Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H.
Dr. H. Nahrowi, S.H, M.H.
Disusun oleh:
Ralie Rakhman Gani (21220433000003)
Ilmu Hukum sebagai ilmu pengetahuan yakni paradigma Ilmu Hukum, batas-
batas wilayah kerja (medan berkiprah) Ilmu Hukum dan dimensi-dimensi Ilmu Hukum
sebagai ilmu pengetahuan. Aspek atau faset Ilmu Hukum tersebut sangat jarang
diperbincangkan dalam buku metode penelitian hukum maupun dalam ruang-ruang kelas
perkuliahan fakultas hukum. Sebagai akibatnya, aspek dan faset Ilmu Hukum seperti
paradigma Ilmu Hukum, wilayah kerja (medan berkiprah) Ilmu Hukum, dimensi dan
karakteristik Ilmu Hukum tersebut sangat sedikit yang diketahui dan dipahami mahasiswa
fakultas hukum. Bahkan, dosen muda fakultas hukum dan peneliti muda di bidang hukum
kemungkinan besar tidak mengetahui dan memahami hal-hal tersebut. Sudah barang
tentu, kondisi demikian adalah kondisi yang tidak kondusif untuk menunjang proses
pendidikan tinggi hukum dan peningkatan kualitas sarjana hukum sebagai alumni
fakultas hukum. Bertitik tolak dari kondisi seperti dikemukakan di atas, penulis berupaya
memperbincangkan beberapa aspek dan faset Ilmu Hukum.1
B.Rumusan Masalah
C.Tujuan Penulisan
1
Hotma P. Sibuea, Dwi Seno Wijanarko, and Asmak Ul Hosnah, Karakteristik Ilmu Hukum Dan Metode Penelitian
Hukum Normatif (Depok: Rajawali Pers, 2021), h.119.
BAB II
Pembahasan
A. Pengertian
Mazhab
Kata Mazhab dalam bahasa Arab adalah مذھب,berasal dari kata sifat (masdar)
dari Fi’il madhy ذھب, yang artinya menurut bahasa berarti berjalan atau pergi (
( سارdan bisa juga berarti .( )الرأيpendapat
1. Menurut Muslim Ibrahim “Mazhab” adalah paham atau aliran Fikiran yang merupakan
hasil ijtihad seorang mujtahid tentang hukum dalam islam yang digali dari ayat Al-
Qur’an atau Alhadis yang dapat di ijtihadkan.
2. Menurut Abdur Rahman “Mazhab” adalah pendapat, paham atau aliran seseorang alim
besar dalam islam yang digelari Imam seperti empat Imam besar: Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hambali yang di sebarkan oleh murid para Imam ke berbagai Negara.
3. Menurut Wahbah Az-zuhailiy “Mazhab” adalah segala hukum yang mengandung
berbagai masalah baik di lihat dari aspek metode yang mengantarkan pada kehidupan
secara keseluruhan maupun aspek hukumnya sebagai pedoman hidup.
4. Menurut Said Ramadhan “Mazhab” adalah jalan fikiran (paham/pendapat) yang di
tempuh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum islam dari Al-Quran
dan Hadis.2
Sejarah
Sejarah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung tiga makna, yaitu :
(2) kejadian dan peristiwa yang benar – benar terjadi pada masa lalu, dan
2
Maradingin, Pengantar Perbandingan Mazhab (Farha Pustaka, 2020), h.7.
(3), ilmu, pengetahuan, cerita, pelajaran tentang kejadian dan peristiwa yang benar –
benar terjadi pada masa lampau, atau juga disebut riwayat(Hugiono & Poerwantana,
1987) di kenal dengan istilah histoie (Prancis), Geschite (Jerman), geschiedenis
(Belanda), Historia (Yunani) dan histoire (Latin).
