Anda di halaman 1dari 7

TUGAS KELOMPOK EKONOMI RESETTLEMENT

“Kondisi Kemiskinan di Kampung Koto Panjang Sumatera Barat: Analisis Menggunakan


Data Survei Keluarga Penerima Santunan Tunai”

DOSEN PENGAMPU :
Dr. Fery Andrianus. SE. M. Si

KELOMPOK 3 :
ANGGI ANGRAINI PUTRI 2010513007
AZIZAH AFRILA 2010513028
FEBRIKA AZIZAH 2010511032
PRATIWI RAHMADANI 2010512045
VANIATUL AULIA 2010512036

JURUSAN DEPARTEMEN EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ANDALAS
2022
Kondisi Kemiskinan di Kampung Koto Panjang Sumatera Barat: Analisis
Menggunakan Data Survei Keluarga Penerima Santunan Tunai

Bendungan Koto Panjang

Sebelum krisis Asia tahun 1997, perekonomian Indonesia mengalami


pertumbuhan yang luar biasa dengan rata-rata peningkatan pendapatan nasional
bruto tahunan sebesar 7%, dari US$74.806 juta pada tahun 1980 menjadi
US$221.276 juta pada tahun 1996 (Bank Dunia, 2002). Pertumbuhan ekonomi
yang didukung oleh industrialisasi yang pesat ini berdampak pada peningkatan
kebutuhan listrik.

Bendungan Koto Panjang direncanakan dan dibangun di tengah Pulau


Sumatera di perbatasan antara Provinsi Riau dan Sumatera Barat, oleh
Perusahaan Listrik Negara (PLN), perusahaan listrik milik negara, dengan
pinjaman yen lunak yang diberikan oleh OECF (Dana Kerjasama Ekonomi Luar
Negeri, Jepang). Yang bertujuan untuk menyediakan tenaga listrik yang stabil,
baik untuk meningkatkan tingkat elektrifikasi regional maupun untuk memenuhi
permintaan listrik yang meningkat di wilayah tersebut.

Resettlement Villages of West Sumatra

setiap keluarga yang dipindahkan akan menerima barang-barang berikut di desa


pemukiman kembali:

(a) dua hektar perkebunan karet produktif,


(b) 0,4 ha lahan untuk menanam tanaman pangan,
(c) 0,1 ha lahan untuk pertanian 36 m2 rumah dengan pekarangan,
(d) tunjangan hidup selama dua tahun dan
(e) kompensasi uang untuk semua properti yang diserahkan sebagai hasil pembangunan
bendungan.

Resettlement villages ini bertujuan untuk mempertahankan, paling tidak,


atau meningkatkan taraf hidup para pemukiman kembali dibandingkan dengan
kondisi sebelum pemukiman kembali. Karena pemulihan mata pencaharian yang
mulus dan dini dianggap sebagai masalah paling kritis dalam pemukiman
kembali selama tahap perencanaan, program ini mencoba memberikan keamanan
bagi para pemukim kembali untuk melanjutkan pekerjaan utama dan kegiatan
yang menghasilkan pendapatan. Untuk masa transisi direncanakan program
penyediaan pangan dan introduksi tanaman komersial selain karet, seperti cabai
yang memiliki siklus tumbuh relatif cepat, berkoordinasi dengan kementerian
terkait.

Tujuan dan metodologi penelitian


a) Mengidentifikasi orang miskin berdasarkan harta yang dimiliki keluarga
b) Menganalisis kondisi keluarga miskin di Resettlement villages Koto Panjang
Sumatera Barat
c) Mengaitkan karakteristik keluarga miskin di Resettlement villages dengan
pelaksanaan program pembangunan daerah
d) Membandingkan kondisi kelurga miskin di Resettlement villages dengan yang ada di
Sumatera Barat secara keseluruhan

