi
perbaikan-perbaikan pada baitul mal. Sejalan dengan itu Umar bin Abdul Aziz
melakukan perbaikan baitul mal pada bagian fund rising atau pemasukan
negara. Karena pada masa khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan sampai dengan
khalifah ke-7 yaitu Sulaiman bin Abdul Malik terjadi kemerosotan baitul mal,
yaitu lebih banyak pengeluarannya dari pada pemasukannya. (Muflihin 2020,
60)
Umar bin Abdul Aziz sendiri dikenal sebagai khulafur Rasyidin yang ke
lima. Penobatan tersebut berdasarkan pemerintahannya memiliki cici-ciri yang
sama dengan empat khalifah. Dalam hal memperbaiki sistem perekonomian

4
pada masa pemerintahan daulah Umayyah, Ia menerapkan sistem keadilan
dimulai dari dirinya sendiri dan keluarganya dengan menyerahkan harta
kekayaan pribadi dan keluarganya ke baitul mal. Umar melakukan pembenahan
disegala bidang dan di seluruh wilayah kekuasaannya berdasarkan syariat islam.
Pembangunan bukan saja pada bidang infrastruktur tetapi juga pembangunan
sumber daya manusianya. Dalam kurun waktu kurang tiga tahun, masyarakat
islam berada dalam surga dunia, kemakmuran dan kesejahteraan merata di
seluruh wilayah, terbukti tidak ada lagi yang mau menerima zakat. (Muflihin
2020, 62)
B. Kebijakan Fiskal Pemerintahan Bani Umayyah.
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah semua yang memiliki tanah baik
muslim maupun non-muslim, diharuskan membayar pajak tanah, akan tetapi pajak
kepala tidak berlaku lagi bagi penduduk muslim, hal ini menjadikan banyak
penduduk yang masuk islam. Secara ekonomi hal ini yang melatar belakangi
berkurangnya penghasilan Negara. Namun demikian, dengan keberhasilan
Umayyah melakukan penaklukan imperium Persia dan Byzantium menjadikan
kemakmuran daulah ini sangat melimpah ruah. Pada masa umar bin abdul aziz,
beliau memiliki pandangan bahwa menciptakan kesejahteraan masyarakat bukan
dengan cara mengumpulkan pajak.(Abdullah 2010, 124)

Hal lain yang dilakukan oleh para khalifah Bani Umayyah sebelum Umar,
misalnya dengan mengoptimalkan kekayaan alam yang ada, dan mengelola
keuangan Negara dengan efektif dan efisien. Keberhasilan dalam menciptakan
kesejahteraan masyarakat inilah yang membuat Umar Bin Abdul Aziz tidak hanya
disebut sebagai pemimpin Negara, tetapi juga sebagai fiskalis muslim yang mampu
merumuskan, mengelola, dan mengeksekusi kebijakan fiskal pada masa
kekhalifahannya. Diantara Khalifah yang menerapkan kebijakan fiskal masa bani
Umayyah seperti:

1. Kebijakan Fiskal Muawiyah Bin Abu Sufyan


Pada masa pemerintahannya, beliau mendirikan dinas pos beserta dengan
fasilitasnya, menerbitkan angkatan perang, mencetak uang dan
mengembangkan jabatan hakim sebagai jabatan profesional. Selain itu,

5
Muawiyah juga menerapkan kebijakan pemberian gaji tetap kepada para
tentara, pembentukan tentara profesional, serta pengembangan birokrasi
seperti fungsi pengumpulan pajak dan administrasi politik. Selain terjadi
perubahan dalam sistem pemerintahan, pada masa Bani Umayyah juga
terdapat perubahan lain, misalnya masalah Baitul Maal. Pada masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin, Baitul Maal berfungsi sebagai harta
kekayaan rakyat, dimana setiap warga negara memiliki hak yang sama
terhadap harta tersebut. Akan tetapi sejak pemerintahan Muawiyah ibn Abu
Sufyan, Baitul Maal beralih kedudukannya menjadi harta kekayaan
keluarga raja.(Chamid 2010, 109)
Khalifah Muawiyah mendirikan pemerintahan yang terorganisir dengan
baik, bahkan mampu mendirikan istana yang megah bernama Al-Khadhra
(yang hijau) dengan arsiteknya adalah Muawiyah sendiri, pendiri dinasti.
Istana itu berdiri berdampingan dengan Masjid Umayyah yang kemudian
dihiasi dan direnovasi oleh Al-Walid.(Abdullah 2010, 131)
2. Kebijakan Fiskal Abdul Malik bin Marwan

