perbaikan jalan usaha tani, sarana produksi, dan alat mesin pertanian untuk
mendukung pengembangan bisnis pertanian di TTP dan desa-desa sekitarnya. TTP
ini dicirikan sebagai TTP pengembangan ternak, karena usaha peternakan dinilai
paling ekonomis dengan kondisi wilayah ini, dan keuntungannya juga menjanjikan.
Ternak yang dikembangkan pada wilayah ini, di antaranya domba, kambing, dan
ayam KUB. Selain itu, komoditas penunjang lainnya, seperti hortikultura,
perkebunan, dan komoditas lainnya akan turut dikembangkan untuk menunjang
bisnis peternakan sekaligus sebagai pendapatan tambahan bagi petani.
Usia responden pada penelitian ini dihitung dari tanggal responden dilahirkan
sampai dengan dilakukannya pengambilan data penelitian ini. Pengelompokkan
usia pada penelitian ini berdasarkan Rushendi (2017), yaitu dibagi atas tiga, di
antaranya muda (18-29 tahun), dewasa (30-49 tahun), dan tua ( ≥ 50 tahun). Usia
responden pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah ini:
21%
41%
24%
24%
17%
Rendah (0 tahun)
Sedang (1 tahun)
21%
62% Tinggi (>1 tahun)
7%
17%
Rendah (≤30 persen)
Sedang (31 - 70 persen)
Tinggi (71 - 100 persen)
76%
sebanyak tiga sampai dengan empat orang, dan kategori tinggi dengan jumlah
tanggungan lima orang atau lebih.
4%
86,21
79,31 79,31
68,96
55,17
44,83
31,03
20,69 20,69
13,79
0 0 0 0 0
“Bapaknya baik banget sih, Mba. Kalo misalnya kita butuh apa-
apa tinggal hubungin beliau secara personal, nanti pasti dateng
kapan beliau bisanya”(MD, 44 Tahun)
kegiatan karena pada poin ini beberapa responden merasa bahwa penyuluh kurang
melibatkan responden dalam menyusun rencana kegiatan.
Selanjutnya, kompetensi profesional penyuluh, menurut Slamet (2003b)
dalam Farida (2012), penyuluhan pertanian di masa depan harus dapat dilaksanakan
secara profesional dalam arti penyuluhan itu tepat dan benar secara teknis, sosial,
budaya dan politik serta efektif karena direncanakan, dilaksanakan dan didukung
oleh tenaga-tenaga ahli dan terampil yang telah disiapkan secara baik dalam suatu
sistem penyuluhan pertanian yang baik pula. Penyuluhan yang profesional itu juga
didukung oleh faktor-faktor pendukung yang tepat dan memadai, seperti peralatan
dan fasilitas lainnya, informasi, data, dan tenaga ahli yang relevan.
Pada penelitian ini, kompetensi profesional penyuluh yang digambarkan
adalah penyuluh mampu membuat kegiatan pembelajaran yang menarik dan mudah
dimengerti, mampu mengembangkan minat belajar responden, menguasai materi
penyuluhan dengan baik, mampu menganalisis masalah yang ada di lapangan,
mampu mengembangkan kelompok ternak, dan mampu mengembangkan
kemampuan kewirausahaan. Sebagian besar responden merespon positif terhadap
aspek-aspek kompetensi penyuluh tersebut, namun beberapa responden
menyatakan perlunya penyuluh untuk meningkatkan kompetensi pada aspek
mengembangkan kemampuan kewirausahaan. Melihat kondisi di lapang bahwa
responden tergerak untuk berwirausaha ayam KUB, namun kegagalan di awal yang
dialami karena beberapa faktor, seperti kematian ternak, dan tidak adanya pasar
yang tersedia membuat responden ragu untuk mengulang beternak ayam KUB.
Kompetensi sosial penyuluh adalah melihat hubungan atau interaksi antara
penyuluh dengan responden tanpa adanya membeda-bedakan pada suatu aspek
tertentu. Pada kompetensi ini, responden menggambarkan penyuluh sebagai orang
yang mudah dimengerti dalam aspek berbicara dan bahasa, menyenangkan,
melayani kebutuhan pertanian responden, mampu bekerjasama dengan responden,
mampu mengembangkan rasa kesetiakawanan dalam kelompok, dan mampu
mengembangkan rasa mempercayai dalam kelompok. Secara keseluruhan,
responden merespon positif terhadap kompetensi ini.
