Disusun oleh :
Nafsiatul Faisa
215221362
Puji syukuri kehadirat Allah SWT karena atas segala limpahan rahmat serta hidayahnya
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pancasila sebagai Sistem Filsafat”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pancasila
Penuis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Agam Cendekia, SH., M.KN. selaku
dosen mata kuliah Pancasila
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Maka
dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik untuk membangun
makalah ini lebih baik lagi. Semog makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................
DAFTAR ISI.......................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................
A. Latar Belakang.........................................................................................................
B. Rumusan Masalah....................................................................................................
C. Tujuan......................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................
A. Pengertian Filsafat...................................................................................................
B. Pancasila sebagaii Filsafat.......................................................................................
C. Cara Berpikir Filsafat..............................................................................................
A. Kesimpulan..............................................................................................................
B. Saran........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pancasila adalah dasar filsafat negara Republik Indonesia yang resmi disahkan oleh PPKI
pada tanggal 18 Agustus 1945 dan tercantum dalam pembukaan UUD 1945, diundangkan
dalam Berita Republik Indonesia tahun II No.7 bersama-sama dengan batang tubuh UUD
1945.
Negara adalah lembaga kemasyarakatan dalam hidup bersama. Suatu negara akan hidup
dan berkembang dengan baik manakala negara tersebut memiliki dasar filsafat sebagai
sumber nilai kebenaran, kebaikan, dan keadilan. Pancasila sebagai dasar filsafat negara pada
hakikatnya merupakan suatu sumber nilai bagi bangsa dan negara Indonesia. Maka seluruh
aspek dalam penyelenggaraan negara didasarkan dan diliputi oleh nilai-nilai Pancasila.
Sehingga Pancasila sebagai dasar Filsafat negara pada hakikatnya merupakan asas
kerokhanian negara.
Filsafat merupakan pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-
sebab, asas-asas hukum dan sebagainya dari segala yang ada dalam alam semesta ataupun
mengetahui kebenaran dan arti adanya sesuatu
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian Filsafat?
2. Bagaimana Pancasila sebagai Filsafat itu?
3. Bagaimana cara berpikir Filsafat itu?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetaui pengertian Filsafat
2. Untuk mengetahui bagaimana Pancasila sebagai Filsafat
3. Untuk mengetahui cara berpikir Filsafat
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN FILSAFAT
Istilah “filsafat berasal dari bahasa Yunani, bangsa Yunani yang mula-mula berfilsafat
seperti lazimnya dipahami orang sampai sekarang. Kata ini bersifat majemuk, berasal dari
kata “philos” yang berarti “sahabat” dan kata “sophia” yang berarti pengetahuan yang
bijaksana (wished) dalam bahasa Belanda, atau wisdom kata Inggris, dan hikmat menurut
kata Arab. Maka philosophia menurut arti katanya berarti cinta pada pengetahuan yang
bijaksana, oleh karena itu mengusahakannya. (Gazalba, 1977). Jadi terdapat sedikit
perbedaan arti disatu pihak menyatakan bahwa filsafat merupakan bentuk majemuk dari
“philein” dan “sophos”, (Nasution, 1973) di lain pihak filsafat dinyatakan dalam bentuk
majemuk dari“philos”dan “Sophia” (Gazalba, 1977), namun secara semantis
mengandung makna yang sama.
Dengan demikian istilah filsafat yang dimaksudkan sebagai kata majemuk dari
“philein” dan “sophos” yang mengandung makna mencintai hal-hal yang sifatnya
bijaksana, sedangkan “filsafat” yang merupakan bentuk majemuk dari “philos” dan
“Sophia” Berkonotasi teman dari kebijaksanaan.
Sementara ahli ada yang menyatakan bahwa “shopia” arti yang lebih luas dari
kebijaksanaan. Arti “shopia” meliputi pula kerajinan sampai kebenaran pertama,
“shopia” kadang-kadang juga mengandung makna pengetahuan kata yang luas,
kebijaksanaan. Pertimbangan yang sehat. Kecerdikan dalam memutuskan hal-hal yang
praktis.
Jadi istilah “filsafat” pada mulanya merupakan suatu isilah yang secara umum
dipergunakan untuk menyebutkan usaha ke arah keutamaan mental (the pursuit of mental
exellence) (Ali Mudhofir, 1985).
