Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH WAWASAN KEPENDIDIKAN

“TEORI PENDIDIKAN KLASIK DAN MODERN”

Dosen Pengampu: Dr. Ni Nyoman Parwati,M.Pd.

Nama Anggota Kelompok 1:


1. Ni Nyoman Trifabiolantini (2013011006)
2. Ni Kadek Ayu Aristha Dewi (2013011022)
3. Josua Jordan Manihuruk (2013011056)
4. Komang Anggun Puspita Mahayuni Pinatih (2013011057)

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
PENDIDIKAN MATEMATIKA
TAHUN 2020
Kata Pengantar

Om Swastyastu,

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah Wawasan Kependidikan yang berjudul “Teori Pendidikan
Klasik dan Modern” ini dengan baik dan tepat waktu.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata
kuliah Wawasan Kependidikan. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang Teori Pendidikan Klasik dan Modern bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Dalam penyusunan makalah ini tentunya kami menemui beberapa kendala. Maka dari itu,
kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah medukung dalam penyusunan
makalah ini sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah
ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Hormat Kami,

ttd

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................. 2
DAFTAR ISI .............................................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................. 4
1.3 Tujuan ............................................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Teori Pendidikan Klasik ......................................................................................... 5
2.1.1 Teori-teori Pendidikan Klasik ............................................................................ 5
2.2 Teori Pendidikan Modern..................................................................................... 10
2.2.1 Paradigma Pendidikan Modern .................................................................. 10
2.2.2 Teori-teori Pendidikan Modern .................................................................. 12
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan .......................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 17

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pentingnya kita berteori dalam praktek di lapangan pendidikan karena pendidikan


dalam praktek harus dipertanggung jawabkan. Tanpa teori dalam arti suatu alasan dan
rasional yang konsisten dan saling berhubungan maka tindakan-tindakan dalam pendidikan
hanya didasarkan atas alasan-alasan yang kebetulan, seketika dan tidak dapat
dipertanggung jawabkan. Hal itu tidak boleh terjadi karena setiap tindakan pendidikan
bertujuan menunaikan nilai yang terbaik bagi peserta didik dan pendidik. Bahkan
pengajaran yang baik sebagai bagian dari pendidikan selain memerlukan proses dan alasan
rasional serta intelektual juga terjalin oleh alasan yang bersifat moral. Sebabnya ialah
karena unsur manusia yang dididik dan memerlukan pendidikan adalah makhluk manusia
yang harus menghayati nilai-nilai agar mampu mendalami nilai-nilai dan menata perilaku
serta pribadi sesuai dengan harkat nilai-nilai yang dihayati itu. Sesuai ucapan Dr. Gunning
yang dikutip Langeveld (1955). “Praktek tanpa teori adalah untuk orang idiot dan gila,
sedangkan teori praktek hanya untuk orang-orang Jenius”.
Teori pendidikan klasik berlandaskan pada filsafat klasik, seperti Perenialisme,
Essensialisme, dan Eksistensialisme dan memandang bahwa pendidikan berfungsi sebagai
upaya memelihara, mengawetkan dan meneruskan warisan budaya. Teori pendidikan ini
lebih menekankan peranan isi pendidikan dari pada proses. Isi pendidikan atau materi
diambil dari ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan para ahli tempo dulu
yang telah disusun secara logis dan sistematis. Dalam prakteknya, pendidik mempunyai
peranan besar dan lebih dominan, sedangkan peserta didik memiliki peran yang pasif,
sebagai penerima informasi dan tugas-tugas dari pendidik. Pendidikan klasik menjadi
sumber bagi pengembangan model kurikulum subjek akademis, yaitu suatu kurikulum
yang bertujuan memberikan pengetahuan yang solid serta melatih peserta didik
menggunakan ide-ide dan proses ”penelitian”, melalui metode ekspositori dan inkuiri.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pendidikan klasik?
2. Apa saja teori-teori pendidikan klasik?
3. Apa yang dimaksud dengan pendidikan modern?
4. Apa saja teori-teori pendidikan modern?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu memberikan pemahaman kepada
mahasiswa sebagai calon-calon tenaga pendidik tentang aliran-aliran klasik dalam
pendidikan (empiris, nativiesme, dan konvergensi) ilmu-ilmu pendidikan, serta teori
pendidikan sistematis agar dapat menangkap makna setiap gerak dinamika pemikiran-
pemikiran dalam pendidikan.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 TEORI PENDIDIKAN KLASIK