Berdasarkan wawancara di lapang bahwa penyuluh ayam KUB di Desa
Tugujaya meninggalkan kesan yang sangat ramah kepada target penyuluhan.
Responden tidak ragu untuk menghubungi penyuluh secara personal, dan penyuluh
juga meresponnya dengan baik. Penyuluh pun terbuka untuk diajak diskusi kapan
pun secara tidak langsung atau langsung dan datang langsung ke lokasi yang
terbilang cukup jauh. Selain membahas tentang ayam KUB, penyuluh juga tidak
keberatan untuk diajak membahas topik lain, seperti persilangan ayam, dan
modifikasi pakan. Diskusi antara penyuluh dan responden ini tentu tidak bersifat
satu arah. Penyuluh pun menunjukkan ketertarikannya terhadap responden dengan
cara menghubungi responden lebih dulu untuk membahas topik, juga memantau
keberlanjutan usaha ternak responden. Kesan baik yang ditinggalkan penyuluh
terhadap responden ini yang kemudian dapat menjaga hubungan antara penyuluh
dan para responden.
43
0%
34%
Rendah (1 media)
Sedang (2 media)
Tinggi (>2 media)
66%
satu orang responden, dan media cetak (leaflet) yang dalam hal ini tidak digunakan
responden untuk mengakses informasi.
30 27
25
20
15
11
10
5
1 0
0
Televisi Media Cetak Handphone Media Interpersonal
Gambar 10 Jumlah pengguna media komunikasi yang bisa diakses oleh responden
di Desa Tugujaya tahun 2020
Banyaknya responden yang menggunakan media interpersonal untuk
mengakses informasi dikarenakan dekatnya lokasi tempat tinggal mereka dengan
TTP Cigombong yang merupakan pusat informasi dan pusat produksi ayam KUB
di desa mereka, sehingga hal tersebut dianggap praktis untuk memperoleh informasi
dengan lebih jelas karena sifatnya yang tatap muka dan berbicara langsung dengan
penyuluh. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa penyuluh dapat diundang ke
perkumpulan kelompok ternak dalam rangka memenuhi kebutuhan informasi. Hal
ini sejalan dengan Adawiyah et al. (2017) dan Andriaty et al. (2011) yang
menyatakan bahwa media yang paling sering diakses dan sebagai sumber informasi
dominan para petani adalah media interpersonal/ pertemuan. Selain itu, Bulu et al.
(2009) menyatakan bahwa sumber informasi inovasi utama bagi petani adalah
melalui media komunikasi interpersonal. Sesama petani, tetangga kebun, tetangga
rumah, petani berhasil, pengurus kelompok tani, kios sarana produksi, tokoh
masyarakat, PPL, dan sumber-sumber lain yang diyakini petani memiliki informasi
inovasi yang dapat dipercaya merupakan sumber informasi utama bagi petani
Penggunaan handphone untuk mengakses informasi ayam KUB oleh
responden jarang dimanfaatkan karena alasan yang telah disebutkan sebelumnya.
Selain itu, penggunaan handphone juga dinilai tidak praktis karena untuk
menggunakannya diperlukan biaya lain, seperti pulsa atau kuota internet. Beberapa
responden yang menggunakan handphone untuk mengakses informasi,
memanfaatkannya dengan cara penggunaan panggilan, Whats App, dan Google.
Kurang terpaparnya masyarakat desa terhadap teknologi juga menjadi alasan
kurangnya penggunaan handphone (smartphone), sehingga penggunaan aplikasi
yang mendukung mereka dalam pengaksesan informasi juga secara otomatis minim
dilakukan.
