Anda di halaman 1dari 23

LINGUISTIK UMUM

Dosen Pengampu : Melia, M.Pd


Nama Kelompok : 1. Aulia Purnama (312210171)
2. Intan Larasati (312210059)
3. Wulida Istiqfarin W. M (312210068)
4. Putri Claudia Ananta (312210006)
5. Teodosia Yesarinda (312210017)
Kelas : A Sore

PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


2022/2023
“ASPEKTUALITAS DALAM KAJIAN LINGUISTIK”
BAB I
ASPEKTUALITAS BENTUK DAN MAKNANYA
1. PENDAHULUAN
Tiga Subkategori Semantik Fungsional Verba
Di dalam linguistik umum terdapat tiga subkategori tata-bahasa yang berurusan dengan semantik
verba, yakni aspektualitas, temporalitas, dan modalitas. Aspektualitas dan temporalitas mempelajari
sifat-sifat keberlangsungan situasi (yaitu gejala luar bahasa yang berupa peristiwa, proses/aktivitas,
keadaan) dilihat dari segi waktu yang menyertai keberlangsungan situasi tersebut, sedangkan
modalitas mempelajari situasi dari sudut pandang bermacam macam sikap pembicara terhadap
situasi yang berlangsung. Ketiga bidang kajian linguistik itu dalam bahasa-bahasa tertentu termasuk
kategori gramatikal sebab dalam bahasa bahasa itu ketiga-tiganya diungkapkan melalui proses
morfologi yang luas dan teratur.

Verba

Aspektualitas temporalitas modalitas

Waktu Bukan waktu

2. ASPEKTUALITAS, TEMPORALITAS, DAN MODALITAS

2.1 Definisi Aspektualitas


Aspektualitas adalah subkategori semantik fungsional yang mempelajari bermacam-macam sifat
unsur waktu internal situasi (peristiwa, proses, atau keadaan), yang secara lingual (dalam bentuk
bahasa) terkandung di dalam semantik verba.
2.2 Aspektualitas dan Temporalitas
Pada temporalitas unsur waktu bersifat lokatif, mengacu pada waktu-waktu absolut (minggu lalu,
kemarin, besok, lusa, tahun depan) dan/atau waktu relatif (dulu, sekarang, nanti, kelak) dan, pada
umumnya, berorientasi pada waktu ujaran (speech moment). Pada temporalitas, dengan demikian,
situasi dapat berlangsung sebelum waktu ujaran (kemarin, minggu lalu, dulu dsb.) atau bersamaan
dengan waktu ujaran (hari ini, saat ini, sekarang, dsb.) atau sesudah waktu ujaran (besok, tahun
depan, nanti, kelak, dsb.) Temporalitas tergolong kategori deiktik, unsur waktu bersifat eksternal (di
luar situasi), dan menunjuk pada lokasi waktu-waktu absolut atau waktu relatif, sedangkan
aspektualitas termasuk kategori nondeiktik, unsur waktu bersifat internal (di dalam situasi).
Perbedaan Aspektualitas dari Temporalitas
Aspektualitas Temporalitas
Sifat - Internal Idi dalam situasi) - Eksternal (di luar situasi)
Waktu - Nondeiktik (tidak mengacu ke waktu - Deiktik (mengacu ke waktu
Situasui absolut/waktu relative) absoult/waktu relatif)
Pertanyaa - Berapa lama/berapa kah? (salah satu cara) - Kapan?
n

2.3 Aspektualitas dan Modalitas


Demikian pula halnya dengan modalitas, melalui modus. Dalam bahasa Rusia, misalnya, aspek
ditandai dengan prefiks po-, pro-, za, ot-, -u, dll atau sufiks -nu -va, ja atau gabungan prefiks dan
sufiks, sedangkan modus, seperti modus imperatif (perintah), ditandai oleh sufiks -j/ -i (bentuk akrab
tunggal) dan -jtel -ite (bentuk sopan atau jamak).
Berbeda dari aspektualitas, modalitas menggambarkan pandangan atau sikap subjektif si pengujar.
Sikap itu dalam bahasa Indonesia biasanya tampak pada penggunaan kata ingin, harap, mari, sudilah,
dapat, boleh, mungkin, akan, harus, seharusnya, mesti, perlu, sepantasnya, pasti, tentu, barangkali,
mungkin. (Bandingkan dengan pengungkap aspektualitas (aspektualiser) sudah, sedang, lama,
sebentar, dsb.).
2.4 Titik Temu antara Aspektualitas dengan Temporalitas dan Modalitas
Menurut Lyons (1968: 316-317), titik temu (intersection) antara aspektualitas dengan temporalitas
dan modalitas terjadi juga dalam bahasa Inggris. Bentuk perfect, misalnya, yang digunakan untuk
menyatakan waktu yang baru saja berlalu (very recent past) (I have just seen him) dapat membentuk
'past-in-the-past' dalam kalimat tak langsung (He said he'd seen him the day before). Bentuk lampau
dan nonlampau itu, menurut Lyons, menyatakan 'periode waktu yang berlangsung sebelum hingga
titik waktu sekarang, dalam pengertian kala kini, dan titik waktu lampau, dalam pengertian kala
lampau. (Lihat Tadjuddin, 1993: 25-26).
Dalam bahasa Indonesia gejala titik temu itu tampaknya dapat diamati pada kata sudah, misalnya,
dalam kalimat Besok pukul dua belas saya sudah makan. Kata sudah di sini mengandung dua makna,
yaitu makna aspektualitas, dalam hal ini aspektualitas kompletif (peristiwa makan berlangsung
secara tuntas), dan makna modalitas, dalam hal ini modalitas kepastian (obligatif).

3. BENTUK-BENTUK PENGUNGKAPAN ASPEKTUALITAS


Bagan 1
Bentuk Pengungkapan Aspektualitas

Bentuk verba (versi Maslov) Bentuk nonverbal

(1) (2) (3) (4) (5) (6)


Oposisi Oposisi Frasa verba Frasa predikat Klausa Kalimat
Intraverba antarverba (aksionalitas majemuk
(aspek) (aksionalitas) analitis)

Gramatikal Gramatikal Aspektualitas Aspektualitas


terbuka tertutup leksikal sintaksis kontekstual
(gramatikal) (leksikogramatikal)
Bentuk inti (versi Bondarko) Bentuk marginal

Bagan 2
Bentuk Pengungkapan Aspektualitas

Bentuk morfologi Bentuk sintaksis

(1) (2) (3) (4) (5)


Aspek Aksionalitas MAIV Tataran Klausa Tataran
(gramatikal/ (leksiko- (leksikal) kaliamat
Infeksional) gramatikal) (majemuk)

(4a) (4b) (4c)


