Verba
Bagan 2
Bentuk Pengungkapan Aspektualitas
Mengenai keduratif , para pengamat umumnya sepakat bahwa keduratif mengacu pada situasi yang
berkelangsungannya bersifat terbatas jadi , tidak homogen. Menurut Brinton , meliputi pula verba
seperti sedang tinggal , sedang merasa/sedang merasakan, sedang berfikir.
Miller (1970:488-504). Ia memisahkan verba tipe berdiri, tinggal, itu dari kelas keadaan dan
menyebutnya verba ststis, sedangkan verba keadaan itu sendiri disebutnya verba statis.
Pemberlakuan reduplikasi , umpamanya, pada keempat kelas verba itu sebagian besar menghasilkan
makna aspektualitas yang berbeda-beda.
(b) Reduplikasi pada verba aktifitas menghasilkan makna atenuatuf ( kealakadaran atau tidak
sungguh-sungguh ), misalnya, makan-makan ,minum-minum, jalan –jalan.
(c) Reduplikasi pada verba statis , sama seperti verba aktivitas , menghasilkan makna atenuatif,
misalnya, duduk-duduk , baring-baring.
(d) Redupikasi pada verba statif menghasilkan dua kemungkinan: tidak gramatikal , misalnya, cinta-
cinta, yakin-yakin,grmatikal dengan makna aspektualitas diminutif (agak,sedikit ), misalnya,pening-
pening,pegal-pegal, sakit-sakit, gatal-gatal, dsb.
4. PENUTUP
Penerpan reduplikasi dan sufikasi –i (perilaku morfologi ) serta pegunaan pemarkah laksikal
aspektulitas dan adverbial durasi seperti yang dibicarakna di muka itu pada hakikatnya merupakan
alat-alat uji yang menjadi landasan struktural bagi keabsahan klasifikasi verba bahasa indonesia atas
empat subkelas.
Sifat perilaku morfologi dan sintaksis keempat subkelas verba itu, khususnya verba ststif, merupakan
sifat-sifat khas yang membedakan kelas verba dari kelas adjektiva (lihat Tadjuddin, 1992:117).
BAB III
PERIHAL SITUASI TELIK MENCAPAI BATAS INTERNAL
4. PENUTUP
Berdasarkan hasil pembeicaraan di muka, dapatlah disimpulkan bahwa perbedaan antara
“pandangan barat”(Dahl) dendan “pandangan timur” (Anderson) itu, pada dasarnya, bersumber dari
perbedan struktur kedua bahasa (inggris dan rusia) yang menjadi titik tolak pengamatan mereka.
BAB IV
BENTUKKAN SE-V DALAM BAHASA INDONESIA
1. PENGANTAR
Jika kita amati buku Pedoman Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBBI, 1993), tampak bahwa
sesuatu yang cukup penting luput dari pembicaraan, yakni bentukan sedengan dasar verba
(bentukan se-V) seperti setiba, dil. Oleh karena itu, seperti yang akan tampak dalam uraian lebih
lanjut, banyak juga pakar tata bahasa Indonesia yang menaruh perhatian terhadapnya walaupun
pembicaraan mereka mengenai hal itu, pada umumnya, hanya bersifat konstatatif dan, dengan
demikian,masih cukup banyak masalah yangmemerlukan pembahasan lebih lanjut.
Menurut Alisjahbana (1960: 40), bentukan se-V seperu pada setiba menyandung "arti satu/sama
waktu dengan”, jadi, "setibamu di sana berarti sama-waktu dengan tibamu di sana”. Pandangan
seperti ini kita dapati juga pada Keraf (1980: 199 yang mengatakan bahwa bentukan se-V seperti itu
menyatakan "aspek simulfaktif”. Pandangan ini mungkin didasari kenyataan bahwa dalam
perpaduannya dengan unsur leksikal nonverba prefiks sepada umumnya menggambarkan gapasan
“satu”, seperti pada kata sebuah, serumah dsb, atau gagasan "sama", seperti pada segunung
(tingginya), selaut (luasnya), dsb, Adapun dalam perpaduannya dengan verba, dalam kenyataan,
tidaklah setiap bentukan se-V dapat ditafsirkan “satu/sama waktu dengan”.