Hal tersebut sejalan dengan penelitian Walingkas et al. (2016) yang
menyatakan bahwa keterbatasan perangkat dan biaya akses internet menjadi
kendala bagi masyarakat desa untuk menggunakan internet. Akibatnya,
keterbatasan dalam mengakses internet berdampak pada kurangnya informasi yang
dapat diolah sehingga keputusan-keputusan dalam menjalankan usaha pertanian
45
hanya berdasarkan intuisi dan pengalaman saja padahal dunia pertanian saat ini
cukup berkembang dengan pemanfaatan teknologi mulai dari pembibitan tanaman
hingga ke proses panen. Sektor permodalan juga telah banyak mendukung
pertanian, tetapi akibat akses informasi yang tidak ada sehingga banyak petani yang
tidak memanfaatkan berbagai peluang tersebut (Masyhur 2016)
Selain media interpersonal dan penggunaan handphone, satu responden
menyatakan bahwa ia memperoleh informasi ayam KUB dari televisi yang secara
kebetulan ditontonnya. Kemudian, untuk media cetak, tidak seorang responden pun
yang menyatakan bahwa mereka mengakses informasi dari media cetak. Pihak TTP
Cigombong sendiri sebagai pusat informasi masyarakat sekitar terkait ayam KUB,
menyediakan leaflet yang memuat tentang informasi ayam KUB. Berdasarkan
pengamatan di lapangan, leaflet ini kurang diminati di kalangan peternak sekitar
karena utamanya informasi yang dimuat di dalamnya hanya memuat informasi
dasar, sedangkan informasi dasar ayam KUB biasanya sudah didapatkan peternak
dari penyuluh. Masalah yang dihadapi peternak biasanya lebih bersifat ke teknis
dalam beternak ayam KUB. Solusi-solusi atau jawaban yang dibutuhkan untuk
permasalahan atau pertanyaan yang sedang dihadapi peternak tentunya tidak dimuat
di dalam leaflet. Utamanya, leaflet ini dicetak sebagai sedikit sumber informasi bagi
masyarakat yang melakukan kunjungan ke TTP Cigombong.
Permasalahan lain yang dihadapi oleh sebagian peternak adalah seperti yang
telah dipaparkan sebelumnya bahwa kemampuan responden dalam hal baca tulis
masih kurang, sehingga responden hanya dapat mengakses informasi melalui
obrolan langsung dengan penyuluh atau rekannya. Kurangnya kemampuan
responden dalam baca tulis ini juga berpengaruh terhadap penggunaan gadget atau
internet atau pun leaflet karena media ini menuntut pelakunya untuk dapat
mengenal huruf dan kalimat. Hal ini yang kemudian mengakibatkan responden
kurang aktif dalam mencari atau mengakses informasi menggunakan berbagai
media komunikasi.
Berbagai media di atas yang menjadi alat untuk mengakses sumber informasi
mempunyai perannya masing-masing dalam memenuhi kebutuhan informasi
peternak. Gambar di bawah ini menggambarkan seberapa sering peternak
mengakses informasi untuk memenuhi kebutuhan informasi mereka dalam sebulan
dengan media yang mereka manfaatkan. Berdasarkan gambar ini, sebesar 41 persen
peternak atau sebanyak 12 orang masuk dalam kategori sering mengakses
informasi, yaitu sebanyak lima kali dalam sebulan. Kemudian, diikuti dengan
sebesar 31 persen atau sebanyak sembilan orang peternak masuk dalam kategori
sedang dalam mengakses informasi, yaitu sebanyak tiga sampai empat kali dalam
sebulan. Sisanya, sebesar 28 persen atau sebanyak delapan orang masuk dalam
kategori rendah dalam mengakses informasi, yaitu sebanyak satu sampai dua kali
dalam sebulan.
46
28%
31%
75,86 79,31
24,14 20,69
6,9 10,34 6,9
0 0 0 0 0
mereka dengan pihak TTP. Selain itu, hal yang hanya harus diperhatikan dalam
pemberian pakan adalah pencampuran dedak dengan pakan murni dilakukan
saat umur ayam setelah satu bulan dan sesuai takaran. Tidak teraturnya
pemberian dedak pada ayam KUB akan mengakibatkan bobot ayam yang berat
pada bulu, bukan dagingnya.
Secara keseluruhan inovasi ayam KUB tidak memiliki kerumitan teknis.
Balitnak sendiri menyatakan bahwa hal-hal dalam beternak ayam KUB sama
seperti beternak ayam lainnya yang mana harus memperhatikan kebersihan,
suhu, dan kepadatan kandang, dan pemberian pakan, minum, dan vaksin yang
teratur untuk menghasilkan hasil panen yang optimal dan mencegah ayam
terserang penyakit.
