Anda di halaman 1dari 19

SISTEM INTEGUMEN (https://lmsspada.kemdikbud.go.id/mod/page/view.php?

id=93463)

Integumen berasal dari kata “integumentum” yang artinya penutup. Sistem integumen
mengarah pada struktur kulit dan aksesorisnya dan merupakan  sistem organ terbesar pada
tubuh manusia. Aksesori yang dimaksud yaitu kuku, rambut, dan kelenjer. Pada tubuh
manusia dewasa, berat kulit pada kurang lebih sama dengan 16 persen dari berat tubuh
manuasia.  Anda mungkin beranggapan bahwa kulit bukan organ, tapi pada dasarnya kulit
terbuat dari beberbagai jenis jaringan yang bekerja bersama membentuk suatu struktur yang
melakukan fungsi tertentu. Kulit dan aksesorisnya merupakan sistem integumen, yang
berperan dalam perlindungan menyeluruh bagi tubuh. Kulit terbuat dari beberapa lapisan sel
dan jaringan, yang diikat oleh struktur yaitu jaringan ikat. Pada pokok pembahasan ini akan
dibahas tentang struktur kulit, rambut, kuku dan kelenjar

LUKA (http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?
article=1452021&val=1386&title=Proses%20Penyembuhan%20dan%20Perawatan%20Luka
%20%20Review%20Sistematik)

Luka akut merupakan cedera jaringan yang dapat pulih kembali seperti keadaan normal
dengan bekas luka yang minimal dalam rentang waktu 8-12 minggu. Penyebab utama dari
luka akut adalah cedera mekanikal karena faktor eksternal, dimana terjadi kontak antara kulit
dengan permukaan yang keras atau tajam, luka tembak, dan luka pasca operasi. Penyebab lain
luka akut adalah luka bakar dan cedera kimiawi, seperti terpapar sinar radiasi, tersengat
listrik, terkena cairan kimia yang besifat korosif, serta terkena sumber panas

Luka kronik merupakan luka dengan proses pemulihan yang lambat, dengan waktu
penyembuhan lebih dari 12 minggu dan terkadang dapat menyebabkan kecacatan. Ketika
terjadi luka yang bersifat kronik, neutrofil dilepaskan dan secara signifikan meningkatkan
ezim kolagenase yang bertnggung jawab terhadap destruksi dari matriks penghubung
jaringan.3 Salah satu penyebab terjadinya luka kronik adalah kegagalan pemulihan karena
kondisifisiologis (seperti diabetes melitus (DM) dan kanker), infeksi terus-menerus, dan
rendahnya tindakan pengobatan yang diberikan.

Mengenal Derajat Luka Bakar dan Gejalanya


(https://www.alodokter.com/mengenal-derajat-luka-bakar-dan-perawatannya )

Derajat luka bakar dapat diklasifikasikan menjadi tiga tingkat, yakni tingkat 1, 2, dan 3.
Setiap derajat luka bakar dinilai berdasarkan tingkat keparahan dan kerusakan yang terjadi
pada kulit. Berikut ini adalah derajat luka bakar berdasarkan tingkat keparahannya:

Derajat luka bakar tingkat 1 (superficial burn)

Pada luka bakar tingkat 1, kerusakan hanya terjadi di epidermis atau lapisan kulit luar. Ciri-
ciri yang ditimbulkan pada derajat luka bakar tingkat 1 adalah kulit tampak merah, kering,
dan terasa sakit. Luka bakar tingkat 1 dapat disebabkan oleh paparan sinar matahari. Luka
bakar ini tidak terlalu mengkhawatirkan dan bisa sembuh dengan sendirinya.

Derajat luka bakar tingkat 2 (superficial partial-thickness burn)


Derajat luka bakar tingkat 2 terjadi pada epidermis dan sebagian lapisan dermis (lapisan kulit
yang lebih dalam). Ketika mengalami luka bakar tingkat 2, kulit tampak merah, lecet,
melepuh, bengkak, dan menimbulkan nyeri hebat. Luka bakar tingkat 2 dapat terjadi ketika
kulit bersentuhan sebentar dengan benda panas. Luka bakar ini bisa ditangani dengan
beberapa metode pengobatan tanpa operasi atau bedah, termasuk mengoleskan salep
antibiotik sesuai anjuran dokter.

Derajat luka bakar tingkat 3 (full thickness burn)

Kerusakan jaringan pada derajat luka bakar tingkat 3 mengenai seluruh lapisan epidermis dan
dermis, atau lebih dalam lagi. Kulit yang mengalami luka bakar tingkat 3 tampak putih, tetapi
juga dapat terlihat hangus, kasar, dan mati rasa. Operasi atau bedah menjadi pilihan utama
untuk menangani luka bakar ini.

Selain 3 kategori di atas, luka bakar juga dapat digolongkan menjadi 2 kelompok, yakni:

 Luka bakar minor, terdiri dari luka bakar tingkat 1 di bagian tubuh manapun dan luka
bakar tingkat 2 yang lebarnya 5–7,5 cm
 Luka bakar mayor, terdiri dari luka bakar tingkat 3 serta luka bakar tingkat 2 pada
tangan, kaki, wajah, alat kelamin, dan bagian tubuh lainnya dengan lebar luka lebih dari
5–7,5 cm

Dibandingkan dengan luka bakar tingkat 1 dan 2, derajat luka bakar tingkat 3 lebih berisiko
menimbulkan komplikasi, seperti infeksi, kehilangan darah, syok, bahkan menyebabkan
kematian. Luka bakar yang parah juga berisiko menyebabkan hipotermia dan hipovolemia.

