Anda di halaman 1dari 30

32

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian


Desa Tugujaya terletak di Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor,
Provinsi Jawa Barat. Desa ini dibentuk pada tahun 1979 yang merupakan
pemekaran dari Desa Cigombong yang berada di wilayah perbatasan Kabupaten
Bogor dengan Kabupaten Sukabumi di bagian paling selatan. Suhu rata-rata desa
ini, yaitu 23 derajat Celsius dengan suhu minimun 20 derajat Celsius dan suhu
maksimum 32 derajat Celsius. Batas wilayah administratif Desa Tugujaya, yaitu
sebagai berikut:
Sebelah Utara : berbatasan dengan Desa Cisalada dan Pasirjaya
Sebelah Timur : berbatasan dengan Desa Cigombong
Sebelah Selatan : berbatasan dengan Desa Kutajaya-Sukabumi
Sebelah Barat : berbatasan dengan Gunung Salak.
Desa Tugujaya terdiri dari dua wilayah atau zona, yaitu zona atas dan zona
bawah. Keduanya berada pada kaki Gunung Salak di mana kebanyakan daerah
terdiri dari bukit - bukit dan lembah dan hanya sedikit yang terdiri dari hamparan,
yaitu di zona bawah sebagai persawahan, dan zona atas yang berupa kebun, ladang,
dan sebagai pemukiman. Pusat pemerintahan Desa Tugujaya terletak pada
06.44.38.3 Lintang Selatan dan 106.46.57.2 Bujur Timur. Desa Tugujaya memiliki
luas wilayah, yaitu seluas 544,173 Ha yang terdiri dari 11 Rukun Warga, dan 44
Rukun Tetangga dengan jumlah penduduk 15.243 jiwa, terdiri dari laki – laki
sebanyak 8.012 jiwa, perempuan 7.231 jiwa, dan 5.672 kepala keluarga. Secara
umum, pemanfaatan lahan dan ruang di Desa Tugujaya terdiri dari tiga, yaitu:
1. Kawasan permukiman;
2. Kawasan pertanian/ ladang, persawahan, dan perkebunan;
3. Kawasan terbuka hijau.
Secara rincinya, pemanfaatan lahan dan ruang di Desa Tugujaya dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Tabel 8 Luas dan persentase wilayah Desa Tugujaya menurut penggunaannya
tahun 2019
Penggunaan Luas (Ha) Persentase (%)
Sawah
Teknis 65,655 12,065
½ teknis 38,530 7,08
Tadah hujan 15,812 2,905
Darat
Pekarangan permukiman 90,615 16,65
Ladang 255,455 46,94
Hutan lindung 50,215 9,22
Tanah perkebunan 12,451 2,29
Tanah perkebunan rakyat 15,44 2,84
Total 544,173 100,00
33

Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa penggunaan lahan di Desa Tugujaya


sebagian besar adalah sebagai sawah, ladang, dan perkebunan. Besarnya
penggunaan lahan sebagai sawah, ladang, dan perkebunan, maka berpengaruh
terhadap mata pencaharian penduduk yang mana sebagian besar bekerja pada sektor
pertanian. Selain penggunaan lahan, banyaknya sumber air yang ada di desa ini juga
mendukung masyarakat sekitar untuk bekerja pada sektor tersebut. Desa ini
memiliki sumber mata air besar yang cukup banyak, sehingga mampu mengalirkan
air tanpa mengalami kekeringan sepanjang tahun. Hal ini memberikan keuntungan
pada produktivitas pertanian yang bisa ditanam padi sepanjang tahun tanpa harus
tergantung pada kondisi cuasa. Berdasarkan profil Desa Tugujaya pada tahun 2019
bahwa penduduk yang bekerja pada sektor pertanian, yaitu di antaranya sebagai
petani, buruh tani, dan peternak berjumlah 3.350 orang. Jumlah ini jauh lebih
banyak dibandingkan dengan penduduk yang bekerja pada sektor lain, seperti
pemerintahan, wiraswasta, dan lainnya. Berikut rincian dari jenis pekerjaan
penduduk Desa Tugujaya tahun 2019:
Tabel 9 Jumlah dan persentase penduduk Desa Tugujaya menurut jenis
pekerjaannya tahun 2019
Jenis Pekerjaan Jumlah (Orang) Persentase (%)
PNS/TNI/Polri 60 0,39
Karyawan swasta 260 1,706
Wiraswasta 1.230 8,07
Petani/ Buruh tani/ Peternak 3.350 21,98
Jasa 835 5,48
Pengrajin 10 0,065
Lainnya 2.206 14,47
Tidak bekerja/ Pengangguran 1.352 8,87
Tidak terdata 5.940 38,97
Total 15.243 100,00
Sementara itu, pusat produksi ayam KUB di Desa Tugujaya, yaitu berada di
Taman Teknologi Pertanian Cigombong atau lebih dikenal dengan TTP
Cigombong. TTP Cigombong merupakan salah satu dari 16 TTP, yang dibangun
pada tahun 2015 melalui kerjasama antara Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor
dan Badan Penelitian Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pertanian.
Pembangunan TTP ini merupakan respon Kementerian Pertanian atas salah satu
nawacita Jokowi-Jusuf Kalla, yaitu meningkatkan produktivitas rakyat dan
ekonomi berbasis komoditi strategis domestik. TTP Cigombong dibangun di
Kampung Cibogo, Desa Tugujaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor yang
mana wilayah ini merupakan wilayah pengembangan industri dengan lahan
pertanian yang semakin terbatas. Oleh karena itu, TTP ini diarahkan untuk
pengembangan kegiatan pertanian terintegrasi yang ekonomis, menguntungkan,
dan berkelanjutan.
Pelaksanaan pembangunan TTP Cigombong pada tahun pertama difokuskan
pada pengembangan sumberdaya manusia melalui pelatihan dan magang, serta
penyiapan sarana dan prasarana pendukung, seperti perbaikan akses terhadap air,
34

perbaikan jalan usaha tani, sarana produksi, dan alat mesin pertanian untuk
mendukung pengembangan bisnis pertanian di TTP dan desa-desa sekitarnya. TTP
ini dicirikan sebagai TTP pengembangan ternak, karena usaha peternakan dinilai
paling ekonomis dengan kondisi wilayah ini, dan keuntungannya juga menjanjikan.
Ternak yang dikembangkan pada wilayah ini, di antaranya domba, kambing, dan
ayam KUB. Selain itu, komoditas penunjang lainnya, seperti hortikultura,
perkebunan, dan komoditas lainnya akan turut dikembangkan untuk menunjang
bisnis peternakan sekaligus sebagai pendapatan tambahan bagi petani.

4.2 Gambaran Umum Responden


Responden pada penelitian ini merupakan peternak Desa Tugujaya,
Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor yang tersebar di beberapa kampung
yang ada di desa tersebut, di antaranya Kampung Cibogo, Kampung Benteng,
Kampung Loji, Kampung Neglasari, dan Kampung Sukamana. Responden paling
banyak berasal dari Kampung Cibogo, salah satu alasannya karena lokasi TTP
Cigombong sendiri yang merupakan pusat dari peternakan ayam KUB terletak di
kampung ini, sehingga menjadi sangat strategis bagi masyarakat sekitarnya.
Kemudian, responden terbanyak selanjutnya berasal dari Kampung Benteng, diikuti
oleh Kampung Loji, Kampung Neglasari, dan Kampung Sukamana. Berikut rincian
sebaran respondennya:
Tabel 10 Jumlah dan persentase responden Desa Tugujaya menurut asal
domisilinya tahun 2020
Asal domisili n (Orang) %
Kampung Cibogo 13 44,83
Kampung Benteng 10 34,48
Kampung Loji 3 10,34
Kampung Neglasari 2 6,90
Kampung Sukamana 1 3,45
Total 29 100,00

4.3 Karakteristik Responden


Karakteristik responden adalah ciri-ciri atau sifat yang melekat dalam diri
individu responden yang langsung dapat diamati berdasarkan atribut yang
membedakannya dari orang lain, seperti dalam penelitian ini meliputi usia, tingkat
pendidikan, lama pengalaman beternak, proporsi pendapatan ternak di rumah
tangga, dan jumlah tanggungan rumah tangga. Pengukuran karakteristik individu
penting dilakukan untuk melihat bagaimana karateristik peternak responden di Desa
Tugujaya yang merupakan pusat dari pengembangan ayam KUB, karena
karakteristik atau ciri khas yang melekat pada diri individu berbeda antara satu
individu dan individu lain, serta akan berbeda dalam hal berperilaku (Utami 2019).
Responden pada penelitian ini tidak terbatas pada batas usianya, melainkan mereka
turut terlibat saat penyuluhan terkait ayam KUB dilakukan di kampung atau desa
mereka.
35

Usia responden pada penelitian ini dihitung dari tanggal responden dilahirkan
sampai dengan dilakukannya pengambilan data penelitian ini. Pengelompokkan
usia pada penelitian ini berdasarkan Rushendi (2017), yaitu dibagi atas tiga, di
antaranya muda (18-29 tahun), dewasa (30-49 tahun), dan tua ( ≥ 50 tahun). Usia
responden pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah ini:

21%

38% Muda (18-29 tahun)


Dewasa (30-49 tahun)
Tua (≥50 tahun)

41%

Gambar 3 Persentase responden masyarakat Desa Tugujaya menurut usia tahun


2020
Berdasarkan Gambar 3, responden di Desa Tugujaya sebagian besar
didominasi oleh peternak dengan rentang usia 30-≥ 50 tahun, yaitu sebesar 79
persen atau sebanyak 23 orang. Berdasarkan Lestari et al. (2009), usia peternak
yang produktif mempengaruhi kemampuan fisik dan pola fikir sehingga sangat
potensial dalam mengembangkan usaha ternaknya. Selain itu, walaupun cukup
banyak responden dengan usia ≥ 50 tahun, sebagian besar dari mereka, 90
persennya, masih termasuk dalam golongan usia produktif, yakni berusia dibawah
64 tahun, sehingga dianggap mampu untuk mengikuti serangkaian kegiatan yang
meliputi penyuluhan, pelatihan, serta percontohan dan nantinya mampu untuk
mengadopsi inovasi (Sari dan Waluyo 2014). Selain itu, Lestari et al. (2009)
menyatakan bahwa umur peternak yang produktif mempengaruhi kemampuan fisik
dan pola fikir sehingga sangat potensial dalam mengembangkan usaha ternaknya.
Kemudian, Sudana dan Subagyono (2012) menyatakan bahwa umur peternak yang
produktif masih cukup dinamis dalam mengelola kegiatan usahataninya.
Karakteristik lain yang diukur adalah tingkat pendidikan. Tingkat Pendidikan
pada penelitian ini dilihat dari pendidikan tertinggi yang ditempuh oleh responden
hingga lulus pada tingkat tersebut saat pengambilan data dilakukan.
Pengelompokkan tingkat pendidikan pada penelitian ini dibagi atas tiga, yaitu
tingkat pendidikan rendah (tidak sekolah, tidak tamat Sekolah Dasar (SD), dan
tamat Sekolah Dasar/sederajat), tingkat pendidikan sedang (tamat Sekolah
Menengah Pertama (SMP)/sederajat), dan tingkat pendidikan tinggi (tamat Sekolah
Menengah Atas (SMA)/sederajat, tamat S1, dan seterusnya). Rendahnya tingkat
pendidikan peternak akan menyebabkan peternak kurang bijaksana dalam
mengambil keputusan dan menjadi faktor penghambat kelancaran kegiatan adopsi
pertanian, sehingga inovasi baru di bidang pertanian cenderung lambat diterima dan
perubahan lambat terjadi pada akhirnya akan menentukan keefisienan peternak
dalam berusaha.
36