Frasa Frasa Frasa
Verba/predikat keterangan durasi nominal
3.1 Aspektualitas Bentuk Morfologi
3.1.1 Aspek
Konsep aspek tersebut mengandung arti bahwa suatu gejala aspektualitas dapat disebut aspek hanya
apabila memenuhi persyaratan berikut:
1. Makna aspektualitas diungkapkan melalui morfologi yang teratur dan meliputi keseluruhan
atau proses sebagian terbesar leksikon verba.
2. Proses morfologi itu bersifat paradigmatis; jadi, berbentuk infleksi di mana setiap pengertian
mengenai peristiwa, proses, atau keadaan diungkapkan dalam bentuk pasangan-pasangan
verba yang bentuk dan maknanya beroposisi biner/prevatif.
Berdasarkan konsep itulah maka aspek termasuk kategori gramatikal.
3.1.1.1 Verba Perfektif dan Verba Imperfektif
Perbedaan antara verba perfektif dengan verba imperfektif ditandai oleh ada/tidak adanya prefiks (A,
kebanyakan), sufiks (B), proses modifikasi internal (C), atau perbedaaan itu diwujudkan dalam bentuk
suplesi (D). (Morfem t’ adalah morfem penanda bentuk infinitif) Adapun afiks yang berperan dalam
proses pembentukan aspek dalam bahasa Rusia adalah sebagai berikut. Pada verba perfektif
kebanyakan berupa prefiks, vz-,(vzo, vs-), voz- (vozo-, vos-), y-, do-, za-, iz-, (izo-, is), na, nad- (nado-),
o- (ob-, obo-), ot- (oto-), pere-, pod- (podo-), po, pri-, pro, raz- (razo-, ras-), s- (so-), u-, dan sebuah
sufiks nu-); pada verba imperfektif berupa sufiks -yva l -iva, -a /-ja (Spagis, 1966).
3.1.1.2 Aspek Perfektif dan Aspek Imperfektif
Menurut Razmusen (1891, dl Maslov, 1978: 32), aspek perfektif menyatakan perbuatan yang secara
umum dipandang sebagai suatu keseluruhan (permulaan, tengah, dan akhir bersama-sama),
sedangkan aspek imperfektif menyatakan 'perbuatan yang secara umum dipandang dari segi sifat-
sifat wujudnya, pembagiannya, tanpa mengacu pada keseluruhan perbuatan'.
Maslov (1959, dl Forsyth, 1970: 7) menyatakan bahwa 'Kategori aspek perfektif dan aspek imperfektif
merupakan refleksi pilihan objektif dari pengujar (atau penulis) antara dua pandangan atas
perbuatan yang diungkapkan oleh verba: situasi itu digambarkan sebagai satu keseluruhan yang tidak
terpisahkan - perfektif, atau tanpa acuan pada keseluruhan imperfektif".
Forsyth (1970: 8/348) menyatakan bahwa aspek perfektif menggambarkan 'situasi sebagai satu
keseluruhan (total event) dengan acuan pada suatu paduan spesifik yang tunggal (a single spesific
juncture)", sedangkan aspek imperfektif mengemukakan 'gambaran yang lebih bervariasi'.
3.1.2 Aksionalitas
Dalam bahasa Rusia/Slavia kalau aspek merupakan kategori gramatikal, dalam arti proses morfologi
infleksional/paradigmatis dan, dengan demikian, bersifat terbuka, maka aksionalitas adalah kategori
leksiko-gramatikal, dalam arti proses morfologi derivasional; jadi, bersifat tertutup.
Menurut Maslov (1965: 71) dan Dahl (1985: 27), di dalam aktionalitas perbedaan-perbedaan di
antara berbagai makna merupakan perbedaan makna leksikal dari berbagai bentuk verba. Akan
tetapi, dalam karyanya yang lebih kemudian, Maslov (1978: 23) tidak lagi menggunakan istilah
'leksikal', melainkan 'leksiko-gramatikal' atau 'gramatikal tertutup'. Para pakar Rusia, pada umumnya,
mengartikan aksionalitas, yang dalam bahasa Rusia disebut sposoby dejstvija, dengan istilah Jerman
Aktionsart.
3.1.3 Aspektualisasi Bentuk Morfologi dalam Bahasa Indonesia
Aspektualitas diungkapkan dalam bentuk morfologi dalam bahasa Indonesia dapat diamati melalui
proses reduplikasi, sufiksasi -i, dan prefiksasi ter-.
3.2 Aspek Bentuk Sintaksis
Pengungkapan makna aspektualitas dalam bentuk sintaksis berlangsung melalui tiga tataran yakni
tataran frasa, tataran klausa, dan tataran kalimat majemuk. Pengungkapan makna aspektualitas pada
tataran frasa berlangsung melalui frasa verba bersama aspektualiser (adverbia aspektualitas) sudah,
telah, habis, baru, selesai, dan usai, juga sedang, tengah, lagi dan masih.
Pengungkapan makna aspektualitas pada tataran klausa berlangsung melalui penggunaan adverbial
durasi, yang terdiri atas adverbial durasi terikat/berbatas (bounded adverbials) seperti sekilas,
sekejap, sebentar, sekali dan adverbial durasi tak terikat/tak berbatas (unbounded adverbials) seperti
berkali-kali, berulang-ulang, berturu-turut, satu per satu, lama, terus-menerus, tak henti-hentinya.
Selain adverbial durasi, pengungkapan aspektualitas pada tataran klausa dapat pula diamati melalui
penggunaan frasa nominal sebagai argumen, yang juga terbagi atas frasa nominal terikat (bounded
nominals) dan frasa nominal tak terikat (unbounded nominals). Pengungkapan makna aspektualitas
pada tataran klausa juga berlangsung melalui penggunaan partikel pun/lah. Adapun pengungkapan
makna aspektualitas pada tataran kalimat (majemuk) berlangsung melalui penggunaan konjungsi
aspektualitas tipe setelah, selama, dsb.
BAB II
MAKNA ASPEKTUALITAS INHEREN VERBA BAHASA INDONESIA
1. MAKNA ASPEKTUALITAS INHEREN VERBA DAN KELAS VERBA
Di dalam linguistik umum dikenal istilah aksionalitas (actionality) yang digunakan dalam dua
pengertian. Pertama, di kalangan para pengamat bahasa-bahasa Slavia istilah aksionalitas mengacu
pada gejala aspektualitas yang diungkapkan melalui proses morfologi derivasional (kategori leksiko-
gramatikal), yaitu yang dalam bahasa Rusia disebut sposoby dejstvija. Kedua, di kalangan pakar
bahasa Inggris (non Slavia) istilah itu digunakan dalam arti aspektualitas yang diungkapkan secara
inheren melalui verba pada umumnya (Comrie, 1978.7).
Situasi Aspektualitas dalam Bahasa Inggris Versi Brinton (1988: 54-57)
Situasi Dinamis Duratif Homogen Telik Ganda
Keadaan - + + - -
Ketercapaian + - - (+) -
Aktivitas + + - - -
Keselesaian + + - + -
Serial + + + - +

Makna Aspektualitas Inheren Verba Bahasa Indonesia


Subkelas Verba Sifat-sifat situasi
Dinamis Telik Duratif Homogen
Pungtual + + - -
(peristiwa sekilas)
Aktivitas (proses) + - + -
Statis - - + -
Statif (keadaan) - - - +

