DOSEN PENGAMPU :
Dr. Fery Andrianus. SE. M. Si
KELOMPOK 3 :
ANGGI ANGRAINI PUTRI 2010513007
AZIZAH AFRILA 2010513028
FEBRIKA AZIZAH 2010511032
PRATIWI RAHMADANI 2010512045
VANIATUL AULIA 2010512036
Untuk dicapainya tujuan penelitian maka penelitian ini melakukan metodologi berikut
ini:
Pada tahun 2005 BPS melakukan survei dengan cakupan yang luas yaitu
untuk mengidentifikasi karakteristik keluarga miskin, dengan menggunakan
pengeluaran minimum per kapita sebagai garis kemiskinan, . Identifikasi ciri-ciri
keluarga miskin pada awalnya diperlukan untuk menyalurkan santunan tunai
kepada keluarga miskin korban pengurangan subsidi minyak. Sensus tersebut
mencakup seluruh wilayah di Indonesia, termasuk Resettlement villages Koto
Panjang, studi ini memanfaatkan data yang tersedia dari BPS yang merupakan
data yang paling komprehensif untuk menganalisis kondisi keluarga miskin.
Untuk tujuan mengidentifikasi orang miskin, digunakan garis kemiskinan
nasional Indonesia: pengeluaran per kapita bulanan kurang dari Rp175.000
mengklasifikasikan orang tersebut sebagai orang miskin. Jumlah penduduk
miskin diperkirakan dengan data sensus. Dengan wawancara yang dilakukan
pada tahun 2005 bersama kepala desa untuk mengidentifikasi kelurga miskin di
daerah tersebut. . Untuk status keluarga, sebuah keluarga dianggap miskin jika
tidak memiliki harta benda (seperti uang tunai, emas, ternak, sepeda motor atau
TV berwarna) dengan nilai total Rp500.000 atau lebih.
Temuan
Berdasarkan standar harta milik Rp500.000 yang dimiliki oleh satu keluarga, 211
keluarga (131 keluarga di Tanjung Balik dan 80 keluarga di Tanjung Pauh) di
Resettlement villages Koto Panjang Sumatera Barat tergolong miskin. Diantara kedua
desa tersebut, , proporsi keluarga miskin di Tanjung Balik lebih tinggi dibandingkan di
Tanjung Pauh. Jumlah keluarga miskin mencapai 24% dari keluarga yang saat ini
dimukimkan kembali (total 884 keluarga). Angka ini jauh lebih tinggi dari rata-rata
angka kemiskinan di Sumatera Barat sebesar 5,5% (BPS, 2006). Namun, rumah
berdinding bambu, MCK umum, kayu bakar untuk memasak, dan tidak adanya
konsumsi daging sapi atau ayam mingguan mendominasi kondisi keluarga miskin di
kampung pemukiman Koto Panjang, seperti halnya keluarga miskin di daerah lain di
Sumatera Barat. Keluarga miskin di Resettlement villages Koto Panjang memiliki akses
listrik dan air minum yang baik. Lebih dari 50% keluarga miskin di desa pemukiman
telah memanfaatkan pasokan listrik, sedangkan lebih dari 60% keluarga miskin di
wilayah lain di Sumatera Barat masih menggunakan penerangan non-listrik. Hampir
75% keluarga miskin di desa pemukiman kembali Koto Panjang memiliki air minum
perpipaan, sementara lebih dari 80% keluarga miskin di wilayah lain masih
menggunakan air sumur yang tidak terlindungi.
Pengangguran jelas terkait dengan kemiskinan. pekerjaan utama keluarga
miskin sebagian besar bekerja di perkebunan dan pertanian padi di Tanjung Pauh
dan Tanjung Balik. Setiap 2 hektar perkebunan karet telah direncanakan untuk
setiap keluarga yang dipindahkan oleh program pemukiman kembali Koto
Panjang. Sementara perkebunan karet produktif dimaksudkan untuk menopang
mata pencaharian 800 keluarga yang pindah, namun gagal dalam
pelaksanaannya. Perkebunan karet pada awalnya diharapkan menjadi pilar
rehabilitasi mata pencaharian bagi keluarga yang bermukim kembali di proyek
Bendungan Koto Panjang. Kegagalan perkebunan karet bagi para pemukim Koto
Panjang merupakan kenyataan yang setara dengan risiko pemiskinan yang
seharusnya sudah diantisipasi dalam tahap perencanaan oleh program
pemukiman Kembali
Kemiskinan juga dominan terkait dengan rendahnya tingkat pendidikan.