Sejarah juga merupakan terjemahan dari kata history (Inggris) yang berarti
sejarah. Secara harfiah terdapat empat pengertian dari kata itu. Pertama, kata yang
menunjuk pada suatu yang telah berlalu, suatu peristiwa atau suatu kejadian. Kedua,
kata history bermakna riwayat dari pengertian pertama, ketiga, semua pengetahuan
tentang masa lalu, dalam hal ini berkaitan erat dengan duduk persoalan tertentu pada
umumnya dan khususnya tentang masyarakat tertentu. Keempat, history ialah ilmu
yang berusaha menentukan dan mewariskan pengetahuan3
Antithesis dari kalangan Humanis berorientasi sejarah di abad ke 16, terutama Cicero,
yang antusias terhadap apa yang merupakan makna sesungguhnya dari bahasan
yuristik yang sangat dikenal dalam Corpus juris civilis.. Satu abad sebelum
keberadaan kaum humanis yuristik sudah terjadi perubahan menuju pandangan hukum
yang lebih menyejarah dalam yurisprudensi Sir John Forterscue, seorang Hakim
Tinggi di Inggris (1400-1476) yang merefleksikan situasi politik di Inggris yang
berbeda dengan di Perancis, tentang kondisi historis khusus hukum dalam
perkembangan hukum Inggris. Khususnya dalam karyanya De laudibus legume
Anglie, Fortescue dengan jelas menyatakan bahwa perundang-undangan Inggris adalah
3
“Heryati - Buku Pengantar Imu Sejarah.Pdf,” n.d., h.6-7, accessed September 10, 2022, http://repository.um-
palembang.ac.id/id/eprint/16087/1/Heryati%20-%20Buku%20Pengantar%20Imu%20%20Sejarah.pdf.
4
kinerja parlemen yang mewakili rakyat dalam kaitannya dengan praktik Inns of Court
yang sadar akan tradisi hukum kawasan itu.5
1. Rasinalisme abad ke-18 yang didasarkan atas hukum alam, kekuatan akal, dan
prinsip-prinsip dasar yang semuanya berperan pada ilsafat hukum, dengan terutama
mengandalkan jalan pikiran deduktif tanpa memerhatikan fakta sejarah, kekhususan
dan kondisi nasional
2. Semangat Revolusi Perancis yang menentang wewenang tradisi dengan misi
kosmopolitannya (kepercayaan kepada rasio dan daya kekuatan tekad manusia untuk
meng atasi lingkungannya), seruannya ke segala penjuru dunia.
3. Pendapat yang berkembang saat itu yang melarang hakim menafsirkan hukum
karena undang-undang dianggap dapat memecahkan semua masalah hukum
dinyatakan sebagai kehendak legislatif dan harus dianggap sebagai suatu sistem
hukum yang harus disimpan
dengan baik sebagai suatu yang suci karena berasal dari alasan-alasan yang murni.
Di samping itu, terdapat faktor lain, yaitu masalah kodiikasi umum Jerman
setelah berakhirnya masa Napoleon Bonaparte, yang diusulkan oleh hibaut (1772-
1840), guru besar pada universitas Heidelberg di Jerman dalam tulisannya yang terbit
tahun 1814, berjudul Uber die Notwendigkeit eines Allegemeinen Burgerlichen rechts
5
Carl Joachim Friedrich, “Filsafat Hukum Persfektif Historis”, Nusa Media, 2008, hal. 64 – 65
6
Carl Joachim Friedrich, ibid, hal. 175
7
Dr. Theo Huijbers, “Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah”, Kanisius, 1982, hal 118
fur Deutchland (Tentang Keharusan Suatu Hukum Perdata bagi Jerman). Karena
dipengaruhi oleh keinginannya akan kesatuan negara, ia menyatakan keberatan
terhadap hukum yang tumbuh berdasarkan sejarah. Hukum itu sukar untuk diselidiki,
sedangkan jumlah sumbernya bertambah banyak sepanjang masa, sehingga hilang
keseluruhan gambaran darinya. Karena itulah harus diadakan perubahan yang tegas
dengan jalan penyusunan undangundang dalam kitab. Hal ini merupakan kebanggaan
Jerman. Keberatan yang dikemukakan ialah bahwa di daerah didaerah, hukum itu
harus disesuaikan dengan keadaan setempat yang khas dan bahwa orang harus
menghormati apa yang dijadikan adat, tidak dapat mengimbangi keuntungan yang
dibawa olehnya. Sudah saatnya melaksanakan sesuatu yang luar biasa yang mungkin
direalisasikan.