TATA LAKSANA LUKA (https://www.alomedika.com/penyakit/bedah-


plastik/luka-bakar/penatalaksanaan)

Penatalaksanaan Awal

Pertolongan pertama pasien luka bakar sebelum dirujuk ke rumah sakit harus segera
dilakukan. Sebelum memulai penatalaksanaan, perlu diingat perlindungan diri bagi penolong,
khususnya bagi penolong yang berada di tempat kejadian.

Pajanan seperti api atau listrik harus dipastikan tidak ada lagi atau diminimalisir oleh alat
pelindung diri saat penolong masuk. Seringkali korban cedera elektrik mengalami gangguan
kardiak seperti aritmia, sehingga dapat digunakan defibrilator apabila tersedia.[1-3,10]

Penatalaksanaan Lanjutan

Penatalaksanaan lanjutan dimulai dari penatalaksanaan kegawatdaruratan hingga manajemen


luka.

Resusitasi Jalan Napas

Jika pada penilaian awal terdapat masalah pada airway, harus segera dilakukan resusitasi
jalan napas. Resusitasi jalan napas bertujuan untuk mengamankan jalan napas dan perawatan
jalan napas. Patensi jalan napas dapat dilakukan menggunakan intubasi, krikotiroidotomi,
ataupun trakeostomi.

Setelah jalan napas berhasil diamankan, perawatan jalan napas perlu dilakukan dengan cara:

Periodic suction

Pemberian oksigen2-4 liter/menit yang mengandung uap air (humidified) untuk mencegah
sekret di saluran napas terlalu kental. Apabila pasien diintubasi, titrasi oksigen untuk menjaga
saturasi di atas 94% atau pO2 100 mmHg

Bronchoalveolar lavage atau bilas bronkus dapat dilakukan apabila diperlukan. Baku emas
tindakan ini adalah dengan menggunakan bronkoskopi[1-3,10]

EskarotomI

Eskarotomi merupakan penatalaksanaan lanjut untuk pernapasan terkait dengan adanya


gangguan ekspansi toraks akibat luka bakar melingkar atau adanya eskar di daerah dada atau
abdomen. Eskaratomi dilakukan dengan melakukan sayatan menembus eskar hingga keluar
darah (pertanda sudah mencapai sub-eskar).[1-4,10]

Resusitasi Cairan

Resusitasi cairan dilakukan setelah penanganan airway dan breathing selesai. Prinsip
resusitasi cairan adalah penggantian volume secara adekuat dalam waktu singkat. Untuk
mencapai resusitasi cairan yang cukup dapat digunakan beberapa jalur intravena sekaligus.
Pasang kateter untuk memantau urine output.[1]

Resusitasi Cairan Berdasarkan Prinsip Parkland:

Resusitasi cairan berdasarkan prinsip Parkland digunakan untuk luka bakar sedang atau luas
luka bakar <25% tanpa syok. Rumus menghitung kebutuhan cairan 24 jam berdasarkan
Parkland adalah 4 ml per kgBB per luas % luka bakar

Pada 24 jam pertama, 50% diberikan pada 8 jam pertama dan 50% diberikan pada 16 jam
berikutnya. Pada 24 jam kedua, kebutuhan cairan diberikan secara merata.[1-3,9,10]

Resusitasi Syok:

Pada pasien dengan luka bakar berat yang mengalami syok, maka resusitasi cairan mengikuti
prinsip resusitasi syok. Bila volume sirkulasi yang hilang > 25% syok hipovolemik akan
terjadi. Cairan kristaloid dapat diberikan di awal sesuai jumlah volume sirkulasi. Pada kasus
resusitasi masif, sebaiknya menggunakan koloid non-protein. Untuk kebutuhan resusitasi
yang lebih besar, maka dapat diberikan plasma expander seperti HES 10%.[1-3,9,10]

Cairan Anak:
Untuk pasien anak, perhitungan pemberian cairan menggunakan rumus Parkland ditambah
jumlah cairan rumatan mengandung Na+ 1-2 mEq/kg/24 jam dan glukosa 4-5 mg/kg berat
badan/menit. Pada pasien neonatus, glukosa dapat diberikan hingga 8 mg/kg/menit.

Pada pasien anak, jumlah cairan yang diberikan pasca resusitasi fase akut 24 jam pertama
adalah 100 ml/kg untuk 10 kg pertama, ditambah 50 ml/kg untuk 10 kg kedua, dan ditambah
20 ml/kg untuk 10 kg berikutnya.

Pembersihan Luka dan Debridement

Pada luka bakar yang bersih, lakukan pembersihan luka bakar degan lembut untuk mencegah
cedera lapisan di bawah epidermis yang berperan dalam proses regenerasi. Pada luka bakar
terkontaminasi, lakukan pembersihan luka bakar secara agresif untuk menghilangkan lapisan
biofilm pada luka.

Pada umumnya, jenis cairan apapun dapat digunakan untuk proses pembersihan luka bakar.
Pada pembersihan luka bakar terinfeksi dengan lapisan biofilm yang terlihat jelas, dapat
digunakan antiseptik topikal setelah irigasi.

Kolonisasi serta pembentukan lapisan biofilm pada jaringan luka bakar berpotensi memicu
terjadinya infeksi. Selain itu, walaupun tidak terdapat kolonisasi bakteri, eskar itu sendiri
dapat memicu inflamasi berlebihan sehingga tindakan debridement adalah salah satu langkah
penting dalam manajemen luka bakar.[1,5,6,11]

Hydrosurgery

Saat ini terdapat teknik debridement hydrosurgery yang menggunakan sistem penyemprotan
dengan air bertekanan tinggi. Teknik ini memungkinkan lapisan kulit yang terkena luka bakar
terlepas tanpa merusak lapisan kulit sehat. Oleh karena itu, banyak yang menilai teknik
debridement hydrosurgery lebih baik dibandingkan teknik debridement konvensional dengan
pisau bedah sehingga diharapkan pemulihan pasien lebih cepat.