2. PERIHAL SIFAT-SIFAT SITUASI ASPEKTUALITAS INHEREN VERBA


Untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang perbedaan sifat-sifat makna aspektualitas
inheren verba, perlu dibahas secara cukup rinci ihwal kespesifikan sifat-sifat tersebut. Sifat
kedinamisan memandang situasi dari segi ada tidaknya perubahan (Dahl, 1975: 15; Maslov, 1978: 11,
periksa pula TBBI, Moeliono (ed), 1988). Lyons (1978: 483) melukiskan kedinamisan situasi sebagai
"something that happens (or occurs, or takes place)" dan, menurut Comrie (1978: 48-51), keberlang
sungan situasi dinamis harus didukung oleh usaha (effort) atau tenaga (energy) secara
berkesinambungan (...a dynamic situation will only continue if it is continually subject to a new input
of energy). Sifat dinamis ini menandai situasi yang diungkapkan verba pungtual dan verba aktivitas.
Situasi pungtual oleh Lyons disebut 'peristiwa momental' (momentary event) dan oleh Zydatiss
(1978) disebut 'situasi lintas batas' (bordercrossing situation), sedangkan verbanya oleh Leech (1975)
disebut 'verba peristiwa transisional' (transitional event verb). Ke dalam kelas verba pungtual
termasuk verba tipe angguk, berangkat, bangun, bangkit, batuk, bunuh, capai, datang, jatuh, kedip,
hilang, lompat, patah, petik, potong, pukul, tembak, tendang, tiba. Adapun jenis situasi dinamis yang
kedua, yaitu aktivitas, Lyons dan Comrie menyebutnya dengan istilah "proses" (process), yaitu situasi
dinamis yang berlangsung pada 'poros waktu yang berkembang' (Lyons: "extended in time) atau
'terus berlanjut' (Comrie: 'in progress'). Yang tergolong kelas verba aktivitas ialah verba tipe baca,
bicara, bicarakan, gambar, jalan, lari, lukis, makan, (mem) bangun, minum, nyanyi, tulis. Mengenai
ketelikan, yakni situasi yang bersifat telik atau atelik (nontelik), di dalam linguistik umum terdapat
dua pandangan, yaitu yang oleh Dahl (1981: 79-90) disebut 'pandangan Barat (western view), yang
pengamatannya didasarkan pada struktur bahasa-bahasa non-Slavia, dan 'pandangan Timur (eastern
view), yang pengamatannya didasarkan pada struktur bahasa-bahasa Slavia. Basis ontologi bagi
pengamatan tentang perbedaan antara verba persepsi,seperti dengar (tidak tuli ),lihat (tidak
buta),bau, sakit, pening, gatal, dsb; verba kognisi (emosional , intelektual ), seperti cinta, suka, benci,
bohong, percaya, tahu, mengerti, yakin, ragu, takut, dsb, dan verba relasi, seperti berisi, harganya,
merupakan, terdiri, atas, dsb.

Mengenai keduratif , para pengamat umumnya sepakat bahwa keduratif mengacu pada situasi yang
berkelangsungannya bersifat terbatas jadi , tidak homogen. Menurut Brinton , meliputi pula verba
seperti sedang tinggal , sedang merasa/sedang merasakan, sedang berfikir.

Miller (1970:488-504). Ia memisahkan verba tipe berdiri, tinggal, itu dari kelas keadaan dan
menyebutnya verba ststis, sedangkan verba keadaan itu sendiri disebutnya verba statis.

3. PERILAKU MORFOLOGIS DAN SINTAKSIS SUBTAKSIS VERBA DAN IMPLIKASI SEMANTISNYA

Pemberlakuan reduplikasi , umpamanya, pada keempat kelas verba itu sebagian besar menghasilkan
makna aspektualitas yang berbeda-beda.

(a) Reduplikasi pada verba pungtual menghasilkan makna aspektualitas interatif


(peruangan),misalnya ,pukul-pukul , potong-potong , batuk-batuk.

(b) Reduplikasi pada verba aktifitas menghasilkan makna atenuatuf ( kealakadaran atau tidak
sungguh-sungguh ), misalnya, makan-makan ,minum-minum, jalan –jalan.

(c) Reduplikasi pada verba statis , sama seperti verba aktivitas , menghasilkan makna atenuatif,
misalnya, duduk-duduk , baring-baring.

(d) Redupikasi pada verba statif menghasilkan dua kemungkinan: tidak gramatikal , misalnya, cinta-
cinta, yakin-yakin,grmatikal dengan makna aspektualitas diminutif (agak,sedikit ), misalnya,pening-
pening,pegal-pegal, sakit-sakit, gatal-gatal, dsb.

4. PENUTUP

Penerpan reduplikasi dan sufikasi –i (perilaku morfologi ) serta pegunaan pemarkah laksikal
aspektulitas dan adverbial durasi seperti yang dibicarakna di muka itu pada hakikatnya merupakan
alat-alat uji yang menjadi landasan struktural bagi keabsahan klasifikasi verba bahasa indonesia atas
empat subkelas.
Sifat perilaku morfologi dan sintaksis keempat subkelas verba itu, khususnya verba ststif, merupakan
sifat-sifat khas yang membedakan kelas verba dari kelas adjektiva (lihat Tadjuddin, 1992:117).
BAB III
PERIHAL SITUASI TELIK MENCAPAI BATAS INTERNAL

1. DEFINISI SITUASI TELIK


Dengan perkataan lain, batas internal situasi telik merupakan titik perihal antara dua keadaan, yakini
antara keadaan dimana proses masih berlangsung/ sasaran akhir belum tercapai dengan keadaan
dimana proses telah berhenti/ sasaran akhir telah tercapai.Dalam bahasa indonesia misalnya, situasi
yang di gambarkan kalimat.
(1) Setiap hari ia membaca buku.
Adalah atelik sebab situasi membaca buku.
(2) Hari ini ia membaca sebuah buku.
Adalah telik sebuah perbuatan membaca akan berakhir dengan snedirinya pada saat sebuah
buku selesai di baca.

2. SITUASI TELIK MENCAPAI BATAS INTERNAL MENURUT “PANDANGAN TIMUR” DAN


“PANDANGAN BARAT”
Menrut Dahl, para penganut “pandangan timur” yang ditokohi Anderson telah mencoba
menerapkan konsep-konsep aspektologi slavia ke dalam bahasa-bahasa non-slavia.
Sementara menurut Dahl“pandangan barat”,di antara ketiga kaliamat di atas hanya ada satu
perbedaan, yaitu antara kaliamat 6 dan7 mengandung sasaran akhir batas internal dengan kalimat 5
yang tidak mengandung sasaran akhir/ batas internal.
Pengertian situsai telik yang mencapai batas internal (sasaran akhir) ada yang tidak mencapai batas
intermal bukan semata-mata menyangkut soal pengungkapan gejala luar bahasa yang berupa
perbuatan atau keadaan dengan melalui bentuk-bentuk verba dan non verba,melainkan berkaitan
dengan tingkat pelaksanaannya secara nyata dilihat dari segi waktu ujuran.

3. SITUASI TELIK MENCAPAI BATAS INTERNAL DALAM BAHASA INDONESIA


Dari pembcaraan-pembicaraan di muka diketahui bahwa indikator-indikator situasi telik mencapai
batas internal dalam bahasa inggris “pandngan barat” terdiri atas verba berbentuk kala
lampau.Demikian pula dalam bahasa rusia “pandangan timur”, yang ajeg dalam bahasa rusia adalah
verba perfektif (dengan atau tanpa objek terikat atau frasa adverbial durasi terikat. Dalam bahsa
indonesia diungkapkan bentuk frasa predikat dengan bantuan aspektualiser telah.jadi, frasa verbal
telah inilah yang dapat digunakan sebagai indikator situasi telik mencapai batas internal dalam
bahasa indonesia.

4. PENUTUP
Berdasarkan hasil pembeicaraan di muka, dapatlah disimpulkan bahwa perbedaan antara
“pandangan barat”(Dahl) dendan “pandangan timur” (Anderson) itu, pada dasarnya, bersumber dari
perbedan struktur kedua bahasa (inggris dan rusia) yang menjadi titik tolak pengamatan mereka.
BAB IV
BENTUKKAN SE-V DALAM BAHASA INDONESIA

1. PENGANTAR

Jika kita amati buku Pedoman Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBBI, 1993), tampak bahwa
sesuatu yang cukup penting luput dari pembicaraan, yakni bentukan sedengan dasar verba
(bentukan se-V) seperti setiba, dil. Oleh karena itu, seperti yang akan tampak dalam uraian lebih
lanjut, banyak juga pakar tata bahasa Indonesia yang menaruh perhatian terhadapnya walaupun
pembicaraan mereka mengenai hal itu, pada umumnya, hanya bersifat konstatatif dan, dengan
demikian,masih cukup banyak masalah yangmemerlukan pembahasan lebih lanjut.