Kebijakan fiskal Khalifah Abdul Malik bin Marwan yaitu


mendirikan pabrik percetakan uang di Damaskus, mengembangkan sistem
pos yang telah dibangun pada masa Muawiah bin Abu Sufyan.
Menyangkut hal pajak dan zakat, khalifah memberi kewajiban kepada
rakyatnya yang muslim untuk membayar zakat saja sedangkan beban pajak
dibebaskan seluruhnya. Dengan kebijakan inilah banyak orang non
muslim yang berbondong-bondong masuk Islam dengan tujuan utama agar
terhindar dari beban membayar pajak. Akibat kebijakan yang diberlakukan
ini, sumber pendapatan negara dari sektor pajak justru mengalami defisit.
Sedangkan beban lain harus ditanggung negara karena bertambahnya
pasukan militer dari kelompok Mawali (yaitu kelompok umat Islam yang
bukan berasal dari Arab dapat berasal dari Persia, Armenia, dan lain-lain).

Melihat beban defisit keuangan yang ditanggung negara cukup besar


maka Abdul Malik mengembalikan pasukan militer dari para muallaf ke
posisinya semula yaitu sebagai petani dan diharuskan membayar pajak
sebesar beban Kharaj dan Jizyah seperti saat sebelum mereka masuk Islam.

6
Hadirnya kebijakan tersebut terjadilah pertentangan keras oleh kelompok
Mawali. Motif inilah yang menjadi salah satu penyebab keruntuhan
Daulah Umayyah karena kaum Mawali kemudian membelot dan memilih
bergabung dengan kaum pemberontak dari Bani Abbasiyah.

Kebijakan lain yang dilakukan khalifah Abdul Malik adalah


pembenahan administrasi pemerintahan disertai pemberlakuan
penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa resmi pemerintahan Islam.
Bahasa Arab dijadikan sebagai bahasa utama bahkan ke semua wilayah
jajahan Daulah Umayyah. Tidak hanya dijadikan sebagai bahasa pengantar
dalam berbisnis tapi juga penegasan akan legitimasi kaum Arab saat itu
(politik Arabisasi yang telah dijelaskan sebelumnya). Khalifah mengubah
bahasa yang digunakan dalam catatan administrasi publik.

3. Kebijakan Fiskal Umar bin Abdul Aziz

Kebijakan fiskal Umar bin Abdul Aziz adalah mereformasi sumber


pendapatan negara melalui pajak tanah (kharaj), pajak non muslim (jizyah)
pada tiga profesi yaitu; petani, tuan tanah dan pedagang. Petani muslim
dikenakan pajak 10% dari hasil pertanian. Sumber pendapatan lainnya
adalah zakat yang diwajibkan bagi semua umat islam yang mampu di mana
setiap wilayah memiliki otonomi daerah dalam mengelolanya.
Pengeluaran negara meliputi belanja pegawai, belanja peralatan
administrasi negara, pendidikan dan distribusi zakat, serta memberi
jaminan sosial kepada seluruh masyarakat. Penghematan anggaran dalam
pemberian fasilitas pejabat negara dan juga penghematan dalam perayaan
peringatan hari besar keagamaan dan kenegaraan.(Muflihin 2020, 63)

Antara fiskal dan moneter pada masa Umar inilah terjadi


keseimbangan yang berpengaruh pada stabilitas nilai mata uang yang
mempunyai dampak terhadap harga-harga komoditas yang ikut stabil. Jika
dilihat secara umum bahwa stabilitas harga membantu mewujudkan tujuan
pemenuhan kebutuhan pokok, disribusi pendapatan dan kekayaan yang
adil, laju pertumbuhan ekonomi yang optimum, kesempatan kerja penuh,
dan stabilitas ekonomi. (Muflihin 2020, 63)

