Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PRAKTIKUM BIOMEDIK II

Pertemuan 3
Pengamatan Morfologi Telur dan Cacing Dewasa Trematoda dan Cestoda

Oleh
Nama : Sherly Nur Cahya
NIM/ SHIFT: J410200143/ Shift F

Pengampu :
Dr. Ambarwati, M.Si

Asisten:
Muhammad Masykuri A

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2020
A. Judul
Pengamatan Morfologi Telur dan Cacing Dewasa Trematoda dan Cestoda.
B. Alat & Bahan
1. Mikroskop
2. Preparat awetan cacing dewasa dan telur cacing Cestoda dan trematoda
C. Cara kerja
1. Amati preparat awetan cacing dewasa dan telur cacing di bawah mikroskop
pada pembesaran lemah (10X) kemudian perjelas dengan pembesaran 40X.
Untuk cacing dewasa dengan pembesaran 4X.
2. Gambarlah hasil pengamatan dari masing-masing preparat awetan tersebut.
D. Hasil
No Gambar Nama Perbesaran Ciri-ciri

10×

Warna kuning
Telur kecoklatan, kulit
1. Diphyllobothrium telur tipis, cacing
pita yang
latum terdapat pada
ikan.

40×

Cacing pita
kerdil (ukurannya
kecil), berbentuk
relatif bulat,
Telur
dinding luar
2. Hymenolepis 40× tebal, dan
dinding dalam
diminuta
terdapat
penebalan pola
tanpa filamen,
Berbentuk oval,
Telur cacing pita
kerdil,
3. Hymenolepis 40× didalam telur
nana. terdapat
Hexacanth
embrio.

40×

Memiliki
rudimenter,
4. Telur Taenia sp berbentuk bulat,
dan berwarna
kuning
kecoklatan.

10×

10×

Memiliki
Telur Fasciola operkulum,
5. berbentuk oval,
hepatica
berbentuk seperti
daun.

40×
Bentuk oval,
termasuk
Telur Clonorchis trematoda usus,
6. 40× mempunyai
sinensis
operkulum,
berwarna kuning
Kecoklatan.

Bentuknya
lonjong,
operkulum
besar dan
Telur mendatar,
7. Paragonimus 40× termasuk
trematoda
westermani paru,
berwarna
kuning
kecoklatan.

Batil isap (Oral Berbentuk


seperti daun,
8. sucker) cacing F. memiliki batil
Gigantica isap (Oral
sucker).

Batil isap (ventral


Memiliki batil
9. sucker) cacing F. 4× isap (ventral
Gigantica sucker)
E. Pembahasan
1. Telur Diphyllobothrium latum
a) Klasifikasi