24%

Rendah (≤Tamat SD)

52% Sedang (Tamat SMP)


Tinggi (≥Tamat SMA)

24%

Gambar 4 Persentase responden masyarakat Desa Tugujaya menurut tingkat


pendidikan tahun 2020
Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat bahwa sebagian besar peternak
responden Desa Tugujaya berada pada kategori pendidikan rendah, yaitu maksimal
menempuh pendidikan hingga tamat SD. Hal tersebut dikarenakan masyarakat
lebih memilih untuk kerja dan membantu perekonomian keluarga dibandingkan
sekolah. Sementara itu, sebagian responden dengan tingkat pendidikan rendah
(tidak tamat SD) kurang mampu dalam hal baca tulis. Hal tersebut menunjukkan
bahwa tingkat pendidikan dapat berpengaruh terhadap kemampuan seseorang
dalam baca tulis. Kemampuan dalam baca tulis dapat mendukung seseorang orang
untuk aktif mencari informasi dan mencerna informasi. Sudayana dan Subagyono
(2017) menyatakan bahwa tingkat pendidikan petani dapat menunjukkan
kemampuan petani dalam hal baca tulis. Kemudian, Pratiwi et al. (2018)
menyatakan bahwa petani dengan pendidikan yang tinggi akan lebih mudah dalam
mencerna ilmu dan teknologi baru, serta lebih tinggi kemampuannya dalam
menerima, menyaring, dan menerapkan inovasi baru, sedangkan pendidikan yang
rendah membuat wawasan petani terhadap teknologi menjadi rendah.
Selain cara berpikir, lama pengalaman beternak juga penting bagi seorang
dalam mengambil keputusan. Lama pengalaman beternak pada penelitian dihitung
dari perkiraan tahun pertama responden mulai mencoba ternak ayam hingga tahun
pertama responden dikenalkan dengan ayam KUB. Pengelompokkan lama
pengalaman beternak pada penelitian ini dibagi atas tiga kategori, yaitu kategori
rendah dengan pengalaman nol tahun, kategori sedang dengan pengalaman satu
tahun, dan kategori tinggi dengan pengalaman lebih dari satu tahun.
37

17%

Rendah (0 tahun)
Sedang (1 tahun)
21%
62% Tinggi (>1 tahun)

Gambar 5 Persentase responden masyarakat Desa Tugujaya menurut lama


pengalaman beternak ayam tahun 2020
Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat bahwa sebagian besar peternak
responden tidak memiliki pengalaman beternak ayam sama sekali, dan mereka yang
memiliki pengalaman beternak lebih dari satu tahun adalah mereka yang sebagian
besar sudah beternak ayam sejak kecil. Alasan mereka yang tidak memiliki
pengalaman beternak ayam ini mencoba bergabung untuk beternak ayam KUB
karena tertarik akan inovasi ini dan melihatnya sebagai salah satu sumber nafkah,
tetapi di kemudian hari banyak juga dari mereka yang berhenti beternak ayam KUB
atau tidak memutuskan untuk beternak ayam KUB karena beberapa alasan seperti
harga pakan, dan faktor lainnya yang akan dibahas lebih dalam di sub bab-sub bab
selanjutnya.
Lamanya seseorang terlibat dalam kegiatan beternak, dapat membantu
mereka dalam memecahkan masalah yang akan mereka temui nantinya, mereka
sudah mendapatkan sebagian gambaran hal yang harus mereka lakukan, dan resiko
yang akan mereka jumpai, sehingga kemungkinan gagal terhadap sesuatu akan
berkurang. Sari dan Waluyo (2014) menyatakan bahwa pengalaman yang lebih
banyak akan membuat keterampilan pengetahuan dan keterampilan peternak
terhadap manajemen pemeliharaan ternak akan lebih baik. Selain itu, Lestari et al.
(2009) juga menyatakan bahwa lamanya seseorang dalam menjalankan usaha yang
dilakukan maka akan memudahkan dalam mengatasi masalah serta mengambil
keputusan, tindakan bila usaha yang dijalani mendapat suatu masalah serta
memiliki kesabaran yang lebih dalam menjalani usaha atau menghadapi masalah.
Pengalaman juga sangat menentukan berhasil tidaknya seorang peternak dalam
mengusahakan suatu jenis usaha tani.
Kemudian, faktor ekonomi adalah salah satu faktor penting dalam
mengadopsi inovasi karena dalam dunia usaha produk tidak terlepas dari kata
modal. Salah satu faktor ekonomi yang penting dalam kasus adopsi inovasi ayam
KUB adalah proporsi pendapatan ternak di rumah tangga. Proporsi pendapatan
ternak di rumah tangga responden ini menggambarkan pentingnya sektor
peternakan sebagai penyokong kebutuhan hidup dalam rumah tangga mereka.
Proporsi pendapatan ternak di rumah tangga adalah seberapa banyak kegiatan
beternak ayam berkontribusi dalam memenuhi pendapatan rumah tangga
responden. Pengelompokkan terhadap indikator ini terdiri dari tiga kategori, yaitu
38

kotribusi rendah (≤ 30 persen), kontribusi sedang (31-70 persen), dan kotribusi


tinggi (71-100 persen).

7%

17%
Rendah (≤30 persen)
Sedang (31 - 70 persen)
Tinggi (71 - 100 persen)

76%

Gambar 6 Persentase responden masyarakat Desa Tugujaya menurut proporsi


pendapatan ternak di rumah tangga tahun 2020
Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat bahwa sebagian besar peternak
responden memiliki kontribusi pendapatan ternak di rumah tangga mereka sebesar
≤ 30 persen dari pendapatan total rumah tangga. Berdasarkan wawancara kuesioner,
angka ini lebih kecil lagi, yaitu sebagian besar kontribusinya hanya sebesar ≤ 10
persen di rumah tangga. Mereka yang memiliki kontribusi pendapatan ternak kecil
di rumah tangga merupakan mereka yang pekerjaan utamanya bukan sebagai
peternak, dan menjadikan beternak ayam sebagai kegiatan sampingan atau sekedar
hobi.
Peternak responden Desa Tugujaya sendiri sebagian besarnya menjadikan
kegiatan beternak ayam bukan sebagai nafkah utama mereka, melainkan kegiatan
sampingan. Ada pun pekerjaan utama mereka, di antaranya sebagai karyawan
swasta, buruh pabrik, tukang ojek, dan lain sebagainya. Peternak dengan kontribusi
pendapatan ternak yang besar di rumah tangga akan lebih mempertimbangkan
terkait keputusan untuk mengadopsi inovasi, baik itu dalam hal jumlah produk yang
diadopsi, modal, keuntungan, perbandingan dengan produk sejenis lainnya, dan lain
sebagainya. Menurut Sefaat (1990) dalam Lestari et al. (2009) bahwa tingkat
pendapatan akan memengaruhi keputusan petani dalam mengusahakan
usahataninya dan akan memengaruhi petani dalam mengambil resiko. Semakin
tinggi keinginan untuk memperoleh pendapatan yang besar maka semakin berani
untuk menghadapi resiko.
Pendapatan rumah tangga merupakan suatu hal yang sangat penting di dalam
rumah tangga karena pendapatan ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup
rumah tangga, baik itu kebutuhan primer, sekunder, maupun tersier. Pendapatan
masyarakat di Desa Tugujaya rata-rata adalah pada kisaran Rp2.500.000,00. Besar
tidaknya atau cukup tidaknya pendapatan ini salah satunya ditentukan oleh jumlah
tanggungan rumah tangga. Jumlah tanggungan rumah tangga adalah jumlah total
orang yang berada pada satu tanggungan dengan responden saat wawancara
kuesioner penelitian ini dilakukan. Pengelompokkan jumlah tanggungan rumah
tangga pada penelitian ini dibagi atas tiga, yaitu kategori rendah dengan jumlah
tanggungan satu sampai dua orang, kategori sedang dengan jumlah tanggungan
39

sebanyak tiga sampai dengan empat orang, dan kategori tinggi dengan jumlah
tanggungan lima orang atau lebih.

4%

41% Rendah (1 - 2 orang)


Sedang (3 - 4 orang)
Tinggi (≥5 orang)
55%

Gambar 7 Persentase responden masyarakat Desa Tugujaya menurut jumlah


tanggungan rumah tangga tahun 2020
Berdasarkan Gambar 7, dapat dilihat bahwa sebagian besar responden
memiliki jumlah tanggungan rumah tangga tiga sampai dengan empat orang, namun
jumlah tanggungan rumah tangga responden lebih dari lima orang juga cukup
banyak. Jumlah tanggungan rumah tangga yang banyak dapat berpengaruh kepada
keputusan responden dalam mengadopsi inovasi, mengingat bahwa dalam beternak
ayam KUB, responden juga harus mengeluarkan modal untuk pembibitan, pakan,
dan sebagainya.
Pendapatan yang terbilang tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan
jumlah tanggungan rumah tangga mereka tersebut dapat dikatakan hanya cukup
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan lainnya yang lebih penting
dibandingkan mengadopsi inovasi, dan mengeluarkan modal untuk inovasi yang
belum diketahui keberhasilan hasil panennya. Sejalan dengan hal tersebut, Lestari
et al. (2009) menyatakan bahwa jumlah tanggungan keluarga turut mempengaruhi
keluarga untuk mengadopsi inovasi, karena keluarga dengan jumlah tanggungan
yang besar, dengan pendapatan tertentu berarti proporsi pengeluaran untuk
kebutuhan hidup pokok semakin besar pula sehingga proporsi untuk keperluan lain
sangat sedikit.

