Anda di halaman 1dari 13

Nama : Muhammad Iqbal, S.

KM
Asal Instansi : RSUD Raja Musa Sungai Guntung

Tugas Individu Hari I


PELATIHAN K3RS SERTIFIKASI KEMENAKER RI

1. Jelaskan Pengertian HAZAR, DANGER, dan RISK!


2. Jelaskan Pengertain Management Resiko dan Metode dalam melakukan
Penilaian & Identifikasi Resiko!
3. Buatkan Contoh, Penilaian Metode Quantitatif dalam Management Resiko
(Kasus Pekerjaan di RS). Minimal 3 Penilaian.
4. Jelaskan Pengertian K3, dan SMK3, serta tingkatan dan jumlah masing-masing
dalam audit SMK3!
5. Jelaskan dasar Hukum pelaksanaan SMK3 di Indonesia dan apa sanksi
hukumnya!
Jawab :
1. HAZARD adalah bahaya atau hazard K3 merupakan sumber, situasi
maupun aktivitas, yang berpotensi menimbulkan cedera (kecelakaan kerja)
dan atau penyakit akibat kerja (PAK).
DANGER adalah suatu keadaan yang bisa menyebabkan peluang bahaya
yang telah terlihat, hingga menimbulkan suatu aksi. Tingkat
bahaya(Danger) adalah ungkapan dengan potensi bahaya dengan cara
relative, keadaan yang berisiko mungkin saja ada, walau demikian bisa
menjadi tak berisiko, karena sudah dikerjakan sebagai tindakan
pencegahaan
RISK adalah potensi kerugian yang bisa muncul jika terjadi kontak dengan
sumber bahaya maupun kegagalan fungsi dalam kegiatan operasional.
Penilaian operasional sendiri dilakukan dengan mengalikan antara nilai
frekuensi dengan tingkat keparahan dari sebuah risiko.

2. Manajemen Risiko adalah Secara sederhana pengertian manajemen risiko


adalah pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen dalam penanggulangan
risiko, terutama risiko yang dihadapi oleh organisasi / perusahaan,
keluarga dan masyarakat. Jadi mencakup kegiatan merencanakan,
mengorganisir, menyusun, memimpin / mengkoordinir dan mengawasi
(termasuk mengevaluasi) program penanggulangan risiko.
Metode Penilaian risiko dan identifikiasi risiko terdapat 3 macam yakni :
 Qualitative Risk Assestment
 Semi Quantitative Assestment
 Quantitative Risk Assestment

 Qualitative Risk Identification


 Semi Qualitative Risk Identification
 Quantitative Risk Identification
Analisis Kualitatif
Analisis Kualitatif Menggunakan bentuk kata/skala deskriptif untuk
menjelaskan besar potensi risiko. Dimana hasilnya dapat dikategorikan
dalam risiko rendah, sedang, dan tinggi, dan digunakan untuk kegiatan
screening awal pada risiko yang membutuhkan analisis lebih rinci dan
mendalam.
Analisis ini digunakan saat :
 Penilaian kuantitatif tidak diperlukan
 Pelaksanaan screening awal sebagai dasar melaksanakan analisis yang
lebih kecil
 Level risiko tidak terdapat batasan waktu dan data numerical
 Tidak terdapat data numerical/ data tidak mencukupi.

Analisis Semi-kuantitatif
 Metode yang mengkombinasikan angka yang bersifat subyektif pada
kecenderungan dan dampak dengan rumus (formula) matematika.
 Berguna untuk mengidentifikasi dan memberikan peringkat dari suatu
kejadian yang berpotensi menimbulkan kensekuensi yang parah
seperti kerusakan peralatan, gangguan bisnis, cidera manusia dan lain-
lain (Kollluru,1996)
 Diperlukan kehati-hatian dalam analisis semi-kuantitatif karena nilai
yang dibuat tentu mencerminkan kondisi objektif. Ketetapan
perhitungan tergantung dari pengetahuan para ahli dari berbagai
disiplin ilmu terhadap proses terjadinya sebuah risiko. (AS/NZS
4360:2004)
Analisis Kuantitatif
 Analisis kuantitatif menggunakan nilai numerik untuk nilai
konsekuensi dan likelihood dengan menggunakan data dari berbagai
sumber.
 Konsekuensi dihitung menggunakan metode modeling hasil hasil dari
kejadian/kumpulan kejadian/memperkirakan kemungkinan dari studi
eksperimen/ data sekunder/ data terdahulu. Konsekuensi digambarkan
dalam lingkup keuangan, teknikal atau efek pada manusia. (AS/NZS
4360:2004).
3. Kasus pertama :
Seorang pasien datang ke RS. KH dengan keluhan gangguan lambung
yang sangat mengganggu, dokter Poli Umum meminta Acran inj melalui
telepon ke Instalasi Farmasi. Obat diantar oleh Kurir IF ke Poli Umum, dan
oleh perawat asisten poli umum di suntikkan ke pasien. Beberapa saat
setelah obat disuntikkan, Pasien tertidur di atas blankar pasien. Dokter
langsung memeriksa ampul obat yang telah disuntikkan, ternyata obat yang
disuntikkan adalah Valisanbe injeksi. Dan pada saat pasien terbangun, pasien
tersebut merasa segar dan kondisi membaik. Pasien tidak tahu kalau obat
yang diberikan salah.