Kingdom : Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Class : Cestoda
Ordo : Pseudophyllidea
Family : Diphyllobothriidae
Genus : Diphyllobothrium
Species : Diphyllobotrium latum
b) Hospes dan penyebaran
✓ Hospes definitif : manusia, anjing, kucing, serigala,anjing
laut,beruang,anjing hutan, dan hewan pemakan ikan.
✓ Hospes perantara I : copepoda (Cyclops sp dan Diaptomus sp).
✓ Hospes perantara II: ikan.
✓ Cacing dewasa hidup dalam ileum hospes definitif
✓ Dist.geografis: Amerika, Kanada, Eropa Tengah, Afrika Tengah,
Malaysia, Siberia dan Jepang
c) Morfologi
✓ Telur
Mempunyai overkulum.
Sel-sel telur.
Menetas dalam air à korasidium.
Memerlukan 2 hospes perantara.
Hospes perantara I : Cyclops dan Diaptomus (golongan udang).
Berisi larva PROCERCOID.
Hospes Perantara II : ikan air tawar.
Berisi larva PLEROCERCOID atau SPARGANUM.
✓ Cacing dewasa
Panjang sampai 10 mm, 3000-4000 proglotid.
✓ Skolek
Seperti sendok, mempunyai dua lekuk isap
✓ Proglotid
Lebar lebih panjang dari panjangnya.
Lubang uterus di bagian tengah proglotid.
Mempunyai lubang uterus.
Uterus panjang berkelok-kelok membentuk roset.
d) Siklus hidup
Telur berkembang untuk beberapa minggu, coracidium (onchosphere
berkait 6 dilengkapi embriophore yang bercilia) berada di air, kemudian
dimakan h.i. I cyclopid/diaptomid (berkembang menjadi procercoid) di
haemochole dalam 2-3 minggu selanjutnya h.i. I dimakan h.i. II ikan
(berkembang menjadi plerocercoid) di viscera dan otot. H.i. II dimakan h.d
dan menjadi dewasa dengan periode prepaten 3-4 minggu.
e) Patologi dan gejala klinik
Cara infeksi : makan ikan mentah yang mengandung larva
pleroserkoid
✓ Tidak menimbulkan gejala berat.
✓ Cacing di permukaan usus halus menimbulkan anemia hiperkrom
makrositer.
✓ Bila jumlah cacing besar à obstruksi usus.
f) diagnosis dan pengobatan
✓ Diagnosis
Menemukan telur dalam tinja.
Atau proglotid keluar bersama tinja.
✓ Pengobatan
Atabrin dalam keadaan perut kosong disertai pemberian Na-
bikarbonat.
✓ Pencegahan
Masak ikan dengan sempurna.
2. Telur Hymenolepis diminuta
Morfologi dan daur hidup
Cacing dewasa berukuran 20-60 cm. Skoleks kecil bulat, mempunyai 4 batil
isap dan rostelum tanpa kait – kait. Proglotid gravid lepas dari strobila menjadi
hancur dan telurnya keluar bersama tinja. Telurnya agak bulat, berukuran 60-
79 mikron, mempunyai lapisan luar yang mengelilingi onkosfer dengan
penebalan pada 2 kutub manusia atau tikus, tetapi tanpa filamen. Onkosfer
mempunyai 6 buah kait. Cacing dewasa hidup di rongga usus halus. Hospes
perantaranya adalah serangga berupa pinjal dan kumbang. Dalam pinjal, telur
berubah menjadi larva sistiserkoid. Bila serangga dengan sistiserkoid tertelan
oleh hospes definitif maka larva menjadi cacing dewasa di rongga usus halus.
Penelitian dari Musrifah menyatakan ditemukan 75,67 % H. diminuta dari
total cacing parasit yang menginfeksi tikus yang tertangkap di R.S Dr. Kariadi
Semarang. H. diminuta juga ditemukan pada tikus rumah di dusun Cikal,
Desa Tuntang, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang. Parasit jenis ini
biasanya tidak menimbulkan gejala dan infeksinya terjadi secara kebetulan
saja. Dari segi pengobatan biasanya digunakan atabrine (quinacrine
hydrochloride) yang terbukti cukup efektif.
3. Telur Hymenolepis nana
H. nana adalah parasit yang tersebar di seluruh dunia, namun lebih banyak di
daerah beriklim panas. Spesies ini ditemukan oleh Bilharz pada tahun 1851
dalam usus halus seorang anak asli Dio, Kairo. Hospesnya adalah manusia dan
tikus. Grasee dan Rovell (1887, 1892), pertama kali memperkenalkan daur
hidup yang tidak mempunyai hospes perantara.
Morfologi dan daur hidup