Menurut pihak TTP sendiri terkait skala ternak yang kecil ini juga tetap
membawa keuntungan terlepas dari berapa pun jumlah ekornya, tetapi jika
dikaitkan dengan terpenuhi kebutuhan rumah tangga mungkin baiknya adopsi
peternak adalah ada pada 100-200 ekor minimalnya. Berbicara soal
keuntungan per ekornya, total dari modal memelihara DOC sampai dengan
panen adalah ± Rp29.000,00 dengan harga jual ayam tersebut Rp36.000,00-
Rp40.000,00 per kg nya, sehingga peternak bisa mendapat keuntungan sekitar
Rp7.000,00-Rp11.000,00 per kg nya.
kesesuaian yang paling dirasakan adalah inovasi ayam KUB ini tidak bertentangan
dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Tingkat kerumitan yang dirasakan paling
tidak rumit dari inovasi ayam KUB ini adalah pembuatan kandang, pengelolaan
kandang, dan pemberian pakan, minum, dan vaksin. Tingkat kemampuan diuji
coba, inovasi ayam KUB ini mampu dicoba diternakkan pada skala kecil. Terakhir,
pada tingkat kemudahan diamati, bobot dan warna dari inovasi ayam KUB adalah
dua hal yang paling mudah terlihat.
Tabel 16 Persentase responden berdasarkan sifat inovasi ayam KUB
Persentase Peternak
Responden (%)
Sifat Inovasi
Tidak
Setuju
setuju
Tingkat keuntungan relatif
• Masa panen lebih cepat 89,65 10,34
• Biaya DOC murah 72,41 27,59
• Biaya pakan murah 55,17 44,83
• Harga jual tinggi 96,55 3,45
Tingkat kesesuaian
• Tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang ada di 100 0
masyarakat
• Sesuai dengan kebutuhan 93,10 6,90
• Sesuai dengan pengalaman masa lalu 65,52 34,48
Tingkat kerumitan
• Pembelian DOC mudah dilakukan
• Pembayaran pembelian DOC mudah dilakukan 93,10 6,90
• Pembuatan kandang ayam KUB tidak rumit 96,55 3,45
• Persiapan kandang untuk DOC tidak rumit 100 0
• Pengelolaan kandang ayam KUB mudah dilakukan 96,55 3,45
• Pemberian pakan untuk ayam KUB mudah 100 0
dilakukan 100 0
• Pemberian minum untuk ayam KUB mudah 100 0
dilakukan 100 0
• Vaksin untuk ayam KUB mudah dilakukan
Tingkat kemampuan diuji coba
• Dapat dicoba pada skala kecil 100 0
Tingkat kemudahan diamati
• Bobot ayam KUB 100 0
• Warna ayam KUB 100 0
• Keuntungan bersih dari ternak ayam KUB 93,10 6,90
54
peternak berdasarkan keputusan adopsinya pada awal proyek, dan saat pengambilan
data penelitian ini dilakukan.
Gambar 13 Keputusan adopsi responden saat awal proyek dan saat ini (2020)
Berdasarkan Gambar 13, dapat dilihat bahwa sebanyak 23 orang di awal
proyek memutuskan untuk mengadopsi inovasi ini, dan sebanyak enam orang
lainnya memutuskan untuk menolak adopsi. Alasan dari peternak mengadopsi
inovasi ini adalah karena dilihat dari keunggulan-keunggulannya, inovasi ayam
KUB ini dinilai menguntungkan bagi peternak, terutama soal masa panen yang
lebih cepat, dan harga jual yang lebih tinggi dibandingkan ayam lainnya. Selain itu,
lokasi pembelian DOC yang ada di desa mereka, dan pembayarannya pun yang bisa
dilakukan dengan sistem yarnen (membayar saat panen), keduanya dianggap
memudahkan dan meringankan bagi peternak. Selanjutnya, sebanyak enam orang
lainnya memutuskan untuk menolak adopsi, yaitu karena beberapa alasan, di
antaranya tidak adanya modal, dan tidak adanya waktu untuk beternak, juga
anggota keluarga yang dapat membantu merawat ternak.