Box obat dan desain ampul antara Acran inj dan Valisanbe inj hampir sama.

Langkah yang dilakukan:

Identifikasi insiden dan mengumpulkan informasi (observasi,


wawancara)
Setelah ditelusuri, bahwa obat valisanbe inj yang diberikan oleh petugas IF
diambil dari box obat Acran inj. Valisanbe inj di duga kuat adalah
merupakan obat yang diretur dari pasien rawat inap, namun terjadi
kesalahan pengembalian obat yang semestinya masuk ke lemari obat
tempat penyimpanan obat khusus OKT yaitu di box valisanbe inj, tapi
ternyata di masukkan dalam box obat Acran inj dimana box dan ampul
antara Acran Inj. dan Valisanbe inj hampir sama (LASA/ Look A Like, Sound A
Like). Pada saat obat akan disuntikkan oleh perawat, obat tidak di cross
check ulang. Sehingga kesalahan terjadi karena kurang ketelitian dari
petugas yang menerima retur obat, petugas yang memberikan obat ke
dokter serta tidak ada cross check ulang dari perawat pada saat akan
menyuntikkan obat ke pasien.
Membuat laporan insiden keselamatan pasien dan kronologi kejadian
Nilai Dampak (Consequence) = 1, Tidak ada cedera, kerugian keuangan
kecil (obat tidak terlalu mahal)
Nilai Probabilitas (Likelihood) = 2, karena kejadiannya jarang terjadi
/Kadang-kadang, dapat terjadi sewaktu-waktu
Skor risiko = 1 x 2 = 2 (risiko Rendah)
Kategori risiko rendah dengan warna bands hijau.
Maka dilakukan investigasi sederhana

Kasus Kedua :
Pasien rawat inap mendapat obat Ronazol syr, pada saat akan
di berikan oleh perawat ternyata obat tersebut sudah kadaluarsa satu
bulan yang lalu. Obat di cross check ulang oleh perawat sehingga
belum sempat di minum oleh pasien.

Langkah yang dilakukan:

Identifikasi insiden dan mengumpulkan informasi (observasi, wawancara) :


Setelah ditelusuri, bahwa obat Ronazol syr yang diberikan oleh petugas IF
adalah obat yang dibeli oleh Instalasi Farmasi dari apotek luar karena pada
saat itu terjadi kekosongan obat di IF.
Membuat laporan insiden keselamatan pasien dan kronologi kejadian
Nilai Dampak (Consequence) = 1, Tidak ada cedera karena obat belum
diminum oleh pasien, kerugian keuangan kecil
Nilai Probabilitas (Likelihood) = 2, Kadang-kadang karena kejadiannya
jarang terjadi (2-5 tahun sekali)
Skor risiko = 1 x 2 = 2 (Risiko Rendah)
Kategori risiko rendah dengan warna bands hijau.
Maka dilakukan investigasi sederhana

Kasus Ketiga :