Dari golongan cestoda yang ditemukan pada manusia, cacing ini mempunyai
ukuran terkecil. Panjangnya kira-kira 25-40 mm dan lebarnya 1 mm. Ukuran
strobila biasanya berbanding terbalik dengan jumlah cacing yang ada dalam
hospes. Skoleks berbentuk bulat kecil, mempunyai 4 buah batil isap dan
rostelum yang pendek dan berkait-kait. Bagian leher panjang dan halus.
Strobila dimulai dengan proglotid imatur yang sangat pendek dan sempit,
lebih ke distal menjadi lebih lebar dan luas. Pada ujung distal strobila
membulat. Telur keluar dari proglotid paling distal yang hancur. Bentuknya
lonjong, ukurannya 30-47 mikron, mempunyai lapisan yang jernih dan lapisan
dalam yang mengelilingi sebuah onkosfer dengan penebalan pada kedua
kutub, dari masing-masing kutub keluar 4-8 filamen. Dalam onkosfer terdapat
3 pasang duri (kait) yang berbentuk lanset. Cacing dewasa hidup di usus halus
untuk beberapa minggu. Proglotid yang gravid melepaskan diri dari badan,
telurnya dapat ditemukan dalam tinja. Cacing ini tidak memerlukan hospes
perantara. Bila telur tertelan kembali oleh manusia dan tikus, maka di rongga
usus halus telur menetas, larva keluar dan masuk ke selaput lendir usus halus
dan membentuk larva sistiserkoid, kemudian keluar ke rongga usus dan
menjadi dewasa dalam waktu 2 minggu atau lebih.
Cacing ini juga bisa mengalami autoinfeksi yaitu telur diletakkan di usus dan
tanpa keluar dari usus berkembang menjadi dewasa. Hal ini menyebabkan
jumlah cacing dalam usus meningkat (bisa mencapai 2000 ekor) dan
menyebabkan gangguan kesehatan bagi hostnya. Penyebaran jenis parasit ini
ke manusia dilaporkan biasa terjadi di daerah dengan suhu tinggi dan kondisi
sanitasi yang buruk. Cestoda dari jenis Hymenolepis pada umumnya
membutuhkan host perantara seperti insekta, fleas dan cockroaches untuk
perkembangannya. Akan tetapi pada H. nana tidak harus memerlukan host
perantara.
Sinniah et al (1978) melaporkan 0,7 % pekerja perkebunan kelapa sawit
terinfeksi H. nana dan H. diminuta. Khaerul (1978) melaporkan parasit yang
sama juga menginfeksi manusia di Teluk Bahang Penang Malaysia.
Sandosham (1955) melaporkan 1 % dari 1300 pasien di Rumah sakit di
Singapura terinfeksi H. nana. Biasanya anak-anak lebih rentan terkena infeksi
cacing ini dibanding orang dewasa.
Parasit ini biasanya tidak menyebabkan gejala. Sakit perut, diare, obstipasi dan
anoreksia merupakan gejala ringan. Pada anak-anak dengan infeksi berat,
cacing ini kadang-kadang menyebabkan keluhan neurologi yang gawat,
mengalami sakit perut dengan atau tanpa diare, kejang-kejang, sukar tidur dan
pusing. Eosinofilia sebesar 8-16 %. Beberapa obat yang efektif adalah
atabrine, bitional, prazikuantel dan niklosamid (yamesan).
Infeksi cacing parasit yang biasanya tidak menyebabkan penyakit yang berat
dan jumlah penderita yang banyak inilah yang menyebabkan penyakit ini
sering dianggap sebagai sesuatu yang normal. Namun sebenarnya kerugian
yang disebabkan secara keseluruhan cukup besar. Kontaminasi dengan tinja
tikus perlu mendapat perhatian. Infeksi pada manusia selalu disebabkan oleh
telur yang tertelan dari benda-benda yang terkena tanah, dari tempat buangan
air atau langsung dari anus ke mulut. Kebersihan individu, keluarga, kelompok
masyarakat terutama pada pemukiman yang padat penduduk, panti asuhan dan
lain sebagainya harus diutamakan. Pada anak-anak biasakan untuk selalu
hidup bersih, seperti cuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air besar
dengan sabun, memotong kuku secara berkala, menggunakan sandal atau
sepatu bila keluar rumah terutama bila berjalan di tanah, memilih dan
mengolah makanan dengan bersih. Misalnya, mencuci sayuran dengan air