2. MAKNA BENTUKAN SE-V

Menurut Alisjahbana (1960: 40), bentukan se-V seperu pada setiba menyandung "arti satu/sama
waktu dengan”, jadi, "setibamu di sana berarti sama-waktu dengan tibamu di sana”. Pandangan
seperti ini kita dapati juga pada Keraf (1980: 199 yang mengatakan bahwa bentukan se-V seperti itu
menyatakan "aspek simulfaktif”. Pandangan ini mungkin didasari kenyataan bahwa dalam
perpaduannya dengan unsur leksikal nonverba prefiks sepada umumnya menggambarkan gapasan
“satu”, seperti pada kata sebuah, serumah dsb, atau gagasan "sama", seperti pada segunung
(tingginya), selaut (luasnya), dsb, Adapun dalam perpaduannya dengan verba, dalam kenyataan,
tidaklah setiap bentukan se-V dapat ditafsirkan “satu/sama waktu dengan”.

3. PERILAKU SINTAKSIS BENTUKAN se-V

Slametmuljana (1956 186) beranggapan bahwa bentukan se-V tipe setiba itu merupakan
“kata perangkai kalimat waktu" atas dasar pertimbangan bahwa, menurutnya, “kata meningyal,
datang, berangkat, pulang, tiba, sampai di dalam bahasa Indonesa ternyata dipandang serupa
dengan telah, belum, dsb”. Jika demikian halnya, maka setiba dsb itu adalah juga konjungu (“kata
perangkai kalimat") seperti halnya setelah dsb. Akan tetapi, hasil pengamatan menunjukkan bahwa
yang sama dengan setelah di sini bukanlah keseluruhan setiba, melainkan hanya se-nya itu sendiri.
Untuk lebih jelasnya, perlu diamay secara lebih cermat sebagai berikut.Konjungsi (subordinatif)
setelh dapat diparafrasa/ ditafsirkan dengan frasa ketika telah. Jika sepada bentukan tipe setiba
dapat disubstitusi dengan setelah, maka setiba itu sendiri dapat ditafsirkan/difarafrasa dengan ketika
telah tiba, seperti.

Pada kalimat contoh berikut.

a. Setiba di Halim, begitu cerita Mangil, kami melihat Pangau Omar Dhani dan Deputinya Leo
Watimena berdiri di depan markas AURI. (Editor, 30-9-1989: 15).
b. Ketika telah tiba di Halim, begitu cerita Mangil, kafni melihat Pangau Omar Dhani dan
Deputinya Leo Watimena berdiri di depan markas AURI.
BAB V

MAKNA GRAMATIKAL VERBA Ter-D

1. KEPERFEKTIFAN VERBA ter-D

1.1 Verba ter-D Transposisional

Verba ter-D yang bermkna “kontinuatif”, “perulangan”, (yang termasuk situasi nonperfektif)
memberikan kesan seolah-olah tidak seluruh kelas verba tersebut tidak sepenuhnya dibenarkan.
Verba ter-D yang perkembangan pemakaiannya mengalami proses trasposisi yang sekali berubah
secara kategorial,menjadi nomina, seperti terdakwa, tertuduh, ada yang menjadi ajektiva, terhormat,
terkenal, ada pula beralih menjadi kata tugas, terhadap, teruntuk. Karena melampaui batas-batas
kategori, gejala ini disebut transposisi antarkategori.

Seperti yang dibicarakan di muka, berlakunya peristiwa perfektif selalu menyebabkan timbulnya
keadaan baru yang berkontras dengan keadaan sebelimnya. Implikasinya ialah bahwa terjadinya
peristiwa (9) pintu (tiba-tiba) terbuka. (10) pintu (dalam keadaan) terbuka.

Berbeda dari verba aslnya, verba partisipal dalam kalimat berprilaku sebagai verba if.misalnya,dari
kegramatikalan penggunan keterangan durasi selamanya.(11) pintu selamanya terbuka.

Berdasarkan fakta tersebut, verba terpasang seperti dalam kalimat (12) Lampu itu terpasang sampai
pagi.

1.2 Verba ter-D Beku

Verba ter-D jenis itu dapat digolongkan ke dalam keompok bentuk-bentuk dalam linguistik disebut
“bentuk beku” (tentang istilah “beku” atau freezes dalam konteks pemakaian yang agak berbeda
lihat kaswanti purwo, 1984:204).
Alisjahbana hanya mencatat empat verba ter-D yang berdasarkan nomina. Dengan demikian
verba itu termasuk verba ter-D aktual, bukan, bukan verba te(R)-D beku.

1.3 Perihal Arti Ketidaksengajaan,Ketiba-tibaan,dan Kemungkinan


Dilihat dari sifat situasi yang terkandungdi dalam masing-masing contoh verba yang disajikan,cukup
sulit untuk membedaka terperosok,terjerumus,teruntuk,yang dikatakan menyatakan “keadaan yang
tidak diinginkan”dari,misalnya, rerperanjat, terkejut, tercengng, yang dikatakan menggambrkan
“perbuatan sekoyong-koyongan”atau dari terpijak,tertangkap,yang konon menyatakan“tiba-tiba,
tidak disengaja.
verba ter-D, arti itu,saya kira, menyatu dengan arti krtidaksengajan.
Ihwal arti kemungkinan, yang sering diparafrasa dengan dapat di (terbaca,terbeli,dll),misalnya dalam
kalimat “barang mewah tidak terbeli oleh

2. KEFASIFAN VERBA ter-D

Makna pasif , dala pengertian subjek sebagai penderita (lihat a.l. steinhauer, 1990:52) pada verba
ter-D tampak sekali pada bentuk yang mengandung tafsiran arti ketidaksengajaan.
Pandangan verhaar sejalan pula dengan spat (tejemahkan ikram,1989:142) yang mengatakan bahwa
ter-D “berfungsi sebagai verba pasif biasa bila pelaku tindakan tidak diketahui atau lebih tepat kalau
pelakunnya tidak dianggap penting. Melalui uraian singkat di atas kirannya bahwa verba ter-D
adalah verba pasif—dan ini harus diartikan keseluruhan verba te-D. Dengan demikian, anggapakn
deolah-olah ada sejumlah verba ter-D “aktif”. Agaknya harus ditolak dasar petimbangan sebagai
berikut. Pola ini mungkin terasa janggal diterapkan pada beberapa kontruksi verba tersebut
dengan pola parafase telah di-D (+/-sufks). Pola ini mungkin terasa janggal diterapkan pada
bebereapa kontruksi verba ter-D tertentu seperti tercengang,tergelincir dll (yang oleh
sebagian pengamat dikatakan bermakna aktif) karena verba –verba itu seolah-olah tidak
pernah memiliki bentuk opsisi di-D yang unsur pelakunya jelas atau dapat dijelaskan secara
expelisit, sejaln dengan pendapat Verhaar di ats, unsur hadir karena memang tidak jelas, tidak
diketahui, dianggap tidak penting, atau tidak relavan, atau tidak disengajaan dan, kalaupu
pelaku , pelaku tidak menguasai perbuatan, misannya, dalam kalimat.

3. PENUTUP
Dengan membedakan makna dari tafsiran melalui pembicaraan di atas, jelas kiranya bahwa
keperfaktifan dan kepasifan adalah dwimakna gramatikal yang melekat pada semantik verba
ter-D.Verba ter-D tidak bervalensi dengan adverbial durasi nonperfektif (sedang, terus-
menerus,dll.
BAB VI

PERIHAL MAKNA GRAMATIKAL PARTIKEL SUDAH, TELAH, BELUM DAN AKAN

1. MASALAH

Mengenai makna gramatikal keempat partikel yang disebut dalam judul tulisan ini tampaknya perlu
dibicarakan secara lebih cermat dengan pendekatan teori yang jelas konsepnya sehubungan dengan
adanya pandangan-pandangan seperti berikut. Pertama, partikel belum dikatakan beroposisi dengan
sudah dan akan beroposisi dengan telah. Kedua, partikel sudah dikatakan bermakna perfektif,
sedangkan belum bermakna imperfektif dan akan dikatakan bermakna "future" ucigan

2. BEBERAPA KONSEP DASAR

Perlu terlebih dahulu ditegaskan beberapa konsep teori sebagai dasar pembahasan, yaitu konsep-
konsep mengenai temporalitas dan aspektualitas serta hal ihwal yang berkenaan dengan kedua
kategori semantik-fungsional tersebut, khususnya sejauh yang diperlukan bagi pembahasan masalah.