Untuk dicapainya tujuan penelitian maka penelitian ini melakukan metodologi berikut
ini:
Pada tahun 2005 BPS melakukan survei dengan cakupan yang luas yaitu
untuk mengidentifikasi karakteristik keluarga miskin, dengan menggunakan
pengeluaran minimum per kapita sebagai garis kemiskinan, . Identifikasi ciri-ciri
keluarga miskin pada awalnya diperlukan untuk menyalurkan santunan tunai
kepada keluarga miskin korban pengurangan subsidi minyak. Sensus tersebut
mencakup seluruh wilayah di Indonesia, termasuk Resettlement villages Koto
Panjang, studi ini memanfaatkan data yang tersedia dari BPS yang merupakan
data yang paling komprehensif untuk menganalisis kondisi keluarga miskin.
Untuk tujuan mengidentifikasi orang miskin, digunakan garis kemiskinan
nasional Indonesia: pengeluaran per kapita bulanan kurang dari Rp175.000
mengklasifikasikan orang tersebut sebagai orang miskin. Jumlah penduduk
miskin diperkirakan dengan data sensus. Dengan wawancara yang dilakukan
pada tahun 2005 bersama kepala desa untuk mengidentifikasi kelurga miskin di
daerah tersebut. . Untuk status keluarga, sebuah keluarga dianggap miskin jika
tidak memiliki harta benda (seperti uang tunai, emas, ternak, sepeda motor atau
TV berwarna) dengan nilai total Rp500.000 atau lebih.

Temuan
Berdasarkan standar harta milik Rp500.000 yang dimiliki oleh satu keluarga, 211
keluarga (131 keluarga di Tanjung Balik dan 80 keluarga di Tanjung Pauh) di
Resettlement villages Koto Panjang Sumatera Barat tergolong miskin. Diantara kedua
desa tersebut, , proporsi keluarga miskin di Tanjung Balik lebih tinggi dibandingkan di
Tanjung Pauh. Jumlah keluarga miskin mencapai 24% dari keluarga yang saat ini
dimukimkan kembali (total 884 keluarga). Angka ini jauh lebih tinggi dari rata-rata
angka kemiskinan di Sumatera Barat sebesar 5,5% (BPS, 2006). Namun, rumah
berdinding bambu, MCK umum, kayu bakar untuk memasak, dan tidak adanya
konsumsi daging sapi atau ayam mingguan mendominasi kondisi keluarga miskin di
kampung pemukiman Koto Panjang, seperti halnya keluarga miskin di daerah lain di
Sumatera Barat. Keluarga miskin di Resettlement villages Koto Panjang memiliki akses
listrik dan air minum yang baik. Lebih dari 50% keluarga miskin di desa pemukiman
telah memanfaatkan pasokan listrik, sedangkan lebih dari 60% keluarga miskin di
wilayah lain di Sumatera Barat masih menggunakan penerangan non-listrik. Hampir
75% keluarga miskin di desa pemukiman kembali Koto Panjang memiliki air minum
perpipaan, sementara lebih dari 80% keluarga miskin di wilayah lain masih
menggunakan air sumur yang tidak terlindungi.
Pengangguran jelas terkait dengan kemiskinan. pekerjaan utama keluarga
miskin sebagian besar bekerja di perkebunan dan pertanian padi di Tanjung Pauh
dan Tanjung Balik. Setiap 2 hektar perkebunan karet telah direncanakan untuk
setiap keluarga yang dipindahkan oleh program pemukiman kembali Koto
Panjang. Sementara perkebunan karet produktif dimaksudkan untuk menopang
mata pencaharian 800 keluarga yang pindah, namun gagal dalam
pelaksanaannya. Perkebunan karet pada awalnya diharapkan menjadi pilar
rehabilitasi mata pencaharian bagi keluarga yang bermukim kembali di proyek
Bendungan Koto Panjang. Kegagalan perkebunan karet bagi para pemukim Koto
Panjang merupakan kenyataan yang setara dengan risiko pemiskinan yang
seharusnya sudah diantisipasi dalam tahap perencanaan oleh program
pemukiman Kembali
Kemiskinan juga dominan terkait dengan rendahnya tingkat pendidikan.
tingkat pendidikan keluarga miskin yang diteliti. Mayoritas hanya berpendidikan
rendah, Masyarakat miskin di Sumatera Barat memiliki kesempatan yang lebih
besar untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
penduduk desa pemukiman kembali Koto Panjang. Di Sumatera Barat, hampir
84% keluarga miskin hanya berpendidikan sampai sekolah dasar atau di
bawahnya. Di Koto Panjang desa pemukiman kembali, proporsi keluarga miskin
berpendidikan dasar atau kurang mencapai lebih dari 90%.
Desa pemukiman kembali dalam proyek Bendungan Koto Panjang tidak lepas
dari risiko pemiskinan. Kegagalan dalam pembangunan pertanian merupakan penyebab
utama kemiskinan di Indonesia. Pembangunan pertanian telah menjadi prioritas selama
tiga dekade terakhir, namun mayoritas penduduk masih hidup dari pertanian dengan
produktivitas rendah. Di desa-desa pemukiman kembali Koto Panjang, kegagalan
pembangunan di bidang pertanian menyebabkan penundaan yang lama dalam
mengamankan produktivitas perkebunan karet.