RSUD Tebing Tinggi Kabupaten Empat Lawang adalah rumah sakit


tipe D dengan kapasitas 57 tempat tidur, melayani pasien umum,
jamsoskes dan BPJS. Pelayanan pasien Jamsoskes yang merupakan
kebijakan Gubernur Sumatera Selatan yang mana semua penduduk yang
domisili Sumatera Selatan mendapatkan pelayanan pengobatan gratis
pada fasilitas kesehatan pemerintah. Pelayanan pasien BPJS merupakan
kelanjutan dari sistem pelayanan pasien ASKES yang sudah dilaksanakan
d RSUD Tebing tinggi sejak bulan November 2012. Mulai tanggal 1
Januari 2014 sudah mengikuti kebijakan pemerintah untuk
menyelenggarakan pelayanan bagi pasien BPJS, yang merupakan
implementasi dari program pemerintah dalam Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN), yang tertuang dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN). BPJS sendiri merupakan peralihan dari Askes sebagai
penyelenggara untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Banyak
aturan-aturan dari Askes yang diambil sebagai aturan dari BPJS, sehingga
di awal penyelenggaraan, karena sudah terbiasa melayani pasien Askes,
maka melayani pasien BPJS pun tidak menemui kendala yang berarti.
Sebagai rumah sakit milik pemerintah daerah, tentu sistem
pengelolaan dan manajemen didasarkan pada standar pelayanan
minimal dan prosedur tata ognasisai daerah. Demikian halnya pada
sistem pengelolaan di instalasi farmasi. Instalasi farmasi merupakan
instalasi Pelayanan Penunjang Medis, yang mana dalam peraturan
tersebut tugas instalasi farmasi adalah melaksanakan kegiatan peracikan,
penyiapan dan penyaluran obat- obatan, gas, medis, bahan kimia serta
peralatan medis. Jadi kaitannya dengan pelayanan pasien, bahwa
sediaan farmasi dalam hal ini obat-obatan adalah hal yang krusial dan
harus disediakan.
Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan
untuk mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait
Obat. Tuntutan pasien dan masyarakat akan peningkatan mutu
Pelayanan Kefarmasian, mengharuskan adanya perluasan dari paradigma
lama yang berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi
paradigma baru yang berorientasi pada pasien (patient oriented) dengan
filosofi Pelayanan Kefarmasian (pharmaceutical care).

Namun seiring berjalannya kegiatan pelayanan di RSUD Tebing Tinggi


tidak lepas dari berbagai permasalahan baik pelayanan pada
konsumen maupun manajemen internal rumah sakit. Instalasi farmasi
yang merupakan titik akhir dan titik tolak dari persediaan perbekalan
kesehatan di rumah sakit tidak luput dari permasalahan tersebut. Kasus
yang pernah terjadi di instalasi farmasi RSUD tebing tinggi kabupaten
Empat Lawang adalah terjadinya kesalahan pemberian obat di apotek
rawat jalan dikarenakan penulisan resep yang terbalik nama pasiennya.
Pasien berasal dari poliklinik penyakit dalam yang merupakan pasien
“langganan” atau sudah sering berobat ke RS. Pasien bernama saibani
dan rafani. Pasien saibani membawa resep dengan nama rafani
sedangkan pasien rafani membawa resep dengan nama saibani. Namun
pasien tidak mengecek nama yang tercantum dalam resep dan langsung
menuju apotek rawat jalan.
Pada saat pasien menyerahkan resep pada petugas penerima
resep, kemudian di cek sediaan, kekuatan dan jenis sediaan, dikerjakan
etiket dan pengemasan sesuai dengan yang diperintahkan dalam resep.
Setelah obat siap diserahkan kepada pasien, petugas penyerahan resep
memanggil pasien yang bernama saibani. Petugas memberikan konseling
mengenai sediaan yang diterima pasien. Namun kemudian pasien sedikit
curiga dengan penjelasan yang diberikan petugas kepada beliau.
Menurut pasien bahwa obat yang diberikan tidak sesuai dengan kondisi
penyakit yang diderita pasien.
Petugas kemudian segera meriscek resep pasien saibani
kemudian berkonsultasi dengan bagian poli rawat jalan penyakit dalam.
Dari hasil cek dan riscek ternyata dokter salah menuliskan resep pada
pasien saibani. Jenis obat yang diresepkan untuk pasien saibani tertukar
dengan jenis obat yang tertulis pada pasien rafani. Jadi pasien saibani
sesungguhnya membawa resep obatnya sendiri sesuai dengan
penyakitnya namun dalam resep yang dibawanya tertulis nama rafani,
sedangkan rafani memang benar membawa resep obatnya sendiri sesuai
dengan penyakitnya namun dalam resep yang dibawanya bertuliskan
saibani. Jadi pada saat di panngil nama saibani saat penyerahan obat
tentu saja pasien saibani yang datang namun tidak sesuai obatnya
dengan kondisi penyakitnya.
Kesimpulannya, terjadi kesalahan pada penulisan nama pasien
pada resep yang dibawa pasien. Hal ini dimungkinkan dokter penulis
resep kurang berkonsentrasi pada saat pelayanan pasien atau nama
pasien yang berdekatan pada saat pemeriksaan sehingga rekam
medisnya terbalik pengamatannya.