2. Puchta
Murid von Savigny yang mengembangkan lebih lanjut pemikiran gurunya.
Sama dengan Savigny, ia berpendapat bahwa hukum suatu bangsa terikat pa dajiwa
bangsa (Volksgeist) yang bersangkutan. Hukum tersebut, menurut Puchta, dapat
berbentuk:
(1) langsung berupa adat istiadat,
(2) melalaui undangundang,
(3) melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para ahli hukum
Lebih lanjut Puchta membedakan pengertian “bangsa” ini dalam dua jenis:
(1) bangsa dalam pengertian etnis, yang disebutnya “bangsa alam”, dan
(2) bangsa dalam arti nasional sebagai kesatuan organis yang membentuk satu
negara.
Adapun yang memiliki hukum yang sah hanyalah bangsa dalam pengertian
nasional (negara), sedangkan “bangsa alam” memiliki hukum sebagai keyakinan
mereka.
Menurut Puchta, keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus
disahkan melalui kehendak hukum masyarakat yang terorganisasi dalam negara.
Negara mengesahkan hukum itu dengan membentuk undang-undang.
Puchta mengutamakan pembentukan hukum dalam negara sedemikian rupa,
sehingga akhirnya tidak ada tempat lagi bagi sumber-sumber hukum lainnya, yakni
praktik hukum dalam adat istiadat, dan pengolahan ilmiah hukum oleh para ahli
hukum. Adat istiadat bangsa hanya berlaku sebagai hukum sesudah disahkan oleh
negara.
Di lain pihak, yang berkuasa dalam negara tidak membutuhkan dukungan apa
pun. Ia berhak untuk membentuk undang-undang tanpa bantuan kaum yuris, tanpa
menghiraukan apa yang hidup dalam jiwa orang yang dipraktikkan sebagai adat
istiadat. Oleh karena itu, menurut Huijbers, pemikiran Puchta ini sebenarnya tidak
jauh dari teori Absolutisme Negara dan Positivisme Yuridis.
Maine banyak dipengaruhi oleh pemikiran von Savigny, sehingga dia dianggap
sebagai pelopor mazhab sejarah di Inggris. Pemikiran Savigny tersebut kemudian
dikembangkan lebih lanjut oleh Maine dalam berbagai penelitian yang dilakukannya.
Salah satu penelitiannya yang terkenal adalah tentang studi perbandingan
perkembangan lembagalem baga hukum yang ada pada masyarakat sederhana dan
masyarakat yang telah maju, yang dilakukannya berdasarkan pendekatan sejarah,
kesimpulan penelitian itu kembali memperkuat pemikiran Savigny, yang membuktikan
dan pola evolusi pada pelbagai masyarakat dalam situasi sejarah yang sama.
Sumbangan Maine bagi studi hukum dalam masyarakat, terutama tampak pada
penerapan metode empiris, sistematis, dan sejarah untuk menarik kesimpulan umum.
Pendekatan ilmiahnya jauh berbeda dengan pendekatan yang lazim digunakan dalam
pemikiran ilosois dan spekulatif).8
Pada 1848, kodifikasi hukum perdata dan hukum dagang telah selesai dikerjakan.
Tugas ini dikerjakan H.L Wichers, suksesor dari Paul Scholten, seorang ahli hukum
Belanda yang ditunjuk untuk mengganti Hageman yang dinilai pemerintah gagal
menjalankan tugas kodifikasi hukum Belanda. Pada 1904, demi kepentingan
keamanan dan ekonomi di Indonesia, pemerintah Belanda mengusulkan suatu RUU
untuk mengganti hukum adat di Hindia Belanda dengan hukum Eropa. Usul itu
dimentalkan Van Vollenhoven. Van Vollenhoven tidak setuju dengan kodifikasi dan
8
Fence M. Wantu, Pengantar Ilmu Hukum Buku Ajar (Gorontal: REVIVA CENDEKIA, n.d.), hal.119-122.