Aspektualitas bersama-sama dengan temporalitas dan modalitas adalah tiga jenis kategori semantik-
fungsional yang berkaitan dengan semantik verba.

3. PERILAKU SINTAKSIS PARTIKEL sudah, telah, belum dan akan

Untuk membahas masalah secara substansial dan dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya, kita
mencoba mengamati perilaku sintaksis keempat pattikel itu melalui berbagai konstruksi
pemakaiannya di dalam kalimat.

3.1 Pemakaian bersama Verba Pungtual/Telik

(1) a. Ayah datang dari Surabaya.

b. Ayah datang dari Surabaya kemarin.

c. Kemarin ayah datang dari Surabaya.

d. Ayah datang dari Surabaya sekarang.

e. Sekarang ayah datang dari Surabaya.

f. Ayah datang dari Surabaya besok.

g. Besok ayah datang dari Surabaya.

(2) a. Ayah sudah/telah datang dari Surabaya.

b. Ayah sudah/telah datang dari Surabaya kemarin.

c. Kemarin ayah sudah/telah datang dari Surabaya.

d. Ayah sudah/telah datang dari Surabaya sekarang.

e. Sekarang ayah sudah/telah datang dari Surabaya.

f. Ayah sudah/telah datang dari Surabaya besok.

g. Besok ayah sudah/telah datang dari Surabaya.


4. PENUTUP

Dari pembicaraan di atas jelaslah bahwa partikel sudah telah dan belum mengandung makna
gramatikal ganda aspektualitas dan temporalitas. Kasus-kasus pemakaiannya di dalam kalimat
merupakan kasus titik temu (intersection) antara aspektualitas dengan temporalitas. Adapun akan
hanya mengandung satu makna gramatikal. temporalitas. Sehubungan dengan masalah yang
dikemukakan pada awal tulisan (butir 1), semantik keempat partikel tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut.

Dilihat dari segi temporalitas, partikel sudah/telah tidak hanya beroposisi dengan akan, melainkan
juga dengan belum. sudah/telah >< akan/belum

Adapun belum, partikel ini beroposisi dua arah, dengan sudah/telah dan dengan akan.

sudah/telah >< belum >< akan

Dilihat dari segi aspektuallitas, simpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut. Seperti yang
telah disebut di muka, dengan menggunakan istilah aksionalitas, partikel sudah/telah bermakna
kompletif. Akan tetapi, kita dapat juga menggunakan istilah aspek. Seperti yang tampak dalam
berbagai konstruksi pemakaiannya pada kalimat-kalimat di atas, situasi yang digambarkan kedua
partikel itu adalah situasi perfektif. Demikian pula halnya belum, sama seperti sudah/telah situasi
yang digambarkannya adalah juga situasi perfektif, bukan imperfektif seperti kata sementara
pendapat. Dengan demikian, makna aspektualitas ketiga partikel di atas dapat disebut perfektif atau
kompletif.
BAB VII
MAKNA GRAMATIKAL VERBA P-

1. MAKNA LOKATIF DAN MAKNA ASPEKTUALIAS


A. Makna Lokatif
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sebagian besar p-i baik yang ber—P verba maupun
yang ber-P nonverba, adalah verba monotransitif yang objeknya merupakan lokasi /tempat
atau tujuan berlakunya perbuatan yang disebutkan oleh P. Oleh karena itu, apa yang
dinyatakan oleh sasrasoegonda (1917) dalam menjelaskan salah satu jenis verba p-i, yaitu
bahwa sufiks —i "dapat diganti dengan preposisi di, pada, kepada, ke atas, ke dalam, dsb",
pergantian ini, pada dasarnya, berlaku bagi seluruh verba P-i. Meskipun pada beberapa verba
P-i tertentu pergantian tidak dapat dilakukan secara langsung (sufiks —i langsung diganti
dengan preposisi lokatif), verba-verba ini masih dapat diparafrasa dengan konstruksi lain yang
menggunakan preposisi lokatif. Dalam pada itu, perpaduan sufiks —i dengan unsur P
menimbulkan tafsiran semantis yang berbeda-beda, tergantung pada kelas/kategori P-nya.
Verba P-i yang terbentuk dari P verba hanya mempunyai satu tafsiran, yakni
melakukan/merasakan (meN-) apa yang disebut oleh pangkal (P) ke/di/pada (dan/atau
preposisi lokatif yang lain) objek (O), disingkat T-1: meN-P ke 0. Tafsiran ini berlaku untuk
segala jenis/kelas verba, baik verba pungtual, verba aktivitas, verba statis, maupun verba
statif, masing-masing seperti tampak pada contoh kalimat (1), (2), dan (4) berikut.
a. Para pembunuh memasuki rumah korban lewat pintu belakang
b. Para pembunuh masuk ke rumah korban lewat pintu belakang

B. Makna Aspektualitas
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa, selain bermakna lokatif dengan berbagai tafsiran semantis,
seperti yang telah dibicarakan, verba P-i juga mengandung berbagai makna dSPektualitas. Dilihat dari
segi situasi (struktur waktu internal) Yang diungkapkannya, verba P-i yang ber-P verba (periksa T-1 di
muka), ternyata berbeda dari situasi yang digambarkan verba P-nya. Dengan perkataan lain, dalam
perpaduannya dengan verba P, selain membentuk verba bermakna lokatif sufiks -i juga memodifikasi
situasi verba tersebut demikian rupa sehingga dihasilkan bermacam-macam makna aspek_ tualitas,
sesuai dengan keragaman makna aspektualitas inheren verba P-nya masing-masing. Adapun verba P-i
yang ber-p nonverba makna aspektualitasnya berbeda-beda, tergantun pada jenis kategori P-nya.

2. PERBEDAAN ANTARA VERBA .PAJ-I DENGAN VERBA PAJ-KAN


Seperti yang telah disinggung pada awal pembicaraan, para pengamat pada umumnya membuat
tafsiran yang berbeda tentang verba P-i yang ber-P nomina dan verba P-i yang ber-p ajektiva
(verba PAj-i); yang pertama ditafsirkan dengan "memberi apa yang disebutkan oleh P", yang
terakhir ditafsirkan'dengan "menyebabkan" apa yang disebutkan oleh P. Namun, seperti yang telah
dibicarakan di muka (periksa T-2a), kedua-duanya ditafsirkan sama, yakni "memberi P ke O". Dan,
seperti yang akan dibicarakan berikut, tafsiran "menyebabkan" adalah tafsiran bagi verba —kan
yang ber-P ajektiva (verba PAj-kan).
Khusus untuk verba PAj-i rumusan tafsiran itu perlu ditambah dengan " yang tidak memiliki P"; jadi,
memberi P kepada O yang tidak memiliki P. Ini diperlukan terutama dalam rangka pengidentifikasian
pembedaannya dari verba PAj-kan. Kalau verba PAj-i berarti memberi P kepada O yang tidak
memiliki P, maka verba PAj-kan mengandung arti menyebabkan berlakunya P pada O yang memiliki
P—hanya pada waktu terjadi ujaran, P itu sedang tidak berlaku).