7
Kebijakan Fiskal yang dilakukan Umar bin Abdul ‘Aziz berbentuk
pada perubahan pendapatan negara melalui pajak tanah (kharaj), pajak
nonmuslim (jizyah) pada tiga profesi yaitu: petani, tuantanah dan
pedagang. Sumber pendapatan laiannya adalah zakat yang diwajibkan bagi
semua umat Islam yang mampu, dimana setiap wilayah memiliki otonomi
daerah dalam mengelolanya.(Kahirunnisa, Oktaviani, and Fadhilah 2021,
4)

C. Sistem Ekonomi Masa Pemerintahan Dinasti Abbasiyah.


Dinasti Abbasiyah memegang kuat suatu falsafah untuk mewujudkan adanya
masyarakat yang merata dan berkemakmuran oleh karenanya di zaman dinasti
Abbasiyah pembangunan ekonomi diserahkan kepada orang-orang yang terdidik
dan para ahli dibidang ekonomi. Pada zaman permulaan dari daulah Abbasiyah,
perbendaharaan negara cukup memadai bahkan dapat dikatakan berlimpah. Hal ini
disebabkan oleh pemasukan negara jauh lebih banyak dari uang keluar. Pada masa
itu tampuk pimpinan berada ditangan khalifah al-Mansur. Khalifah al-Mansur
betul-betul telah meletakkan dasar-dasar yang sangat kuat bagi ekonomi dan
keuangan negara.

Al-Mansur mempergunakan kepala–kepala jawatan pos untuk mengawasi


segala hal ihwal kerajaannya, berupa uang yang masuk ke dalam Baitulmal dan lain
sebagainya. (A. Latif 1993, 112) Kepala-kepala jawatan pos selalu melaporkan
harga pasaran dari segala macam barang makanan dan barang lain-lain kepada
khalifah. Apabila harga barang-barang naik jauh melebihi dari biasa, jawatan pos
akan mengusahakan supaya harga itu turun kembali seperti semula. Bila dilihatnya
seorang pegawainya berlaku lalai atau kurang hati-hati, akan ditegur atau
dipecatnya dari jabatan.

Khalifah al-Mansur atau kalifah yang memimpin masa kejayaan dinasti


Abbasiyah terkenal sangat hemat mengeluarkan perbelanjaan dan pemberian
sehingga saat masa kepemimpinannya perbendaharaan negara stabil dan memiliki
simpanan yang dapat dipergunakan untuk belanja kerajaan sepuluh tahun lamanya.

Dinasti Abbasiyah mengutamakan sektor ekonomi dalam pemerintahannya.


Sektor ekonomi yang diterapkan dengan memakai sistem ekonomi Islam, artinya

8
segala perbuatan perekonomian berlandaskan al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW,
tanpa mengenyampingkan etika dan moral. Dan dalam aktivitas ekonomi yang
dijadikan kerangka acuan dalam menyelesaikan masalah ekonomi sesuai dengan
nilai-nilai Islam. (Rahardjo 1999, 3)

Sistem ekonomi yang diterapkan pada masa dinasti Abbasiyah tersebut dapat
terealisasi dengan adanya unsur-unsur yang mendukung terlaksananya sistem
ekonomi. Adapun unsur pendukung dari terlaksananya sistem ekonomi tersebut
adalah pemerintahan, pelaku ekonomi, dan sarana. segala aktivitas perekonomian
yang terjadi di dukung dan di sokong oleh pemerintahan (negara), tetapi rakyat
bebas melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi seperti dalam bidang pertanian,
perdagangan, industri dan lain sebagainya. Sehingga masyarakat merasa senang
berusaha dan dapat mengembangkan segala kemampuan yang dimiliki (skill),
sedangkan negara hanya memungut sebagian kecil pajak yang tidak memberatkan
pada rakyat sebagai pelaku ekonomi.

Dalam Sektor pertanian dinasti Abbasiyah mengalami kemajuan.


Perkembangan ekonomi dalam bidang pertanian berkembang pesat saat awal masa
Dinasti Abbasiyah dengan pusat kepemerintahan berada di wilayah yang subur
tepian sungai Sawad. (Asy’arie et al. 2021, 63) Berbagai tumbuhan dan sayuran
tumbuh subur dengan cuaca panas maupun dingin. Perpindahan ibu kota
Abbasiyah dari Damaskus ke Bagdad yang dilakukan pada masa Khalifah Abu
Ja'far Al-Mansyur ternyata memiliki maksud sendiri. Pindahnya ibu kota ke Bagdad
mempermudah pengawasan di jalur perdagangan yang melalui Sungai Eufrat dan
Tigris. Selain itu, lahan yang subur di Bagdad dapat dimanfaatkan secara maksimal
oleh Dinasti Abbasiyah dengan meningkatkan produksi pertanian.

