Anda di halaman 1dari 50

SEJARAH DAN ETNOMATEMATIKA

“Matematika Awal Peradaban Manusia dan Matematika Yunani Kuno”

DOSEN PENGAMPU:
I Putu Pasek Suryawan, S.Pd., M.Pd.

Disusun Oleh:
KELOMPOK 1

NI LUH GEDE AYU NOVI KARTIKA (2013011005/5B)


NI LUH PUTU DESI AMERTA ASIH (2013011021/5B)
NI KADEK AYU ARISTHA DEWI (2013011022/5B)
I GUSTI NGURAH RESTU PAMUNGKAS (2013011028/5B)
THERESIA VIRTA ARIESTI (2013011084/5B)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
TAHUN 2022
2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya
makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Makalah ini disusun sebagai tugas dalam mata
kuliah Sejarah dan Etnomatematika yang berjudul “Matematika Awal Peradaban Manusia dan
Matematika Yunani Kuno”. Terselesaikannya makalah ini tidak terlepas dari dukungan dan
bimbingan dari berbagai pihak yang terkait. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kami
menyampaikan terima kasih kepada:
1. I Putu Pasek Suryawan, S.Pd., M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah dan
Etnomatematika.
2. Teman-teman kelompok 1 yang telah memberikan usaha, semangat, dan informasi
mengenai penyusunan makalah ini.
3. Semua pihak yang telah membantu kami dalam menyusun makalah ini yang tidak bisa
penulis sebutkan satu persatu.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak.
Harapan kami, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca. Akhirnya
atas segala kerendahan hati, kami sampaikan terima kasih

Singaraja, 20 September 2022

Penulis

3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.............................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah........................................................................................................2
1.3. Tujuan..........................................................................................................................3
1.4. Manfaat........................................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................4
2.1 Matematika Mesir Kuno..............................................................................................4
A. Sistem Bilangan Mesir Kuno.......................................................................................7
B. Papirus Rhind..............................................................................................................9
C. Kunci Menuju Penguraian: Batu Rosetta..................................................................12
D. Tinjauan Sifat Matematika Mesir Kuno....................................................................14
2.2 Matematika Babilonia Kuno......................................................................................15
A. Sistem Bilangan Babilonia........................................................................................16
B. Tablet Bilangan-Bilangan Kebalikan........................................................................22
C. Tablet Plimpton 322..................................................................................................24
D. Tinjauan Sifat Matematika Babilonia........................................................................26
2.3 Matematika Yunani Kuno.........................................................................................27
A. Sistem Bilangan Yunani Kuno..................................................................................27
B. Kemunculan Geometri Demonstratif: Thales dari Miletus.......................................31
C. Matematika Kaum Phytagoras...................................................................................34
D. Akademi Plato...........................................................................................................37
E. Tinjauan Sifat Matematika Yunani Kuno..................................................................38
BAB III PENUTUP................................................................................................................42
3.1 Kesimpulan................................................................................................................42
3.2 Saran..........................................................................................................................43
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................45

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Matematika sebagai subjek kajian dimulai pada abad ke-6 sebelum masehi.
Pythagoras membuat istilah “mathematics” dari bahasa Yunani yaitu “mathema” yang
berarti materi pelajaran. Matematika juga merupakan alat pikiran, bahasa ilmu, tata cara
pengetahuan, dan penarikan kesimpulan secara deduktif. Akar dari istilah “matematika”
adalah kata dalam bahasa Yunani, mathemata, yang sangat umum digunakan pada masa
awal dikenalnya bentuk bentuk tulisan tulisan untuk menunjukkan bentuk pengajaran apa
pun. Namun demikian, saat pengetahuan manusia semakin mengalami perkembangan,
istilah ini digunakan untuk mencakup bidang-bidang khusus dalam ilmu pengetahuan.
Para pengikut pengikut aliran Pythagoras diketahui telah menggunakan menggunakan
istilah tersebut untuk menjelaskan aritmetika dan geometri.
Telah menjadi suatu pandangan umum bahwa matematika selalu berkaitan dengan
permasalahan praktis perhitungan dan pencatatan bilangan. Lahirnya gagasan tentang
bilangan ini tetap menjadi misteri di balik perjalanan hidup manusia di muka bumi yang
demikian panjang, sehingga tetap mengundang banyak orang untuk berspekulasi atas
bukti-bukti tersisa dari penggunaan awal bilangan-bilangan oleh umat manusia.
Matematika memiliki sejarah panjang hingga tercipta serangkaian ilmu matematika
yang begitu kompleks seperti saat ini. Sejarah mencatat bahwa matematika telah banyak
digunakan oleh masyarakat sejak zaman dahulu, meskipun dalam bentuknya yang paling
sederhana seperti membilang atau mengukur. Perkembangan matematika hingga
sekarang ini tidak terlepas dari hasil penemuan para ahli matematika pada abad-abad
sebelumnya. Karenanya, menurut Bell sangat tidak adil apabila pembahasan tentang
matematika hanya menekankan pada ide matematika modern saja tanpa memberi
perhatian yang sewajarnya pada sejarah matematika beserta para perintisnya.
Sejarah matematika dimulai sejak 3.000 tahun Sebelum Masehi dalam wilayah
kebudayaan-kebudayaan besar di dunia seperti Mesir, Babylonia, Yunani, Romawi,
India, Persia, dan Cina. Kebudayaan-kebudayaan tersebut melahirkan ilmuwan-ilmuwan
besar dunia yang meletakkan pondasi ilmu matematika. Pada periode penemuan ini,
ilmuwan matematika memfokuskan diri mereka pada praktik dan teori, termasuk
penentuan karakter dari masing-masing bidang kajian matematika yang tengah
ditekuninya.

1
Aristoteles berpendapat bahwa matematika dimulai oleh kalangan pendeta di
Mesir. Herodotus meyakini bahwa geometri tercipta karena banjir tahunan di Sungai Nil
membutuhkan penelitian yang mendalam, untuk menentukan ulang batas-batas daratan.
Selain itu, Democritus menyebut para matematikawan Mesir sebagai “perentang-tali”.
Dari sudut pandang filosofis, adalah suatu hal yang menarik di mana bangsa Mesir
memegang prinsip bahwa matematika memiliki sumber agung. Matematika telah
diberikan kepada mereka oleh dewa Toth. Sementara itu, pandangan Aristotelianisme
menyebutkan bahwa matematika diturunkan dari manusia hewan, dan pandangan
Platonisme melihat bahwa matematika diturunkan dari alam ke-Tuhan-an.
Banyaknya cendekiawan yang memiliki andil besar dalam perkembangan
matematika sudah sepatutnya mendapatkan apresiasi dari para pemikir matematika pada
masa kini hingga mendatang. Namun sungguh sangat disayangkan, sebab kebanyakan
dari para pemikir matematika pada masa kini tidak mengetahui siapa saja
matematikawan yang telah mendedikasikan ide brilliantnya dalam rangkaian ilmu
matematika, khususnya cendekiawan muslim. Hal ini akan menjadi lebih ironis lagi
apabila tidak ada upaya mengentas problematika tersebut. Para generasi penerus tidak
akan pernah mengerti bagaimana harus belajar dari pengalaman para matematikawan jika
mereka tidak mengetahui bagaimana sejarah jatuh bangunnya pakar matematika
terdahulu dalam menemukan konsep matematika. Dengan mempelajari sejarah
matematika, seseorang akan dapat meningkatkan pengertian atau pemahaman yang
mendalam dan lebih baik tentang masa lampau dan sekarang dalam relasinya dengan
masa yang akan datang. Pemberian pengetahuan akan sejarah matematika dapat
meningkatkan kesadaran akan suatu dimensi yang paling mendasar dari keberadaan
manusia, yakni kontinuitas.
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian yang lebih lanjut dan mendalam tentang “Matematika Awal
Peradaban Manusia dan Matematika Yunani Kuno”.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka penulis
mengidentifikasikan masalah-masalah yang akan menjadi pokok pembahasan yaitu:
1. Bagaimana sejarah matematika pada zaman Mesir Kuno?
2. Bagaimana sejarah matematika pada zaman Babilonia Kuno?
3. Bagaimana sejarah matematika pada zaman Yunani Kuno?

2
1.3. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan memahami sejarah matematika pada zaman Mesir Kuno.
2. Untuk mengetahui dan memahami sejarah matematika pada zaman Babilonia Kuno.
3. Untuk mengetahui dan memahami sejarah matematika pada zaman Yunani Kuno.

1.4. Manfaat
Manfaat pembuatan makalah ini diharapakan berguna baik secara teoritis maupun
secara praktis, dengan kata lain yang dimaksud dengan manfaat teoritis yaitu manfaat
sebagai sumbangan baik kepada ilmu pengetahuan pada umumnya maupun kepada ilmu
matematika khususnya, dari segi praktis penelitian ini bermanfaat bagi kepentingan
negara, bangsa, masyarakat dan pembangunan.
1. Secara teoritis
Secara umum, pembuatan makalah ini diharapkan dapat memberikan rujukan ilmiah
dalam pembelajaran matemaika untuk mengetahui sejarah matematika awal
peradaban manusia dan matematika Yunani Kuno.
2. Secara praktis
a. Bagi pengajar, penelitian ini akan memberikan pengalaman dan pemahaman
langsung, serta membantu pengajar mengidentifikasi permasalah pembelajaran
baik itu yang berkenaan dengan konten pembelajaran, kesadaran sejarah
matematika peserta didik, hasil belajar matematika peserta didik, maupun model
pembelajaran.
b. Bagi pesrta didik, mendapatkan pembelajaran sejarah matematika yang lebih
bermakna sebagai bekal kehidupan mereka di masyarakat, khususnya dalam
realisasi pembelajaran sejarah matematika. Pembelajaran yang baik adalah
pembelajaran yang dapat memberikan kontribusi bagi pengetahuan peserta didik.
Oleh karena itu dengan menggunakan sejarah matematika akan menjadikan
pembelajaran yang bermakna bagi peserta didik.
c. Bagi sekolah, diharapkan makalah ini dapat membantu dalam evaluasi
pembelajaran pada materi sejarah matematika awal peradaban manusia dan
matematika Yunani Kuno.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Matematika Mesir Kuno


Penduduk Mesir kuno mulai menempati kawasan lembah Nil sekitar tahun 5000-
525 SM, yaitu sejak orang Mesir primitif periode perkembangan neolitik sampai pada
perkembangan peradaban masa kekuasaan para Firaun absolute. Secara kronologis,
sejarah Mesir dapat dibagi menjadi beberapa periode. Sejarah Mesir sebelum tahun 3400
SM disebut dengan periode prasejarah, periode kerajaan lama (3400-2475 SM), periode
transisi feudalisme (2475-2160), periode pertengahan (2160-1780 SM), ditambah dengan
periode dominasi Hykso (1780- 1580 SM) dan periode emperium (1580-525 SM).
Periode prasejarah Mesir ditandai dengan banyak ditemukan peralatan-peralatan pada
kuburan-kuburan bangsa Mesir, diperkirakan dimulai sejak tahun 1500 SM. Dengan
demikian, penduduk Mesir sudah menggunakan peralatan dimulai sejak masa paleolitik
dan neolitik (zaman batu tua dan batu muda). Kemajuan bangsa Mesir lebih ditopang
oleh hasil bumi yang subur, sejak pra dinasti sudah terjalin kerja sama dalam pembuatan
kanal dan irigasi. Gambaran ini menunjukkan sudah adanya unit-unit politik meskipun
masih kecil, yang secara gradual membentuk dua dua kerajaan, atas di bagian selatan,
bawah di bagian utara sekitar tahun 5000 SM (Bogardus, 1995: 56).
Dengan demikian, penduduk Mesir sudah menggunakan peralatan dimulai sejak
masa paleolitik dan neolitik. Kemajuan bangsa Mesir lebih ditopang oleh hasil bumi
yang subur, sejak pra dinasti sudah terjalin kerja sama dalam pembuatan kanal dan
irigasi. Gambaran ini menunjukkan sudah adanya unit-unit politik meskipun masih
kecil, yang secara gradual membentuk dua dua kerajaan, atas di bagian selatan, bawah di
bagian utara sekitar tahun 5000 SM. Periode kerajaan lama, sudah memasuki zaman
logam, perdagangan sudah mengalami kemajuan, kapal-kapal dagang telah dikirim ke
kawasan pantai Syria untuk memperoleh kayu sebagai bahan pembuatan kapal, rumah
dan perabotan lainnya. Industri sudah dimulai pada masa ini, manifaktur dari
kaca, permatapermata yang indah banyak dihasilkan oleh para pengrajin.
Secara umum, masyarakat tidak dapat menahan kelaparan karena adanya tekanan
dari tiranitirani kecil, kerusakan yang disebabkan oleh peperangan, sehingga praktis
masa ini kemajuan peradaban terhenti. Di masa kekuasaan satu Firaun terdapat dua belas
dinasti selama dua abad, yang paling menonjol adalah Sesostris III and Amenemhet III