Masalah yang diidentifikasi dari tindakakn mitigasi


Survei pasca proyek yang dilakukan oleh JBIC pada tahun 2002 (JBIC, 2004)
mengungkapkan bahwa mayoritas keluarga yang dimukimkan kembali di setiap desa
pemukiman kembali Sumatera Barat menghadapi kesulitan dalam mengamankan mata
pencaharian mereka, terutama karena kegagalan pembangunan perkebunan karet.
Sementara para pemukim kembali seharusnya menerima pohon karet produktif di lokasi
pemukiman kembali mereka, hanya sedikit pohon karet di desa pemukiman kembali
yang terbukti produktif. Selain itu, fasilitas air minum tidak berfungsi ketika penduduk
awalnya pindah ke desa baru ini pada tahun 1993.
Pemerintah telah mengakui adanya beberapa masalah pasca proyek. Pada tahun 2002,
pemerintah merumuskan Consolidated Action Plan (CAP) yang akan dilaksanakan
antara tahun 2003 dan 2010. CAP tersebut meliputi rehabilitasi perkebunan karet
melalui penanaman Kembali, pembangunan sarana air minum, dan pembangunan
jembatan dan jalan. Antara tahun 2003 dan 2005, pemerintah merehabilitasi 1600 ha
kebun karet (700 ha pada tahun 2003, 500 ha pada tahun 2004 dan 400 ha pada tahun
2005). Dari jumlah tersebut, 900 ha kebun karet telah ditanami kembali untuk 450 KK
di Tanjung Balik dan 350 KK di Tanjung Pauh. Pembangunan sarana air minum,
jembatan dan jalan selesai pada periode yang sama.

Kesimpulan
Pada tahun 2003, JBIC melakukan tinjauan pascaproyek terhadap 52 proyek
berdasarkan pinjaman yen, termasuk proyek Bendungan Koto Panjang. Berdasarkan
evaluasi tersebut, 52 proyek diklasifikasikan ke dalam empat kategori sebagai berikut:
20 A (sangat memuaskan), 20 B (memuaskan), 10 C (cukup memuaskan), dan 2 D
(tidak memuaskan). Proyek Bendungan Koto Panjang dikategorikan B, karena
konstruksi yang efisien, kinerja pembangkit listrik yang baik, dan operasi bendungan
yang berkelanjutan (JBIC, 2004).
Metode pemeringkatan JBIC ini hanya mempertimbangkan keluaran dan hasil proyek,
namun tidak banyak memberi bobot pada dampak sosial lingkungan. Dampak sosial dari
proyek ini sangat signifikan. Menurut studi JBIC, baik di Tanjung Pauh maupun
Tanjung Balik mayoritas keluarga yang dimukimkan kembali menyatakan bahwa
kondisi kehidupan mereka semakin memburuk setelah relokasi. Bahkan setelah
disesuaikan dengan kemungkinan bias dalam studi yang disebutkan sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa pemukiman kembali kedua desa tersebut tidak dilakukan dengan
cara yang memuaskan. Hal ini didukung oleh Insiden kemiskinan yang sangat tinggi di
desa-desa.
Pelaksanaan rencana pembangunan yang tidak memadai dikaitkan dengan resiko
pemiskinan di desa permukiman Kembali koto panjang. Faktor utama yang
menyebabkan terganggunya mesin kehidupan ekonomi masyarakat asli daerah koto
panjang adalah kegagalan perkebunan karet. Resiko kegagalan dapat dikurangi dengan
pengenalan Langkah-langkah yang lebih sesuai untuk memastikan implementasi
rencana. Selain itu, program pemukiman kembali Koto Panjang kurang
mengintegrasikan dan melibatkan para pemangku kepentingan, seperti masyarakat lokal,
pelaku ekonomi lokal, pemerintah daerah dan lembaga pemerintah pusat selain PLN.
Kurangnya partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan juga salah satu
faktor penyebab ketidakpatuhan terhadap rencana pembangunan.
Studi WCD dan rekomendasinya didasarkan pada “lima nilai inti”: kesetaraan, efisiensi,
pengambilan keputusan partisipatif, keberlanjutan, dan akuntabilitas. Mereka adalah
“fokus perhatian” proyek bendungan di seluruh dunia (WCD, 2000, hlm. 197–199).
Proyek Bendungan Koto Panjang tidak terlepas dari nilai-nilai inti ini, dan pengambilan
keputusan partisipatif harus dimasukkan lebih jauh ke dalam proses.

Anda mungkin juga menyukai