tingkat pendidikan keluarga miskin yang diteliti. Mayoritas hanya berpendidikan
rendah, Masyarakat miskin di Sumatera Barat memiliki kesempatan yang lebih
besar untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
penduduk desa pemukiman kembali Koto Panjang. Di Sumatera Barat, hampir
84% keluarga miskin hanya berpendidikan sampai sekolah dasar atau di
bawahnya. Di Koto Panjang desa pemukiman kembali, proporsi keluarga miskin
berpendidikan dasar atau kurang mencapai lebih dari 90%.
Desa pemukiman kembali dalam proyek Bendungan Koto Panjang tidak lepas
dari risiko pemiskinan. Kegagalan dalam pembangunan pertanian merupakan penyebab
utama kemiskinan di Indonesia. Pembangunan pertanian telah menjadi prioritas selama
tiga dekade terakhir, namun mayoritas penduduk masih hidup dari pertanian dengan
produktivitas rendah. Di desa-desa pemukiman kembali Koto Panjang, kegagalan
pembangunan di bidang pertanian menyebabkan penundaan yang lama dalam
mengamankan produktivitas perkebunan karet.
Kesimpulan
Pada tahun 2003, JBIC melakukan tinjauan pascaproyek terhadap 52 proyek
berdasarkan pinjaman yen, termasuk proyek Bendungan Koto Panjang. Berdasarkan
evaluasi tersebut, 52 proyek diklasifikasikan ke dalam empat kategori sebagai berikut:
20 A (sangat memuaskan), 20 B (memuaskan), 10 C (cukup memuaskan), dan 2 D
(tidak memuaskan). Proyek Bendungan Koto Panjang dikategorikan B, karena
konstruksi yang efisien, kinerja pembangkit listrik yang baik, dan operasi bendungan
yang berkelanjutan (JBIC, 2004).
Metode pemeringkatan JBIC ini hanya mempertimbangkan keluaran dan hasil proyek,
namun tidak banyak memberi bobot pada dampak sosial lingkungan. Dampak sosial dari
proyek ini sangat signifikan. Menurut studi JBIC, baik di Tanjung Pauh maupun
Tanjung Balik mayoritas keluarga yang dimukimkan kembali menyatakan bahwa
kondisi kehidupan mereka semakin memburuk setelah relokasi. Bahkan setelah
disesuaikan dengan kemungkinan bias dalam studi yang disebutkan sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa pemukiman kembali kedua desa tersebut tidak dilakukan dengan
cara yang memuaskan. Hal ini didukung oleh Insiden kemiskinan yang sangat tinggi di
desa-desa.
Pelaksanaan rencana pembangunan yang tidak memadai dikaitkan dengan resiko
pemiskinan di desa permukiman Kembali koto panjang. Faktor utama yang
menyebabkan terganggunya mesin kehidupan ekonomi masyarakat asli daerah koto
panjang adalah kegagalan perkebunan karet. Resiko kegagalan dapat dikurangi dengan
pengenalan Langkah-langkah yang lebih sesuai untuk memastikan implementasi
rencana. Selain itu, program pemukiman kembali Koto Panjang kurang
mengintegrasikan dan melibatkan para pemangku kepentingan, seperti masyarakat lokal,
pelaku ekonomi lokal, pemerintah daerah dan lembaga pemerintah pusat selain PLN.
Kurangnya partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan juga salah satu
faktor penyebab ketidakpatuhan terhadap rencana pembangunan.
Studi WCD dan rekomendasinya didasarkan pada “lima nilai inti”: kesetaraan, efisiensi,
pengambilan keputusan partisipatif, keberlanjutan, dan akuntabilitas. Mereka adalah
“fokus perhatian” proyek bendungan di seluruh dunia (WCD, 2000, hlm. 197–199).
Proyek Bendungan Koto Panjang tidak terlepas dari nilai-nilai inti ini, dan pengambilan
keputusan partisipatif harus dimasukkan lebih jauh ke dalam proses.