4.4 Persepsi terhadap Kompetensi Penyuluh


Padmanagara (2012) dalam Sugiarta et al. (2017) menyatakan bahwa tujuan
penyuluhan adalah membantu dan memfasilitasi para petani beserta keluarganya
untuk mencapai tingkat usahatani yang lebih efisien/produktif, taraf kehidupan
keluarga dan masyarakat yang lebih memuaskan melalui kegiatan - kegiatan yang
terencana untuk mengembangkan pengertian, kemampuan, kecakapan mereka
sendiri sehingga mengalami kemajuan ekonomi. Prinsip penyuluhan pertanian
adalah adanya efektifitas metoda dan teknik penyuluhan pertanian, sehingga dapat
merubah perilaku petani terutama dalam adopsi inovasi teknologi. Kemudian,
Zulfikar et al. (2018) menyatakan bahwa kedudukan penyuluh sangat strategis
dalam pembangunan, khususnya dalam melakukan perubahan perilaku kepada
pelaku utama dan pelaku usaha. Hal tersebut sejalan dengan Harianto et al. (2014)
40

yang menyebutkan contohnya pada bidang peternakan bahwa penyuluh (selaku


orang yang melakukan penyuluhan) sangat berperan penting dalam pengembangan
peternakan di suatu daerah karena merupakan agent of change serta sebagai
pelaksana teknis di masyarakat. Ia juga menambahkan bahwa pencapaian program
pemerintah ditentukan oleh tinggi atau rendahnya kinerja penyuluh di lapangan,
karena penyuluh merupakan pelaksana teknis di lapangan. Oleh karena itu, untuk
memberikan kinerja yang ingin dicapai, kompetensi penyuluh menjadi suatu hal
yang penting dan utama bagi penyuluh.
Kompetensi penyuluh merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh
setiap penyuluh dalam melaksanakan penyuluhan guna mencapai kinerja yang
diinginkan. Kinerja penyuluh ini yang nantinya turut berperan dalam pencapaian
suatu program atau adopsi suatu inovasi. Hal ini didukung oleh Harianto et al.
(2014) yang menyatakan bahwa kinerja penyuluh memiliki hubungan yang
signifikan dengan pencapaian program pengembangan sapi Bali yang menunjukan
bahwa kinerja penyuluh dan pencapaian program menunjukkan hubungan interaktif
(saling mempengaruhi), artinya kinerja penyuluh yang tinggi akan diikuti dengan
pencapaian program yang tinggi, sebaliknya pencapaian program yang rendah,
maka mengindikasikan kinerja yang rendah pula. Selain itu, Ediset dan Jaswandi
(2017) menyatakan bahwa bioteknologi reproduksi Inseminasi Buatan (IB) akan
diadopsi secara efektif oleh peternak jika dilakukan melalui program penyuluhan,
untuk itu berhasil atau tidak berhasilnya kegiatan penyuluhan ditentukan oleh
beberapa unsur, salah satunya adalah unsur penyuluhnya.
Kompetensi penyuluh pada penelitian ini diukur dengan mengacu pada
(Farida 2012) yang mengukur kompetensi penyuluh berdasarkan empat komponen,
di antaranya adalah:
1. Kompetensi kepribadian, yakni kemampuan personal yang mencerminkan
kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan
bagi sasaran penyuluhan dan berakhlak mulia.
2. Kompetensi andragogik, meliputi pemahaman terhadap sasaran penyuluhan,
perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan laporan penyuluhan, serta
pengembangan sasaran untuk mengaktualisasikan berbagai kompetensi yang
dimiliki.
3. Kompetensi profesional, merupakan penguasaan materi (sumber bahan ajar)
penyuluhan secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi
yang dibutuhkan sasaran dan substansi keilmuan yang menaungi materinya,
serta penguasaan struktur dan metodologi keilmuannya.
4. Kompetensi sosial, merupakan kemampuan penyuluh untuk berkomunikasi
dan bergaul secara efektif dengan sasaran, sesama penyuluh, peneliti, dan
pemangku kepentingan lainnya
41

Hasil penelitian terhadap penyuluh ayam KUB di Desa Tugujaya dapat


digambarkan pada Gambar 9 di bawah ini:

86,21
79,31 79,31
68,96

55,17
44,83

31,03
20,69 20,69
13,79

0 0 0 0 0

Kompetensi Kompetensi Kompetensi Kompetensi Kompetensi


Kepribadian Andragogik Profesional Sosial secara
Keseluruhan

Rendah Sedang Tinggi (Persen)

Gambar 8 Persentase peternak responden berdasarkan persepsi terhadap


kompetensi penyuluh di Desa Tugujaya tahun 2020
Berdasarkan Gambar 8, menunjukkan bahwa secara keseluruhan, kompetensi
penyuluh ayam KUB di Desa Tugujaya ada pada tingkat sedang. Hal ini juga
menunjukkan bahwa responden merespon positif terhadap kompetensi dari
penyuluh ayam KUB di desa mereka. Pada kompetensi kepribadian, responden
menggambarkan penyuluh sebagai orang yang berperilaku santun, dapat dipercaya,
disiplin, bertanggung jawab, sabar dalam mendengar keluhan responden, dan
memberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat, sehingga mereka tidak segan
untuk menanyakan banyak hal kepada penyuluh. Kemudian kompetensi yang
paling baik menurut responden adalah penyuluh berperilaku santun, dan memberi
kesempatan kepada responden untuk mengemukakan pendapat. Selain itu,
penyuluh tidak mempermasalahkan waktu dan tempat yang terbilang cukup jauh
dari tempat tinggal dan tempat kerja penyuluh ketika responden menguhubungi
penyuluh untuk suatu kebutuhan.

“Bapaknya baik banget sih, Mba. Kalo misalnya kita butuh apa-
apa tinggal hubungin beliau secara personal, nanti pasti dateng
kapan beliau bisanya”(MD, 44 Tahun)

Persepsi responden terhadap kompetensi andragogik penyuluh adalah


mengenai kemampuan penyuluh dalam memahami petani dan mengembangkan
kebutuhan belajar untuk berubah (Farida 2012). Pada kompetensi ini, responden
menggambarkan penyuluh sebagai orang yang mampu mengidentifikasi kebutuhan
responden, menjelaskan informasi usahatani dengan tidak menggurui, melibatkan
responden dalam menyusun rencana kegiatan, dan memberi masukan tentang kiat
mengelola waktu dan dana secara efektif dan efisien. Secara garis besar, responden
merespon positif terhadap poin-poin tersebut, namun yang perlu ditingkatkan oleh
penyuluh adalah penyuluh melibatkan responden dalam menyusun rencana
42

kegiatan karena pada poin ini beberapa responden merasa bahwa penyuluh kurang
melibatkan responden dalam menyusun rencana kegiatan.
Selanjutnya, kompetensi profesional penyuluh, menurut Slamet (2003b)
dalam Farida (2012), penyuluhan pertanian di masa depan harus dapat dilaksanakan
secara profesional dalam arti penyuluhan itu tepat dan benar secara teknis, sosial,
budaya dan politik serta efektif karena direncanakan, dilaksanakan dan didukung
oleh tenaga-tenaga ahli dan terampil yang telah disiapkan secara baik dalam suatu
sistem penyuluhan pertanian yang baik pula. Penyuluhan yang profesional itu juga
didukung oleh faktor-faktor pendukung yang tepat dan memadai, seperti peralatan
dan fasilitas lainnya, informasi, data, dan tenaga ahli yang relevan.
Pada penelitian ini, kompetensi profesional penyuluh yang digambarkan
adalah penyuluh mampu membuat kegiatan pembelajaran yang menarik dan mudah
dimengerti, mampu mengembangkan minat belajar responden, menguasai materi
penyuluhan dengan baik, mampu menganalisis masalah yang ada di lapangan,
mampu mengembangkan kelompok ternak, dan mampu mengembangkan
kemampuan kewirausahaan. Sebagian besar responden merespon positif terhadap
aspek-aspek kompetensi penyuluh tersebut, namun beberapa responden
menyatakan perlunya penyuluh untuk meningkatkan kompetensi pada aspek
mengembangkan kemampuan kewirausahaan. Melihat kondisi di lapang bahwa
responden tergerak untuk berwirausaha ayam KUB, namun kegagalan di awal yang
dialami karena beberapa faktor, seperti kematian ternak, dan tidak adanya pasar
yang tersedia membuat responden ragu untuk mengulang beternak ayam KUB.
Kompetensi sosial penyuluh adalah melihat hubungan atau interaksi antara
penyuluh dengan responden tanpa adanya membeda-bedakan pada suatu aspek
tertentu. Pada kompetensi ini, responden menggambarkan penyuluh sebagai orang
yang mudah dimengerti dalam aspek berbicara dan bahasa, menyenangkan,
melayani kebutuhan pertanian responden, mampu bekerjasama dengan responden,
mampu mengembangkan rasa kesetiakawanan dalam kelompok, dan mampu
mengembangkan rasa mempercayai dalam kelompok. Secara keseluruhan,
responden merespon positif terhadap kompetensi ini.
Berdasarkan wawancara di lapang bahwa penyuluh ayam KUB di Desa
Tugujaya meninggalkan kesan yang sangat ramah kepada target penyuluhan.
Responden tidak ragu untuk menghubungi penyuluh secara personal, dan penyuluh
juga meresponnya dengan baik. Penyuluh pun terbuka untuk diajak diskusi kapan
pun secara tidak langsung atau langsung dan datang langsung ke lokasi yang
terbilang cukup jauh. Selain membahas tentang ayam KUB, penyuluh juga tidak
keberatan untuk diajak membahas topik lain, seperti persilangan ayam, dan
modifikasi pakan. Diskusi antara penyuluh dan responden ini tentu tidak bersifat
satu arah. Penyuluh pun menunjukkan ketertarikannya terhadap responden dengan
cara menghubungi responden lebih dulu untuk membahas topik, juga memantau
keberlanjutan usaha ternak responden. Kesan baik yang ditinggalkan penyuluh
terhadap responden ini yang kemudian dapat menjaga hubungan antara penyuluh
dan para responden.
43

4.5 Penggunaan Media Komunikasi


Informasi sangat penting sebagai basis tindakan Bulu et al. (2009).
Keterdedahan informasi inovasi merupakan suatu hal yang turut penting dalam
kegiatan tersebut. Keterdedahan informasi inovasi adalah kemudahan perolehan
informasi oleh individu maupun kelompok melalui jaringan informasi dengan
menggunakan media komunikasi yang ada. Harmoko dan Darmansyah (2016)
menyatakan bahwa media komunikasi merupakan saluran komunikasi yang dapat
menyampaikan pesan berupa informasi yang diperlukan. Kemudian, Sumarno
(2010) menyatakan bahwa informasi inovasi sangat diperlukan untuk mengubah
sikap seseorang (pengusaha) agar mau melakukan inovasi. Pada penelitian
Warnaen et al. (2013) tentang inovasi pada masyarakat nelayan, tidak adanya media
komunikasi dalam proses adopsi inovasi dapat menghambat inovasi itu sendiri
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Media komunikasi sendiri banyak macamnya, masyarakat dapat mengakses
informasi dari berbagai media komunikasi, seperti media elektronik, media cetak,
dan lain sebagainya.

0%

34%
Rendah (1 media)
Sedang (2 media)
Tinggi (>2 media)
66%

Gambar 9 Persentase jumlah media yang digunakan oleh responden untuk


mengakses informasi di Desa Tugujaya tahun 2020
Berdasarkan Gambar 9, dapat dilihat bahwa responden setidaknya hanya
menggunakan dua media untuk mengakses informasi terkait ayam KUB, sebesar
66 persen atau sebanyak 19 orang responden menggunakan satu media, 34 persen
atau 10 orang responden menggunakan dua media, dan tidak seorang responden
pun yang mamanfaatkan lebih dari dua media untuk mengakses informasi ayam
KUB. Zuriani dan Martina (2016) menyatakan dalam penelitiannya terkait adopsi
suatu inovasi bahwa jumlah media penyampaian (inovasi) berpengaruh signifikan
secara parsial terhadap penggunaan inovasi.
Kemudian, pada gambar di bawah ini dapat dilihat bahwa informasi ayam
KUB, khususnya di Desa Tugujaya, dapat diakses melalui empat media, di
antaranya televisi, media cetak yang berupa leaflet, handphone, dan media
interpersonal (bertemu langsung dengan pihak terkait, biasanya penyuluh).
Berdasarkan gambar dapat diketahui bahwa media interpersonal, bertemu langsung
dengan penyuluh, paling banyak digunakan oleh responden, yaitu sebanyak 27
orang responden untuk mengakses informasi terkait ayam KUB, diikuti oleh
penggunaan handphone oleh sebanyak 11 orang responden, kemudian televisi oleh
44

satu orang responden, dan media cetak (leaflet) yang dalam hal ini tidak digunakan
responden untuk mengakses informasi.
30 27
25

20

15
11
10

5
1 0
0
Televisi Media Cetak Handphone Media Interpersonal

Jumlah Pengguna (Orang)