Pada saat pengambilan data penelitian ini dilakukan menunjukkan bahwa dua
dari enam orang yang menolak adopsi pada awalnya, memutuskan untuk
mengadopsi ayam KUB. Ada pun dua orang ini dulunya memutuskan untuk tidak
mengadopsi karena tidak adanya waktu untuk merawat ternak. Kemudian, empat
dari enam orang yang menolak adopsi pada awalnya, tetap memutuskan untuk tidak
mengadopsi inovasi ini. Meski mereka tidak mengadopsi inovasi ini, namun mereka
menerima inovasi ini dengan baik, dan menaruh minat terhadapnya. Kurangnya
modal untuk memulai kegiatan beternak merupakan alasan bagi beberapa dari
mereka yang tidak mengadopsi inovasi ini. Alasan beberapa lainnya, yaitu tidak
adanya waktu untuk merawat ternak, dan merasa bahwa lahan pekarangan mereka
tidak cukup luas untuk kegiatan beternak.
Selanjutnya, pada Gambar 13 juga terlihat data yang cukup signifikan, yaitu
sebanyak 23 orang yang awalnya mengadopsi inovasi ayam KUB ini, keseluruhan
dari mereka tidak ada yang masih melanjutkan adopsi, semuanya memutuskan
untuk tidak mengadopsi kembali atau disebut berhenti adopsi. Berbagai alasan
dikemukakan oleh para peternak, di antaranya adanya pekerjaan lain yang lebih
utama, mengalami gagal panen sebelumnya, kandang yang tidak memadai, hasil
59
panen yang tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan, dan alasan utamanya
adalah harga pakan yang mahal.
Mata pencaharian utama masyarakat di Desa Tugujaya bukanlah sebagai
peternak ayam. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai petani, buruh, supir,
dan lain-lain, sedangkan beternak ayam hanya sebagai kegiatan sampingan atau
hobi bagi mereka. Oleh karena hal tersebut, kebanyakan dari mereka tidak terlalu
menekuni kegiatan beternak ayam. Selain itu, banyak peternak yang tidak memiliki
pengalaman sama sekali tentang beternak ayam. Hal ini dapat menyebabkan gagal
panen karena kurangnya pengetahuan peternak. Gagal panen dapat disebabkan oleh
matinya ternak ayam karena penyakit, atau pun karena ayam saling mematuk
(kanibal). Pengalaman ternak sangat berpengaruh terhadap keberhasilan usaha
karena semakin lama seseorang memiliki pengalaman maka akan semakin mudah
mengatasi kesulitan yang dialaminya (Yendraliza et al. 2018). Tidak memiliki
pengalaman dan mengalami kegagalan kemudian membuat para peternak tidak
tertarik untuk mengadopsi kembali.
Peternak menyatakan bahwa tenaga yang mereka keluarkan tidak sebanding
dengan hasil panen yang didapat. Hal ini bisa terjadi karena skala usahatani yang
dimiliki peternak tidak terlalu besar. Skala usahatani di Tugujaya umumnya kurang
dari 50-100 ekor, tetapi beberapa peternak ada yang hanya mengadopsi di bawah
30 ekor. Tidak peduli berapa banyak peternak memelihara ayam, baik itu lima, 10,
30, 50, 100 dan sebagainya, mereka melakukan hal yang sama. Mereka harus pergi
ke kandang, memberi makan ayam, memeriksa kesehatan mereka, memvaksinasi
mereka, dll. Pengerahan tenaga tersebut dinilai melelahkan bagi peternak, tetapi
karena jumlah ayam yang tidak terlalu banyak, kemudian, membawa keuntungan
yang tidak terlalu besar juga bagi peternak,
Apakah jumlah adopsi yang sedikit mendatangkan keuntungan bagi
peternak? Tentu saja. Kecilnya skala adopsi oleh peternak Desa Tugujaya masih
membawa manfaat bagi rumah tangganya, hanya saja terkadang yang
dipertanyakan apakah mencukupi kebutuhan rumah tangga atau tidak. Menurut
pihak TTP Cigombong sendiri, terkait dengan jumlah adopsi yang kecil juga
mendatangkan keuntungan per ekornya, namun jika dikaitkan dengan pemenuhan
kebutuhan rumah tangga, sebaiknya adopsi petani minimal, yaitu pada 100-200
ekor. Bicara keuntungan per ekor ayam, total modal dari pemeliharaan DOC sampai
panen adalah ± Rp29.000,00 dengan harga jual ayam Rp36.000,00-40.000,00 per
kilo, sehingga peternak bisa mendapat untung sekitar Rp7.000,00–11.000,00.