yang mengalir dan tidak membiarkan makanan dihinggapi lalat karena
biasanya lalat juga mampu membawa telur-telur cacing
4. Telur Taenia sp
Siklus hidup Taenia sp
Cacing Taenia dapat menginfeksi manusia disebabkan ketika sapi
mengkonsumsi rumput yang telah terkontaminasi larva, kemudian larva
(oncosfer) menetas didalam usus dan menembus dinding usus, kemudian
masuk dalam pembuluh darah. Oncosfer yang terbawa aliran darah masuk
dalam otot kemudian oncosfer tumbuh menjadi Cysticercus dalam jaringan
intramuskuler. Cysticercus dalam daging yang tidak dimasak dengan baik dan
termakan selanjutnya scolex melekat pada mukosa usus halus dan tumbuh
menjadi cacing dewasa, kemudian cacing dewasa berada didalam usus halus
manusia sehingga menyebabkan manusia terinfeksi Taeniasis.
5. Telur Fasciola hepatica
a) Etiologi
Klasifikasi dan Morfologi Fasciola sp. Cacing Fasciola sp. diklasifikasikan ke
dalam filum Platyhelmintes, kelas Trematoda, ordo Digenea, family
Fasciolidae, genus Fasciola, spesies Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica
(Anonim, 2012).
Fasciola hepatica berukuran 35 x 10 mm, mempunyai pundak lebar dan ujung
posterior lancip. telur Fasciola hepatica juga memiliki operkulum, berwarna
kuning emas dan berukuran 150 x 90 µ (Baker, 2007).
b) Siklus hidup
Siklus hidup berbagai spesies Fasciola sp. umumnya memiliki pola yang sama,
dengan variasi pada ukuran telur, jenis siput sebagai hospes perantaranya dan
panjang waktu yang diperlukan untuk berkembang di dalam hospes tersebut,
maupun pertumbuhannya dalam hospes definitif (Subronto, 2007).
Di dalam tubuh hospes yaitu ternak, ikan, dan manusia, cacing dewasa hidup
di dalam hati dan bertelur di usus, kemudian telur keluar bersama dengan
feses. Telur menetas menjadi larva dengan cilia (rambut getar) di seluruh
permukaan tubuhnya yang disebut mirasidium. Larva mirasidium kemudian
berenang mencari siput Lymnea. Mirasidium akan mati bila tidak masuk ke
dalam siput air tawar (Lymnea rubiginosa). Setelah berada dalam tubuh siput
selama 2 minggu, mirasidium akan berubah menjadi sporosis. Larva tersebut
mempunyai kemampuan reproduksi secara aseksual dengan cara paedogenesis
di dalam tubuh siput, sehingga terbentuk larva yang banyak. Selanjutnya
sporosis melakukan paedogenesis menjadi beberapa redia, kemudian redia
melakukan paedogenesis menjadi serkaria. Larva serkaria kemudian berekor
menjadi metaserkaria, dan segera keluar dari siput dan berenang mencari
tanaman yang ada di pinggir perairan misalnya rumput, tanaman padi atau
tumbuhan air lainnya. Setelah menempel, metaserkaria akan membungkus diri
dan menjadi kista yang dapat bertahan lama pada rumput, tanaman padi, atau
tumbuhan air. Apabila tumbuhan tersebut termakan oleh hewan ruminansia
maka kista tersebut dapat menembus dinding usus, kemudian masuk ke dalam
hati, lalu ke saluran empedu dan menjadi dewasa selama beberapa bulan
sampai bertelur dan siklus ini terulang kembali (Ditjennak, 2012).
c) Patogenesis
Fasciolosis pada sapi, kerbau, domba, dan kambing dapat berlangsung akut
maupun kronis. Kasus akut umumnya terjadi karena invasi cacing muda
berlangsung secara masif dalam waktu singkat dan merusak parenkim hati
sehingga fungsi hati sangat terganggu serta menimbulkan perdarahan pada
rongga peritoneum. Meskipun cacing muda hidup dalam parenkim hati, parasit
tersebut juga dapat menghisap darah, seperti cacing dewasa dan menyebabkan
anemia pada minggu ke-4 atau ke-5 fase migrasi cacing muda. Diperkirakan
10 ekor cacing dewasa dapat menyebabkan kehilangan darah sebanyak 2
ml/hari. Fasciolosis kronis berlangsung lambat dan disebabkan oleh aktivitas