Pemanfaat pertanian dan hasil buminya membuat Dinasti Abbasiyah memiliki


pemasukan dan kas negara yang sangat besar. Salah satu kawasan potensial di
bidang pertanian Abbasiyah adalah Sawad, yang berada di antara Sungai Eufrat dan
Tigris. Pemerintah sangat memperhatikan kawasan ini dengan melakukan
pembangunan irigasi guna menunjang produksi pertanian di Sawad. Kawasan ini
dikelola dengan serius hingga mendatangkan para ahli dan pakar pertanian guna
memaksimalkan pemanfaatan lahan yang subur.

9
Dinasti Abbasiyah juga membangun kanal Nahr Isa dan kanal Sharah sebagai
penunjang pengairan pertanian di Sawad. Dengan berbagai pembangunan
penunjang pertanian, pada masanya, Dinasti Abbasiyah menjadi kawasan pemasok
gandum, padi, kurma, wijen, kapas, dan rami. Upaya hasil pertanian tersebut
meningkat saat diperdagangkan hingga mencapai luar dan dalam negeri dan
membuat para kafilah pedagang muslim harus melintasi berbagai negara hingga
tujuh lautan dengan kapal-kapalnya.

Selain pertanian, yang menjadi faktor utama meningkatnya perekonomian


Abbasiyah yaitu perdagangan. Wilayah Dinasti Abbasiyah telah memiliki berbagai
macam industri seperti kain linen dan gandum berasal dari Mesir, sutra dari Syiria
dan Irak, kertas dari Samarand, dan kurma dari Irak. Selain itu, perdagangan
tambang seperti emas yang ditambang dari Nubia dan Sudan barat . (Saprida,
Barkah, and Umari 2021, 70). Dinasti Abbasiyah juga pernah menjalin kerja sama
dengan China untuk perdagangan kapas. Hal itu dibuktikan pada masa Khalifah Al-
Abbas, dengan adanya beberapa orang Islam dari Persia dan Timur Tengah yang
menetap di China untuk urusan perdagangan. Selain dengan China, Dinasti
Abbasiyah juga melakukan kontak perdagangan dengan wilayah Asia lainnya,
dengan mengimpor rempah-rempah dan kapur barus. Wilayah Laut Kaspia
kemudian menjadi salah satu tempat pertemuan perdagangan internasional antara
Abbasiyah dengan negara atau kota lain.

Dinasti Abbasiyah juga melakukan impor dari Afrika, khususnya untuk gading,
kayu eboni, dan budak kulit hitam. Sedangkan para penguasa lokal yang umumnya
para saudagar yang sangat kaya, juga akan melakukan perdagangan di wilayah
Abbasiyah dan berbagai penjuru dunia. Mereka biasanya berdagang berlian dengan
berlayar ke berbagai negara. Upaya khalifah dan luasnya wilayah kekhalifahan pun
membuat perdagangan di masa Dinasti Abbasiyah semakin maju. Sektor industri
Perdagangan Abbasiyah dengan berbagai wilayah di dunia sangat dipengaruhi oleh
aktivitas perindustrian dalam negeri. Hal itu dibuktikan dengan adanya pusat
industri sutra, kapas, kain wol, satin, brokat, sofa, dan karpet di sebelah barat
Bagdad.

10
Selain dalam bidang pertanian dan perdagangan Dinasti Abbasiyah juga
memiliki kemajuan di bidang industri. Dikarenakan Dinasti Abbasiyah memiliki
teknologi tercanggih pada masa itu yang digunakan untuk memprodukti berbagai
jenis kain. Industri tekstil Dinasti Abbasiyah pun menjadi salah satu yang paling
maju di dunia dan menjadi rujukan berbagai negara di Eropa, seperti Spanyol,
Perancis, dan Italia.

Konsep ekonomi yang diaktualisasikan oleh daulah Abbasiyah sebagaimana


yang telah disebutkan di atas, sangat relevan dengan pendapat para tokoh ekonomi
Islam tentang sektor-sektor ekonomi yang dapat menunjang taraf hidup masyarakat.