4
dengan kemampuannya membawa kerajaan para Firaun bersifat monarki yang
kuat, dengan hukum, aturan, kemakmuran ekonomi dan kemajuan peradaban
Hykos, dengan pasukan berkuda dan kereta yang superior telah menaklukkan
Mesir kawasan Delta secara keseluruhan dan bertahap sampai pada lembah Nil bagian
atas. Selama dua abad sampai tahun 1580 SM di bawah kekuasaan orang asing, telah
melahirkan nasionalisme bangsa Mesir. Azhmes liberalis dari Thebes adalah seorang
pahlawan nasional yang besar telah membebaskan bangsa Mesir menuju babak
baru, yaitu masa emperium. Para penguasa emperium ini meyakini bahwa untuk menjaga
keamanan negara Mesir dari serbuan bangsa asing adalah dengan mengontrol
Palestina, Syria, Phoenisia, kawasan air di timur Mediterania serta mengontrol nite-nite
perdagangan oleh pasukan infantri. Firaun yang paling besar peradaban pada periode ini
adalah Mosis III biasa disebut sebagai Napoeleon oleh bangsa Mesir. Dia mampu
menaklukkan Syuria, Phoenesia, Palestina, Nubia dan dilengkapi dengan kawasan
Siprus. Kebesaran
Mesir berada di bawah kekuasaan Firaun dinasti ke-18; peradaban dan kekuatan
politik, politik hukum dan peraturan-peraturan di lembah Nil, Mesir. Thebes sebagai
ibukota Mesir menjadi kota terkaya di dunia. Beberapa kuil taman yang indah dan
rumah-rumah besar dan indah milik para pembesar membuat Thebes tampak lebih
indah. Di bawah kekuasaan Amenhotep III, emperium Mesir mengalami
kemunduran, yang ditandai dengan adanya kontoversi agama, dan kehilangan
teritorial.Ramses II dinasti ke-19, dikenal sebagai Firaun yang menindas bangsa Yahudi
dan berusaha untuk merestorisasi, atau memulihkan kembali kejayaan emperium Mesir.
Dyria selatan dan Palestina. Monumen-monumen besar telah dibangun disepanjang
sungai Nil, sehingga dari luar emperium tampak makmur dan aman. Setelah periode ini
seluruh kawasan Timur dekat muncul kekuatan, sementaraRamses III hanya
mempertahankan emperium dari kehancuran. Setelah Ramses III tidak ada lagi
pemimpin dari bangsa Mesir yang brilian. Persia tahun 525 SM. Pada masa ini praktis
bangsa mesir telah kehilangan kemerdekaan politiknya. Setelah kedatangan Islam, Mesir
telah banyak meninggalkan tradisi kuno mereka.
Siapa yang dipanggil dengan Firaun berarti rumah besar. Keberhasilan sistem
administrasi kerajaan lama, memungkinkan adanya sentralisasi kekuasaan yang
absolut. Struktur sosial Mesir terdiri dari kelas atas yang didominasi oleh para penguasa
dan pendeta, kelas menengah dan kelas rakyat yang sebagian besar sebagai
budak. Seluruh sejarah kehidupan Mesir, basis ekonominya adalah pertanian dengan

5
sistem sentralisasi irigasi memungkinkan hasil panen yang melimpah, sehingga industri
sudah ada pada masa kerajaan lama.
Hal ini sejak lama telah diantisipasi oleh bangsa Mesir dengan melakukan
pertanian yang bervariasi. Pengembangan tembaga, penggunaan bahan kaca, penggalian
batu secara terorganisir, serta teknik pemahatan relief sangat efisien dan maju yang tidak
dijumpai di Eropa sampai periode revolusi industri. Lewat kanal yang dikonstruksi
sebagai penghubung antara laut Merah dengan daerah timur Delta. Agama Mesir kuno
menjadi agama rakyat, aturan-aturan didominasi oleh penguasa yang dianggap sebagai
dewa, ritual mereka lebih dikonsentrasikan pada dramitisasi kematian raja-raja.
Karya-karya seni yang mengakar dari simbol-simbol agama, tulisan-tulisan dalam
dekorasi makam makam bernuansakan religius, kuil-kuil dijadikan sentral ilmu
pengetahuan, kemakmuran dan energi dimanfaatkan untuk melanggengkan jasad setelah
mati. Bagi rakyat jelata yang tidak dapat mengabadikan jasadnya dengan mumi, orientasi
mereka diabdikan bukan untuk polilik, tetapi untuk keagamaan. Osiris yang dibunuh oleh
dewa Seth dengan memotong-motong tubuh Osiris, kemudian disebar ke seluruh dataran
lembah Nil. Isis yang merasa kehilangan, mengumpulkan kembali potongan-potongan
jasad Osiris, akhirnya bangkit kembali dan menjadi abadi.
Osiris dewa air, Isis ibu yang agung. Di antara dewa-dewa tersebut Ra-lah yang
paling penting. Thebes, posisinya digantikan oleh dewa Anum atau dewa yang agung
kemudian digabung menjadi Anum-Ra, Bangsa Mesir juga sudah mengenal nyanyian-
nyanyian untuk memuja para dewa, seperti Hymn to the sun. Literatur tertua tercantum
pada teks-teks piramida yang disebut dengan teks tertua tentang pemikiran
manusia. Teks yang berkenaan dengan agama dapat dijumpai pada dinding-dinding
makam raja ke-5 dan ke-6 yang berisi tentang mantramantra magis, mitos dan nyanyian
religius. Tetapi cerita yang penting adalah legenda tentang Yusuf dan saudaranya. Di
samping itu juga ditemukan syair-syair bernuansa religius yang diekspresikan secara
filosofis.
Bangsa Mesir dapat dikatakan sebagai arsitek yang luar biasa dengan
menghasilkan bangunan batu berbentuk piramida. Secara umum struktur sosial Mesir
tidak ada rumah yang megah, istana raja dibangun tidak cukup indah. Kuil terbesar
adalah Karnak yang dibangun dengan batu-batu besar dengan pintu-pintu dan jendela
terbuka, dan atap yang menghadap ke langit. Dalam bidang seni dekorasi, banyak
ditemukan batu-batu kuburan dan istana yang dicat dengan warna-warna simbolik.

6
A. Sistem Bilangan Mesir Kuno
Bangsa Mesir Kuno menulis terutama pada empat jenis bahan: papirus, kulit,
kain kulit, kain katun atau linen, dan batu. Bahan kulit, kain, dan papyrus kain, dan
papirus memiliki banyak keunggulan antara lain murah, mudah ditulisi dan mudah
dikoreksi, serta lentur sehingga mudah untuk digulung, dipindahkan dan disimpan.
Tetapi, salah satu kelemahannya adalah bahwa bahan-bahan tersebut cepat lapuk dan
rusak, terutama bila terkena pengaruh air, serangga, atau cahaya matahari. Di sisi
lain batu tidak sangat terpengaruhi oleh proses-proses tersebut dan dapat bertahan
selama ribuan tahun hampir tanpa perubahan. Oleh karena itu, dokumen-dokumen
tertua yang masih bertahan sampai sekarang yang kita miliki ditulis pada batu.
Namun demikian, dokumen batu mana pun haruslah sederhana dan ringkas.
a. Bilangan Heiroglif
Pada 2700 SM, bangsa Mesir Kuno telah mengembangkan sebuah sistem
tulisan yang menghiasi dinding-dinding batu pada kuil dan bangunan-bangunan
lainnya. Karena contoh-contoh yang paling awal diketahui diketahui telah
ditemukan pada dinding kuil, maka diyakini (secara keliru) bahwa symbol-
simbol tersebut memiliki nilai keagamaan; oleh karena itu, berabad-abad
kemudian, simbol-simbol itu disebut “hieroglyphics”, yang berarti “tulisan suci”
dalam bahasa Yunani.

Gambar 1. Bilangan-bilangan hieroglif Mesir Kuno


Sistem bilangan hieroglif merupakan suatu sistem tally. Terdapat symbol
untuk satuan, puluhan, ratusan, dan semua perpangkatan dari sepuluh hingga
satu juta. Gambar 1.3 menunjukkan beberapa simbol bilangan hieroglif.
Sejumlah contoh penggunaan hieroglif adalah prasasti yang dipahatkan pada
masa pemerintaha Firaun Sahure, yang berperang melawan Sahure, yang
berperang melawan bangsa Libya pada sekitar sekitar 2500 S.M. Sahure
kembali dengan kemenangan dan membawa banyak sekali harta rampasan:
232.413 kambing, berdasarkan tulisan hieroglif yang terdapat di bagian dasar
prasasti tersebut.

7
Bilangan-bilangan lain dapat diekspresikan dengan menggunakan
simbol ini yaitu dengan cara bilangan yang diwakili oleh seperangkat simbol
adalah jumlah bilangan yang diwakili oleh simbol itu sendiri, dengan setiap
karakter diulang hingga sembilan kali. Arah penulisan bilangan dari kanan ke
kiri, dengan unit terbesar berada di urutan pertama, kemudian bilangan lain
dalam urutan pentingnya. Seperti contoh berikut.

Gambar 2. Sistem Bilangan Bangsa Mesir Kuno Berupa Simbol


Hieroglif
Untuk Bilangan-Bilangan Selain Kelipatan 10
Dalam bilangan biasa dimulai dari yang paling besar dengan simbol
berbentuk seperti berudu kemudian diikuti oleh biangan-bilangan lain yaitu
(1 ×100.000)+( 4 ×10.000)+(2 ×1.000)+(1 ×100)+( 3× 10)+(6 ×1)=142.136 ,
jadi simbol tersebut mewakili bilangan 142.136 .
Suatu peradaban mau tidak mau harus berurusan dengan pecahan, jika
mereka hendak menangani perkara mereka hendak menangani perkara pajak.
Demikia pajak. Demikian pula bangsa Mesir Kuno. pula bangsa Mesir Kuno.
Tetapi, berbeda dari kita, bangsa Mesir Kuno terutama menggunakan pecahan-
pecahan dengan pembilang pembilang 1, meski terdapat terdapat simbol untuk
1
, dan sejarah menunjukkan bahwa pada masa selanjutnya dalam sejarah Mesir
2
3 1
Kuno, ada pula simbol untuk . Untuk menuliskan pecahan seperti , lebih
4 13

dahulu simbol-simbol untuk tiga belas dituliskan dan kemudian simbol ,


dikenal sebagai sebagai ro (mulut terbuka), ditempatkan di atasnya: atasnya:

. Beberapa pecahan yang paling lazim digunakan juga memiliki simbol-


simbol khusus, meskipun satu-satunya yang digunakan dengan cukup konsisten
adalah simbol untuk dua pertiga. Pada masa Kerajaan Lama ( ± 300 S.M. hingga
2
2.200 S.M.), ditulis sebagai tetapi seribu tahun kemudian, simbol itu
3

8
menjadi Selanjutnya barulah barulah pada beribu tahun kemudian simbol

untuk dua pertiga ditulis sebagai


Tulisan hieroglif tertua tampaknya secara nyata menimbulkan
kesukaran pada siapa pun yang bukan seorang seniman. Oleh karena itu, pada
sekitar sekitar 2.700 S.M., satu bentuk tulisan lain, yang dikenal sebagai tulisan
hieratik, dikembangkan oleh bangsa Mesir Kuno. Tulisan ini secara umum
adalah suatu bentuk “kursif” dari tulisan hieroglif, yang sesuai untuk digunakan
sehari-hari. Meskipun bilangan hieratik masih merupakan sebentuk notasi
penjumlahan, tetapi ia berbeda dari tulisan hieroglif dalam suatu segi yang
penting: masing-masing simbol harus dipandang sebagai suatu kesatuan yang
utuh. Tidak lama setelah penemuan bilangan-bilangan hieratik dan
hieroglif, bangsa Mesir Kuno mulai membangun piramida-piramida, suatu
eksistensi yang membuktikan tingkat sofistikasi matematis cukup tinggi yang
telah berhasil dicapai oleh berhasil dicapai oleh bangsa Mesir Kuno.
B. Papirus Rhind
Dengan mengecualikan ilmu astronomi, matematika adalah sains eksak tertua
dan paling diminati oleh manusia dari generasi ke generasi. Asal mula matematika
sendiri sepertinya akan tetap berada di balik misteri zaman kuno. Kita sering kali
mendengar bahwa dalam matematika segala sesuatunya akan selalu mengacu kepada
matematika Yunani. Kenyataannya, bangsa Yunani sendiri mengungkapkan
gagasan-gagasan tentang dari mana matematika berasal. Salah satunya adalah seperti
yang digagas oleh Aristoteles dalam karyanya yang berjudul Metaphysics: “Sains-
sains matematis berasal dari kawasan Mesir, karena di sana kaum yang sekelas
pendeta memiliki waktu luang yang cukup.” Hal ini disebabkan karena sebagian
besar perkembangan luar biasa dalam matematika telah berlangsung bersamaan
dengan keberadaan kaum sekelas pendeta tersebut yang mencurahkan waktunya
untuk menguasai berbagai ilmu pengetahuan. Pandangan yang lebih biasa
menyebutkan bahwa matematika muncul karena adanya kebutuhan-kebutuhan
praktis. Peradaban Mesir membutuhkan aritmetika sederhana untuk melakukan
transaksi dalam kegiatan berdagang mereka sehari-hari dan pemerintah
membutuhkannya untuk menentukan pungutan pajak bagi para penduduknya, untuk
menghitung bunga pinjaman, untuk menghitung besarnya gaji, dan untuk menyusun
kalender kerja. Hukum-hukum geometris sederhana digunakan untuk menentukan

9
batas-batas ladang dan daya tampung lumbung mereka. Jika Herodotus menyebut
Mesir sebagai berkah Sungai Nil maka kita dapat menyebut geometri sebagai
berkahnya yang kedua. Karena banjir tahunan yang selalu terjadi di Lembah Nil
maka diperlukan aturan perpajakan untuk menentukan berapa besar tanah yang
bertambah atau berkurang. Ini adalah pandangan seorang pengamat ahli asal Yunani
bernama Proclus (410–485 S.M.), yang karyanya berjudul Pandangan terhadap Buku
Kesatu Elemen Euclid (Commentary on the First Book of Euclid’s Elements)
menjadi sumber informasi yang sangat penting bagi kita berkenaan dengan geometri
pra-Euclid.
Menurut sebagian besar catatan sejarah, geometri adalah ilmu yang pertama
ditemukan di antara bangsa Mesir dan berasal dari pengukuran luas tanah mereka.
Hal ini penting bagi mereka karena Sungai Nil meluap dan menghapus batas-batas
antara tanah-tanah milik mereka.
Meski perhatian awal ditujukan pada matematika yang berdaya guna, pada
akhirnya matematika menjadi suatu ilmu yang kemudian dipelajari secara mandiri.
Aljabar pada akhirnya berkembang dari teknik-teknik perhitungan, dan geometri
teoretis dimulai pada pengukuran luas tanah.
Kebanyakan ahli sejarah mencatat dimulainya penemuan kembali sejarah kuno
bangsa Mesir Kuno adalah pada saat berlangsungnya invasi Napoleon Bonaparte
pada tahun 1798. Pada bulan April tahun tersebut, Napoleon berlayar dari Toulon
bersama armada lautnya yang berjumlah 328 kapal dan mengangkut kurang lebih
38.000 serdadu di dalamnya. Dia bermaksud untuk menaklukkan Mesir agar dapat
menguasai jalur darat menuju wilayah taklukan Inggris yang kaya di India. Meski
komandan AL Inggris bernama Laksamana Nelson berhasil menghancurkan banyak
armada Perancis sebulan setelah serdadu mereka mendarat di dekat Alexandria,
penaklukan tersebut terus berlangsung selama 12 bulan berikutnya sebelum
Napoleon meninggalkan kawasan tersebut dan bergegas kembali ke Perancis. Meski
demikian, bencana bagi pasukan Perancis ini membawa serta kejayaan dalam
perkembangan ilmu pengetahuan. Napoleon bersama pasukan ekspedisinya
membawa serta satu komisi ilmu pengetahuan dan seni, yang beranggotakan 167
orang ilmuwan terpilihtermasuk dua matematikawan Gaspard Monge dan Jean-
Baptiste Fourieryang bertugas mengumpulkan berbagai informasi dengan meneliti
tiap aspek kehidupan bangsa Mesir pada masa-masa kuno dan zaman modern.