Slametmuljana (1956 186) beranggapan bahwa bentukan se-V tipe setiba itu merupakan
“kata perangkai kalimat waktu" atas dasar pertimbangan bahwa, menurutnya, “kata meningyal,
datang, berangkat, pulang, tiba, sampai di dalam bahasa Indonesa ternyata dipandang serupa
dengan telah, belum, dsb”. Jika demikian halnya, maka setiba dsb itu adalah juga konjungu (“kata
perangkai kalimat") seperti halnya setelah dsb. Akan tetapi, hasil pengamatan menunjukkan bahwa
yang sama dengan setelah di sini bukanlah keseluruhan setiba, melainkan hanya se-nya itu sendiri.
Untuk lebih jelasnya, perlu diamay secara lebih cermat sebagai berikut.Konjungsi (subordinatif)
setelh dapat diparafrasa/ ditafsirkan dengan frasa ketika telah. Jika sepada bentukan tipe setiba
dapat disubstitusi dengan setelah, maka setiba itu sendiri dapat ditafsirkan/difarafrasa dengan ketika
telah tiba, seperti.
a. Setiba di Halim, begitu cerita Mangil, kami melihat Pangau Omar Dhani dan Deputinya Leo
Watimena berdiri di depan markas AURI. (Editor, 30-9-1989: 15).
b. Ketika telah tiba di Halim, begitu cerita Mangil, kafni melihat Pangau Omar Dhani dan
Deputinya Leo Watimena berdiri di depan markas AURI.
BAB V
Verba ter-D yang bermkna “kontinuatif”, “perulangan”, (yang termasuk situasi nonperfektif)
memberikan kesan seolah-olah tidak seluruh kelas verba tersebut tidak sepenuhnya dibenarkan.
Verba ter-D yang perkembangan pemakaiannya mengalami proses trasposisi yang sekali berubah
secara kategorial,menjadi nomina, seperti terdakwa, tertuduh, ada yang menjadi ajektiva, terhormat,
terkenal, ada pula beralih menjadi kata tugas, terhadap, teruntuk. Karena melampaui batas-batas
kategori, gejala ini disebut transposisi antarkategori.
Seperti yang dibicarakan di muka, berlakunya peristiwa perfektif selalu menyebabkan timbulnya
keadaan baru yang berkontras dengan keadaan sebelimnya. Implikasinya ialah bahwa terjadinya
peristiwa (9) pintu (tiba-tiba) terbuka. (10) pintu (dalam keadaan) terbuka.
Berbeda dari verba aslnya, verba partisipal dalam kalimat berprilaku sebagai verba if.misalnya,dari
kegramatikalan penggunan keterangan durasi selamanya.(11) pintu selamanya terbuka.
Berdasarkan fakta tersebut, verba terpasang seperti dalam kalimat (12) Lampu itu terpasang sampai
pagi.
Verba ter-D jenis itu dapat digolongkan ke dalam keompok bentuk-bentuk dalam linguistik disebut
“bentuk beku” (tentang istilah “beku” atau freezes dalam konteks pemakaian yang agak berbeda
lihat kaswanti purwo, 1984:204).
Alisjahbana hanya mencatat empat verba ter-D yang berdasarkan nomina. Dengan demikian
verba itu termasuk verba ter-D aktual, bukan, bukan verba te(R)-D beku.
Makna pasif , dala pengertian subjek sebagai penderita (lihat a.l. steinhauer, 1990:52) pada verba
ter-D tampak sekali pada bentuk yang mengandung tafsiran arti ketidaksengajaan.