Kontrol Infeksi

Selain debridement, langkah penting dalam manajemen luka bakar adalah kontrol infeksi.
Beberapa cara untuk mencegah infeksi pada luka bakar adalah eksisi dini, skin graft, serta
penggunaan antibiotik sistemik pada pasien dengan luka bakar dalam. Selain itu, prosedur
eksisi tangensial, serta split thickness skin graft (STSG) dapat dilakukan untuk menurunkan
inflamasi, infeksi, sepsis, dan menurunkan lama rawat pasien.[1]

Bula Pada Luka Bakar

Bula yang telah ruptur dibersihkan hingga tidak ada jaringan tersisa. Untuk bula yang belum
ruptur, dapat dipecahkan ataupun cairan bulanya diaspirasi.[12

Agen Antimikrobial
Terdapat banyak pilihan agen antimikrobial untuk wound dressing. Perak sulfadiazine 1%
sering digunakan, begitu pula antibiotik dan klorheksidin. Kompres kassa (fine mesh) paling
sering digunakan, walaupun di beberapa negara maju menggunakan kompres hidrokoloid.[9-
11]

Dalam penggunaan antibiotik sistemik Kementerian Kesehatan Republik Indonesia


(Kemenkes RI) menyarankan untuk melakukan pemberian antibiotik sistemik pada pasien
luka bakar berdasarkan pola resistensi antibiotik. Walau demikian, Kemenkes RI tidak
menyarankan untuk dilakukan pemberian antibiotik sistemik profilaksis pra bedah pada
pasien luka bakar karena berpotensi menyebabkan terjadinya multidrug resistant organism
(MDRO).[1]

Balutan Luka Bakar

Saat ini terdapat banyak jenis pembalut luka yang memiliki karakteristik, kekurangan, serta
kelebihan masing–masing. Balutan luka tradisional, seperti kassa dengan parafin memiliki
kekurangan yaitu sifatnya yang adhesif dan oklusif sehingga menimbulkan nyeri ketika
dilakukan penggantian balutan. Selain itu, pembalut luka ini rentan memicu pertumbuhan
bakteri.

Contoh pembalut luka modern adalah Transparent Film Dressing, Foam Dressing, Hydrogel,
maupun Nanocrystalline Silver. Pembalut luka modern biasanya lebih mudah dipakai, tidak
nyeri, bersifat bacterial barrier, serta lebih lembab dan hangat sehingga mampu mempercepat
proses penyembuhan luka.[1,6]

Balutan Luka Bakar Dangkal

Menurut panduan yang dikeluarkan Kemenkes RI, luka bakar dangkal (derajat 2A) dapat
dibalut menggunakan film dressing. Ini karena jenis balutan tersebut dapat menutup area luas,
mempermudah proses evaluasi kedalaman luka tanpa harus membuka balutan, serta tidak
nyeri ketika dilakukan penggantian balutan.[1]

Balutan Luka Bakar Dalam

Pada luka bakar dalam (derajat 2B), dapat digunakan kassa parafin atau salep antimikrobial
sesuai dengan pola kuman. Obat topikal yang dapat digunakan mencakup perak sulfadiazine
dan krim gentamicin. Salep mupirocin dapat dipilih untuk bakteri jenis Methicillin-resistant
Staphylococcus aureus (MRSA). Pilihan lain adalah penggunaan nanocrystal silver untuk
luka bakar dalam derajat 2B dan 3 dengan eskar tipis.[1]

Penggantian Balutan

Beberapa kriteria penggantian balutan antara lain terlepasnya balutan dengan sendirinya,
adanya kebocoran eksudat, terdapat cairan tembus pada balutan, pasien mengalami demam,
terdapat bau busuk, dan pembengkakan pada jaringan perifer. Pada luka bakar derajat 3
dengan eskar yang tebal, dapat dilakukan eskarotomi dini untuk mencegah kolonisasi bakteri
dan respon inflamasi berlebih.[1]
Kriteria Balutan Ideal

Saat ini belum ditemukan jenis balutan yang paling ideal untuk luka bakar. Namun,
Kemenkes RI menuliskan bahwa International Society for Burn Injuries (ISBI) menyebutkan
beberapa kriteria ideal balutan pada pasien luka bakar, yaitu:

 Optimal untuk penyembuhan luka dan lembab


 Memungkinkan pertukaran oksigen, karbon dioksida, dan uap air
 Bersifat isolasi termal dan kedap mikroorganisme
 Bebas partikel non-adherent, steril
 Aman, dapat diterima pasien, mudah didapat, dan cost-effective
 Memiliki sifat penyerapan yang tinggi
 Memungkinkan pemantauan luka
 Memberikan perlindungan mekanik
 Membutuhkan pergantian yang jarang
 Dapat digunakan untuk mengurangi waktu dressing[1]

Luka Bakar Listrik

Luka bakar listrik dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu voltase rendah (< 1000 V, listrik
rumah tangga), voltase tinggi (> 1000 V, kabel tegangan tinggi), dan cedera petir. Luka bakar
listrik voltase rendah jarang melibatkan jaringan dalam. Pada luka bakar listrik voltase tinggi
dapat timbul kerusakan otot dengan rhabdomyolysis dan sindrom kompartemen. Pada luka
bakar akibat petir, dapat terjadi kerusakan kornea, perforasi membran timpani, dan
respiratory arrest.