10
Rencana utama dari aktivitas tersebut adalah untuk memperkaya khasanah
pengetahuan dunia tentang Mesir sambil mendinginkan keadaan akibat serangan
militer Perancis dengan cara mengalihkan perhatian mereka pada kehebatan budaya
Mesir.
Para ilmuwan anggota komisi tersebut ditangkap oleh pasukan Inggris yang
bermurah hati melepaskan mereka untuk kembali ke Perancis dengan membawa
serta catatan-catatan dan gambar-gambar karya mereka. Ketika waktunya tiba,
mereka menghasilkan sebuah karya monumental dengan judul Déscription de
l’Egypte. Karya ini ditulis dalam 9 seri teks folio dan 12 seri teks lempengan, yang
diterbitkan selama lebih dari 25 tahun. Teks itu sendiri dibagi menjadi empat bagian
yang secara berturutan membahas tentang peradaban Mesir Kuno, monumen-
monumen yang mereka bangun, Mesir modern, dan sejarah alamnya. Tidak pernah
ada sebelumnya catatan yang dibuat tentang negara asing dengan begitu lengkap,
begitu akurat, begitu cepat, dan dibuat pada kondisi-kondisi yang begitu sulit.
Déscription de l’Egypte, beserta kemewahan dan ilustrasi-ilustrasinya yang
luar biasa bagus, mendorong kekayaan pengetahuan dan budaya Mesir kuno
memasuki suatu masyarakat yang telah terbiasa dengan kekunoan Yunani dan
Romawi. Pemaparan mendadak terhadap bangsa yang sudah maju, yang lebih tua
dari peradaban mana pun menurut catatan sejarah, memunculkan ketertarikan yang
tinggi bagi kebudayaan dan komunitas ilmiah bangsa Eropa. Yang membuat
ketertarikan itu semakin besar adalah kenyataan bahwa catatan-catatan sejarah pada
peradaban awal ini ditulis dalam sebuah naskah yang tidak ada seorang pun mampu
menerjemahkannya ke dalam salah satu bahasa modern. Invasi militer serupa yang
dilakukan Napoleon akhirnya memberikan petunjuk literal terhadap masa lalu
bangsa Mesir, ketika salah satu teknisinya menemukan Batu Rosetta dan kemudian
mengungkap kemungkinan bahwa batu tersebut berguna untuk menerjemahkan
tulisan hieroglif.
Sebagian besar pengetahuan kita tentang urutan matematika Mesir berasal dari
dua papirus yang berukuran cukup besar, yang masing-masingnya dinamai dengan
para pemilik dua papirus itu sebelumnyaPapirus Rhind dan Papirus Golenischev.
Papirus yang disebut belakangan biasa juga disebut sebagai Papirus Moskow, karena
ia dimiliki oleh Museum Seni Murni di Moskow. Papirus Rhind dibeli dari Luxor,
Mesir, pada tahun 1858 oleh orang Skotlandia yang bernama A. Henry Rhind, yang

11
kemudian disumbangkan kepada Museum Inggris. Ketika kesehatan pengacara
muda ini menurun drastis, dia mengunjungi wilayah Mesir yang beriklim lebih
hangat dan menjadi arkeolog, yang memiliki spesialisasi dalam bidang penggalian
makam-makam di Thebes. Di kota Thebes inilah, pada reruntuhan bangunan kecil di
dekat Ramesseum, dikatakan bahwa papirus tersebut ditemukan.
Papirus Rhind ditulis dalam naskah hieratik (bentuk kursif hieroglif yang lebih
sesuai untuk penggunaan pena dan tinta) pada sekitar 1650 SM oleh seorang penulis
bernama Ahmes, yang meyakinkan kita bahwa papirus tersebut dibuat mirip karya
awal dari Dinasti Kedua Belas, tahun 1849–1801 SM. Meski papirus tersebut bentuk
aslinya merupakan gulungan dengan panjang 18 kaki dan tinggi 13 inci, ia tiba di
Museum Inggris dalam dua bagian, di mana bagian tengahnya hilang. Mungkin
papirus tersebut telah robek ketika dibentangkan oleh seseorang yang tidak memiliki
keahlian dalam memelihara dokumen rapuh seperti itu, atau mungkin ada dua
penemu dan masing-masingnya meminta suatu bagian. Dipandang dari segi mana
pun, tampaknya bagian kunci dari papirus tersebut telah hilang selamanya bagi kita,
hingga seseorang mendapatkan kesempatan untuk menemukan dan mengungkapnya
yang terkadang memang terjadi dalam dunia arkeologi. Sekitar empat tahun setelah
Rhind melakukan pembelian terkenalnya, Edwin Smith, sebagai seorang Ahli
Bangsa Mesir asal Amerika, membeli apa yang dikiranya papirus pengobatan.
Papirus ini ternyata tipuan belaka, karena ia dibuat dengan menempelkan potongan-
potongan dari papirus lain pada sehelai gulungan model. Pada hari kematiannya
(tahun 1906), koleksi benda-benda Mesir kuno milik Smith dipamerkan kepada
Masyarakat Sejarah New York, dan pada tahun 1922, potongan dari gulungan model
itu teridentifikasi sebagai bagian papirus Rhind. Penguraian papirus Rhind menjadi
lengkap saat potongan-potongan yang hilang itu dibawa ke Museum Inggris dan
digabungkan pada posisi-posisi yang semestinya. Rhind juga membeli naskah
pendek yang ditulis di atas kulit, Gulungan Kulit Matematika Mesir, pada saat
bersamaan dia membeli papirusnya; tetapi melihat kondisinya yang sangat rapuh,
gulungan tersebut tetap tidak dulu diteliti selama lebih dari 60 tahun.
C. Kunci Menuju Penguraian: Batu Rosetta
Penerjemahan Papirus Rhind baru memungkinkan untuk dilakukan secara
cepat karena pengetahuan yang diperoleh dari Batu Rosetta. Penemuan lemping
basal hitam mengkilap ini adalah kejadian yang paling signifikan dari ekspedisi
Napoleon. Batu ini ditemukan oleh seorang perwira pasukan Napoleon dekat Rosetta

12
di Sungai Nil pada tahun 1799, ketika mereka menggali pondasi sebuah benteng.
Batu Rosetta tersusun atas tiga panel, yang masing-masingnya ditulis dalam tiga
jenis tulisan berbeda: huruf Yunani pada bagian ketiga (paling bawah), naskah
demotik bertuliskan huruf Mesir (bentuk pengembangan huruf hieratik) pada bagian
tengah, dan huruf hieroglif kuno pada bagian paling atas yang agak rusak. Cara
membaca huruf Yunani tidak pernah hilang; cara untuk membaca hieroglif dan
demotik tidak pernah ditemukan. Untungnya, disimpulkan dari naskah huruf Yunani
itu bahwa ternyata kedua panel lainnya membawa pesan yang sama, sehingga
naskah tersebut merupakan teks tiga bahasa yang dapat digunakan untuk
menguraikan alfabet hieroglif.
Pentingnya Batu Rosetta segera disadari orang-orang Perancis, terutama
Napoleon, yang memerintahkan naskah itu diperbanyak dengan salinan-salinan
cetak tinta dan dibagikan kepada para ilmuwan di Eropa. Ketertarikan publik sangat
tinggi sehingga ketika Napoleon dipaksa untuk melepaskan Mesir pada tahun 1801,
salah satu artikel dari pakta penyerahan mencantumkan penyerahan batu tersebut
kepada Inggris. Seperti halnya semua artifak yang terkumpulkan, Batu Rosetta
akhirnya menjadi milik Museum Inggris, di mana pembuatan dan penguraian empat
cetakan gips di universitas-universitas Oxford, Cambridge, Edinburgh, dan Dublin,
dengan menggunakan analisis komparatif dimulai. Permasalahannya menjadi lebih
rumit dari yang pernah dibayangkan, sehingga membutuhkan 23 tahun dan
penelitian intensif dari para ilmuwan untuk mencari solusinya.
Bab terakhir dari misteri Batu Rosetta, seperti halnya misteri pertama, ditulis
oleh seorang ilmuwan Perancis, Jean François Champollion (1790– 1832). Sebagai
orang yang paling berpengaruh berkaitan dengan penelitian tentang Mesir, sejak
kecil Champollion telah melihat pertanda bahwa dia akan memainkan peran penting
dalam pengungkapan budaya Mesir kuno. Sejarah mencatat bahwa pada usia 11
tahun, dia berjumpa dengan matematikawan Jean-Baptise Fourier, orang yang
menunjukkan kepadanya beberapa papirus dan lempengan batu yang bertuliskan
huruf hieroglif. Meski diyakinkan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat
membacanya, sang bocah memberikan jawaban yang lebih meyakinkan, “Saya akan
melakukannya jika saya dewasa nanti.” Dari momen itulah hampir segala sesuatu
yang Champollion lakukan selalu berkaitan dengan ilmu tentang Mesir (Egiptologi);
pada usia 13 dia mampu membaca tiga bahasa dari kawasan Timur, dan ketika dia
berusia 17 tahun, dia menuju Universitas Grenoble dan melakukan studi di sana.

13
Pada tahun 1822, dia telah mampu mengumpulkan kosakata hieroglif dan membaca
secara lengkap panel bagian atas yang tertera pada Batu Rosetta.
Dari waktu ke waktu huruf-huruf hieroglif berkembang dari suatu sistem
gambar-gambar dari kata-kata lengkap menjadi sistem yang meliputi lambang-
lambang alfabet sekaligus simbol-simbol fonetik. Pada naskah hieroglif Batu
Rosetta, kerangka-kerangka oval yang disebut cartouches (kata dalam bahasa
Perancis yang berarti cartridge atau pelor) digambarkan mengelilingi karakter-
karakter tertentu. Karena hanya tanda-tanda ini saja yang menunjukkan penekanan
khusus, Champollion menyimpulkan bahwa simbol-simbol yang dikelilingi oleh
pelor-pelor tersebut mewakili nama dari penguasa saat itu, Ptolemy, seperti yang
disebutkan dalam teks yang berbahasa Yunani. Champollion juga memiliki salinan
naskah-naskah yang terdapat pada sebuah obelisk, dan alas tumpuannya, dari Philae.
Alas tersebut memuat tulisan Yunani yang mengagungkan Ptolemy dan istrinya
Cleopatra (bukan Cleopatra terkenal yang konon mati bunuh diri). Pada obelisk itu
sendiri, yang berpahatkan huruf hieroglif, terdapat dua pelor yang didekatkan, jadi
mungkin bahwa dua pelor tersebut menekankan ekuivalenekuivalen Mesir untuk
nama diri dari kedua orang tersebut. Selain itu, salah satu pelor tadi memuat
karakter-karakter hieroglif yang terdapat dalam pelorpelor yang ditemukan pada
Batu Rosetta. Uji silang ini sudah cukup bagi Champollion untuk membuat
penguraian awal. Dari nama-nama bangsawan tersebut dia kemudian menetapkan
hubungan antara simbol-simbol hieroglif dan huruf-huruf Yunani. Ketika itu di
mana tulisan hieroglif mulai tersibak selimut misterinya, Champollion, melalui
usaha tanpa henti selama bertahuntahun, dikabarkan menangis dan setengah
berteriak, “Aku menemukannya!” dan terjatuh pingsan.
Sebagai puncak bagi studi seumur hidupnya, Champollion menulis karyanya
berjudul Grammarie Egyptienne en Encriture Hieroglyphique, yang diterbitkan dan
mendapatkan penghargaan pada tahun 1843. Di dalamnya, dia merumuskan sebuah
sistem gramatika dan uraian umum yang menjadi landasan bagi semua karya yang
kemudian dihasilkan oleh para Egiptolog lainnya. Batu Rosetta telah memberikan
kunci pemahaman terhadap salah satu peradaban hebat di masa silam.
D. Tinjauan Sifat Matematika Mesir Kuno
Awal munculnya salah satu budaya di dunia pada dasarnya adalah perilaku
politik. Antara 3500 hingga 3100 SM, komunitas pertanian di Mesir secara mandiri
berpegang teguh pada bidang yang berbatasan dengan sungai Nil, secara bertahap

14
bidang tanah bergabung menjadi kesatuan yang semakin besar, hingga di bidang
tersebut berdirilah dua kerajaan yaitu kerajaan Mesir Hulu dan Mesir Bawah.
Kemudian sekitar 3100 SM, wilayah-wilayah ini dipersatukan oleh penakluk militer
dari selatan untuk memimpin barisan panjang Firaun, untuk melindungi dari serbuan
luar. Mesir merupakan negeri yang paling mampu berkembang secara seimbang dan
kekal dari peradaban kuno.
Setelah penyatuan Mesir di bawah pemimpin tunggal, sistem administrasi
yang kuat dan luas mulai berkembang. Melakukan pengambilan sensus, pajak
dikenakan, pasukan dipertahankan, dan sebagainya yang mana semua hal tersebu
dibutuhkan perhitungan dengan jumlah yang cukup besar. Pada awal tahun 3500
SM, orang Mesir sepenuhnya mengembangkan sistem bilangan yang akan
digunakan sebagai perhitungan dengan hanya memperkenalkan simbol baru dari
waktu ke waktu. Munculnya pemerintahan dan administrasi Mesir yang
menakjubkan di bawah kekuasaan Firaun dari dua dinasti pertama tidak akan terjadi
tanpa adanya metode menulis. Ditemukan metode menulis orang Mesir baik berupa
tanda suci” yang rumit, atau hieroglif, dan tulisan kursif dari tangan ahli tulis
administrasi.
Sistem penulisan hieroglif adalah berupa skrip gambar, dimana setiap karakter
mewakili objek konkret, maknanya masih sangat jelas dalam banyak kasus. Salah
satu makam di dekat Piramida dari Giza telah ditemukan simbol bilangan hieroglif,
di mana bilangan satu diwakili oleh sebuah coretan vertikal tunggal atau gambar
sebuah tongkat, dan sejenis sepatu kuda atau tanda tumit digunakan sebagai simbol
kolektif untuk menggantikan 10 coretan terpisah. Dengan kata lain, sistem bilangan
bangsa Mesir adalah desimal, yang digunakan untuk menghitung dengan
mengandalkan kekuatan bilangan 10. Diketahui bahwa bilangan 10 sering ditemukan
dikalangan orang-orang kuno sebagai dasar untuk sistem bilangan mereka, hal ini
didasari oleh jari manusia yang berjumlah 10 dan kebiasaan manusia mengandalkan
kesepuluh jari ini.
Piktograf khusus digunakan untuk masing-masing kekuatan baru bilangan 10
sampai keatas hingga 10.000.000 yaitu, 100 seperti tali melengkung, 1000 seperti
bunga teratai, 10.000 seperti garis tegak lurus sedikit bengkok, 100.000 seperti
berudu, 1.000.000 seperti seseorang yang mengangkat kedua tangannya seolah-olah
sedang memohon, dan 10.000.000 seperti simbol yang kadang-kadang dianggap
sebagai matahari terbit.