D. Kebijakan Fiskal Pemerintahan Dinasti Abbasiyah.


Pemerintahan Abbasiyah berhasil membangun kebijakan ekonomi yang
tepat sehingga kesejahteraan, keamanan, kecerdasan, dan persatuan masyarakat di
masa itu tercapai. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat masa pemerintahan
Khalifah Harun al-Rasyid, yang mana pada masa pemerintahannya berhasil
membukukan surplus APBN di akhir kekuasaannya sebesar 900.000.000 dinar.

Pembangunan ekonomi juga di imbangi dengan pembangunan sistem pengolahan


sampah. Setiap ibukota daerah standar dibangun masjid, sekolah, perpustakaan,
taman kota, industri olahan pertanian, area komersial sebagai pusat bisnis, fasilitas
umum dan dapur logistik bagi pencari ilmu.

Perhatian pemerintah terhadap produktivitas pertanian juga sangat tinggi, saat itu
sudah dikembangkan sistem rotasi tanaman, irigasi dan teknologi holtikultura,
sehingga produksi meningkat 100%. Semangat produksi distimulus dengan
kebijakan pemberian insentive bagi masyarakat yang mampu mengolah pertanian
secara baik.(Saputra, Kunaifi, and Rosyid 2021, 3–4)

Beberapa khalifah yang pernah memimpin pada masa Dinasti Abbasiyah dan sangat
perperan penting dalam meningkatkan perekonomian Islam adalah sebagai berikut:

1. Khalifah Abu Ja’far Al-Mansyur (137-158 H/753-744 M)


Abu Ja'far Al-Mansyur menjabat khalifah kedua Bani Abbasiyah
menggantikan saudaranya Abdul Abbas As-Saffah. Abu Ja'far Al-Mansyur
adalah putra Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul

11
Muthalib. Khalifah Abu Ja'far Al-Mansyur membangun kota Baghdad
menjadi pusat pemerintahan dan meletakkan dasar-dasar ekonomi dan
keuangan negara dengan baik dan terkendali. Oleh sebab itu, tidak pernah
terjadi defisit anggaran besar-besaran. Kas negara selalu penuh, uang yang
masuk lebih banyak daripada uang keluar. Jalur-jalur administrasi
pemerintahan, mulai dari pusat hingga ke daerah ditata dengan rapi sehingga
sistem dan roda pemerintahan berjalan dengan baik. Kebijakannya ini
menimbulkan dampak yang positif di kalangan para pejabat pemerintahan,
karena terjadi koordinasi dan kerja sama yang baik di antara mereka.
Koordinasi dan kerja sama itu terjadi antara Kepala Qadhi (Jaksa Agung),
Kepala Polisi Rahasia, Kepala Jawatan Pajak, dan Kepala Jawatan Pos. Hal
itu dilakukan untuk melindungi masyarakat dari berbagai tindakan yang
tidak adil dengan memberikan hak-hak masyarakat.
Kebijakan fiskal yang dilakukan oleh Abu Ja’far Al-Mansur adalah
menetapkan intervensi harga pada saat terjadi kenaikan harga yang tidak
wajar. Sumber pendapatan berasal dari zakat, kharaj, dan jizyah.
Pengeluaran negara meliputi biaya administrasi pemerintahan, gaji pegawai
negara, memperkokoh angkatan militer. Sedangkan untuk kebijakan
moneter, khalifah Abu Ja’far AlMansur melanjutkan pendahulunya Al-
Saffah yaitu mencetak dinar dengan mengikuti model dinar Umayyah dan
tidak mengubah sedikitpun kecuali pada ukiran-ukiran dan ukuran
dirhamnya berkurang.(Chapra 2001, 150)
2. Khalifah Harun Al-Rasyid (170-193 H/786-808 M)
Ketika pemerintahan dikuasai Khalifah Harun Al-Rasyid, pertumbuhan
ekonomi berkembang dengan pesat dan kemakmuran Daulah Abbasiyah
mencapai puncaknya. Pada masa pemerintahannya, khalifah melakukan
diversifikasi sumber pendapatan negara. Ia membangun baitul mal untuk
mengurus keuangan negara dengan menunjuk seorang wazir yang
mengepalai beberapa Diwan, yaitu:
a. Diwan al-khazanah: bertugas mengurus seluruh perbendaharaan
Negara.