3. PENUTUP
Makna lokatif pada verba P-i itu, yang manandai hampir keseluruhan verba P-i, kecuali verba P-i
beku, dan kelokatifannya ternyata pada kegramatikalan lima macam tafsiran yang berupa kalimat
yang menggunakan bermacam• macam preposisi yang bermakna lokatif, makna gramatikal itu
adalah makna umum (invarian) yang menandai keseluruhan jenis verba tersebut. Adapun makna
aspektualitas yang bermacam-macam itu ternyata tidaklah arbitrer. Perbedaan• perbedaan makna
aspektualitas itu bersumber dari perbedaan tegori pengisi P dan perbedaan subkelas verba (yang
berbeda satu dari yang lain berdasarkan perbedaan makna aspektualitas inheren verba). perbedaan
tafsiran semantis verba PAj-i dari verba PAjkan merupakan implikasi dari kenyataan bahwa kedua
jenis verba itu memang berbeda; jadi, tidak mungkin sama tafsirannya (bandingkan, a.l, Samsuri,
1976).
“BEBERAPA ASPEK LINGUISTIK INDONESIA”
I. KATA KERJA DENGAN MEN-, MEN-KAN, DAN MEN-I
1. Pendahuluan
Hal yang umum dilakukan dalam menganalisa sistem imbuhan bahasa Indonesia ialah
mendaftar semua awalan, sisipan, dan akhiran dan kemudian memberikan arti dari
semua İni. Sementara kita akili bahwa pendekatan sepertİ İni ada kegunaannya, namun
ia tidak bisa menjelaskan kepada kita dalam keadaankeadaan yang bagaimana suatu
campuran darİ imbuhan-imbuhan tertentu menghasilkan arti yang benefaktif, yang lain
kausatif, dan yang lainnya lagi direktif, dan sebagainya; sepanjang pengetahuan saya
belum ada orang yang mencoba melihat hubungan antara sesama katakerja yang
diturunkan darİ imbuhan-imbuhan ini.
Tulisan ini membicarakan hanya satu kelompok pengimbuhan kata kerja: awalan meN,
dan meN- dalam campurannya dengan akhiran -kan dan -in.
2. Hubungan antara MEN-, -KAN,dan -I.
Tiga istilah akan dipakai disini: ekatransitif, dwitransitif, dan taktransitif. Suatu kta kerja
adalah ekatransitif apabila ia (1) bisa mengambil awalan meN-dalam bentuk aktifnya, (2)
bisa diikuti oleh satu obyek, dan karenanya (3) bisa diubah menjadi bentuk pasif. Kata
kerja dwitransif memenuhi sarat pertama dan ketiga diatas dan bisa diikuti oleh obyek.
Kata kerja taktransitif tidak mempunyai obyek.
3. Kesimpulan
Sebagai kesimpulan bisa kita katakan disini bahwa campuran antara meN-, -kan, dan -I
menimbulkaan tujuh buah subset.

II. ANALISA SEMANTIK UNTUK KATA DASAR DATANG


1. Pendahuluan
Bagaimana teori semaantik seperti ini dilaksanakan bisa diringkaskan sebagai berikut:
yang ada dipaling dasar dari teori ini adalah struktur semantic diamana kita dapatkan
segala macam konfigurasi arti. Melalui proses-proses pos-semantik, yang mirip dengan
transformasi, konfigurasi-konfigurasi ini ditransformaikan menjadi suatu rentetan
representasi pos-semantik yang akhirnya membawa kita ke struktur-lahir. Untuk
mencapai struktur fonetik, struktur-lahir ini masih harus diproses lagi, antara lain melalui
proses simbolisasi yang merubah struktur-batin yang berdasarkan semantic ini menjadi
struktur-batin yang fonologis. Setelah melalui serentetan proses fonologis, struktur-
lahirnya akan muncul dalam bentuk fonetik.
2. Kesentralan katakerja
Tulisan ini adalah suatu usaha untuk menerapkan teori Chafe, ada dua alas an mengapa
teori ini yang dipakai. Pertama sebagai penutur asli Bahasa Indonesia, kedua kalua toh
imbuhan-imbuhan seperti ini bisa dimasukkan lewat lewat transformasi seperti yang
dianjurkan fillmore (1968: 30, catatan kaki No. 39), masih ada masalah dalam Bahasa
Indonesia dimana rangka kasusnya adalah / _ _ _ +O + D + A/.
3. Kesimpulan
Dari Analisa dimuka bisa kita lihat adanya dua masalah: arti dan bentuk. Ditinjau dari
segi arti, telah kita dapatkan bahwa masalahnya terletak pada unit-unit yang membentuk
struktur semantic dari katakerja dan kata bendanya, dan hubungan fungsional antara
elemen ini. Dari segi bentuk maslahnya terletak pada pemilihan imbuhan-imbuhan yang
benar sesuai dengan struktur semantiknya masing-masing.

III. PERANAN PENANDA KATON (OVERT MARKERS) DALAM BEBERAPA KALIMAT PASIF BAHASA
INDONESIA DAN JAWA
Tatabahasawan telah lama mempertanyakan apakah ada alasan bisa diterima untuk
mempostulasikanadanya kalimat aktif pasif dalam bahasa Indonesia (dan Jawa) (Alisjahbana,
Fokker, 1960; Mees, 1950;Junus, 1962). Sarjana yang berkebant saan Indonesia, yang
mengenal linguistik melalui sarjana-sarjana Barat, sering "didakwa" memaksakan perbedaan
aktif-pasif pada fenomena yang ada pada bahasa Barat tetapi tidak ada bahasa kitL
Sebaliknya, sarjana Barat, yang menjadi terlalu bet. hati.hati dalam menganalisa bahasa
bukan-Barat, mencoba sekeru tenaga untuk melepaskan dirinya dari pikiran Barat mereka
yang akhirnya telah mungkin menyebabkan mereka tidak melihat fenomena yang
sebenarnya ada. Kelihatannya masalahnya berkisar pada pengertian kita tentaq syarat-syarat
bentuk aktif lawan pasif. Saya usulkan bahwa pembe. daan ini didasarkan pada sintaksis dan
semantik. Secara sintaktik, sebuah kalimat dianggap pasif, apabila ada perubahan morfologis
pada katakerjanya. Dalam bahasa Indonesia dan Jawa perubahan ini terlihat pada bentuk
awalan di- yang menggantikan awalan meN- pada bahasa Indonesia dan N- pada bahasa
Jawal Secara semantik, ada perpindahan fokus di antara konstituen-konstituen dalam kalimat.
Perubahan ini terjadi dengan merubah urutan kata sedemikan rupa sehingga penderita pada
struktur-batin berubah fungsinya menjadi subyek pada struktur-lahir. Ini bisa dilakukan hanya
kalau pada struktur•batin si penderita ini mempunyai fitur yang Oleh Chafe disebut
"informasi lama" (Chafe, 1970: 21 9)• Dalam bahasa Indonesia dan Jawa informasi ini muncul
dalam bentuk subyek-lahir yang definit2 , yang ditandai oleh penanda definit itu (Indonesia)
atau iku (Jawa), atau dalam bentuk subyek•lahir yang takbertanda (unmarked) tapi yang
menyatakan referensi yang umum.