15
2.2 Matematika Babilonia Kuno
Pada tahun 3500 SM sampai dengan 539 SM, peradaban dari beragamn orang
Mesopotamia telah menghuni wilayah di antara sungai Eufrat dan Tigris. Kisaran tahun
3500 SM, bangsa Sumeria mendirikan sebuah kota yang menjadi kota negara pertama
dan salah satu kota negara terbaik, yaitu Ur. Setelah adanya keberadaan Bangsa Sumeria,
kemudian datang bangsa Akkadia yang tinggal di sekitar wilayah padang pasir. Sekitar
tahun 1900 SM, bangsa Akkadia berhasil ditaklukkan oleh kekaisaran Babilonia pertama.
Lebih dari 1000 tahun kemudian yaitu sekitar di tahun 885 SM, bangsa Assyria
mengambil alih wilayah tempat tinggal bangsa Akkadia dan menguasai wilayah tersebut
selama kurang lebih 300 tahun lamanya. Pada tahun 612 SM, bangsa Chaldea berhasil
menaklukkan bangsa Assyria dan memulai masa kekaisaran Babilonia kedua.
Matematika bangsa Babilonia ditulis menggunakan sistem bilangan seksagesimal
(basis 60). Penggunaan bilangan seksagesimal dapat dilihat pada penggunaan satuan
waktu yaitu 60 detik untuk semenit, 60 menit untuk satu jam, dan pada penggunaan
satuan sudut yaitu 360 (60 x 6) derajat untuk satu putaran lingkaran juga penggunaan
detik dan menit dan pada busur lingkaran yang melambangkan pecahan derajat.
Menurut Wahyudin (2019), matematika Babilonia ternyata jauh lebih berkembang
dibandingkan dengan yang pernah dibayangkan. Bangsa Babilonia adalah satu-satunya
masyarakat Pra-Yunani yang telah menerapkan sistem bilangan posisional meskipun
belum sepenuhnya. Sistem ini berdasarkan kepada gagasan nilai tempat, di mana nilai
dari sebuah simbol bergantung kepada posisi yang ditempatinya dalam representasi
numerik. Keunggulan dari sistem ini apabila dibandingkan dengan sistem lainnya adalah
sehimpunan terbatas simbol-simbol memadai untuk menuliskan bilangan-bilangan,
betapa pun besar atau kecil.
A. Sistem Bilangan Babilonia
Bangsa Babilonia kuno telah memberikan kontribusi dalam matematika pada
saat peradaban Mesopotamia ketika mendiskusikan mengenai peradaban
Mesopotamia saat era Babilonia pada tahun 3500 SM sampai 539 SM. Jika saat ini
manusia menggunakan sistem nilai desimal Hindu-Arab, yaitu 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8,
9, maka pada matematika Babilonia ini tidak menggunakan skala bilangan desimal,
melainkan ditulis menggunakan sistem bilangan seksagesimal (sistem bilangan
dengan basis 60). Sifat seksagesimal yang dikembangkan Bangsa Babilonia
memiliki pengertian bahwa sistem bilangan dasar 10 (desimal) yang menggunakan

16
basis 60, sehingga untuk setiap tempat dari suatu “angka” dipindahkan ke kiri, maka
nilai angka itu meningkat nilainya dengan faktor dari 60. Saat bilangan bulat
ditampilkan dalam sistem seksagesimal, tempat terakhir dikhususkan untuk
bilangan-bilangan dari 1 hingga 59, tempat berikutnya untuk kelipatan-kelipatan dari
60, lalu diikuti dengan kelipatan-kelipatan dari 602, dan seterusnya. Misalnya,
bilangan Babilonia 3 25 4 mewakili bilangan 3.602 +25.60+ 4=12304 , bukan
3
3.10 +25.10+ 4=3254 seperti dalam sistem desimal (sistem bilangan dengan dasar
10) yang biasa kita gunakan.
Penggunaan dari notasi nilai tempat seksagesimal oleh bangsa Babilonia
dikuatkan dengan penemuan dua tablet pada tahun 1854 di Senkerah sekitar Sungai
Eufrat oleh seorang ahli Geologi Inggris yang bernama W. K. Loftus. Tablet-tablet
ini yang diperkirakan dibuat pada periode Hammurabi (2000 SM) menyajikan
kuadrat dari seluruh bilangan bulat dari 1 hingga 59 dan pangkat tiga dari bilangan-
bilangan bulat hingga 32. Tablet kuadrat tersebut dibaca dengan mudah sampai
dengan 72 atau 49. Di mana kita menduga akan menemukan 64 tablet itu
mencantumkan 1 4, satu-satunya hal masuk akal adalah memisalkan 1 mewakili 60.
Setelah 82 , nilai dari 92 dicantumkan sebagai 1 21, kembali mengisyaratkan bahwa
angka di kiri itu tentulah mewakili 60. Skema yang sama berlaku di sepanjang tabel
hingga tiba pada entri terakhir, yaitu 58 1. Ini berarti 58 1=58.60+1=3481=592.
Pada sekitar tahun 2000 SM, bangsa Babilonia menciptakan suatu sistem
penulisan bilangan yang lebih sederhana. Dalam sistem ini hanya menggunakan dua
simbol, yaitu simbol berbentuk pin (baji tegak sederhana) yang mewakili nilai 1 dan
simbol yang berbentuk sayap (baji lebar ke samping) yang mewakili nilai 10. Sistem
penulisan ini dikenal dengan sebutan aksara runcing.

Gambar 3. Aksara Runcing

17
Aksara runcing ditulis di atas tanah liat yang basah. Karena sifat tanah liat
yang cepat mengering, maka sesuatu yang ditulis di atas tanah liat harus relatif
pendek dan dalam sekali waktu saja. Walaupun demikian, tanah liat tersebut tidak
mudah dihancurkan ketika dipanggang dalam oven atau di bawah terik matahari.

Gambar 4. Plimpton 322 yang Berisi Aksara Runcing


Sekitar tahun 2500 SM, perkembangan dari sistem bilangan bangsa Babilonia
meningkat drastis ketika mereka menyadari bahwa simbol berbentuk pin (baji tegak
sederhana) dan sayap (baji lebar ke samping) dapat direpresentasikan dalam
berbagai nilai yang berdasarkan kepada posisinya yang memiliki hubungan antara
satu dengan yang lainnya. Dalam sistem nilai tempat ini, cara penulisan nilai-nilai
yang diwakili adalah dengan menempatkan simbol-simbol tersebut secara
berdampingan. Selain itu, sistem bilangan Babilonia dibaca dari kiri ke kanan.
Misalnya adalah penulisan bilangan 95, maka akan ditulis sebagai berikut:

Gambar 5. Penulisan Bilangan 95 dengan Sistem Bilangan Babilonia


Bentuk pin (baji tegak sederhana) pertama memiliki arti bilangan 60, bentuk
sayap (baji lebar ke samping) selanjutnya memiliki arti 10, karena terdapat tiga
bentuk sayap (baji lebar ke samping) maka 3 ×10=30, dan 5 bentuk pin (baji tegak
sederhana) terakhir memiliki arti bilangan 1 sebanyak 5 kali, 5 ×1=5, yang jika
dijumlahkan akan menghasilkan bilangan 95.

Gambar 6. Penulisan Bilangan 35 dengan Sistem Bilangan Babilonia

18
Bentuk sayap (baji lebar ke samping) memiliki arti 10, karena terdapat tiga
bentuk sayap (baji lebar ke samping) maka 3 ×10=30, dan 5 bentuk pin (baji tegak
sederhana) terakhir memiliki arti bilangan 1 sebanyak 5 kali, 5 ×1=5, yang jika
dijumlahkan akan menghasilkan bilangan 35.
Pemberian spasi yang tepat di antara kelompok-kelompok simbol yang
tersusun berdekatan berkorespondensi dengan perpangkatan menurun dari 60, dibaca
dari kiri ke kanan. Misal:

Gambar 7. Ilustrasi 319940


dapat direpresentasikan sebagai 1.603 +28.602 +32.60+20=319940. Bangsa
Babilonia juga mengatasi kerancuan pada sistem mereka dengan menggunakan
tanda pengurangan, yaitu . Ini memberikan kemungkinan dalam penulisan
bilangan-bilangan seperti 19 dalam bentuk 20−1.

Gambar 8. Penulisan 19 dalam bentuk 20-1


sebagai pengganti dari sebuah simbol puluhan yang diikuti dengan sembilan simbol
satuan.

Gambar 9. Bilangan 19
Notasi nilai tempat Babilonia dalam perkembangan awalnya dihadapkan pada
interpretasi yang bertabrakan karena tidak adanya simbol untuk nol. Tidak ada cara
untuk membedakan antara bilangan-bilangan 1.60+24=84 dan
2
1.60 +0.60+24=3624 , karena masing-masing dapat ditampilkan dalam bentuk
“cuneiform” dengan:

19
Gambar 10. Cuneiform
Jarak pemisah yang mencolok sering digunakan untuk memberi tanda sebuah
tempat seksagesimal hilang, tetapi aturan ini tidak diterapkan dengan ketat dan
menimbulkan kebingungan. Orang yang menyalin tablet mungkin saja tidak melihat
adanya spasi kosong tersebut dan menempatkan simbol-simbol berdekatan sehingga
mengubah nilai bilangannya. Sejak tahun 300 SM, sebuah simbol atau
disebut sebagai pemisah sebagai sebuah penanda tempat. Oleh karena itu
menunjukkan spasi kosong di antara dua angka dalam suatu bilangan. Dengan
adanya pemisah ini, bilangan 84 dapat dibedakan dengan jelas dari 3624, yaitu
bilangan 3624 dapat ditampilkan dalam bentuk sebagai berikut

Gambar 11. bilangan 3624 setelah ditemukannya pemisah


Namun, kebingungan masih berlanjut karena pemisah dalam sistem bilangan
Babilonia digunakan hanya di antara angka-angka dan masih belum ada simbol
untuk menunjukkan ketiadaan angka di akhir dalam suatu bilangan. Sekitar tahun
150 M, seorang ahli astronomi Alexandria yang bernama Ptolemy mulai
menggunakan simbol omicron (o, huruf pertama dari kata Yunani ουδ E ν yang
memiliki pengertian “kosong”), seperti nilai nol yang tidak hanya muncul diantara
angka-angka, namun juga muncul di posisi ujung. Tidak terdapat bukti bahwa
Ptolemy memandang ο sebagai bilangan tersendiri yang dapat masuk dalam
perhitungan bersama bilangan lainnya.
Ketiadaan tanda nol di ujung sistem bilangan Babilonia memiliki arti bahwa
tidak terdapat cara untuk mengatakan apakah tempat terendah memiliki nilai satuan,
1
kelipatan dari 60 atau 602 atau kelipatan . Nilai dari simbol 2 24 dalam bentuk
60
cuneiform, yaitu

Gambar 12. Cuneiform 2 24

20
dapat ditafsirkan sebagai 2.60+24=144 . Namun, interpretasi lain juga
memungkinkan, seperti 2.602 +24.60=8640, atau jika dimasukkan dalam sebuah
24 2
pecahan, maka akan berbentuk 2+ =2 .
60 5
Bangsa Babilonia Kuno tidak pernah mencapai sistem nilai tempat yang
absolut dan pas. Representasi dari bilangan Babilonia mengungkapkan urutan relatif
angka-angka, dan konteks yang menentukan besarnya bilangan yang dituliskan
dalam skala seksagesimal. Oleh karena dasar dari sistem bilangan mereka
sedemikian besar, nilai bilangan mereka biasanya terungkap dengan jelas. Namun
demikian, untuk mengatasi kekurangan tersebut, dibuat suatu kesepakatan untuk
menggunakan tanda titik-koma sebagai pemisah bilangan bulat dari pecahan-
pecahan, sedangkan semua tempat seksagesimal lainnya akan dipisahkan satu sama
lain dengan tanda-tanda koma. Dengan aturan ini, maka 25, 0, 3; 30 dan 25, 0; 3, 30
30 1
secara berurutan akan memiliki arti 25.602 +0.60+3+ =90003 dan
60 2
3 30 7
25.60+0+ + 2 =1500 .
60 60 120
Selain sistem bilangan, pada zaman ini juga ditemukan suatu akar kuadrat dari
2 atau √ 2 yang ditemukan tertulis pada sebuah tablet, yaitu YBC 7289. Waktu dari
dituliskannya tablet ini tidak diketahui secara pasti, namun secara umum
disimpulkan bahwa tanggal pembuatan tablet ini antara tahun 1800 dan 1650 SM.
Terdapat bukti bahwa bangsa Babilonia adalah pemilik dari tablet tersebut. Bukti
tersebut berupa pemahaman tentang bilangan irrasional, khususnya dari √ 2.