9
Edward Nicodimus Lontah, Pembentukan dan Perkembangan Mazhab Sejarah dalam Hukum, Materi Diskusi
Ilmu Hukum, Program Magister UKSW Salatiga, 2011, http://mihuksw.edublogs.org/2011/01/28/pembentukan-dan-
perkembangan-mazhab-sejarah-dalam-hukum/ , diunduh pada tanggal 9/9/2022
unifikasi hukum di Hindia Belanda. Ia berdalil, “tidak mungkin menerapkan suatu
hukum yang hanya berlaku bagi sebagian kecil penduduk dalam suatu bangsa.”
Pemerintah Belanda menyikapi dalil Van Vollenhoven itu. Pada 1927, van
Vollenhoven ditugaskan Pemerintah Belanda untuk melakukan pencatatan sistematis
terhadap hukum adat Hindia Belanda melalui suatu penelitian yang dikerjakannya di
Leiden. Sepanjang karirnya sebagai guru besar hukum adat Hindia Belanda di
Universitas Leiden, Van Vollenhoven tercatat hanya dua kali mengunjungi Hindia
Belanda, yaitu pada 1907 dan 1923. Pada 1 Januari 1926, lembaga legislatif Belanda
mengakui dan mempertahankan eksistensi hukum adat Hindia Belanda melalui Pasal
131 ayat 2b IS yang bunyinya: “bagi golongan Bumiputera, timur asing, berlaku
peraturan hukum yang didasarkan atas agama-agama dan kebiasaan-kebiasaan
mereka.”
Berkat van Vollenhoven, hukum adat Hindia Belanda diperlakukan sebagai hukum
yang berlaku bagi golongan bumiputera asli. Pengaruh Mazhab sejarah yang dianut
van Vollenhoven telah berhasil menempatkan hukum kebiasaan rakyat di Indonesia
sejajar dengan undang-undang yang tertulis.
Di Indonesia pengaruh ajaran madzab sejarah sangat dirasakan, yakni dengan lahirnya
cabang ilmu hukum baru yang dikenal sebagai hukum adat, yang dipelopori oleh Van
Vollenhoven, Ter Haar serta tokoh-tokoh hukum adat lainnya.
10
Zulkarnain, Kritik Terhadap Pemikiran Hukum Madzab Sejarah, Digitized by USU digital library, 2003, Hal. 7,
diunduh pada tanggal 9/9/2022
E. Kelebihan pemikiran hukum mazhab sejarah:
Kelebihan pemikiran hukum dari mazhab sejarah adalah sikap tegas yang
mengatakan bahwa hukum merupakan derivasi nilai-nilai yang dianut oleh suatu
masyarakat. Dalam kaitan itu dapat diasumsikan bahwa hukum yang demikian akan
mempunyai daya berlaku sosiologis. Oleh karena itu, hukum pasti sesuai dengan
kesadaran hukum masyarakat. Satu-satunya sumber hukum menurut mazhab ini adalah
kesadaran hukum suatu bangsa.
1. tidak diberikannya tempat bagi ketentuan yang sifatnya tertulis (peraturan perundang-
undangan).
2. konsepsinya tentang kesadaran hukum sifatnya sangat abstrak serta konsepsinya
tentang jiwa rakyat tidak memuaskan banyak pihak.
3. Inkonsistensi sikap mengenai hukum yang terbaik bagi suatu bangsa.11
11
Zulkarnaen, Dinamika Sejarah Hukum : Dari Filosofi Hingga Profesi Hukum (Bandung: CV Pustaka Setia, 2018),
h.75-76.
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Munculnya pemikiran penganut mazhab sejarah (hukum sebagai fakta sejarah) adalah
reaksi kritis atas teologi dan filsafat hukum alam yang dikembangkan oleh Thomas
Aquinas dan pemikiran positivism hukum. bagi Indonesia mazhab sejarah, pemikiran dan
sikap madzab ini terhadap hukum telah memainkan peranan yang penting dalam
mempertahankan (”preservation”) hukum adat sebagai pencerminan dari nilai-nilai
kebudayaan (asli) penduduk pribumi dan mencegah terjadinya “pembaratan”
(westernisasi) yang terlalu cepat, kalau tidak hendak dikatakan berhasil mencegahnya
sama sekali, kecuali bagi sebagian kecil golongan pribumi.