12
b. Diwan al azra: bertugas mengurus kekayaan negara yang berupa
hasil bumi.
c. Diwan khazain as-siaah: bertugas mengurus perlengkapan angkatan
perang.
Sumber pendapatan pada masa pemerintahan ini adalah kharaj, jizyah,
zakat, fa’i, ghanimah, usyr, dan harta lainnya seperti wakaf, sedekah, dan
harta warisan yang tidak mempunyai ahli waris.Seluruh pendapatan negara
terasebut dimasukkan ke dalam baitul mal dan dikeluarkan berdasarkan
kebutuhan. Pemerintahan khalifah Harun Al- Rasyid juga sangat
memperhatikan masalah perpajakan. Ia menunjuk Qadi Abu Yusuf untuk
menyusun sebuah kitab pedoman mengenai keuangan negara secara
syariah. Untuk itu, Imam Abu Yusuf menyusun sebuah kitab yang diberi
judul Kitab al-Kharaj Dalam pemungutan al-Kharaj, para Khalifah
Abbasiyah melakukan dengan tiga cara, yaitu:

• Al-Muhasabah atau penaksiran luas areal tanah dan jumlah pajak


yang harus dibayar dalam bentuk uang.
• Al-Muqasamah atau penetapan jumlah tertentu (persentase) dari
hasil yang diperoleh.
• Al-Maqhatha’ah atau penetapan pajak hasil bumi terhadap para
jutawan berdasarkan persetujuan antara pemerintah dengan yang
bersangkutan.
Pendapatan Negara dikeluarkan berdasarkan kebutuhan dan
dialokasikan untuk riset ilmiah dan penerjemahan buku-buku Yunani,
disamping untuk biaya pertahanan dan anggaran rutin pegawai. Untuk
melindungi integritas uang logam dan kepercayaan umum, Harun ar- Rasyid
membangun kantor inspektur uang logam (nazir as-Sikkah) sehingga
standar dinar sangat tinggi kualitasnya. Khalifah Harun al-Rasyid
meninggalkan kekayaan negara dalam kas waktu beliau meninggal
sebanyak lebih dari 900.000 dirham. Kecakapan Rasyid dalam
mengumukakan kas negara sama dengan kecakapan Mansyur, hanya saja
pada masa pemerinthannya lebih banyak terjadi pengeluaran dibandingkan
dengan masa pemerinthan Mansyur, hal ini kemungkinan terjadi karena

13
adanya perbedaan zaman pada masa pemerintahan keduanya.(Mukaromah
2020, 79–80)

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada masa kemimpinan Dinasti Umayyah yang sedemikian rupa, baitul mal
sepenuhnya di bawah kekuasaan khalifah tanpa dapat dipertanyakan dan di kritik
oleh rakyat, yang mana keadaan tersebut berlangsung terus menerus hingga
datangnya khalifah ke-8 Dinasti Umayyah, yakni Umar bin Abdul Aziz yang
memerintah pada tahun 717-720.
Kebijakan fiskal yang dilakukan oleh khalifah bani Umayyah diantaranya:
Pada masa pemerintahan Muawiyyah bin Abu Suffyan, beliau mendirikan dinas pos
beserta dengan fasilitasnya, menerbitkan angkatan perang, mencetak uang dan
mengembangkan jabatan hakim sebagai jabatan profesional. Pada masa
pemerintahan Abdul Malik bin Marwan, Kebijakan fiskal Khalifah Abdul Malik
bin Marwan yaitu mendirikan pabrik percetakan uang di Damaskus,
mengembangkan sistem pos yang telah dibangun pada masa Muawiah bin Abu
Sufyan, menyangkut hal pajak dan zakat, khalifah memberi kewajiban kepada
rakyatnya yang muslim untuk membayar zakat saja sedangkan beban pajak
dibebaskan seluruhnya. Kebijakan fiskal Umar bin Abdul Aziz adalah mereformasi
sumber pendapatan negara melalui pajak tanah (kharaj), pajak non muslim (jizyah)
pada tiga profesi yaitu; petani, tuan tanah dan pedagang. Petani muslim dikenakan
pajak 10% dari hasil pertanian. Sumber pendapatan lainnya adalah zakat yang
diwajibkan bagi semua umat islam yang mampu di mana setiap wilayah memiliki
otonomi daerah dalam mengelolanya.
Dinasti Abbasiyah mengutamakan sektor ekonomi dalam pemerintahannya.
Sektor ekonomi yang diterapkan dengan memakai sistem ekonomi Islam, artinya
segala perbuatan perekonomian berlandaskan al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW,