Pada luka bakar listrik, pasien berpotensi memiliki kebutuhan cairan yang lebih banyak dari
luka bakar yang tampak akibat adanya kerusakan otot. Apabila terdapat pigmentasi urine,
tingkatkan resusitasi hingga urine output sebanyak 70–100 ml/jam pada pasien dewasa dan 2
ml/kg/jam pada anak. Apabila target urine output tidak tercapai, tingkatkan resusitasi dengan
cara menambahkan 12,5 gram manitol untuk setiap liter cairan yang dibutuhkan. Laukan
pemantauan EKG rutin pada pasien dengan trauma listrik.[1]

Luka Bakar Kimia

Terapi awal pada luka bakar kimia adalah melepaskan pakaian terkontaminasi dan
membersihkan zat kimia bubuk. Terapi harus dimulai dalam 10 menit pasca kontak. Pada
luka bakar asam, lakukan irigasi dengan air mengalir. Pada luka bakar basa, lakukan irigasi
lebih lama dibandingkan luka bakar asam (setidaknya 1 jam).[1]

Rehabilitasi
Beberapa fokus rehabilitasi pasca luka bakar adalah mencegah dan memperbaiki atrofi otot,
lingkup gerak sendi, ankilosis, dan pemulihan kondisi jantung paru. Rehabilitasi juga perlu
mencakup penanganan ulkus dekubitus akibat imobilisasi, pemberian terapi tambahan untuk
pemulihan luka bakar, serta penatalaksanaan kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari
hari.[1]

KEJANG (https://www.halodoc.com/kesehatan/kejang )
Kejang adalah suatu kondisi saat sel otak tidak berfungsi dan mengirimkan sinyal listrik
secara tidak terkendali. Kejang bisa dialami oleh siapa saja, bahkan beberapa orang bisa
rentan mengalami kejang akibat beberapa penyebab. Kejang umumnya berlangsung dari 30
detik hingga dua menit. Sebaiknya waspada terhadap kejang yang berlangsung lebih dari lima
menit. Hal ini menandakan adanya kondisi darurat yang perlu diatasi secara medis. Kondisi
ini dapat diatasi sesuai dengan penyebabnya. Namun, tidak ada salahnya untuk mencegah
kondisi ini terjadi secara terus menerus untuk menghindari berbagai komplikasi yang
mungkin terjadi.

KRITERIA KEJANG (https://www.rssiagaraya.com/artikel/kejang-demam/ )


Menurut Livingstone, ada 2 golongan kejang demam yaitu (1) kejang demam sederhana dan
(2) epilepsi yang dicetuskan demam.
Kriteria kejang demam sederhana adalah :
1. Usia antara 6 bulan hingga 4 tahun
2. Serangan kejang hanya sebentar, tidak lebih dari 15 menit.
3. Kejang bersifat umum (seluruh tubuh)
4. Kejang timbul dalam 24 jam pertama sesudah timbulnya demam / panas tinggi
5. Pemeriksaan susunan saraf sebelum dan sesudah kejang tidak menunjukkan kelainan
6. Pemeriksaan otak (EEG) yang dilakukan minimal 1 minggu setelah suhu tubuh normal
tidak menunjukkan kelainan
7. Frekuensi bangkitan kejang tidak lebih dari 4 kali dalam 1 tahun.
Bila satu atau lebih kriteria tersebut tidak terpenuhi atau timbulnya kejang pada suhu yang
lebih rendah, maka digolongkan dalam epilepsi yang dicetuskan demam.

KLASIFIKASI KEJANG
(https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/09/Bahan-Ajar-1-_-Kejang.pdf )

Kejang telah di klasifikasikan dalam beberapa klasifikasi berdasarkan etiologi


baik itu idiopatik (primer) atau gejala (sekunder). Klasifikasi kejang pertama kali
diusulkan oleh Gastaut pada tahun 1970 dan kemudian disempurnakan berulang kali
oleh International League Againts Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981, dengan
klasifikasi sebagai berikut.
1. Kejang Parsial (fokal)
1.1. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
1.1.1. Dengan gejala motorik
1.1.2. Dengan gejala sensorik
1.1.3. Dengan gejala otonomik
1.1.4. Dengan gejala psikik
1.2. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
1.2.1. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
1.2.1.1. Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
1.2.1.2. Dengan automatisme
1.2.2. Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang
1.2.2.1. Dengan gangguan kesadaran saja
1.2.2.2. Dengan automatisme
1.3. Kejang parsial yang menjadi umum (tonik-klonik, tonik atau klonik)
1.3.1. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum
1.3.2. Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum
1.3.3. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan
berkembang menjadi kejang umum
2. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)
2.1. lena/ absens
2.2. mioklonik
2.3. klonik
2.4. tonik
2.5. tonik-klonik
2.6. atonik/ astatik
3. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan

TATA LAKSANA DAN OBAT KEJANG


(https://www.alomedika.com/penyakit/kesehatan-anak/kejang-demam/penatalaksanaan)

Penatalaksanaan kejang demam dibagi menjadi tata laksana akut saat anak sedang kejang,
tata laksana rumatan, dan tata laksana pencegahan kejang demam berulang. Tata laksana akut
umumnya menggunakan antikonvulsan diazepam, yang dapat diberikan intravena atau per
rektal.[1,17]

Tata Laksana Akut Saat Kejang


Manajemen awal untuk anak yang datang dalam keadaan kejang demam adalah:

Diazepam intravena, dosis 0,3−0,5 mg/kgBB, diberikan bolus secara perlahan 1−2 mg/menit
atau sekitar 3−5 menit. Dosis maksimal 20 mg
Diazepam rektal yang dapat diberikan bila belum terpasang akses intravena atau pasien masih
di rumah, diberikan dengan dosis 0,5−0,75 mg/kgBB. Dosis dapat diberikan 5 mg untuk BB
<10 kg dan 10 mg untuk BB >10 kg[1,17]
Di rumah, diazepam rektal dapat diberikan 2 kali dengan jarak waktu 5 menit. Jika kejang
masih belum berhenti, maka anjurkan anak untuk dibawa ke rumah sakit dan diberikan
diazepam intravena.[1,17]
Bila kejang belum berhenti setelah tata laksana awal, maka lanjutkan dengan:
Fenitoin intravena, dosis awal 10‒20 mg/kgBB/pemberian, dengan kecepatan 1
mg/kgBB/menit atau <50 mg/menit
Bila kejang belum berhenti juga, maka anak dirujuk perawatan di ruang intensif untuk
diberikan obat-obatan anestesi[1,17]
Setelah kejang berhenti, tata laksana lanjutan yang diberikan:
Fenitoin intravena kembali diberikan dengan dosis 4‒8 mg/kgBB/hari pada waktu 12 jam
setelah dosis awal[1,17]
Tata Laksana Rumatan
Tidak semua anak kejang demam membutuhkan tata laksana rumatan. Berdasarkan
konsensus penatalaksanaan kejang demam dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), tata
laksana rumatan diberikan sampai tercapai 1 tahun periode bebas kejang, dan diberhentikan
bertahap (tapering off) dalam waktu 1‒2 bulan.
Tata laksana rumatan disarankan oleh IDAI untuk kejang demam yang berpotensi menjadi
epilepsi atau kejang demam kompleks. Kriteria pemberian tata laksana rumatan adalah jika
ditemukan salah satu kondisi berikut:
Kejang demam kompleks
Timbulnya kelainan neurologis sebelum atau sesudah kejang, misalnya paresis Todd,
hemiparesis, palsi serebral, hidrosefalus, dan retardasi mental
Kejang >2 kali dalam 24 jam, atau dialami anak usia <12 bulan, atau lebih sama dengan 4
kali kejadian kejang demam dalam 1 tahun (dipertimbangkan)[1]
Obat-Obat antikonvulsan rumatan yang dapat diberikan adalah:
Asam Valproat: dosis 15‒40 mg/kgBB/hari, diberikan dalam 2‒3 dosis, tetapi memiliki risiko
gangguan fungsi hati terutama pada usia <2 tahun

Fenobarbital: dosis 3‒4 mg/kgBB/hari, diberikan dalam 1‒2 dosis. Penggunaan setiap hari
meningkatkan risiko terjadinya kesulitan belajar dan gangguan perilaku[1,14]
Tata Laksana Intermiten/Pencegahan
Konsensus penatalaksanaan kejang demam dari IDAI, tata laksana intermiten merupakan
terapi antikonvulsan pencegahan pada anak demam. Terapi intermiten diberikan pada anak
demam dengan indikasi berikut:
Kelainan neurologis berat, seperti palsi serebral
Kejang berulang >4 kali dalam 1 tahun
Kejang pada usia <6 bulan
Kejang terjadi pada suhu <39°C
Kejang dengan peningkatan suhu cepat pada kejang demam sebelumnya[1]
Pilihan obat untuk terapi intermiten yang diberikan saat anak mengalami demam adalah:
Diazepam peroral: dosis 0,3 mg/kgBB/kali, sebanyak 3 kali/hari
Diazepam per rektal: dosis 0,5 mg/kgBB/kali, sebanyak 3 kali/hari
Terapi ini hanya diberikan pada 48 jam pertama demam[1]
Berdasarkan analisis keuntungan dan kerugian, pemberian obat-obatan antikonvulsan tidak
direkomendasikan pada pasien kejang demam sederhana, walaupun terjadi >1 kali.
Pemberian antikonvulsan yang terus menerus sebagai tata laksana rumatan (fenobarbital,
asam valproat) atau sebagai terapi intermiten (diazepam) memang efektif untuk mencegah
kejadian kejang demam.[3,4,18]
Namun, perlu dipertimbangkanan efek samping obat yang dianggap lebih berbahaya bila
dibandingkan dengan risiko yang terjadi akibat kejang demam sederhana. Oleh sebab itu,
diperlukan pertimbangan yang baik sebelum memberikan terapi intermiten atau rumatan.
[3,4,18]
Tata Laksana Antipiretik
Pemberian obat antipiretik berfungsi untuk meningkatkan kenyamanan anak. Antipiretik yang
dianjurkan IDAI untuk anak adalah:
Paracetamol: dosis 10‒15 mg/kgBB/kali, peroral dapat diberikan sampai 4 kali sehari
Ibuprofen: dosis 5‒10 mg/kgBB/kali, peroral dapat diberikan 3‒4 kali sehari[1]
Pemberian antipiretik tidak dapat menurunkan rekurensi kejang pada periode demam yang
sama, tetapi tetap direkomendasikan untuk diberikan. Meta analisis tahun 2021
menyimpulkan bahwa manfaat antipiretik dalam mencegah kekambuhan kejang demam
dalam episode demam yang sama memiliki bukti yang sangat terbatas, dan tidak ada bukti
untuk penggunaannya dalam episode demam yang jauh.[19]
Tata Laksana Lainnya
Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa anak kejang demam memiliki kadar zink
rendah daripada anak kejang tanpa demam. Oleh karena itu, zink diduga berperan dalam
patogenesis kejang demam. Namun, hingga saat ini tidak ditemukan adanya rekomendasi
dalam pemberian zink dalam tatalaksana kejang demam.[20, 21]