Teori pendidikan klasik berlandaskan pada filsafat klasik, yang memandang bahwa
pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara, mengawetkan dan meneruskan warisan
budaya. Teori pendidikan ini lebih menekankan peranan isi pendidikan dari pada
prosesnya. Isi pendidikan atau bahan pengajaran diambil dari sari ilmu pengetahuan yang
telah ditemukan dan dikembangkan oleh para ahli di bidangnya dan disusun secara logis
dan sistematis. Misalnya teori fisika, biologi, matematika, bahasa, sejarah dan sebagainya.
Perbedaan padangan tentang faktor dominan dalam perkembangan manusia tersebut
menjadi dasar perbedaan pendangan tentang peran pendidikan terhadap manusia, mulai
dari yang paling pesimis sampai yang paling optimis. Aliran-aliran itu pada umumnya
mengemukakan satu faktor dominan tertentu saja dan dengan demikian suatu aliran dalam
pendidikan akan mengajukan gagasan untuk mengoptimalkan faktor tersebut untuk
mengembangkan manusia.
Teori-teori yang terdapat dalam ilmu pendidikan dilahirkan oleh 4 aliran yang berbeda,
yaitu:
2.1.1 Aliran Empirisme
2.1.2 Aliran Nativisme
2.1.3 Aliran Naturalisme
2.1.4 Aliran Konvergensi

2.1.1 Teori-Teori Pendidikan Klasik


1. Teori Pendidikan Empirism
Aliran Empirisme bertolak dari Lockean Tradition yang mementingkan stimulasi
ekternal dalam perkembangan manusia, dan menyatakan bahwa perkembangan anak
tergantung kepada lingkungan, sedangkan pembawaan tidak dipentingkan.
Pengalaman yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari di dapat dari dunia
sekitarnya yang berupa stimulan-stimulan. Stimulasi ini berasal dari alam bebas
ataupun diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk program pendidikan. Tokoh
perintis pandangan ini adalah seorang filsuf Inggris bernama John Locke (1704-1932)
yang mengembangkan teori “Tabula Rasa”, yakni anak lahir kedua bagaikan kertas
putih yang bersih.
Aliran empirisme dipandang berat sebelah, sebab hanya mementingkan peranan
pengalaman yang diperoleh dari lingkungan. Sedangkan kemampuan dasar yang
dibawa anak sejak lahir dianggap tidak menentukan. Pada hal kenyataannya dalam
kehidupan sehari-hari terdapat anak yang berhasil karena bakat, meskipun lingkungan
disekitarnya tidak mendukung.

5
Keberhasilan ini disebabkan oleh adanya kemampuan yang berasal dari dalam diri
berupa kecerdasan atau kemauan keras, anak berusaha mendapatkan lingkungan yang
dapat mengembangkan bakat atau kemampuan yang ada dalam dirinya. Meskipun
demikian, penganut aliran ini masih tampak pada pendapat-pendapat yang memandang
manusia sebagai mahluk yang pasif dan dapat dimanipulasi, contohnya melalui
modifikasi tingkah lakunya.
Meskipun demikian, penganut aliran ini masih tampak pada pendapat-pendapat
yang memandang manusia sebagai makhluk yang pasif dan dapat diubah, umpamanya
melalui modifikasi tingkah laku. Hal itu tercermin pada pandangan scientific
psycology Skinner ataupun dengan behavioral. Behaviorisme itu menjadikan prilaku
manusia tampak keluar sebagai sasaran kajianya, dengan tetap menekankan bahwa
perilaku itu terutama sebagai hasil belajar semata-mata. Meskipun demikian,
pandangan-pandangan behavioral ini juga masih bervariasi dalam menentukan faktor
apakah yang paling utama dalam proses belajar itu sebagai berikut:
1. Pandangan yang menekankan peranan pengamatan dan imitasi.
2. Pandangan yang menekankan peranan dari dampak ataupun balikan dari
sesuatu perilaku
3. Pandangan yang menekankan peranan stimulus atau rangsangan terhadap
perilaku
2. Teori Pendidikan Nativisme
Aliran Nativisme bertolak dari Leibnitzian Tradition yang menekankan
kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor
pendidikan kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Hasil perkembangan
tersebut ditentukan oleh pembawaan yang sudah diperoleh sejak lahir.
Pada hakekatnya aliran nativisme bersumber dari leibnitzian tradition yang
menekankan pada kemampuan dalam diri seorang anak, oleh karena itu faktor
lingkungan termasuk faktor pendidikan kurang berpengaruh terhadap perkembangan
anak. Hasil perkembangan ditentukan oleh pembawaan sejak lahir dan genetik dari
kedua orang tua..
Berdasarkan pandangan ini, maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak
itu sendiri. Perkembangan individu ditentukan oleh faktor bawaan sejak lahir. Faktor
lingkungan kurang berpengaruh terhadap pendidikan dan perkembangan anak. Oleh
karena itu, hasil pendidikan ditentukan oleh bakat yang dibawa sejak lahir. Dengan
demikian, menurut aliran ini, keberhasilan belajar ditentukan oleh individu itu
sendiri. Ditekankan bahwa “yang jahat menjadi jahat, dan yang baik menjadi baik”.
Artinya bahwa, jika anak memiliki bakat jahat dari lahir, ia akan menjadi jahat, dan
sebaliknya jika anak memiliki bakat baik, ia akan menjadi baik. Pendidikan anak
yang tidak sesuai dengan bakat yang dibawa tidak akan berguna bagi perkembangan
anak itu sendiri. Istilah nativisme dari asal kata natie yang artinya adalah terlahir.
Bagi nativisme, lingkungan sekitar tidak ada artinya sebab lingkungan tidak akan