Di dalam lingkup pengerian filsafat, fisafat memiliki bidang bahasan yang sangat luas
yaitu segala sesuatu baik yang bersifat kongkrit maupun yang bersifat abstrak. Maka untuk
mengetahui lingkup pegertian filsafat, telebih dahalu perlu dipahami objek material dan
formal ilmu filsafat sebagai berikut:
a. Objek material filsafat, yaitu objek pembahasan filsafat yang meliputi segala
sesuatu baik yang bersifat material kongkrit seperti manusia, alam, benda, binatang
dan lain sebagainya, maupun sesuatu yang bersifat abstrak misalnya nilai, ide-ide,
ideologi, moral, pandangan hidup dan lain sebagainya.
b. Objek formal filsafat, adalah cara memandang seseorang peneliti terhadap objek
material tersebut, suatu objek material tertentu dapat ditinjau dari berbagai macam
sudut pandang yang berbeda. Oleh karena itu terdapat berbagai macam sudut
pandang filsafat yang merupakan cabang-cabang filsafat, antara lain dari sudut
pandang nilai terdapat bidang aksiologi, dari sudut pandang pengetahuan terdapat
bidang epistemologi, keberadaan bidang ontologi, tingkah laku baik dan buruk
bidang etika, keindahan bidang estetika dan masih terdapat sudut pandang lainnya
yang lebih khusus misalnya filsafat sosial, filsafat hukum, filsafat bahasa dan
sebagainya. Berdasarkan objek material dan formal ilmu filsafat tersebut maka
lingkup pengertian filsafat menjadi sangat luas. Berikut ini dijelaskan berbagai
bidang lingkup pengertian filsafat :
a. Pengertian filsafat yang mencakup arti-arti filsafat sebagai Jenis pengetahuan, ilmu, konsep
dan dari Para filsuf pada zaman dahulu, teori, Sistem atau tertentu, yang merupakan hasil
dari proses berfilsafat dan yang mempunyai ciri-ciri tertentu.
b. Filsafat sebagai suatu jenis problema yang dihadapi oleh manusia sebagai hasil dari
aktivitas berfilsafat. Filsafat dalam pengertian jenis ini mempunyai ciri-ciri khas
tertentu sebagai suatu hasil kegiatan berfilsafat dan pada umumnya proses
pemecahan persoalan filsafat ini diselesaikan dengan kegiatan berfilsafat (dalam
pengertian filsafat sebagai proses yang dinamis).
2. Filsafat sebagai suatu proses
Dalam hal ini filsafat diartikan dalam bentuk suatu aktivitas berfilsafat, dalam proses
pemecahan suatu permasalahan dengan menggunakan suatu cara dan metode tertentu yang
sesuai dengan objek permasalahannya. Dalam pengertian ini filsafat merupakan suatu
sistem pengetahuan yang bersifat dinamis. Filsafat dalam pengertian ini tidak lagi hanya
hanya merupakan sekumpul dogma yang hanya diyakini, ditekuni dan dipahami sebagai
suatu sistem nilai tertentu, tetapi lebih merupakan suatu aktivitas berfilsafat, Suatu proses
yang dinamis dengan menggunakan suatu cara dan metode tersendiri.
1. Metafisika: yang berkaitan dengan persoalan tentang hakikat yang ada (segala
sesuatu yang ada).
2. Epistemologi: yang berkaitan dengan persoalan hakikat pengetahuan
3. Metodologi: yang berkaitan dengan persoalan hakikat metode ilmiah
4. Logika: yang berkaitan dengan persoalan penyimpulan
5. Etia: yang berkaitan dengan persoalan moralitas
6. Estetika: yang berkaitan dengan persoalan keindahan
B. PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT
Kesatuan sila-sila Pancasila pada dasarnya bukan hanya merupakan kesatuan yang
bersifat formal logis saja, namun juga meliputi kesatuan makna , dasar ontologis, dasar
epistemologis serta dasar aksiologis dari sila-sila Pancasila. Sebagaimana dijelaskan
bahwa kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkis dan mempunyai bentuk
piramidal, digunakan untuk menggambarkan hubungan hierarkis sila-sila Pancasila dalam
urut-urutan luas (kuantitas) dan dalam pengertian inilah hubungan persatuan sila-sila
Pancasila itu dalam arti formal logis. Selain kesatuan sila-sila Pancasila itu hierarki dalam
hal kuantitas juga dalam isi sifatnya yaitu menyangkut makna serta hakikat sila-sila
Pancasila. Kesatuan yang demikian ini meliputi kesatuan dalam hal dasar antologis, dasar
epistemologis, serta aksiologis dari sila-sila Pancasila (lihat Notonagoro. 1980: 61 dan
1975:52, 57). Secara filosofis Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat memiliki,
dasar antologis, dasar epistemologis dan dasar aksiologis sendiri yang berbeda dengan
sistem filsafat yang lainnya misalnya materialisme, liberalisme, pragmatisme, komunisme,
idealisme, dan lain paham filsafat di dunia.
Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat, tidak hanya merupakan kesatuan yang
menyangkut sila-sila saja, melainkan juga meliputi hakikat dasar dari sila-sila Pancasila
atau secara filosofis meliputi dasar antologis (hakikat) sila-sila Pancasila. Pancasila yang
terdiri atas lima sila, setiap sila bukanlah merupakan asas yang berdiri sendiri, melainkan
memiliki satu kesatuan dasar ontologis. Dasar ontologis pancasila pada hakikatnya adalah
manusia yang memiliki hakikat mutlak monopluralis, oleh karena itu hakikat dasar ini
juga disebut sebagai dasar antropologi. Subjek pendukung pokok sila-sila Pancasila
adalah manusia, hal ini dapat dijelaskan bahwa yang berketuhanan yang mahal Esa, yang
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan, yang berkerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta yang yang
berkeadilan sosial pada hakikatnya adalah manusia (Notonagoro, 1975: 23). Demikian
juga jika kita pahami dari segi filsafat negara bahwa Pancasila adalah dasar filsafat
negara, dan pendukung pokok negara adalah rakyat dan unsur rakyat adalah manusia itu
sendiri, sehingga tepatlah jika dalam filsafat Pancasila bahwa hakikat dasar antropologis
sila-sila Pancasila adalah manusia
Manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara antologis memiliki hal-hal
yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga, jiwa jasmani dan rohani, sifat kodrat
manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, serta kedudukan kodrat
manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan yang Maha
Esa. Oleh karena kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan
sebagai makhluk tuhan inilah maka secara hirarkhis sila pertama Ketuhanan yang Maha
Esa mendasari dan menjiwai keempat sila-sila Pancasila yang lainnya (Notonagoro, 1975 :
53).
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya juga berupa suatu sistem
pengetahuan. Dalam kehidupan sehari-hari Pancasila merupakan pedoman atau dasar bagi
bangsa Indonesia dalam memandang realitas alam semesta, manusia, masyarakat, bangsa
dan negara tentang makna hidup serta sebagai dasar bagi manusia dalam menyelesaikan
masalah yang dihadapi dalam hidup dan kehidupan. Pancasila dalam pengertian seperti
yang demikian ini telah menjadi suatu sistem cita-cita atau keyakinan-keyakinan, yang
telah menyangkut praksis, karena dijadikan landasan bagi cara hidup manusia atau suatu
kelompok masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini berarti filsafat telah
menjelma menjadi ideologi (J Abdulgani, 1986
Bangsa Indonesia dalam hal ini merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila. Hari ini
dapat dipahami berdasarkan pengertian bahwa yang berketuhanan, yang berkemanusiaan,
yang berpersatuan, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan serta yang yang berkeadilan sosial pada hakikatnya adalah
manusia. Sebagai pendukung nilai, bangsa Indonesia itulah yang menghargai, mengakui,
menerima Pancasila sebagai suatu dasar-dasar nilai. Pengakuan, Penghargaan dan
penerimaan itu telah menggejala serta termanifestasi dalam sikap tingkah laku dan
perbuatan manusia dan bangsa Indonesia, maka bangsa Indonesia dalam hal ini sekaligus
adalah pengembangan nilai-nilai Pancasila.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mempunyai tingkatan dalam hal kuantitas
maupun kualitas namun nilai-nilai itu merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan
serta saling melengkapi. Hal ini sebagaimana kita pahami bahwa sila-sila Pancasila pada
hakikatnya merupakan suatu kesatuan yang bulat dan utuh atau merupakan suatu kesatuan
organik bertingkat dan berbentuk piramidal. Nilai-nilai itu berhubungan secara erat dan
nilai-nilai yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lainnya, sehingga nilai-nilai itu
masing-masing merupakan bagian yang integral dari suatu sistem nilai yang dimiliki
bangsa Indonesia, yang akan memberikan Pola atau patroon bagi sikap, tingkah laku dan
dan berbuat bangsa Indonesia. Pancasila merupakan suatu sistem nilai yang dapat dilacak
dari sila-sila Pancasila, yang merupakan suatu. sistem. Sila-sila itu merupakan suatu
kesatuan organik. Antara sila satu dan lainnya dalam Pancasila itu saling mengkualifikasi,
saling berhubungan dan saling berkaitan dengan erat. Adanya sila yang mengkualifikasi
adanya sila lainnya. Dalam pengertian yang demikian ini pada hakikatnya Pancasila itu
merupakan suatu sistem nilai, dalam artian bahwa bagian-bagian atau sila-silanya saling
berhubungan secara erat membentuk suatu struktur yang menyeluruh
C. CARA BERPIKIR FILSAFAT
Berfilsafat ialah berpikir, namun semua yang berpikir belum tentu dikatakan berfilsafat.