DEFINISI SYOK
 Syok adalah kondisi berbahaya ketika tekanan darah menurun secara drastis sehingga
organ-organ dan jaringan tubuh tidak mendapatkan aliran darah yang cukup. Kondisi ini
biasanya merupakan komplikasi dari penyakit atau kondisi lain.
(https://www.alodokter.com/syok)
 Syok atau renjatan dapat diartikan sebagai keadaan terdapatnya pengurangan yang sangat
besar dan tersebar luas pada kemampuan pengangkutan oksigen serta unsur- unsur gizi
lainnya secara efektif ke berbagai jaringan sehingga timbul cidera seluler yang mula- mula
reversible dan kemudian bila keadaan syok berlangsung lama menjadi irreversible.
(Isselbacher, dkk, 1999, hal 218)
(http://jurnal.aiska-university.ac.id/index.php/gaster/article/view/60/57)

JENIS SYOK
(http://jurnal.aiska-university.ac.id/index.php/gaster/article/view/60/57)

Klasifikasi syok yang dibuat berdasarkan penyebabnya menurut Isselbacher, dkk, (1999,
hal 219) :
1. Syok Hipovolemik atau oligemik
Perdarahan dan kehilangan cairan yang banyak akibat sekunder dari muntah, diare, luka
bakar, atau dehidrasi menyebabkan pengisian ventrikel tidak adekuat, seperti penurunan
preload berat, direfleksikan pada penurunan volume, dan tekanan end diastolic ventrikel
kanan dan kiri. Perubahan ini yang menyebabkan syok dengan menimbulkan isi sekuncup
(stroke volume) dan curah jantung yang tidak adekuat.
2. Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik ini akibat depresi berat kerja jantung sistolik. Tekanan arteri sistolik < 80
mmHg, indeks jantung berkurang di bawah 1,8 L/menit/ m2, dan tekanan pengisian ventrikel
kiri meningkat. Pasien sering tampak tidak berdaya, pengeluaran urin kurang dari 20 ml/ jam,
ekstremitas dingin dan sianotik.
Penyebab paling sering adalah 40% lebih karena miokard infark ventrikel kiri, yang
menyebabkan penurunan kontraktilitas ventrikel kiri yang berat, dan kegagalan pompa
ventrikel kiri. Penyebab lainnya miokarditis akut dan depresi kontraktilitas miokard setelah
henti jantung dan pembedahan jantung yang lama. Bentuk lain bisa karena gangguan mekanis
ventrikel. Regurgitasi aorta atau mitral akut, biasanya disebabkan oleh infark miokard akut,
dapat menyebabkan penurunan yang berat pada curah jantung forward (aliran darah keluar
melalui katub aorta ke dalam sirkulasi arteri sistemik) dan karenanya menyebabkan syok
kardiogenik.
3. Syok Obstruktif Ekstra Kardiak
Syok ini merupakan ketidakmampuan ventrikel untuk mengisi selama diastole, sehingga
secara nyata menurunkan volume sekuncup (Stroke Volume) dan berakhirnya curah jantung.
Penyebab lain bisa karena emboli paru masif.
4. Syok Distributif
Bentuk syok septic, syok neurogenik, syok anafilaktik yang menyebabkan penurunan tajam
pada resistensi vaskuler perifer. Patogenesis syok septic merupakan gangguan kedua system
vaskuler perifer dan jantung.