6
berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak. Pembawan tidak dapat dirubah
dari kekuatan luar.
Pandangan itu tidak menyimpang dari kenyataan. Misalnya, anak mirip
orangtuanya secara fisik dan akan mewarisi sifat dan bakat orangtua. Prinsipnya,
pandangan Nativisme adalah pengakuan tentang adanya daya asli yang telah
terbentuk sejak manusia lahir ke dunia, yaitu daya-daya psikologis dan fisiologis
yang bersifat herediter, serta kemampuan dasar lainnya yang kapasitasnya berbeda
dalam diri tiap manusia. Ada yang tumbuh dan berkembang sampai pada titik
maksimal kemampuannya, dan ada pula yang hanya sampai pada titik tertentu.
Misalnya, seorang anak yang berasal dari orangtua yang ahli seni musik, akan
berkembang menjadi seniman musik yang mungkin melebihi kemampuan
orangtuanya, mungkin juga hanya sampai pada setengah kemampuan orangtuanya.
Meskipun dalam kenyataan sehari-hari, sering ditemukan anak mirip orang
tuanya (secara fisik) dan juga mewarisi bakat-bakat yang ada pada orang tuanya.
Tetapi pembawaan itu bukanlah merupakan satu-satunya faktor yang dapat
mempengaruhi pembentukan dan perkembangan anak. Terdapat suatu pendapat
aliran nativisme yang berpengaruh luas yakni dalam diri individu terdapat suatu
“inti” pribadi (G. Leibnitz: Monad) yang mendorong manusia untuk mewujudkan
diri, mendorong manusia dalam menentukan pilihan dan kemauan sendiri, dan yang
menempatkan manusia sebagai mahluk yang mempunyai kemauan bebas.
Meskipun pandangan ini mengakui pentingnya belajar, namun pengalaman
dalam belajar itu ataupun penerimaan dan persepsi seseorang banyak ditentukan oleh
kemampuan memberi makna kepada apa yang dialaminya itu. Dengan kata lain,
pengalaman belajar ditentukan oleh “internal frame of reference” yang dimilikinya.
Faktor Perkembangan Manusia Dalam Teori Nativisme
1. Faktor genetik
Faktor genetik adalah faktor gen dari kedua orangtua yang mendorong
adanya suatu bakat yang muncul dari diri manusia. Contohnya adalah Jika
kedua orangtua anak itu adalah seorang penyanyi maka anaknya memiliki
bakat pembawaan sebagai seorang penyanyi yang prosentasenya besar
2. Faktor Kemampuan Anak
Faktor kemampuan anak adalah faktor yang menjadikan seorang anak
mengetahui potensi yang terdapat dalam dirinya. Faktor ini lebih nyata karena
anak dapat mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Contohnya adalah
adanya kegiatan ekstrakurikuler di sekolah yang mendorong setiap anak untuk
mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya sesuai dengan bakat dan
minatnya.
3. Faktor Pertumbuhan Anak
Faktor pertumbuhan anak adalah faktor yang mendorong anak mengetahui
bakat dan minatnya di setiap pertumbuhan dan perkembangan secara alami

7
sehingga jika pertumbuhan anak itu normal maka dia kan bersikap enerjik,
aktif, dan responsive terhadap kemampuan yang dimiliki. Sebaliknya, jika
pertumbuhan anak tidak normal maka anak tersebut tidak bisa mngenali bakat
dan kemampuan yang dimiliki.

Tujuan Teori Nativisme


Didalam teori ini menurut G. Leibnitz: Monad “Didalam diri individu
manusia terdapat suatu inti pribadi”. Sedangakan dalam teori Teori Arthur
Schopenhauer (1788-1860) dinyatakan bahwa perkembangan manusia merupakan
pembawaan sejak lahir atau bakat. Sehingga dengan teori ini setiap manusia
diharapkan:
1. Mampu memunculkan bakat yang dimiliki
2. Mendorong manusia mewujudkan diri yang berkompetensi
3. Mendorong manusia dalam menetukan pilihan
4. Mendorong manusia untuk mengembangkan potensi dari dalam diri
seseorang
5. Mendorong manusia mengenali bakat minat yang dimiliki