Gambar 13. Tablet YBC 7289


Ukiran yang terdapat pada tablet tersebut adalah sebuah gambar persegi
dengan satu sisi yang ditandai dengan bilangan 30. Selain itu, pada diagonal persegi
tersebut memiliki dua tanda bilangan seksagesimal, yaitu:
dan

21
Gambar 14. Terjemahan Diagonal Satu Gambar 15. Terjemahan Diagonal Dua
Para ahli menyepakati untuk menerjemahkan bilangan pertama tersebut
sebagai bilangan 1, 24, 51, dan 10, yang diperkirakan sebagai √ 2 dimana 1, 24, 51,
24 51 10
dan 10 sama dengan 1+ 1
+ 2 + 3 , yang apabila dijumlahkan akan sama dengan
60 60 60
hasil dari √ 2 yaitu 1,41421296, yang akurat hingga lima tempat desimal.
Namun, terdapat sumber berbeda mengenai penerjemahan diagonal kedua, hal
tersebut terjadi karena perbedaan pada cara penerjemahan oleh para ahli. Contohnya,
ketika diagonal kedua diterjemahkan sebagai 0, 42, 25, dan 35, maka nilainya

+ 2 + 3 =0,7071064815= √ , akurat hingga enam tempat desimal. Sumber


42 25 35 2
1
60 60 60 2
lain juga menerjemahkan bilangan tersebut sebagai 42, 25, dan 35 yang sama dengan
25 35
42+ 1
+ 2 =42,426388=30 √ 2, akurat hingga tiga tempat desimal. Perhitungan
60 60
tersebut berarti nilai ini ditentukan dengan mengalikan panjang sisi yang diketahui,
yaitu 30, dengan panjang diagonal yang diketahui, yaitu √ 2.
Diketahui bahwa kecuali dalam keberadaan aturan-aturan geometris tertentu,
bangsa Babilonia lebih maju dibandingkan dengann bangsa Mesir dalam bidang
matematika. Meski matematika Babilonia juga memiliki akar-akar empiris kuat yang
tampak jelas pada kebanyakan tablet yang telah berhasil diterjemahkan sejauh ini,
tetapi matematika Babilonia tampaknya cenderung menggunakan ekspresi yang
lebih teoritis (masyarakat Babilonia boleh mengklaim bahwa mereka telah mencapai
temuan lebih awal, terutama mengenai teorema Pythagoras). Kunci kemajuan
bangsa Babilonia tampaknya adalah kemudahan sistem bilangan mereka yang luar
biasa. Notasi seksagesimal yang hebat memungkinkan mereka untuk berhitung
dengan pecahan-pecahan semudah mengerjakan bilangan-bilangan bulat dan
membawa mereka kepada aljabar yang sangat maju. Hal ini mustahil bagi bangsa
Mesir, karena bagi mereka tiap operasi yang berkaitan dengan pecahan harus
melibatkan pecahan-pecahan satuan yang begitu banyak, sehingga tiap pembagian
yang dilakukan menimbulkan permasalahan yang sulit.
B. Tablet Bilangan-Bilangan Kebalikan
Kunci dari kemajuan bangsa Babilonia adalah kemudahan sistem bilangan
Babilonia yang luar biasa. Notasi seksagesimal yang hebat memungkinkan mereka
untuk berhitung dengan pecahan-pecahan dengan mudah dan membawa mereka

22
kepada aljabar yang sangat maju. Hal ini mustahil bagi bangsa Mesir, karena bagi
mereka tiap operasi yang berkaitan dengan pecahan harus melibatkan pecahan-
pecahan satuan yang banyak sehingga setiap pembagian yang dilakukan
menimbulkan permasalahan yang sulit. Bangsa Babilonia terbebaskan oleh sistem
bilangan mereka yang luar biasa dari proses perhitungan yang membosankan,
menjadi penyusun tabel-tabel aritmatika, beberapa dari tabel itu memiliki kerumitan
dan tingkatan yang luar biasa. Tabel-tabel yang begitu banyak berisi kuadrat-kuadrat
dari bilangan-bilangan 1 sampai 50, dan juga pangkat tiga, akar kuadrat, dan akar
pangkat tiga dari bilangan-bilangan tersebut. Sebuah tablet yang disimpan di
Museum Berlin berisi daftar-daftar yang tidak hanya menunjukkan n2 dan n3 untuk
n=1 ,2 , … , 20 ,30 , 40 , 50, tetapi juga menunjukkan jumlah dari n2 +n 3. Diperkirakan
bahwa daftar ini dimanfaatkan untuk menyelesaikan persamaan pangkat tiga yang
telah diturunkan menjadi bentuk   x 3+ x2 =a. Kumpulan tablet lain terkait dengan
bilangan-bilangan kebalikan. Format baku dari tabel sejenis ini menggunakan dua
kolom bilangan, seperti berikut ini:
4 15
5 12
6 10
8 7;30
9 6;40
10 6
12 5
15 4
16 3;45
18 3;20
Hasil kali dari setiap pasangan bilangan selalu 60. Setiap pasang bilangan
terdiri atas sebuah bilangan pada kolom bagian kiri dan kebalikan seksagesimalnya
pada sisi kanan. Tabel-tabel ini memiliki kekurangan tertentu di dalamnya, seperti
bilangan-bilangan yang hilang adalah 7, 11, 13, dan 14, dan lainnya. Alasan untuk
kekurangan tersebut adalah hanya pecahan-pecahan seksagesimal finit yang masuk
akal bagi orang-orang Babilonia, dan kebalikan dari bilangan- bilangan yang
tidak beraturan merupakan seksagesimal tidak berujung. Misalkan pada perluasan
1
seksagesimal untuk , blok 8, 34, 17 mengulang dirinya sendiri sebanyak tak hingga
7

23
1
kali: =0 ; 8 , 34 , 17 , 8 ,34 ,17 ,… (Situasi demikian terjadi juga dalam sistem kita.
7
1
Misalnya, kebalikan seperti =0,090909 bersifat bersifat tak hingga saat diperluas
11
ke bentuk desimal.) Apabila sebuah bilangan tidak  beraturan seperti 7 muncul
dalam kolom pertama, maka pernyataan yang dibuat adalah bahwa 7 tidak membagi,
dan oleh karena itu sebuah aproksimasi diberikan.
Sebuah tablet bangsa Sumeria pada tahun 2500 SM meminta para pembacanya
untuk membagi bilangan 5, 20, 0, 0 oleh 7. Perhitungannya ditunjukkan sebagai
(5 , 20 , 0 ,0)( 0;8 ,34 ,17 , 8)=45 , 42 ,51 ; 22 , 40 , dimana 5, 20, 0, 0 dikalikan dengan
kebalikan dari 7 yang diaproksimasikan hingga empat angka desimal. Tabel yang
1
belakangan muncul memberikan batas atas dan batas bawah untuk , yaitu
7
1
8 , 34 , 16 , 59< <8 ,24 ,18.
7
Kita dapat menggambarkan cakupan beberapa tabel bilangan kebalikan dari
sebuah tablet di Louvre pada 350 SM, yang berisi 252 entri pembagi-pembagi
dengan satu tempat sampai dengan tujuh belas tempat, dan bilangan- bilangan
kebalikan dengan satu tempat sampai dengan empat belas tempat. Tabel ini adalah
daftar dari bilangan-bilangan n dan n ' untuk hasil kali nn '   sama dengan 1 atau suatu
perpangkatan lainnya dari 60. Contohnya, salah satu baris dari tabel itu
mencantumkan nilai-nilai 2, 59, 21, 40, 48, 54 20, 4, 16, 22, 28, 44, 14, 57, 40, 4,
56, 17, 46, 40 yang dapat kita anggap seperti menampilkan hasil kali dari
2.60 +59.60 + 21.60 +40.60 + 48.60+54 ¿ × ( 20.60 + 4.60 +16.60 +22.60 +28.60 + 44.60 +14.6
5 4 3 2 13 12 11 10 9 8

. Tampak bahwa perhitungan pada tingkatan ini diperlukan dalam pekerjaan para
astronom.
Bangsa Babilonia tidak melakukan  pembagian dengan cara duplikasi yang
janggal seperti yang dilakukan oleh bangsa Mesir. Sebagai gantinya mereka
menginterpretasi a dibagi oleh b sebagai a yang dikalikan dengan kebalikan b ; yaitu,
a
. Setelah mendapatkan kebalikan dari pembagi, baik dari tabel maupun
b
melalui perhitungan, mereka hanya harus mengalikannya dengan bilangan yang akan
dibagi. Para penulis naskah kuno Babilonia menggunakan tabel-tabel penyelesaian
perkalian, yang hampir selalu memberikan hasil kali dari bilangan tertentu saat
dikalikan secara berturutan dengan 1, 2, 3, ..., 18, 19, 20 dan kemudian dengan 30,

24
40, dan 50. Pada salah satu tablet bertanggal 1500 SM terdapat tabel-tabel dari 7, 10,
1
12 , 16, 24, yang masing-masingnya dikalikan dengan deretan nilai-nilai tersebut di
2
atas. Dengan demikian, prosedur untuk, misalnya, 7 dibagi 2 adalah mengalikan
kebalikan 2 oleh 7: 7(0 ;30)=0 ; 210=3 ; 30, yang merupakan notasi seksagesimal
1
untuk 3 .
2
C. Tablet Plimpton 322
Satu keganjilan lain dalam sejarah matematika menjadi jelas saat sebuah tablet
tanah liat bangsa Babilonia yang dinamakan Plimpton 322 diuraikan oleh
Neugebauer dan Sachs pada tahun 1945. Tablet ini ditulis dalam tulisan Babilonia
Lama antara 1900 SM dan 1600 SM. Analisis dari kumpulan daftar angka-angka
yang luar biasa ini mengukuhkan bahwa teorema Pythagoras telah diketahui oleh
para matematikawan Babilonia lebih dari seribu tahun sebelum Pythagoras lahir.
Sosok Pythagoras yang menunjukkan hubungan antara panjang-panjang dan sisi-sisi
dari sebuah segitiga siku-siku, dituliskan secara ringkas dalam rumus  x 2+ y 2=z 2.
Plimpton 322 adalah bagian sisi kanan dari sebuah tablet lebih besar yang
berisi beberapa kolom. Seperti terlihat patahan di sisi bagian kirinya, tablet ini
sebenarnya lebih besar. Adanya bekas lem modern pada patahan itu menunjukkan
bahwa satu bagian lainnya hilang setelah tablet ini berhasil digali. Tablet ini juga
mengalami kerusakan berupa retakan yang dalam di dekat bagian dekat bagian
tengah tepi tengah tepi kanan dan permukaan yang terkikis pada bagian pojok kiri
atasnya. Daftar di bawah ini menunjukkan isi dari tablet tersebut:
119 169 1
3367 4825 (11521) 2
4601 6649 3
12709 18541 4
65 97 5
319 481 6
2291 3541 7
799 1249 8
481 (541) 769 9
4961 8161 10
45 75 11

25
1679 2929 12
161 (25921) 289 13
1771 3229 14
56 106 (53) 15
Kolom terakhir hanya berisi bilangan-bilangan 1, 2, ..., 15, yang menunjukkan
menunjukkan nomor barisan. Bukan hal sulit untuk membuktikan bahwa bilangan-
bilangan itu membentuk kaki dan hipotenusa dari sebuah segitiga siku-siku bersisi
integral. Dengan kata-kata lain, jika bilangan-bilangan yang berada pada bagian
tengah kolom dikuadratkan dan jika kita mengurangkan dari setiap bilangan itu,
kuadrat dari bilangan yang berkorespondensi dengannya pada kolom pertama, maka
hasilnya adalah suatu kuadrat sempurna. Misalnya, baris pertama berisi persamaan
( 169 )2−( 119 )2= ( 120 )2.