Gambar 10 Jumlah pengguna media komunikasi yang bisa diakses oleh responden
di Desa Tugujaya tahun 2020
Banyaknya responden yang menggunakan media interpersonal untuk
mengakses informasi dikarenakan dekatnya lokasi tempat tinggal mereka dengan
TTP Cigombong yang merupakan pusat informasi dan pusat produksi ayam KUB
di desa mereka, sehingga hal tersebut dianggap praktis untuk memperoleh informasi
dengan lebih jelas karena sifatnya yang tatap muka dan berbicara langsung dengan
penyuluh. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa penyuluh dapat diundang ke
perkumpulan kelompok ternak dalam rangka memenuhi kebutuhan informasi. Hal
ini sejalan dengan Adawiyah et al. (2017) dan Andriaty et al. (2011) yang
menyatakan bahwa media yang paling sering diakses dan sebagai sumber informasi
dominan para petani adalah media interpersonal/ pertemuan. Selain itu, Bulu et al.
(2009) menyatakan bahwa sumber informasi inovasi utama bagi petani adalah
melalui media komunikasi interpersonal. Sesama petani, tetangga kebun, tetangga
rumah, petani berhasil, pengurus kelompok tani, kios sarana produksi, tokoh
masyarakat, PPL, dan sumber-sumber lain yang diyakini petani memiliki informasi
inovasi yang dapat dipercaya merupakan sumber informasi utama bagi petani
Penggunaan handphone untuk mengakses informasi ayam KUB oleh
responden jarang dimanfaatkan karena alasan yang telah disebutkan sebelumnya.
Selain itu, penggunaan handphone juga dinilai tidak praktis karena untuk
menggunakannya diperlukan biaya lain, seperti pulsa atau kuota internet. Beberapa
responden yang menggunakan handphone untuk mengakses informasi,
memanfaatkannya dengan cara penggunaan panggilan, Whats App, dan Google.
Kurang terpaparnya masyarakat desa terhadap teknologi juga menjadi alasan
kurangnya penggunaan handphone (smartphone), sehingga penggunaan aplikasi
yang mendukung mereka dalam pengaksesan informasi juga secara otomatis minim
dilakukan.
Hal tersebut sejalan dengan penelitian Walingkas et al. (2016) yang
menyatakan bahwa keterbatasan perangkat dan biaya akses internet menjadi
kendala bagi masyarakat desa untuk menggunakan internet. Akibatnya,
keterbatasan dalam mengakses internet berdampak pada kurangnya informasi yang
dapat diolah sehingga keputusan-keputusan dalam menjalankan usaha pertanian
45

hanya berdasarkan intuisi dan pengalaman saja padahal dunia pertanian saat ini
cukup berkembang dengan pemanfaatan teknologi mulai dari pembibitan tanaman
hingga ke proses panen. Sektor permodalan juga telah banyak mendukung
pertanian, tetapi akibat akses informasi yang tidak ada sehingga banyak petani yang
tidak memanfaatkan berbagai peluang tersebut (Masyhur 2016)
Selain media interpersonal dan penggunaan handphone, satu responden
menyatakan bahwa ia memperoleh informasi ayam KUB dari televisi yang secara
kebetulan ditontonnya. Kemudian, untuk media cetak, tidak seorang responden pun
yang menyatakan bahwa mereka mengakses informasi dari media cetak. Pihak TTP
Cigombong sendiri sebagai pusat informasi masyarakat sekitar terkait ayam KUB,
menyediakan leaflet yang memuat tentang informasi ayam KUB. Berdasarkan
pengamatan di lapangan, leaflet ini kurang diminati di kalangan peternak sekitar
karena utamanya informasi yang dimuat di dalamnya hanya memuat informasi
dasar, sedangkan informasi dasar ayam KUB biasanya sudah didapatkan peternak
dari penyuluh. Masalah yang dihadapi peternak biasanya lebih bersifat ke teknis
dalam beternak ayam KUB. Solusi-solusi atau jawaban yang dibutuhkan untuk
permasalahan atau pertanyaan yang sedang dihadapi peternak tentunya tidak dimuat
di dalam leaflet. Utamanya, leaflet ini dicetak sebagai sedikit sumber informasi bagi
masyarakat yang melakukan kunjungan ke TTP Cigombong.
Permasalahan lain yang dihadapi oleh sebagian peternak adalah seperti yang
telah dipaparkan sebelumnya bahwa kemampuan responden dalam hal baca tulis
masih kurang, sehingga responden hanya dapat mengakses informasi melalui
obrolan langsung dengan penyuluh atau rekannya. Kurangnya kemampuan
responden dalam baca tulis ini juga berpengaruh terhadap penggunaan gadget atau
internet atau pun leaflet karena media ini menuntut pelakunya untuk dapat
mengenal huruf dan kalimat. Hal ini yang kemudian mengakibatkan responden
kurang aktif dalam mencari atau mengakses informasi menggunakan berbagai
media komunikasi.
Berbagai media di atas yang menjadi alat untuk mengakses sumber informasi
mempunyai perannya masing-masing dalam memenuhi kebutuhan informasi
peternak. Gambar di bawah ini menggambarkan seberapa sering peternak
mengakses informasi untuk memenuhi kebutuhan informasi mereka dalam sebulan
dengan media yang mereka manfaatkan. Berdasarkan gambar ini, sebesar 41 persen
peternak atau sebanyak 12 orang masuk dalam kategori sering mengakses
informasi, yaitu sebanyak lima kali dalam sebulan. Kemudian, diikuti dengan
sebesar 31 persen atau sebanyak sembilan orang peternak masuk dalam kategori
sedang dalam mengakses informasi, yaitu sebanyak tiga sampai empat kali dalam
sebulan. Sisanya, sebesar 28 persen atau sebanyak delapan orang masuk dalam
kategori rendah dalam mengakses informasi, yaitu sebanyak satu sampai dua kali
dalam sebulan.
46

28%

41% Rendah (1 - 2 kali)


Sedang (3 - 4 kali)
Tinggi (≥ 5 kali)

31%

Gambar 11 Persentase frekuensi mengakses informasi oleh responden di Desa


Tugujaya tahun 2020 (dalam sebulan)

4.6 Persepsi terhadap Inovasi Ayam KUB


Rogers (1995) dalam (Rogers 2003) menyatakan bahwa sebagian besar
tingkat adopsi (49-87 persen) dijelaskan oleh lima atribut inovasi yang dirasakan,
di antaranya: keuntungan relatif (relative advantages), kesesuaian (compatibality),
kerumitan (complexity), kemampuan diuji coba (trialability), dan kemudahan untuk
diamati (observability).
Berikut adalah persentase peternak responden terhadap inovasi ayam KUB:

93,1 89,65 93,1

75,86 79,31

24,14 20,69
6,9 10,34 6,9
0 0 0 0 0

Tingkat Tingkat Tingkat kerumitan Tingkat Tingkat


Keuntungan Kesesuaian (kesederhanaan) Kemampuan Diuji Kemudahan
Relatif Coba Diamati

Rendah Sedang Tinggi (Persen)

Gambar 12 Persentase peternak responden berdasarkan persepsi terhadap inovasi


ayam KUB
Berdasarkan Gambar 12 dapat dilihat bahwa persepsi terhadap inovasi ayam
KUB berada pada kategori sedang menurut sebagian besar peternak responden, dan
tidak seorang peternak responden yang menyatakan inovasi ayam KUB berada pada
kategori rendah. Kategori sedang sendiri menunjukkan bahwa peternak responden
merespon positif terhadap inovasi ayam KUB. Kategori ini dikelompokkan
berdasarkan skor jawaban yang menggunakan skala likert yang telah dikategorikan
sebelumnya.
47

4.6.1 Tingkat Keuntungan Relatif


Tingkat keuntungan relatif adalah salah satu faktor yang menjadi bahan
pertimbangan bagi peternak dalam mengadopsi suatu inovasi, begitu juga
dengan inovasi ayam KUB. Keuntungan relatif adalah tingkat di mana inovasi
dirasakan lebih baik daripada sesuatu sebelumnya. Persepsi responden
terhadap keuntungan relatif ayam KUB pada penelitian ini dapat dilihat dari
beberapa indikator, yaitu masa panen yang lebih cepat, biaya DOC yang
murah, biaya pakan yang murah, dan harga jual yang tinggi.
Tabel 11 Jumlah dan persentase persepsi responden terhadap inovasi ayam
KUB menurut tingkat keuntungan relatif di Desa Tugujaya tahun
2020
SS S TS STS
Pertanyaan
n % n % n % n %
Masa panen lebih
5 17,24 21 72,41 3 10,34 0 0
cepat
Biaya DOC murah 1 3,45 20 68,96 8 27,59 0 0
Biaya pakan murah 1 3,45 15 51,72 13 44,83 0 0
Harga jual tinggi 5 17,24 23 79,31 1 3,45 0 0
Berdasarkan Tabel 11, dapat dilihat bahwa pada setiap indikator,
sebagian besar responden merespon positif terhadap tingkat keuntungan relatif
ayam KUB. DOC ayam KUB dapat dibeli di TTP Cigombong dengan harga
yang terbilang terjangkau, yaitu Rp6.500,00/DOC. Balitnak Ciawi sendiri
terbuka untuk pengajuan proposal pemeliharaan ayam KUB dari kelompok
ternak, sehingga kelompok ternak dapat membeli ayam KUB dari Balitnak
langsung dengan harga yang lebih murah, yaitu Rp3.500,00/DOC. Kemudian,
masa panen dari ayam KUB, yaitu ± 3 bulan dengan bobot ± 1 kg.
Harga jual ayam KUB lebih tinggi dibandingkan dengan ayam lainnya.
Biasanya peternak dapat menjual ayam KUB dengan bobot minimal 0,8-1 kg
dengan harga Rp34.000,00-Rp40.000,00. Keuntungan dari ternak ayam KUB
di daerah ini adalah TTP biasanya menampung permintaan ayam KUB dari
konsumen, sehingga TTP memasok ayam KUB dari hasil panen peternak
sekitar. Harga yang ditetapkan oleh TTP pun merupakan harga standar ayam
KUB, sehingga peternak yang menjual hasilnya ke tengkulak pun diharapkan
menjual dengan harga yang telah ditetapkan oleh TTP.
Keuntungan yang diperoleh oleh peternak Desa Tugujaya sendiri untuk
per ekornya, total dari modal memelihara DOC sampai dengan panen adalah ±
Rp29.000,00 dengan harga jual ayam, yaitu Rp36.000,00-Rp40.000,00 per kg
nya, sehingga peternak bisa mendapat keuntungan bersih sekitar Rp7.000,00-
Rp11.000,00 per kg nya. Sebagian besar skala usaha peternak, yaitu 50-100
ekor, sehingga keuntungan bersih yang didapat adalah sekitar Rp350.000,00-
1.100.00,00 tanpa asumsi adanya kematian. Peneliti Balitnak sendiri
menyampaikan bahwa minimal untuk adopsi inovasi ayam KUB agar
memberikan keuntungan bagi rumah tangga, yaitu sekitar 200 ekor.
48