3. Teori Pendidikan Konvergensi


Perintis aliran ini adalah William Stern (1871-1939), seorang ahli pendidikan
bangsa Jerman yang berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia sudah
disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Penganut aliran ini berpendapat
bahwa dalam proses perkembangan anak, baik faktor pembawaan maupun faktor
lingkungan sama-sama mempunyai peranan penting. Bakat yang dibawa pada waktu
lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang
sesuai dengan perkembangan bakat tersebut. Sebaliknya lingkungan yang baik tidak
dapat menghasilkan perkembangan anak yang optimal kalau memang dalam dirinya
tidak terdapat bakat yang diperlukan dalam mengembangkan bakat tersebut. Sebagai
contoh, hakikat kemampuan anak manusia berbahasa dengan kata-kata adalah juga
hasil konvergensi.
Pada anak manusia ada pembawaan untuk berbicara melalui situasi lingkungan,
anak belajar berbicara dalam bahasa tertentu. Lingkungan pun mempengaruhi anak
didik dalam mengembangkan pembawaan bahasanya. Karena itu tiap anak manusia
mula-mula menggunakan bahasa lingkungannya, misalnya bahasa Jawa, bahasa
Sunda, bahasa Iggris, dan sebagainya. Kemampuan dua orang anak (yang tinggal
dalam satu lingkungan yang sama) untuk mempelajari bahasa mungkin tidak sama. Itu
disebabkan oleh adanya perbedaan kuantitas pembawaan dan perbedaaan situasi
lingkungan, biarpun. lingkungan kedua orang anak tersebut bahasa yang sama. Oleh
karena itu Stren berpendapat bahwa hasil pendidikan itu tergantung dari pembawaan
dan lingkungannya, seakan-akan dua garis menuju satu titik pertemuan.

8
Karena itu teori W. Stren disebut teori konvergensi (konvergen artinya memusat
kesatu titik). Jadi menurut teori konvergensi :
1. Pendidikan mungkin untuk dilaksanakan.
2. Pendidikan di artikan sebagai pertolongan yang diberikan lingkungan kepada
anak didik untuk mengembangkan potensi yang baik dan mencegah
berkembangnya potensi yang kurang baik.
3. Yang membatasi hasil pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan. Aliran
konvergensi pada umumnya diterima secara luas sebagai pandangan yang tepat
dalam memahami tumbuh kembang manusia

4. Teori Pendidikan Naturalis


Adapun naturalisme dalam filsafat pendidikan mengajarkan bahwa guru paling
alamiah dari seorang anak adalah kedua orang tuanya. Oleh karena itu, pendidikan
bagi penganut paham naturalis perlu dimulai jauh hari sebelum proses pendidikan
dilaksanakan. Sekolah merupakan dasar utama dalam keberadaan aliran filsafat
naturalisme karena belajar merupakan sesuatu yang natural. Paham naturalisme
memandang guru tidak mengajar subjek, melainkan mengajar murid.
Spencer (Wakhudin dalam makalah Ahmad, 2012) juga menjelaskan tujuh prinsip
dalam proses pendidikan beraliran naturalisme, adalah:
1. Pendidikan harus menyesuaikan diri dengan alam;
2. Proses pendidikan harus menyenangkan bagi anak didik;
3. Pendidikan harus berdasarkan spontanitas dari aktivitas anak;
4. Memperbanyak ilmu pengetahuan merupakan bagian penting dalam pendidikan;
5. Pendidikan dimaksudkan untuk membantu perkembangan fisik, sekaligus otak;
6. Praktik mengajar adalah seni menunda;
7. Metode instruksi dalam mendidik menggunakan cara induktif; (hukuman
dijatuhkan sebagai konsekuensi alam akibat melakukan kesalahan. Kalaupun
dilakukan hukuman, hal itu harus dilakukan secara simpatik).
Naturalisme memiliki tiga prinsip tentang proses pembelajaran (M.Arifin dan
Aminuddin R. dalam makalah Ahmad, 2012), yaitu :
1. Anak didik belajar melalui pengalamannya sendiri. Kemudian terjadi interaksi
antara pengalaman dengan kemampuan pertumbuhan dan pengalaman di dalam
dirinya secara alami.
2. Pendidik hanya menyediakan lingkungan belajar yang menyenangkan. Pendidik
berperan sebagai fasilitator, menyediakan lingkungan yang mampu mendorong
keberanian anak ke arah pandangan yang positif dan tanggap terhadap kebutuhan
untuk memperoleh bimbingan dan sugesti dari pendidik. Serta memberikan
tanggung jawab belajar pada diri anak didik sendiri.