Pandangan verhaar sejalan pula dengan spat (tejemahkan ikram,1989:142) yang mengatakan bahwa
ter-D “berfungsi sebagai verba pasif biasa bila pelaku tindakan tidak diketahui atau lebih tepat kalau
pelakunnya tidak dianggap penting. Melalui uraian singkat di atas kirannya bahwa verba ter-D
adalah verba pasif—dan ini harus diartikan keseluruhan verba te-D. Dengan demikian, anggapakn
deolah-olah ada sejumlah verba ter-D “aktif”. Agaknya harus ditolak dasar petimbangan sebagai
berikut. Pola ini mungkin terasa janggal diterapkan pada beberapa kontruksi verba tersebut
dengan pola parafase telah di-D (+/-sufks). Pola ini mungkin terasa janggal diterapkan pada
bebereapa kontruksi verba ter-D tertentu seperti tercengang,tergelincir dll (yang oleh
sebagian pengamat dikatakan bermakna aktif) karena verba –verba itu seolah-olah tidak
pernah memiliki bentuk opsisi di-D yang unsur pelakunya jelas atau dapat dijelaskan secara
expelisit, sejaln dengan pendapat Verhaar di ats, unsur hadir karena memang tidak jelas, tidak
diketahui, dianggap tidak penting, atau tidak relavan, atau tidak disengajaan dan, kalaupu
pelaku , pelaku tidak menguasai perbuatan, misannya, dalam kalimat.
3. PENUTUP
Dengan membedakan makna dari tafsiran melalui pembicaraan di atas, jelas kiranya bahwa
keperfaktifan dan kepasifan adalah dwimakna gramatikal yang melekat pada semantik verba
ter-D.Verba ter-D tidak bervalensi dengan adverbial durasi nonperfektif (sedang, terus-
menerus,dll.
BAB VI
1. MASALAH
Mengenai makna gramatikal keempat partikel yang disebut dalam judul tulisan ini tampaknya perlu
dibicarakan secara lebih cermat dengan pendekatan teori yang jelas konsepnya sehubungan dengan
adanya pandangan-pandangan seperti berikut. Pertama, partikel belum dikatakan beroposisi dengan
sudah dan akan beroposisi dengan telah. Kedua, partikel sudah dikatakan bermakna perfektif,
sedangkan belum bermakna imperfektif dan akan dikatakan bermakna "future" ucigan
Perlu terlebih dahulu ditegaskan beberapa konsep teori sebagai dasar pembahasan, yaitu konsep-
konsep mengenai temporalitas dan aspektualitas serta hal ihwal yang berkenaan dengan kedua
kategori semantik-fungsional tersebut, khususnya sejauh yang diperlukan bagi pembahasan masalah.
Aspektualitas bersama-sama dengan temporalitas dan modalitas adalah tiga jenis kategori semantik-
fungsional yang berkaitan dengan semantik verba.
Untuk membahas masalah secara substansial dan dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya, kita
mencoba mengamati perilaku sintaksis keempat pattikel itu melalui berbagai konstruksi
pemakaiannya di dalam kalimat.
Dari pembicaraan di atas jelaslah bahwa partikel sudah telah dan belum mengandung makna
gramatikal ganda aspektualitas dan temporalitas. Kasus-kasus pemakaiannya di dalam kalimat
merupakan kasus titik temu (intersection) antara aspektualitas dengan temporalitas. Adapun akan
hanya mengandung satu makna gramatikal. temporalitas. Sehubungan dengan masalah yang
dikemukakan pada awal tulisan (butir 1), semantik keempat partikel tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut.
Dilihat dari segi temporalitas, partikel sudah/telah tidak hanya beroposisi dengan akan, melainkan
juga dengan belum. sudah/telah >< akan/belum
Adapun belum, partikel ini beroposisi dua arah, dengan sudah/telah dan dengan akan.
Dilihat dari segi aspektuallitas, simpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut. Seperti yang
telah disebut di muka, dengan menggunakan istilah aksionalitas, partikel sudah/telah bermakna
kompletif. Akan tetapi, kita dapat juga menggunakan istilah aspek. Seperti yang tampak dalam
berbagai konstruksi pemakaiannya pada kalimat-kalimat di atas, situasi yang digambarkan kedua
partikel itu adalah situasi perfektif. Demikian pula halnya belum, sama seperti sudah/telah situasi
yang digambarkannya adalah juga situasi perfektif, bukan imperfektif seperti kata sementara
pendapat. Dengan demikian, makna aspektualitas ketiga partikel di atas dapat disebut perfektif atau
kompletif.