PENATALAKSANAAN SYOK BERDASARKAN JENISNYA


(http://jurnal.aiska-university.ac.id/index.php/gaster/article/view/60/57)
1. Penatalaksanaan Syok Anafilaktik
Penatalaksanaan syok anafilaktik menurut Haupt MT and Carlson RW (1989,
hal 993-1002) adalah
Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan obat atau zat
kimia, baik peroral maupun parenteral, maka tindakan yang perlu dilakukan,
adalah:
a. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih
tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam
usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
b. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:
1) Airway (membuka jalan napas). Jalan napas harus dijaga tetap bebas,
tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher
diatur agar lidahtidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan
ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.
2) Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada
tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung.
Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan
terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami
sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus
diberikan bantuan napas dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan
napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi
endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.
3) Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis,
atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan hidup dasar
yang penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi jantung paru. Thijs L G.
(1996 ; 1 – 4)
a. Segera berikan adrenalin 0.3–0.5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita dewasa atau
0.01 mk/kg untuk penderita anak-anak, intramuskular. Pemberian ini dapat
diulang tiap 15 menit sampai keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan
pemberian infus kontinyu adrenalin 2–4 ug/menit.
b. Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang memberi
respons, dapat ditambahkan aminofilin 5–6 mg/kgBB intravena dosis awal yang
diteruskan 0.4–0.9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus.
c. Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau
deksametason 5–10 mg intravena sebagai terapi penunjang untuk mengatasi efek
lanjut dari syok anafilaktik atau syok yang membandel.
d. Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk
koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai
tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan
meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat.
Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan
perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya
peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila
memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3–4 kali dari
perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan
terdapat kehilangan cairan 20–
40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat
diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma.
Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran
juga bisa melepaskan histamin.
e. Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik
dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa
dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian sudah harus
semaksimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi
penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi
telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung.
f. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus
diawasi/diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam. Sedangkan penderita yang
telah mendapat terapi adrenalin lebih dari 2–3 kali suntikan, harus dirawat di
rumah sakit semalam untuk observasi.
2. Penatalaksanaan Syok Hipovolemik
a. Mempertahankan Suhu Tubuh
Suhu tubuh dipertahankan dengan memakaikan selimut pada penderita
untuk mencegah kedinginan dan mencegah kehilangan panas. Jangan sekali-kali
memanaskan tubuh penderita karena akan sangat berbahaya.
b. Pemberian Cairan
1) Jangan memberikan minum kepada penderita yang tidak sadar, mual-mual,
muntah, atau kejang karena bahaya terjadinya aspirasi cairan ke dalam paru.
2) Jangan memberi minum kepada penderita yang akan dioperasi atau dibius
dan yang mendapat trauma pada perut serta kepala (otak).
3) Penderita hanya boleh minum bila penderita sadar betul dan tidak ada
indikasi kontra. Pemberian minum harus dihentikan bila penderita menjadi
mual atau muntah.
4) Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan
pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume
intravaskuler, volume interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti
plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.
5) Pada syok hipovolemik, jumlah cairan yang diberikan harus seimbang
dengan jumlah cairan yang hilang. Sedapat mungkin diberikan jenis cairan
yang sama dengan cairan yang hilang, darah pada perdarahan, plasma pada
luka bakar. Kehilangan air harus diganti dengan larutan hipotonik.
Kehilangan cairan berupa air dan elektrolit harus diganti dengan larutan
isotonik. Penggantian volume intra vaskuler dengan cairan kristaloid
memerlukan volume 3–4 kali volume perdarahan yang hilang, sedang bila
menggunakan larutan koloid memerlukan jumlah yang sama dengan jumlah
perdarahan yang hilang. Telah diketahui bahwa transfusi eritrosit konsentrat
yang dikombinasi dengan larutan ringer laktat sama efektifnya dengan darah
lengkap. 6) Pemantauan tekanan vena sentral penting untuk mencegah pemberian cairan
yang berlebihan.
7) Pada penanggulangan syok kardiogenik harus dicegah pemberian cairan
berlebihan yang akan membebani jantung. Harus diperhatikan oksigenasi darah
dan tindakan untuk menghilangkan nyeri.
8) Pemberian cairan pada syok septik harus dalam pemantauan ketat,
mengingat pada syok septik biasanya terdapat gangguan organ majemuk
(Multiple Organ Disfunction). Diperlukan pemantauan alat canggih berupa
pemasangan CVP, “Swan Ganz” kateter, dan pemeriksaan analisa gas darah.
3. Penatalaksanaan Syok Neurogenik
Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian vasoaktif seperti
fenilefrin dan efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler dengan penyempitan
sfingter prekapiler dan vena kapasitan untuk mendorong keluar darah yang
berkumpul ditempat tersebut. Penatalaksanaannya menurut Wilson R F, ed.. (1981;
c:1-42) adalah
a. Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi
Trendelenburg).
b. Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya dengan
menggunakan masker. Pada pasien dengan distress respirasi dan hipotensi yang
berat, penggunaan endotracheal tube dan ventilator mekanik sangat dianjurkan.
Langkah ini untuk menghindari pemasangan endotracheal yang darurat
jika terjadi distres respirasi yang berulang. Ventilator mekanik jugadapat menolong
menstabilkan hemodinamik dengan menurunkan penggunaan
oksigen dari otot-otot respirasi.
c. Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasi cairan.
Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya diberikan per
infus secara cepat 250-500 cc bolus dengan pengawasan yang cermat terhadap
tekanan darah, akral, turgor kulit, dan urin output untuk menilai respon terhadap
terapi.
d. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obat-obat
vasoaktif (adrenergik; agonis alfa yang indikasi kontra bila ada perdarahan seperti
ruptur lien) :
3 Dopamin: Merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10 mcg/kg/menit,
berefek serupa dengan norepinefrin. Jarang terjadi takikardi.
4 Norepinefrin: Efektif jika dopamin tidak adekuat dalam menaikkan tekanan
darah. Epinefrin. Efek vasokonstriksi perifer sama kuat dengan pengaruhnya
terhadap jantung Sebelum pemberian obat ini harus diperhatikan dulu bahwa
pasien tidak mengalami syok hipovolemik. Perlu diingat obat yang dapat
menyebabkan vasodilatasi perifer tidak boleh diberikan pada pasien syok
neurogenik
5 Dobutamin: Berguna jika tekanan darah rendah yang diakibatkan oleh
menurunnya cardiac output. Dobutamin dapat menurunkan tekanan darah
melalui vasodilatasi perifer.

DEFINISI RACUN
 Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan berbagai cara yang
menghambat respons pada sistem biologis menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit,
bahkan kematian. Pada umumnya kita mengetahui bahwa banyak bahan kimia mempunyai
sifat berbahaya atau racun. (https://www.pom.go.id/new/view/more/berita/157/RACUN-ALAMI-PADA-TANAMAN-
PANGAN.html#:~:text=Racun%20adalah%20zat%20atau%20senyawa,mempunyai%20sifat%20berbahaya%20atau%20racun.)