Analisis Kasus
a.
Menetapkan konteks
Hal ini dibuat dokumentasi mengenai banyaknya kejadian kesalahan
pemberian obat pada pasien dikarenakan resep yang tertukar dan tidak
disadari oleh pasien
b.
Identifikasi bahaya
Sejauh mana bahaya terhadap kejadian kesalahan pemberian obat
terhadap pelayanan pasien dan berdasar pada resep pasien sehingga
perlu koordinasi dengan dokter penulis resep maupun petugas di poli
rawat jalan, rawat inap maupun UGG.
c.
Pengukuran Kualitatif Frekuensi/ Kemungkinan (likehood)
Setelah seluruh resiko diidentifikasi maka dilakukan pengukuran
tingkat kemungkinan dan dampak resiko. Pengukuran resiko dilakukan
setelah mempertimbangkan pengendalian resiko yang ada. Pengukuran
resiko dilakukan menggunakan criteria pengukuran resiko secara
kualitatif, semi kualitatif, atau kuantitatif tergantung pada ketersediaan
data tingkat kejadian peristiwa dan dampak kerugian yang
ditimbulkannya. Pada kasus salah memberikan obat pada pasien, maka
pengukuran kualitatif frekuensi/kemungkinan (likehood) adalah
sebagai berikut :

Kemungkinan Deskrips Nilai


i
Jarang Terjadi pada keadaan khusus 1
Kadang-kadang (Unlikely) Dapat terjadi sewaktu-sewaktu 2
Mungkin (Possible) Mungin terjadi sewaktu-waktu 3
Mungkin sekali (likely) Mungkin terjadi pada banyak keadaan tapi 4

Hampir pasti (almost certain) Dapat terjadi pada tiap keadaan dan 5

Dalam kasus ini, kejadian mungkin terjadi sewaktu-waktu karena


kejadiannya dalam setahun lebih dari 3 kejadian. Hal ini lebih banyak
terjadi pada saat peak hour sehingga memungkinkan petugas kurang
berkonsentrasi dalam melayani pasien.

d.
Pengukuran kualitatif konsekuensi / dampak

Tingkat Deskriptor Contoh


1 Tidak bermakna Tidak ada cedera, kerugian keuangan kecil
2 Rendah Pertolongan pertama dapat diatasi,
kerugian keuangan sedang
3 Menengah Memerlukan pengobatan medis, kerugian
keuaangan besar
4 Berat Cedera luas, kehilangan kemampuan produksi,
kerugian
5 Katastropik Kematian, kerugian keuangan sangat besar.

Dampak yang terjadi pada kasus tersebut berbobot nilai satu (1)
yaitu tidak bermakna karena petugas apotek segera meriscek resep
pasien pada petugas poli dan dokter penulis resep, sehingga pada saat
pemberian ke pasien, kesalahan bisa langsing diatasi.
Dampa
k
Kemungkina Sangat Rendah Sedang Besar Ekstrim
n rendah
(likehood)
Jarang 1 2 3 4 5
Kadang-kadang 2 4 6 8 10
Mungkin 3 6 9 12 15
Mungkin sekali 4 8 12 16 20
Hampir pasti 5 10 15 20 25

Nilai :

1-3 4-6 8-12 15-25


Rendah Sedang Bermakna Tinggi

Skor risiko yang dapat dihitung:


Boot likehood = 3 Bobot dampak = 1
Bobot total penilaian adalah berada di kolom hijau yaitu rendah.