Gambar 16. Tablet Babilonia Plimpton 322


Teks pada tablet mengandung beberapa kesalahan, bacaan-bacaan asli dari
tablet tersebut ditunjukkan dalam tanda kurung di sisi kanan bilangan-bilangan yang
dikoreksi. Pada baris ke-9, kemunculan 541 bukannya 481 merupakan kesalahan
penulis tablet, karena dalam notasi seksagesimal 541 ditulis 9,1 dan 481 ditulis 8,1.
Pada baris ke-13, sang penulis tablet menuliskan kuadrat dari 161 bukan bilangan
161 itu sendiri dan bilangan pada baris terakhir adalah setengah dari nilai yang
benar.
D. Tinjauan Sifat Matematika Babilonia
Penelitian menunjukkan bahwa, kecuali dalam hal keberadaan aturan-aturan
geometris tertentu, bangsa Babilonia lebih maju dibandingkan bangsa Mesir Kuno
dalam bidang matematika. Meski matematika Babilonia juga memiliki akar-akar
empiris kuat, seperti halnya matematika Mesir Kuno, tetapi bangsa Babilonia
tampaknya telah menggunakan ekspresi matematis yang lebih teoretis. Salah satu
kunci kemajuan matematika Babilonia adalah kemudahan sistem bilangan dengan

26
notasi seksagesimal yang mereka gunakan. Notasi seksagesimal adalah sistem
bilangan yang menggunakan angka 60 sebagai dasarnya. Sistem ini berasal dari
Babilonia kuno.
Selain tablet-tablet aritmetika yang beberapa di antaranya memiliki kerumitan
dan tingkatan luar biasa, terdapat pula tablet-tablet matematika Babilonia yang
berhubungan dengan perkara aljabar dan geometri. Tablet-tablet ini umumnya
menyajikan serangkaian permasalahan numerik yang berkaitan erat, beserta
perhitungan dan jawaban-jawaban terkaitnya. Teks semacam ini seringkali ditutup
dengan kata-kata “demikian prosedurnya.” Meski tidak satu pun dari tablet-tablet
tersebut menunjukkan aturan-aturan umum, tetapi konsistensi dalam hal bagaimana
masalah-masalah diselesaikan menunjukkan kepada kita bahwa bangsa Babilonia,
tidak seperti bangsa Mesir, memiliki sejenis pendekatan teoretis terhadap
matematika. Permasalahan-permasalahan tersebut seringkali tampak seperti Latihan
pikiran, bukan hanya sebentuk risalah survei atau catatan transaksi perdagangan, dan
permasalahan-permasalahan itu pun mengisyaratkan suatu ketertarikan abstrak
terhadap relasi-relasi numerik.
Terdapat sejumlah tablet tanah liat yang menunjukkan bahwa orang-orang
Babilonia pada tahun 2000 SM telah cukup akrab dengan rumus modern untuk
menyelesaikan persamaan kuadrat.
Dengan demikian, instruksi Babilonia tersebut menuju kepada penggunaan
suatu rumus yang ekuivalen dengan aturan yang kita kenal saat ini yaitu,

x=
√( )
a 2
b
+ b−
a
2
untuk menyelesaikan persamaan kuadrat  x 2+ ax=b . Meski matematikawan
Babilonia tidak memiliki “rumus kuadrat” yang akan dapat menyelesaikan semua
persamaan kuadrat, tetapi instruksi-instruksi dalam contoh-contoh konkret ini
sedemikian sistematis hingga kita yakin bahwa semua itu memang dimaksudkan
untuk mengilustrasikan prosedur umum.

2.3 Matematika Yunani Kuno


Matematika Yunani merujuk pada matematika yang ditulis dalam bahasa Yunani
sekitar tahun 600 SM sampai 300 SM. Namun, matematika Yunani hampir tidak ada teks
yang benar-benar ditulis pada saat millennium pertama SM. Jadi cerita matematika
Yunani kuno ditulis lebih lambat dari kejadian aslinya. Orang Yunani menciptakan

27
matematika yang lebih mendalam, lebih abstrak dan lebih dikembangkan. Sejak abad ke-
6 SM, orang Yunani mewakili angka dalam sistem sandi menggunakan alphabet mereka
sendiri.
A. Sistem Bilangan Yunani Kuno
Numerisasi atau sistem numerisasi ialah sistem memberi nama bilangan.
Sistem ini mempunyai simbol-simbol pokok atau simbol dasar. Simbol-simbol dasar
ini dengan aturan penggabungan lambang bilangan dipakai untuk menulis lambang
bilangan yang merupakan nama dari bilangan itu. Jadi dalam sistem numerisasi ini
ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, simbol-simbol pokok yang dipakai
dan kedua aturan yang menyatukan simbol-simbol pokok itu untuk menulis semua
bilangan.
Sedangkan bilangan adalah suatu konsep matematika yang digunakan untuk
pencacahan dan pengukuran. Konsep bilangan pada awalnya hanyalah untuk
kepentingan mereka menghitung dan mengingat jumlah. Lambat laun, setelah para
ahli matematika menambah perbendaharaan simbol dan kata-kata yang tepat untuk
mendefinisikan bilangan.
Bahasa matematika menjadi sesuatu yang penting dalam setiap perubahan
kehidupan. Tak heran lagi, bilangan senantiasa hadir dan dibutuhkan dalam sains,
teknologi, dan ekonomi bahkan dalam dunia musik, dan lain-lain. Dahulu di Yunani,
ketika orang primitif hidup di gua-gua dengan mengandalikan makanannya dari
tanaman dan pepohonan di sekitar gua atau berburu untuk sekali makan, kehadiran
bilangan, hitung menghitung, atau matematika tidaklah terlalu dibutuhkan. Tetapi,
tatkala mereka mulai hidup untuk persediaan makanan, mereka harus menghitung
berapa banyak ternak miliknya dan milik tetangganya atau berapa banyak persediaan
makanan saat ini. Dengan demikian, mulailah mereka membutuhkan dan
menggunakan hitung-menghitung.
Pada awalnya cukuplah menggunakan konsep lebih sedikit dan lebih banyak
untuk melakukan perhitungan. Misalnya, untuk membandingkan dua kelompok
kupu-kupu yang berbeda banyaknya. Mereka hanya bisa membandingkan banyak
sedikitnya kedua kelompok kupu-kupu itu. Akan tetapi, kepastian jumlah tentang
milik seseorang atau milik orang lain mulai dibutuhkan, sehingga mulai mengenal
dan belajar perhitungan sederhana. Mula-mula, manusia menggunakan kerikil,
menggunakan simpul pada tali, menggunakan jari jemarinya, atau memakai ranting
untuk menyatakan banyak hewan dan kawanannya atau anggota keluarga yang

28
tinggal bersamanya. Inilah dasar pemahaman tentang konsep bilangan. Ketika
seseorang berfikir tentang bilangan dua, maka dalam benaknya telah tertanam
pengertian terdapat benda sebanyak dua buah. Misalnya ada dua katak dan dua
kepiting, dan selanjutnya kata “dua” dilambangkan dengan ”2”. Karena menyatakan
bilangan dengan menggunakan kerikil, ranting, atau jari dirasakan tidak cukup
praktis, maka orang mulai berpikir untuk menggambarkan bilangan itu dalam suatu
lambang.
Lambang (simbol) untuk menulis sebuah bilangan disebut angka. Seperti
halnya di Mesir dan Mesopotamia, bangsa Yunani pun mengembangkan system
numerasinya sendiri. Sistem numerasi yang digunakan bangsa Yunani ada dua
macam, yaitu bilangan attic dan bilangan ionik. Adapun bilangan itu antara lain:
1. BilanganAttic (Yunani Kuno)
Sistem numerasi ini berkembang sekitar tahun 600 SM. Tulisan ini
ditemukan didaerah reruntuhan Yunani yang bernama Attic. System numerasi
attic dilambangkan sederhana, dimana angka satu sampai empat dilambangkan
dengan lambang tongkat (misalnya dua dengan II).
Angka loteng digunakan oleh orang Yunani kuno, mungkin dari abad ke-7
SM. Mereka juga dikenal sebagai angka Herodianic karena mereka pertama kali
dijelaskan dalam sebuah naskah abad ke-2 oleh Herodes. Mereka juga dikenal
sebagai angka acrophonic karena simbol-simbol berasal dari huruf pertama dari
kata-kata yang mewakili simbol lima sepuluh, seratus, ribu dan sepuluh ribu.
Berikut merupakan bilangan attic:
Tabel 1. Bilangan Attic
Angka Lambang dasar
1 I
10 ∆(deka)
100 H(Hskaton)
1000 X(Khilioi)
10000 M(Myrlon)
Lambang
Bilangan Attic:
 Menyerupai penulisan lambang bilang Mesir Kuno
 Ditulis menurut sistem pengelompokkan

29
 Menggunakan dasar bilangan decimal
 Menggunakan lambang bilangan pengganti psa detiap pertengahan
kelipatan sepuluh
Penggunaan Η untuk 100 mencerminkan tanggal awal dari sistem
penomoran: Η ( ETA ) dalam abjad Attic awal mewakili suara / h /. Di
kemudian, “klasik” Yunani, dengan penerapan alfabet ionik seluruh mayoritas
Yunani, surat eta datang untuk mewakili suara e panjang sementara aspirasi
kasar tidak lagi ditandai. Itu bukan ‘ t sampai Aristophanes
Byzantium memperkenalkan tanda aksen berbagai selama periode Helenistik
bahwa asper spiritus mulai untuk mewakili / h /. Jadi kata untuk seratus awalnya
akan pernah ditulis ΗEΚΑΤΟΝ, dibandingkan dengan ἑκατόν ejaan sekarang
lebih akrab.
Modern Yunani , di / h / fonem telah lenyap sama sekali, tetapi hal ini
tidak berpengaruh pada ejaan dasar. Berbeda dengan lebih akrab modern Angka
Romawi, sistem Attic hanya berisi bentuk aditif. Dengan demikian, jumlah 4
ditulis ΙΙΙΙ, tidak ΙΠ. Angka yang mewakili 50, 500, dan 5.000 adalah komposit
dari pi (sering kali dalam bentuk lama, dengan kaki kanan pendek) dan versi
kecil dari kekuasaan yang berlaku sepuluh.
2. Sistem Ionik (Alfabetis)
Kira-kira tahun 450 SM. bangsa Ionia dari Yunani telah mengembangkan
suatu sistem angka, yaitu alphabet Yunani sendiri yang terdiri dari 27 huruf.
Sejarah perkembangan ionik merupakan tulisan tertua dari masyarakat purba
yang telah melahirkan dua jalur proses perkembangan sistem penulisan.
Jalur penulisan Phonetis yang pada akhirnya menjadi tulisan alphabetis
adalah pilihan bagi sistem menulis yang dikembangkan oleh dua pusat
peradaban tertua di kawasan Asia Barat (timur Tengah),
yakni Mesir dan Mesopotania. Sedangkan bangsa Tionghoa di kawasan
Timur Jauh tetap mempertahankan sistem perlambangan gambar (pictografis-
ideografis) dalam penulisan mereka, bahkan sampai saat ini. Kira-kira tahun
450 SM. bangsa Ionia dari Yunani telah mengembangkan suatu sistem angka,
yaitu alphabet Yunani sendiri yang terdiri dari 27 huruf. Bilangan dasar yang
mereka pergunakan adalah 10. Adapun sistem ionik sebagai berikut:

30
Gambar 17. Sistem Ionik
Lambang bilangan ionik:
 Tidak mengenal sistem penulisan berdasarkan letak bilangan
 Menggunakan dasar bilangan desimal dan seksagesimal
 Bilangan dasar seksagesimal terutama dipergunakan untuk besaran sudut
 Lambang bilangan nol tidak dikenal tetapi lambang untuk menunjukkan
tempat kosong pada sistem bilangan dasar seksagesimal mereka lukiskan
dengan lingkaran.
B. Kemunculan Geometri Demonstratif: Thales dari Miletus
Pada abad-abad terakhir dari millenium kedua SM, terjadi banyak perubahan
pada bidang ekonomi dan politik. Beberapa peradaban lenyap, kekuasaan Mesir dan
Babilonia menurun, dan bangsa-bangsa baru khususnya bangsa Yahudi (Ibrani),
Asyria, Phoenicia, dan Yunani tampil kedepan. Abad besi telah dimulai dan
mengakibatkan perubahan-perubahan hebat dalam cara berperang dan dalam segala
usaha yang memerlukan peralatan. Huruf telah ditemukan dan mata uang mulai
dikenal. Perdagangan kian mendapat dorongan dan penemuan-penemuan geografis
dilakukan. Dunia telah siap untuk sebuah peradaban yang baru.
Peradaban ini menempatkan diri di kota-kota yang muncul sepanjang pesisir
Asia kecil dan kemudian di daratan Yunani. Sicillia, dan di pesisir Italia. Pandangan
statis dari dunia timur kuno tidak mungkin lagi dan dalam suasana rasionalisme yang
berkembang orang mulai berpikir mengapa, maupun bagimana.
Untuk pertama kali dalam matematika, seperti halnya dalam bidang-bidang
lain, orang mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan utama seperti, “Mengapa
sudut-sudut alas dari segitiga samakaki sama besarnya?” dan “Mengapa garis tengah
suatu lingkaran membagi sama lingkaran tersebut?”. Cara-cara empiris dari dunia
timur kuno tidak lagi memadai untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mengapa

31
dan bagaimana yang lebih ilmiah. Beberapa percobaan metode-metode demonstratif
mulai mendapat tempat dan ciri-ciri deduktif, yang dipandang oleh para
cendekiawan modern sebagai suatu ciri utama dari matematika, mulai terwujud.
Dengan demikian matematika dalam arti kata yang modern, lahir dalam suasana
rasionalisme di salah satu kota perdagangan yang baru yang terletak di pesisir barat
Asia kecil.
Geometri demonstratif dimulai oleh Thales dari Miletus satu dari “Tujuh
Orang Bijaksana” (dalam bahasa Yunani Hoi Hepta Sophoi) dari zaman kuno, di
masa pertengahan abad yang pertama dari abad ke-6 SM. Pemikiran Thales
dianggap sebagai kegiatan berfilsafat pertama karena mencoba menjelaskan dunia
dan gejala-gejala di dalamnya tanpa bersandar pada mitos melainkan pada rasio
manusia. Thales (624-546 SM) lahir di kota Miletus yang merupakan tanah
perantauan orang-orang Yunani di Asia kecil. Situasi Melitus yang makmur
memungkinkan orang-orang di sana untuk mengisi waktu dengan berdiskusi dan
berpikir tentang segala sesuatu.
Thales menjalani bagian pertama hidupnya sebagai saudagar yang cukup kaya,
namun ia mencurahkan masa hidupnya untuk belajar dan melakukan banyak
perjalanan. Menurut beberapa sumber, Thales pernah tinggal beberapa waktu di
Mesir dan menimbulkan banyak kekaguman karena menghitung tinggi piramida
dengan menggunakan bayangan piramida tersebut. Sekembalinya dari Miletus, Ia
terkenal sebagai negarawan, penasehat, insinyur, usahawan, matematikawan, dan
ahli perbintangan karena kejeniusannya tersebut. Thales adalah orang pertama yang
dihubung-hubungkan dengan penemuan-penemuan matematika.