IV. STRUKTUR SEMANTIK DARI KATAKERJA KE-AN


1. PENGANTAR
Perbedaan pendapat antara para ahlibahasa yang berpengaruh se perti Alisjahbana dan
Mees mengenai ada-tidaknya kalimat pasif dalam bahasa Indonesia merupakan suatu
tanda bahwa masalah ini adalah masalah yang penting. Alisjahbana menyatakan bahwa
dalam bahasa Indonesia ada konstruksi kalimat yang katakerjanya secara morfologis
ditandai dengan awalan di- dan dengan konstruk si lain yang (1) katakerjanya tanpa
awalan meN-, (2) letak kata kerja ini langsung sesudah kataganti persona, dan (3) obyek
dari kalimat yang memakai meN- berubah menjadi subyek dari kalimat yang memakai di-
atau yang tanpa meN- Fenomena seperti ini harus diakui dan Alisjahbana
menamakannya kalimat pasif (1963: 31). Sebaliknya, Mees percaya bahwa konstruksi-
konstruksi seperti kupukul dan dipukul oleh adik bukanlah pasif, karena, menurut definisi
dia, konstruksi seperti ini masing-masing termasuk formula "persona-aneksi-katakerja"
dan "di-pokokkatakerja-oleh-persona" (1955 : 337).
2. PENDEKATANNYA
Pendekatan yang dipakai di sini ialah pendekatan Wallace Chafe. Karenanya, kita akan
berasumsi bahwa katakerja adalah sentral dan hadirnya suatu katabenda ditentukan oleh
fitur semantik dari katakerja. Fitur-fitur kodrat (inherent) yang mempersempit ruang
lingkup dari konsepsi alam semesta (areas of conceptual space) bertindak sebagai
penyaring pertama dari proses keseluruhannya. Untuk katakerja, ini meliputi keadaan,
proses, perbuatan, dan pengrasaan (experiential). Sebuah katakerja dianggap sebagai
suatu katakerja keadaan apa bila ia menyatakan bahwa sesuatu atau seseorang ada
dalam keadaan tertentu. Apabila ada terjadi suatu perubahan mengener keadaan ini,
maka katakerja yang bersangkutan bukan lagi kataker ja keadaan tetapi menjadi
katakerja proses. Selanjutnya, katakerja perbuatan menunjuk pada aktivitas atau
perbuatan, “sesuatu yang dilakukan seseorang” (Chafe, 1970: 100); dan “katakerja peng
rasaan adalah katakerja yang menyebabkan seseorang, tanpa mauan sendiri, mengalami
suatu peristiwa atau keadaan”. Kata kerja proses umumnya menjawab pertanyaan “apa
yang pada katabenda?”, sedangkan katakerja perbuatan menjawab pertanyaan “apa
yang dilakukan oleh katabenda?”. Ke terjadi.
3. MASALAH DAN ANALISANYA
Sepintas lalu, katakerja yang kita namakan adversatif membentuk suatu kelompok yang
kompak karena toh semuanya dibentuk dari akarkata plus awalan ke- dan akhiran -an.
Sementara memang kita lihat bahwa akarkata ini bisa verbal, ajektifal, atau pun nominal,
tidak semua akarkata bisa dijadikan katakerja adversatif. Jadi, sementara kita bisa
menerima bentuk-bentuk seperti kejatuhan, kelaparan, dan keracunan, kita menolak
*keam bilan, *kemiskin an (sebagai katakerja), dan *kegranatan. Kecuali untuk bentuk
yang diturunkan dari katadasar ajektif, sebenarnya jumlah kata.
4. BEBERAPA KETAKTERATURAN
Satu "ketakteraturan" yang jelas baru saja kita nyatakan, yakni, takhadirnya penanda
pelaku oleh pada kalimat (6) di mana akar katanya adalah katakerja perbuatan;
ketakteraturan yang lain ialah hadirnya penanda yang sama ini pada kalimat (4) di mana
akarkatanya adalah katakerja pengrasaan. Nampaknya tidak ada sebab semantik maupun
sintaktik yang bisa menerangkan menga pa hal seperti ini terjadi. Kalau toh kita
menganggap ketahuan sebagai katakerja yang tidak berasal dari katakerja pengrasaan
tahu tetapi dari katakerja perbuatan mengetahui, yang tentu saja membolehkan dan
menjelaskan mengapa penanda oleh pada (4) bisa dipakai, kita masih saja belum
mempunyai jawaban mengapa penanda ini tidak boleh hadir di (6). Ditinjau dari fitur
perbuatan itu sendiri, apakah katakerja kemasukan berasal dari masuk atau memasuki
sebenarnya tidak menjadi soal, Baik masuk maupun memasuki mengandung fitur
perbuatan. adversatif ini sangat sedikit.
5. KESIMPULAN
Dengan mengakui adanya ketidakteraturan yang dibicarakan pada Bagian 4, kita bisa
mengambil kesimpulan-kesimpulan berikut: (a) semua katakerja pada kalimat (1-6)
adalah keadaan dan adversatif.

V. PENURUNAN KATA BENDA


1. PENGANTAR
Salah satu akibat-samping dari tulisan Chomsky “Remarks on No minalization” di mana
penulis mengatakan bahwa “derived no minals,” dan barangkali juga “mixed nominals,”
harus dimasukkan ke dalam leksikon dan bukan ke dalam transformasi ialah bahwa orang
mulai sadar lagi akan pentingnya morfologi sebagai suatu komponen yang sah dan
terpisah dalam teori linguistik. Karya Bo tha tahun 1968, yang diikuti oleh karya-karya
Halle, Jackendoff, dan akhir-akhir ini oleh Aronoff merupakan bukti bahwa minat dalam
bidang ini hidup kembali. Meskipun karya-karya di atas ber beda dalam detil, tetapi pada
umumnya mereka mengikuti pende katan leksikalis yang diajukan oleh Chomsky.
2. FAKTA BAHASA
Barangkali tidak ada salahnya kalau kita mengatakan lebih lanjut dalam asumsi kita
bahwa seorang penutur bahasa tahu tidak hanya tentang kata dan komposisinya, tetapi
dia juga memiliki kemam puan intuitif sehingga dia bisa merasakan apakah suatu kata
dalam bahasanya itu “potensiel” atau “riel”. Sebagaimana halnya penutur Inggris bisa
menerima kata perceptiveness dan menolak, atau mera gukan, kata *perceptivity, maka
penutur Indonesia pun bisa meneri ma kata-kata seperti bantuan, keberanian,
pemberontakan, dan per juangan, tetapi menolak *kebantuan, *perbantuan, *beranian ,
*perberanian, *berontakan, *keberontakan, *perberontakan, *juangan, dan *kejuangan.

VI. PENGGOLONG, ITU, DAN NYA: CARA BERPIKIR BANGSA INDONESIA


1. PENGANTAR
Tulisan ini berdasarkan pengalaman penulis yang mengajar bahasa Indonesia sebagai bahasa
asing kepada para penutur bahasa Inggris. Waktu mempelajari bahasa kita para penutur ini
mengetrapkan apa seorang yang mereka kira logika, tetapi ternyata bahwa kalimat-kalimat In
donesia yang mereka buat itu tidak bisa kita terima. Kalau penutur Inggris mau membuat
suatu pernyataan tentang anjing pa da umumnya dan kesukaannya makan tulang, maka
dalam bahasa Inggris dia harus membuat katabendanya takdefinit atau jamak: A dog likes
bones, Dogs like bones, A dog likes a bone, atau bah kan di antara sebagian penutur, Dogs
like a bone. Akan tetapi wak tu penutur ini mengetrapkan logika Inggrisnya ke bahasa Indone
sia, seperti tercantum dalam kalimat (1-4), tak satu pun dari kali mat-kalimat ini bisa kita
terima.
a. *Seckor anjing suka tulang-tulang.
b. Anjing-anjing suka tulang-tulang.
c. *Seekor anjing suka sebuah tulang.
d. Anjing-anjing suka sebuah tulang.