Harga pakan dianggap mahal bagi peternak karena skala adopsi peternak juga
tidak besar. Sebagian besar skala adopsi peternak adalah 50-100 ekor atau bahkan
ada yang < 50 ekor, sehingga peternak biasa membeli pakan dalam ukuran
kilogram. Pembelian pakan dalam ukuran kilogram, yaitu lebih mahal
dibandingkan dengan ukuran bal (50 kilogram). Harga pakan untuk ukuran
kilogram adalah Rp10.000,00, sedangkan ukuran bal, yaitu Rp320.000,00-
350.000,00. Pembelian ukuran bal tidak memungkinkan bagi peternak dengan
kecilnya jumlah ekor ayam tersebut. Selain itu, membeli pakan dalam ukuran bal,
pakan tersebut tentu bisa digunakan untuk musim ternak berikutnya, namun hasil
panen yang ada nantinya juga belum diketahui pasti keberhasilannya, sehingga
perputaran modal juga tidak pasti ada untuk mendorong peternak mengadopsi
kembali. Kurangnya modal juga dapat menjadi salah satu alasan peternak tidak
60
membeli dengan ukuran bal. Meski mengadopsi ayam KUB dapat dikatakan
sebagai sumber untuk menambah penghasilan rumah tangga, hasil panen tetap
menjadi perhitungan yang tidak pasti karena dapat dipengaruhi hal-hal di luar
kendali, seperti kematian ayam yang mendadak karena cuaca atau suhu yang tidak
sesuai, sehingga peternak takut untuk mengambil resiko untuk mengadopsi
kembali.
Jika peternak mengalami kegagalan panen, pembelian dalam ukuran bal juga
akan menyebabkan terjadinya penumpukan dan pembuangan pakan karena
ketidakmampuan peternak untuk mengadopsi kembali inovasi tersebut pada musim
panen berikutnya. Novianti et al. (2015) menyatakan bahwa pakan lokal semakin
mahal dari hari ke hari, sehingga dapat mengurangi keuntungan yang dapat
diperoleh peternak, bahkan dalam keadaan tertentu dapat menimbulkan kerugian
karena biaya produksi jauh lebih tinggi daripada penjualan ayam kampung atau
telurnya. Hal inilah yang menyebabkan beberapa usaha peternakan gulung tikar
atau selalu merugi.
Berdasarkan sub bab sebelumnya dapat diketahui bahwa secara keseluruhan
inovasi ini dinilai positif bagi peternak. Keuntungan dari ternak ayam KUB ini, di
antaranya harga jual ayam yang tinggi, yaitu pada kisaran Rp34.000,00-
Rp40.000,00 dengan bobot 0,8-1 kg, harga DOC yang terjangkau, yaitu
Rp6.500/DOC, harga DOC ini bisa lebih murah lagi jika kelompok ternak
mengajukan proposal ke Balitnak untuk pembelian secara berkelompok, yaitu
sebesar Rp3.500/DOC, masa panen yang cepat, yaitu ± 3 minggu. Selain itu,
pemeliharaan ayam ini di pekarangan rumah tidak menimbulkan bau yang
menyengat bagi sekitar, sehingga masyarakat sekitar tidak merasa terganggu.
Kemudian, ternak ayam KUB ini juga bisa dilakukan pada skala kecil, seperti lima
ekor, sepuluh ekor, dan sebagainya. Pemeliharaan ayam KUB pun dirasakan
peternak tidak rumit karena pemeliharaannya tidak jauh berbeda dengan
memelihara ayam jenis lainnya, dan juga sederhana bagi yang sebelumnya tidak
memiliki pengalaman beternak. Selain itu, keuntungan bersih yang didapat dari
beternak ayam KUB cukup bisa dirasakan karena harga jual yang lebih tinggi
tersebut.
Tabel 20 menyajikan hasil uji korelasi spearman antara persepsi peternak
terhadap inovasi ayam KUB dengan keputusan adopsi inovasi ayam KUB.
Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa persepsi peternak terhadap inovasi ayam
KUB memiliki hubungan yang signifikan dengan keputusan adopsinya. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin baik persepsi peternak terhadap inovasi ayam KUB,
maka peternak akan semakin berminat untuk mengadopsi inovasi ini.
Tabel 20 Hasil uji korelasi spearman antara variabel persepsi terhadap inovasi ayam
KUB dengan keputusan adopsi inovasi ayam KUB
Keputusan adopsi inovasi ayam KUB
Koefesien Sig.
Persepsi terhadap inovasi ayam
0,429* 0,020
KUB
Ket: (*) Signifikan pada level 0,05
Untuk lebih jelasnya, Tabel 21 menyajikan gambaran (tabulasi silang) antara
persepsi peternak dengan keputusan adopsi yang dipilih peternak pada waktu
61
penelitian ini dilakukan. Pada tabel terlihat bahwa peternak yang masih mengadopsi
inovasi ini, yaitu sebanyak dua orang pada kategori mengadopsi kemudian, berada
pada kategori tinggi persepsinya terhadap inovasi ayam KUB.
Tabel 21 Tabulasi silang antara variabel persepi peternak terhadap inovasi ayam
KUB dengan keputusan adopsi inovasi ayam KUB
Keputusan Adopsi
Menolak Berhenti Mengadopsi Total
adopsi Adopsi Kemudian
n % n % n % n %
Persepsi Rendah 0 0 0 0 0 0 0 0
inovasi Sedang 4 13,79 16 55,17 0 0 20 68,96
Tinggi 0 0 7 24,14 2 6,90 9 31,03
Total 4 13,79 23 79,31 2 6,90 29 100
Banyaknya peternak yang berhenti adopsi terjadi karena seperti yang telah
disebutkan sebelumnya bahwa kondisi sosial ekonomi yang paling berpengaruh
terhadap keputusan adopsi peternak. Harga pakan yang mahal umumnya
merupakan alasan rendahnya adopsi ayam KUB di kalangan peternak Desa
Tugujaya. Novianti et al. (2015) menyatakan bahwa pakan lokal semakin hari
semakin mahal, sehingga dapat mengurangi keuntungan yang dapat diperoleh
peternak, bahkan pada keadaan tertentu dapat menyebabkan kerugian karena biaya
produksi jauh lebih besar dari penerimaan penjualan ayam kampung atau telurnya.
Hal inilah yang menyebabkan banyak usaha peternakan yang gulung tikar atau
tutup karena selalu merugi.
Sebagai tambahan, berdasarkan artikel yang dimuat di Antara News pada
2017, Dr Retno Sri Hartati Mulyandari selaku kepala Balai Pengelola Alih
Teknologi Pertanian (BPATP) menyatakan bahwa peternak inti ayam KUB TTP
Cigombong sudah dapat secara mandiri menjalankan operasional bisnis dan
budidaya ayam KUB secara bersama-sama dengan peternak plasma ayam KUB
TTP Cigombong (Subagyo 2017). Hal ini kemudian di tahun sekarang (2020) tidak
sesuai dengan kondisi yang ada di lapang yang mana berdasarkan data yang
diperoleh bahwa TTP Cigombong hanya menyisakan satu orang peternak inti dan
dua orang peternak plasma yang masih melanjutkan usaha ini. Di sisi lain, beberapa
orang di kelompok ternak tentunya masih berminat terhadap ternak ayam KUB,
namun belum dapat dikatakan mandiri karena peternak masih membutuhkan
bantuan dari penyuluh untuk memandu usaha peternakan mereka, yang mana masih
dalam proses pengajuan proposal untuk mendapatkan bantuan ternak dari instansi
terkait. Selain itu, ada juga beberapa dari mereka yang berminat, tidak aktif dalam
berusaha untuk mengadopsi Kembali, namun hanya menunggu bantuan dari
pemerintah saja.
TTP Cigombong sendiri dapat dikatakan cukup berhasil karena beberapa
orang di luar wilayah Cigombong mengenal TTP ini dan beberapa melakukan
kunjungan, belajar, atau pun membeli ayam KUB dari sini, namun untuk di daerah
sekitar TTP sendiri, yaitu di Desa Tugujaya, tidak banyak yang menjalankan ternak
ayam KUB karena alasan-alasan yang telah disebutkan di atas.