Pemikiran Thales

32
Gambar 18. Pemikiran Thales
Pemikiran utama Thales adalah mengenai air yang merupakan prinsip dasar
dari segala sesuatu yang ada di bumi ini (dalam bahasa Yunani arche). Hal ini
dikarenakan air mampu tampil dalam segala bentuk, bersifat stabil, tidak akan
pernah habis, dan juga tekandung di setiap bahan makanan. Argumentasi Thales
terhadap pandangan tersebut adalah bagimana bahan makanan semua makhluk hidup
mengandung air dan bagaimana semua makhluk hidup juga memerlukan air untuk
hidup. Selain itu, air adalah zat yang dapat berubah-ubah bentuk (padat, cair, dan
gas) tanpa menjadi berkurang.
Pemikiran Thales berikutnya yaitu bahwa setiap hal yang ada di muka bumi,
baik benda hidup atau benda mati, memiliki jiwa. Teori tentang materi yang berjiwa
ini disebut hylezoisme. Argumentasi Thales didasarkan pada magnet yang dikatakan
memiliki jiwa karena mampu menggerakkan besi.
Selanjutnya, Thales pun semakin dikenal oleh masyarakat pada masa itu ketika
Thales berhasil memprediksi terjadinya gerhana matahari pada tanggal 28 Mei pada
tahun 585 SM. Thales berhasil membuat pemikiran-pemikiran dalam bidang
geometri, diantaranya menentukan ukuran piramida hanya dari bayangannya saja
dan mengukur jarak suatu kapal di laut dengan tepian pantai. Selanjutnya,
pemikiran-pemikiran tersebut disempurnakan dengan pemikiran abstrak Thales yang
lainnya ke dalam teorema yang kemudian menjadi teorema dasar dalam bidang
geometri dan dikenal dengan nama teorema Thales.
Adapun teorema tersebut adalah sebagai berikut:
a. Sebuah lingkaran terbagi dua sama besar oleh diameternya.
b. Sudut bagian dasar dari sebuah segitiga sama kaki adalah sama besar.
c. Jika ada dua garis lurus bersilangan, maka besar kedua sudut yang saling
berlawanan akan sama.
d. Jika A, B, dan C adalah titik-titik dalam sebuah lingkaran dimana AC
merupakan sebuah diameter lingkaran, ∠ABC maka adalah sudut siku-siku.
e. Sebuah segitiga terbentuk bila bagian dasarnya serta sudut-sudutnya yang
bersinggungan dengan bagian dasar tersebut telah ditentukan.
Kelima teorema dalam bidang geometri tersebut perlahan-lahan diperkenalkan
kepada masyarakat pada zaman tersebut. Sayangnya, tidak ada sumber yang secara

33
pasti menerangkan bagaimana Thales mengenalkan teorema-teorema tersebut.
Namun sejak Thales mengenalkan teoremanya, Thales kemudian memiliki beberapa
murid diantaranya Anaximander, Anaximenes, Mamercus, dan Mandryatus.
Selanjutnya, sepeninggal Thales, beberapa filsuf seperti Plato dan Aristoteles
menuliskan kisah perjalanan Thales beserta pemikiran-pemikirannya, termasuk
teorema Thales. Bahkan Pythagoras dan Euclid kemudian melanjutkan perjuangan
Thales dalam bidang geometri. Tidak hanya penuangan dalam tulisan saja, beberapa
orang pun berusaha untuk membuktikannya. Namun selain adanya pembuktian
ternyata ada pula yang mengatakan bahwa terdapat kekeliruan dalam teorema
Thales. Hal ini disampaikan oleh Proclus yang mengungkapkan bahwa ada sedikit
kekeliruan dalam teorema Thales sehingga kemudian Proclus menggunakan kata
“similar” atau “serupa” daripada “equal” atau “sama dengan” ketika membuktikan
teorema ke-2. Hal tersebut dilakukan karena menurutnya Thales tidak memiliki cara
yang tepat untuk mengukur secara pasti sudut tersebut.
Pembuktian matematis lain yang juga dikemukakan adalah pembuktian
teorema ke-4 yang dituliskan dalam buku Element Euclid.
Teorema Thales yang disebut sebagai salah satu dasar-dasar dalam bidang
geometri, ternyata juga memberikan pengaruh akan munculnya pemikiran lain dalam
geometri. Contohnya adalah kesebangunan dan kekongruenan segitiga. Saat ini,
teorema Thales masih diperkenalkan kepada generasi-generasi muda. Perkenalan
tersebut dilakukan dalam kegiatan pembelajaran matematika. Namun cara
memperkenalkannya berbeda-beda. Misalnya untuk anak-anak yang sudah sampai di
sekolah-sekolah tinggi, perkenalan lebih kepada pembuktian teorema-teorema itu
sendiri. Berbeda dengan anak-anak yang masih duduk di sekolah-sekolah yang
tingkatnya belum tinggi, perkenalan dengan memasukan rumus ke dalam soal yang
ada. Tidak hanya itu, sebenarnya awal mula teorema ini hadir, teorema Thales juga
digunakan untuk mengukur jarak kapal dari tepi pantai ataupun mengukur
ketinggian suatu obyek namun hanya dengan menggunakan tinggi bayangan dari
obyek tersebut.
C. Matematika Kaum Phytagoras
Dalam pembelajaran matematika seringkali kita mendengar teorema/dalil
Pythagoras. Pythagoras adalah seorang ahli filsafat dan matematika yang lahir tahun
570 SM di Pulau Samos (Turki). Sebagai filsuf ia mengajarkan kedamaian dan
transmigrasi jiwa (reinkarnasi), berbudi luhur, berperilaku manusiawi terhadap

34
semua makhluk hidup. Pula ia mengenalkan konsep "bilangan" sebagai kebenaran
dalam matematika yang mana secara filosofis tidak hanya menjernihkan pikiran
tetapi memungkinkan pemahaman objektif tentang realitas.

Gambar 19. Pythagoras


Sosok Pythagoras terkenal di zaman modern akan Teorema Pythagoras-nya,
yaitu rumus matematika yang menyatakan bahwa kuadrat hipotenusa segitiga siku-
siku sama dengan jumlah kuadrat di dua sisi lainnya. Rumus ini diterapkan untuk
mengukur jarak dan ruang, misalnya dalam perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan sebuah gedung.
Meskipun rumus tersebut dikaitkan dengan Pythagoras oleh para penulis kuno,
sarjana modern mengutip bukti dari teks Babilonia. Teks Babilonia itu ditulis
beberapa masa sebelum Pythagoras, yang membahas rumus yang sangat mirip.

35
Gambar 20. Peninggalan Pythagoras
Salah satu peninggalan Pythagoras yang terkenal adalah teorema Pythagoras
yang menyatakan:
“Kuadrat hypotenusa dari segitiga siku-siku adalah sama dengan jumlah kuadrat
dari kaki-kakinya (sisi siku-sikunya)”.
Pengertian dalil Pythagoras dapat juga dijelaskan sebagai berikut:
Jika sebuah segitiga siku-siku dengan panjang sisi siku-sikunya a & b, serta
panjang sisi miring atau hypotenusa sama dengan c maka berlaku hubungan:
a 2+ b2=c 2.

Gambar 21. Teorema Pythagoras


Walaupun fakta di dalam teorema ini telah banyak diketahui sebelum lahirnya
Pythagoras, namun teorema ini dikreditkan kepada Pythagoras karena ia yang
pertama kali membuktikan pengamatan ini secara matematis.
Pythagoras juga disebut sebagai Bapak Bilangan, dia memberikan sumbangan
yang penting dalam bidang filsafat dan keagamaan pada akhir abad ke-3 sampai ke-6
SM. Kehidupan dan ajarannya tidak begitu jelas akibat banyaknya legenda dan
kisah-kisah buatan mengenai dirinya.
Hampir tidak ada yang diketahui tentang kehidupan pribadi Pythagoras
meskipun para penulis seperti Diogenes Laertius, (180-240 M) mencoba
mengumpulkan biografi berdasarkan cerita dan dari karya-karya Pythagoras.
Biografi Laertius tentang Pythagoras adalah yang paling lengkap tetapi, sayangnya,

36
penulis tidak pernah mengutip sumber-sumber yang diambil, sehingga tidak
mungkin menguatkan banyak klaimnya.
Pengaruh Pythagoras pada perkembangan filsafat Yunani sangat besar. Plato
mereferensikan Pythagoras dalam sejumlah karyanya. Pemikiran Pythagoras,
sebagaimana dipahami dan disampaikan oleh para sejarawan lainnya adalah bentuk
dasar dari filsafat Plato. Murid Plato yang terkenal, Aristoteles juga memasukkan
ajaran Pythagoras ke dalam pemikirannya sendiri. Karya Aristoteles kemudian
mempengaruhi filsuf, penyair, dan teolog hingga Abad Pertengahan (476-1500 M)
dan memasuki zaman modern.
Pythagoras mendirikan perguruan di Crotona yang memberikan pelajaran
filsafat, matematika dan ilmu pengetahuan alam. Sebelum mendirikan perguruannya
tersebut, Phytagoras pernah belajar di Mesir, Babylonia, dan India. Pythagoras dan
muridnya percaya bahwa segala sesuatu di dunia ini berhubungan dengan
matematika, dan merasa segala sesuatu dapat diprediksikan dan diukur dalam siklus
beritme. Ia percaya keindahan matematika disebabkan oleh fenomena alam dapat
dinyatakan dalam bilangan-bilangan atau perbandingan bilangan. Meskipun
Pythagoras tetap menjadi sosok misterius dalam kehidupan pribadinya di zaman
kuno, ia dikenal dalam perkembangan pemikiran filosofis dan religius Yunani.
D. Akademi Plato
Akademi (Yunani Kuno: Ἀκαδήμεια) didirikan oleh Plato pada tahun 387 SM
di Athena. Akademi Plato bukanlah sekolah atau perguruan tinggi formal seperti
yang kita kenal. Sebaliknya, itu adalah masyarakat intelektual yang lebih informal
yang berbagi minat yang sama dalam mempelajari mata pelajaran seperti filsafat,
matematika, dan astronomi. Plato memegang keyakinan bahwa pengetahuan
bukanlah murni hasil refleksi batin, tetapi sebaliknya, dapat dicari melalui
pengamatan dan oleh karena itu, diajarkan kepada orang lain. Berdasarkan
kepercayaan inilah Plato mendirikan Akademinya yang terkenal.

37
Gambar 22. Plato
Lokasi pertemuan Akademi Plato awalnya adalah hutan umum di dekat kota
kuno Athena. Taman secara historis menjadi rumah bagi banyak kelompok dan
kegiatan lainnya. Itu pernah menjadi rumah bagi kelompok agama dengan rumpun
pohon zaitun yang didedikasikan untuk Athena, dewi kebijaksanaan, perang, dan
kerajinan. Kemudian, taman itu dinamai Akademos atau Hecademus, seorang
pahlawan lokal yang kemudian dinamai Akademi. Akhirnya, taman itu diserahkan
kepada warga Athena untuk digunakan sebagai gimnasium. Taman itu dikelilingi
oleh seni, arsitektur, dan alam. Itu terkenal dihiasi dengan patung, makam, kuil, dan
pohon zaitun.

Gambar 23. Akademi Plato


Plato menyampaikan kuliahnya di sana di hutan kecil, di mana anggota senior
dan junior dari kelompok intelektual eksklusif bertemu. Telah diduga pertemuan dan
ajaran ini menggunakan beberapa metode, termasuk kuliah, seminar, dan bahkan
dialog, tetapi instruksi utama akan dilakukan oleh Platon sendiri.
Aristoteles juga pernah belajar di akademi Plato selama dua puluh tahun (367
BC - 347 SM) sebelum ia mendirikan sekolah filsafatnya sendiri di Lyceum.

38
Setelah kematian Plato, jalannya Akademi diserahkan kepada Speusippus.
Akademi telah mendapatkan reputasi sedemikian rupa di kalangan intelektual
sehingga terus beroperasi, dengan periode penutupan, selama hampir 900 tahun
setelah kematian Plato. Ini menampung daftar filsuf dan intelektual terkenal,
termasuk Democritus, Socrates, Parmenides, dan Xenocrates. Faktanya, sejarah
Akademi membentang sedemikian lama sehingga para sarjana umumnya membuat
perbedaan antara Akademi Lama (didefinisikan oleh masa jabatan Plato dan
penerusnya yang lebih dekat) dan Akademi Baru (yang dimulai dengan
kepemimpinan Arcesilaus).
Kaisar Justinian I, seorang Kristen, menutup Akademi pada tahun 529 M
karena menjadi kafir. Tujuh dari filsuf pergi ke Gundishapur di Persia atas undangan
dan di bawah perlindungan Raja Persia Khusrau I Anushiravan (Chosroes I).
Meskipun Justinian terkenal dengan penutupan permanen Akademi, Akademi telah
menderita sebelumnya dengan periode perselisihan dan penutupan. Ketika Sulla
memecat Athena, Akademi dihancurkan. Akhirnya, selama abad ke-18, para sarjana
mulai mencari sisa-sisa Akademi. Itu digali antara tahun 1929 dan 1940 melalui
dana dari Panayotis Aristophron.
E. Tinjauan Sifat Matematika Yunani Kuno
Kata "matematika" diturunkan dari kata Yunani kuno, μάθημα (mathema),
yang berarti "mata pelajaran. Pencapaian matematika paling awal dari Yunani
hampir sepenuhnya tidak kita ketahui, itu adalah fakta yang tak dapat dipungkiri
bahwa mereka tidak pergi kemana saja di luar pengetahuan umumnya saat itu.
Luasnya pengaruh Mesir (melalui peradaban Kreta-Mycenaean) dan Timur dekat
(melalui pemukiman di sekitar Aegean) masih problematis.
The Herodianic nomor (unit decadic I, Δ, H, X, M, dalam kombinasi dengan
unit yang terdiri dari lima bagian r, rΔ, rH, dll) adalah huruf awal dari kata angka
yang sesuai. Mereka muncul dalam prasasti Attic yang berasal dari abad ke 6 sampai
abad ke 1 SM, yang digunakan secara berjajar, dan bertugas untuk menunjukkan
kolom di papan penghitungan. Dari abad ke-5 SM, juga penggunaan jumlah surat
Milesian menjadi nyata, dalam sistem ini, nomor dari 1 sampai 9, puluhan 10-90,
dan ratusan 100-900 diwakili oleh dua puluh empat huruf standar dari Yunani huruf
dan tiga huruf yang lebih tua (stigma, koppa, sampi). Kemudian ribuan diindikasikan
oleh stroke (coretan) rendah sebelum huruf-angka, unit pecahan dengan tanda aksen
setelah penyebut, apalagi, ada simbol individu untuk ½ dan 2/3. Pengetahuan kita

39
tentang aritmatika menggunakan angka-angka ini berasal contoh fron sesekali dalam
tulisan-tulisan periode klasik pos, dari papirus ditemukan, dan dari risalah abad 13
dan 14 Bizantium.