4. K3 adalah adalah bidang yang berhubungan dengan keselamatan,


kesehatan, dan kesejahteraan manusia yang bekerja pada sebuah institusi
ataupun lokasi proyek.
Arti K3 (Keamanan, Kesehatan, dan Keselamatan Kerja) secara khusus
dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
 Pengertian K3 secara keilmuan; K3 merupakan ilmu pengetahuan dan
penerapannya dalam upaya mencegah terjadinya kecelakaan dan
penyakit akibat kerja.
 Pengertian K3 secara filosofis; suatu upaya yang dilakukan untuk
memastikan keutuhan dan kesempurnaan jasmani dan rohani tenaga
kerja pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya terhadap hasil
karya dan budaya menuju masyarkat adil dan makmur.
SMK3 adalah Salah satunya adalah pengertian SMK3 berdasarkan PP No.
50 Tahun 2012. SMK3 adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan
secara keseluruhan dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan
dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien,
dan produktif.
Sementara itu, berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
No. 05 Tahun 2014, SMK3 adalah bagian dari sistem manajemen
organisasi pelaksanaan pekerjaan konstruksi dalam rangka pengendalian
risiko K3 pada setiap pekerjaan konstruksi bidang pekerjaan umum.
Pengertian SMK3 tersebut cenderung pada pengertian SMK# dalam
bidang pekerjaan konstruksi.
Berdasarkan organisasi buruh internasional (ILO), SMK3 adalah 
ilmu yang bertujuan untuk mengantisipasi, mengevaluasi dan sebagai
pengendalian bahaya yang timbul di dalam dan atau dari tempat kerja yang
dapat mengganggu kesehatan dan kesejahteraan pekerja, dengan
mempertimbangkan kemungkinan dampak pada masyarakat sekitar dan
lingkungan umum.
Tingkatan dan jumlah SMK3 :
Pelaksanaan audit SMK3 sendiri dilakukan berdasarkan tiga kategori
sesuai yang tertera dalam PP nomor 50 tahun 2012 dan Permenaker nomor
26 tahun 2014, terdiri atas :
 Tingkat awal dengan pemenuhan atas 64 kriteria audit SMK3
 Tingkat transisi yang berkaitan dengan pemenuhan atas kriteria audit
SMK3 sebanyak 122 kriteria
 Tingkat lanjutan dengan pemenuhan atas 166 kriteria audit SMK3
Dalam audit SMK3, sesuai dengan aturan pada PP nomor 50 tahun 2012
dan Permenaker nomor 26 tahun 2014 terdapat beberapa tingkat penilaian
dalam pencapaian penerapan SMK3 yang terdiri atas :
 Perusahaan yang mendapat tingkat pencapaian penerapan dengan
presentase 0 – 59%, artinya penerapan perusahaan tersebut masih
kurang
 Perusahaan yang mendapat tingkat pencapaian penerapan 60 – 84%,
artinya penerapan perusahaan tersebut dalam kondisi baik
 Perusahaan yang mendapat tingkat pencapaian penerapan 85% – 100%,
itu artinya tingkat penilaian penerapan perusahaan tersebut memuaskan
atau sangat memuaskan.

3. Dasar hukum SMK3 :


Dasar Hukum Penerapan SMK3 di Indonesia antara lain:
1. Undang – Undang No. 01 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;
2. Undang – Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
3. Undang – Undang No. 02 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi;
4. Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2012 tentang Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja;
5. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 26 Tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan Penilaian Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan
dan Kesehatan Kerja;
6. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05 Tahun 2014 tentang
Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(SMK3) Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum; dan
7. Peraturan Menteri Kesehatan No. 66 Tahun 2016 tentang Keselamatan
dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit.
Sanksi apabila instansi/perusahaan tidak menerapkan SMK3 :
1. Yang pertama, yaitu sanksi Administrasi merupakan sanksi yang
diterapkan oleh penguasa (pejabat) tanpa melalui proses peradilan
dan sanksi tersebut diterapkan sebagai reaksi karena ada
pelanggaran terhadap norma Hukum Administrasi, baik norma
Hukum Administrasi tertulis maupun yang tidak tertulis.5Penerapan
sanksi administrasi tersebut akibat dari perusahaan yang lalai
dalam menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (SMK3) dalam kegiatan produksi maupun operasi. Pengenaan
sanksi ini didasarkan pengawasan dari pejabat yang berwenang
maupun Menteri yang telah melakukan audit kepada perusahaan-
perusahaan yang bertujuan untuk mengetahui perusahaan yang benar-
benar melaksanakan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (SMK3) dengan baik maupun tidak sesuai standar yang telah
ditetapkan oleh Menteri. Berdasarkan Pasal 190 ayat (2) Undang-
undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa
pengenaan sanksi Administrasi yang diberikan kepada perusahaan
yang melanggar ketentuan terkait pelaksanaan Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) yang meliputi:
a. Teguran;
b. peringatan tertulis;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pembatalan persetujuan;
f. pembatalan pendaftaran;
g. penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi;
h. pencabutan ijin.Sanksi-sanksi tersebut diberikan untuk memberikan
efek jera kepada perusahaan-perusahaan yang lalai dan tidak
menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(SMK3).
2. Sanksi yang kedua, yaitu sanksi pidana yang diterima oleh perusahaan
yang lalai dalam menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (SMK3). Sanksi pidana disini adalah pengenaan
denda yang ditujukan kepada perusahaan ataupun pimpinan yang
menjadi atasan perusahaan tersebut dan juga pengenaan sanksi
kurungan penjara. Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan Sanksi Pidana dijelaskan dan terdapat
pada Pasal 183 hingga Pasal 189. Dalam undang-undang tersebut,
dijelaskan bahwa sanksi pidana berupa denda minimal sebesar Rp.
100.000.000,00. (seratus juta rupiah) hingga sebesar Rp.
500.000.000,00. (lima ratus juta rupiah) dan sanksi pidana berupa
kurungan penjara mulai dari 1 (satu) tahun hingga 5 (lima) tahun
lamanya.

Anda mungkin juga menyukai