BAB VII
MAKNA GRAMATIKAL VERBA P-
B. Makna Aspektualitas
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa, selain bermakna lokatif dengan berbagai tafsiran semantis,
seperti yang telah dibicarakan, verba P-i juga mengandung berbagai makna dSPektualitas. Dilihat dari
segi situasi (struktur waktu internal) Yang diungkapkannya, verba P-i yang ber-P verba (periksa T-1 di
muka), ternyata berbeda dari situasi yang digambarkan verba P-nya. Dengan perkataan lain, dalam
perpaduannya dengan verba P, selain membentuk verba bermakna lokatif sufiks -i juga memodifikasi
situasi verba tersebut demikian rupa sehingga dihasilkan bermacam-macam makna aspek_ tualitas,
sesuai dengan keragaman makna aspektualitas inheren verba P-nya masing-masing. Adapun verba P-i
yang ber-p nonverba makna aspektualitasnya berbeda-beda, tergantun pada jenis kategori P-nya.
3. PENUTUP
Makna lokatif pada verba P-i itu, yang manandai hampir keseluruhan verba P-i, kecuali verba P-i
beku, dan kelokatifannya ternyata pada kegramatikalan lima macam tafsiran yang berupa kalimat
yang menggunakan bermacam• macam preposisi yang bermakna lokatif, makna gramatikal itu
adalah makna umum (invarian) yang menandai keseluruhan jenis verba tersebut. Adapun makna
aspektualitas yang bermacam-macam itu ternyata tidaklah arbitrer. Perbedaan• perbedaan makna
aspektualitas itu bersumber dari perbedaan tegori pengisi P dan perbedaan subkelas verba (yang
berbeda satu dari yang lain berdasarkan perbedaan makna aspektualitas inheren verba). perbedaan
tafsiran semantis verba PAj-i dari verba PAjkan merupakan implikasi dari kenyataan bahwa kedua
jenis verba itu memang berbeda; jadi, tidak mungkin sama tafsirannya (bandingkan, a.l, Samsuri,
1976).
“BEBERAPA ASPEK LINGUISTIK INDONESIA”
I. KATA KERJA DENGAN MEN-, MEN-KAN, DAN MEN-I
1. Pendahuluan
Hal yang umum dilakukan dalam menganalisa sistem imbuhan bahasa Indonesia ialah
mendaftar semua awalan, sisipan, dan akhiran dan kemudian memberikan arti dari
semua İni. Sementara kita akili bahwa pendekatan sepertİ İni ada kegunaannya, namun
ia tidak bisa menjelaskan kepada kita dalam keadaankeadaan yang bagaimana suatu
campuran darİ imbuhan-imbuhan tertentu menghasilkan arti yang benefaktif, yang lain
kausatif, dan yang lainnya lagi direktif, dan sebagainya; sepanjang pengetahuan saya
belum ada orang yang mencoba melihat hubungan antara sesama katakerja yang
diturunkan darİ imbuhan-imbuhan ini.
Tulisan ini membicarakan hanya satu kelompok pengimbuhan kata kerja: awalan meN,
dan meN- dalam campurannya dengan akhiran -kan dan -in.
2. Hubungan antara MEN-, -KAN,dan -I.
Tiga istilah akan dipakai disini: ekatransitif, dwitransitif, dan taktransitif. Suatu kta kerja
adalah ekatransitif apabila ia (1) bisa mengambil awalan meN-dalam bentuk aktifnya, (2)
bisa diikuti oleh satu obyek, dan karenanya (3) bisa diubah menjadi bentuk pasif. Kata
kerja dwitransif memenuhi sarat pertama dan ketiga diatas dan bisa diikuti oleh obyek.
Kata kerja taktransitif tidak mempunyai obyek.
3. Kesimpulan
Sebagai kesimpulan bisa kita katakan disini bahwa campuran antara meN-, -kan, dan -I
menimbulkaan tujuh buah subset.