Merujuk hal tersebut, bahwasanya artinya inovasi ini membawa


keuntungan jika bukan menjadi kegiatan sampingan bagi rumah tangga, namun
peternak serius dalam terjun menjalankan usaha terkait inovasi ini. Rusdiani
dan Praharani (2019) yang mana keduanya merupakan bagian dari Badan
Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi, melakukan analisis secara ekonomi terkait
keuntungan dari beternak ayam KUB oleh peternak plasma TTP Cigombong
pada tahun 2017 lalu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan jumlah
ternak sebanyak 100 DOC dan diasumsikan kematian sebesar 5%
menunjukkan bahwa peternak dapat mendapat keuntungan bersih sebesar
Rp995.000,00 per periode panen selama delapan minggu atau dua bulan.
Terbaru ini, berdasarkan artikel yang dimuat di Times Indonesia pada tahun
2020, seorang peternak memperoleh keuntungan bersih sebesar
Rp1.740.000,00 selama dua bulan masa panen dengan beternak ayam KUB
sebanyak 100 ekor. Harga jual dari ayam tersebut adalah Rp40.000,00 per
ekornya. Ada pun modal yang dikeluarkan, yaitu pembelian DOC 100 ekor
sebesar Rp700.000,00, dan pakan selama dua bulan, yaitu 200 kg atau empat
karung, dengan harga per karungnya adalah Rp390.000,00, sehingga total
menjadi Rp1.560.000,00.
Biaya pakan ayam KUB menurut sebagian besar responden tebilang
murah, namun jumlah responden yang merespon negatif juga tidak jauh
berbeda dengan yang merespon positif. Sebenarnya, harga pakan yang
dikeluarkan lebih murah karena peternak hanya menyediakan pakan ayam
KUB selama menuju masa panen, yaitu kurang lebih tiga bulan, sedangkan jika
dibandingkan dengan ayam kampung lain, peternak bisa menyediakan pakan
selama enam bulan lamanya. Berdasarkan wawancara dengan informan (TTP
Cigombong), murahnya pakan ayam KUB juga dikarenakan pakan ini dapat
dicampur dengan dedak mulai pada bulan kedua pemeliharaan. Beberapa yang
merespon negatif terhadap harga pakan ini disebabkan oleh harga pakan ini
jauh lebih mahal jika dibeli dalam hitungan kilogram dibandingkan per bal (50
kg) nya, namun membeli dalam hitungan bal dapat berpotensi pada
penumpukan atau pembuangan pakan nantinya jika peternak mengalami
masalah dalam hasil panen, sehingga tidak cukup uang untuk perputaran modal
atau pun peternak tidak ingin mengadopsi kembali. Ada pun harga pakan per
kilo nya, yaitu pada kisaran Rp9.000,00-Rp.10.000,00, sedangkan harga per
bal nya ada pada kisaran Rp320.000,00-Rp350.000,00, umumnya rata-rata di
Rp320.000,00. Konsumsi pakan ayam KUB sendiri dari tahap DOC ke panen
adalah ± 3 kg per ekornya.

4.6.2 Tingkat Kesesuaian


Tingkat kesesuaian adalah tingkat di mana inovasi dirasakan konsisten
dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman sebelumnya, dan kebutuhan potensial
adopter. Tingkat kesesuaian pada penelitian ini dilihat dari tiga indikator, di
antaranya tidak bertentangan dengan nilai- nilai yang ada di masyarakat, sesuai
dengan kebutuhan responden, dan sesuai dengan pengalaman masa lalu
responden.
49

Tabel 12 Jumlah dan persentase persepsi responden terhadap inovasi ayam


KUB menurut tingkat kesesuaian di Desa Tugujaya tahun 2020
SS S TS STS
Pertanyaan
n % n % n % n %
Tidak bertentangan
1 3,45 28 96,55 0 0 0 0
dengan nilai di masyarakat
Sesuai dengan kebutuhan 1 3,45 26 89,65 2 6,90 0 0
Sesuai pengalaman 2 6,90 17 58,62 7 24,14 3 10,34
Berdasarkan Tabel 12, responden merespon positif terhadap tingkat
kesesuaian ayam KUB ini. Balitnak sendiri menyatakan bahwa ternak ayam
KUB tidak menimbulkan bau yang menyengat, dan juga kebutuhan masyarakat
akan ayam pedaging cukup tinggi. Responden menyatakan bahwa beternak
ayam KUB tidak bertentangan dengan nilai - nilai yang ada di masyarakat.
Adanya peternakan ayam KUB dan memelihara ayam KUB tidak dianggap
mengganggu oleh masyarakat sekitar. Hal ini karena ayam KUB tidak
menimbulkan bau yang menyengat bagi sekitarnya walaupun dengan jumlah
ekor ayam yang cukup banyak.
Selain itu, beternak ayam KUB juga dianggap sesuai oleh sebagian besar
responden karena keberhasilan panen dapat menjadi sumber pendapatan bagi
rumah tangga, didukung juga oleh masa panen yang cukup cepat dan harga jual
yang tinggi. Indikator lainnya, yaitu kesesuaian dengan pengalaman masa lalu,
artinya beternak ayam KUB dirasa tidak jauh berbeda dengan pengalaman
responden sebelumnya. Responden yang menyatakan sesuai dengan
pengalaman masa lalu, adalah mereka yang sebelumnya sudah pernah mencoba
beternak ayam, baik itu ayam negeri, ayam hias, atau pun ayam kampung
lainnya. Beberapa dari mereka juga sudah mengenal ternak ayam sejak kecil
atau masih muda, sehingga beberapa pengalaman yang ada bisa menjadi
gambaran dalam kegiatan beternak ayam KUB.

4.6.3 Tingkat Kerumitan


Tingkat kerumitan adalah di mana inovasi dirasakan cukup rumit untuk
dipahami dan digunakan. Tingkat kerumitan pada penelitian ini adalah melihat
seberapa sederhana inovasi ayam KUB ini diterapkan, semakin sederhana
inovasi ini, maka tingkat kerumitan inovasi akan rendah, begitu pun
sebaliknya. Ada pun indikator yang digunakan adalah pembelian dan
pembayaran yang mudah dilakukan, pembuatan, persiapan, dan pengelolaan
kendang tidak rumit, dan mudahnya pemberian pakan, minum, dan vaksin
ayam KUB.
50

Tabel 13 Jumlah dan persentase persepsi responden terhadap inovasi ayam


KUB menurut tingkat kerumitan di Desa Tugujaya tahun 2020
SS S TS STS
Pertanyaan
N % n % N % N %
Pembelian DOC ayam KUB
4 13,79 23 79,31 2 6,90 0 0
mudah dilakukan
Pembayaran DOC ayam KUB
1 3,45 27 93,10 1 3,45 0 0
mudah dilakukan
Pembuatan kandang ayam
1 3,45 28 96,55 0 0 0 0
KUB tidak rumit
Persiapan kandang untuk
0 0 28 96,55 1 3,45 0 0
DOC ayam KUB tidak rumit
Pengelolaan kandang ayam
2 6,90 27 93,10 0 0 0 0
KUB mudah dilakukan
Pemberian pakan untuk ayam
1 3,45 28 96,55 0 0 0 0
KUB mudah dilakukan
Pemberian minum untuk ayam
0 0 29 100 0 0 0 0
KUB mudah dilakukan
Vaksin untuk ayam KUB
0 0 29 100 0 0 0 0
mudah dilakukan
Berdasarkan Tabel 13, dapat dilihat bahwa pembelian dan pembayaran
untuk ayam KUB oleh sebagian besar responden mudah dilakukan. Pembelian
dan pembayaran untuk DOC ayam KUB dapat dilakukan langsung di TTP
Cigombong. Jarak TTP yang dapat dijangkau oleh masyarakat sekitar juga
dianggap memudahkan. Selain itu, jika peternak belum memiliki uang untuk
pembayaran DOC, pembayaran bisa dilakukan dengan sistem yarnen, yaitu
pembayaran dilakukan setelah mendapatkan hasil panen. Sedikit kendala yang
dihadapi peternak responden ketika pembelian adalah stok DOC ayam KUB
kadang tidak tersedia setiap saat, karena mesin tetas yang belum memadai,
namun untuk waktu sekarang sudah lebih baik dari sebelumnya.
Pembuatan, persiapan, dan pengelolaan untuk ayam KUB atau pun DOC
nya oleh sebagian besar responden tidak rumit karena kurang lebih sama seperti
kandang ayam lainnya, yaitu harus memperhatikan suhu dan kepadatan
kandang. Peternak Desa Tugujaya sendiri cenderung untuk menggunakan
kandang box karena jumlah ekor ayam yang relatif tidak banyak, sehingga
pembuatan kandang dapat menggunakan rotan atau papan sebagai dinding.
Pemindahan DOC ke kandang pembesaran dapat dilakukan setelah melewati
umur 0-4 minggu di kandang DOC, dengan tidak lupa juga memerhatikan suhu
dan kepadatan kandang. Sikap abai terhadap suhu dan kepadatan kandang
dapat menimbulkan kematian ayam, baik itu karena suhu yang tidak sesuai atau
pun karena ayam saling mematuk/memakan (kanibal).
Pemberian pakan, minum, dan vaksin cenderung tidak memiliki
kerumitan sama sekali karena pemberian pakan dan minum hanya perlu
menyediakan wadah yang dapat dijangkau oleh ayam, sedangkan untuk vaksin,
responden cenderung tidak membuat vaksin sendiri, tetapi memvaksin ayam
51

mereka dengan pihak TTP. Selain itu, hal yang hanya harus diperhatikan dalam
pemberian pakan adalah pencampuran dedak dengan pakan murni dilakukan
saat umur ayam setelah satu bulan dan sesuai takaran. Tidak teraturnya
pemberian dedak pada ayam KUB akan mengakibatkan bobot ayam yang berat
pada bulu, bukan dagingnya.
Secara keseluruhan inovasi ayam KUB tidak memiliki kerumitan teknis.
Balitnak sendiri menyatakan bahwa hal-hal dalam beternak ayam KUB sama
seperti beternak ayam lainnya yang mana harus memperhatikan kebersihan,
suhu, dan kepadatan kandang, dan pemberian pakan, minum, dan vaksin yang
teratur untuk menghasilkan hasil panen yang optimal dan mencegah ayam
terserang penyakit.

4.6.4 Tingkat Kemampuan Diuji Coba


Tingkat kemampuan diuji coba pada penelitian ini adalah ketika inovasi
dapat dicoba pada skala kecil, begitu juga dengan inovasi ayam KUB. Hal ini
memungkinkan masyarakat untuk mengetahui gambaran dari beternak ayam
KUB, seperti sesuai atau tidaknya dengan kebutuhan atau kemampuan
masyarakat itu sendiri, dan sebagainya.
Tabel 14 Jumlah dan persentase persepsi responden terhadap inovasi ayam
KUB menurut tingkat kemampuan diuji coba di Desa Tugujaya
tahun 2020
SS S TS STS
Pertanyaan
n % n % n % n %
Dapat dicoba pada
7 24,14 22 75,86 0 0 0 0
skala kecil
Berdasarkan Tabel 14, dapat dilihat bahwa semua responden
menyatakan bahwa ternak ayam KUB bisa dicoba pada skala kecil, yang
artinya responden bisa mencoba memelihara ayam KUB dalam jumlah yang
sedikit. Masyarakat yang ingin mencoba memelihara ayam KUB bisa membeli
DOC ayam KUB di TTP Cigombong dengan jumlah yang mereka inginkan,
bisa lima ekor, sepuluh ekor, atau berapapun dan tidak diberi batasan minimal
pembelian oleh TTP.
Sebagian besar skala usaha ternak ayam KUB di Desa Tugujaya, yaitu
ada pada kisaran jumlah 50-100 ekor per masa panen 3 bulannya, bahkan
beberapa lainnya juga ada yang hanya memelihara < 30 ekor. Berdasarkan
pengamatan di lapang bahwa tujuan pemeliharaan ayam KUB sendiri di desa
ini sebagian besar, yaitu hanya sebagai tambahan pemasukan untuk pemenuhan
kebutuhan rumah tangga, bukan berorientasi untuk bisnis yang menghasilkan
keuntungan lebih besar, sehingga skala adopsi setiap habis panennya
cenderung sama seperti sebelumnya.
Skala usaha ternak masyarakat Desa Tugujaya yang kecil ini bagi
peternak tetap membawa keuntungan bagi rumah tangga, hanya saja kadang
yang menjadi pertanyaan adalah cukup tidaknya untuk kebutuhan rumah
tangga.
52

“Kalau bicara untung, (melihara) satu ekor pun untung.