cacing dewasa di dalam saluran empedu, baik di dalam hati maupun di luar
hati. Fasciolosis menyebabkan cholangitis, obstruksi saluran empedu,
kerusakan jaringan hati disertai fibrosis dan anemia. Anemia terjadi karena
cacing dewasa mengisap darah serta kehilangan persediaan zat besi (Subronto,
2007). Lesi yang disebabkan oleh infeksi Fasciola sp. pada semua ternak
hampir sama bergantung pada tingkat infeksinya. Kerusakan hati paling
banyak terjadi antara minggu ke 12-15 pasca infeksi. Kerusakan jaringan
mulai terjadi pada waktu cacing muda mulai menembus dinding usus tetapi
kerusakan yang berat dan peradangan mulai terjadi sewaktu cacing bermigrasi
dalam parenkim hati dan ketika berada dalam saluran empedu dan kantong
empedu (Ditjennak, 2012).
6. Telur Clonorchis sinensis
Clonorchis sinensis adalah salah satu trematoda hati yang bersifat hermaprodit
yang dapat menimbulkan penyakit clonorchiasis. Nama lain parasit ini adalah
Opisthorchis sinensis atau The chinese liver fluke.
Hospes definitif : kucing, anjing, manusia.
Hospes intermedier 1 : keong air.
Hospes intermedier 2 : ikan
a) Siklus hidup
Telur keluar bersama tinja → telur dimakan hospes perantara 1 (keong
air) → menetas menjadi mirasidium → berkembang menjadi sporokista →
redia → cercaria → keluar dari hospes perantara 1 → cercaria berenang
bebas di air → masuk ke hospes perantara 2 (ikan) → menjadi
metaserkaria di dalam hospes perantara 2 → ikan dimakan manusia →
ekskistasi dalam duodenum → larva masuk ductus choledochus → masuk
saluran empedu dan menjadi dewasa.
b) Morfologi
Ciri-ciri cacing dewasa : Berbentuk pipih seperti daun berwarna abu-abu.
Ukuran : panjang 11 – 20 mm dan lebar 3 – 5 mm. Mempunyai dua batil
isap (oral dan ventral sucker) terletak di seperempat bagian tubuh sebelah
anterior. Coecum bercabang seperti huruf Y terbalik. Mempunyai 2 testis
di sebelah posterior dan berlobus. Ovarium terletak disebelah anterior
testis dan sedikit berlobus.
Ciri-ciri telur : Telur berbentuk oval. Telur mempunyai operculum
Ukuran : panjang ±29 μm dan lebar ±16 μm Telur berisi mirasidium
c) Gejala klinis Clonorchiasis
Cacing dewasa menyebabkan perubahan pada saluran empedu dan
jaringan hati berupa radang dan penebalan saluran empedu. Gejala dan
keluhan tergantung dari berat ringannya infeksi dan infeksi ulangan.
Infeksi yang ringan tanpa gejala atau hanya keluhan ringan saja. Infeksi
yang berat dapat menyebabkan pembesaran hati disertai dengan ikterus.
Pada stadium lanjut dapat terjadi sirosis hepatis disertai asites dengan
oedem.
d) Pencegahan dan pengobatan Clonorchiasis
Pencegahan : Tidak memakan ikan mentah atau setengah matang Tidak
buang air besar sembarangan terutama di lokasi perairan Melakukan
pengobatan pada penderita.
Pengobatan : Obat praziquantel, dengan dosis 75mg/kg/hari secara oral,
tiga dosis per hari selama 2 hari. Obat alternatifnya adalah albendazole
dengan dosis untuk orang dewasa adalah 10 mg/kg/hari selama 7 hari.
7. Telur Paragonimus westermani
Paragonimus westermani adalah salah satu trematoda paru-paru yang bersifat
hermaprodit yang dapat menimbulkan penyakit paragonimiasis. Trematoda ini
mempunyai nama lain the lung fluke, Distoma westermani, dan Paragonimus
ringeri.
Hospes definitif : manusia, anjing, kucing.
Hospes intermedier 1 : keong air tawar (Melania sp.).
Hospes intermedier 2 : kepiting (Potamon sp., Paratelphusa sp., Sesarma sp.)
udang air tawar (Astacus sp., Cambarus sp.)
a) Siklus hidup
Cacing dewasa hidup di jaringan paru-paru → bertelur kemudian telur akan
melalui bronkus dan keluar dengan dua cara → 1. dibatukkan bersama sputum
yang haemorrhagia, 2. jika sputum tertelan maka telur akan masuk ke dalam
