Hampir seluruh belahan dunia pasti mengenali permainan strategi yang sudah sangat
kuno, catur. Permainan yang selama berabad-abad menjadi suatu standar inteligensi
seseorang. Alasan label ini sangat lekat dengan permainan catur tentunya karena permainan
ini sangat bergantung dari kemampuan para pemainnya melancarkan strategi-strategi untuk
melumpuhkan lawan. Namun, ada banyak pertanyaan yang muncul dari permainan ini,
seperti Dapatkah kemampuan bermain catur memiliki pengaruh dalam inteligensi? Atau
secara umum bisakah kemampuan-kemampuan (entah kemampuan berpikir maupun tidak)
yang didapatkan dari satu kegiatan atau aktivitas mempengaruhi kemampuan orang tersebut
dalam aktivitas lainnya?
Thorndike dan Woodworth telah membahas fenomena ini dalam identical element
theory (Atashafrouz, 2019). Prinsip dasarnya adalah adanya korelasi positif dari perkembangan
seseorang dari latihan atau aktivitas yang dijalani dengan kemampuan orang tersebut
menjalani aktivitas atau tantangan dari kegiatan lainnya. Namun, perlu diperhatikan bahwa
korelasi ini bergantung dari seberapa terhubungnya kedua aktivitas tersebut. Contohnya jika
kita belajar geometri tentu akan berguna dalam memahami bentuk ruangan, tetapi konsep-
konsep yang didapatkan dari geometri tidak terlalu berguna ketika diaplikasikan ketika
mempelajari sejarah.
Sejarah Catur
Catur sendiri dipercaya sudah ada sejak abad keenam di daerah India lebih tepatnya
kerajaan Gupta dengan menggunakan papan berbentuk kotak-kotak 8x8 bernama
‘ashtapada’. Permainan ini bernama ‘chaturanga’ yang berarti empat bagian (Gendler, 2019)
sedangkan di Persia dikenal dengan nama ‘chatrang’. Pada abad ketujuh negara-negara
Muslim Arab mulai juga mengenal permainan tersebut ketika menaklukkan Persia, mereka
menyebut permainan ini dengan nama ‘shantraj’ dengan kata dasar’shah’ yang dalam bahasa
Persia berarti raja. Pada masa ini bangsa Arab mulai mengenal permainan ini bukan hanya
sebagai simulasi taktik tetapi juga sebagai sumber inspirasi sastra politik. Permainan papan
tersebut juga dikenal di berbagai bagian di Asia seperti permainan ‘Go’ (圍棋) yang dimana
figur berada di antara kotak, bukan didalamnya. Di Jepang juga dikenal dengan permainan
1
‘shogi’ ( 将 棋 ) dengan pemain yang dapat mengambil figur lawan dan menjadikan figur
tersebut miliknya dalam permainan (Gendler, 2019).
Pada abad ke-15, atau dikenal dengan era romantik, catur mulai memiliki bentuk yang
kita kenal sekarang ini seperti figur ratu yang menggantikan figur penasihat sesuai dengan
konteks zaman tersebut yang terjadi gejolak kepemimpinan perempuan oleh para ratu di
kerajaan-kerajaan. Dengan berkembangnya era menuju zaman pencerahan catur mulai
dikenal tidak hanya dikalangan bangsawan tetapi juga di kedai-kedai dan menjadi suatu
ekspresi kreativitas dengan semakin mendorong strategi-strategi yang lebih berani dan
berisiko. Namun, dengan semua variasi yang berkembang mengikuti kultur sosial budaya
yang ada, pada akhirnya tidak mengubah esensi dari permainan catur itu sendiri. Permainan
yang bertumpu pada kemampuan pemainnya dalam mengembangkan strategi (Gendler,
2019).
Problem solving sendiri adalah kemampuan dimana seseorang dapat mengenali situasi
yang menjadi masalah kemudian melakukan hipotesis dan menguji berbagai kemungkinan
yang menjadi solusi (Robinson-Riegler & Robinson-Riegler, 2008). Dalam berbagai
penelitian yang dilakukan oleh Goblet & Campitelli (2006), McGovern (2016), Literp (1998),
Bilalic et al. (2007), Root (2008), Trinchero (2013), dan Sala et al. (2015) menunjukkan
bahwa bermain catur tidak memiliki korelasi positif dengan kemampuan problem solving.
Hasil ini didapatkan dengan membandingkan dua kelompok dependen dan independen dan
ternyata tidak ditemukan perbedaan signifikan. Dalam penjelasan mengapa hasil tidak
2
signifikan ini dapat terbentuk karena banyaknya pendekatan dalam kemampuan problem
solving.
Dalam arti lain, catur mungkin dapat memiliki pengaruh dalam konteks problem
solving masalah persekolahan tetapi hanya sepatas itu saja, kemampuan ini tidak
mempengaruhi problem solving yang dibutuhkan dalam konteks dunia real-life (Atashafrouz,
2019). Dampak dari permainan catur sendiri dapat dikorelasikan dengan lingkungan
pendidikan dan sebagian besarnya tidak memiliki kaitan dengan lingkungan non sekolah
(Sala et al., 2016, dalam Atashafrouz 2019). Mengingat bahwa problem solving adalah
puncak dari hierarki pendidikan, mencapai kemampuan tersebut perlu lebih banyak waktu,
tenaga, dan latihan (Fardanesh, 1986, dalam Atashafrouz, 2019).
Working memory pada dasarnya adalah semacam buku gambar yang menyimpan
informasi di dalam pikiran yang kemudian dapat kita gunakan (Earl, 2013). Menurut
penelitian dari Bart (2014) dan Sala et al. (2016) bermain catur secara signifikan dapat
mengembangkan working memory (Atashafrouz, 2019). Hal ini diperkirakan karena para
pemain harus berpikir secara matang sebelum melakukan gerakan. Contohnya memastikan
setiap posisi lawan, dimana posisi yang lowong, dimana posisi yang berbahaya, dan apa saja
kemungkinan yang ada di atas papan. Proses berpikir ini membentuk bayangan yang
diinginkan secara singkat maupun panjang, sehingga menantang kemampuan memori dari
pemainnya dan mengembangkannya (Atashafrouz, 2019).
3
memastikan segala kemungkinan yang ada. Dalam arti lain, karena dalam permainan catur
ada motivasi untuk menghindari kesalahan terlebih lagi kekalahan, para pelajar yang menjadi
subjek penelitian menjaga perhatian mereka terhadap setiap gerakan yang ada di atas papan
catur. Konsentrasi yang menyeluruh dalam permainan catur sangat penting karena hanya
beberapa detik saja terganggu dalam permainan dapat mengubah hasilnya (Obet, 2014, dalam
Astahfrouz, 2019). Dalam penelitian lain oleh El-Daou dan El-Shamieh (2015) menunjukkan
adanya keuntungan bermain catur bagi anak-anak yang mengidap Attention Deficit
Hyperactivity Disorder (Basson, 2015).
Kesimpulan
4
Daftar Pustaka
Earl, M. K. (2013). The "working" of working memory. Dialogues Clin Neurosci, (15), 411-
418.
Gobet, F., & Campitelli, G. (2006). Educational benefits of chess instruction: A critical
review. In T. Redman (Ed.), Chess and Education: Selected essays from the
Koltanowski conference (pp 124-143). Dallas: Chess Program at the University of
Texas at Dallas.
Htwe, T. T., Ismail, S. B., Tun, K. D., & Rao, P. J. (2014). Napping and its effects upon
medical students’ ability to concentrate. Libyan J Med Res, 8(1), 109-115.
5
Tanda-tangan Bukti Umpan Balik