III. PERANAN PENANDA KATON (OVERT MARKERS) DALAM BEBERAPA KALIMAT PASIF BAHASA
INDONESIA DAN JAWA
Tatabahasawan telah lama mempertanyakan apakah ada alasan bisa diterima untuk
mempostulasikanadanya kalimat aktif pasif dalam bahasa Indonesia (dan Jawa) (Alisjahbana,
Fokker, 1960; Mees, 1950;Junus, 1962). Sarjana yang berkebant saan Indonesia, yang
mengenal linguistik melalui sarjana-sarjana Barat, sering "didakwa" memaksakan perbedaan
aktif-pasif pada fenomena yang ada pada bahasa Barat tetapi tidak ada bahasa kitL
Sebaliknya, sarjana Barat, yang menjadi terlalu bet. hati.hati dalam menganalisa bahasa
bukan-Barat, mencoba sekeru tenaga untuk melepaskan dirinya dari pikiran Barat mereka
yang akhirnya telah mungkin menyebabkan mereka tidak melihat fenomena yang
sebenarnya ada. Kelihatannya masalahnya berkisar pada pengertian kita tentaq syarat-syarat
bentuk aktif lawan pasif. Saya usulkan bahwa pembe. daan ini didasarkan pada sintaksis dan
semantik. Secara sintaktik, sebuah kalimat dianggap pasif, apabila ada perubahan morfologis
pada katakerjanya. Dalam bahasa Indonesia dan Jawa perubahan ini terlihat pada bentuk
awalan di- yang menggantikan awalan meN- pada bahasa Indonesia dan N- pada bahasa
Jawal Secara semantik, ada perpindahan fokus di antara konstituen-konstituen dalam kalimat.
Perubahan ini terjadi dengan merubah urutan kata sedemikan rupa sehingga penderita pada
struktur-batin berubah fungsinya menjadi subyek pada struktur-lahir. Ini bisa dilakukan hanya
kalau pada struktur•batin si penderita ini mempunyai fitur yang Oleh Chafe disebut
"informasi lama" (Chafe, 1970: 21 9)• Dalam bahasa Indonesia dan Jawa informasi ini muncul
dalam bentuk subyek-lahir yang definit2 , yang ditandai oleh penanda definit itu (Indonesia)
atau iku (Jawa), atau dalam bentuk subyek•lahir yang takbertanda (unmarked) tapi yang
menyatakan referensi yang umum.
Suatu situasi yang berhubungan dengan hal di atas tetapi yang kali ini memakai katasandang
definit kami sajikan di bawah ini. Katakanlah saja bahwa penutur yang sama ini baru saja
membeli rumah dan dia mau menggambarkan keadaan dapurnya. Dalam ba hasa Inggris dia
berkata The kitchen is good di mana kitchen dida hului oleh katasandang definit meskipun
konsep dari dapur belum pernah dinyatakan sebelumnya. Kemudian waktu dia beralih ke
bahasa Indonesia, kalimat yang dia buat bukannya kalimat yang benar, (5), tetapi kalimat
yang salah,
Sementara kita ketahui bahwa katakerja jenerik tidak memboleh. kan adanya penggolong
atau bentuk jamak, kita lihat bahwa kata. kerja takjenerik malah bertindak sebaliknya. Satu
hal penting yang perlu kita catat segera di sini ialah bahwa meskipun penggolong atau
bentuk jamak bisa dipakai dengan katakerja takjenerik, posisi nya dalam kalimat tidaklah
bebas. Sebuah katakerja takjenerik mengharuskan adanya penggolong, kalau katabenda yang
diiringi penggolong itu adalah subyek: kalau bukan subyek, penggolong ini menjadi
manasuka. Inilah seba`12bnya mengapa kita bisa menerima (15) dan (16), tetapi menolak
(17) dan (18).
Seperti sudah kita nyatakan sebelumnya, katakerja jencrik dalam suatu pernyataan umum
mengharuskan katabenda jencrik yang, dalam bahasa Indonesia, tidak didahului oleh
penggolong. Tetapi, tentu saja katakerja jenerik membolehkan juga hadirnya katabenda
takjencrik seperti terlihat pada (32) dan (33) di bawah ini. (32) Beruang itu suka ikan kami.
(33) Beruang itu suka ikan. Dalam bahasa Indonesia hal ini benar hanya kalau semua kata.
benda yang mengiringinya adalah definit. Tidak kita ragukan bah. wa beruang itu pada
nomor (32) adalah takjenerik dan definit, tetapi ini disebabkan karena ikan kami adalah
takjenerik dan defihit juga. Kalau ikan dibuat takdefinit, seperti pada nomor (33), maka
timbullah dua tafsiran. Pertama, kalimat ini menunjuk pada kelompok bendasebagai
keseluruhan yang tak terbedakan.' Karena itu,sebenarnya tidak ada perbedaan antara (33)
dengan (12) karena kedua-duanya merupakan pernyataan umum. Dalam hal ini itu tidak
harus ada.