Suatu situasi yang berhubungan dengan hal di atas tetapi yang kali ini memakai katasandang
definit kami sajikan di bawah ini. Katakanlah saja bahwa penutur yang sama ini baru saja
membeli rumah dan dia mau menggambarkan keadaan dapurnya. Dalam ba hasa Inggris dia
berkata The kitchen is good di mana kitchen dida hului oleh katasandang definit meskipun
konsep dari dapur belum pernah dinyatakan sebelumnya. Kemudian waktu dia beralih ke
bahasa Indonesia, kalimat yang dia buat bukannya kalimat yang benar, (5), tetapi kalimat
yang salah,

2. MASALAHNYA DALAM BAHASA INGGRIS


Wallace Chafe percaya bahwa kalau alam semesta ini kita tinjau ri segi konsepsi total maka
pada dasarnya ia bisa dibagi menjadi dua kategori yang besar, yakni, kategori perbuatan dan
kategori perbendaan (Chafe, 1970: 96). Masing-masing bisa diperinci sesuai dengan tiga
kesatuan semantik: kodrat, leksikal, dan kontekstual.
3. MASALAHNYA DALAM BAHASA INDONESIA
3.1. Penggolong.
Dalam hal penggolong (classifier) ada kecenderungan dalam bahasa Indonesia dewasa ini
untuk mengurangi jumlahnya dari kira-kira enam puluh menjadi tiga, yakni, seorang untuk
manusia, seekor untuk binatang, dan sebuah untuk lain-lainnya. Bahkan ada ke cenderungan
untuk menjadikan penggolong-penggolong ini mana suka. Jadi, mobil dalam kalimat seperti
Dia mau beli mobil mem punyai arti tunggal, meskipun penggolong sebuah tidak ada pada
kata ini.
3.1.1. Dalam Hubungannya dengan Katakerja Jenerik.
Meskipun kecenderungan yang kita sebutkan di atas itu benar, ada kasus-kasus tertentu di
mana kehadiran atau ketidakhadiran suatu penggolong sangat penting. Penolakan kalimat-
kalimat (1), (3), dan (4) dalam Bagian 1 sebagiannya disebabkan oleh adanya penggolong
seekor dan sebuah.
3.1.2. Dalam Hubungannya dengan Katakerja Takjenerik.

Sementara kita ketahui bahwa katakerja jenerik tidak memboleh. kan adanya penggolong
atau bentuk jamak, kita lihat bahwa kata. kerja takjenerik malah bertindak sebaliknya. Satu
hal penting yang perlu kita catat segera di sini ialah bahwa meskipun penggolong atau
bentuk jamak bisa dipakai dengan katakerja takjenerik, posisi nya dalam kalimat tidaklah
bebas. Sebuah katakerja takjenerik mengharuskan adanya penggolong, kalau katabenda yang
diiringi penggolong itu adalah subyek: kalau bukan subyek, penggolong ini menjadi
manasuka. Inilah seba`12bnya mengapa kita bisa menerima (15) dan (16), tetapi menolak
(17) dan (18).

3.2.1. Dalam Hubungannya dengan Fitur Jencrik-Takjencrik.

Seperti sudah kita nyatakan sebelumnya, katakerja jencrik dalam suatu pernyataan umum
mengharuskan katabenda jencrik yang, dalam bahasa Indonesia, tidak didahului oleh
penggolong. Tetapi, tentu saja katakerja jenerik membolehkan juga hadirnya katabenda
takjencrik seperti terlihat pada (32) dan (33) di bawah ini. (32) Beruang itu suka ikan kami.
(33) Beruang itu suka ikan. Dalam bahasa Indonesia hal ini benar hanya kalau semua kata.
benda yang mengiringinya adalah definit. Tidak kita ragukan bah. wa beruang itu pada
nomor (32) adalah takjenerik dan definit, tetapi ini disebabkan karena ikan kami adalah
takjenerik dan defihit juga. Kalau ikan dibuat takdefinit, seperti pada nomor (33), maka
timbullah dua tafsiran. Pertama, kalimat ini menunjuk pada kelompok bendasebagai
keseluruhan yang tak terbedakan.' Karena itu,sebenarnya tidak ada perbedaan antara (33)
dengan (12) karena kedua-duanya merupakan pernyataan umum. Dalam hal ini itu tidak
harus ada.
DAFTAR PUSTAKA
Alisjahbana, St. Takdir, 1960, Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia, jilid II, PT. Pustaka Rakyat, Djakarta.
Alwi, Hasan, dkk., 1993, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Depdikbud. ›
Barenstsen, A.A., 1973, "K Opisaniju Semantiki Kategorij 'Vid' i 'Vremja'. Na Materiale Sovrementovo
Russkogo Jazyka" 'Tinjauan Tentang Semantik Kategori 'Aspek dan 'Kala'. Atas Dasar Data dari Bahasa
Rusia Modern', Tijdschrift voor Slavische Tall- en Letterkunde, Mouton, The Hague.
Brinton, Laurel J., 1990. The Development of English Aspectual Systems, Cambridge University Press.
Comrie, Bernard, 1978, Aspect. An Introduction to the study of Verbal Aspect and Related Problems,
Cambridge University Press, Cambridge.
Crystal, David, 1966, "Spesification and English Tenses", Journal of Linguistics 2, p. 1-34.
Forsyth, J., 1970, A Grammar of Aspect. Usage and Meaning in the Russian Verb, Cambridge
University Press, Cambridge.
Hollander, J.J. de, 1889, Pedoman Bahasa dan Sastra Melayu, Terjemahan T.W. Kamil, 1983, Balai
Pustaka.
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), 1991, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan - Balai
Pustaka.
Kridalaksana, Harimurti, 1986, Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia, Penerbit Gramedia, Jakarta.
Lyons, John, 1978, Semantics 1 & 2, Cambridge University Press.
Maslov, J.S., 1978, "K Osnovanijam Sopostavitelnoj Aspektologij" 'Tentang Dasar-dasar Aspektologi
Perbandingan"; dl Maslov: Voprosy Sopostavitelnoj Aspektologij, Leningrad
Moeliono, Anton M., 1989, Kembara Bahasa Indonesia. Kumpulan Karangan Tersebar, Penerbit
Gramedia, Jakarta.
Ramlan, M., 1984, Kata Depan atau Preposisi dalam Bahasa Indonesia, Penerbit CV Karyono,
Yogyakarta.
Sibarani, Robert, 1994, Konjungsi Bahasa Batak, Toba: Sebuah Kajian Struktur dan Semantik,
Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Slametmuljana, 1956, Kaidah Bahasa Indonesia 1, Penerbit Djambatan, Jakarta.
----------, 1957, Kaidah Bahasa Indonesia II, Penerbit Djambatan, Jakarta.
Spat, C., 1989 (terjemahan Ikram), Bahasa Melayu Tata Bahasa Selayang Pandang, BP Balai Pustaka.
Steihauer, H., 1990, "Strategi dan Teknik Penelitian Kualitatif dalam Bidang Kebahasaan", dl
Aminuddin, Drs., MPd (ed), Pengembangan Penelitan Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra,
Yayasan Asah Asuh, Malang.
Tadjuddin, Moh., 1993a Pengungkapan Makna Aspektualitas Bahasa Rusia dalam Bahasa Indonesia:
Suatu Telaah tentang Aspek dan Aksionalitas (berasal dari disertasi, 1992) Proyek Penelitian dan
Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Jakarta, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
----------, 1993b, "Makna Aspektualitas Inheren Verba Bahasa Indonesia", Majalah Ilmiah Universitas
Padjadjaran. No.1, Vol. 11.
----------, 1995, "Bentukan se-V dalam Bahasa Indonesia", dl Nusa, Bangsa, dan Bahasa, Penerbit
Pustaka Prima, Bandung. Revisi artikel ini dimuat dalam Telaah Bahasa dan Sastra, Pusat Bahasa,
Depdikbud, 1999. van Wijk, D. Gert, 1985 (terj. T.W. Kamil), Tata Bahasa Melayu, Penerbit Djambatan.

Anda mungkin juga menyukai