saluran pencernaan dan akan keluar bersama tinja → telur yang belum
mengalami embrionisasi jika jatuh ke air akan matang (berisi mirasidium) →
dalam 3 – 4 minggu menetas dan keluar mirasidium → mirasidium masuk ke
hospes perantara 1 (Melania sp.) → berkembang menjadi sporokista → redia
1 → redia 2 → cercaria → cercaria keluar kemudian masuk ke hospes
perantara 2 → didalam insang hospes perantara 2 cercaria membungkuskan
diri dalam kista buat dan di sebut metaserkaria → metaserkaria dalam hospes
perantara 2 tertelan manusia → mengalami enkistasi dalam usus halus →
menerobos dinding usus → menembus diafragma dan rongga pleura →
menjadi dewasa dalam paru-paru. Kadang-kadang dapat mengembara ke otak
dan menjadi dewasa di situ. Cacing ini dapat hidup selama 5 – 6 tahun.
b) Morfologi
Ciri-ciri cacing dewasa :
✓ Cacing dewasa tebal berbentuk seperti biji kopi.
✓ Berwarna coklat kemerahan.
✓ Ukuran : panjang 7 – 12 mm, lebar 4 – 6 mm, dan ketebalan 3 mm.
✓ Oral sucker terletak subterminal, ventral sucker di bagian tengah tubuh.
Oral dan ventral sucker mempunyai ukuran yang sama besarnya.
✓ Testis dua buah berlekuk dalam saling berdampingan, terletak di ½
posterior badan.
✓ Ovarium besar berlekuk dalam di sebelah lateral dari testis.
✓ Kelenjar vitelaria meluas di seluruh daerah lateral.
✓ Porus genitalis terletak di dekat tepi belakang ventral sucker
Ciri-ciri telur :
✓ Telur berbentuk oval.
✓ Ukuran : panjang 80 – 120 μm dan lebar 50 – 60 μm.
✓ Mempunyai operculum yang khas berdinding tebal.
✓ Telur berisi sel-sel ovum (belum matang)
c) Gejala klinis
Penyakit akibat infeksi cacing ini dinamakan Paragonimiasis. Infeksi cacing
ini dapat memberikan gejala di paru-paru dan ektopik infeksi.
Gejala paru-paru :
✓ Berupa kerusakan jaringan.
✓ Tampak juga infiltrasi sel jaringan.
✓ Reaksi jaringan membentuk kapsul fibrotik (kista), di dalamnya
terdapat cacing dan juga telur, jika kista ini berada di brokus maka oleh
suatu hal dapat pecah. Gejala mula-mula batuk kering, kemudian batuk
darah.
Ektopik infeksi :
✓ Di otak → gejala cerebral (epilepsi).
✓ Di usus → abses dengan gejala diare.
✓ Di jaringan otot → ulcerrosa.
✓ Di hati, dinding usus, pulmo, otot, testis, otak, peritoneum, pleura
terdapat bentuk kista.
d) Pencegahan dan pengobatan
Pencegahan :
✓ Tidak memakan kepiting yang belum di masak sampai matang.
✓ Tidak buang air besar sembarangan terutama di lokasi perairan.
✓ Melakukan pengobatan pada penderita.
Pengobatan :
Obat praziquantel, dengan dosis 25mg/kg/hari secara oral, tiga dosis per hari
selama 2 hari. Obat alternatifnya adalah Triclabendazole dengan dosis 10
mg/kg/hari, satu atau dua dosis per hari.
8. cacing F. Gigantica
Cacing Fasciola sp. diklasifikasikan ke dalam filum Platyhelmintes, kelas
Trematoda, ordo Digenea, family Fasciolidae, genus Fasciola, spesies Fasciola
hepatica dan Fasciola gigantica (Anonim, 2012). Fasciola gigantica berukuran
25-27 x 3-12 mm, mempunyai pundak sempit, ujung posterior tumpul,
ovarium lebih panjang dengan banyak cabang. Telur Fasciola gigantica
memiliki operkulum, berwarna emas dan berukuran 190 x 100 µ.
F. Kesimpulan
1. Mengetahui morfologi cacing, telur cacing dan termetoda .
2. Cacing cestoda memiliki ciri: berbentuk seperti pita, hermafrodit, bersegmen,
memiliki alat hisap, tidak memiliki kait, tidak memiliki usus, dan tidak
memiliki rongga tubuh.
Cacing trematoda memiliki ciri: berbentuk seperti daun, hermafrodit kecuali
schistosoma, tidak bersegmen, memiliki alat hisap, tidak memiliki kait,
memiliki usus, memiliki rongga tubuh.
G. Daftar pustaka
Faust, E.G.F.P. Russel & H.C.Jung. 1971.Clinical Parasitology 8th. Ed. Lea and
Febiger, Philadelphia, USA.