Hanya untungnya itu cukup ngga buat memenuhi kebutuhan
sehari- hari” (R, 26 tahun)

Menurut pihak TTP sendiri terkait skala ternak yang kecil ini juga tetap
membawa keuntungan terlepas dari berapa pun jumlah ekornya, tetapi jika
dikaitkan dengan terpenuhi kebutuhan rumah tangga mungkin baiknya adopsi
peternak adalah ada pada 100-200 ekor minimalnya. Berbicara soal
keuntungan per ekornya, total dari modal memelihara DOC sampai dengan
panen adalah ± Rp29.000,00 dengan harga jual ayam tersebut Rp36.000,00-
Rp40.000,00 per kg nya, sehingga peternak bisa mendapat keuntungan sekitar
Rp7.000,00-Rp11.000,00 per kg nya.

4.6.5 Tingkat Kemudahan Diamati


Tingkat kemudahan diamati adalah ketika suatu inovasi dapat disaksikan
dengan mata. Hal ini dapat berupa kelebihan atau pun kekurangan dari inovasi
itu sendiri. Pada penelitian ini untuk melihat tingkat kemudahan diamati suatu
inovasi ayam KUB, dilihat dari bobot, warna, dan keuntungan hasil panen yang
didapat dari beternak ayam KUB. Keseluruhan responden merespon positif
terhadap bobot dan warna ayam KUB yang mudah diamati. Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, ayam KUB sudah dapat dipanen dalam waktu kurang
lebih tiga bulan, sehingga dalam waktu tersebut bobot ayam KUB sudah dapat
diamati, sedangkan untuk warna ayam KUB sendiri, responden menyatakan
bahwa warnanya berbeda dengan ayam lainnya, yaitu warna ayam KUB adalah
hitam kecoklatan. Kemudian, untuk keuntungan hasil panen ayam KUB,
sebagian besar responden merespon positif hal ini. Harga jual ayam KUB
sendiri lebih tinggi dibandingkan ayam lainnya, seperti yang sudah disebutkan
sebelumnya, yaitu kurang lebih Rp34.000,00-Rp40.000,00, sedangkan ayam
kampung lainnya juga bisa seharga kisaran Rp30.000,00, namun masa panen
yang lama membuat masyarakat mengeluarkan modal lebih untuk kebutuhan
pakan, vaksin, dan sebagainya. Ada pun untuk ayam broiler dapat dipanen
lebih cepat dibandingkan dengan ayam KUB, namun harga jualnya berada jauh
di bawah ayam KUB, yaitu kisaran RP20.000,00.
Tabel 15 Jumlah dan persentase persepsi responden terhadap inovasi ayam
KUB menurut tingkat kemudahan diamati di Desa Tugujaya tahun
2020
SS S TS STS
Pertanyaan
n % n % N % n %
Bobot ayam KUB 5 17,24 24 82,76 0 0 0 0
Warna ayam KUB 4 13,79 25 86,21 0 0 0 0
Keuntungan bersih dari
2 6,90 25 86,21 2 6,90 0 0
ternak ayam KUB
Secara ringkas, gambaran persepsi peternak responden terhadap inovasi ayam
KUB dapat dilihat pada Tabel 16 di bawah ini. Tingkat keuntungan relatif yang
paling besar dirasakan adalah harga jual ayam KUB yang tinggi. Tingkat
53

kesesuaian yang paling dirasakan adalah inovasi ayam KUB ini tidak bertentangan
dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Tingkat kerumitan yang dirasakan paling
tidak rumit dari inovasi ayam KUB ini adalah pembuatan kandang, pengelolaan
kandang, dan pemberian pakan, minum, dan vaksin. Tingkat kemampuan diuji
coba, inovasi ayam KUB ini mampu dicoba diternakkan pada skala kecil. Terakhir,
pada tingkat kemudahan diamati, bobot dan warna dari inovasi ayam KUB adalah
dua hal yang paling mudah terlihat.
Tabel 16 Persentase responden berdasarkan sifat inovasi ayam KUB
Persentase Peternak
Responden (%)
Sifat Inovasi
Tidak
Setuju
setuju
Tingkat keuntungan relatif
• Masa panen lebih cepat 89,65 10,34
• Biaya DOC murah 72,41 27,59
• Biaya pakan murah 55,17 44,83
• Harga jual tinggi 96,55 3,45
Tingkat kesesuaian
• Tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang ada di 100 0
masyarakat
• Sesuai dengan kebutuhan 93,10 6,90
• Sesuai dengan pengalaman masa lalu 65,52 34,48
Tingkat kerumitan
• Pembelian DOC mudah dilakukan
• Pembayaran pembelian DOC mudah dilakukan 93,10 6,90
• Pembuatan kandang ayam KUB tidak rumit 96,55 3,45
• Persiapan kandang untuk DOC tidak rumit 100 0
• Pengelolaan kandang ayam KUB mudah dilakukan 96,55 3,45
• Pemberian pakan untuk ayam KUB mudah 100 0
dilakukan 100 0
• Pemberian minum untuk ayam KUB mudah 100 0
dilakukan 100 0
• Vaksin untuk ayam KUB mudah dilakukan
Tingkat kemampuan diuji coba
• Dapat dicoba pada skala kecil 100 0
Tingkat kemudahan diamati
• Bobot ayam KUB 100 0
• Warna ayam KUB 100 0
• Keuntungan bersih dari ternak ayam KUB 93,10 6,90
54

4.7 Hubungan Karakteristik Individu, Kompetensi Penyuluh, dan


Penggunaan Media dengan Persepsi terhadap Inovasi Ayam KUB
Karakteristik individu diduga memengaruhi individu tersebut dalam
menerima inovasi dalam hidup mereka. Beberapa penelitian sebelumnya sudah
menyebutkan bahwa umur yang lebih muda cenderung dapat menerima inovasi
bagi diri mereka. Selain itu, individu dengan tingkat pendidikan yang tinggi dapat
lebih menerima terhadap inovasi karena pola pikir mereka yang lebih terbuka.
Lamanya pengalaman terhadap suatu hal juga memengaruhi karena pengalaman
dapat membantu individu dalam meminimalisir resiko-resiko yang dapat ditemui
nantinya. Proporsi pendapatan suatu profesi atau kegiatan yang menghasilkan uang
di rumah tangga menunjukkan pentingnya hal tersebut dalam menopang kehidupan
rumah tangga mereka, dan jumlah tanggungan rumah tangga dapat menjadi
pertimbangan dalam menerima inovasi karena jumlah tanggungan rumah tangga
yang besar dengan pendapatan tertentu dapat menunjukkan besarnya kebutuhan dan
pengeluaran dalam rumah tangga tersebut.
Berdasarkan Tabel 17, dapat diketahui bahwa karakteristik individu yang
diukur di antaranya, umur, tingkat pendidikan, lama pengalaman beternak, proporsi
pendapatan ternak di rumah tangga, dan jumlah tanggungan rumah tangga tidak
memiliki hubungan yang signifikan dengan persepsi masyarakat terhadap inovasi
ayam KUB. Hal ini menunjukkan bahwa sikap positif atau negatif terhadap inovasi
ayam KUB yang dibentuk oleh peternak tidak didasarkan pada muda atau tuanya
seseorang, rendah atau tingginya pendidikan seseorang, lama atau tidaknya
pengalaman ternak seseorang, besar atau kecilnya proporsi pendapatan ternak di
rumah tangga seseorang, dan banyak atau tidaknya jumlah tanggungan rumah
tangga seseorang. Data di lapang menunjukkan bahwa masyarakat dengan usia tua,
pendidikan rendah, dan sebagainya menilai inovasi ayam KUB ini ke arah yang
positif. Hal ini bertolak belakang dengan beberapa penelitian sebelumnya yang
menyatakan bahwa usia tua, pendidikan rendah, sedikitnya atau tidak adanya
pengalaman ternak, proporsi pendapatan ternak yang rendah di rumah tangga, dan
jumlah tanggungan rumah tangga yang besar dapat menyebabkan inovasi terhambat
untuk diterima masyarakat.
Pratiwi et al. (2018) menyatakan bahwa petani yang berumur tua cenderung
lambat dalam menerima inovasi karena penurunan stamina dan produktivitasnya.
Kemudian, ia juga menyatakan bahwa petani yang berpendidikan lebih tinggi akan
lebih mudah dalam mencerna ilmu, dan teknologi baru, serta lebih tinggi
kemampuannya dalam menerima, menyaring, dan menerapkan inovasi baru,
sedangkan pendidikan yang rendah akan membuat wawasan petani terhadap
teknologi menjadi rendah. Kedua hal ini bertolak belakang dengan penelitian ini
karena baik peternak dengan umur yang muda dan tua, atau pun pendidikan yang
rendah dan tinggi, keduanya secara keseluruhan menerima inovasi ayam KUB
secara positif. Selain itu, wawasan atau ilmu yang mereka miliki juga tidak jauh
berbeda karena mereka cukup aktif saling mencari dan berbagi informasi inovasi.
Lama pengalaman beternak dalam penelitian ini tidak memiliki hubungan
yang signifikan dengan persepsi terhadap inovasi ayam KUB. Baik peternak dengan
pengalaman lebih atau kurang dari satu tahun ataupun yang sedari kecil sudah
memiliki pengalaman beternak menerima inovasi ini secara positif. Lestari et al.
(2009) menyatakan bahwa lamanya seseorang dalam menjalankan usaha yang
55