 Secara umum, racun merupakan zat padat, cair, atau gas, yang dapat mengganggu proses
kehidupan sel suatu organisme. Dalam hubungan dengan biologi, racun adalah zat yang
menyebabkan luka, sakit, dan kematian organisme, biasanya dengan reaksi kimia atau
aktivitas lainnya dalam skala molekul.
( https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jurnalhukumunsrat/article/view/13197)

KLASIFIKASI RACUN
(https://p2k.unkris.ac.id/id1/3073-2962/Racun_25622_p2k-unkris.html)

Dalam sebuah buku forensik medis yang ditulis oleh JL Casper, racun diklasifikasikan
dibuat sebagai 5 golongan, yaitu:
1. Racun iritan, adalah racun yang menimbulkan iritasi dan radang. Contohnya asam
mineral, fungi beracun, dan preparasi arsenik.[4]
2. Racun penyebab hiperemia, racun narkotik, yang terbukti bisa berakibat fatal pada otak,
paru-paru, dan jantung. Contohnya opium, tembakau, konium, dogitalis, dan lain-lain.[4]
3. Racun yang melumpuhkan saraf, dengan meracuni darah, organ pusat saraf bisa lumpuh
dan menimbulkan belakang suatu peristiwa yang fatal seperti kematian tiba-tiba.
Contohnya asam hidrosianat, sianida seng, dan kloroform.[4]
4. Racun yang menyebabkan marasmus, biasanya bersifat kronis dan bisa berakibat fatal
bagi kesehatan secara perlahan. Contohnya bismut putih, asap timbal, merkuri, dan
arsenik.[4]
5. Racun yang menyebabkan infeksi (racun septik), bisa berupa racun makanan yang pada
kondisi tertentu menimbulkan sakit Pyaemia (atau pyemia) dan tipus pada hewan ternak.
[4]

GEJALA KERACUNAN
(https://www.halodoc.com/artikel/6-ciri-ciri-keracunan-makanan-dan-cara-mengobatinya)

1. Diare
Diare ditandai dengan tinja encer ketika buang air besar dalam periode 24 jam. Kondisi ini
adalah gejala paling umum dari keracunan makanan. Ini terjadi karena peradangan yang
membuat usus tidak berfungsi dengan baik dalam menyerap kembali air dan cairan lain
yang dikeluarkannya selama pencernaan.
Diare juga bisa disertai dengan gejala lain, seperti perut mulas, kembung, atau kram perut.
Karena kondisi ini menyebabkan kehilangan banyak cairan, pengidapnya akan berisiko
mengalami dehidrasi. Oleh karena itu, penting untuk mengonsumsi air putih agar tetap
terhidrasi.
2. Nyeri dan Kram Perut
Nyeri perut biasanya terasa di sekitar batang tubuh, atau area di bawah tulang rusuk di atas
panggul. Dalam kasus keracunan makanan, organisme berbahaya dapat menghasilkan
racun yang mengiritasi lapisan lambung dan usus.
Hal ini pun dapat menyebabkan peradangan di perut yang dapat menyebabkan rasa nyeri
di perut. Pengidap keracunan makanan juga mungkin mengalami kram perut, karena otot
perut berkontraksi untuk menyingkirkan organisme berbahaya dari usus secepat mungkin.
3. Sakit Kepala
Sakit kepala memang kondisi yang sangat umum. Orang dapat mengalaminya karena
berbagai alasan, seperti stres, minum terlalu banyak alkohol, dehidrasi, dan kelelahan.
Karena keracunan makanan dapat menyebabkan seseorang menjadi lelah dan dehidrasi,
hal itu juga dapat menyebabkan sakit kepala.
4. Mual dan Muntah
Muntah sangat umum dialami oleh pengidap keracunan makanan. Kondisi ini terjadi
ketika otot perut dan diafragma berkontraksi dengan kuat, memaksa tubuh dengan tanpa
sadar mengeluarkan isi perut melalui mulut. Ini adalah mekanisme perlindungan yang
terjadi ketika tubuh mencoba untuk menyingkirkan organisme atau racun yang terdeteksi
berbahaya.
5. Demam
Demam sering terjadi sebagai bagian dari pertahanan alami tubuh terhadap infeksi. Zat
penghasil demam yang disebut pirogen memicu kenaikan suhu. Zat ini dilepaskan baik
oleh sistem kekebalan atau bakteri yang telah memasuki tubuh melalui makanan yangtelah
terkontaminasi.
6. Kelelahan
Kelelahan adalah gejala selanjutnya dari keracunan makanan. Gejala ini terjadi karena
adanya pelepasan zat kimia yang disebut sitokin. Selain itu, kelelahan adalah gejala sakit
yang akan memberikan sinyal pada otak untuk beristirahat.

PERTOLONGAN PERTAMA OVERDOSIS


(https://hellosehat.com/obat-suplemen/pertolongan-pertama-overdosis-obat/)

Beberapa cara mengatasi overdosis obat perlu dilakukan sebagai pertolongan pertama
pada orang yang mengalami overdosis, yaitu sebagai berikut.
1. Segera cari pertolongan medis
2. Jika ia tidak sadar dan tidak bernapas, mulai CPR
3. Jika orang tersebut tidak sadar tapi bernapas, Baringkan ia di sisi tubuhnya. Pastikan
bahwa jalan napas tetap terbuka dengan memiringkan kepala ke belakang dan
mengangkat dagu.
4. Cari tahu obat penyebab overdosis
5. Tetap dampingi korban selama menunggu pertolongan medis

CARA MENGOBATI KERACUNAN MAKANAN


(https://www.halodoc.com/artikel/6-ciri-ciri-keracunan-makanan-dan-cara-mengobatinya)
Untuk mencegah keracunan makanan, pastikan untuk lebih memerhatikan kebersihan
pribadi dan makanan yang baik. Misalnya, memastikan dapur selalu bersih, mencuci
tangan secara teratur, mengolah dan memasak makanan dengan cara yang benar.
Sebagian besar kasus keracunan makanan tidak serius dan akan sembuh dengan sendirinya
dalam beberapa hari. Jika kamu mengalami beberapa gejala di atas, cobalah untuk
beristirahat dan tetap terhidrasi.
Mengonsumsi obat seperti antibiotik juga dapat membantu. Namun, beberapa kondisi
keracunan makanan bisa menjadi serius. Jika sudah parah, kamu sebaiknya memeriksakan
diri ke dokter.

Anda mungkin juga menyukai