9
3. Program pendidikan di sekolah harus disesuaikan dengan minat dan bakat dengan
menyediakan lingkungan belajar yang beorientasi pada pola belajar anak
didik. Anak didik diberi kesempatan menciptalan lingkungan belajarnya sendiri.
Dengan demikian, aliran naturalisme menitikberatkan pada strategi pembelajaran
yang bersifat paedosentris, artinya, faktor kemampuan anak didik menjadi pusat
kegiatan proses belajar dan mengajar. Nampaknya, paham aliran naturalis, saat ini
diterapkan dalam kurikulum baru yang sedang digulirkan oleh pemerintah, yaitu
kurikulum 2013. Dalam kurikulum 2013 ini proses pendekatan proses pembelajaran
berupa pendekatan saintifik. Intinya, pendekatan tersebut menitikberatkan pada
penggalian potensi-potensi siswa atau dikenal dengan istilah student centered, namun
tanpa mengabaikan landasan utama pendidikan yaitu prinsip religius. Peran guru
selama proses pembelajaran hanya sebagai pembimbing, fasilitator, dan motivator bagi
siswa. Dengan pendekatan tersebut, diharapkan dapat terbentuk generasi-generasi
berakhlak baik, aktif sebagai pelopor, dan kreatif dalam menciptakan inovasi-inovasi.
Sebelum terlahir kurikulum baru, prinsip naturalis ini sebetulnya sudah
berimplikasi dalam pendidikan, namun hanya sebatas pendidikan di luar negeri.
Seperti halnya Bobby The Potter yang mencetuskan model pendidikan Quantum
Learning. Ia menjadikan alam sebagai tempat pembelajaran. Peserta didik dengan
bebas mengeksplorasi apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan di alam. Guru
menempatkan dirinya sebagai mitra peserta didik dalam berdiskusi menyelesaikan
problem yang ditemukan di alam. Model pendidikan seperti itu sangat cocok
diimplementasikan dalam pembelajaran bahasa Indonesia pada khususnya.

2.2 TEORI PENDIDIKAN MODERN


Pendidikan modern adalah pendidikan yang sejalan dengan usaha manusia sejak
dilahirkan hingga meninggal, dengan sadar membimbing dan menuntun kondisi jiwa
khususnya agar dapat menumbuhkan akhlak dan kebiasaan yang baik sejak awal
pertumbuhan dan perkembangannya, hingga mencapai masa pubertas, agar terbentuk
kepribadian yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
Sejalan dengan itu, maka pendidikan mengalami perubahan (inovasi), sebab proses
pendidikan yang tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman hanya akan membuat
manusia Stagnan (jumud).
2.2.1 Paradigma Pendidikan Modern
Berbicara masalah teori-teori pendidikan modern hendaknya memahami
paradigma-paradigma pendidikan modern. Untuk itu akan dijelaskan masing-masing
paradigama pendidikan modern sebagai berikut :
1. Rasionalisme
Rasionalisme adalah teori yang menganggap bahwa pikiran dan akal merupakan
satu-satunya dasar untuk memecahkan masalah. Rene Deskrates (1596-1650) telah

10
dianggap sebagai Bapak Rasionalisme modern barat yang sampai saat ini masih
dijadikan landasan pembangunan peradaban. Beliau adalah seorang filsuf yang
disinyalir sebagai pembuka gerbang modern. Sekilas pemikiran/jargon Beliau
adalah “Cogito Ergo Sum”, kata Cogito yang bermakna kesadaran, kata Ergo Sum
berarti saya ada, (Karim,2009:31). Jadi Cogito Ergo Sum artinya aku berpikir maka
aku ada. Jargon ini diistilahkan dengan metode kesangsian(kebimbangan) yang
digunakan untuk menemukan sebuah kepastian. Untuk menemukan titik kepastian
Rene Descrates memulai dengan sebuah kesangsian atas segala sesuatunya,
semakin kita dapat menyangsikan segala sesuatu termasuk menyangsikan diri kita
berarti kita semakin mengada (eksis), jadi kesangsianlah yang membuktikan bahwa
kita nyata.
2. Emperisme
Emperisme adalah teori yang mengatakan bahwa pengetahuan didapat dengan
pengalaman. . Tokoh aliran Emperisme adalah John Locke (1632-1704).
Sokardjo (2009) mengatakan Emperisme dikenal juga dengan environmentalisme,
pendidikan memegang peranan yang sangat penting sebab pendidikan menyediakan
lingkungan yang sangat ideal kepada anak-anak. Lingkungan ini diterima sebagai
sejumlah pengalaman, semua pengalaman ini telah disesuaikan dengan tujuan
pendidikan. Dalam dunia pendidikan/pandangannya dalam pendidikan dalam
bukunya tahun 1693 “Some thoughts concerning education of children” beberapa
pemikiran tentang pendidikan kanak-kanak, dengan teorinya tabula rasa, yang
mengatakan bahwa anak baru lahir jiwanya kosong seperti kertas putih (tabula
rasa) (meja berlapis lilin) yang menunggu isinya berupa pengalaman/pendidikan,
jadi pendidikan mempunyai peranan yang mutlak/maha kuasa sesuai dengan aliran
optimisme dalam pendidikan.
3. Positivisme
Positivisme adalah aliran filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-
mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti. Positivisme lahir dengan
pengujian rasional dan emperis. Aguste Comte (1789-1857) adalah tokoh yang
refresentatif membicarakan positivisme. Karim (2009), mengatakan positivisme
dapat diartikan sebagai penyusunan fakta-fakta yang teramati, dengan kata lain
positivisme sama dengan faktual, positivisme menegaskan bahwa pengetahuan
hendaknya jangan melampoi fakta-fakta.
4. Saintisme
Saintisme adalah penggunaan metode ilmiah untuk memperoleh pengetahuan, baik
dalam sains dasar maupun dibidang penelitian lainnya. Saintisme lahir dari
pengujian rasionalisme dan emperisme dalam perjalanan filafat dan ilmu-ilmu
sosial berujug pada rasio teknologis instrumental atau rasio perkakas. Munculnya
teknologi dan instrumentalisasi telah menjadi belenggu kebebasan manusia,