dilakukan maka akan memudahkan dalam mengatasi masalah serta mengambil


keputusan, tindakan bila usaha yang dijalani mendapat suatu masalah serta
memiliki kesabaran yang lebih dalam menjalani usaha atau menghadapi masalah.
Selain itu, pengalaman juga sangat menentukan berhasil tidaknya seorang peternak
dalam mengusahakan suatu jenis usaha tani. Pada kasus penelitian ini, baik peternak
dengan pengalaman yang banyak maupun sedikit memiliki persepsi terhadap
inovasi ayam KUB yang tidak jauh berbeda. Secara keseluruhan, keduanya sama-
sama mudah dalam menerapkan beberapa hal, seperti persiapan kendang,
pemberian makan, minum, vaksin, dan sebagainya, dan juga memiliki kekhawatiran
yang sama akan hasil panen, dan lainnya.
Proporsi pendapatan ternak di rumah tangga erat kaitannya dengan besarnya
lahan usahatani atau skala usahatani tersebut. Theresia et al. (2016) menyatakan
bahwa petani dengan lahan kecil lebih mempunyai pola pikir untuk
mempertahankan cara lama dibandingkan yang baru karena alasan besarnya risiko
dan ketidakpastian produksi dan pemasaran yang mungkin terjadi. Dalam penelitian
ini, proporsi pendapatan ternak di rumah tangga tidak memiliki hubungan yang
signifikan dengan persepsi peternak terhadap inovasi ayam KUB. Persepsi peternak
terhadap inovasi secara keseluruhan lebih ke arah positif dan terbuka untuk inovasi,
di Desa Tugujaya sendiri skala usaha para peternak bisa dibilang kecil, kurang lebih
50-100 ekor per masa panennya.
Keluarga dengan jumlah tanggungan yang besar, dengan pendapatan tertentu
berarti proporsi pengeluaran untuk kebutuhan hidup pokok semakin besar pula,
sehingga proporsi untuk keperluan lain sangat sedikit, sehingga turut memengaruhi
keluarga untuk mengadopsi inovasi (Hermanto 1989 dalam Lestari et al. 2009).
Pada penelitian ini, jumlah tanggungan keluarga tidak memiliki hubungan yang
signifikan dengan persepsi peternak terhadap inovasi ayam KUB. Sebagian besar
peternak responden di Desa Tugujaya, yaitu lebih dari 80 persennya didominasi
oleh peternak dengan jumlah tanggungan rumah tangga sebanyak empat sampai
dengan lebih dari lima orang, dan sisanya dengan jumlah tanggungan dua sampai
dengan tiga orang. Secara keseluruhan, peternak dengan jumlah tanggungan dua
sampai dengan lebih dari lima orang tersebut memiliki respon yang positif terhadap
inovasi ayam KUB, dan mengadopsi inovasi ayam KUB, namun kemudian
berhenti.
Tabel 17 Hasil uji korelasi spearman antara variabel karakteristik individu dengan
persepsi terhadap inovasi ayam KUB
Persepsi terhadap inovasi
Karakteristik individu
Koefesien Sig.
1. Umur 0,053 0,786
2. Tingkat pendidikan -0,049 0,802
3. Lama pengalaman beternak 0,155 0,423
4. Proporsi pendapatan ternak
0,030 0,878
di rumah tangga
5. Jumlah tanggungan rumah
-1,63 0,397
tangga
56

Kompetensi merupakan suatu kemampuan yang harus dimiliki penyuluh


untuk mencapai kinerja yang diinginkan. Dayana dan Sinurat (2011) menyatakan
bahwa kredibilitas penyuluh adalah salah satu faktor yang paling kuat dalam
memengaruhi minat. Tabel 18 menyajikan hubungan antara kompetensi penyuluh
dengan persepsi inovasi terhadap ayam KUB. Berdasarkan tabel dapat diketahui
bahwa kompetensi kepribadian dan andragogik pada penyuluh memiliki hubungan
yang signifikan dengan persepsi masyarakat terhadap inovasi ayam KUB. Selain
itu, hubungan keduanya pun searah yang artinya semakin baik kompetensi
kepribadian dan andragogik pada penyuluh, maka persepsi peternak terhadap
inovasi ayam KUB akan semakin baik pula. Ada pun menurut Farida (2012) yang
dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan personal yang
mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa,
menjadi teladan bagi sasaran penyuluhan dan berakhlak mulia, sedangkan
kompetensi andragogik, meliputi pemahaman terhadap sasaran penyuluhan,
perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan laporan penyuluhan, serta pengembangan
sasaran untuk mengaktualisasikan berbagai kompetensi yang dimiliki.
Kemudian, kompetensi profesional dan sosial yang ada pada penyuluh tidak
memiliki hubungan yang signifikan dengan persepsi peternak terhadap inovasi
ayam KUB. Ada pun menurut Farida (2012) yang dimaksud dengan kompetensi
profesional merupakan penguasaan materi (sumber bahan ajar) penyuluhan secara
luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi yang dibutuhkan sasaran
dan substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta penguasaan struktur dan
metodologi keilmuannya, sedangkan yang dimaksud dengan kompetensi sosial
adalah kemampuan penyuluh untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif
dengan sasaran, sesama penyuluh, peneliti, dan pemangku kepentingan lainnya
Tabel 18 Hasil uji korelasi spearman antara variabel kompetensi penyuluh dengan
persepsi terhadap inovasi ayam KUB
Persepsi terhadap inovasi
Kompetensi penyuluh
Koefesien Sig.
1. Kompetensi kepribadian 0,393* 0,035
2. Kompetensi andragogik 0,596** 0,001
3. Kompetensi profesional 0,194 0,312
4. Kompetensi sosial 0,209 0,276
Ket: (*) Signfikan pada level 0,05 ; (**) Signfikan pada level 0,01
Tabel 19 menyajikan hubungan antara penggunaan media dengan persepsi
terhadap inovasi ayam KUB. Berdasarkan Tabel 19, dapat diketahui bahwa
frekuensi mengakses media memiliki hubungan yang signifikan dengan persepsi
peternak terhadap inovasi terhadap ayam KUB. Hubungan keduanya pun bersifat
searah. Hal ini menunjukkan bahwa semakin sering peternak mengakses media
informasi inovasi ayam KUB, peternak akan mendapatkan lebih banyak informasi,
sehingga persepsi terhadap inovasi ayam KUB akan semakin baik. Sasongko et al.
(2014) menyatakan bahwa intensitas interaksi baik melalui media interpersonal,
media kelompok, maupun media massa akan mendukung dan memudahkan alur
diseminasi penyebaran inovasi sehingga suatu teknologi baru dapat diterima dan
57

diaplikasikan dengan baik oleh pengguna teknologi. Kemudian, Mulatmi et al.


(2016) menyatakan bahwa jelas atau tidaknya informasi mengenai inovasi yang
disampaikan oleh sumber informasi akan berpengaruh terhadap pengetahuan
seseorang (peternak) yang kemudian berpengaruh terhadap minat peternak untuk
melakukan adopsi inovasi.
Sementara itu, jumlah media yang digunakan masyarakat untuk mengakses
informasi ayam KUB tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan persepsi
peternak terhadap inovasi ayam KUB. Peternak responden Desa Tugujaya sendiri
sebagian besar hanya menggunakan satu media, yaitu media interpersonal sebagai
sumber informasi inovasi ayam KUB. Kemudian, sebagian kecilnya menggunakan
dua media untuk mengakses informasi inovasi ayam KUB. Baik masyarakat yang
menggunakan satu atau dua media, keduanya sebagian besar memiliki respon yang
positif terhadap inovasi ayam KUB.
Tabel 19 Hasil uji korelasi spearman antara variabel penggunaan media dengan
persepsi terhadap inovasi ayam KUB
Persepsi terhadap sifat inovasi
Penggunaan media
Koefesien Sig.
1. Jumlah media 0,297 0,117
*
2. Frekuensi mengakses media 0,428 0,021
Ket: (*) Signifikan pada level 0,05

4.8. Hubungan antara Persepsi terhadap Inovasi Ayam KUB dengan


Keputusan Adopsi Inovasi Ayam KUB
Nugraha et al. (2016) menyatakan bahwa berhasil tidaknya pengembangan
teknologi ditentukan oleh mau tidaknya petani mengadopsi teknologi yang
dianjurkan. Pada penelitian ini, keberhasilan inovasi ayam KUB di Desa Tugujaya
juga dilihat dari banyaknya peternak yang mengadopsi inovasi ini. Keputusan
adopsi peternak pada penelitian ini diukur ketika awal proyek, yaitu pertama kali
ayam KUB dikenalkan di desa mereka oleh Kementerian Pertanian (Kementan)
pada sekitar tahun 2017-2018, dan ketika pengambilan data penelitian ini
dilakukan, yaitu pada 2020. Pada awal proyek, penelitian melihat apakah peternak
memutuskan untuk mengadopsi ayam KUB atau menolak mengadopsi. Ada pun
yang dimaksud dengan mengadopsi adalah saat peternak langsung memutuskan
untuk beternak ayam KUB ketika inovasi tersebut dikenalkan kepada mereka,
sedangkan menolak adopsi adalah sebaliknya.
Kemudian, pada saat pengambilan data penelitian ini dilakukan, dilihat
apakah peternak melanjutkan adopsi, mengadopsi kemudian, berhenti adopsi, atau
melanjutkan menolak adopsi. Melanjutkan adopsi adalah ketika peternak yang
mengadopsi, masih beternak ayam KUB. Mengadopsi kemudian adalah ketika
awalnya peternak menolak adopsi, lalu memutuskan untuk mengadopsi. Berhenti
adopsi adalah ketika peternak awalnya mengadopsi, kemudian tidak melanjutkan
adopsi tesebut. Terakhir, melanjutkan menolak adopsi adalah ketika awalnya
peternak langsung memutuskan untuk tidak mengadopsi, hingga penelitian
dilakukan, mereka tetap tidak mengadopsi. Gambar 13 menyajikan data jumlah
58

peternak berdasarkan keputusan adopsinya pada awal proyek, dan saat pengambilan
data penelitian ini dilakukan.

Gambar 13 Keputusan adopsi responden saat awal proyek dan saat ini (2020)
Berdasarkan Gambar 13, dapat dilihat bahwa sebanyak 23 orang di awal
proyek memutuskan untuk mengadopsi inovasi ini, dan sebanyak enam orang
lainnya memutuskan untuk menolak adopsi. Alasan dari peternak mengadopsi
inovasi ini adalah karena dilihat dari keunggulan-keunggulannya, inovasi ayam
KUB ini dinilai menguntungkan bagi peternak, terutama soal masa panen yang
lebih cepat, dan harga jual yang lebih tinggi dibandingkan ayam lainnya. Selain itu,
lokasi pembelian DOC yang ada di desa mereka, dan pembayarannya pun yang bisa
dilakukan dengan sistem yarnen (membayar saat panen), keduanya dianggap
memudahkan dan meringankan bagi peternak. Selanjutnya, sebanyak enam orang
lainnya memutuskan untuk menolak adopsi, yaitu karena beberapa alasan, di
antaranya tidak adanya modal, dan tidak adanya waktu untuk beternak, juga
anggota keluarga yang dapat membantu merawat ternak.
Pada saat pengambilan data penelitian ini dilakukan menunjukkan bahwa dua
dari enam orang yang menolak adopsi pada awalnya, memutuskan untuk
mengadopsi ayam KUB. Ada pun dua orang ini dulunya memutuskan untuk tidak
mengadopsi karena tidak adanya waktu untuk merawat ternak. Kemudian, empat
dari enam orang yang menolak adopsi pada awalnya, tetap memutuskan untuk tidak
mengadopsi inovasi ini. Meski mereka tidak mengadopsi inovasi ini, namun mereka
menerima inovasi ini dengan baik, dan menaruh minat terhadapnya. Kurangnya
modal untuk memulai kegiatan beternak merupakan alasan bagi beberapa dari
mereka yang tidak mengadopsi inovasi ini. Alasan beberapa lainnya, yaitu tidak
adanya waktu untuk merawat ternak, dan merasa bahwa lahan pekarangan mereka
tidak cukup luas untuk kegiatan beternak.
Selanjutnya, pada Gambar 13 juga terlihat data yang cukup signifikan, yaitu
sebanyak 23 orang yang awalnya mengadopsi inovasi ayam KUB ini, keseluruhan
dari mereka tidak ada yang masih melanjutkan adopsi, semuanya memutuskan
untuk tidak mengadopsi kembali atau disebut berhenti adopsi. Berbagai alasan
dikemukakan oleh para peternak, di antaranya adanya pekerjaan lain yang lebih
utama, mengalami gagal panen sebelumnya, kandang yang tidak memadai, hasil
59