Berpikir non fiilsafat dibedakan menjadi dua yaitu :
1. Berpikir tradisional
Contoh berpikir tradisional, misal dalam bidang penyembuhan: jika ada anak yang sakit
Gondongen (pembengkakan pada leher), secara spontan orangtuanya segera mencarikan buah
pace, kemudian dikalungkan pada leher si anak, tanpa berpikir panjang, orangtua berbuat
demikian, karena hal tersebut merupakan kebiasaan atau tradisi yang diwariskan oleh nenek
moyang mereka dan yang terpenting si anak tersebut dapat sembuh dari penyakitnya. Hal
semacam ini banyak dijumpai dalam kehidupan bermasyarakat khususnya pada masyarakat
Jawa.
2. Berpikir ilmiah
Berpikir ilmiah ialah berpikir dengan menggunakan dasar-dasar atau suatu aturan-
aturan pemikiran ilmiah, seperti metodis, sestematis, objektif, dan juga umum.
a. Metodis yaitu menggunakan metode, cara, jalan lazim yang digunakan dalam disiplin
ilmu yang dibicarakan.
b. Setematis yaitu dalam berpikir,setiap unsursaling berkaitan satu sama lain secara
teratur dalam suatu keseluruhan, sehingga dapat tersusun suatu pola pengetahuan
yang rasional.
c. Obyektif yaitu kebenaran dari hasil peikiran yang memperoleh bobot obyektif, dan
tidak lagi bersifat subyektif
d. Umum yaitu tingkat kebenaran yang mempunyai bobot obyektif tersebut dapat
berlaku umum, dimana saja dan kapan saja.
Pemikikran kefilsafatan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Koheren, dalam unsurnya tidak boleh memuat uraian yang bertentangan antara
satu dengan yang lain, namun memuat uraian yang logis.
2. Rasional, harus berdasarkan pada kaidah pemikiran yang benar ataupun logis.
3. Komprehensif, berpikir secara menyeluruh, artinya melihat objek, tidak hanya
melihat dari satu sisi sudut pndang, melainkan secara multidimensional.
4. Radikal, berpikir secara mendalam, sampai ke akar-akarnya paling ujung, artinya
saling menyentuh akar pada akal persoannya.
5. Universal, muatan kebenarannya sampai tingkat umum universal, mengarah pada
pandangan dunia, mengarah pada realitas hidup dan realitas kehidupan manusia
secara keseluruhan.
Beberapa metode berpikir (berfilsafat) yang telah dirumuskan oleh Dr. Anton Bakker
dalam bukunya, diantaranya:
Plotinus (205-270) ia sendiri mengaku sebagai pengikut ajaran Plato, maka alirannya
dikenal dengan nama neo-platonisme. Plotinus seorang mistikus yang mempunyai
pengalaman langsung secara pribadi akan rahasia ilahi. Tetapi pemikirannya benar-
benar bersifat metafisik, merupakan filsafat sistematis dan bukan berdasarkan wahyu.
Tingkat-tingkat dan penghayatan-penghayatan kesatuan dengan “yang mutlak”di ungkapkan
dengan kategori-kategori intelektual dan spekulatif.
Filsafat Bergson bersifat spritualistis, ia akan menyelami kegiatan spritual intern di dalam
individu yang kongkret, tetapi dengan cara ilmiah, suatu cara yang membangkitkan lebih
dapat di pertanggungjawabkan.