Gambar 24. Tradisi Stoic dan Neo-Pythagoras


Menurut tradisi Stoic dan Neo-Pythagoras (tidak dapat dipercaya dan
dipengaruhi dengan sebuah legenda), thales yang Milesian (624-548 SM) dari
Samos dan Pythagoras (580-500 ac) seharusnya sudah memiliki pengetahuan
matematika yang cukup khusus. Di dalam komunitas Esoteris Pythagorean
sebelumnya, masyarakat politik-agama cenderung berpihak kepada Aristoteles
(masa kejayaan sekitar 500 A.C), kita menemukan spekulasi fantastis berdasarkan
nomor, awal pertama dari teori ilmiah angka: integer diklasifikasikan sebagai ganjil
atau genap, sebuah perbedaan dibuat antara nomor perdana dan nomor komposit,
nomor persegi diakui sebagai jumlah dari angka berturut-turut. Unit itu belum
dianggap sebagai angka, melainkan sebagai sumber dan asal dari semua angka yang
dihasilkan oleh aplikasi berulang.
Matematika secara ilmiah mungkin telah dimulai pada masa Anaxagoras dari
Clazomenae (500-428 SM) yang menegaskan bahwa tidak ada terkecil dari jumlah
kecil dan dengan demikian, tidak ada terbesar dalam jumlah besar. Dalam fragmen
dari harta karun oleh Hippocrates Chios pada Quadrature dari Lune (440 SM),
metode kesimpulan mencapai sudah menunjukkan sistematisasi menyapu. Dibalik
pernyataan individu tampaknya mengintai, tentu saja tanpa jelas dinyatakan di mana
saja prinsip nilai rata-rata, yang menurutnya properti (dalam hal ini khususnya
kesegiempatan dari Lune itu) dibentuk dalam beberapa kasus khusus harus
dipertimbangkan agar berlaku secara umum.
Hal ini tampaknya berada dalam perjanjian yang sangat baik dengan berdiri di
bawah dari Democritus dari Abdera (460-370 SM) yang mengajarkan tentang
permasalahan atomisme, yang menemukan volume piramida dan kerucut (mungkin

40
dengan pembagian kedalam beberapa lapisan), tetapi tetap tidak dapat membuktikan
fakta-fakta ini secara ketat, Democritus adalah orang yang memiliki keinginan yang
besar dalam mempejari musik, seperti kebanyakan orang Yunani, ia menjadi pelopor
untuk mempelajari teori musik, mungkin telah dibawa kehubungan keselarasan
interval musik dengan panjang dari bagian-bagian dari monochord dibagi oleh
sebuah bridge, rasio bagian yang dinyatakan dalam bilangan bulat sederhana.
Pandangan ini mencerminkan sikap dasar kuat yang benar-benar masuk akal dari
filsuf alam pada masa itu.
Yang menyebabkan tanpa batas dengan keyakinan bahwa bilangan bulat
adalah untuk dianggap sebagai ukuran segala sesuatu? Hal itu diungkapkan, antara
lain dalam Kanon Polycleitus dari Sicyon (440 SM) dan teori sekutu dari keselarasan
lingkungan dan akhirnya dengan keyakinan dalam pengembalian berkala dari semua
yang hidup (perpindahan jiwa).
Karena orang Yunani memiliki sistem penulisan angka yang tidak efisien,
mereka menjadi tidak menyukai aljabar. Mereka menganggapnnya terlalu sukar
karena harus menulis persamaan atau permasalahan angka. Akhirnya,
matematikawan Yunani lebih berfokus pada geometri, dan menggunakan metode
geometri untuk menyelesaikan permasalahan yang mungkin juga menggunakan
aljabar.
Matematikawan Yunani juga amat tertarik dalam membuktikan bahwa
gagasan-gagasan matematika tertentu adalah benar. Jadi mereka menghabiskan
banyak waktu menggunakan geometri untuk membuktikan bahwa hal tersebut benar,
meskipun bangsa-bangsa seperti Mesir dan Babilonia sudah mentehaui bahwa
mereka hampir selalu benar.
Bangsa Yunani secara umum sangat tertatik pada rasionalitas, dalam hal
membuat segala hal terkait dan masuk akal. Mereka ingin menghubungkan apa yang
tak jelas. Mereka menyukai musik, karena musik memiliki aturan yang ketat untuk
menghasilkan keindahan. Begitup pula arsitektur, dan juga matematika.

41
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan dari pembahasan pada makalah ini, kesimpulan yang dapat disajikan,
yaitu pada masa Mesir kuno, bangsa Mesir Kuno menulis terutama pada empat jenis
bahan: papirus, kulit, kain kulit, kain katun atau linen, dan batu. Batu tidak sangat
terpengaruhi oleh proses-proses tersebut dan dapat bertahan selama ribuan tahun hampir
tanpa perubahan. Oleh karena itu, dokumen-dokumen tertua yang masih bertahan sampai
sekarang yang kita miliki ditulis pada batu. Pada 2700 SM, bangsa Mesir Kuno telah
mengembangkan sebuah sistem tulisan yang menghiasi dinding-dinding batu pada kuil
dan bangunan-bangunan lainnya, simbol-simbol itu disebut “hieroglyphics”, yang berarti
“tulisan suci” dalam bahasa Yunani. Sebagian besar pengetahuan kita tentang urutan
matematika Mesir berasal dari dua papirus yang berukuran cukup besar, yang
masingmasingnya dinamai dengan para pemilik dua papirus itu sebelumnya, yaitu
Papirus Rhind dan Papirus Golenischev. Papirus Rhind ditulis dalam naskah hieratik
(bentuk kursif hieroglif yang lebih sesuai untuk penggunaan pena dan tinta) pada sekitar
1650 SM oleh seorang penulis bernama Ahmes, yang meyakinkan kita bahwa papirus
tersebut dibuat mirip karya awal dari Dinasti Kedua Belas, tahun 1849-1801 SM.
Penerjemahan Papirus Rhind baru memungkinkan untuk dilakukan secara cepat karena
pengetahuan yang diperoleh dari Batu Rosetta.
Matematika Babilonia ternyata jauh lebih berkembang dibandingkan dengan yang
pernah dibayangkan. Bangsa Babilonia adalah satu-satunya masyarakat Pra-Yunani yang
telah menerapkan sistem bilangan posisional meskipun belum sepenuhnya. Matematika
Babilonia ini menggunakan sistem bilangan seksagesimal (sistem bilangan dengan basis
60). Sifat seksagesimal yang dikembangkan Bangsa Babilonia memiliki pengertian
bahwa sistem bilangan dasar 10 (desimal) yang menggunakan basis 60. Pada sekitar
tahun 2000 SM, bangsa Babilonia menciptakan suatu sistem penulisan bilangan yang
lebih sederhana, yaitu hanya menggunakan dua simbol, yaitu simbol berbentuk pin (baji
tegak sederhana) yang mewakili nilai 1 dan simbol yang berbentuk sayap (baji lebar ke
samping) yang mewakili nilai 10. Sistem penulisan ini dikenal dengan sebutan aksara
runcing. Selain sistem bilangan, pada zaman ini juga ditemukan suatu akar kuadrat dari 2

atau  yang ditemukan tertulis pada sebuah tablet, yaitu YBC 7289. Bangsa Babilonia

42
terbebaskan oleh sistem bilangan mereka yang luar biasa dari proses perhitungan yang
membosankan, menjadi penyusun tabel-tabel aritmatika, beberapa dari tabel itu memiliki
kerumitan dan tingkatan yang luar biasa. Tabel-tabel yang begitu banyak berisi kuadrat-
kuadrat dari bilangan-bilangan 1 sampai 50, dan juga pangkat tiga, akar kuadrat, dan akar
pangkat tiga dari bilangan-bilangan tersebut. Kemudian terdapat juga tablet yang
dinamakan tablet Plimpton 322. Plimpton 322 adalah bagian sisi kanan dari sebuah tablet
lebih besar yang berisi beberapa kolom.
Pada matematika Yunani hampir tidak ada teks yang benar-benar ditulis pada saat
millennium pertama SM. Jadi cerita matematika Yunani kuno ditulis lebih lambat dari
kejadian aslinya. Sejak abad ke-6 SM, orang Yunani mewakili angka dalam sistem sandi
menggunakan alphabet mereka sendiri. Sistem numerasi yang digunakan bangsa Yunani
ada dua macam, yaitu bilangan attic dan bilangan ionic. Geometri demonstratif dimulai
oleh Thales dari Miletus satu dari “Tujuh Orang Bijaksana” (dalam bahasa Yunani Hoi
Hepta Sophoi) dari zaman kuno, di masa pertengahan abad yang pertama dari abad ke-6
SM. Thales berhasil membuat pemikiran-pemikiran dalam bidang geometri, diantaranya
menentukan ukuran piramida hanya dari bayangannya saja dan mengukur jarak suatu
kapal di laut dengan tepian pantai. Selanjutnya, sepeninggal Thales, beberapa filsuf
seperti Plato dan Aristoteles menuliskan kisah perjalanan Thales beserta pemikiran-
pemikirannya, termasuk teorema Thales. Bahkan Pythagoras dan Euclid kemudian
melanjutkan perjuangan Thales dalam bidang geometri. Pythagoras mengenalkan konsep
"bilangan" sebagai kebenaran dalam matematika yang mana secara filosofis tidak hanya
menjernihkan pikiran tetapi memungkinkan pemahaman objektif tentang realitas. Sosok
Pythagoras terkenal di zaman modern akan Teorema Pythagoras-nya, yaitu rumus
matematika yang menyatakan bahwa kuadrat hipotenusa segitiga siku-siku sama dengan
jumlah kuadrat di dua sisi lainnya. Selanjutnya terdapat Akademi Plato. Akademi Plato
bukanlah sekolah atau perguruan tinggi formal seperti yang kita kenal. Sebaliknya, itu
adalah masyarakat intelektual yang lebih informal yang berbagi minat yang sama dalam
mempelajari mata pelajaran seperti filsafat, matematika, dan astronomi.

3.2 Saran
Penulis menyadari bila makalah ini masih belum sebagai kesatuan makalah yang
sempurna. Oleh karena itu, kritik, saran, dan masukan dari pembaca sangat diperlukan.
Makalah ini disusun untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai bagaimana
sejarah matematika pada masa Mesir Kuno, Babilonia Kuno, dan Yunani Kuno. Oleh

43
karena itu, disarankan bagi para pembaca dapat mempelajari sejarah matematika pada
masa Mesir Kuno, Babilonia Kuno, dan Yunani Kuno melalui makalah ini.

44
DAFTAR PUSTAKA

Ainul. (2015). Sejarah Matematika pada Zaman Yunani. Terdapat pada


https://ainulyakin165.blogspot.com/2015/09/sejarah-matematika-pada-zaman-
yunani.html. Diakses pada 18 September 2022.
Dewi, Safna Omega Pinta. (2021). Perkembangan Matematika pada Abad Pertengahan dan
Renaissance serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Matematika di Sekolah.
Howatson, MC. (1993). Sastra Oxford Ringkas untuk Sastra Klasik. Oxford, Ian Chilvers,
Oxford Univ Pr, 1 Juni 1993.
Kartasasma, Bana G dan Prof. Dr. Wahyudin. Matematika pada Awal Peradaban Manusia.
Terdapat pada http://repository.ut.ac.id/4341/1/MPMT5101-M1.pdf. Diakses pada
tanggal 18 September 2022.
Manan, Nuraini A. (2020). Mesopotamia dan Mesir Kuno: Awal Peradaban Dunia. Jurnal
Adabiya, 22(1), hal. 1-17.
Potongan Nostalgia. (2021). Phytagoras, Filsuf Yunani dan Penemu Konsep Bilangan
Matematika. Terdapat pada https://kumparan.com/potongan-nostalgia/phytagoras-
filsuf-yunani-dan-penemu-konsep-bilangan-matematika-1vFIsWHotuV. Diakses pada
18 September 2022.
Travlos, John. (1981). Athena setelah Pembebasan: Merencanakan Kota Baru dan
Menjelajahi yang Lama. Hesperia: The Journal of American School of Classical
Studies di Athena, Yunani Towns and Cities: A Symposium, JSTOR, 50(4).
Umar, Mustofa. (2009). Mesopotamia dan Mesir Kuno: Awal Peradaban Dunia. El-Harakah,
11(3).
Wahyudin. (2019). Hakikat dan Sejarah Matematika. Tanggerang Selatan: Universitas
Terbuka.
Warmi, Attin. (2020). Pengembangan Bahan Ajar Perkalian dan Pembagian dengan
Mengadopsi Operasi Aritmatika Bangsa Mesir Kuno. BERNAS: Jurnal Pengabdian
Kepada Masyarakat, 1(1), hal. 32-37.
Wiki Buku. Yunani Kuno/Pengetahuan/Matematika. (2018, 03 17). Terdapat pada
https://id.wikibooks.org/wiki/Yunani_Kuno/Pengetahuan/Matematika. Diakses pada
18 September 2022.
Wikipedia. (2021). Akademi Platonik. Terdapat pada Wikipedia:
https://id.wikipedia.org/wiki/Akademi_Platonik. Diakses pada 18 September 2022.

45
Wulan, W. C. (2015). Pythagoras dalam Sejarah Matematika. Terdapat pada
https://www.kompasiana.com/wahyucahyani/56500c009297736d11638af9/pythagora
s-dalam-sejarah-matematika?page=all#section1. Diakses pada 18 September 2022.
Wulandari, I. A., Budiyono, M., dan Abdulah, A. (2022). Sejarah Matematika pada Zaman
Mesir dan Babilonia. UNEJ e-Proceeding, 426-433.

46

Anda mungkin juga menyukai