panen yang tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan, dan alasan utamanya
adalah harga pakan yang mahal.
Mata pencaharian utama masyarakat di Desa Tugujaya bukanlah sebagai
peternak ayam. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai petani, buruh, supir,
dan lain-lain, sedangkan beternak ayam hanya sebagai kegiatan sampingan atau
hobi bagi mereka. Oleh karena hal tersebut, kebanyakan dari mereka tidak terlalu
menekuni kegiatan beternak ayam. Selain itu, banyak peternak yang tidak memiliki
pengalaman sama sekali tentang beternak ayam. Hal ini dapat menyebabkan gagal
panen karena kurangnya pengetahuan peternak. Gagal panen dapat disebabkan oleh
matinya ternak ayam karena penyakit, atau pun karena ayam saling mematuk
(kanibal). Pengalaman ternak sangat berpengaruh terhadap keberhasilan usaha
karena semakin lama seseorang memiliki pengalaman maka akan semakin mudah
mengatasi kesulitan yang dialaminya (Yendraliza et al. 2018). Tidak memiliki
pengalaman dan mengalami kegagalan kemudian membuat para peternak tidak
tertarik untuk mengadopsi kembali.
Peternak menyatakan bahwa tenaga yang mereka keluarkan tidak sebanding
dengan hasil panen yang didapat. Hal ini bisa terjadi karena skala usahatani yang
dimiliki peternak tidak terlalu besar. Skala usahatani di Tugujaya umumnya kurang
dari 50-100 ekor, tetapi beberapa peternak ada yang hanya mengadopsi di bawah
30 ekor. Tidak peduli berapa banyak peternak memelihara ayam, baik itu lima, 10,
30, 50, 100 dan sebagainya, mereka melakukan hal yang sama. Mereka harus pergi
ke kandang, memberi makan ayam, memeriksa kesehatan mereka, memvaksinasi
mereka, dll. Pengerahan tenaga tersebut dinilai melelahkan bagi peternak, tetapi
karena jumlah ayam yang tidak terlalu banyak, kemudian, membawa keuntungan
yang tidak terlalu besar juga bagi peternak,
Apakah jumlah adopsi yang sedikit mendatangkan keuntungan bagi
peternak? Tentu saja. Kecilnya skala adopsi oleh peternak Desa Tugujaya masih
membawa manfaat bagi rumah tangganya, hanya saja terkadang yang
dipertanyakan apakah mencukupi kebutuhan rumah tangga atau tidak. Menurut
pihak TTP Cigombong sendiri, terkait dengan jumlah adopsi yang kecil juga
mendatangkan keuntungan per ekornya, namun jika dikaitkan dengan pemenuhan
kebutuhan rumah tangga, sebaiknya adopsi petani minimal, yaitu pada 100-200
ekor. Bicara keuntungan per ekor ayam, total modal dari pemeliharaan DOC sampai
panen adalah ± Rp29.000,00 dengan harga jual ayam Rp36.000,00-40.000,00 per
kilo, sehingga peternak bisa mendapat untung sekitar Rp7.000,00–11.000,00.
Harga pakan dianggap mahal bagi peternak karena skala adopsi peternak juga
tidak besar. Sebagian besar skala adopsi peternak adalah 50-100 ekor atau bahkan
ada yang < 50 ekor, sehingga peternak biasa membeli pakan dalam ukuran
kilogram. Pembelian pakan dalam ukuran kilogram, yaitu lebih mahal
dibandingkan dengan ukuran bal (50 kilogram). Harga pakan untuk ukuran
kilogram adalah Rp10.000,00, sedangkan ukuran bal, yaitu Rp320.000,00-
350.000,00. Pembelian ukuran bal tidak memungkinkan bagi peternak dengan
kecilnya jumlah ekor ayam tersebut. Selain itu, membeli pakan dalam ukuran bal,
pakan tersebut tentu bisa digunakan untuk musim ternak berikutnya, namun hasil
panen yang ada nantinya juga belum diketahui pasti keberhasilannya, sehingga
perputaran modal juga tidak pasti ada untuk mendorong peternak mengadopsi
kembali. Kurangnya modal juga dapat menjadi salah satu alasan peternak tidak
60

membeli dengan ukuran bal. Meski mengadopsi ayam KUB dapat dikatakan
sebagai sumber untuk menambah penghasilan rumah tangga, hasil panen tetap
menjadi perhitungan yang tidak pasti karena dapat dipengaruhi hal-hal di luar
kendali, seperti kematian ayam yang mendadak karena cuaca atau suhu yang tidak
sesuai, sehingga peternak takut untuk mengambil resiko untuk mengadopsi
kembali.
Jika peternak mengalami kegagalan panen, pembelian dalam ukuran bal juga
akan menyebabkan terjadinya penumpukan dan pembuangan pakan karena
ketidakmampuan peternak untuk mengadopsi kembali inovasi tersebut pada musim
panen berikutnya. Novianti et al. (2015) menyatakan bahwa pakan lokal semakin
mahal dari hari ke hari, sehingga dapat mengurangi keuntungan yang dapat
diperoleh peternak, bahkan dalam keadaan tertentu dapat menimbulkan kerugian
karena biaya produksi jauh lebih tinggi daripada penjualan ayam kampung atau
telurnya. Hal inilah yang menyebabkan beberapa usaha peternakan gulung tikar
atau selalu merugi.
Berdasarkan sub bab sebelumnya dapat diketahui bahwa secara keseluruhan
inovasi ini dinilai positif bagi peternak. Keuntungan dari ternak ayam KUB ini, di
antaranya harga jual ayam yang tinggi, yaitu pada kisaran Rp34.000,00-
Rp40.000,00 dengan bobot 0,8-1 kg, harga DOC yang terjangkau, yaitu
Rp6.500/DOC, harga DOC ini bisa lebih murah lagi jika kelompok ternak
mengajukan proposal ke Balitnak untuk pembelian secara berkelompok, yaitu
sebesar Rp3.500/DOC, masa panen yang cepat, yaitu ± 3 minggu. Selain itu,
pemeliharaan ayam ini di pekarangan rumah tidak menimbulkan bau yang
menyengat bagi sekitar, sehingga masyarakat sekitar tidak merasa terganggu.
Kemudian, ternak ayam KUB ini juga bisa dilakukan pada skala kecil, seperti lima
ekor, sepuluh ekor, dan sebagainya. Pemeliharaan ayam KUB pun dirasakan
peternak tidak rumit karena pemeliharaannya tidak jauh berbeda dengan
memelihara ayam jenis lainnya, dan juga sederhana bagi yang sebelumnya tidak
memiliki pengalaman beternak. Selain itu, keuntungan bersih yang didapat dari
beternak ayam KUB cukup bisa dirasakan karena harga jual yang lebih tinggi
tersebut.
Tabel 20 menyajikan hasil uji korelasi spearman antara persepsi peternak
terhadap inovasi ayam KUB dengan keputusan adopsi inovasi ayam KUB.
Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa persepsi peternak terhadap inovasi ayam
KUB memiliki hubungan yang signifikan dengan keputusan adopsinya. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin baik persepsi peternak terhadap inovasi ayam KUB,
maka peternak akan semakin berminat untuk mengadopsi inovasi ini.
Tabel 20 Hasil uji korelasi spearman antara variabel persepsi terhadap inovasi ayam
KUB dengan keputusan adopsi inovasi ayam KUB
Keputusan adopsi inovasi ayam KUB
Koefesien Sig.
Persepsi terhadap inovasi ayam
0,429* 0,020
KUB
Ket: (*) Signifikan pada level 0,05
Untuk lebih jelasnya, Tabel 21 menyajikan gambaran (tabulasi silang) antara
persepsi peternak dengan keputusan adopsi yang dipilih peternak pada waktu
61

penelitian ini dilakukan. Pada tabel terlihat bahwa peternak yang masih mengadopsi
inovasi ini, yaitu sebanyak dua orang pada kategori mengadopsi kemudian, berada
pada kategori tinggi persepsinya terhadap inovasi ayam KUB.
Tabel 21 Tabulasi silang antara variabel persepi peternak terhadap inovasi ayam
KUB dengan keputusan adopsi inovasi ayam KUB
Keputusan Adopsi
Menolak Berhenti Mengadopsi Total
adopsi Adopsi Kemudian
n % n % n % n %
Persepsi Rendah 0 0 0 0 0 0 0 0
inovasi Sedang 4 13,79 16 55,17 0 0 20 68,96
Tinggi 0 0 7 24,14 2 6,90 9 31,03
Total 4 13,79 23 79,31 2 6,90 29 100
Banyaknya peternak yang berhenti adopsi terjadi karena seperti yang telah
disebutkan sebelumnya bahwa kondisi sosial ekonomi yang paling berpengaruh
terhadap keputusan adopsi peternak. Harga pakan yang mahal umumnya
merupakan alasan rendahnya adopsi ayam KUB di kalangan peternak Desa
Tugujaya. Novianti et al. (2015) menyatakan bahwa pakan lokal semakin hari
semakin mahal, sehingga dapat mengurangi keuntungan yang dapat diperoleh
peternak, bahkan pada keadaan tertentu dapat menyebabkan kerugian karena biaya
produksi jauh lebih besar dari penerimaan penjualan ayam kampung atau telurnya.
Hal inilah yang menyebabkan banyak usaha peternakan yang gulung tikar atau
tutup karena selalu merugi.
Sebagai tambahan, berdasarkan artikel yang dimuat di Antara News pada
2017, Dr Retno Sri Hartati Mulyandari selaku kepala Balai Pengelola Alih
Teknologi Pertanian (BPATP) menyatakan bahwa peternak inti ayam KUB TTP
Cigombong sudah dapat secara mandiri menjalankan operasional bisnis dan
budidaya ayam KUB secara bersama-sama dengan peternak plasma ayam KUB
TTP Cigombong (Subagyo 2017). Hal ini kemudian di tahun sekarang (2020) tidak
sesuai dengan kondisi yang ada di lapang yang mana berdasarkan data yang
diperoleh bahwa TTP Cigombong hanya menyisakan satu orang peternak inti dan
dua orang peternak plasma yang masih melanjutkan usaha ini. Di sisi lain, beberapa
orang di kelompok ternak tentunya masih berminat terhadap ternak ayam KUB,
namun belum dapat dikatakan mandiri karena peternak masih membutuhkan
bantuan dari penyuluh untuk memandu usaha peternakan mereka, yang mana masih
dalam proses pengajuan proposal untuk mendapatkan bantuan ternak dari instansi
terkait. Selain itu, ada juga beberapa dari mereka yang berminat, tidak aktif dalam
berusaha untuk mengadopsi Kembali, namun hanya menunggu bantuan dari
pemerintah saja.
TTP Cigombong sendiri dapat dikatakan cukup berhasil karena beberapa
orang di luar wilayah Cigombong mengenal TTP ini dan beberapa melakukan
kunjungan, belajar, atau pun membeli ayam KUB dari sini, namun untuk di daerah
sekitar TTP sendiri, yaitu di Desa Tugujaya, tidak banyak yang menjalankan ternak
ayam KUB karena alasan-alasan yang telah disebutkan di atas.

Anda mungkin juga menyukai