Berpikir secara filsafat juga dapat diartikan sebagai berpikir yang sangat mendalam sampai
hakikat, atau berpikir secara global ataupun menyeluruh, atau juga berpikir dapat dilihat dari
berbagai sudut pandang pemikiran atau sudut pandang ilmu pengetahuan. Berpikir yang
demikian ini sebagai cara untuk dapat berpikir secara tepat dan benar serta dapat di
pertanggungjawabkan. Hal ini harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Harus sistematis.
Pemikiran yang sistematis ini maksudnya untuk menyusun suatu pola pengetahuan
yang rasional. Sistematis adalah masing-masing unsur saling berkaitan satu sama lain secara
teratur dalam suatu keseluruhan. Sestematis pemikiran seorang filosofis banyak dipengaruhi
oleh keadan dirinya, lingkungan, zamannya, pendidikan, dan sistem pemikiran yang
mempengaruhi.
2. Harus konsepsional.
Secara umum istilah konsepsional berkaitan dengan ide (gambar) atau gambaran yang
melekat pada akal pikiran yang berada dalam intelektual. Gambaran tersebut mempunyai
bentuk tangkapan sesuai dengan riilnya. Sehingga maksud dari kata konsepsional tersebut
sebagai upaya untuk menyusun suatu bagian yang terkonsepsi (jelas).karena berpikir secara
berfilsafat sebenarnya berpikir tentang hal dan prosesnya.
3. Harus koheran.
Koheran atau runtut yaitu suatu unsur yang tidak boleh mengandung uraian –uraian
yang bertentangan satu sama lain. Koheran atau runtut ini didalamnya memuat suatu
kebenaran logis. Sebaliknya, apabila suatu uraian yang didalamnya tidak memuat kebenaran
logis, uraian tersebut dikatakan sebagai uraian yang tidak koheran/runtut.
4. Harus rasional.
5. Harus sinoptik.
Sinoptik artinya pemikiran filsafat harus melihat hal-hal secara menyeluruh atau
dalam kebersamaan secara integral.
6. Harus mengarah kepada pandangan dunia.
Maksudnya adalah pemikiran filsafat sebagai upaya untuk memahami semua realitas
kehidupan dengan jalan menyusun suatu pandangan (hidup) dunia, termasuk didalamnya
menerapkan tentang dunia dan semua hal yang berada di dalamnya (dunia).
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Filsafat merupakan pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-
sebab, asas-asas hukum dan sebagainya dari segala yang ada dalam alam semesta ataupun
mengetahui kebenaran dan arti adanya sesuatu. Kesatuan sila-sila Pancasila pada
dasarnya bukan hanya merupakan kesatuan yang bersifat formal logis saja, namun juga
meliputi kesatuan makna , dasar ontologis, dasar epistemologis serta dasar aksiologis dari
sila-sila Pancasila. Sebagaimana dijelaskan bahwa kesatuan sila-sila Pancasila adalah
bersifat hierarkis dan mempunyai bentuk piramidal, digunakan untuk menggambarkan
hubungan hierarkis sila-sila Pancasila dalam urut-urutan luas (kuantitas) dan dalam
pengertian inilah hubungan persatuan sila-sila Pancasila itu dalam arti formal logis. Selain
kesatuan sila-sila Pancasila itu hierarki dalam hal kuantitas juga dalam isi sifatnya yaitu
menyangkut makna serta hakikat sila-sila Pancasila. Kesatuan yang demikian ini meliputi
kesatuan dalam hal dasar antologis, dasar epistemologis, serta aksiologis dari sila-sila
Pancasila (lihat Notonagoro. 1980: 61 dan 1975:52, 57). Secara filosofis Pancasila
sebagai suatu kesatuan sistem filsafat memiliki, dasar antologis, dasar epistemologis dan
dasar aksiologis sendiri yang berbeda dengan sistem filsafat yang lainnya misalnya
materialisme, liberalisme, pragmatisme, komunisme, idealisme, dan lain paham filsafat di
dunia. Cara berpikir filsafat yaitu dengan metode intuitif dan metode Henri Bergson.
B. SARAN
Harefa, A. (2011). Implementasi Pancasila sebagai dasar filsafat dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Didaktik: Jurnal Ilmiah Pendidikan, Humaniora, Sains, dan
Pembelajarannya, 5(2), 437-451.