14
tanpa mengenyampingkan etika dan moral. Dan dalam aktivitas ekonomi yang
dijadikan kerangka acuan dalam menyelesaikan masalah ekonomi sesuai dengan
nilai-nilai Islam. Dinasti Abbasiyah memegang kuat suatu falsafah untuk
mewujudkan adanya masyarakat yang merata dan berkemakmuran oleh karenanya
di zaman dinasti Abbasiyah pembangunan ekonomi diserahkan kepada orang-orang
yang terdidik dan para ahli dibidang ekonomi.
Kebijakan fiskal yang dilakukan oleh Khalifah pada masa pemerintahan
Daulah bani Abbasiyah diantaranya: Kebijakan fiskal yang dilakukan oleh Abu
Ja’far Al-Mansur adalah menetapkan intervensi harga pada saat terjadi kenaikan
harga yang tidak wajar. Ketika pemerintahan dikuasai Khalifah Harun Al-Rasyid,
pertumbuhan ekonomi berkembang dengan pesat dan kemakmuran Daulah
Abbasiyah mencapai puncaknya. Pada masa pemerintahannya, khalifah melakukan
diversifikasi sumber pendapatan negara. Ia membangun baitul mal untuk mengurus
keuangan negara dengan menunjuk seorang wazir yang mengepalai beberapa
Diwan.
C. Kritik dan Saran
Demikianlah makalah yang kami susun, semoga dengan adanya makalah ini
dapat menambah wawasan dan pemahaman kita mengenai Sejarah Ekonomi
Syariah. Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan baik dari segi tulisan maupun referensi yang menjadi bahan rujukan.
Untuk itu kami dengan senang hati menerima kritik dan saran yang diberikan, guna
penyempurnaan makalah kami berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

A. Latif, Osman. 1993. Ringkasan Sejarah Islam. Jakarta: Penerbit Wijaya.

Abdullah, Budi. 2010. Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam. Bandung: CV


Pustaka Setia.

Asy’arie, Musa, Ahmad Afandi, Riska Amalia, Miftahul Asror Suyoko, and Heny
Hikmawati. 2021. “Pemikiran Ekonomi Islam Lintas Zaman.” UIN Sunan

15
Kalijaga Yogyakarta.

Chamid, Nur. 2010. Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Chapra, Umar. 2001. Masa Depan Ilmu Ekonomi : Sebuah Tinjauan Islam.
Jakarta: Gema Insani Press.

Kahirunnisa, Fadhillah, Sukma Oktaviani, and Zakiah Nurul Fadhilah. 2021.


“Kebijakan Ekonomi Pada Masa Kegemilangan Islam Umar Bin Abdul
Aziz.” Journal Of Islamic Manajemen Applied (JISMA) 1 (1).
https://journal.uir.ac.id/index.php/jima/article/download/8415/3800.

Muflihin, M. Dliyaul. 2020. “PEREKONOMIAN DI MASA DINASTI


UMAYYAH: SEBUAH KAJIAN MONETER DAN FISKAL.” Indonesian
Interdisciplinary Journal of Sharia Economics (IIJSE) 3 (1).

Mukaromah, Lisa Aminatul. 2020. “PERKEMBANGAN EKONOMI ISLAM


ERA KLASIK (BANI UMAYYAH DAN BANI ABBASIYAH).” Jurnal
Studi Keislaman 9 (2).

Rahardjo, M. Dawam. 1999. Islam Dan Transformasi Sosial Ekonomi. Jakarta:


Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF).

Saprida, Qodariah Barkah, and Zuul ftriani Umari. 2021. Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana.

Saputra, Taufik Aris, Aang Kunaifi, and Abd Rosyid. 2021. “Benarkah Kebijakan
Fiskal Islam Efektif Menghadapi Resesi? (Kontekstualisasi Kebijakan Fiskal
Sesuai Shariah).” Prosiding Seminar Stiami 8 (1).

16

Anda mungkin juga menyukai