11
menjadi kesulitan bersikap otonom dan mandiri, manusia telah menggantungkan
diri dan masa depannya kepada teknologi.
2.2.2 Teori - Teori Pendidikan Modern
1. Teori Humanisme
Sodirdjo (1980), mengatakan teori pendidikan modern pertama adalah teori
Humanisme Kemajuan Ilmu pengatahuan dan teknologi bagaikan pisau bermata
dua, dalam arti kemajuan teknologi memiliki nilai positif dan dampak yang negatif.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama dalam bidang informatika
dalam batas-batas tertentu dapat mempermudah kehidupan manusia, jarak-jarak
menjadi terasa dekat waktu dan masa menjadi memadat oleh kesibukan-kesibukan
manusia dalam menggarap dan memanfaatkan iptek tersebut. Namun disisi lain hati
nurani kemanusiaannya mengeluh karena beradaptasi dengan iptek yang tidak lagi
Human Centric melainkan Tekno Centric. Baharuddin (2007) mengatakan manusia
tidak lagi secara otonom dikontrol oleh nurani pribadinya melainkan dikontrol oleh
faktor eksternal yaitu iptek, manusia secara makro benar-benar telah menyandarkan
segala harapannya kepada hasil iptek. Lebih lanjut dikatakan musuh utama manusia
bukan lagi binatang buas di hutan tetapi dirinya sendiri dan rekan sesamanya.
Dalam batas-batas tertentu dampak destruktif iptek telah menundukkan manusia,
manusia sangat tergantung padanya, dan manusia tidak lagi mampu mengendalikan
hasil perbuatannya tetapi seakan didikte oleh hasil produknya sendiri, manusia
menjadi robot dari mahluk raksasa yang bernama iptek. Dari perspektif humanisasi
iptek yang demikian sejalan dengan proses dehumanisasi agar tidak terjadi
demikian. Hal ini perlu dilakukan terapi melalui pendidikan karena sains dan
teknologi berkembang melalui pendidikan. Maka lahirlah pendidikan humanistik.
Tujuan pendidikan humanistik yaitu membentuk manusia yang memiliki
komitmen humaniter sejati, yakni manusia yang memiliki kesadaran, kebebasan
dan tanggung jawab sebagai mahluk individual maupun sebagai mahluk sosial
(Baharuddin, 2007).
Proses belajar dalam humanisme, adalah belajar harus berhulu dan
bermuara pada manusia itu sendiri. Dibandingkan dengan teori lain, teori
humanistic yang paling abstrak dan paling mendekati dunia filsafat dari pada dunia
pendidikan. Meskipun teori ini sangat mementingkan pentingnya isi dari pada
proses, dalam kenyataan teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan
proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Teori ini lebih tertarik pada ide
belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada belajar seperti apa adanya,
seperti apa yang biasa kita amati dalam dunia keseharian. Wajar teori ini sangat
bersifat eklektik. Kenyataannya teori apapun dapat dimanfaatkan asal tujuan untuk
memanusiakan manusia (mencapai aktualisasi diri).
2. Teori Bahaviorisme