Hadi Mahmud, Abdul, 2004, Cacing parasite usus halus pada tikus sawah, Rattus
argentiveter Robinsos (Rodentia) dari pesawahan Sukamandi dan Majalaya,
Departemen Biologi ITB.

Editor: Prof.dr.Srisasi Gandahusada, Drs.h.Herry D.Ilahude DAP&E. Prof.dr.Wita


Pribadi. 2006. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

Musrifah. 2005. Hubungan Antara Timbulan Sampah Organik Dengan Jumlah Cacing
Parasit Pada Tikus di RS Dr.Kariadi Semarang.

Adriani. Dian. 1996. Cacing-cacing Parasit Penyebab Penyakit Pada Manusia yang
Bersumber Tikus di Dusun Cikal Desa Tuntang Kecamatan Tuntang Kabupaten
Semarang.

Budiharta S. 2002. Kapita Selekta Epidemiologi Veteriner. Bagian Kesehatan


Masyarakat Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Gadjah Mada;
Yogyakarta.

Balqis, Ummu, Darmawi, Sitti A dan Muhammad H. 2013. Perubahan Patologi


Anatomi Hati dan Saluran Empedu Sapi Aceh Yang Terinfeksi Fasciola gigantica.
Agripet: Vol (13) No. 1 : 53-58.

Estuningsih SE, Widjajanti, Adiwinata. 2004a. Perbandingan antara uji elisaantibodi


dan pemeriksaan telur cacing untuk mendeteksi infeksi Fasciola gigantica pada sapi.
JITV 9(1) : 55-60.

Estuningsih SE, Adiwinata, Widjajanti, Piedrafita. 2004b. Pengembangan teknik


diagnosa fasciolosis pada sapi dengan antibody monoclonal dalam capture ELISA
untuk deteksi antigen. Seminar Nasional Parasitologi dan Toksikologi Veteriner.
Bogor, 20-21 April 2004.

Martindah E, Widjajanti S, Estuningsih SE, Suhardono. 2005. Meningkatkan


Kesadaran dan Kepedulian Masyarakat Terhadap Fasciolosis Sebagai Penyakit
Infeksius. Wartazoa Vol. 15.

Anda mungkin juga menyukai