DAFTAR PUSTAKA
Alisjahbana, St. Takdir, 1960, Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia, jilid II, PT. Pustaka Rakyat, Djakarta.
Alwi, Hasan, dkk., 1993, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Depdikbud. ›
Barenstsen, A.A., 1973, "K Opisaniju Semantiki Kategorij 'Vid' i 'Vremja'. Na Materiale Sovrementovo
Russkogo Jazyka" 'Tinjauan Tentang Semantik Kategori 'Aspek dan 'Kala'. Atas Dasar Data dari Bahasa
Rusia Modern', Tijdschrift voor Slavische Tall- en Letterkunde, Mouton, The Hague.
Brinton, Laurel J., 1990. The Development of English Aspectual Systems, Cambridge University Press.
Comrie, Bernard, 1978, Aspect. An Introduction to the study of Verbal Aspect and Related Problems,
Cambridge University Press, Cambridge.
Crystal, David, 1966, "Spesification and English Tenses", Journal of Linguistics 2, p. 1-34.
Forsyth, J., 1970, A Grammar of Aspect. Usage and Meaning in the Russian Verb, Cambridge
University Press, Cambridge.
Hollander, J.J. de, 1889, Pedoman Bahasa dan Sastra Melayu, Terjemahan T.W. Kamil, 1983, Balai
Pustaka.
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), 1991, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan - Balai
Pustaka.
Kridalaksana, Harimurti, 1986, Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia, Penerbit Gramedia, Jakarta.
Lyons, John, 1978, Semantics 1 & 2, Cambridge University Press.
Maslov, J.S., 1978, "K Osnovanijam Sopostavitelnoj Aspektologij" 'Tentang Dasar-dasar Aspektologi
Perbandingan"; dl Maslov: Voprosy Sopostavitelnoj Aspektologij, Leningrad
Moeliono, Anton M., 1989, Kembara Bahasa Indonesia. Kumpulan Karangan Tersebar, Penerbit
Gramedia, Jakarta.
Ramlan, M., 1984, Kata Depan atau Preposisi dalam Bahasa Indonesia, Penerbit CV Karyono,
Yogyakarta.
Sibarani, Robert, 1994, Konjungsi Bahasa Batak, Toba: Sebuah Kajian Struktur dan Semantik,
Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Slametmuljana, 1956, Kaidah Bahasa Indonesia 1, Penerbit Djambatan, Jakarta.
----------, 1957, Kaidah Bahasa Indonesia II, Penerbit Djambatan, Jakarta.
Spat, C., 1989 (terjemahan Ikram), Bahasa Melayu Tata Bahasa Selayang Pandang, BP Balai Pustaka.
Steihauer, H., 1990, "Strategi dan Teknik Penelitian Kualitatif dalam Bidang Kebahasaan", dl
Aminuddin, Drs., MPd (ed), Pengembangan Penelitan Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra,
Yayasan Asah Asuh, Malang.
Tadjuddin, Moh., 1993a Pengungkapan Makna Aspektualitas Bahasa Rusia dalam Bahasa Indonesia:
Suatu Telaah tentang Aspek dan Aksionalitas (berasal dari disertasi, 1992) Proyek Penelitian dan
Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Jakarta, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
----------, 1993b, "Makna Aspektualitas Inheren Verba Bahasa Indonesia", Majalah Ilmiah Universitas
Padjadjaran. No.1, Vol. 11.
----------, 1995, "Bentukan se-V dalam Bahasa Indonesia", dl Nusa, Bangsa, dan Bahasa, Penerbit
Pustaka Prima, Bandung. Revisi artikel ini dimuat dalam Telaah Bahasa dan Sastra, Pusat Bahasa,
Depdikbud, 1999. van Wijk, D. Gert, 1985 (terj. T.W. Kamil), Tata Bahasa Melayu, Penerbit Djambatan.