12
Belajar adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat darri interaksi
antara stimulus dan respon. Penganut teori ini setuju premis dasar perubahan
tingkah laku, namun mereka berbeda pendapat dalam beberapa hal penting.
A Thorndike
Belajar adalah proses interaksi antara stimulus (mungkin berupa pikiran,
perasaan atau gerakan) dan respon (yang juga bisa berbentuk pikiran,
perasaan atau gerakan). Perubahan tingkah laku berwujud suatu yang konkrit
(dapat diamati) atau non konkrit (tak teramati). Thorndike tak menyebutkan
cara mengukur tingkah laku, sehingga menjadi obsesi ahli behavior
selanjutnya, Teori ini disebut juga Koneksionisme.
B Watson
Stimulus dan respon tersebut harus berbentuk tingkah laku yang bisa diamati
(observable), perubahan mental diabaikan; faktor tersebut tidak dapat
menjelaskan apakah proses belajar telah terjadi atau belum. Hanya
mementingkan perubahan tingkah laku yang bisa diukur (pengukuran hanya
tingkah laku nyata) meskipun mengakui semua hal penting.
C Clark Hull (Neo Behaviorisme/aliran tingkah laku baru)
Sangat terpengaruh oleh teori Charles Darwin/evolusi. Semua tingkah laku
bermanfaat untuk menjaga kelangsungan hidup. Untuk itu kebutuhan biologis
dan pemuasan kebutuhan biologis menempati posisi sentral.
Stimulus/rangsangan hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis,
meskipun respon berbeda bentuknya. Setelah Skinner, teori ini tidak banyak
dipakai dalam dunia praktis, kecuali dalam eksperimen di lab.
D Edwin Guthrie
Stimulus tidak harus berbentuk kebutuhan biologis, yang penting hubungan
stimulus dan respon bersifat sementara. Diperlukan pemberian stimulus yang
sering agar hubungan menjadi lebih langgeng. Respon akan lebih kuat
(menjadi kebiasaan) bila berhubungan dengan berbagai stimulus (banyak
rangsangan agar tingkah laku berubah ke arah positif)
E Skinner
Hubungan stimulus dan respon dalam perubahan perilaku, tidak sederhana;
tapi stimulus yang diberikan berinteraksi satu sama lainnya, dan interaksi
tersebut mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan juga
menghasilkan berbagai konsekuensi, yang pada gilirannya akan
mempengaruhi tingkah laku siswa.
3. Teori Kognitivisme
Ciri khas kognitivisme lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil
belajar. Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon,
belajar melibatkan proses berpikir yang sangat komplek (erat hubungannya dengan
teori Sibernetik). Teori ini mencoba menjelaskan bagaimana siswa mengolah

13
stimulus dan bagaimana siswa sampai pada respon tertentu (pengaruh teori
behavior masih tampak), lambat laun perhatian mulai bergeser, perhatian teori ini
terpusat pada proses bagaimana suatu ilmu yang baru berasimilasi dengan
ilmu yang sebelumnya telah dikuasai oleh siswa. Teori Kognitif menekankan pada
ilmu pengetahuan dibangun dalam diri siswa melalui proses interaksi yang
berkesinambungan dengan lingkungannya. Proses belajar tidak berjalan terpisah-
pisah, tapi melalui proses yang mengalir, berkesinambungan dan menyeluruh
sebagai satu kesatuan yang utuh masuk dalam pikiran dan perasaan siswa. Seperti
membaca buku, bukan alphabet yang terpisah yang diserap oleh pikiran, tapi kata,
kalimat, paragraf yang semuanya menjadi satu, mengalir, menyerbu secara total
bersamaan. Dalam praktek teori ini berwujud : 1) Tahap-tahap perkembangan (Jean
Piaget). 2) Belajar bermakna atau Meaningful learning (Ausubel) 3) Belajar
penemuan secara bebas (Jerome Bruner)
Menurut Piaget proses belajar terdiri dari tiga tahap yaitu Asimilasi,
Akomodasi, dan Equilibrasi (penyeimbangan). Proses asimilasi yaitu proses
penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada
dalam benak siswa. Akomodasi yaitu penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi
yang baru. Equilibrasi yaitu penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan
akomodasi. Proses belajar siswa harus disesuaikan dengan perkembangan kognitif
siswa, yakni: tahap sensorimotor (1,5 – 2 tahun), tahap praoperasional (2/3 – 7/8
tahun), tahap operasional konkret (7/8 – 12/14 tahun), dan tahap operasional formal
(14 tahun ke atas).
Menurut Ausubel, siswa akan belajar dengan baik jika bahan ajar dan
informasi lainnya mencakup semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa.
Manfaat bahan ajar dan informasi yang lengkap di sampaikan kepada siswa yaitu:
1) dapat menyediakan kerangka konseptual untuk bahan ajar yang akan dipelajari
siswa, 2) dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan bahan ajar yang
dipelajari saat ini dengan yang akan datang, 3) dapat membantu siswa memahami
bahan ajar secara lebih mudah.
Menurut Bruner, proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif, jika
guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk
konsep, teori, definisi, dsb) melalui contoh-contoh yang menggambarkan
(mewakili) aturan yang menjadi sumbernya (free discovery learning), dengan pola
berpikir “Induktif” (apreori = sebelum) teori. Siswa dibimbing secara induktif
untuk memahami suatu kebenaran umum. Untuk memahami konsep “kejujuran”
siswa tidak dimulai dengan menghapal definisinya, tetapi mempelajari contoh-
contoh konkret tentang kejujuran. Dari contoh tersebut siswa dibimbing untuk
mendefinisikan kata “kejujuran”. Lawannya dari teori ini adalah belajar ekspositori
(belajar dengan cara menjelaskan) dengan pola berpikir “deduktif” (sesudah teori).

14
Siswa diberi bahan ajar yang berbentuk “definisi kejujuran” dari definisi tersebut
siswa diminta untuk mencari contoh konkret tentang kejujuran.
4. Teori Sibernetik
Teori ini berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu informasi. Menurut teori
ini belajar adalah pengolahan informasi. Teori ini mempunyai kesamaan dengan
teori kognitif yang mementingkan proses. Proses memang penting dalam teori
sibernetik, namun yang lebih penting lagi adalah sistem informasi yang diproses
itu, informasi tersebut yang akan menentukan proses. Asumsi lain teori sibernetik
adalah tidak ada satu proses belajarpun yang ideal dengan segala situasi yang cocok
untuk semua siswa. Informasi akan dipelajari oleh siswa dengan satu macam proses
belajar, informasi yang sama itu akan dipelajari oleh siswa lain melalui proses
belajar yang berbeda hal ini disebabkan oleh (perbedaan tipe siswa yang belajar,
perbedaan seni guru mengajar). Dalam bentuk yang lebih praktis, teori sibernetik
telah dikembangkan oleh Landa (pendekatan algoritmik dan heuristik) dan Pask dan
Scott (pendekatan menyeluruh/wholist dan bagian/serialis)
Ada dua macam proses berpikir yaitu proses berpikir algoritmik dan heuristic.
Algoritmik adalah proses berpikir linier, konvergen, logis, lurus menuju kesuatu
target tertentu. Heuristik yaitu proses berpikir divergen, tidak linier, tidak lurus,
tidak logis, kreatif menuju kebeberapa target sekaligus.
Proses belajar akan berjalan dengan baik, jika apa yang hendak dipelajari itu,
merupakan masalah yang hendak dipecahkan, sistem informasi yang hendak
dipelajari diketahui ciri – cirinya, suatu yang lebih tepat disajikan dalam urutan
yang teratur, linier, substansial, suatu hal yang lebih tepat disajikan dalam bentuk
terbuka dan memberi keleluasaan siswa untuk berimajinasi dan berpikir. Agar siswa
mampu memahami sebuah rumus matematika, akan lebih efektif jika presentasi
informasi tentang rumus matematika disajikan secara algoritmik.
Pendekatan serialis (Pask dan Scott) sama dengan algoritmik, namun Wholist tidak
sama dengan Heuristik. Cara berpikir menyeluruh adalah berpikir yang cendrung
melompat ke depan lansung ke gambaran lengkap sebuah sistem informasi, seperti
melihat sebuah lukisan, bukan detil-detil yang diamati lebih dahulu, tetapi
keseluruhan lukisan itu sekaligus, baru sesudah itu ke bagian-bagian yang lebih
kecil. Pendekatan yang beroreintasi pada pengolahan informasi menekankan pada
ingatan jangka pendek dan ingatan jangka panjang yang berkaitan dengan apa yang
terjadi di otak dalam proses pengolahan informasi. Proses belajar dapat berjalan
dengan optimal, bukan hanya cara kerja otak yang perlu dipahami, tetapi
lingkungan yang mempengaruhi mekanisme itupun perlu diketahui.

15
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Teori pendidikan klasik berlandaskan pada filsafat klasik, yang memandang bahwa
pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara, mengawetkan dan meneruskan warisan
budaya. Teori pendidikan ini lebih menekankan peranan isi pendidikan dari pada
prosesnya. Teori-teori yang terdapat dalam ilmu pendidikan dilahirkan oleh 4 aliran yang
berbeda, yaitu Aliran Empirisme, Aliran Nativisme, Aliran Naturalisme, dan Aliran
Konvergensi. Pendidikan modern adalah pendidikan yang sejalan dengan usaha manusia
sejak dilahirkan hingga meninggal, dengan sadar membimbing dan menuntun kondisi jiwa
khususnya agar dapat menumbuhkan akhlak dan kebiasaan yang baik sejak awal
pertumbuhan dan perkembangannya, hingga mencapai masa pubertas, agar terbentuk
kepribadian yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Teori-teori pendidikan modern yaitu
teori humanism, teori bahaviorisme, teori kognitivisme, dan teori sibernetik.

16
DAFTAR PUSTAKA

Natalia, Kristin. 2015. Teori Pendidikan Klasik Dan Teori Pendidikan Modern. Tersedia
pada http://makalahpendidikanklasik.blogspot.com/. Diakses pada 24 November 2020.
Bagus Sugriwa, I Gusti. Teori-Teori Dalam Dunia Pendidikan Modern. Tersedia pada
https://www.academia.edu. Diakses pada 24 November 2020.

17

Anda mungkin juga menyukai